Hubungan Determinan yang Memengaruhi Perilaku Pekerja Las Karbit dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk Mencegah Trauma Mata di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG

DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Oleh SABRINA 117032153/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE CORRELATION OF DETERMINANTS WHICH INFLUENCE THE BEHAVIOR OF WELDING SHOP EMPLOYEES IN USING PERSONAL

PROTECTION DEVICE (APD) TO AVOID EYE TRAUMA IN MEDAN KOTA SUBDISTRICT, MEDAN, IN 2013

THESIS

By SABRINA 117032153/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG

DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh SABRINA 117032153/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 21 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M 3. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K


(6)

PERNYATAAN

HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG

DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2013

Sabrina 117032153/IKM


(7)

ABSTRAK

Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020.

Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang yang sering terpajan sinar infra merah maupun sinar ultra violet matahari, karena terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekeruhan pada lensa mata.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan uji Regresi Logistik berganda pada α =5%.

Hasil penelitian menunjukkan faktor yang ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah pengetahuan (p=0,0001) dan perilaku pemilik bengkel las (p=0,0001), sedangkan faktor yang tidak ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah sikap (p=0,928) dan tersedianya kaca mata pelindung (p=0,574).

Disarankan kepada pihak pemilik bengkel las : (1) harus menyediakan kaca mata pelindung dan memberikan penjelasan kepada pekerja tentang pentingnya penggunaan kaca mata pelindung guna untuk mencegah trauma pada mata. (2) harus melakukan pemantauan, memberikan peringatan dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja khususnya trauma pada mata.


(8)

ABSTRACT

In order to cope with blindness, the Ministry of Health has developed the strategies which are stipulated in Kepmenkes RI No. 1473/MENKES/SK/2005 on the National Strategic Planning for Handling Eye Trauma and Blindness (Renstranas PGPK) to achieve Vision 2000.

Some people work at specific jobs, such as welding employees without personal protection devices, can be affected by lens turbidity. The same is true to a person who is frequently exposed to infrared light and to ultra-violet sunlight without any protection device; he will potentially concave at his eye-lens.

The objective of the research was to analyze the correlation between the determinants which influenced the welding workers’ behavior in using personal protection device and (APD) in Medan Kota Subdistrict, Medan. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed statistically by using chi square test and multiple logistic regression tests at α – 5%.

The result of the research showed that there was the correlation between the use of goggles and knowledge (p=0.000), while some factors which did not have any correlation with the use of goggles were attitude (p=0.928), the availability oof goggles (p=0.574), and the behavior of the owners of welding shops (p=0.201).

It is recommended that 1) the owners of the welding shops should give the sanction imposed on their employees who do not wear goggles in order that they will be avoided from work accident, especially from trauma in eyes, and 2) the management of hiperkes should monitor and provide counseling about the use of personal protection device.


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Hubungan Determinan yang Memengaruhi Perilaku Pekerja Las Karbit dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk Mencegah Trauma Mata di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan Bapak Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku komisi pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini. 5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K

selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

6. Seluruh Dosen Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Allah SWT.

7. Drs. Hasan Basri, M.M Selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Pemerintah Kota Medan. 8. Bapak M. Indra Mulia NST, S.Sos, M.Si selaku Camat Medan Maimun yang telah

memberikan izin untuk melakukan uji kuesioner di Kecamatan Medan Maimun Pemerintah Kota Medan.

9. Bapak Parlindungan, S.Sos selaku Camat Medan Kota yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kecamatan Medan Kota Pemerintah Kota Medan.

10.Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


(11)

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda Muhammad Yakub Siregar dan Ibunda tersayang Sunita atas segala jasanya sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2013 Penulis

Sabrina 117032153/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Sabrina, lahir pada tanggal 26 Mei 1987 di Sigambal, beragama Islam, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Muhammad Yakub Siregar dan Ibunda Sunita.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 2 Sigambal pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS) Sigambal pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Siti Banun pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006, Akademi Kebidanan (Akbid) Kholisaturrahmi Binjai Sumatera Utara pada tahun 2007 dan diselesaikan pada tahun 2010, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Indonesia Universitas Setia Budi Mandiri Medan pada tahun 2006 dan diselesaikan pada tahun 2011, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku tahun 2011 sampai dengan saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep Perilaku... 9

2.2 Kepatuhan ... 27

2.3 Konsep Dasar Alat Pelindung Diri ... 29

2.4 Pekerja Las Karbit Beresiko Trauma Mata ... 33

2.5 Konsep Dasar Trauma Mata ... 34

2.6 Landasan Teori ... 42

2.7 Kerangka Konsep ... 43

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3 Populasi dan Sampel ... 44

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 45

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... 49

3.6 Metode Pengukuran ... 50

3.7 Metode Analisis Data ... 53

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 54

4.2 Analisis Univariat ... 57

4.3 Analisis Bivariat ... 59


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 64

5.1 Hubungan Pengetahuan Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 64

5.2 Hubungan Sikap Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 67

5.3 Hubungan Tersedianya Kaca Mata Pelindung Pekerja Las dengan Penggunaan alat pelindung diri ... 68

5.4 Hubungan Perilaku Pemilik Bengkel Las dengan Penggunaan alat Pelindung Diri ... 69

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1 Kesimpulan ... 71

6.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan ... 47

3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap ... 48

3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Prilaku Pemilik Bengkel Las 49

3.4 Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 51

4.1 Data Kependudukan Kecamatan Medan Kota ... 55

4.2 Data Kependudukan Menurut Kelompok Usia ... 56

4.3 Data Kependudukan Menurut Agama ... 56

4.4 Data Kependudukan Menurut Suku Bangsa ... 56

4.5 Distribusi Faktor Predisposisi Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 57

4.6 Distribusi Faktor Pendukung Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 57

4.7 Distribusi Faktor Pendorong Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 58

4.8 Distribusi Faktor Alat Pelindung Diri Pada Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 58

4.9 Hubungan Pengetahuan Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 59

4.10 Hubungan Sikap Pekerja Las terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 60

4.11 Hubungan Ketersediaan Kata Mata Pelindung dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 61


(16)

4.12 Hubungan Prilaku Pemilik Bengkel Las terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 62 4.13 Identifikasi Variabel Dominan Pengguanaan Alat Pelindung Diri di


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner dari Program Studi S2

IKM USU Medan ... 76

2. Surat Rekomendasi Melakukan Uji Kuesioner dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 77

3. Surat Telah Selesai Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner dari Kecamatan Medan Maimun ... 78

4. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 79

5. Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 80

6. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Kecamatan Medan Kota ... 81

7. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 82

8. Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 83

9. Kuesioner Penelitian ... 84

10. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 88

11. Tabel Hasil Penelitian ... 91

12. Master Tabel Penelitian ... 94

13. Analisis Univariat ... 98

14. Analisis Bivariat ... 99

15. Analisis Multivariat ... 103


(18)

ABSTRAK

Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020.

Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang yang sering terpajan sinar infra merah maupun sinar ultra violet matahari, karena terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekeruhan pada lensa mata.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan uji Regresi Logistik berganda pada α =5%.

Hasil penelitian menunjukkan faktor yang ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah pengetahuan (p=0,0001) dan perilaku pemilik bengkel las (p=0,0001), sedangkan faktor yang tidak ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah sikap (p=0,928) dan tersedianya kaca mata pelindung (p=0,574).

Disarankan kepada pihak pemilik bengkel las : (1) harus menyediakan kaca mata pelindung dan memberikan penjelasan kepada pekerja tentang pentingnya penggunaan kaca mata pelindung guna untuk mencegah trauma pada mata. (2) harus melakukan pemantauan, memberikan peringatan dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja khususnya trauma pada mata.


(19)

ABSTRACT

In order to cope with blindness, the Ministry of Health has developed the strategies which are stipulated in Kepmenkes RI No. 1473/MENKES/SK/2005 on the National Strategic Planning for Handling Eye Trauma and Blindness (Renstranas PGPK) to achieve Vision 2000.

Some people work at specific jobs, such as welding employees without personal protection devices, can be affected by lens turbidity. The same is true to a person who is frequently exposed to infrared light and to ultra-violet sunlight without any protection device; he will potentially concave at his eye-lens.

The objective of the research was to analyze the correlation between the determinants which influenced the welding workers’ behavior in using personal protection device and (APD) in Medan Kota Subdistrict, Medan. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed statistically by using chi square test and multiple logistic regression tests at α – 5%.

The result of the research showed that there was the correlation between the use of goggles and knowledge (p=0.000), while some factors which did not have any correlation with the use of goggles were attitude (p=0.928), the availability oof goggles (p=0.574), and the behavior of the owners of welding shops (p=0.201).

It is recommended that 1) the owners of the welding shops should give the sanction imposed on their employees who do not wear goggles in order that they will be avoided from work accident, especially from trauma in eyes, and 2) the management of hiperkes should monitor and provide counseling about the use of personal protection device.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah gangguan penglihatan dan kebutaan. Katarak merupakan penyebab utama (50%) kebutaan di Indonesia. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan juga akan cenderung semakin meningkat karena katarak merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada usia lanjut (Depkes RI, 2012).

Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang yang sering terpajan sinar inframerah maupun sinar ultra violet matahari, karena terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekerungan pada lensa mata. Masih banyak pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari yang memungkinkan sesorang mengalami katarak. Cedera mata mengakibat katarak pada semua usia. Pukulan keras, tembus, menyayat, panas tinggi serta bahan kimia, dapat mengakibatkan kekeruhan lensa mata, yang disebut dengan Katarak Traumatik (Anies, 2006).

Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan


(21)

Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020. Salah satu strategi dalam Renstranas PGPK adalah penguatan advokasi, komunikasi dan sosialisasi pada semua sektor untuk upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan. Upaya sosialisasi ini dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan penglihatan. Upaya advokasi dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dari semua sektor untuk upaya penanggulangan gangguan penglihatan.

Kegiatan Workshop Kesehatan Indera Penglihatan mengenai “Mata Sehat di Segala Usia untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia”, merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan dengan Departemen Mata FKUI/RSCM dan PP Perdami ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Penglihatan Sedunia atau World Sight Day (WSD) 2012 yang diperingati setiap hari Kamis minggu kedua di bulan Oktober setiap tahun. Tahun ini, peringatan WSD 2012 jatuh pada Kamis, 11 Oktober 2012.

WHO tidak menetapkan tema khusus WSD 2012. Masing-masing negara dibebaskan untuk memilih tema sendiri-sendiri sesuai dengan permasalahan utama tentang kesehatan mata yang ingin diangkat oleh negara tersebut. Karena itu, disepakati tema WSD 2012 adalah “Working Together to Eliminate Avoidable Blindness” (Depkes RI, 2012).

Tujuan diperingatinya WSD 2012 di setiap negara di dunia, diantaranya untuk: Meningkatkan pengetahuan masyarakat bahwa masalah kebutaan merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia; Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa


(22)

gangguan penglihatan dan kebutaan ini dapat dicegah, diobati dan direhabilitasi; Mengadvokasi para pemangku kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah agar masalah kebutaan masyarakat mendapat perhatian sehinggga ada alokasi dana untuk program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan (Depkes RI, 2012).

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, dr. Ratna Rosita, MPHM mengatakan, sejak tahun 2000 pemerintah Indonesia bersama-sama WHO telah mencanangkan Vision 2020, the Right to Sight. Program ini bertujuan menghilangkan kebutaan pada tahun 2020 sehingga tercapai penglihatan sempurna di masyarakat. Di Indonesia program ini dikenal sebagai Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di masyarakat. Hal ini merupakan hak bagi setiap warga Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal. Angka kebutaan dan kesakitan mata masih tinggi dibandingkan dengan jumlah tenaga profesional yang masih terbatas dan belum tersebar secara merata. WHO memperkirakan tiap menit terdapat 12 orang menderita gangguan penglihatan di dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap menit terdapat 1 orang menderita gangguan penglihatan (Depkes RI, 2012).

Tingkat kecelakaan kerja dan berbagai ancaman keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Indonesia masih cukup tinggi. Berbagai kecelakaan kerja masih sering terjadi dalam proses produksi terutama di sektor jasa konstruksi.

Berdasarkan laporan International Labor Organization (ILO), setiap hari terjadi 6.000 kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban fatal. Sementara di Indonesia setiap 100 ribu tenaga kerja terdapat 20 korban yang fatal akibat kecelakaan kerja (Metrotvnews, 2013).


(23)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan seluruh pihak harus mulai melakukan upaya dan kerja keras di tahun 2013 agar penerapan sistem manajemen K3 (SMK3) di setiap jenis kegiatan usaha dan berbagai kegiatan masyarakat dapat menekan angka kecelakaan kerja.

Klaim pada PT Jamsostek 2010 mencatat telah terjadi 98.711 kasus kecelakaan kerja. Dari angka tersebut 2.191 orang tenaga kerja meninggal dunia. Dan menimbulkan cacat permanen sebanyak 6.667 orang.

Hasil penelitian Riyadina (2007) tentang kecelakaan kerja dan cedera yang dialami oleh pekerja industri di kawasan industri Pulo Gadung Jakarta, diperoleh hasil kecelakaan kerja sering terjadi pada jenis industri baja yaitu mata kemasukan benda (gram), industri spare part yaitu tertusuk dan industri garmen yaitu tertusuk. faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja pada pekerja industri adalah pekerja laki-laki, aktifitas kerja sedang, status distres, keluhan nyeri, dan pemakaian APD. untuk faktor risiko fisik tempat kerja yang berhubungan dengan kejadian kecelakaan kerja meliputi kebisingan, ruangan terlalu panas, ruang pengapor, bau menyengat, ruang berdebu dan ruang berasap.

Hasil penelitian Sari (2009) tentang prevalensi kebutaan akibat trauma mata di Kabupaten Langkat, menunjukkan hasil faktor ketidaktahuan dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan mata umumnya dan trauma mata pada khususnya merupakan faktor penyebab tingginya prevalensi kebutaan akibat trauma mata. Keadaan ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian besar penduduk setempat.


(24)

Hasil penelitian Aldy (2009) tentang prevalensi kebutaan akibat trauma mata di Kabupaten Tapanuli Selatan, didapatkan hasil faktor ketidaktahuan dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan mata pada umumnya dan trauma mata pada khususnya merupakan faktor penyebab terjadinya trauma mata. Keadaan ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian besar penduduk setempat. Serta faktor budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata dengan cara melakukan pengobatan secara tradisional pada kasus trauma mata.

Menurut penelitian Saharuddin (2011) tentang ketajaman penglihatan ditinjau dari penggunaan kacamata pelindung pada operator las bagian LGPK di UPT Balai Yasa Yogyakarta, menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan yang bermakna antara yang selalu memakai kacamata pelindung terhadap ketajaman penglihatan.

Sinaga (2013), menyatakan tingkat kecelakaan kerja di Indonesia memang masih tinggi. Menurut data tahun 2006, terjadi 95.624 kasus atau dalam sehari terjadi sekitar 398 kecelakaan kerja dan tujuh di antaranya meninggal dunia.

Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Survey Kesehatan Indera tahun 1993 – 1996 menunjukkan 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan disebabkan oleh katarak (52%), glaukoma (13,4%), kelainan refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) dan penyakit mata lain (Purwadianto, 2010).

Indonesia telah mencanangkan tentang pekerja informal diikutsetrakan dalam keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai efektif berlaku pada 1 Januari 2014. Pekerja informal yang berada di golongan miskin akan


(25)

mendapat PBI (Penerimaan Bantuan Iuran) dari pemerintah perorang setiap bulan diperkirakan mencapai Rp. 15.500 (Hidayat, 2013).

Instruksi Walikota Medan Nomor 560/613.K/III/2013 tanggal 21 Maret 2013, ditegaskan, para tenaga kerja honorium daerah termasuk tenaga keamanan maupun kebersihan, wajib mengikutsertakannya dalam program jamsostek. Sebab, selain perusahaan tenaga kerja formal, para pekerja berstatus informal seperti harian lepas, borongan, musiman, perjanjian kerja waktu tertentu dan outsorcing juga tidak lepas dari ketentuan wajib jamsostek (Naibaho, 2013).

Direktur Operasi dan Pelayanan PT Jamsostek, Achmad Anshori, menambahkan kasus kecelakaan kerja di Indonesia cenderung meningkat. Dari data PT Jamsostek selama enam tahun, terjadi sekitar 604.000 kecelakaan kerja dan menyebabkan 10.894 pekerja meninggal dunia. Untuk itu, PT Jamsostek membayar klaim sebesar Rp1,11 triliun untuk santunan kecelakaan kerja selama enam tahun terakhir, ungkapannya.

Tingginya angka kecelakaan kerja ini di sisi lain menunjukkan masih rendahnya penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Karena itu Muhaimin meminta semua pihak termasuk pemerintah daerah untuk meningkatkan penerapan K3. Karena saat ini sistem otonomi daerah memberikan kewenangan dalam menetapkan kebijakan ketenagakerjaan termasuk didalamnya bidang K3 (Rachman, 2013).

Berdasarkan data dari Klinik Mata Yose yang beralamat di Jalan Sisingamangaraja Kecamatan Medan Kota periode Januari sampai Desember 2012,


(26)

peneliti telah melakukan wawancara kepada pihak klinik dalam hal menanyakan berapa banyak orang yang berobat mata khususnya trauma pada mata akibat dari kecelakaan kerja pada tukang las, dan melakukan observasi beberapa hari dari jam 5 sampai jam 8 malam untuk mengetahui pekerja tukang las yang menderita trauma pada mata. Disamping itu peneliti memohon untuk pengambilan data berobat ke klinik tersebut terhadap penyakit trauma pada mata akibat kecelakaan kerja, maka petugas memberikan dan menanyakan maka terdapat sebanyak 142 kasus trauma mata pada pekerja las karbit.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan.

1.4 Hipotesis

Ada hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan.


(27)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagian Hiperkes Kota Medan

Sebagai masukan bagi unit Hiperkes Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Medan, dalam upaya menurunkan angka kejadian trauma pada mata melalui penggunaan alat pelindung diri (APD)

1.5.2 Pemilik Bengkel Las

Sebagai informasi kepada pemilik bengkel las agar lebih mengutamakan kesehatan mata pekerja las, dalam upaya menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk pencegahan trauma mata.

1.5.3 Bagi Pekerja Las

Sebagai informasi kepada pekerja las karbit agar lebih mengutamakan kesehatan mata, dalam upaya melakukan pencegahan dengan menggunakan alat pelindung diri (APD).


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku

2.1.1 Pengertian Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2010) yang mengutip teori Kurt Lewin, bahwa perilaku manusia bukan sekadar respons dan stimulus, tetapi produk dari berbagai gaya psikologis yang disebut ruang hayat (life space). Perilaku merupakan hasil interaksi antara “persons” (diri orang) dengan environment (lingkungan). Persons (diri orang) adalah sesuatu yang kompleks, karena pada saat merespon stimulus atau lingkungan banyak aspek fisiologis dan psikologis pada orang tersebut. Aspek fisik adalah kualitas indra manusia adalah bagian dari orang yang paling pertama kontak dengan stimulus. Kemudian, stimulus yang ditangkap oleh indra tersebut diteruskan ke otak, kemudian otak mengolahnya, setelah itu hasil olahan tersebut diteruskan atau diperintahkan ke anggota tubuh (motorik), dan akhirnya terjadilah tidakan atau perilaku sebagai bentuk respon dari orang yang bersangkutan.

2.1.2 Domain Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2012) yang mengutip pendapat Bloom (1908), membagi perilaku manusia itu kedalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom menyebutkan ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor).


(29)

Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

a. Pengetahuan (Knowledge) 1) Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetauan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

2) Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan. a) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.


(30)

b) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu stuktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun


(31)

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan. Dan sebagainya terhadap suatu materi dan rumusan-rumusan yang telah ada. f) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

1. Baik : Hasil presentase 76%-100% 2. Cukup : Hasil presentase 56%-75% 3. Kurang : Hasil presentase < 56%

3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan (Wawan dan Dewi, 2011) a) Faktor Internal

(1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kea rah cita-cita tertentu yang


(32)

menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.

(2) Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membesonkan, berulang dan tantangan. sedangkan pekerjan umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga

(3) Umur

Menurut Elisbeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1999) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir


(33)

dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang belum tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.

b) Faktor Eksternal

(1) Faktor Lingkungan

Menurut Ann. Mariner yang dikutip Nursalam (2003), lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok

(2) Sosial Budaya

Kebiasaan, nilai-nilai, tradisi-tradisi, sumber-sumber di dalam masyrakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyrakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik secara lambat maupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia.

b. Sikap (attitude) 1) Pengertian Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutip sebagai berikut.


(34)

“An individual’s social attitude is a syndrome of rensponse consistency with regard to social object” (Campbell,1950)

“Attitude entails an existing predisposition to response to social objecs which in interation with situational and other dispositional variables,guides and direct the overt behavior of the individual” (Cardno, 1955)

Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan merupakan reaksi yang bersifat emisional terhadap stimulus sosial.

Newcomb, salah seorang psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reasik terbuka atau tingkah laku yang terbuka.Sikap suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

2) Komponen Pokok Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012) mengutip pendapat Allport (1954), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.


(35)

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketika komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar tentang penyakit campak (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya).

3) Tingkatan Sikap

a) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap imunisasi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang imunisasi.

b) Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berati bahwa orang menerima ide tersebut.

c) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk


(36)

pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang imunisasi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap kesehatan anak.

d) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mengimunisasi anaknya, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

4) CaraPengukuran Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2011) yang mengutip pendapat Azwar (2005), pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuat mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourabel. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula hal-hal negative mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favourabel dan tidak favourabel dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negative yang seolah-olah ini skala memihak atau tidak


(37)

mendukung sama sekali obyek sikap.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaiman pendapat/pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoadmojo, 2003).

Ada beberapa factor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap (Hadi,1971), yaitu: keadaan obyek yang diukur, situasi pengukuran, alat ukur yang digunakan, penyelenggaraan pengukuran, dan pembacaan atau penilaian hasil ukuran.

Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi sosial adalah bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran sikap: antara lain: Skala Thurstone, Likert, Unobstruisive Measures, Analisis Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.

a) Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals)

Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan kontinum dari yang sangat unfavorabel hingga sangat favorabel terhadap suatu obyek sikap. Caranya dengan memberikan orang tersebut sejumlah item sikap yang telah ditentukan derajad favorabilitasnya. Tahap yang pakling kritis dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap dan penghitungan ukuran yang mencerminkan derajad favorabilitas dari masing-masing pernyataan. Ukuran favorabilitas ini disebut nilai skala.


(38)

Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap, pembuat skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar lebih 100 buah atau lebih. Pernyataan-pernyataan itu kemudian diberikan kepada beberapa orang penilai (judges). Penilai ini bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas masing-masing pernyataan. Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui titik skala rating yang rentang 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Sangat setuju. Tugas penilai ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya mereka terhadap pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan penilaian antar penilai terhadapaitem ini kemudian dijadikan sebagai skala nilai masing-masing aitem. Pembuat skala kemudian menyusun aitem mulai dari aitem yang memiliki nilai skala rendah hingga tertinggi. Dari aitem-aitem tersebut, pembuat skala kemudian memilih aitem-aitem untuk kuisioner skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini kemudian dibreikan pada responden. Responden diminta untuk menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada masing-masing aitem tersebut.

Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-asumsi: ukuran sikap seseorang itu dapat digambarkan dengan interval skala sama. Perbedaan yang sama pada suatu skala mencerminkan perbedaan yang sama pula dalam sikapnya. Asumsi kedua adalah Nilai skala yang berasal dari rating para penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai terhadap issue. Penilai melakukan rating terhadap item dalam tataran yang sama terhadap


(39)

issue tersebut.

b) Skala Likert (Method of Summateds Ratings)

Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternative yang lebih sederhana disbandingkan dengan Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri dari 11 point disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu yang favorabel dan yang unfavorabel. Sedangkan item yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atau disegreemen-nya untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point ( Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju). Semua aitemyang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk Sangat Setuju nilainya 5 dan untuk yang Sangat Tidak Setuju nilainya 1. Sebaliknya untuk aitem unfavorabel nilai skala Sangat Setuju adalah 1 sedangkan untuk Tidak Setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert disusun dan diberikan skor sesuai dengan skala interval sama (equal-interval scale)

c) Unobstrusive Measures

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pernyataan.

d) Multidimensional Scaling


(40)

dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabka asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensial kurang valid treutama apabila diterapkan pada orang lain, lain isu, dan skala lain aitem.

e) Pengukuran Involuntary Behavior (Pengukuran terselubung)

(1) Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden

(2) Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan responden

(3) Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang bersangkutan.

(4) Obeserver dapat menginterpresentasikan sikap individu mulai dari fasial reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainnya.

5) Faktor-faktor yang Memengaruhi Sikap

Menurut Wawan dan Dewi, 2011) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap obyek sikap antara lain:

a) Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang


(41)

melibatkan factor emosional.

b) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keninginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

c) Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang member corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

d) Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya factual disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

e) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan system kepercayaan, tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.


(42)

f) Faktor Emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataanyang disadari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentk mekanisme pertahanan ego. (Azwar, 2005)

c. Praktik atau tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya.

Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua, dan lain-lain. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.

1) Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, dan segalanya

2) Mekanisme (mecanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai


(43)

praktik tingkat kedua. Misalnya, seorang ibu yang sudah mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

3) Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiata-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).

Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengopservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran praktik (overt behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut.

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2012) yang mengutip pendapat para ahli (Green, 1980; Kar (1983); dan WHO (1984)), dapat disimpulkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor.

a. Teori Lawrence Green

Perilaku ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor:

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan nilai-nilai dan sebagainya.


(44)

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Misalnya : puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

b. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

c. Ada atau tida adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information).

d. Otonomi pribadi, yang bersangkutan dalam hal inimengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy).

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

c. Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok.


(45)

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).

2) Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. 3) Kepercayaan

Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan atau tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

4) Sikap

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi suatu objek.

5) Orang penting sebagai referensi (personal reference).

Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang-orang itu dipercaya, maka apa yang dikatakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok referensi (reference group), antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya. 6) Sumber-sumber daya (resources)

Sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.


(46)

Misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.

7) Kebudayaan (culture), kebiasaan, nilai-nilai, tradisi-tradisi, sumber-sumber di dalam masyrakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyrakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik secara lambat maupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia.

2.2 Kepatuhan

Sackett (1976) dalam Niven (2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Sedangkan menurut Sarafino dalam Bart Smet (1994) kepatuhan atau ketaatan (complience atau andherance) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain.

Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2000), faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien antara lain :

a. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.


(47)

b. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan social

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan program-program pengobatan.

d. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

e. Meningkatkan Interaksi profesional kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan informasi tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

Menurut skiner ( 1938 ) dalam Notoatmojo ( 2007 ) bahwa kepatuhan minum obat pada penderita merupakan suatu perilaku terbuka (overt behaviour ). Perilaku tersebut muncul akibat adanya operant respont atau instrumental respon yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah mengkonsumsi obatobatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan


(48)

hanya akan efektif apabila penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat (Kusbiyantoro, 2002).

2.3 Konsep Dasar Alat Pelindung Diri 2.3.1 Pengertian Alat Pelindung Diri

Adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya Mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya ditempat kerja. APD di pakai setelah (Enggineering) dan cara kerja yang aman (Work Praktices) telah Maksimum.

2.3.2 Alat Pelindung Diri (Alat Pelindung Muka dan Mata)

Perlindungan muka dan mata merupakan persyaratan mutlakyang harus dikenakkan pemakaian saat bekerja di laboratorium terutama saat bekerja dengan bahan kimia untuk melindungi mata dan wajah dari tumpahan bahan kimia, uap kimia dan radiasi. Secara umum pelindungan mata dan wajah terdiri atas kaca mata pelindung, goggle, pelindung wajah dan pelindung mata khusus yaitu goggle yang menyatu dengan masker khusus untuk melindungi mata dan wajah dari radiasi dan bahaya mata laser.

Secara umum fungsi alat pelindungan muka dan mata (face shield) yaitu melindungi muka dan mata dari : lemparan benda-benda kecil, lemparan benda-benda panas, pengaruh cahaya, pengaruh radiasi tertentu, perlindungan mata dan muka.

Ada pun syarat-syarat alat pelindung muka dan mata adalah : tahan terhadap api, tahan terhadap lemparan benda-benda, dan alat pelindung mata terhadap radiasi.


(49)

Mata sangat potensial untuk terkena bahaya pada saat anda bekerja. Mata anda dapat terluka oleh partikel yang terbang dari mesin yang sedang beroperasi seperti kepingan logam atau kayu atau debu.

Pembakaran atau bahan-bahan yang mengandung racun dari bahan-bahan kimia juga membahayakan mata anda. Zat asam korosive atau zat alkalis, serta cairan pelarut juga dapat menimbulkan sakit dan luka untuk waktu yang lama.

Bahaya mata yang lain adalah radiasi pembakaran. Cahaya pada saat pengelasan salah satu contohnya. Gelombang industri mikro dan laser juga type lain dari bahaya radiasi. Bahaya-bahaya seperti ini dan bahaya lainnya menuntut anda untuk selalu memakai alat pelindung mata pada saat bekerja.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mimilih jenis kaca mata yang tepat untuk jenis bahaya yang ada ditempat kerja anda. Untuk hal ini maka supervisor anda akan menjelaskan jenis kaca mata apa yang harus anda pakai saat bekerja dan dalam keadaan apa anda harus menyimpannya.

Berikut contoh-contoh alat pelindung mata: a. Safety Glasses

Adalah kaca mata keselamatan. Kacamata ini kelihatannya hampir sama dengan kacamata biasa, namun terbuat dari bahan yang tahan tehadap tubrukan sehingga melindungi mata dari adanya benda yang terbang mengenai mata. Jenis kacamata ini juga sering di pakai bersama-sama dengan alat pelindung muka samping kiri kanan.


(50)

b. Goggles

Jenis kaca mata ini melindungi mata dari adanya percikan cairan-cairan kimia atau dari tubrukan benda-benda yang terbang yang bisa merusak mata. Pastikan bahwa anda memakai jenis kacamata yang sesuai dengan jenis pekerjaan anda sebab untuk jenis kacamata ini banyak disesuaikan dengan tingkat perlindungan yang diberikan.

c. Shaded Eyewear

Adalah sejenis kaca mata gelap atau bayangan. Kacamata ini melindungi mata dari radiasi pembakaran. Disamping itu diperlukan kacamata keselamatan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di ruang atau lapangan terbuka. Helm tukang las memiliki kaca pelindung gelap / bayangan dan bagi siapa saja yang bekerja didekat tempat pengelasan harus memakai shaded glasses ( kacamata gelap) utuk melindungi mata dari radiasi pembakaran.

d. Face shields dan Head Coverings

Adalah alat pelindung muka dan penutup kepala. Untuk jenis pekerjaan tertentu diperlukan adanya penutup muka dan kepala selain alat pelindung mata yang diperlukan.

Berikut adalah beberapa tip untuk melindungi mata:

a. Pilihlah jenis kaca mata yang tepat untuk jenis bahaya yang ada ditempat kerja anda. Untuk hal ini maka supervisor anda akan menjelaskan jenis kaca mata apa yang harus anda pakai saat bekerja dan dalam keadaan apa anda harus menyimpannya.


(51)

b. Jauhi bahaya-bahaya yang mungkin ada. Dan untuk mencapai hal ini maka diperlukan adanya pengatauran yang baik ditempat kerja.

c. Pasang pengaman mesin yang berfungsi untuk melindungi mata anda dari potongan-potongan kayu atau serpihan logam. Sementara system exhaust akan menghilangkan partikel-partikel yang berbahaya dari udara dan pengaman cairan berfungsi untuk melindungi anda dari cairan-cairan yang berbahaya dan layar melindungi mata dari bahaya radiasi cahaya.

d. Waspadalah terhadap bahaya-bahaya lain yang mengancam keselamatan mata anda serta bacalah label dan MSDS ( Materi Safety Data Sheet ) sebelum memakai zat-zat kimia. Patuhilah petunjuk keselamatan yang tercantum dalam MSDS. e. Ketahuilah bagaimana cara mengobati luka di mata. Untuk itu pelajari terlebih

dahulu di mana tempat pencuci mata dan cara pengoperasiannya. Sebab mungkin dan perlu memakainya pada saat anda terkena percikan cairan kimia, dan bila mendapat luka di mata maka lakukan tindakan pertolongan pertama yang cepat dan tepat. Namun meskipun anda yakin telah melakukan tindakan yang benar, anda harus mencari pengobatan lebih lanjut terhadap luka di mata tersebut

2.3.3 Syarat-syarat Alat Pelindung Diri (APD)

Adapun syarat-syarat dari Alat Pelindung Diri (APD) adalah: a. Enak dipakai

b. Tidak mengganggu kerja


(52)

2.4 Pekerja Las Karbit Beresiko Trauma Mata

Usaha pengelasan merupakan salah satu sektor informal yang mempunyai tingkat bahaya dan berisiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja dan timbulnya penyakit akibat kerja. Pekerjaan ini berhubungan dengan penggunaan alat-alat pengelasan yang menghasilkan suhu tinggi, pencahayaan dengan intensitas tinggi, kebisingan (noise).

Disamping itu, akan terjadi pula percikan-percikan api dan kerak-kerak logam pada pemotongan berbagai logam. Semua keadaan ini dapat menimbulkan bahaya kecelakaan atau Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti terbakar, penyumbatan saluran pernafasan/paru-paru, sakit mata atau bahkan bisa menimbulkan kebutaan dan cacat permanen. Selain pekerja pengelasan itu sendiri, bahaya pengelasan juga bisa mengenai orang yang berada disekitar lingkungan bengkel las, sebagai contoh sederhana penglihatan seseorang bisa terganggu apabila terkena percikan api pengelasan (Bastiansyah, 2008).

Konstruksi las banyak sekali digunakan, pelaksanaan pekerjaan las makin besar sehingga kecelakaan-kecelakaan yang berhubungan dengan pengelasan menjadi makin banyak. Kecelakaan umumnya disebabkan kurang kehati-hatian pada pengerjaan las, pemakaian alat pelindung yang kurang benar, pengaturan lingkungan yang tidak tepat. Untuk menghindari kecelakaan tersebut, perlu penguasaan tertentu dan mengetahui tindakan-tindakan yang menyebabkan faktor-faktor tersebut (Bastiansyah, 2008).


(53)

2.5 Konsep Dasar Trauma Mata 2.5.1 Pengertian Trauma Mata

Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan atau rongga orbita karena adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai mata dengan keras/cepat ataupun lambat.

Trauma mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan akan dapat mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan (Ilyas, 2008).

2.5.2 Klasifikasi Trauma Mata

Menurut Ilyas (2008), mengatakan bahwa trauma mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:

a. Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang tidak keras, selain daripada datang dengan keras ataupun lambat mengenai mata. Kelainan yang dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata dapat memberikan kelainan pada kelopak, konjugtiva, kornea, uvea, lensa, retina dan saraf optik.

b. Trauma Tembus Bola Mata

Trauma tembus dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva saja. Bila robekan konjungtiva ini kecil atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak perlu dilkukan penjaitan. Bila konjungtiva lebih dari 1 cm diperlukan tindakan penjahitan untuk mencegah terjadinya granuloma. Pada setiap robekan konjungtiva perlu


(54)

diperhatikan tidak terdapatnya robekan sklera bersama-sama dengan robekan konjungtiva.

Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk dalam bola mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan yang menurun, tekanan bola mata rendah, bilik mata bengkak, bentuk dan letak pupil yang berubah, terlihat adanya ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan yang proplaps dan konjungtiva kemotis.

c. Trauma Kimia

Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian dan peperangan memakai bahan kimia di abad modern. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang segera harus dilakukan untuk mencegah memberikan penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam fisiologik atau air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15 – 30 menit. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk traum asam dan trauma basa atau alkali.

d. Trauma Radiasi

Yulianti dan Ilyas (2011), Trauma pada mata dapat disebabkan oleh trauma radiasi yang sering ditemukan adalah trauma sinar inframerah, trauma sinar ultraviolet dan trauma Sinar X dan sinar terionisasi


(55)

1) Trauma Sinar Infra Merah

Akibat sinar intra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari dan pada saat bekerja dipemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar intramerah terlihat. Kaca yang mencair seperti yang ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar intra merah. Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama satu menit didepan kaca yang mencair dan pupilnya lebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak 9 derajat Celcius. Demikian pula iris yang mengapsorpasi sinar intra merah akan panas sehingga akan berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorpsi sinar intra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul lensa.

Akibat sinar ini pada lensa maka katarak maka mudah terjadi pada pekerja industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar intra merah akan mengakibatkan keratitis superficial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada koroid.

Bergantung pada beratnya lesi akan terjadi skotoma sementara ataupun permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar intra merah ini. Steroid sistemik dan local diberikan untuk mencegah tebentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul.

2) Trauma Sinar Ultra Violet (Sinar Las)


(56)

mempunyai panjang gelombang antara 350-295 nm.

Sinar ultra violet banyak terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari diatas salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea.

Sinar ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap.

Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik.

Kornea akan menunjukkan adanya infiltrate pada permukaannya, yang kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluoresein positif. Keratitis terutama pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat bersifat akibat efek kumulatif sinar ultra violet sehingga gambaran keratitisnya menjadi berat.

Pengobatan yang diberikan adalah skloplegia, antibiotika local, analgetik, dan mata ditutup selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam.


(57)

oleh sinar ultra ungu atau memakai kacamata yang tidak tembus sinar tersebut. Sinar ultra ungu dari matahari dengan panjang gelombang 290-320 nm adalah penyebab dari kanker kulit terutama bagi kulit yang kandungan pigmennya rendah (Sumakmur, 2009).

Menurut Sumakmur (2009) yang mengutip Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 5/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004, NAB radiasi sinar ultra ungu 0,1 mikroWatt/ cm2

Tabel 2.1 Waktu Paparan yang Diperkenankan Menurut Intensitas Radiasi Sinar Ultra Ungu

. Dalam hal intensitas sinar ultra ungu di tempat kerja melebihi NABnya.

Eradiasi Efektif (mikroWatt/ cm2) Waktu Paparan per Hari

0,2 4 jam

0,4 2 jam

0,8 1 Jam

1,7 30 menit

3,3 15 menit

5 10 menit

10 5 menit

50 1 menit

100 30 detik

300 10 detik

3000 1 detik

6000 0,5 detik

30000 0,1 detik

Radiasi sinar ultra unga diukur dengan alat radiometer sinar ultra ungu yang dengannya intensitas sinar ultra ungu dapat dibaca secara langsung. Alat tersebut potabel, kisaran panjang gelombang antara 180-400 nm, dan mampu


(58)

mengukur energi radiasi dari 0 sampai 19.990 mikroWatt/ cm2dengan resolusi 0,1 mikroWatt/ cm2. Sebelum digunakan radiometer sinar ultra ungu harus dikalibarasi. Suhu tempat kerja yang sinar ultra ungunya akan diukur harus antara 0 sampai 40o

Menurut Ilyas (2005), gambaran klinik akibat radiasi sinar ultra violet adalah akan terdapat keluhan fotofobia, blefarospasme, lakrimasi pada jam pertama sesudah kontak dengan sinar ini. Keluhan ini dapat timbul sesudah beberapa jam terkena sinal ultraviolet, terdapat infiltrate kecil pada kornea berupa keratitis interpalpebra, keratritis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama, kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea.

C.

3) Sinar Ionisasi dan Sinar X

Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk : sinar alfa yang dapat diabaikan, sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan, sinar gama dan sinar X. Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis karaktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan lebih peka. Akbat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak menjadi jarang.

Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan diabetes mellitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris mata, dan eksudat. Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang


(59)

mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Biasanya akan terlihat sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringann. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topical dengan steroid 3 kali sehari dan siklopegik satu kali sehari. Bila terjad isimblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.

2.5.3 Komplikasi Trauma Mata

Menurut Yulianti dan Ilyas (2011) dapat disimpulkan bahwa trauma mata dapat mengakibatkan beberapa kelainan pada mata:

a. Glaukoma Sekunder Pasca Trauma

Trauma dapat mengakibatkan kelainan jaringan dan susunan jaringan di dalam mata yang dapat mengganggu pengaliran cairan mata sehingga menimbulkan glaucoma sekunder. Jenis kelainan yang dapat menimbulkan glaucoma adalah konstusi sudut.

b. Glaukoma Kontusi Sudut

Trauma dapat mengakibatkan tergesernya pangkal iris ke belakang sehingga terjadi robekan trubekulum dan gangguan fungsi trubekulum dan ini akan mengakibatkan hambatan pengaliran keluar cairan air mata.

Pengobatan biasanya dilakukan seperti mengobati glaucoma sudut terbua yaitu dengan obat lokal atau sistemik. Bila tidak terkontrol dengan pengobatan maka dilakukan pembedahan.


(60)

c. Glaukoma Dengan Dislokasi Lensa

Akibat trauma tumpul data terjadi putusnya zonula zinn, yang akan mengakibatkan kedudukan lensa tidak normal. Kedudukan lensa tidak normal ini akan mendorong iris ke depan sehingga terjadi penutupan sudut bilik mata. Penutupan sudut bilik mata akan menghambat pengaliran keluar cairan mata sehingga akan menimbulkan glaucoma sekunder. Pengobatan yang dilakukan adalah mengangkat penyebab atau lensa sehingga sudut terbuka kembali.

2.5.4 Pencegahan Trauma Mata

Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata sendiri :

a. Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma tumpul perkelahian

b. Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam. c. Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti

bahan apa yang ada di tempat kerjanya.

d. Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kaca mata.


(61)

2.6 Landasan Teori

Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2012) yang mengutip pendapat Green (1980), dapat disimpulkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor:

Gambar 2.1. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

- Kepercayaan - keyakinan nilai-nilai

Faktor Pendukung (Enabling Factors),

- Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan

Faktor Pendorong (Reinforcing Factors) - perilaku petugas kesehatan


(62)

2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan Landasan Teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan Kerangka Konsep Penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep menggambarkan bahwa variabel independen yaitu variabel pengetahuan, sikap, sarana dan prasarana pekerja las karbit dan variabel dependen penggunaan alat pelindung diri.

Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) - Pengetahuan

- Sikap

Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada

Pekerja Las Faktor Pendukung (Enabling Factors),

- Tersedianya kaca mata pelindung

Faktor pendorong (reinforcing factors) - Perilaku Pemilik/Manager


(63)

2 2

/ (1 )

d P P Z

n= a × −

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan cross sectional adalah merupakan penelitian dimana mencari pengaruh antara variabel bebas (pengetahuan, sikap, tersedianya kaca mata pelindung, perilaku pemilik/manager, bagian Balai K3) dengan variabel terikat (penggunaan alat pelindung diri) dengan pengukuran atau pengamatan dilakukan pada waktu yang bersamaan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Medan Kota tahun 2013. Alasan pemilihan lokasi dilakukan atas pertimbangan adanya kasus trauma mata pada tahun 2012 sebanyak 40 orang. Penelitian ini pada bulan Mei 2013.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja las karbit yang bekerja pada bengkel las di Kecamatan Medan Kota Pemerintah Kota Medan.

3.3.2 Sampel

Menurut Kasjono dan Kristiawan (2009), Penentuan perkiraan besar sampel (n) untuk studi Cross Sectional adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


(64)

Keterangan:

P = Proporsi atau Prevalensi (jika tidak diketahui, gunakan P = 50%) Zα/2

d = Presisi absolut yang diinginkan (d = 0,1)

= Distribusi nilai Z pada tingkat kemaknaan (α = 0,95)

n = Besar sampel yang dibutuhkan

jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah :

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara langsung langsung dengan responden dengan menggunakan kuesioner yaitu telah disusun berdasarkan variabel independen (pengetahuan, sikap, ketersediaan kaca mata pelindung, perilaku pemilik bengkel las, Balai K3 Disnakertrans Kota Medan) dan variabel dependen adalah pengguanaan Alat Pelindung diri pada penderita trauma mata.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari laporan-laporan, catatan atau dokumen dari Dinas Kesehatan Pemerintahan Kota Medan dan dari data Puskesmas Medan Kota yang berhubungan dengan penelitian.

2 ) 1 , 0 ( 5 , 0 5 , 0 96 ,

1 × ×

= n

49 = n


(65)

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas

Berdasarkan pendapat Machfoedz (2010), disimpulkan bahwa Uji validitas kuesioner dengan menggunakan uji Korelasi Product Moment.

Teknik ini bertujuan untuk menguji apakah tiap item pertanyaan dalam kuesioner benar-benar dapat mengukur faktor yang akan diukur dan konsisten menyatakan hasil ukur, dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel

Nilai r

, maka dinyatakan valid atau sebaliknya.

tabel

1. Nilai r hitung ≥ 0,361 dikatakan valid

untuk 30 responden yang diuji coba adalah sebesar 0,361, ketentuan kuesioner dikatakan pada penelitian ini, jika :

2. Nilai r hitung < 0,361 dikatakan tidak valid

Berdasarkan pendapat Azwar (2005), dapat disimpulkan bahwa Uji Reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis ketepatan suatu alat ukur dengan ketentuan, jika ralpha > rtabel maka dinyatakan reliabel atau sebaliknya. Nilai rtabel

Pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner direncanakan pada 30 pekerja las karbit di wilayah Kecamatan Medan Maimun.

untuk reliabilitas adalah 0,6.

Tabel 3.1 di bawah menunjukkan nilai Corrected item-Total correlation (rhitung) lebih besar dari rtabel yang besarnya 0,361, artinya kedelapan pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel pengetahuan semuanya valid. Nilai Cronbach’s Alpha adalah 0,852 yaitu lebih besar dari 0,6. Berarti kedelapan pertanyaan tersebut dinyatakan reliabel sebagai alat ukur.


(66)

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan

Variabel Pengetahuan

o Pertanyaan

Corrected item-Total correlation

Ha sil Uji

Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata yang disebabkan...

0

0,511 Val

id Percikan api dan serpihan besi

dari las karbit yang mengenai mata adalah...

0

0,416 Val

id Terkena cahaya yang dari alat

las karbit bisa menyebabkan... 0

0,827 Val

id Akibat dari trauma mata

adalah... 0

0,370 Val

id Jenis Kaca mata pelindung yang

digunakan... 0

0,475 Val

id Penggunaan kaca mata

pelindung... 0

0,610 Val

id Pencegahan kerusakan mata

bisa dilakukan dengan menggunakan...

0

0,827 Val

id Cahaya yang dihasilkan oleh las

karbit... 0

0,700 Val

id

Cronbach’s Alpha = 0,852

Tabel 3.2 di bawah menunjukkan nilai Corrected item-Total correlation (rhitung) lebih besar dari rtabel yang besarnya 0,361, artinya keenam pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel sikap semuanya valid. Nilai Cronbach’s Alpha adalah 0,842 yaitu lebih besar dari 0,6. Berarti keenam pertanyaan tersebut dinyatakan reliabel sebagai alat ukur.


(67)

Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap

Variabel Sikap

o Pertanyaan

Corrected item-Total correlation H asil Uji

Kaca mata pelindung harus

selalu digunakan pada saat bekerja. 0 0,508

V alid Kaca mata pelindung harus

dipakai oleh setiap pekerja las karbit tanpa kecuali

0 0,582

V alid Kaca mata pelindung tidak

hanya bagi orang-orang yang matanya tidak tahan terhadap cahaya

0 0,510

V alid Menggunakan kaca pelindung

sangat menganggu saat bekerja. 0 0,863

V alid Kaca mata pelindung hanya

dipakai pada saat bekerja untuk las karbit saja.

0 0,802

V alid Tidak perlu menggunakan kaca

mata pelindung karena serpihan besi tidak akan mengenai bola mata

0

0,802 V

alid

Cronbach’s Alpha = 0,842

Tabel 3.3 di bawah menunjukkan nilai Corrected item-Total correlation (rhitung) lebih besar dari rtabel yang besarnya 0,361, artinya keempat pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel perilaku pemilik bengkel las semuanya valid. Nilai Cronbach’s Alpha adalah 0,871 yaitu lebih besar dari 0,6. Berarti keempat pertanyaan tersebut dinyatakan reliabel sebagai alat ukur.


(1)

Perilaku pemilik bengkel las merupakan faktor pendorong bagi pekerja las dalam pengguanaan alat pelindung diri terutama menggunakan kaca mata pelindung saat bekerja. Pekerja patuh untuk menggunakan kaca mata pelindung karena pemilik bengkel las membuat suatu peraturan dan melakukan pemantauan serta memberikan sanksi bagi mereka yang tidak mau menggunakan kaca mata pelindung.

Sebagian dari pemilik bengkel las di Kecamatan Medan Kota ada memberikan penjelasan pada pentingnya penggunaan kaca mata pelindung, kemudian menetapkan peraturan, memantau pelnggunaan kaca mata pelindung pada setia pekerja dan juga memberikan sanksi pada pekerja las yang tidak menau menggunakan kaca mata pelindung saat bekerja.

Beberapa Pemilik bengkel las hanya memberikan penjelasan tentang pentingnya penggunaan kaca mata pelindung, namun tidak sepenuhnya memantau penggunaannya dan juga tidak memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung yang sesuai dengan ketentuan pada saat mereka bekerja.

Teori Green (1980), yaitu faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan Faktor Predisposisi

Pengetahuan pekerja las sebagian besar tidak baik namun masih ada yang berpengetahuan baik, sedangkan pada sikap ternyata masih banyak juga yang bersikap negatif terhadap pemakaian kaca mata pelindung pada saat bekerja.

2. Berdasarkan Faktor Pendukung

Sebagian besar bengkel las menyediakan kaca mata pelindung kepada pekerja las, namun belum semua bengkel las menyediakan kaca pelindung. Hal ini menunjukkan bahwa untuk faktor pendukung sudah baik

3. Berdasarkan Faktor Pendorong

Perilaku pemilik bengkel, sebagian memberikan penjelasan tentang pentingnya kaca mata pelindung, memantau penggunaan kaca mata pelindung dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung saat bekerja. Namun masih ada pemilik bengkel yang hanya memberikan penjelasan saja, tidak memantau penggunaan dan tidak memberikan sanksi kepada pekerja las yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja.

6.2. Saran

1. Kepada pihak pemilik bengkel las harus menyediakan kaca mata pelindung dan memberikan penjelasan kepada pekerja tentang pentingnya penggunaan kaca mata


(3)

pelindung guna untuk mencegah trauma pada mata.

2. Kepada pihak pemilik bengkel las harus melakukan pemantauan, memberikan peringatan dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja khususnya trauma pada mata.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aldy, F., 2009. Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Anies., 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular, Solusi Pecegahan dari Aspek Perilaku dan Lingkungan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Azwar, S., 2005. Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bastiansyah, Eko., 2008. Panduan Lengkap Membaca Hasil Test Kesehatan, Jakarta: Penebar Blus.

Dahlan, M.S., 2009. Statistik untuk Kdokteran dan Kesehatan, Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS, Edisi 4, Jakarta: Salemba Medika.

Ilyas, H.S., 2005. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI. ., 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI.

Kasjono, H.H.S dan Kristiawan, H.B., 2009. Intisari Epidemiologi. Yogyakarta: Nuha Offset.

Machfoedz, I., 2008. Statistik Nonparametrik, Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran, Yogyakarta: Fitramaya.

Machfoedz, I., 2010. Metodologi Penelitian (Kuantitatif dan Kualitatif) Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran, disertai Contoh KTI, Skripsi, Tesis, Yogyakarta: Fitramaya.

Metro TV., 2013. Kecelakaan Kerja di Indonesia masih Tinggi. Diakses 9 Juli 2013.

Naibaho, Yuni., 2013. Seluruh Perusahaan di Medan Wajib Jamsostek. Diakses 2 Mei

Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta: Rineka Cipta.


(5)

_____________., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. _____________., 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka

Cipta.

Nursalam., 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Edisi 2, Jakarta: Salemba Medika.

Oliez, Muhammad., 2013. Pekerja Informal akan dimasukkan BPJS. Diakses 2 Mei 2013. http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/14/34/737932/pekerja-informal-akan-dimasukkan-bpjs.

Purwadianto, A., 2010. Gangguan Penglihatan Masih Menjadi Masalah Kesehatan. Diakses 27 Maret 2013; http://www.depkes.go.id/index.php/ berita/press-release/845-gangguan-penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.html. Rachman, T., 2013. Angka Kecelakaan Kerja Masih Tinggi. Diakses 27 Maret

2013;http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/07/lsp4gg-angka-kecelakaan-kerja-masih-tinggi.

Riyadina, W., 2007. Kecelakaan Kerja Dan Cedera Yang Dialami Oleh Pekerja Industri Di Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta. Diakses 25 Januari 2013;

Rosita, R., 2011. Sesjen Resmikan Pembangunan Rumah Sakit Jakarta Eye Center. Diakses 25 Januari 2013;

Sabri, L dan Hastono, S.P., 2008. Statistik Kesehatan, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Saharuddin., 2011., Ketajaman Penglihatan ditinjau dari Pengguanaan Kaca Mata Pelidung pada Operator Las Bagian LGPK di UPT Balai Yasa Yogyakarta. Sari, K., 2009. Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata di Kabupaten Langkat. Setiawati, S dan Dermawan, A.C., 2008. Proses Pembelajaran dalam Pendidikan

Kesehatan, Jakarta: Trans Info Media.

Sinaga, H., 2013. Depnakertrans-PT Jamsostek Tekan Angka Kecelakaan Kerja (Ekonomi dan Keuangan). Diakses 27 Maret 2013;


(6)

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=40482

Sumakmur., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto.

Supriyantoro., 2012. Mata Sehat di Segala Usia untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia. Diakses 25 Januari 2013; http://www.depkes.go.id /index.php

/berita/press-release/2082-mata-sehat-di-segala-usia-untuk-peningkatan-kualitas-hidup-masyarakat-indonesia.html.

Wawan, A dan Dewi M., 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia, Yogyakarta: Nuha Medika.

Yulianti, S.R dan Ilyas, H.S., 2011. Ilmu penyakit Mata, Edisi keempat. Jakarta: FKUI.


Dokumen yang terkait

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja &quot;Stimulasi&quot; di Unit Penderesan PT. Socfin Indonesia Tanah Besih Tahun 2014

9 102 115

Perilaku Tentang Pemakaian Alat Pelindung Diri Serta Keluhan Kesehatan Petugas Penyapu Jalan Di Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan

0 21 7

Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis Di Kota Pekanbaru Tahun 2008

1 46 68

Gambaran Faktor-Faktor Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja di Departemen Metalforming PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2014

1 12 100

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

2 29 157

Identifikasi bahaya dan gambaran perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja Laundry di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta Tahun 2013

11 86 142

Alat pelindung diri

0 0 1

ALAT PELINDUNG DIRI UNTUK PEKERJA APD (1)

0 0 4

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Hubungan Determinan yang Memengaruhi Perilaku Pekerja Las Karbit dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk Mencegah Trauma Mata di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013

0 0 8

HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN TAHUN 2013

0 0 17