c. Tingkat ketiga, sistem hukum. Sistem ini lebih konkrit lagi.
Hukum, baik hukum adat maupun hukum tertulis, sudah jelas pula batas-batas ruang lingkupnya. Jumlah hukum dalam suatu
masyarakat jauh lebih banyak dari pada jumlah norma yang menjadi pedomannya.
d. Tingkat keempat, aturan khusus. Aturan-aturan khusus
mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, aturan
aturan khusus ini sangat konkrit dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum. Contoh aturan khusus yang terkait dengan
sistem hukum adalah peraturan lalu lintas. Contoh aturan khusus yang tidak tersangkut dengan sistem hukum misalnya adalah
aturan sopan-santun.
B. Sistem Sosial
Wujud kedua dari kebudayaan, sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari
aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari,
dan dari tahun ke tahun, selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas
manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, di foto dan di dokumentasikan, contoh upacara-upacara, tradisi dalam merayakan Idul Fitri dll penulis.
C. Kebudayaan Fisik
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Karena merupakan keseluruhan jumlah hasil fisik dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat dan di foto; barang bergerak dan barang tidak bergerak, besar maupun kecil, serta kompleks dan njlimet sophisticated seperti
komputer dan satelit maupun yang sangat sederhana. Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideel dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan
dan karya manusia Kuntjaraningrat, 1987:5-12. Ketiga wujud kebudayaan tersebut berpengaruh terhadap organisasi
pemerintah. Kebudayaan ideel mempengaruhi visi, misi dan sistem nilai organisasi. Cita-cita terwujudnya masyarakat adil dan makmur
jelas menjadi acuan perumusan visi, misi dan sistem nilai kebanyakan organisasi pemerintah Indonesia. Sistem sosial akan banyak mem-
pengaruhi perilaku para anggota organisasi. Berbagai upacara atau acara seremonial bentukcara hubungan antar sesama anggota,
antara atasan dan bawahan merupakan cerminan pengaruh sistem sosial. Sedangkan kebudayaan fisik juga mempengaruhi perilaku
dan cara-cara kerja organisasi. Kebanyakan instansi pemerintah dengan alasan meningkatkan efisiensi kerja, cenderung selalu ingin
mengganti perabot dan alat kantor modern dengan produk yang mutakhir. Carbon copy dan stensil sudah tidak digunakan lagi dengan
adanya fotocopy. Sistim nilai budaya, yang merupakan lapisan kebudayaan ideel atau adat yang paling abstrak, dan seperti dikatakan
oleh Kuntjaraningrat : “biasanya berakar dalam bagian emosional dari atau jiwa manusia”, sangat mempengaruhi
perilaku manusia termasuk anggota organisasi pemerintah dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat merubahnya.
Selanjutnya Harsya W. Bachtiar dalam tulisannya “Birokrasi dan Kebudayaan” Alfian,ed, 1985:67-72 menguraikan bahwa dalam
suatu birokrasi organisasi pemerintah dapat dijumpai lebih dari satu sistem budaya. Batasan antara berbagai sistem budaya tersebut
bagi anggota-anggota birokrasi yang bersangkutan dalam berbagai hal tidak begitu jelas, bahkan adanya berbagai sistem budaya yang
mempengaruhi sikap, pemikiran dan tindakan mereka itu, sering tidak disadari, apalagi diketahui. Menurut Harsya Bachtiar, pada umumnya
di suatu birokrasi pemerintah dapat dibedakan adanya paling sedikit empat, dan biasanya bahkan lima sistem budaya, yaitu :
1. sistem budaya birokrasi yang universal; 2. sistem budaya nasional;
3. sistem budaya daerah; 4. sistem budaya agama;
5. sering pula sistem budaya asing.
1. Sistem Budaya Birokrasi Yang Universal
Terdapat seperangkat kepercayaan, pengetahuan, nilai-nilai, aturan-aturan dan simbol-simbol pengungkapan perasaan yang
pada hakekatnya adalah sama dalam birokrasi dari negara mana- pun. Perangkat simbol-simbol budaya ini yang membentuk dan
mempertahankan struktur-struktur sosial yang bersangkutan sebagai birokrasi. Tanpa perangkat simbol-simbol itu, suatu
struktur sosial tidak dapat dianggap sebagai birokrasi, mungkin hanya struktur sistem kekerabatan atau sistem patrimonial; tetapi
jelas bukan birokrasi. Max Weber, Bapak teori birokrasi, telah menunjukkan beberapa
unsur sistem budaya birokrasi yang universal itu, antara lain adalah adanya aturan-aturan tertulis yang mengatur hubungan
antara para pejabat dan bawahan mereka masing-masing; hak- hak dan kewajiban masing-masing, kedudukan; pengangkatan,
kenaikan pangkat, dan pemberhentian anggota birokrasi; gaji dan bentuk-bentuk balas jasa lain; pemisahan antara pengemban
jabatan dan jabatannya seseorang tidak memiliki jabatan serta pemisahan antara milik birokrasi dan milik pribadi masing-masing
anggota. Adanya aturan aturan tertulis ini memberikan ciri-ciri khas pada semua struktur sosial yang terwujud sebagai birokrasi.
Bahwa dalam kenyataan terjadi penyimpangan-penyimpangan dari aturan-aturan tertulis yang berlaku disebabkan oleh adanya
sistem-sistem budaya lain.
2. Sistem Budaya Nasional
Pada setiap birokrasi pemerintah tampak jelas kepercayaan, pengetahuan, nilai-nilai dan aturan-aturan, serta simbol-simbol
pengungkapan perasaan tertentu yang sebagai satu sistem budaya tersendiri tidak terdapat pada birokrasi pemerintah negara-negara
lain. Sistem budaya yang berintikan Pancasila merupakan pola- pola arti yang memberikan sifat dan bentuk yang khas pada
birokrasi Pemerintah Republik Indonesia. Bahasa Indonesia jelas digunakan sebagai bahasa resmi. Pengetahuan kognitif yang
memberikan gambaran tentang kenyataan-kenyataan empiris yang dihadapi datam melaksanakan tugas sebagai anggota biro-
krasi dalam banyak hal berlainan dari pengetahuan kognitif berkenaan dengan kenyataan kenyataan empiris sejenis sebagai
mana diketahui oleh anggota birokrasi pemerintah berbagai negara lain. Berbagai masalah ditanggapi sebagai masalah yang
harus dimusyawarahkan dahulu dalam rapat, seminar atau per- temuan bentuk lain, meski pun pejabat yang bersangkutan
sebenarnya dapat saja membuat keputusan sendiri perlu Surat Keputusan bersama atau Surat Edaran Bersama, penulis.
Berbagai nilai dan aturan-aturan tertentu yang dijadikan pedoman dalam bertindak adalah khas nilai nilai dan aturan-aturan
Indonesia, setidak-tidaknya sebagai suatu perangkat pedoman tersendiri. Tentu sebagian nilai-nilai dan aturan-aturan ini terdapat
juga pada birokrasi banyak negara lain yang juga mengalami proses modernisasi, karena keadaan-keadaan obyektif dan
masyarakat dan negara, termasuk Indonesia, banyak persamaannya.
3. Sistem Budaya Daerah
Anggota-anggota birokrasi pemerintah berasal dari berbagai masyarakat daerah yang masing-masing mewujudkan
kebudayaan sendiri, warisan dari nenek moyang penduduk pribumi daerah yang bersangkutan. Karena biasanya masing-
masing anggota birokrasi dibesarkan dalam lingkungan budaya daerah asal masing-masing, dan pada umumnya hidup dalam
lingkungan keluarga yang juga mewujudkan kebudayaan daerah asal, pemikiran para anggota birokrasi sedikit banyak terpengaruh
oleh kebudayaan asal masing-masing, yang dalam keadaan- keadaan tertentu tercermin juga pada cara berfikir dan tingkah
laku mereka dalam penyelenggaraan pekerjaan dinas. Banyak anggota birokrasi yang sama-sama berasal dari Jawa
menggunakan bahasa Jawa dalam pembicaraan kedinasan. Anggota birokrasi yang berasal dari Tapanuli berbicara bahasa
Batak bilamana menghadapi orang lain, sesama anggota biro- krat atau bukan, penulis yang juga berasal dari Tapanuli, supaya
pembicaraan lebih akrab ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Kadang-kadang penggunaan bahasa daerah memper-
sulit orang lain yang diharapkan ikut serta dalam pembicaraan yang bersangkutan, karena tidak mengerti bahasa daerah yang
bersangkutan. Secara umum penulis, anggota birokrasi yang bekerja di suatu daerah tertentu, perlu memahami budaya daerah
yang bersangkutan, paling tidak untuk lebih mengefektifkan komunikasi nya dengan warga masyarakat.
Di birokrasi yang banyak beranggotakan orang orang yang ber- asal dari daerah tertentu terdapat kecenderungan didominasi
sistem budaya daerah yang bersangkutan, terutama dalam penggunaan bahasa, tetapi sering pula meliputi tata cara per-
gaulan antar anggota birokrasi : cara memberi hormat, cara menyatakan terima kasih, bahkan juga cara menyatakan rasa
tidak puas, kesal, marah. Contoh penulis, dominasi budaya Jawa
dalam birokrasi Indonesia : “Ing ngarso sung tulado, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” telah diucapkan
dan dipahami dan diterima sebagai kepemimpinan Pancasila oleh para pejabat pemerintah Indonesia dari semua daerah, “sungkan”
dan “ewuh pakewuh” telah biasa diucapkan manakala anggota birokrasi Indonesia membicarakan pengawasan melekat; dan
masih banyak lagi istilah-istilah Jawa telah masuk dalam khasanah bahasa Indonesia dan dalam sistem Administrasi
Negara Indonesia. Kehadiran sistem budaya daerah di suatu birokrasi terlihat dengan
jelas; pada hubungan-hubungan kekerabatan antara anggota anggota tertentu yang menurut aturan-aturan kebudayaan daerah
yang bersangkutan adalah kerabat maupun antara anggota- anggota tertentu dan kerabat-kerabat mereka di luar birokrasi.
Seringkali anggota-anggota yang bersangkutan menyimpang dari aturan-aturan hukum atau aturan lain yang berlaku dalam
kedinasan, demi tuntutan kewajiban mereka dalam kekerabatan dengan orang yang di hadapi, misalnya dalam hal pengangkatan
kenaikan pangkat mutasi dan pemberian persetujuan KKN.
15
4. Sistem Budaya Agama
Hari Minggu libur, kita warisi dari kebudayaan agama orang Belanda yang dahulu menjajah kita. Bagi orang Belanda, yang
beragama Kristen, hari pertama dari setiap pekan merupakan hari Tuhan; hari yang khusus digunakan untuk mengadakan
kebaktian keagamaan atau misa untuk memperingati kebangkitan kembali Yesus. Maka, pekerjaan birokrasi pun harus dihentikan
pada hari Minggu itu.
Setiap hari Jumat, menjelang tengah hari, banyak anggota biro- krasi yang beragama Islam meninggalkan pekerjaan untuk
menunaikan ibadah sholat Jum’at di mesjid. Anggota birokrasi yang tidak beragama Islam pun juga meninggalkanberhenti
bekerja, karena mayoritas anggota masyarakatbirokrasi beragama Islam. Bahkan penulis, dalam sistem 6 hari kerja
dengan 37,5 jam kerja, pada hari Jumat jam kerja birokrasi hanya sampai jam 11.30.
Karena masing-masing agama mempunyai budayanya sendiri, maka di negara yang memberi kesempatan berkembangnya
semua agama dan warga negara bebas memeluk agamanya masing-masing, seperti di Indonesia ini Islam, Kristen, Hindu
dan Budha, maka dalam birokrasi dijumpai lebih dari satu sistem budaya agama. Walau pun demikian, harus dicatat, bahwa kita
di Indonesia telah sepakat memisahkan agama dari kebudayaan, karena agama bukan berasal dari manusia tetapi dari Tuhan.
penulis.
5. Sistem Budaya Asing
Unsur-unsur budaya asing terdapat di birokrasi pemerintah kita, diperlukan dan digunakan oleh anggota birokrasi yang pernah
belajar di luar negeri, berkunjung ke luar negeri, ataupun memperolehnya melalui pendidikan, pertemuan-pertemuan atau
media massa di negara kita sendiri. Generasi tua cenderung mengarahkan perhatian pada kebudayaan
Belanda yang banyak mempengaruhi mereka ketika menjadi pelajar ELS, HIS, MULO, AMS atau HBS atau sebagai mahasiswa di
perguruan tinggi dalam zaman Belanda dahulu. Mereka banyak menggunakan bahasa Belanda baik dalam pembicaraan kedinasan
maupun di luar kedinasan. Bahasa hukum banyak sekali mengandung istilah-istilah Belanda. Orang yang tidak mampu ber-
bahasa Belanda dianggap kurang terpelajar. Sebaliknya orang-orang sekarang cenderung mengarahkan perhatian pada kebudayaan
Amerika, atau orang-orang yang berbahasa Inggris. Mereka banyak menggunakan bahasa Inggris dan bertindak seolah-olah orang
terpelajar kalau mengetahui kebudayaan Amerika. Bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional. Banyak penulis istilah asing
yang telah diadopsi dan dieja menurut ejaan Indonesia, seperti presiden, direktur, prinsip, norma, akseptabel, kapabel, efisiensi,
efektif, akuntabilitas, produktivitas, sistimsistem dan lain-lain. Dari keseluruhan uraian diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa
pengaruh budaya dalam organisasi pemerintah sangatlah komplek. Dilihat dari wujud budayanya maka organisasi pemerintah dipengaruhi
oleh budaya ideel, sistem sosial dan budaya fisik, serta sekaligus pula dilihat dari asal budayanya dipengaruhi oleh budaya birokrasi universal,
budaya nasional, budaya daerah, budaya agama dan budaya asing.
D. Latihan
1. Benarkah kebudayaan merupakan variabel yang sangat signifikan dalam studi administrasi suatu negara ?
2. Apakah ujud kebudayaan ideel yang paling mempengaruhi sistem administrasi negara Indonesia ?
3. Berilah contoh perwujudan pengaruh sistem sosial dalam administrasi negara Indonesia.
18
4. Apakah pengaruh budaya yang menghambat modernisasi aparatur di Indonesia ini ?
5. Mengacu kepada pengaruh budaya secara keseluruhan, pada dasarnya; dapatkah pendekatan dalam modernisasi birokrasi
disamakan dengan di negara lain ?
E. Rangkuman
Eksistensi organisasi Pemerintah tidak dapat terlepas dari keterkaitannya dengan faktor-faktor lingkungan, yang terdiri atas
faktor-faktor geografi, demografi, kekayaan alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Pengaruh faktor budaya sangat
signifikan. Perilaku administrasi adalah hasil interaksi dari ciri-ciri dan nilai-nilai budaya dengan administrasi. Budaya administrasi
merupakan perpanjangan dari budaya masyarakat yang lebih jelas. Kebudayaan dapat diartikan sebagai “keseluruhan gagasan dan
karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil dan karyanya”. Kebudayaan mempunyai tiga
wujud, yaitu kebudayaan ideel, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Kebudayaan ideel dapat disebut adat istiadat dan terdiri atas tingkat
nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Ketiga wujud kebudayaan tersebut berpengaruh terhadap
organisasi pemerintah. Kebudayaan ideel akan banyak mempe- ngaruhi antara lain visi, misi dan sistem nilai organisasi. Sistem sosial
akan banyak mempengaruhi perilaku anggota organisasi pemerintah, seperti dalam komunikasi, hubungan kerja, kerjasama dan sistem
kerja. Kebudayaan fisik juga mempengaruhi perilaku, sistem kerja dan alat-alat kerjanya.
Disamping itu birokrasi sekaligus juga dipengaruhi oleh sistem budaya birokrasi yang universal, sistem budaya nasional, sistem budaya
daerah, sistem budaya agama dan sistem budaya asing.
BAB III ARTI DAN PENTINGNYA ETIKA
DALAM ORGANISASI
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu memahami arti dan pentingnya etika dalam organisasi.
Etika adalah suatu sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesanggupan seorang secara sadar untuk mentaati ketentuan dan norma
kehidupan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat atau satu organisasi. Etika organisasi menekankan perlunya seperangkat nilai yang
dilaksanakan setiap orang anggota. Nilai nilai tersebut berkaitan dengan pengaturan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dengan baik
seperti sikap hormat, kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Seperangkat nilai-nilai tersebut biasanya dijadikan sebagai acuan dan
dianggap sebagai prinsip-prinsip etis atau moral. Dalam kehidupan organisasi terdapat berbagai permasalahan yang
pemecahannya mengandung implikasi moral dan etika. Ada cara pemecahan yang secara moral dan etika diterima tetapi ada juga yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan, cara-cara yang secara moral dan etika dapat diterima merupakan cara-cara yang benar dan sebaliknya
cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan disebut cara cara yang salah. Dalam praktek kehidupan organisasi tidak ada tolok ukur
yang mutlak tentang yang benar dan yang salah. Ini tidak terlepas dari berbagai faktor seperti agama, budaya dan sosial. Pemahaman tentang
yang benar dan yang salah itulah yang mendasari perlunya etika dalam organisasi yaitu untuk membantu memberikan makna yang tepat tentang
kehidupan organisasi. Beberapa alasan mengapa norma moral dan etika itu diperlukan dalam organisasi antara lain :
1. Karena etika berkaitan dengan perilaku manusia. Hal ini menyangkut aplikasi seperangkat nilai luhur dalam bertindak bagi kehidupan seorang
dan organisasi dan menyangkut berbagai prinsip yang menjadi landasan bagi perwujudan nilai nilai tersebut dalam berbagai hubungan yang
terjadi antar manusia dan lingkungan hidup. 2. Agar bisa mengikuti kehidupan sosial yang tertib manusia memerlukan
kesepakatan, pemahaman, prinsip dan ketentuan lain yang menyangkut pola perilaku. Etika memberikan prinsip yang kokoh dalam berperilaku
sehingga kehidupan dalam organisasi semakin bermakna. Setiap bentuk kerja sama didasarkan pada kesepakatan yang dicapai bersama.
3. Karena dinamika manusia dengan segala konsekuensinya baik bersifat norma moral maupun etika perlu dianalisa dan dikaji ulang, hal ini di-
maksudkan agar tetap relevan dalam memperkaya makna kehidupan seseorang, kelompok, organisasi dan masyarakat luas yang pada
gilirannya memperlancar interaksi antar manusia. 4. Pentingnya etika dalam era modern sekarang ini lebih jelas terlihat
bila diingat bahwa etika menunjukkan kepada manusia nilai hakiki dari kehidupan sesuai dengan keyakinan agama, pandangan hidup
dan sosial. Dapat dikata kan bahwa etika berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia, etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas,
nilai-nilai hidup yang hakiki dan memberi inspirasi kepada manusia untuk secara bersama-sama menemukan dan menerapkan nilai-nilai
tersebut bagi kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. Sondang Siagian, 1996, 335-337.
Didalam lingkungan organisasi pemerintahan seorang aparatur dituntut untuk bekerja sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Secara etis
seorang aparatur merasa terpanggil untuk melayani kepentingan publik secara adil tanpa membedakan kelompok, golongan, suku, agama serta
status sosial. Menurut etika organisasi pemerintahan RI seorang aparatur harus dapat menjadikan dirinya sebagai model panutan tentang kebaikan
dan moralitas pemerintahan terutama yang berkenaan dengan pelayanan kepada publik. Dia akan senantiasa menjaga kewibawaan dan citra
pemerintahan melalui kinerja dan perilaku sehari hari dengan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela yang dapat merugikan
masyarakat dan negara. Jadi etika pada dasarnya merupakan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dan berperilaku dalam
kehidupan bersama termasuk di lingkungan profesi administrasi. Ryass Rasyid, 1996, 43-44.
Profesi dimaksudkan sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan sesuai dengan tuntutan
dan persyaratan organisasi pemerintahan, dengan melibatkan komitmen pribadi moral yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan
seluruh kepribadiannya sehingga mendorong untuk menjalankan tugasnya dengan tekun, giat serius untuk melayani kepentingan publik. Ia tidak
mengerjakan pekerjaannya sekedar sebagai hobi, sebagai sambilan apalagi asal-asalan, komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung
jawab yang besar atas tugas yang diembannya. Dari pemahaman ini diharapkan bahkan dituntut bahwa seorang pegawai
negeri, seorang aparatur haruslah memiliki persyaratan seorang profesional yang mendapat kepercayaan publik atau masyarakat yang
dilayani. Dia dipercayai dan diandalkan memiliki keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Lebih dari itu seorang aparatur yang
profesional dipercaya masyarakat karena mempunyai komitmen moral etis, serta bertanggung jawab penuh atas pekerjaannya kepada publik
public accountability. Dari analisis tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa manfaat nilai
etika bagi organisasi sebagai berikut :
1. Kebersamaan, bekerja dalam semangat kebersamaan dan per-
sahabatan lebih baik dari bekerja sendiri sendiri.
2. Empati, memahami dan dapat menyelami dan merasakan masalah
yang dihadapi orang lain.
3. Kepedulian, kesediaan untuk memberikan bantuan secara ikhlas. 4. Kedewasaan, kematangan dalam mengatasi permasalahan
bersama.
5. Orientasi Organisasi, perilaku yang diatur dalam organisasi dalam
memecahkan masalah.
6. Respect, saling menghormati dan menghargai sesama mitra kerja. 7. Kebajikan, berperilaku santun, rendah hati serta memberikan
kedamaian dalam setiap pertemuan.
8. Integritas, mengutamakan kepribadian yang utuh. 9. Inovatif, kreatif dalam menciptakan gagasan dan tindakan yang baru
dan memberikan nilai tambah serta bermanfaat bagi organisasi.
10.Keunggulan, tampil dengan gagasan dan karya yang lebih baik dari
yang terbaik.
11. Keluwesan, Sikap dan tindakan yang luwes, tidak kaku sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip dan hati nurani.
12.Kearifan, sikap dan perilaku yang berorientasi pada prinsip
keseimbangan antara rasionalitas dan moralitas.
A. Pola Perilaku Kepemimpinan Aparatur
Nilai-nilai etika yang dikembangkan bukan hanya sekedar untuk menjadi keyakinan pribadi para anggota pegawai negeri personal
values tetapi diterima dan disepakati menjadi seperangkat norma organisasi share values. Etika menjadi acuan atau pedoman
dalam bersikap dan bertindak dari seluruh jajaran organisasi pemerintahan dan pelanggaran atasnya membawa konsekuensi
moral. Setiap anggota aparatur dituntut untuk mentaatinya dengan sadar dan penuh disiplin. Yang melanggar disiplin dapat dikenakan
sanksi adminstratif sesuai dengan jenis dan sifat pelanggaran, penurunan pangkat dan sejenisnya. Pegawai yang taat atas etika
mendapat ganjaran tanda penghargaan dan sebagainya. Nilai-nilai etika yang disepakati bersama sebagai pola perilaku dan
dirumuskan dalam apa yang dikenal dengan kode etik. Kode etik ini dijadikan pedoman bagi setiap anggota dalam bersikap dan
berperilaku untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik, benar atau salah.
Sebagai contoh Kode etik dari suatu perusahaan antara lain memuat: 1. Pengaturan mengenai keselamatan kerja, kesehatan dan
keamanan; 2. Rasa hormat, kejujuran, kesopanan, dan keadilan;
3. Kehadiran karyawan yang tepat waktu; 4. Penggunaan bahasa yang baik dan benar;
5. Tidak menerima atau menawarkan suap; 6. Menjaga kerahasiaan informasi perusahaan;
7. Tidak menyalahgunakan sarana organisasi untujk kepentingan pribadi;
8. Mematuhi ketentuan dan keamanan masyarakat.
Pada tahun 1981, American Society for Public Administration ASPA merumuskan kode etik administrasi publik sebagai berikut:
1. Pelayanan kepada masyarakat adalah pelayanan di atas pelayanan kepada diri sendiri;
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat;
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak
bijaksana, atau perlu perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai patokan;
4. Manajemen yang efektif dan efisien adalah dasar bagi adminis- trasi negara. Subversi melalui penyalahgunaan pengaruh,
penggelapan, pemborosan atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Para pegawai bertanggung jawab untuk melaporkan
jika ada tindak penyimpangan;
5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas- asas itikad baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan;
6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme
yang merendahkan jabatan publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima;
7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan,
kompetensi, dan kasih sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
8. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral
dan kehidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak bermoral good
ends never justify immoral means.
9. Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar
melalui pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya. Wahyudi Kumorotomo, 1992, 337-
338.
Demikianlah, kode etik berusaha merumuskan nilai-nilai etis ke dalam bidang tugas administrasi negara. Mengenai pelaksanaannya
dalam perilaku nyata, tergantung pada niat baik dan kepekaan hati nurani aparatur itu sendiri. Kode etik dirumuskan dalam rangka
upaya pencegahan terhadap kemungkinan perilaku yang tidak santun, dan demi kepentingan organisasi. Setiap aparatur diharapkan
mentaatinya dengan kesadaran penuh. Ini didasarkan kepada asumsi bahwa pada dasar nya setiap manusia adalah baik dan suka hal-
hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena dia tidak tahu norma untuk
bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan.
Kode etik organisasi pemerintah Rl memuat pokok-pokok rumusan sebagai berikut UU Nomor 81974 Pasal 28 :
1. Pegawai Negeri sipil adalah warga negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan bersikap hormat menghormati antara sesama warga negara yang memeluk agamakepercaya-
an yang berlainan. 2. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi
negara, dan abdi masyarakat, setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah
serta meng-utamakan kepentingan negara di atas kepentingan diri sendiri, seseorang atau golongan.
3. Pegawai Negeri Sipil penjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil serta mentaati
segala peraturan kedinasan dan perintah-perintah atasan dengan penuh kesadaran, pengabdian dan tanggungjawab.
4. Pegawai Negeri Sipil memberikan pelayanan terhadap masyarakat sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
5. Pegawai Negeri Sipil tetap memelihara keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Negara dan Bangsa
Indonesia serta Korps Pegawai Negeri Sipil. Namun kode etik yang memuat isi dan semangat sebagaimana
tersebut di atas sampai kini belum dapat diterapkan secara penuh dan konsisten mengingat berbagai kendala yang bersifat sistemik,
struktural mulai dari pendekatan, sumber daya dan sistem insentif dalam arti luas. Melalui kode etik tersebut setiap aparatur terikat
untuk berperilaku sebagai pendukung moral sekaligus pelaksana nilai-nilai pemerintahan tersebut secara nyata. Didalam melaksana-
kan tugasnya setiap aparatur harus memperhatikan nilai-nilai etis dalam mengambil keputusan demi kepentingan publik. Dia
melakukan pertimbangan teknis dan ketentuan yang melekat kepada kedudukannya sebagai pembuat keputusan dengan senantiasa
berpedoman kepada nilai nilai kejujuran, kearifan, tanggung jawab. Disamping kode etik, dilingkungan jajaran birokrasi pemerintah
ditetapkan berbagai peraturan kepegawaian yang menyangkut disiplin kerja, sumpah jabatan dan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan
DP-3 yang berisi unsur-unsur kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan.
Kode etik yang berlaku selama ini dilingkungan administrasi pemerintahan RI terasa verbalistik dan kaku dan memuat daftar
keharusan dan larangan tanpa disertai alasan yang mendasarinya, sehingga kurang menyentuh hati nurani dan kesadaran.
Didalam pelaksanaan tugas-tugas administrasi negara, terutama yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat yang majemuk
dituntut kehati-hatian, kecermatan. Kewenangan yang dimiliki seorang aparatur jangan sampai tergelincir pada kesewenangan-
kewenangan. Kelengahan terhadap nilai moral dan kode etik serta ketentuan lain dapat membawa dampak dan konsekuensi moral,
rasa keadilan dan nasib manusia. Beberapa tindakan untuk mencegah kecenderungan kepada hal hal
yang negatif oleh seorang aparatur pemerintah telah dituangkan dalam ketentuan yang membuat rambu-rambu peringatan, larangan
dan sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan tersebut. Dalam organisasi pemerintahan ada ketentuan yang melarang aparatur
untuk melakukan tindakan sebagai berikut Paul H. Douglas, dalam Wahyudi Kumorotomo, 1992, 345-346 :
a. lkut serta dalam transaksi bisnis pribadi atas perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan
kedinasan. b. Menerima segala bentuk imbalan dari pihak swasta pada saat ia
melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atas pemerintah.
c. Membicarakan masa depan peluang kerja di luar instansi pada saat ia berada dalam tugas sebagai pejabat pemerintah.
d. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak yang tak berhak.
e. Terlalu erat berurusan dengan orang di luar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari ijin
pemerintah. Di lingkungan organisasi Pemerintahan RI juga telah diatur ketentuan
yang mengikat setiap Pegawai Negeri untuk senantiasa waspada terhadap godaan yang cenderung untuk menyalahgunakan jabatan,
memperkaya diri dan perilaku yang merugikan negara. Semuanya tercakup dalam kode etik, disiplin kerja, sumpah jabatan dan DP-3,
dan diperkukuh dengan peraturan perundang-undangan. Ini semua dimaksudkan agar aparatur dapat diminta pertanggungjawabannya
kepada publik sesuai dengan hati nurani dalam rangka mengemban kedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi kehormatan negara.
lingkungan yang makin longgar bahkan tanpa batas sehingga pemahaman tentang loyalitas menjadi makin sulit
diindetifikasikan. 3. Kekuatan dan daya tahan emosi untuk mengelola kecemasan
dirinya dan orang lain berbarengan dengan berlangsungnya pembelajaran dan perubahan menjadi kebutuhan dan cara kerja
way of life. 3. Keterampilan baru dalam mengkaji berbagai asumsi budaya,
menentukan asumsi yang fungsional dan proses yang berjalan yang memperluas budaya melalui pembangunan kekuatannya
dan unsur-unsur fungsional. 4. Kesanggupan dan kesediaan untuk menyertakan pihak lain
menggalakkan peran serta mereka. Ini disebabkan tugas dan tanggung jawab yang terlalu kompleks dan informasi menjadi
semakin meluas disebarkan bagi pemimpin untuk menyelesaikan permasalahan secara mandiri.
5. Kesanggupan dan kesediaan untuk berbagi kekuasaan sesuai dengan keterampilan dan kemampuan. Ini berarti untuk
memungkinkan dan menggalakkan kepemimpinan untuk bertumbuh subur di seluruh organisasi. Frances Hesselbein, et
al; 1996; 66-69. Kepemimpinan aparatur dituntut untuk mampu menghadapi
perubahan paradigma kepemerintahan governance atau yang kini dikenal dengan istilah good governance Kepemerintahan
yang amanah. Pemahaman atas konsep pengelolaan kepemerintahan yang amanah kini terus berkembang. Adapun
prinsip-prinsipnya adalah : 1.
Akuntabilitas, Tanggung Gugat accountability. Akun tabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertang
gungjawaban atas kinerja dan tindakan pimpinan suatu Seorang aparatur harus senantiasa mawas diri, peka dan tanggap
terhadap aspirasi masyarakat dengan membuka diri secara lapang dada terhadap berbagai keluhan sehat dan saran yang membangun
dari masyarakat serta waspada terhadap berbagai godaan atau pengaruh yang bisa berakibat serius terhadap integritas kepe-
mimpinannya. Mungkin yang perlu mendapat perhatian adalah, peringatan,
pengawasan, penyadaran dan sentuhan rohani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran mereka dan kepekaan etis untuk
melestarikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan dan interaksi para warga anggota pemerintah dengan lingkungan masyarakat yang
lebih luas.
B. Ciri-Ciri Kepemimpinan Aparatur yang Ideal