Kejadian Infeksi dan Lama Rawatan Sebelum dan Sesudah Pemisahan Ruangan Perinatologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

KEJADIAN INFEKSI DAN LAMA RAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMISAHAN RUANGAN PERINATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh

IRA ALIZA SIREGAR 117032047/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEJADIAN INFEKSI DAN LAMA RAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMISAHAN RUANGAN PERINATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRA ALIZA SIREGAR 117032047/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEJADIAN INFEKSI DAN LAMA RAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMISAHAN RUANGAN PERINATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN

Nama Mahasiswa : Ira Aliza Siregar Nomor Induk Mahasiswa : 117032047/ IKM

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (dr. Heldy BZ, M.P.H)

Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 26 November 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : dr. Heldy BZ, M.P.H

dr. Fauzi, S.K.M


(5)

PERNYATAAN

KEJADIAN INFEKSI DAN LAMA RAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMISAHAN RUANGAN PERINATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2013

Ira Aliza Siregar 117032047/IKM


(6)

ABSTRAK

Sebelum pemisahan ruangan perinatologi di RSUD Tapanuli Selatan, kejadian infeksi pada bayi lahir yang dirawat meliputi kejadian diare, hipotermi, hipertermi, infeksi tali pusat, kemauan menghisap dan lama rawat tercatat sangat tinggi. Hal ini disebabkan bergabungnya bayi yang mengalami infeksi dengan bayi yang tidak mengalami infeksi pada satu ruangan berdampak pada terjadinya infeksi. Solusi yang dilakukan oleh pihak rumah sakit adalah melakukan pemisahan ruangan bagi bayi-bayi yang dirawat sehingga akan terjadi penurunan terjadinya infeksi setelah terjadinya pemisahan ruangan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sebelum dan sesudah pemisahan ruang perinatologi terhadap tanda infeksi nosokomial di RSUD Tapanuli Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi comparative sampling. Populasi penelitian adalah seluruh bayi yang lahir di RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan sampel sebanyak 54 orang yakni 27 orang sebelum pemisahan dan 27 orang setelah pemisahan ruang perinatologi. Pengumpulan data diperoleh dari laporan petugas yang merawat bayi dan ibu serta hasil observasi dari catatan rekam medis RSUD Tapanuli Selatan. Analisis data menggunakan program SPSS untuk melakukan analisis univariat, analisis bivariat dan uji Chi Square.

Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemisahan ruangan perinatologi di Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Tapanuli Selatan terutama perbedaan dalam kejadian diare, hipotermi, hipertermi, infeksi tali pusat, kemauan menghisap maupun lama rawat bayi yang mana nilai probabilitas untuk setiap kejadian infeksi yang diteliti bernilai lebih rendah dari p=0,05.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar pengawasan kunjungan dan tanda kejadian infeksi pada bayi di RSUD Tapanuli Selatan lebih ditingkatkan sehingga akan mengurangi penularan terjadinya infeksi perinatal dan juga penyuluhan tentang faktor-faktor penyebab kejadian infeksi perinatal pada masyarakat.

Kata Kunci: Kejadian Infeksi, Lama Rawatan, Pemisahan Ruangan, Perinatologi


(7)

ABSTRACT

Before the separation of perinatology wards at Tapanuli Selatan District General Hospital, the incident of infection in the newly born babies including diarrhea, hypothermy, hyperthermy, umbilical cord infection, sucking desire and treatment duration was very highly noted. This happened because the babies who were and who were not suffering from infection were placed in the same room that it brought an impact of the incident of infection. The solution taken by the management of the hospital was to separate the room for the babies under treatment that the incident if infection decreased after the separation of the baby room.

The purpose of this sampling comparative study was to find out what happened before and after the separation of perinatology ward on the sign of the incident of infection at Tapanuli Selatan District General Hospital. The population of this study was all of the babies who were born at Tapanuli Selatan District General Hospital, and 54 of them comprising 27 babies belonged to before the separation of the perinatology ward and 27 babies belonged to after the separation of the perinatology ward were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained from the report submitted by the staff who took care of the babies and their mothers and the result of the observation on the medical record available at Tapanuli Selatan District General Hospital. The data obtained were analyzed through univariate analysis and bivariate analysis with Chi-square test using SPSS program.

The result of this study showed that there was a significant difference especially in the incident of the incident of diarrhea, hypothermy, hyperthermy, umbilical cord infection, sucking desire and baby treatment duration between before and after the separation of perinatology ward at Tapanuli Selatan District General Hospital. The value of probability of each incident of infection studied was less than p=0,05.

It is suggessted that visit control and the sign of the incident of infection at Tapanuli Selatan District General Hospital be improved to minimize the spread of the incident of perinatal infection and the extensions of the factors causing the incident of perinatal infection should be socialized to the community.

Keywords: Incident of Infection, Duration of Treatment, Ward Separation,


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Kejadian Infeksi dan Lama Rawatan Sebelum dan Sesudah Pemisahan Ruangan Perinatologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyarakat akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Sumatera Utara.


(9)

5. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan Bapak dr. Heldy BZ, M.P.H selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

6. Bapak dr. Fauzi, S.K.M dan Ibu Masnelly Lubis, S.Kep, M.A.R.S selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk kesempurnaan tesis ini. 7. dr. Ismail Fahmi Ritonga, M.Kes selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkenan memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

8. Kepala Ruang Kebidanan di Ruang Rawat Inap Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan serta seluruh perawat yang telah bersedia bekerjasama pada saat pengumpulan bahan penelitian ini.

9. Dosen dan Staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyrakat, Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

10.Terimakasih yang tak terhingga yang tulus dan ikhlas kepada kedua orang tua saya Ayahanda (Alm) dr. H. Asrul Siregar dan Ibunda Hj. Sri Murniari Lubis dalam doa dan dukungan.

11.Terima kasih kepada suami Rizkan Zulyadi, S.H, M.H yang telah memberikan dukungan dan terus mendampingi dari awal masa studi sampai selesainya tesis ini, serta tak lupa putra putri tercinta, yaitu Yudha Putra Pratama, Githa Dara


(10)

Chairunnisa, Habibi Mufasa Alriz dan Iszhaiya Zulzahaini Alriz yang sabar menunggu dan terus mendukung dalam penyelesaian pendidikan ini.

12.Terimakasih kepada saudara terkasih dan tersayang atas dukungan penuh kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

13.Teristimewa untuk seluruh rekan angkatan 2011, khususnya Minat Studi Administrasi Rumah Sakit yang telah memberikan dukungan, semangat, bantuan dan sumbangan ide dan bahan dalam melengkapi penulisan tesis ini.

Medan, Desember 2013 Penulis

Ira Aliza Siregar 117032047/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 18 Juli 1977 dengan nama Ira Aliza Siregar, agama Islam, alamat Jalan Rumah Sakit No.1 Sipirok, merupakan anak ke empat dari empat bersaudara, dari pasangan Ayahanda (Alm) dr. H. Asrul Siregar dan Ibunda Hj. Sri Murniari Lubis, mempunyai suami bernama Rizkan Zulyadi, SH, MH dengan empat orang anak Yudha Putra Pratama, Githa Dara Chairunnisa, Habibi Mufasa Alriz dan Iszhaiya Zulzahaini Alriz.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri di Binjai selesai tahun 1989, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Medan selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Medan selesai tahun 1995. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan jurusan pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara selesai tahun 2001 dan melanjutkan pendidikan ke Program Pendidikan Spesialis Anak selesai tahun 2006 dan di tahun 2011 penulis mengikuti pendidikan di Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Penulis bekerja dan menjadi Pegawai Negeri Sipil di Wilayah Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan sejak tahun 2009 sampai sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Infeksi ... 11

2.1.1. Definisi Infeksi ... 12

2.1.2. Istilah yang Berkaiatan dengan Infeksi ... 12

2.1.3. Infeksi Antenatal ... 13

2.1.4. Istilah Intranatal ... 13

2.1.5. Infeksi Pascanatal ... 15

2.2. Infeksi Nosokomial ... 16

2.2.1. Pengertian Infeksi Nosokomial ... 16

2.2.2. Penyebab Infeksi Nosokomial ... 17

2.2.3. Epidemiologi Infeksi Nosokomial ... 17

2.2.4. Sumber Infeksi Nosokomial ... 18

2.3. Gejala Klinik ... 19

2.4. Epidemiologi ... 20

2.4.1. Distribusi Frekuensi ... 20

2.4.2. Determinan Sepsis Neonatorum ... 21

2.4.3. Pencegahan Primer ... 34

2.4.4. Pencegahan Sekunder ... 38

2.4.5. Pencegahan Tertier ... 41

2.5. Hipotermi ... 42

2.5.1. Definisi Hipotermi ... 42


(13)

2.5.3. Tanda-Tanda Hipotermi ... 44

2.5.4. Pencegahan Hipotermi ... 44

2.5.5. Penanganan Hipotermi ... 46

2.6. Kebijakan dan Prosedur Ruang Perinatologi ... 48

2.7. Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Jenis Penelitian ... 51

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.2.1.Lokasi Penelitian ... 51

3.2.2.Waktu Penelitian ... 51

3.3. Populasi dan Sampel ... 52

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.4.1. Prosedur Pengumpulan Data ... 55

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 55

3.5.1. Variabel Penelitian ... 55

3.5.2. Definisi Operasional ... 55

3.6. Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 58

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

4.1.1. Sejarah Rumah Sakit Umum Daerah Tapanuli Selatan ... 58

4.1.2. Visi, Misi dan Motto ... 60

4.1.3. Struktur Organisasi ... 60

4.1.4. Sarana dan Prasarana... 61

4.1.5. Ketenagaan RSUD Tapanuli Selatan ... 63

4.2. Hasil Penelitian ... 64

4.2.1. Analisis Univariat ... 64

4.2.2. Analisis Bivariat ... 66

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

6.1. Kesimpulan ... 77

6.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus ... 39 3.1. Observasi Pemanfaatan Alat Ukur ... 56 4.1. Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Tanda Kejadian Infeksi ... 64 4.2. Tabulasi Silang Kejadian Infeksi Diare sebelum dan sesudah

Pemisahan Ruang Perinatal ... 66 4.3. Tabulasi Silang Kejadian Infeksi Hipotermi sebelum dan sesudah

Pemisahan Ruang Perinatal ... 66 4.4. Tabulasi Silang Kejadian Infeksi Hipertermi sebelum dan sesudah

Pemisahan Ruang Perinatal ... 67 4.5. Tabulasi Silang Kejadian Infeksi Tali Pusat sebelum dan sesudah

Pemisahan Ruang Perinatal ... 67 4.6. Tabulasi Silang Kejadian Kemauan Menghisap sebelum dan sesudah

Pemisahan Ruang Perinatal ... 68 4.7. Tabulasi Silang Kejadian Lama Rawat sebelum dan sesudah


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Infeksi Akibat Chorioamnionitis ... 14

2.2. Lintas Infeksi pada Neonatus di dalam Kandungan ... 15

2.3. Sepsis Kulit Bayi karena Infeksi Bakteri dan Jamur dari Jalan Lahir ... 20

2.4. Tujuh Langkah Mencuci Tangan ... 36

2.5. Kerangka Konsep Penelitian ... 50


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Master Data Penelitian ... 84

2. Ouput Olahan SPSS ... 86

3. Surat Ijin Penelitian ... 89


(17)

ABSTRAK

Sebelum pemisahan ruangan perinatologi di RSUD Tapanuli Selatan, kejadian infeksi pada bayi lahir yang dirawat meliputi kejadian diare, hipotermi, hipertermi, infeksi tali pusat, kemauan menghisap dan lama rawat tercatat sangat tinggi. Hal ini disebabkan bergabungnya bayi yang mengalami infeksi dengan bayi yang tidak mengalami infeksi pada satu ruangan berdampak pada terjadinya infeksi. Solusi yang dilakukan oleh pihak rumah sakit adalah melakukan pemisahan ruangan bagi bayi-bayi yang dirawat sehingga akan terjadi penurunan terjadinya infeksi setelah terjadinya pemisahan ruangan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sebelum dan sesudah pemisahan ruang perinatologi terhadap tanda infeksi nosokomial di RSUD Tapanuli Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi comparative sampling. Populasi penelitian adalah seluruh bayi yang lahir di RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan sampel sebanyak 54 orang yakni 27 orang sebelum pemisahan dan 27 orang setelah pemisahan ruang perinatologi. Pengumpulan data diperoleh dari laporan petugas yang merawat bayi dan ibu serta hasil observasi dari catatan rekam medis RSUD Tapanuli Selatan. Analisis data menggunakan program SPSS untuk melakukan analisis univariat, analisis bivariat dan uji Chi Square.

Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemisahan ruangan perinatologi di Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Tapanuli Selatan terutama perbedaan dalam kejadian diare, hipotermi, hipertermi, infeksi tali pusat, kemauan menghisap maupun lama rawat bayi yang mana nilai probabilitas untuk setiap kejadian infeksi yang diteliti bernilai lebih rendah dari p=0,05.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar pengawasan kunjungan dan tanda kejadian infeksi pada bayi di RSUD Tapanuli Selatan lebih ditingkatkan sehingga akan mengurangi penularan terjadinya infeksi perinatal dan juga penyuluhan tentang faktor-faktor penyebab kejadian infeksi perinatal pada masyarakat.

Kata Kunci: Kejadian Infeksi, Lama Rawatan, Pemisahan Ruangan, Perinatologi


(18)

ABSTRACT

Before the separation of perinatology wards at Tapanuli Selatan District General Hospital, the incident of infection in the newly born babies including diarrhea, hypothermy, hyperthermy, umbilical cord infection, sucking desire and treatment duration was very highly noted. This happened because the babies who were and who were not suffering from infection were placed in the same room that it brought an impact of the incident of infection. The solution taken by the management of the hospital was to separate the room for the babies under treatment that the incident if infection decreased after the separation of the baby room.

The purpose of this sampling comparative study was to find out what happened before and after the separation of perinatology ward on the sign of the incident of infection at Tapanuli Selatan District General Hospital. The population of this study was all of the babies who were born at Tapanuli Selatan District General Hospital, and 54 of them comprising 27 babies belonged to before the separation of the perinatology ward and 27 babies belonged to after the separation of the perinatology ward were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained from the report submitted by the staff who took care of the babies and their mothers and the result of the observation on the medical record available at Tapanuli Selatan District General Hospital. The data obtained were analyzed through univariate analysis and bivariate analysis with Chi-square test using SPSS program.

The result of this study showed that there was a significant difference especially in the incident of the incident of diarrhea, hypothermy, hyperthermy, umbilical cord infection, sucking desire and baby treatment duration between before and after the separation of perinatology ward at Tapanuli Selatan District General Hospital. The value of probability of each incident of infection studied was less than p=0,05.

It is suggessted that visit control and the sign of the incident of infection at Tapanuli Selatan District General Hospital be improved to minimize the spread of the incident of perinatal infection and the extensions of the factors causing the incident of perinatal infection should be socialized to the community.

Keywords: Incident of Infection, Duration of Treatment, Ward Separation,


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi pada neonatus sering menjadi penyebab awal sepsis, sehingga infeksi pada neonatus perlu dicegah. Perkembangan infeksi neonatus menjadi sepsis. Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang (WHO, 1996).

Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup (Darmstadt et al, 2005). Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh peyakit infeksi, diantaranya sepsis, pneumonia, tetanus dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain (WHO, 2007).

Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan Case Fatality Rate CFR) pada kasus sepsis neonatorum


(20)

masih tinggi, yaitu besar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi untuk bayi baru lahir (Child Health Research Project Special Report, 1999).

Angka kejadian atau insiden sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8 - 18 per 1000 kelahiran hidup dengan CFR sebesar 12% – 68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan CFR 10,3% (Shattuck KE, 1992 dan Watson RS, et al, 2003). Di Indonesia, data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-September 2005 (Rohsiswatmo R, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kematian perinatal antara lain kebiasaan merokok ibu, status anemia saat hamil, kurang pemeriksaan Antenatal Care (ANC) dan Berat Badan Bayi Rendah (BBLR) (Krause, 1989; Kerem, 2003; Rochelle, 2005). Selain itu tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah juga mempengaruhi kematian janin. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 didapatkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah 52 per 1.000 kelahiran hidup dengan Angka Kematian Neonatal 25 per 1.000 kelahiran hidup, dimana kematian perinatal memberikan sumbangan terhadap kematian bayi sebesar 33,5% (Litbang Depkes, 2003). AKB di Indonesia 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya serta menunjukkan penurunan yang sangat lambat (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Penyakit infeksi pada bayi dapat terjadi saat intra uterin, selama partus dan kelahiran. Pada infeksi intra uterin, yang paling banyak adalah infeksi transplansenta melalui saluran darah. Sedangkan infeksi post natal dipengaruhi oleh keadaan yang


(21)

ada disekitarnya. Sumber infeksi yang utama adalah tangan yang merawat bayi, alat-alat yang berhubungan dengan cairan, alat-alat resusitasi, alat-alat bantu nafas dan isap lendir. Infeksi pada post natal dapat bersumber dari sebelumnya, selama dan sesudah lahir (Wiknjosastro, 1999). Penyakit infeksi pada neonatus merupakan masalah yang gawat. Dikatakan gawat karena merupakan 10-15% Penyebab kematian/kesakitan pada neonatus. Infeksi pada neonatus dapat digolongkan infeksi ringan dan infeksi berat. Infeksi saluran pernafasan akut termasuk dalam kategori infeksi berat (Surodiprojdo, 1998).

Resiko pada bayi baru lahir dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori; resiko prenatal, resiko nosokomial dan resiko neonatal. Faktor resiko neonatal, meliputi, ketuban pecah dini (KPD) dan infeksi selama kehamilan. Faktor nosokomial yang dapat menjadi predisposisi infeksi neonatal meliputi lama rawat, prosedur invasif, ruang perawatan penuh, staf perawatan dan prosedur perawatan misalnya cuci tangan. Faktor neonatal meliputi BBLR dan kelainan kongenital (Pusponegoro, 2000).

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki resiko terinfeksi bakteri karena fungsi dan anatomi kulit yang masih imatur dan lemahnya sistem imun. Prajoga (1994) berpendapat bahwa bayi dengan BBLR kemungkinan untuk meninggal pada masa neonatal 20-30 kali dan 17 kali lebih besar sebelum usia satu tahun daripada bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir normal.

Komplikasi yang sering terjadi pada KPD adalah infeksi, oleh karena ketuban yang utuh merupakan barier atau sebagai penghalang terhadap masuknya penyebab


(22)

infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti KPD maka infeksi lebih mudah terjadi (Medlinux, 2007).

Berdasarkan data dari rekam medis RSUP Dr. M. Djamil Padang sebagai rumah sakit rujukan untuk daerah Sumatera Bagian Tengah didapatkan data omfalitis 21 kasus di tahun 2004, tahun 2005 tercatat 20 kasus dan pada tahun 2006 terdapat 31 kasus. Hasil penelitian dari 10 kasus yang terdiagnosa omfalitis didapatkan data bahwa 50% riwayat persalinan didahului dengan KPD dan 40% ibu yang mempunyai riwayat infeksi selama kehamilan. Meskipun infeksi transplasenta tidak universal atau jarang terjadi, janin yang terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertai dengan infeksi maternal selama paruh pertama kehamilan. Sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat rekuren (Lesi meluas), mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari ibu yang menderita infeksi selama kehamilan (Suheimi, 2007). Sebesar 60% bayi dengan omfasilitis adalah bayi laki-laki dan 20% kasus menderita kelainan kongenital. Disamping itu, hanya terdapat 10% kasus yang memiliki berat badan lahir rendah, sedangkan 90% kasus terjadi pada bayi berat badan lahir cukup.

Rumah Sakit Umum Permata Madina Penyabungan juga mendapati jumlah kasus infeksi perinatologi yang tinggi sebelum adanya pemisahan ruangan, namun setelah pemisahan ruangan dilakukan maka infeksi pada bayi dan lama rawatan menurun (Profil RSU Permata Madina, 2011).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode Januari sampai Desember 2012 terdapat 250 bayi


(23)

lahir cukup bulan dan 59 bayi kurang bulan memperlihatkan sebagian besar bayi dalam kondisi stabil dan lebih banyak dirujuk dengan tiga diagnosa utama sebagai alasan dirujuk adalah Sepsis 29,5%, gangguan nafas 25,2% dan kelainan bedah 10%. Walaupun karena alasan merujuk BBLR tertera hanya 7 % namun secara keseluruhan 80% bayi adalah keadaan yang tidak stabil. Kondisi tidak stabil adalah ketidakstabilan suhu atau diikuti dengan hipotermi dan hipertermi, diare ditularkan secara orofekal dan diduga melalui diare maka dapat terkadang sebagai infeksi nosokomial dengan gejala klinis sehingga menyebabkan bayi mudah jatuh ke dalam keadaan dehidrasi sehingga memerlukan perawatan (Profil RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan, 2013).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan rumah Sakit Pemerintah kelas C dan sudah sudah terakreditasi dari Komite Akreditasi Rumah Sakit dengan Nomor.KARS-SERT/527/V/2012 tanggal 30 Mei 2012. Ruang perinatologi RSUD Tapanuli Selatan melayani pasien bayi sehat dan bayi sakit secara bersama atau bergabung sehingga kemungkinan dapat menyebabkan bayi yang sehat ikut tertular dengan bayi yang terinfeksi.

RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1937 didirikan Belanda sebagai Rumah Sakit Pembantu. Kemudian pada tahun 1954 di masa kemerdekaan RI, rumah sakit diserahkan Belanda ke daerah dan berubah status menjadi Puskesmas Perawatan Sipirok. Pada tanggal 28 Mei 1998 RSUD Tapanuli Selatan diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara dan dalam pelaksanaan otonomi daerah, rumah sakit menjadi milik pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Dalam hal in unit pelaksana


(24)

teknis, Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan dan rumah sakit terus mengembangkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang optimal yang diharapkan oleh masyarakat yang pada akhirnya RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan telah terakreditasi oleh Depkes yaitu dengan Nomor.KARS-SERT/527/V/2012 tanggal 30 Mei 2012 (Profil RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan, 2013)

Pemantauan bayi di rumah sakit RSUD Kabupaten Tapanuli Selatan mengikuti prosedur dan aturan yang sudah diatur dan langsung dilakukan pemantauannya oleh dokter spesialis anak dengan mengikuti peraturan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Prosedural perawatan bayi baru lahir dilakukan dari mulai saat pertama menerima bayi baru lahir yang dilakukan di ruang bersalin maupun di ruang operasi, bidan menerima bayi, mengeringkan dibawah lampu dengan pengaturan suhu, dilakukan pembersihan rongga mulut dan hidung, di rangsang untuk penilaian dan pemeriksaan bayi, lalu kemudian dibalut dan dibawa ke ruang bayi dan selanjutnya bayi diserahkan kepada petugas kebidanan menerima dan meletakkan bayi diinkubator. Pemantauan ini dilakukan diantaranya untuk menilai klinis bayi, suhu, kesadaran, tali pusat, daya hisap dan mempersiapkan kestabilan ibu untuk dapat dilatih merawat bayinya. Prosedur ini sudah tercantum dalam catatan medis rawatan pasien baru lahir.

Beberapa faktor sejarah rumah sakit yang berhubungan dengan tingginya kejadian infeksi pada pasien yang dirujuk adalah keterbatasan pelayanan bayi baru


(25)

lahir yang pada umumnya belum memiliki sarana yang memadai untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Rumah sakit merupakan tempat di mana pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk sembuh secara efektif dan efisien tetapi selain mendapat kesembuhan juga merupakan tempat dari berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita yang berstatus sebagai karier. Kuman penyakit dapat berkembang di lingkungan rumah sakit, dapat berupa medis dan non medis. Terjadinya infeksi nosokomial menimbulkan kerugian diantaranya lama hari rawatan semakin panjang, biaya yang meningkat dan penderitaan yang meningkat. Dugaan pada ruang perawatan bayi baru lahir ditentukan apabila dijumpai 2 atau lebih bayi yang menderita infeksi yang sama pada saat yang sama. Bila dugaan ini terjadi maka suatu sistem pengawasan harus dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi diantaranya ruang perawatan bayi yang beresiko dilokasikan di daerah yang tidak terlalu banyak dilewati, bila memungkinkan tersedia ruangan yang khusus untuk bayi yang baru lahir dan mengisolasi bayi yang terinfeksi.

Pencegahan infeksi merupakan bagian yang terpenting dari setiap komponen perawatan bayi baru lahir. Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi karena sistem imunitasnya masih sangat kurang sempurna. Konsekuensi akibat tidak mengingat prinsip pencegahan infeksi akan sangat merugikan. Latar belakang pencegahan infeksi adalah untuk melindungi bayi dari penyebaran infeksi dengan melakukan bayi yang mungkin mengisolasi bayi didalam ruangan yang khusus (IDAI, 2003).


(26)

Penurunan tanda kejadian infeksi oleh karena pemisahan ruangan menyebabkan tingkat pasien rujukan berkurang, hal ini terjadi karena infeksi pascanatal yang umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial yang diperoleh bayi dari lingkungannya dan dari peralatan serta perawatan bayi. Infeksi nosokomial terjadi diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan (Perry & Potter, 2005).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa perlu untuk melakukan intervensi masalah-masalah penyebab tingginya angka bayi baru lahir yang menjadi tidak stabil dan terpaksa dirujuk, antara lain dengan langkah awal yaitu menghindari sumber infeksi dengan melakukan pemisahan ruangan terhadap bayi yang tidak stabil dan bayi yang stabil, maka penelitian tentang perbedaan pemisahan ruang sebelum dan sesudah adanya ruang perinatologi terhadap tanda kejadian infeksi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi penting dilakukan mengingat konsekuensi dari infeksi perinatal sangat berpengaruh terhadap keselamatan bayi, dalam menurunkan CFR bayi sehingga rumah sakit dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan lebih baik lagi dan menjadi masukan dalam manajemen perawatan pada bayi di rumah sakit untuk dilakukan pemisahan ruang perinatologi yang dimulai dari 20 Maret 2013 pemisahan ruangan telah dilakukan sehingga infeksi perinatologi diharapkan menurun, yang juga akan menurunkan rujukan bayi, sehingga bayi dapat terselamatkan.


(27)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perbedaan sebelum dan sesudah pemisahan ruang perinatologi terhadap tanda kejadian infeksi perinatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.3. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sebelum dan sesudah pemisahan ruang perinatologi terhadap tanda kejadian infeksi perinatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah pemisahan ruang perinatologi terhadap tanda kejadian infeksi perinatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan di rumah sakit yakni dokter dan bidan dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko terjadinya infeksi perinatal

2. Sebagai bahan masukan bagi pengelola Rumah Sakit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan perinatal sehingga Angka Kematian Perinatal (AKP) dapat diminimalisir.


(28)

3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk menyusun kebutuhan pelayanan kesehatan perinatal sehingga Angka Kematian Perinatal (AKP) dapat diturunkan.

4. Sebagai pengembangan ilmu dan pengetahuan dalam bidang kesehatan masyarakat khususnya bidang administrasi rumah sakit dalam merancang ruang perinatologi untuk mengatasi kejadian infeksi perinatal di rumah sakit.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi dari cairan amnion. Infeksi pada neonatus dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas infeksi perinatal dapat digolongkan antara lain infeksi antenatal, infeksi intranatal dan infeksi pascanatal.

2.1.1. Definisi Infeksi

Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penjamu (Linda Tietjen, 2004).

Infeksi adalah masuknya organisme ke dalam jaringan tubuh dan berkembang biak. Mikroorganisme seperti disebut agen yang menular. Jika mikroorganisme tidak memproduksi bukti-bukti infeksinya disebut asymptomatic atau subclinical (Hassan & Jumah, 2007).

Dari pengertian tentang infeksi di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi adalah peristiwa masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh penjamu yang menyebabkan sakit, patogen mengganggu fungsi normal tubuh dan dapat berakibat luka kronik, gangren, kehilangan organ tubuh dan bahkan kematian.


(30)

2.1.2. Istilah Berkaitan dengan Infeksi

Beberapa istilah yang berkaitan dengan infeksi antara lain :

a. Asepsis atau teknik aseptik adalah istilah umum yang digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar mengakibatkan infeksi. Tujuan utama dari asepsis adalah untuk mengurangi atau menghilangkan jumlah mikroorganisme baik yang terdapat pada permukaan benda hidup (kulit, jaringan) maupun benda mati (alat kesehatan) hingga mencapai tingkat yang aman.

b. Antiseptik adalah pencegahan infeksi dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.

c. Dekontaminasi adalah proses atau tindakan yang dilakukan agar benda-benda mati (peralatan kesehatan) dapat ditangani dan disentuh oleh petugas secara aman, terutama petugas pembersih alat medis. Sasaran yang dimaksud yaitu meja pemeriksaan, meja operasi, alat-alat medis, sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh sebelum dan sesudah melakukan tindakan medis. d. Pencucian adalah proses secara fisik yang menghilangkan darah, cairan tubuh dan

benda asing lainnya seperti debu atau kotoran dari kulit atau permukaan.

e. Desinfekstan adalah menggambarkan proses pemusnahan banyak atau semua mikroorganisme dengan pengecualian spora bakteri dari objek yang mati (Rutala, 1995). Biasanya dengan menggunakan desinfekstan kimia. Contoh desinfekstan adalah alkohol, klorin, glurateraldehid dan fenol.


(31)

f. Sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikroorganisme termasuk spora. Penguapan dengan tekanan, gas eliten oksida (ETO), dan bahan kimia merupakan agens sterilisasi yang paling umum (Perry & Potter, 2005).

2.1.3. Infeksi Antenatal

Infeksi antenatal pada umumnya infeksi transplasenta, kuman berasal dari ibu, kemudian melewati plasenta dan umbilikus dan masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi bayi. Infeksi bakteri antenatal antara lain oleh Streptococcus Group B. Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah toksoplasmosis, malaria dan sifilis. Pada dugaan infeksi transplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga dilakukan skrining terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes).

2.1.4. Infeksi Intranatal

Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens yaitu infeksi yang berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah dini maka kuman dari serviks dan vagina menjalar ke atas menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis, maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhimya ke bayi. Selain itu korionitis menyebabkan amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini masuk ke traktus respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan infeksi di janin.


(32)

Gambar 2.1. Infeksi Akibat Chorioamnionitis

Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada saat melewati jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada umumnya infeksi ini adalah akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang menghasilkan warna merah pada pewarnaan Gram dan kandida. Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan.


(33)

2.1.5. Infeksi Pascanatal

Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang diperoleh bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi oleh alat-alat, sarana perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman penyebabnya terutama bakteri, yang sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif umumnya terjadi pada saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal. Lintas infeksi perinatal dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2. Lintas Infeksi pada Neonatus di dalam Kandungan

Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan


(34)

berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.

2.2. Infeksi Nosokomial

2.2.1. Pengertian Infeksi Nosokomial

Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan (susceptible) terkena invasi agen pathogen atau infeksius yang tumbuh, berkembang biak dan menyebabkan sakit. Yang dimaksud agen bisa berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasit. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit tertentu yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit (Utama, 1999). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat seseorang dalam waktu 3 x 24 jam sejak mereka masuk rumah sakit (Depkes RI, 2012).

Infeksi nosokomial terjadi diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dan fasilitas perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan satu tempat yang paling mungkin mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotik (Perry & Potter, 2005).

Kriteria infeksi nosokomial menurut Depkes RI (2012), antara lain:

a. Waktu mulai dirawat tidak didapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.


(35)

b. Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3 x 24 jam (72 jam) sejak pasien dirawat c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama dari waktu

inkubasi infeksi tersebut

d. Infeksi terjadi pada masa neonatus yang diperoleh dari ibunya pada saat persalinan atau selama dirawat di rumah sakit

e. Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

2.2.2. Penyebab Infeksi Nosokomial

Penularan kuman penyebab infeksi nosokomial dapat terjadi melalui:

a. Infeksi sendiri (self infection) yaitu infeksi nosokomial berasal dari penderita sendiri (flora endogen) yang berpindah ke tempat atau bagian tubuh lain seperti kuman escherichia coli dan staphylococus aureus, kuman tersebut dapat berpindah melalui benda yang dipakai seperti linen atau gesekan tangan sendiri (Perry & Potter, 2005).

b. Infeksi silang (cross infection) yaitu infeksi nosokomial terjadi akibat penularan dari penderita atau orang lain di rumah sakit.

c. Infeksi lingkungan (environmental infection) yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari bahan atau benda di lingkungan rumah sakit.

2.2.3. Epidemiologi Infeksi Nosokomial

Epidemiologi ialah penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyebaran penyakit pada sekelompok orang. Penyebab infeksi pada


(36)

umumnya mempunyai mata rantai, begitu juga infeksi nosokomial. Mula-mula kuman keluar dari sumber infeksi melalui tempat keluar (port of exit) dengan media tertentu. Setelah itu berpindah atau menular secara langsung atau tidak langsung kepada inang pengantara melalui tempat masuk (port of entry) mencapai hospes baru yang rentan. Jadi ada tiga faktor determinan yang menyebabkan suatu infeksi termasuk infeksi yang diperoleh di rumah sakit yaitu sumber infeksi, rute penyebaran mikroorganisme dan host yang rentan terhadap infeksi.

2.2.4.Sumber Infeksi Nosokomial

Sumber penyebab infeksi nosokomial yaitu manusia, benda, aliran udara, makanan dan hewan. Sumber mikroorganisme patogen yang paling banyak adalah manusia. Parker (1983) menyatakan bahwa kuman penyebab infeksi nosokomial secara umum dibedakan menjadi tiga tipe umum yaitu:

a. Mikroorganisme konvensional yaitu kuman penyebab penyakit pada orang sehat yang tidak memiliki kekebalan khusus seperti virus influenza.

b. Mikroorganisme kondisional yaitu kuman yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi secara klinis pada bagian tubuh tertentu apabila terdapat faktor-faktor predisposisi seperti pseudomonas sp dan proteus sp.

c. Mikroorganisme oppurtunistik yaitu kuman yang menyebabkan penyakit menyeluruh pada orang yang sakit seperti mycobacterium sp dan nocardia.


(37)

2.3. Gejala Klinik

Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali sama dengan gejala klinik gangguan metabolisme, hematologik dan susunan saraf pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada bayi cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia. Leukosit pada neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d 30.000 per mm3.

Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit ditemukan karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi. Karena itu, dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar diagnosa dapat ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus dapat digolongkan sebagai:

2.3.1. Gejala umum seperti: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.

2.3.2. Gejala gastrointestinal seperti: muntah, diare, hepatomegali dan perut kembung.

2.3.3. Gejala saluran pernafasan seperti: dispnea, takipne dan sianosis. 2.3.4. Gejala sistem kardiovaskuler seperti: takikardia, edema, dan dehidrasi. 2.3.5. Gejala susunan saraf pusat seperti: letargi, irritable, dan kejang.

2.3.6. Gejala hematologik seperti: ikterus, splenomegali, petekie, dan perdarahan lain.


(38)

Gambar 2.3. Sepsis pada Kulit Bayi karena Infeksi Bakteri dan Jamur dari Jalan Lahir

2.4. Epidemiologi

2.4.1. Distribusi Frekuensi

Distribusi frekuensi epidemiologi dapat digolongkan berdasarkan orang maupun tempat dan waktu.

a. Distribusi Frekuensi Menurut Orang

Penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 di RS Dr. Sardjito Yogyakarta menyebutkan bahwa berdasarkan umur, proporsi bayi dengan sepsis yang berumur 0 -7 hari adalah 77,2% sedangkan yang berumur > 7 hari adalah 22,8%. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi bayi laki-laki dengan sepsis adalah 61,4% sedangkan bayi perempuan adalah 38,6%. Menurut Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq terdapat 22 bayi yang berumur < 7 hari (62,9%) meninggal akibat sepsis, dan terdapat 31 bayi yang berumur 7-28 hari (3 6,5%) meninggal akibat sepsis.


(39)

Sepsis lebih sering terjadi pada bayi berkulit hitam daripada bayi berkulit putih, namun hal ini dapat dijelaskan berdasarkan tingginya insiden prematur, pecah ketuban, ibu demam, dan berat lahir rendah. Perbedaan kejadian sepsis neonatorum pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola makan yang telah dianut oleh ibu dari bayi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi gizi ibu yang kemudian berdampak pada keadaan bayi.

Menurut Thirumoorthi dalam simposium penanggulangan infeksi pada kehamilan menyebutkan bahwa dari semua penderita sepsis awitan dini, sebanyak 54% terjadi pada bayi berkulit hitam dan dari semua penderita sepsis awitan lambat, sebanyak 65% juga terjadi pada bayi berkulit hitam.

b. Distribusi Frekuensi Menurut Tempat dan Waktu

Insiden sepsis neonatorum di negara berkembang sangat bervariasi menurut waktu dan lokasi. Insiden yang bervariasi di berbagai rumah sakit tersebut dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan perinatal, persalinan, dan kondisi lingkungan waktu perawatan. Penelitian Rasul tahun 2007 di Bangladesh menyebutkan bahwa insiden infeksi perinatal yang tinggi yaitu 50 - 60% selama dua puluh tahun yang lalu mengalami penurunan menjadi 20 - 30% di negara-negara berkembang. Di India, berbagai studi menunjukkan bahwa kejadian bervariasi antara 10 - 20 per 1.000 kelahiran hidup.

2.4.2. Determinan Sepsis Neonatorum

Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host, agent, dan environment.


(40)

a. Host

Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat dilihat dari faktor bayi dan ibu.

a) Faktor Bayi

1) Umur

Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 menyebutkan bahwa secara statistik angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan pada bayi berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari (p<0,001). Hasil penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, proporsi penderita sepsis neonatorum berumur < 7 hari 77,2% dan > 7 hari 22,8%.

2) Jenis Kelamin

Laki-laki empat kali lebih beresiko terkena sepsis dibandingkan perempuan, dan kemungkinan ini berhubungan dengan kerentanan host berdasarkan jenis kelamin. Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di RSUD Curup Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu menyebutkan bahwa menurut faktor bayi, kejadian sepsis neonatorum banyak terjadi pada bayi laki-laki (61,2%). Hasil penelitian Patel, dkk (1995) di University of Mississippi Medical Center (UMMC), proporsi penderita sepsis neonatorum tertinggi pada bayi laki-laki (54,3%). Penelitian Jumah, dkk (2007) di Basrah Maternity


(41)

and Children Hospital, penderita sepsis neonatorum lebih banyak pada bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25% yang meninggal.

3) Prematuritas

Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi dengan sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir. Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah, namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu mengalami kelahiran prematur. Bayi prematur rentan mengalami infeksi atau septikemia. Infeksi atau septikemia empat kali beresiko menyebabkan kematian bayi prematur. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit. Incidence rate, sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi, antara 1-8 per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi kurang bulan dengan berat badan lahir rendah.

4) Berat Lahir Rendah

Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan 2500 gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk kelompok


(42)

ini. Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya kurang dari 1500 gram dengan angka kematian yang tinggi dan membutuhkan perawatan dan tindakan medik khusus.

Dalam penelitian Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (berat lahir <1500g) dari National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) pada tahun 1991 - 1993, 1,9% bayi terbukti mengalami sepsis dalam 72 jam pertama kehidupan, meskipun hampir 50% bayi di kelompok ini dianggap memiliki sepsis klinis dan diobati dengan antibiotik selama lebih dari lima hari. Dua puluh enam persen dari bayi tersebut meninggal.

5) Status Kembar

Bayi kembar berisiko tinggi untuk infeksi streptococcus grup B dan infeksi lain walaupun sudah dikendalikan untuk prematuritasnya selain itu bayi lahir dengan status kembar kemungkinan akan lahir dengan BBLR, sehingga akan berisiko mengalami sepsis karena organ tubuhnya belum sempurna sehingga sistem imunnya kurang yang menyebabkan mudah terkena infeksi. Menurut Mochtar (1998), berat badan satu janin kembar rata-rata 1.000 gram lebih ringan dari janin tunggal. Berat badan masing-masing janin kembar tidak sama, umumnya berselisih antara 50 sampai 1.000 gram, dan karena pembagian sirkulasi darah tidak sama, maka yang satu kurang bertumbuh dari yang lainnya. Pengaruh kehamilan kembar pada janin adalah umur kehamilan tambah singkat dengan bertambahnya


(43)

jumlah janin dalam kehamilan kembar, sehingga kemungkinan terjadinya bayi prematur sangat tinggi.

Perubahan perilaku pada bayi mungkin dapat merupakan tanda awal bayi sakit. Bayi yang stabil tetap terjaga dan aktif bila sedang bangun, minum bayi dan dapat diam pada saat sedang menangis, ini akan memberi sedikit peredaan pada keadaan yang dianggap normal. Beberapa perubahan perilaku petunjuk bayi sakit adalah bayi tampak lesu, tidak bertenaga, dan mengantuk, masalah malas minum meliputi dari kesulitan mengisap. Bayi membutuhkan perawatan akan menujukan perilaku yang sangat berbeda dengan bayi yang sehat memiliki berbagai macam refleks alamiah yang membantu untuk melindungi dirinya dari sinar yang berlebihan.

Menurut T. Berry Brazelton dan kawan-kawan dalam buku Neonatalogi, Neonatal Behavioral Assessment Scale (NBAS) atau skala Penilaian Perilaku Bayi Baru Lahir (SPPB) perilaku bayi yang menjelaskan tentang kekuatan bayi, respon adaptasi dan hal yang rentan yang mungkin terjadi pada bayi (IDAI, 2012)

Menurut Ai Yeyeh dalam buku Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, yang dimaksud dengan bayi stabil atau normal jika memiliki tanda antara lain, warna kulit yang kemerahan, frekuensi jantung lebih 100 kali/menit, ada reaksi terhadap rangsangan, menangis, otot dengan gerakan aktif dan mempunyai usaha nafas dimana bayi menangis kuat.


(44)

Pada usia kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahir 2500- 4000 gram dengan nilai Afgar lebih dari 7 tanpa cacat bawaan (Ai Yeyeh, dkk, 2010).

b. Faktor Ibu

1) Umur Ibu

Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan umur < 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20 - 35 tahun dan kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun, ibu hamil dengan umur lebih muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan hasil kehamilan tidak baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat badan lahir rendah juga meningkat. Menurut penelitian Nyoman Nuada di RS Denpasar pada tahun 1999 ditemukan 84% ibu yang melahirkan bayi prematur berusia kurang dari 20 tahun dan usia lebih dari 35 tahun (umur risiko tinggi).

Dalam penelitian Suwiyoga (2007) dengan menggunakan rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa insiden sepsis neonatorum di kelompok umur ibu kurang dari 20 tahun adalah 14,2%, lebih tinggi dari insidens sepsis di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu kurang dari 20 tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman Streptococcus Grup Beta di jalan lahir.

2) Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan bayi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup,


(45)

seorang ibu dinilai lebih banyak memperoleh infromasi yang dibutuhkan. Selain itu, ibu dengan tingkat pendidikan relatif tinggi lebih mudah menyerap informasi atau himbauan yang diberikan. Dengan demikian mereka dapat memilih serta menentukan alternatif terbaik dalam melakukan perawatan dan pemeriksaan kehamilan sehingga dapat melahirkan bayi sehat.

Menurut Bachroen, tingkat pendidikan mempunyai pengaruh besar terhadap derajat kesehatan. Penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa pendidikan paling berpengaruh adalah pendidikan ibu.

3) Pekerjaan Ibu

Variabel pekerjaan akan mencerminkan keadaan sosial ekonomi keluarga. Penelitian Yahya K, dkk menyebutkan bahwa presentase terbanyak adalah pada golongan berpenghasilan rendah. Di mana suami bekerja sebagai burah, kemudian diikuti pedagang kecil, pegawai negeri golongan I dan II. Sedangkan istrinya (ibu hamil) pada umumnya tidak bekerja. Rendahnya kedudukan tingkat dan macam pekerjaan ini adalah akibat dari tingkat pendidikan yang juga rendah. Di negara berkembang, banyak ibu bekerja keras untuk membantu menopang kehidupan keluarganya di samping tugas utama mengelola rumah tangga, menyiapkan makanan, mengasuh dan merawat anak.

Salah satu studi menunjukkan bahwa 25% dari rumah tangga sangat bergantung pada pendapatan kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu keras dan intake kalori kurang selama hamil akan lebih mudah melahirkan


(46)

bayi dengan berat lahir rendah yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi.

4) Umur Kehamilan

Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:

i. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28 -36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara 1.000 - 2.500 gram,

ii. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan 37- 40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram,

iii. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.

5) Ketuban Pecah Dini (KPD)

Ketuban Pecah Dini (KPD) yaitu bocornya cairan amnion sebelum mulainya persalinan, terjadi pada kira-kira 7 sampai 12 persen kehamilan. Paling sering ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan; persalinan terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah dini dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin.

Sepsis neonatarum dini sering dihubungkan dengan KPD karena infeksi dengan KPD saling mempengaruhi. Infeksi genital bawah dapat mengakibatkan KPD, demikian pula KPD dapat memudahkan infeksi


(47)

asendens. Infeksi asendens ini dapat berupa amnionitis dan korionitis, gabungan keduanya disebut korioamnionitis. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.

Dalam penelitian Suwiyoga, dkk (2007) dengan menggunakan rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa resiko Sepsis Awitan Dini (SAD), pada ketuban pecah kurang 12 jam adalah 1,5 kali, sesudah 12 -18 jam adalah 7 kali dan pada 18-24 jam adalah 9 kali. Selain itu, KPD merupakan faktor risiko utama prematuritas yang merupakan penyumbang utama SAD dan kematian perinatal.

i. Infeksi dan Demam (>38°C) pada Masa Peripartum

Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptococcus Grup B (SGB), kolonisasi permeal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Ibu yang menderita infeksi ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu maupun janin dan bayi neonatal seperti infeksi neonatal.

ii. Cairan Ketuban Hijau Keruh dan Berbau

Dalam penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan rancangan penelitian uji diagnostik potong 1 in tang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta terdapat proporsi ibu dengan keadaan air ketuban keruh melahirkan bayi yang mengalami sepsis neonatorum sebanyak 33,1%. Menurut hasil penelitian Simbolon di instalasi kebidanan Rurnah Sakit


(48)

Pusat Sardjito Yogyakarta dari bulan Januari 2001 ditemukan 72% faktor risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan keadaan air ketuban bau busuk.

iii. Riwayat Persalinan Ibu

Bayi yang lahir dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria) beresiko mengalami sepsis neonatorum. Infeksi dapat diperoleh bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti alat-alat penolong persalinan yang terkontaminasi. Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, kejadian sepsis neonatorum menurut riwayat persalinan menunjukkan bahwa kejadian sepsis neonatorum sedikit lebih banyak pada bayi dengan riwayat persalinan dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria). Bayi yang lahir dengan tindakan beresiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum dibandingkan dengan bayi yang lahir secara normal.

iv. Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care)

Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yang teratur berfungsi sebagai kontrol untuk mendeteksi terjadinya tanda-tanda komplikasi kehamilan, sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan bahaya kehamilan dan persalinan. Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan oleh ibu semasa hamil, mulai dari trimester pertama sampai saat berlangsungnya persalinan. Tujuan pemeriksaan kehamilan adalah untuk menemukan ibu


(49)

hamil yang mempunyai risiko tinggi sehingga risiko kematian ibu atau bayi dapat dikurangi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan dapat mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang sangat rentan terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama hamil dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.

Menurut Ulina (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Tanjung Jati Kecamatan Binjai, hasil cakupan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan antenatal yaitu Kl (81%) dan K4 (66,7%). Dari hasil cakupan tersebut terlihat relatif tinggi drop out antara Kl dan K4 yaitu sebesar 14,3%. Rendahnya pencapaian cakupan K4 ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ibu hamil merasa kurang membutuhkan pelayanan antenatal karena beranggapan dirinya sehat, pendidikan ibu rendah, kurangnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya perawatan pada masa kehamilan secara berkala, bagi ibu hamil yang bekerja kurang memiliki waktu untuk memeriksakan kehamilannya, tingkat pendapatan keluarga sehubungan dengan kondisi ibu hamil.

c. Agen

Agent atau organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia coli dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggung jawab atas 50 - 75% kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan), Streptococcus termasuk kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu


(50)

sistem pun yang mampu untuk mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk streptococcus pyogenes (group A), streptococcus agalactiae (group B) dan jenis enterococcus (group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya yang bervariasi: dan" karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada media agar darah (hemolisis a, hemolisft, atau tanpa hemolisis), komposisi antigen pada substansi dinding sel dan reaksi biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus) lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada kapsul.

Selain itu penyebab lain dari sepsis neonatorum adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Listeria manocytogenes dan bakteri anaerob, Sepsis awitan dini akan terlihat sebagai proses nyata, yang mengenai banyak organ pada minggu pertama kehidupan, sedangkan sepsis awitan lambat, sering dimanifestasikan sebagai meningitis setelah minggu pertama kehidupan.

Pertama-tama biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor ibu dan organisme yang berasal dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir, dan setelah itu bayi mungkin terinfeksi dari lingkungannya atau dari sejumlah sumber di rumah sakit. E. coli dan streptococcus B mungkin bertanggung jawab atas terjadinya sepsis awitan dini atau lambat, sedangkan S. aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, P. aemginosa dan Serratila sp, lebih lazim menyebabkan sepsis awitan lambat.


(51)

d. Environment

Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum.

a) Perubahan perilaku yang dapat terjadi pada Bayi

Perubahan pada bayi mungkin dapat merupakan tanda awal bayi sakit, meskipun tingkat aktivitas, nafsu makan dan tangis bayi secara normal bervariasi dari hari kehari bahkan dari jam ke jam, perubahan mencolok dapat menjadi petujuk bayi sakit.Biasanya bayi tetap terjaga dan aktif bila sedang bangun, minum baik dan dapat didiamkan bila sedang menangis.

b) Bayi malas Minum

Masalah malas minum meliputi bayi kesulitan menghisap payudara atau botol, bayi tidak lapar, bayi dengan kehilangan berat badan atau berat bayi tidak naik, kesulitan bayi minum karena masalah bayi kesulitan menghisap, c) Bayi sakit

Bayi yang dirawat biasanya menunjukan perilaku yang berbeda dengan bayi sehat, BKB, kurang dapat mengontrol dan mengkoordinasikan gerakannya dibanding BCB. Dokter yang merawat harus memberitahu orangtuanya keadaan ini (IDAI, 2012)


(52)

Semua faktor-faklor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

2.4.3. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada seseorang dengan faktor resiko. Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan primer terhadap kejadian sepsis neonatorum adalah:

A. Mewujudkan Pelayanan Kebidanan yang Baik dan Bermutu

Bidan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pelayanan kebidanan yang baik dan bermutu antara lain:

a) Pelayanan yang diberikan bermutu.

b) Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit namun ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi komplikasi.

c) Diwajibkan bersalin di rumah sakit

d) Pengawasan ibu dan bayi pada saat intranatal dan postnatal e) Perawatan Antenatal (Antenatal Care)


(53)

Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan

a. Mencuci tangan

Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian yang paling penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan bioburden (jumlah mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK) dan peralatan. Tenaga perawatan diharuskan mencuci tangan sebelum dan setelah memegang bayi untuk menghindari terjadinya infeksi pada bayi tersebut.

Mencuci tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan tenaga perawatan kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga perawatan kesehatan yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan organisme-organisme seperti Staphylococcus, Echeriscia coli, Pseudomonas, dan Klebsiella secara langsung kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan infeksi nosokomial dan epidemik di semua jenis lingkungan pasien. Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi nosokomial.


(54)

Di bawah ini tujuh langkah mencuci tangan yang baik dan benar:

Gambar 2.4. Tujuh Langkah Mencuci Tangan

b. Pemberian ASI secepatnya

Upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan gizi bayi yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI secara benar dan tepat. Air susu ibu memegang peranan yang penting untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. Awal menyusui yang baik adalah 30 menit setelah bayi lahir karena dapat merangsang pengeluaran ASI selanjutnya, di samping itu akan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik dengan cepat antara ibu dengan bayi.


(55)

Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektivitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi premature yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi premature yang mendapat susu formula (47,2%).

c. Pencegahan Infeksi

Pada tempat perawatan bayi dimana bayi banyak disatukan, infeksi silang sulit dihindari dengan rawat gabung. Lebih mudah mencegah infesi kolustrum yang mengandung antibodi dalam jumlah tinhgi akan melapisi seluruh permukaan kulit dan saluran pencernaan bayi dan diserap oleh bayi sehingga bayi akan mempunyai kekebalan yang tinggi.

d. Pembersihan Ruang Perawatan Bayi

Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Setiap ruang perawatan terutama NICU (Neonatal Intensive Care Unit) memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan invasif dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan.


(56)

e. Perawatan Persalinan Aseptik

Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik menurunkan risiko terjadinya infeksi. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis.

2.4.4. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.

a. Diagnosis

Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa perkembangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Dalam Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum. Depkes RI, mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonates berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, vairabel perfusi jaringan dan variabel inflamasi seperti tampak pada Tabel 2.1.


(57)

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus

Jenis Variabel Kriteria

Klinis - Suhu tubuh tidak stabil

- Denyut nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit

- Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

- Letargi

- Intoleransi glukosa (plasma glukosa > 10 mmol/L) - Intoleransi minum

Hemodinamik - TD < 2 SD menurut usia bayi

- TD sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari) - TD sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan) Perfusi Jaringan - Pengisian kembali kapiler > 3 detik

- Asam laktat plasma > 3 mmol/L Inflamasi - Leukositosis (>34000x109L)

- Leucopenia (<5000 x 109/L) - Neutrofil muda > 10%

- Neutrofil muda/total neutrofil (I/T ratio) > 0,2 - Trombositopenia < 100000 x 109/L

- C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Dalam menentukan diagnosis klinik sepsis, setiap lembaga hendaknya membuat sendiri kriteria yang cocok untuk dipakai di tempatnya. Pengkajian secara statistic mengenai hal ini sangat sulit, karena faktor predisposisi infeksi maupun gejala klinis sangat sulit digolongkan karena saling tumpang tindih. b. Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.


(58)

1) Pemberian Antibiotik

Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik harus dihentikan. a) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

b) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat

Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada kasus infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti staphylococcus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pemberian antibiotic harusnya disesuaikan dengan pola kuman yang ada paa masing-masing unit perawatan neonatus.


(59)

2) Terapi Suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih yang disebut Disfungsi Multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan kardiovaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian transfuse dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfuse tukar (IT) dan lain-lain.

2.4.5. Pencegahan Tertier

Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah cacat, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita sepsis nenatorum mempunyai risiko untuk mengalami kematian jika tidak dilakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat. Untuk itu bayi-bayi yang menderita sepsis perlu mendapat penanganan khusus dari petugas kesehatan dalam rangka mencegah kematian dan membatasi gangguan lain yang dapat timbul di kemudian hari.


(60)

2.5. Hipotermi

2.5.1. Definisi Hipotermi

Hipotermi adalah suhu tubuh bayi baru lahir yang tidak normal (<36ºC) pada pengukuran suhu melalui aksila, dimana suhu tubuh bayi baru lahir normal adalah 36,5ºC-37,5ºC (suhu aksila). Hipotermi merupakan suatu tanda bahaya karena dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh yang akan berakhir dengan kegagalan fungsi jantung paru dan kematian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Hipotermi adalah temperatur tubuh yang rendah, seperti yang disebabkan oleh pemajanan terhadap cuaca dingin, atau keadaan tubuh yang diinduksi dengan cara menurunkan metabolisme dan dengan demikian menurunkan kebutuhan oksigen (Maimunah, 2005)

2.5.2. Penyebab terjadinya Hipotermi

Suhu tubuh rendah (hipotermi) dapat disebabakan oleh karena terpapar dengan lingkungan yang dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah) atau bayi dalam keadaan basah atau tidak berpakaian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

Hipotermi dapat terjadi sangat cepat pada bayi sangat kecil atau bayi yang diresusitasi atau dipisahkan dari ibu. Dalam kasus-kasus ini, suhu dapat cepat turun < 35ºC (Saifuddin, 2002). Jika bayi sangat kecil (<1500 gram atau <32 minggu) sering terjadi masalah yang berat misalnya sukar bernafas, kesukaran pemberian minum, ikterus


(61)

berat dan infeksi sehingga bayi rentan terjadi hipotermi jika tidak dalam inkubator (Saifuddin, 2002).

Hipotermi dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain:

a. Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin, basah atau bayi yang telanjang, cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus serta pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.

b. Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar.

c. Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat,

misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia dan hipoglikemi.

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, diagnosa bayi baru lahir yang mengalami hipotermi dapat ditinjau dari riwayat asfiksia pada waktu lahir, riwayat bayi yang segera dimandikan sesaat sesudah lahir, riwayat bayi yang tidak dikeringkan sesudah lahir, dan tidak dijaga kehangatannya, riwayat terpapar dengan lingkungan yang dingin dan riwayat melakukan tindakan tanpa tambahan kehangatan pada bayi.

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir dapat melalui 4 cara, yaitu:


(62)

b. Konduksi yaitu langsung dari bayi ke sesuatu yang kontak dengan bayi c. Konveksi yaitu kehilangan panas dari bayi ke udara sekitar

d. Evaporasi yaitu penguapan air dari kulit bayi. 2.5.3. Tanda-tanda Hipotermi

Gejala awal hipotermi adalah apabila suhu bayi baru lahir <36ºC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32ºC-36ºC). Disebut hipotermi berat apabila suhu tubuh bayi <32ºC (Saifuddin, 2006)

Menurut Saifuddin 2006, penilaian tanda-tanda hipotermi pada bayi baru lahir meliputi bayi tidak mau minum/menetek, bayi tampak lesu atau mengantuk, tubuh bayi teraba dingin, dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras (sklerema).

Tanda-tanda hipotermi sedang antara lain meliputi aktifitas bayi berkurang (letargis), tangisan bayi lemah, kulit berwarna tidak rata (Cutis mamorata), kemampuan menghisap lemah dan kaki teraba dingin (Saifuddin 2006). Tanda-tanda hipotermi berat sama dengan hipotermi sedang antara lain bibir dan kuku kebiruan, pernafasan lambat, pernafasan tidak teratur dan bunyi jantung lambat (Saifuddin 2006).

2.5.4. Pencegahan Hipotermi

Untuk mencegah akibat buruk dari hipotermi karena suhu lingkungan yang rendah atau dingin harus dilakukan upaya untuk merawat bayi dalam suhu lingkungan yang netral, yaitu suhu yang diperlukan agar konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal. Keadaan ini dapat dicapai bila suhu inti bayi (suhu tubuh tanpa berpakaian)


(63)

dapat dipertahankan 36,5ºC-37,5ºC. Kelembaban relatif sebesar 40-60% perlu dipertahankan untuk membantu stabilitas suhu tubuh bayi, yaitu dengan cara mengurangi kehilangan panas pada suhu lingkungan yang rendah, mencegah kekeringan dan iritasi pada selaput lendir jalan nafas, terutama saat mendapat terapi oksigen dan selama pemasangan intubasi endotrakea atau nasotrakea dan mengencerkan sekresi yang kental serta mengurangi kehilangan cairan insesibel dari paru (Surasmi, 2003).

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, langkah-langkah pencegahan terjadinya hipotermi adalah jangan memandikan bayi sebelum berumur 12 jam, kemudian rawatlah bayi kecil di ruang yang hangat tidak kurang 25ºC dan bebas dari aliran angin. Jangan meletakkan bayi dekat dengan benda yang dingin misalnya dinding dingin atau jendela walaupun bayi dalam inkubator atau di bawah pemancar panas dan jangan meletakkan bayi langsung dipermukaan yang dingin misalnya alas tempat tidur atau meja periksa dengan kain atau selimut hangat sebelum bayi diletakkan.

Pada waktu dipindahkan ketempat lain, jaga bayi tetap hangat dan gunakan pemancar panas atau kontak kulit dengan perawat, bayi harus tetap berpakaian atau diselimuti setiap saat, agar tetap hangat walau dalam keadaan dilakukan tindakan misalnya bila dipasang jarum infus intravena atau selama resusitasi dengan cara memakai pakaian dan mengenakan topi, bungkus bayi dengan pakaian yang kering dengan lembut dan selimuti, buka bagian tubuh yang diperlukan untuk pemantauan atau tindakan, berikan tambahan kehangatan pada waktu dilakukan tindakan misalnya menggunakan pemancar panas, ganti popok setiap kali basah (Departemen Kesehatan RI 2007).


(64)

Bila ada sesuatu yang basah ditempelkan di kulit misalnya kain kasa yang basah, usahakan agar bayi tetap hangat, jangan menyentuh bayi dengan tangan yang dingin dan ukur suhu tubuh: bila bayi sakit frekuensi pengukurannya setiap jam, bila bayi kecil frekuensi pengukurannya setiap 12 jam dan bila keadaan bayi membaik frekuensi pengukurannya setiap sekali sehari (Departemen Kesehatan RI 2007).

Menurut Wahyuningsih 2008, metode mencegah terjadinya hipotermi umumnya dapat dilakukan dengan cara menghangatkan dahulu setiap selimut, topi atau pakaian sebelum kelahiran kemudian segera keringkan bayi baru lahir. Kemudian mengganti selimut yang basah setelah mengeringkan bayi baru lahir dan hangatkan dahulu area resusitasi bayi baru lahir. Kemudian mengatur suhu ruangan kelahiran pada 24ºC, jangan melakukan pengisapan pada bayi baru lahir diatas tempat tidur yang basah, tunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu bayi stabil selama 2 jam kemudian atur agar tempat perawatan bayi baru lahir jauh dari jendela, dinding-dinding luar atau pintu keluar serta pertahankan kepala bayi baru lahir tetap tertutup dan badannya dibedung dengan baik setiap 48 jam.

2.5.5. Penanganan Hipotermi

Seorang bayi yang cukup bulan yang sehat dan berpakaian akan mempertahankan suhu tubuh sebesar 36-37 ºC asalkan suhu lingkungan dipertahankan antara 18 dan 21 ºC, gizi cukup dan gerakannnya tidak terhambat oleh bedong yang ketat. Laju metabolisme bayi berbeda-beda, tetapi masing-masing bayi harus diawasi tidak boleh terlalu panas.


(1)

DATARESPONDEN

SET ELAH

PEMISAHAN RUANGAN PERINATAL

RESP

JENKEL

UMUR

DIARE

SUHU

HIPO

HIPER

INFEKSI

ISAP

LAMARAWAT

1

Perempuan

4

Tdk

36,1

Ya

Tdk

Tdk

Kuat

5

2

Laki-laki

3

Tdk

37,2

Tdk

Ya

Tdk

Lemah

6

3

Laki-laki

5

Tdk

36,1

Ya

Tdk

Tdk

Kuat

5

4

Laki-laki

2

Ya

36,5

Tdk

Tdk

Ya

Kuat

4

5

Perempuan

3

Tdk

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Kuat

3

6

Perempuan

5

Tdk

36,9

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

5

7

Laki-laki

6

Ya

36,1

Ya

Tdk

Tdk

Kuat

7

8

Perempuan

7

Tdk

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Kuat

5

9

Laki-laki

2

Tdk

36,7

Tdk

Ya

Tdk

Lemah

4

10

Perempuan

1

Ya

36,5

Tdk

Tdk

Ya

Kuat

4

11

Perempuan

5

Tdk

37,2

Tdk

Ya

Ya

Lemah

5

12

Perempuan

2

Tdk

35,8

Ya

Tdk

Tdk

Kuat

4

13

Laki-laki

3

Tdk

37,4

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

6

14

Laki-laki

6

Ya

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Kuat

3

15

Laki-laki

7

Tdk

37,8

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

7

16

Laki-laki

11

Tdk

36,3

Ya

Tdk

Tdk

Kuat

8

17

Laki-laki

4

Tdk

36,5

Tdk

Tdk

Ya

Lemah

4

18

Laki-laki

5

Tdk

36,9

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

4

19

Perempuan

2

Ya

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Lemah

5

20

Laki-laki

6

Ya

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Kuat

4

21

Perempuan

7

Tdk

36,2

Ya

Tdk

Ya

Kuat

3

22

Laki-laki

9

Tdk

37,1

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

4

23

Perempuan

10

Tdk

36,5

Tdk

Tdk

Tdk

Kuat

6

24

Perempuan

2

Tdk

37,6

Tdk

Ya

Tdk

Kuat

4

25

Laki-laki

3

Ya

36,3

Ya

Tdk

Tdk

Lemah

4

26

Laki-laki

6

Tdk

36,5

Tdk

Ya

Ya

Kuat

5


(2)

LAMPIRAN B: OUTPUT OLAHAN SPSS

OLAHAN DATA SEBELUM PEMISAHAN

Frequency Table

JENKEL

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-Laki 15 55.6 55.6 55.6

Perempuan 12 44.4 44.4 100.0

Total 27 100.0 100.0

UMUR

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <= 5 Hari 21 77.8 77.8 77.8

<=10 Hari 5 18.5 18.5 96.3

>10 Hari 1 3.7 3.7 100.0

Total 27 100.0 100.0

DIARE

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Ya 16 59.3 59.3 59.3

Tidak 11 40.7 40.7 100.0

Total 27 100.0 100.0

HIPO_HIPER

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Hipotermi 5 18.5 18.5 18.5

Normal 10 37.0 37.0 55.6

Hipertermi 12 44.4 44.4 100.0

Total 27 100.0 100.0

INFEKSI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Ya 14 51.9 51.9 51.9

Tidak 13 48.1 48.1 100.0


(3)

ISAP

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Lemah 15 55.6 55.6 55.6

Kuat 12 44.4 44.4 100.0

Total 27 100.0 100.0

LAMARAWAT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <=5 Hari 12 44.4 44.4 44.4

<=10 Hari 13 48.1 48.1 92.6

>10 Hari 2 7.4 7.4 100.0

Total 27 100.0 100.0

OLAHAN DATA SESUDAH PEMISAHAN

Frequency Table

JENKEL

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-Laki 16 59.3 59.3 59.3

Perempuan 11 40.7 40.7 100.0

Total 27 100.0 100.0

UMUR

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <= 5 Hari 12 44.4 44.4 44.4

<=10 Hari 13 48.1 48.1 92.6

>10 Hari 2 7.4 7.4 100.0

Total 27 100.0 100.0

DIARE

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Ya 7 25.9 25.9 25.9

Tidak 20 74.1 74.1 100.0


(4)

HIPO_HIPER

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Hipotermi 7 25.9 25.9 25.9

Normal 13 48.1 48.1 74.1

Hipertermi 7 25.9 25.9 100.0

Total 27 100.0 100.0

INFEKSI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Ya 6 22.2 22.2 22.2

Tidak 21 77.8 77.8 100.0

Total 27 100.0 100.0

ISAP

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Lemah 7 25.9 25.9 25.9

Kuat 20 74.1 74.1 100.0

Total 27 100.0 100.0

LAMARAWAT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <=5 Hari 21 77.8 77.8 77.8

<=10 Hari 6 22.2 22.2 100.0


(5)

(6)