33
Tabel IV. Penggunaan kortikosteroid pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013
Golongan Jenis Obat
Jumlah Kasus n=25
Persentase
Kortikosteroid Deksametason
24 96
Metilprednisolon 3
12 Flutikason
3 12
Budenosid 2
8 Prednison
1 4
Triamsinolon 1
4
c. Vitamin dan mineral
Penggunaan vitamin dan mineral pada penelitian ini adalah 100 dari total kasus yang diteliti. Elektrolit dan mineral yang diberikan secara
intravena banyak digunakan pada pasien asma anak karena bertujuan untuk mencegah dehidrasi pada pasien, sementara multivitamin berfungsi
untuk pemeliharaan kondisi tubuh pasien. Distribusi penggunaan obat vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel V.
Tabel V. Penggunaan vitamin dan mineral pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang
periode Juli-Desember 2013 Golongan
Jenis Obat Jumlah Kasus
n=25 Persentase
Elektrolit dan mineral KAEN 1B
®
20 80
RL
®
5 20
KAEN 3A
®
1 4
Multivitamin Proza
®
1 4
Vitamin dan mineral pediatrik Biostrum
®
1 4
34
d. Antiinfeksi
Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi digunakan sebanyak 76 pada total kasus yang diteliti. Obat yang digunakan untuk
pengobatan infeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik. Penggunaan antibiotik umumnya ditujukan untuk mencegah maupun
mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Penggunaan antibiotik pada pasien asma anak tidak disarankan jika anak tidak mengalami demam
Global Initiative for Asthma, 2014; World Health Organization, 2013. Distribusi penggunaan obat antiinfeksi pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel VI.
Tabel VI. Penggunaan obat antiinfeksi pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang
periode Juli-Desember 2013 Golongan
Jenis Obat Jumlah Kasus
n=25 Persentase
Penisilin Amoxicillin
1 4
Sefalosporin Ceftriaxon
6 24
Ceftazidim 2
8 Aminoglikosida
Gentamisin 8
32 Amikasin
1 4
Makrolida Azitromisin
1 4
Spiramisin 3
12 Kloramfenikol
Tiamfenikol 1
4
e. Sistem saraf pusat
Penggunaan obat sistem saraf pusat adalah sebanyak 20 pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan adalah parasetamol yang
merupakan analgesik dan antipiretik. Parasetamol merupakan analgesik
35
dan antipiretik yang memiliki potensi yang mirip dengan NSAID, namun tidak memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi Jozwiak-Bebenista and
Nowak, 2014.
f. Alergi dan sistem imun
Antihistamin bekerja dengan menghambat aksi histamin pada reseptor histamin Nugroho, 2011. Obat golongan antihistamin yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cetirizin HCl yang umum digunakan pada pengobatan asma alergi Nugroho, 2011 dan triprolidin
yang keduanya merupakan H-1 blocker. Triprolidin merupakan antihistamin H-1 generasi pertama, sementara cetirizin merupakan
generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya tidak digunakan pada pasien asma karena memiliki aksi antimuskarinik yang dapat
menyebabkan efek mulut kering dan penggunaan obat ini dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan gejala penyempitan bronkus Scoor,
2012; Balsamo, Lanata, and Egan, 2010; Camelo-Nunes, 2006. Distribusi penggunaan obat alergi dan sistem imun dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VII. Penggunaan obat alergi dan sistem imun pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang
periode Juli-Desember 2013 Golongan
Jenis Obat Jumlah Kasus
n=25 Persentase
Antihistamin dan antialergi Triprolidin
1 4
Cetirizin HCl 1
4
36
g. Sistem gastrointestinal dan hepatobilier
Obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier digunakan sebanyak 12 pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan yaitu ranitidin
yang termasuk dalam kelompok obat antasida, obat antirefluks dan ulserasi. Ranitidin merupakan H-2 blocker yang bekerja dengan
menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H-2 pada sel parietal mukosa lambung Nugroho, 2011. Umumnya obat golongan ini
digunakan untuk
pengobatan pada
tukak peptik
dan refluks
gastrointestinal. L-Bio
®
merupakan digestan yang diindikasikan untuk memelihara kesehatan fungsi saluran pencernaan. Distribusi penggunaan
obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier dapat dilihat pada tabel VIII.
Tabel VIII. Penggunaan obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas
Palembang periode Juli-Desember 2013 Golongan
Jenis Obat Jumlah Kasus
n=25 Persentase
Antasida, obat antirefluks, dan ulserasi
Ranitidin 2
8 Digestan
L-Bio
®
1 4
2. Rute Pemberian Obat
Gambaran umum penggunaan obat berdasarkan rute pemberian dapat dilihat pada tabel IX. Seluruh kasus dalam penelitian ini menggunakan obat
dengan rute pemberian enteral maupun parenteral. Obat yang diberikan secara enteral yang diberikan dalam penelitian ini umumnya adalah obat yang bersifat
37
sebagai controller maupun obat untuk mengurangi gejala asma yang diberikan secara per oral. Obat parenteral digunakan karena kondisi pasien yang umumnya
dirawat inap karena serangan asma sehingga pemberian oral sulit dilakukan. Obat parenteral diberikan karena dapat memberikan efek yang cepat. Rute parenteral
intravena diberikan untuk merehidrasi pasien sehingga kebutuhan cairan pasien tercukupi. Obat diberikan secara inhalasi dengan tujuan agar lebih efektif untuk
dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau dihindarkan, dan ada beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi karena
tidak terabsorpsi pada pemberian oral Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003. Obat dengan rute inhalasi pada penelitian ini diberikan melalui nebulisasi.
Tabel IX. Penggunaan obat berdasarkan rute pemberian pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang
periode Juli-Desember 2013 Rute Pemberian
Jumlah Kasus n=25
Persentase
Enteral 25
100 Parenteral
25 100
C. Evaluasi Drug Related Problems DRPs
Identifikasi Drug Related Problems pada penelitian ini dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan obat pada
pasien asma anak di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli- Desember 2013. Kasus yang dievaluasi kemudian dimasukkan dalam kategori
DRPs yaitu butuh tambahan obat, obat tidak dibutuhkan, obat kurang efektif, dosis kurang, efek samping obat, dan dosis berlebih.
38
Analisis DRPs dilakukan dengan menggunakan data penggunaan obat dan catatan keperawatan pasien. DRPs yang didapati pada 25 kasus yang masuk dalam
kriteria inklusi penelitian ini yaitu 100 efek samping obat, 56 dosis kurang, 28 obat tidak dibutuhkan, 16 dosis berlebih, dan 4 membutuhkan obat
tambahan. Pada umumnya 1 kasus memiliki lebih dari 1 kejadian DRPs. Tabel X berikut menyajikan gambaran DRPs yang ditemui pada pasien asma anak.
Tabel X. Gambaran DRPs pada pasien anak dengan asma di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013
No Jenis DRPs
Nomor Kasus seperti lampiran
Jumlah Kasus n=25
Persentase
1 Efek samping obat
semua kasus 25
100 2
Dosis kurang 2, 4, 5, 6. 7, 9, 11, 12,13,14,
15, 18, 19, 21 14
56 3
Obat tidak dibutuhkan
5, 10, 15, 16,17, 24, 25 7
28 4
Dosis berlebih 5, 6, 16, 18
4 16
5 Membutuhkan obat
tambahan 25
1 4
6 Obat kurang efektif
-
Catatan : Penilaian DRPs ini berdasarkan data yang tercantum di lembar rekam medis
yang tidak dikonfirmasi dengan dokter penulis resep maupun perawat yang merawat pasien. Pembahasan lebih mendalam tiap kasus dapat dilihat di Lampiran
1. Efek Samping Obat
Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi
obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor
risikonya, regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang
diberikan menyebabkan
alergi, dan
obat yang
diberikan dikontraindikasikan karena faktor risikonya. Pada penelitian ini semua kasus
39
100 mengalami DRPs kategori efek samping obat yang disebabkan karena adanya interaksi obat dan pemberian obat yang berisiko menyebabkan
perburukan. Pada semua kasus DRPs yang dievaluasi ditemui interaksi antara
kortikosteroid dan salbutamol yang bersifat potensial. Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia Baxter,
2010. Penggunaan salbutamol tunggal dapat menyebabkan hipokalemia dan dapat meningkatkan risiko ini karena adanya obat yang mendeplesi kalium
seperti kortikosteroid. Kombinasi kedua jenis obat ini memerlukan pemantauan khususnya dalam kadar kalium dalam serum. Kombinasi antara
β
2
agonis dan kortikosteroid dalam manajemen asma umumnya bersifat menguntungkan Baxter, 2010.
Pada kasus 2, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 16, 18, 21, dan 25 ditemui interaksi obat pada kombinasi antara kortikosteroid dan teofilin serta teofilin
dan salbutamol yang dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi Baxter, 2010. Jenis DRPs yang ditemui adalah potensial. Hipokalemia merupakan
kondisi kadar kalium dalam serum 3,5 mEqL. Hipokalemia dicirikan dengan adanya perubahan pada fungsi otot dan kardiovaskuler karena adanya
hiperpolarisasi membran dan gangguan kontraksi otot Daly and Farrington, 2013. Depresi pernapasan karena gangguan parah pada otot skeletal dapat
terjadi karena deplesi kalium parah Schaefer and Wolford, 2005. Teofilin dan kortikosteroid memainkan peranan penting dalam
manajemen asma dan penggunaannya secara bersamaan umum dilakukan dan
40
memberikan keuntungan. Kedua obat ini dapat menyebabkan hipokalemia yang mungkin bersifat aditif. Pada pemakaian kedua obat ini perlu
dipertimbangkan pemantauan berdasarkan tingkat keparahan pasien dan jumlah obat yang dapat menyebabkan deplesi kalium yang digunakan oleh
pasien Baxter, 2010. Penggunaan secara bersamaan antara salbutamol dan teofilin
merupakan pilihan yang cukup baik dalam manajemen asma, namun terdapat potensiasi terjadinya efek samping. Komplikasi yang paling serius yang
ditimbulkan adalah hipokalemia dan takikardia Baxter, 2010. Pemantauan kadar kalium juga diperlukan pada penggunaan kombinasi obat ini.
Pada kasus 6, 7, 12, 19, 21 dan 22 ditemui DRPs kategori efek samping obat yang bersifat potensial akibat pemberian mukolitik yang dapat
memperburuk obstruksi jalan napas dan batuk, khususnya pada asma parah Global Initiative for Asthma, 2011; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003.
Mukolitik pada umumnya digunakan sebagai pengencer dahak, namun tidak menunjukkan manfaat yang berarti pada penggunaan pada pasien asma
bahkan cenderung menimbulkan perburukan Rogers, 2002. Jenis DRPs yang ditemui adalah potensial. Pemantauan terhadap tanda vital dan kadar
obat dalam darah pasien diperlukan untuk pencegahan maupun langkah awal pengatasan efek samping obat yang mungkin terjadi.