Alasan Pemilihan Tema PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Tema

Dewasa ini, banyak generasi muda kita kurang berminat dan menaruh apresiasi terhadap kebudayaan sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian dan kegemaran terhadap kesenian wayang, khususnya wayang kulit. Padahal kesenian wayang sebagai hasil kreasi bangsa Indonesia sendiri, banyak berperan dalam kehidupan masyarakat. Peranan kesenian wayang adalah sebagai media hiburan, pendidikan ataupun penyampaian informasi Mertosedono, 1993. Sejalan dengan itu, Mulyono 1979: 18 mengatakan bahwa kesenian wayang kulit memiliki dimensi dan fungsi ganda, antara lain 1 unsur nilai hiburan, 2 unsur nilai seni, 3 unsur nilai pendidikan dan penerangan, 4 unsur nilai ilmu pengetahuan, dan 5 unsur nilai kejiwaanrohani, mistik dan simbolik. Ditinjau sebagai media pendidikan, kesenian wayang kulit memberikan banyak ajaran kepada manusia. Peranan wayang dalam pendidikan terutama dalam pendidikan moral dan budi pekerti, serta tersirat unsur-unsur pendidikan mental dan watak karakter. Unsur-unsur pendidikan karakter dalam wayang kulit mencakup masalah keadilan, kebenaran, kesehatan, kejujuran, kepahlawanan, kesusilaan, psikologi, filsafat dan berbagai problema watak karakter manusia yang sukar diungkapkan dan dipecahkan. Dalam UU Sisdiknas tahun 2004, tujuan pendidikan nasional mengarah pada wilayah pembentukan karakter bangsa. Amanah undang-undang tersebut bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa. Dari uraian di atas, terungkap betapa pentingnya pendidikan karakter bagi anak, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam membentuk manusia yang berkualitas. Mengingat pentingnya pendidikan karakter bagi anak, penulis memberikan alternatif sarana pendidikan karakter dengan menggunakan media yang lebih disukai anak yaitu media komik. Dengan media komik nilai-nilai pendidikan karakter akan lebih mudah diterima dan dimengerti anak sehingga pesan-pesan moral pendidikan karakter dapat meresap ke dalam setiap hati sanubari anak. Komik sebagai medium visual memiliki keunikan tersendiri dalam memperlakukan gambar dibandingkan medium lainnya seperti lukisan atau film. Dibandingkan dengan lukisan atau film, keunikan komik terletak pada karakter seni gambar yang berkesinambungan. McCloud 2008: 129 memaparkan bahwa komik adalah sebuah medium yang berupa kepingan- kepingann teks dan potongan gambar yang ketika berkerja sama, pembaca akan menggabungkan kepingan-kepingan tersebut menjadi sebuah cerita yang utuh dan berkesinambungan. Kesan berkesinambungan itulah yang menjadikan karya seni komik terasa hidup ketika dibaca. Oleh karena itu, penulis menggunakan media komik sebagai sarana alternatif pendidikan karakter bagi anak. Sayangnya banyak komik yang akrab dengan anak-anak Indonesia adalah komik asing, baik komik terbitan Amerika Serikat, Eropa maupun Jepang. Anak-anak lebih mengenal komik Superman, Batman, Spiderman ataupun komik Doraemon, Naruto, Bleach, Onepiece dibandingkan komik- komik lokal. Tokoh-tokoh cerita lokal seperti “Joko Tingkir”, “Sangkuriang”, “Si Pitung” dan lain sebagainya yang bersumber dari legenda lokal maupun tokoh- tokoh yang diciptakan oleh para komikus Indonesia seperti “Si Buta dari Goa Hantu”, “Wiro Sableng”, “Panji Tengkorak” dan lain sebagainya masih kalah bersaing dengan Superman, Batman, Spiderman ataupun Doraemon, Naruto, Bleach, Onepiece dan lain sebagainya. Hal tersebut terjadi karena anak-anak setiap harinya disuguhi komik asing buatan Amerika Serikat, Eropa atau Jepang dan dewasa ini sangat sedikit sekali komik superhero Indonesia yang mengambil latar budaya lokal. Menurut Maharsi 2011: 45, sejak tahun 1980-an komik Indonesia terpuruk karena serbuan berbagai macam komik dari luar negeri khususnya dari Jepang dan Amerika. Komik luar dengan cerita yang beragam, pengemasan yang menarik dan dengan ilustrasi yang bagus memberikan alternatif nuansa visual baru bagi pembaca pada saat itu. Bahkan Koendoro 2007: 51 menyebutkan bahwa akhir 1970-an komik Indonesia terkesan tenggelam dalam kesunyian, terkalahkan hadirnya media TV, film dan medium lainnya. Senada dengan hal ini, Jalaludin Rakhmat dalam Maharsi, 2011: 46 mengatakan bahwa televisi hadir di Indonesia disaat budaya membaca belum mapan, televisi dengan banyaknya nilai-nilai hiburan membuat kebudayaan membaca komikbuku serta merta terpotong Mulyana dan Ibrahim dalam Maharsi, 2011: 46. Dengan demikian penikmat komik Indonesia semakin terlena terhadap keadaan yang ada dan komik Indonesia semakin terlupakan. Pada umumnya anak-anak sangat menyukai tokoh superhero di dalam komik ataupun film, sehingga mengaguminya dan menirukan berbagai sifat dan hal-hal yang dilakukan idolanya. Sayangnya banyak superhero yang disukai anak-anak adalah karakter yang berasal dari kebudayaan luar, yang belum tentu sesuai dengan kebudayaan kita. Oleh karena itu perlu adanya penciptaan karakter superhero dalam komik yang sesuai untuk diidolakan anak-anak yang bersumber dari kebudayaan lokal, salah satunya adalah dengan menciptakan karakter superhero yang berasal dari cerita wayang. Berdasarkan pemasalahan di atas, penulis berasumsi bahwa dibanding karakter pewayangan lain, tokoh Gatotkaca dalam pewayangan paling sesuai untuk dijadikan karakter superhero yang cocok diidolakan oleh anak-anak. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan penulis di tahun 2011, yang menyebutkan bahwa tokoh Gatotkaca sangat populer di kalangan anak-anak dan remaja dibanding dengan tokoh pewayangan lain. Bukti lain berdasarkan persepsi penulis, bahwa tokoh Gatotkaca sangat disukai dan populer adalah, banyak orang tua dalam masyarakat Jawa memberikan nama “GatotGatotkaca” kepada sang anak dengan harapan puteranya menjadi pahlawan dunia layaknya tokoh pewayangan Gatotkaca. Dalam kebudayaan Jawa ada sebuah perumpamaan apabila seseorang laki- laki yang berkumis lebat sering diumpamakan “tampan” bagaikan Gatotkaca. Hal tersebut disebabkan penampilan khas Gatotkaca adalah kumisnya yang lebat. Selain itu, seorang anak yang melakukan sunatan atau khitanan sering diberi pakaian Gatotkaca dengan topi wayang, baju kotang rompi bergambar bintang delapan, memakai badhong semacam hiasan punggung dan tentu saja kumis hitam dari arang. Hal ini merupakan bukti bahwa tokoh Gatotkaca diidolakan banyak orang Triwidodo, 2009. Meskipun tokoh Gatotkaca dalam pewayangan sangat populer, banyak diantara kita kurang memahami secara mendetail mengenai tokoh Gatotkaca, baik dari segi bentuk, karakter serta cerita riwayat hidup tokoh Gatotkaca. Sangat disayangkan sekali sebagai ganerasi muda tidak mengenal tokoh Gatotkaca, sebagai ikon pahlawan dari dunia pewayangan. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan yang lebih mendalam terhadap karakter tokoh Gatotkaca dalam kesenian wayang kulit, karena sangat menarik apabila kecintaan kepada budaya kita sendiri, khususnya kesenian wayang kulit dapat dimulai sejak dini Bambang, 1995 . Dalam cerita pewayangan, Raden Gatotkaca adalah putera kedua Raden Wrekudara Bima dengan Dewi Arimbi. Ketika masih bayi dipilih menjadi kesatria para dewa, untuk menumpas ancaman Prabu Kala Pracona dan Patih Lembu Sakipu berserta pasukan raksasa dari negeri Gilingwesi. Raden Gatotkaca dibesarkan oleh para Dewa, dilebur dengan senjata para andalan dewa serta diisi dengan segala kesaktian di kawah Candradimuka. Oleh karena itu Raden Gatotkaca dijuluki kesatria berotot kawat dan bertulang besi, tidak ada senjata apapun yang dapat melukai Gatotkaca. Raden Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria dari Pringgadani. Raden Gatotkaca teguh menjaga kedaulatan negaranya dari berbagai ancaman, mulai pemberontakan pamannya sendiri sampai masalah perebutan wilayah perbatasan negara dengan negara lain. Raden Gatotkaca memperistri Dewi Pergiwa, puteri dari Raden Arjuna. Raden Gatotkaca rela mati demi kejayaan keluarga Pandawa. Dalam perang Baratayuda, Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kuntawijayadanu yang dipanahkan oleh Adipati Karna. Berdasarkan cerita riwayat hidup tokoh Gatotkaca dalam cerita pewayangan di atas, karakter Gatotkaca adalah cerminan figur teladan, yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam berjuang membela kebenaran dengan pengorbanan jiwa dan raga. Gatotkaca merupakan cerminan sifat kuat, gagah, berani berani karena benar, takut karena salah, tangguh, cekatan, jujur, bertanggung jawab dan pantang menyerah. Sifat-sifat inilah yang seakan luntur dari generasi muda sekarang. Atas kegelisahan tersebutlah penulis berkeinginan untuk menanamkan sifat-sifat positif di atas melalui karakter Gatotkaca dalam media komik. Karakter Chibi dalam komik-komik Jepang manga adalah penggambaran kecilmini dari sebuah karakter yang sudah ada maupun karakter baru yang digambar dengan proporsi layaknya anak-anak, biasa digunakan dalam penggambaran adegan yang bersifat lucu, ekspresif dan spontan. Walaupun hanya sebagai sisipan kecil, namun kehadirannya dapat mengundang gelak tawa pembaca. Penggambaran komik dengan karakter Chibi chibi character dengan proporsi layaknya anak-anak membawa kesan sederhana, imut, dan lucu. Penggambaran komik dengan karakter Chibi chibi character sangat berbeda dengan penggambaran komik-komik wayang sebelumya yang ada di Indonesia selama ini. Hal inilah yang menurut penulis secara tidak langsung akan menambah daya tarik komik Banjaran Gatotkaca. Pendidikan karakter anak dengan media komik Banjaran Gatotkaca ini sekaligus diharapkan dapat mensukseskan program pelestarian kebudayan wayang. Proses pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pengenalan secara bertahap dimulai dari tokoh wayang Gatotkaca. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat kembali kesenian wayang sebagai tema proyek studi, melalui tokoh Gatotkaca dalam media komik sebagai alternatif media pendidikan karakter bagi anak.

1.2. Alasan Pemilihan Jenis karya