Karakteristik Biodegradasi Dan Toksisitas Dari Penyalut Layak Makan Berbasis Pati Sagu

(1)

KARAKTERISTIK BIODEGRADASI DAN

TOKSISITAS DARI PENYALUT LAYAK

MAKAN BERBASIS PATI SAGU

TESIS

OLEH

KHAIRUN NISAH

087006016/ KM

PROGRAM MAGISTER ILMU KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

KARAKTERISTIK BIODEGRADASI DAN TOKSISITAS DARI

PENYALUT LAYAK MAKAN BERBASIS PATI SAGU

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

OLEH

KHAIRUN NISAH 087006016/ KM

PROGRAM MAGISTER ILMU KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU DAN PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

Judul Tesis : Karakteristik Biodegrasi dan Toksisitas dari Penyalut Layak Makan Berdasis Pati Sagu Nama Mahasiswa : Khairun Nisah

Nomor Pokok : 087006016 Program Studi : Ilmu Kimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Basuki Wirjosentoso, MS.PhD )( Drs. Darwin YunusNasution, MS )

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

( Prof. Basuki Wirjosentoso, MS.PhD ) ( Prof. Dr. Eddy Marlianto, MSc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, Ms, Ph.D Anggota :1.Drs. Darwin YunusNasution, MSi 2. Prof. Dr.Harry Agusnar, MSc, M.Phil

3. Prof. Harlem Marpaung 4. Dr. Thamrin, MSc


(5)

PERNYATAAN

KARAKTERISTIK BIODEGRADASI DAN

TOKSISITAS DARI PENYALUT LAYAK MAKAN

BERBASIS PATI SAGU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naska ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan pembuatan penyalut layak makan yang berbasis pati sagu dengan serbuk batang sagu sebagai bahan pengisi dan gliserol sebagai bahan plastisiser.Biodegadasi campuran penyalut layak makan dengan bahan pengisi serbuk batang sagu dilakukan dengan penanaman dalam tanah pada variasi waktu, 5 dan 3 hari. Sedangkan dalam media jamur Aspergillus niger pada variasi waktu 5 dan 3 hari. Penentuan persentase kehilangan berat menunjukkan bahwa semua campuran penyalut layak makan dapat terbiodegadasi meskipun dengan laju biodegadasi yang berbeda-beda. Biodegradibilitas dengan tanah lebih besar dibandingkan dengan jamur

Aspergillus niger. Toksisitas digunakan bakteri E.Coli dalam media Nutrien Agar

pada temperatur 370C dengan inkubasi 48 jam dimana penyalut layak makan tidak mempunyai antiseptik terhadap E.Coli.

Kata kunci : Pati sagu, plastisiser, gliserol, serbuk batang sagu, Aspergillus niger,


(7)

ABSTRACT

The experiment about the food to cauting decent from starch of sago using powder of bar sago palm as filler and glycerol as plastisizer has done. Biodegadation of to cover eat decent eith powder of bar sago palm as filler, was done by soil buriar test for 5 – 3 days. Mean while biodegadation in Aspergillus niger media was done for 3-5 days. The results of weight loss percentage showed that all to cover eat decent can be biodegadation rate. The biodegadability by soil burial test was more faster thant by Aspergillus niger fungi. Characterization of fungtional goups were done by FT – IR and the morphology was tested by SEM. Toxicity test using E.Coli in Nutrien Agar media at temperature 370C and incubation 48 hours showed that to cover eat decent not indivcatoin of anticeptic properties.

Keywords: sago sta rch, plastizier, gliserol, powder of bar sago palm,aspergillus niger, E.Coli, biodegadation,toxic.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “

KARAKTERISTIK BIODEGRADASI DAN TOKSISITAS

DARIPENYALUT LAYAK MAKAN BERBASIS PATI SAGU”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Gubernur Sumatera Utara c.q Ketua Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan bea siswa kepada penulis untuk melanjutkan S2 di Universitas Sumatera Utara.

2. Rektor Universitas Sumatera utara Prof. Dr. Chairuddin P.Lubis DTM & H,SP.Ak

3. Dekan FMIPA Prof.Dr. Eddy Marlianto, MSC.

4. Yayasan Perguruan Al-azhar Medan yang memberikan izin untuk mengikuti sekolah S2 di Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof.Basuki Wirjosentono,MS,PH.D selaku pembimbing utama, yang setiap saat dengan penuh perhatian selalu memberikan bimbingan dalam penyusun tesis ini

6. Bapak Drs. Darwin Yunus, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas saran-saran yang diberikan.

7. Rekan-rekan mahasiswa Pasca sarjana program Studi kimia Angkatan 2008 atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian.

Akhirnya sembah sujud penulis dan terima kasih yang tak terhingga kepada Suami tercinta beserta seluruh keluarga besar yang penuh kasih saying, kesabaran


(9)

dan perhatian telah memberikan bimbingan dan do’a restu serta dorongan baik material maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

Semoga segala bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal kebaikan dan mendapat pahala disis Allah SWT, dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara 16 Febuari 1979 dari ayah yang bernama Poniman dan ibu Hj. Jurhanim lubis. Anak Ke 4 dari 7 Bersaudara. Menamatkan SD Negeri 163080 kecamatan Padang Hilir tahun 1991, SMP Negeri 2 kecamatan padang Hilir tahun 1994. SMA Negeri 3 kecamatan rambutan 1997, D3 Pendidikan Teknologi Kimia Industri tahun 2000, S1 Teknik kimia USU (2002-2004), mengambil akta mengakar di Universitas Terbuka (2005-2006) dan S2 Kimia USU (2008-2010) Sekarang mengajar di SMA Plus Al-azhar Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRCT ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR TERMINOLOGI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Pembatasan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.6. Metodologi Penelitian ... 5

1.7. Lokasi Penelitian ... 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Sejarah Singkat Sagu ... 6

2.2. Morfologi Sagu ... 7

2.2.1. Batang ... 7

2.2.2 Bunga dan Buah ... 7


(12)

2.3. Pati Sagu ... 9

2.4. Nilai Gizi Sagu ... 12

2.5. Degradasi Polimer ... 13

2.6. Degradasi Pati. ... 14.

2.7. Penyalut (cauting ) ... 19

2.8. Mikrobiologi ... 21

2.9. Mikroba Tanah ... 23

BAB III : METODE PENELITIAN ... 25

3.1.Alat ... 25

3.2. Bahan ... 27

3.3. Prosedur Penelitian ... 27

3.3.1.Pembuatan specimen Campuran Pati Sagu dengan Variasi Berat serbuk Batangan Sagu pada Berat Gliserol .. ... 27

3.3.2.Perlakuan Uji Toksisitas Penyalut Pati Sagu terhadap bakteri E.Coli ... 27

3.3.3. Perlakuan Uji biodegrabilitas 3.3.3.1. Uji biodegradasi specimen penanaman dalam Tanah ... 28

3.3.3.2. Uji biodegradasi specimen terhadap Jamur aspergilus Niger ... 28

3.3.4. Analisa FT.IR. ... 29

3.3.5. Analisa SEM ... 29

3.4 Bagan Penelitian ... 31

BAB IV : HASIL DAN DISKUSI ... 34

4.1 Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Pembungkus layak Makan... 34

4.2.Uji biodegradasi Pembungkus layak Makan pada Penanaman dalam Tanah ... 34


(13)

4.4.Uji Sifat Toksisitas pembungkus Berbasis Pati Sagu

terhadap perkembangan Bakteri E. Coli ... 42

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1. Kesimpulan ... 43

5.2. Saran ... 44


(14)

DAFTAR TABEL

NO Judul Halaman 2.1. Komposisi Bahan Pati Sagu, Tapioka dan Pati garut setiap 100 g ... 10 2.2. Hasil Analisis kimia Tepung dan Ampas dari batang sagu ( genus

Metroxxylen, sp ) ... 13 4.1. Persentase perubahan berat spesimen uji selama penanaman dalam

tanah selama 3 hari penanaman ... 31 4.2. Persentase perubahan berat specimen uji selama 3 hari dalam media

PDA yang ditanamkan jamur Aspergillus niger ... 33 4.3. Hasil Analisis Gugus Fungsi Penyalut Campuran dari Spektra FT IR ... 36


(15)

DAFTAR GAMBAR

NO Judul Halaman

2.1. Amilosa dan amilopektin ... 10

2.2. Reaksi hidrolisi pati menjadi glukosa ( Monosakarida) ... 11

2.3 Bentuk suspensi pati sagu yang dipanaskan (a) pdasa suhu 500C selama 20 menit, (b) pada suhu 60oC selama 20 menit, (c) pada suhu 700C selama 20 menit ... 12

3.1 Bagan Alir Uji Biodegradasi Penyalut Campuran Pati Sagu dengan Variasi Berat Serbuk Batang Sagu pada Berat Gliserol tetap dengan Penanaman dalam Tanah ... 30

3.2 Bagan Alir Uji Biodegradasi Penyalut Campuran Pati Sagu dengan Variasi Berat Serbuk Batang Sagu pada Berat Gliserol tetap dengan Penanaman dalam MediaAspergillus Niger ... 31

3.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Bahan Penyalut ... 32

4.1 Penguraian amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa ... 38

4.2 Pembentukan glukosa dan maltosa dari maltosa dan maltotriosa ... 38

4.3. Penguraian Amilopektin menjadi glukosa, maltosa dan oligosakarida ... 39

4.4 Foto SEM dengan 250 kali pembesaran (A) Pembungkus sebelum biodegradasi, (B) setelah Biodegradasi penanaman dalam tanah sampah, (C)setelah biodegradasi menggunakanjamur aspergillus niger .. 40

4.5 Uji toksisitas terhadap bakteri E. Coli. (A) Control, (B) Penyalut berbasis pati sagu. ... 41


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

NO Judul Halaman 1.a. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah

berpasir. ... 48

1.b. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah kebun. ... 48

1.c. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah sampah. ... 49

1.d. Data Perubahan berat specimen uji terhadap jamur Aspergillus niger ... 49

2.a. Spektrum FT IR Pembungkus layak makan berbasis pati sagu ... 50

2.b. Spektrum FT IR Pembungkus setelah penanaman dengan tanah sampah ... 51

2.c: Spektrum FT IR Pembungkus setelah penanaman dengan jamur aspergillus niger ... 52

3.a. Pembungkus sebelum terdegadasi ... 53

3.b. Pembungkus setelah terdegadasi dengan aspergillus niger ... 53

3.c. Pembungkus setelah terdegadasi dengan tanah sampah... 53

3.d. Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 0 ) ... 54

3.e. Pembungkus dengan kandungan air 120 g ditanam dalam aspergillus niger( hari 0) ... 54

3.f Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 0 ) ... 54

3.g. Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 1 ) ... 55

3.h. Pembungkus dengan kandungan air 120 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 1) ... 55


(17)

3.i. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam aspergillus

niger ( hari 1 ) ... 55

3.j Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 5 ) ... 56

3.k. Pembungkus dengan kandungan air 120 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 5 ) ... 56

3.l. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam aspergillus niger ( hari 5 ) ... 56

3.m Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam E-Coli ... 56

3.n. Pembungkus dengan kandungan air 120 g ditanam dalam E-Coli ... 57

3.o. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam E-Coli ... 57

3.p. Pembungkus dengan kandungan air 100 g setelah terdegadasi dengan tanah sampah... 58

3.q. Pembungkus dengan kandungan air 120 g setelah terdegadasi dengan tanah sampah... 58

3.r. Pembungkus dengan kandungan air 150 g setelah terdegadasi dengan tanah sampah... 58


(18)

DAFTAR TERMINOLOGI

Penyalut Layak Makan : Suatu Lapisan tipis yang dibuat dari suatu bahan yang dapat dimakan yang diletakkan diantara komponen makan.

NA : Nutrien Agar

PDA : Potato Desrin Agar

FT-IR : Fourier Transform Infra Red SEM : Scaning Electron Microscopy

Biodegradasi : Penguraian oleh kegiatan Mikroorganisme Toksisitas : Daya racun suatu zat


(19)

ABSTRAK

Telah dilakukan pembuatan penyalut layak makan yang berbasis pati sagu dengan serbuk batang sagu sebagai bahan pengisi dan gliserol sebagai bahan plastisiser.Biodegadasi campuran penyalut layak makan dengan bahan pengisi serbuk batang sagu dilakukan dengan penanaman dalam tanah pada variasi waktu, 5 dan 3 hari. Sedangkan dalam media jamur Aspergillus niger pada variasi waktu 5 dan 3 hari. Penentuan persentase kehilangan berat menunjukkan bahwa semua campuran penyalut layak makan dapat terbiodegadasi meskipun dengan laju biodegadasi yang berbeda-beda. Biodegradibilitas dengan tanah lebih besar dibandingkan dengan jamur

Aspergillus niger. Toksisitas digunakan bakteri E.Coli dalam media Nutrien Agar

pada temperatur 370C dengan inkubasi 48 jam dimana penyalut layak makan tidak mempunyai antiseptik terhadap E.Coli.

Kata kunci : Pati sagu, plastisiser, gliserol, serbuk batang sagu, Aspergillus niger,


(20)

ABSTRACT

The experiment about the food to cauting decent from starch of sago using powder of bar sago palm as filler and glycerol as plastisizer has done. Biodegadation of to cover eat decent eith powder of bar sago palm as filler, was done by soil buriar test for 5 – 3 days. Mean while biodegadation in Aspergillus niger media was done for 3-5 days. The results of weight loss percentage showed that all to cover eat decent can be biodegadation rate. The biodegadability by soil burial test was more faster thant by Aspergillus niger fungi. Characterization of fungtional goups were done by FT – IR and the morphology was tested by SEM. Toxicity test using E.Coli in Nutrien Agar media at temperature 370C and incubation 48 hours showed that to cover eat decent not indivcatoin of anticeptic properties.

Keywords: sago sta rch, plastizier, gliserol, powder of bar sago palm,aspergillus niger, E.Coli, biodegadation,toxic.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pati sangat banyak diperoleh di alam dan merupakan cadangan karbohidrat pada tanaman.Pati dapat diperoleh dari berbagai biji-bijian seperti padi, ketela, sagu,jagung dan lain sebagainya. Pati merupakan karbohidrat polimer tinggi yang tersusun dalam satuan Gluko Pyranosa, dengan rangkaian glukosida. Karbohidrat mempunyai klasifikasi secara sistimatis sebagai monosakarida, disakarida, trisakarida dan tetrasakarida dengan mengandung 5 atau 6 atom karbon yang dikenal dengan

Pentosan dan hexosan, serta merupakan bahan yang tidak berwarna, berbentuk kristal

yang biasanya mempunyai rasa, tidak mudah larut (wahidoen Abdoel Azis,1991) Pati sagu banyak terdapat di Indonesia, akan tetapi tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan pembungkus, karena sifat fungsionalnya yang tidak memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai bahan pembungkus pati sagu perlu dikombinasikan terlebih dahulu. Pati merupakan suatu bahan baku alternatif yang sehat untuk bahan pembungkus,berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan dari luar (cahaya, suhu, udara, air dsb) dan memperpanjang masa simpannya , aman dan mudah untuk diserap tubuh sehingga kemasan berbasis pati layak untuk dikembangkan (Niken Harimurti dan Sri S. Yuliani 1995)

Sebuah campuran pati dan alginate untuk membentuk pembungkus telah dipelajari oleh Wu et al. (2001). Alginate mempunyai potensi untuk membentuk


(22)

biopolimer komponen unik karena koloid, yang mencakup penebalan, memantapkan, dan ,membentuk film, memproduksi gel, dan menstabilkan emulsi (King, 1982).

Selain harus menarik, pembungkus juga harus bebas dari bahan-bahan yang berbahaya yang dapat berupa cemaran kimia, mikroba dan bahan lainya.Mikroba dapat mencemarin pembungkus melalui air, debu, udara dan tanah,alat-alat pengolahan (selama proses produksi atau penyimpanan).

Antimikroba kemasan adalah kemasan yang mampu mengurangi, menghambat, atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik

Penyakit akibat kemasan yang terjadi segera setelah mengkonsumsi makanan, umumnya disebut dengan keracunan. Makanan dapat menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh bakteri yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga mampu memproduksi toksin yang dapat membahayakan manusia.Maka

Pada saat ini penggunaan plastik,sebagai kemasan menghadapi persoalan yang cukup besar, yaitu tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat diuraikan secara alami oleh mikroba dalam tanah sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan.Dalam hal ini, produk plastisiser berbahan baku minyak bumi,seperti Dioktilftalat yang terbukti bersifat racun, karsinogenik dan sukar terdegasi dialam ternyata masih banyak digunakan bahkan pada produk yang berhubungan langsung dengan makanan, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak serta peralatan kedokteran.Oleh karena itu, bahan plastisiser yang sehat, ramah lingkungan dan berbasis bahan baku hasil samping nabati dan terbarukan merupakan alternatif yang bukan saja aman, tetapi lebih bernilai ekonomis. (Wirjosentono,2007) Maka penelitian bahan diarahkan pada


(23)

bahan-bahan organik dan berasal dari bahan-bahan hasil pertanian dan ekonomis. Pembungkus pati adalah suatu penyalut tipis dan transparan yang dibuat dari hasil pertanian atau biopolimer. Pati merupakan polisakarida alami yang dapat diperbahari

(renewable) mudah rusak dan biayanya murah. Pati yang terdapat dalam sagu

berkisar 60-75%.

Machrani Hasibuan (2008) telah melakukan penelitian yang berjudul “ Pembuatan Film Layak Makan dari Pati Sagu Menggunakan Bahan Pengisi Serbuk Batang Sagu, dan Gliserol sebagai Plastisiser” akan tetapi penggunaan penyalut layak malan memerlukan sifat biodegadasi dan uji toksinitasnya..Berdasarkan hal-hal yang diatas peneliti tertarik melakukan penelitian karakteristik biodegadasi dan toksisitas dari penyalut layak makan berbasis pati sagu,dimana belum ada yang melakukan penelitian tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penyediaan penyalut layak makan berbasis pati sagu dengan pengisi serbuk batang sagu

2. Bagaimana laju biodegadasi penyalut layak makan berbasis pati sagu dengan penanaman dalam tanah dan media bermikroba.

3. Bagaimana sifat toksisitas penyalut layak makan berbasis pati sagu terhadap mikroba E.Coli dalam media nutriet agar (NA).


(24)

1.3. Pembatasan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

1. Pati sagu dan gliserol yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara komersial

2. Uji mikrobiologi bagian toksisitasnya saja penyalut berbasis pati sagu diuji dengan bakteri koliform E.Coli dalam media nutrient agar (NA)

3. Uji biodegadasi penanaman dalam tanah, dimana tanah berpasir,diambil dari daerah pantai belawan(KIM 2), tanah kebun diambil dari areal perkebunan Tanjung Anom, dan tanah sampah diambil dari lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) pancur batu Medan.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana penyediaan penyalut layak makan berbasis pati sagu dengan pengisi serbuk batang sagu

2. Membandingkan laju biodegradasi penyalut layak makan berbasis pati sagu dalam tanah, dan media mikroba

3. Mempelajari sifat antimikroba penyalut layak makan berbasis pati sagu terhadap mikroba E.Coli dalam media nutriet agar (NA).

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang komposisi optimum sagu sebagai penyalut lapis tipis serta mikrobiologi dan biodegradasi penyalut layak makan berbasis pati sagu yang ramah lingkungan dan aman


(25)

digunakan. Serta dapat memberikan nilai tambah secara tidak langsung pada industri pemanfaatan tanaman sagu.

1.6. Metodologi penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, dimana yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu, batang sagu yang sudah dihaluskan (325 mesh) , air (dimana berat air divariasikan) dan gliserol. Keempat bahan tersebut dicampurkan dalam suatu wadah lalu dihomogenkan, setelah homogen dimasukkan kedalam alat cetakkan berupa cawan petri lalu dikarakteristik pembungkus layak makan, yaitu mikrobiologi dan biodegradasinya.

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dilaboratorium mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , laboratorium bea dan cuka Departemen Perdagangan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Singkat Sagu

Sagu berasal dari maluku dan Irian,karena itu sagu mempunyai arti khusus sebagai bahan pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada data yang pasti yang mengungkapkan kapan mula sagu dikenal. Diduga budi daya sagu dikawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma dimesopotamia. Tetapi menurut Ong (1977) sagu sudah dikenal sejak tahun 1200 berdasarkan catatan-catatan dalam tulisan-tulisan cina. Misalnya Marcopolo menemukan sagu diSumatera pada tahun 1298 dan pabrik sagu diMalaka sudah tercatat dalam tahun 1416.

Teknologi eksploitasi dan budi daya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah Malaysia.Indonesia, khususnya dari daerah Riau sudah melakukan eksport produk sagu dalam bentuk sagu kotor (Raw ) pada tahun 1879. Ekspor sagu bersih diIndonesia Dimulai pada tahun 1901 dan mulai ekspor dalam bentuk sagu mutiara pada tahun 1917. Sejarah yang layak dicatat dalam perkembangan Industri sagu di Indonesia didirikanya sebuah Industri pengolahan sagu oleh PT. Sagindo Sari Lestari pada pertengahan tahun 1989 diArandai,Bintuna,Manokwari, Irian Jaya. Pengolahan sagu ini adalah yang paling moderen pada saat itu.Hal ini benar-benar memberikan indikasi bahwa sagu, selain sebagai bahan pangan modern, merupakan bahan baku untuk berbagai macam industri.


(27)

2.2. Morfologi Sagu 2.2.1. Batang.

Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren(Arecha, SP), perbedaaanya, Aren tidak membentuk rumpun, sedangkan sagu tumbuh dalam bentuk rumpun.Batang Aren hampir seluruhnya diliputi ijuk hitam,sedangkan sagu hanya mempunyai ijuk hitam sedikit pada pinggiran pelepah daunya sehingga batang sagu tampak jelas seperti pohon pinang.

Pada rumpun sagu rata-rata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang anakan.Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang sangat banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan.Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa.Batang sagu merupakan silinder yang berfungsi untuk mengakumulasi/menunpuk karbohidrat.Tinggi batang sagu dari permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar antara 10-15 m, dengan diameter batang pada bagian bawah mencapai 35-50 cm. Pada waktu panen batang sagu bias mencapai berat sampai 1 ton, dimana 20 persen empulur mengandung tepung, sehingga 1 pohon sagu mampu menghasilkan 150-300 kg tepung sagu basah. Berat tersebut masih ditambah berat akar dan mahkota daun 50 Kg.

2.2.2. Bunga dan buah

Bunga sagu berbentuk rangkaian yang keluar pada ujung batang, dengan diketahuinya adanya tanda pengecilnya daun bendera. Sagu mulai berbunga pada umur 8-15 tahun, terkantung pada kondisi tanah, tinggi tempat dan varietas.Bunga sagu tersusun dalam manggar secara rapat, berukuran kecil-kecil.Warnanya putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau.Bilamana sagu tidak segera


(28)

ditebang pada saat berbunga, bunga dapat berbentuk buah.Buahnya bulat-bulat kecil dan tersusun pada tandan mirip buah kelapa.Buahnya bersisik dan berwarna coklat kekuningan.Sagu merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau berbuah sekali pada masa hidupnya.Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati (Budhi H, 1986).

2.2.2. Ciri Sagu Siap Panen dan Cara Panen

Sampai saat ini para petani sagu belum dapat menentukan dengan pasti umur sagu yang tepat untuk dipanen dengan hasil yang optimum. Pada umumnya petani sagu kurang perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen. Namun demikian para petani sagu didaerah sentral sagu yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut siap panen.

Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun,duri,pucuk,dan batang (Soekarto dan Wijandi, 1983). Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun sebekumnya dan daun terakhir juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukuranya kecil. Perubahan lain adalah puncak menjadi agak menggelembung.Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda.

Pada umumnya pemanenan sagu masih dilakukan secara sederhana dan dengan tenaga manual.Setelah dipilih pohon sagu yang ditebang, biasanya penebangan dilakukan dengan kampak. Setelah pohon tumbang, pelepahnya


(29)

dibersihkan dan sebagian ujung batang dibuang karena kandungan patinya rendah. Pohon yang sudah dibersihkan dipotong-potong menjadi bagian yang pendek-pendek dengan ukuran 1,5- 2 m. Gelondongan tersebut lalu dibawa ke sumber air terdekat langsung ditokok(diekstraksi).

Untuk mendapatkan pati sagu, maka dari empulur batang sagu dilakukan ekstraksi pati dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan cara ditokok atau diparut. Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, cara ekstrasi pati sagu yang dilakukan didaerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas cara ekstraksi tradisional, ekstraksi semi mekanis, dan ekstraksi secara mekanis ( Bambang H dan philipus P, 1992).

2.3. Pati Sagu

komponen yang paling dominan dalam pati sagu adalah pati (karbohidraat).Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam 100 gam pati sagu dapat dilihat pada table 2.1 sebagai pembanding disajikan pula pati ubi kayu (tapioca) dan garut.

Karbohidrat merupakan polimer alami yang dihasilkan oleh tumbuhan dan sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Karbohidrat dikenal juga dengan nama

sakarida, yang berarti gula.Karbohitrat dapat digolongkan berdasarkan jumlah

sakarida yang dikandungnya,yaitu monosakarida,oligosakarida,dan polisakarida. Polisakarida adalah karbohidrat yang terdiri atas banyak monosakarida. Polisakarida merupakan senyawa polimer alam dengan monosakarida sebagai monomernya.


(30)

Tabel 2.1. Komposisi Bahan Pati Sagu, Tapioka dan Pati garut setiap 100 g

Komponen Tapioka Pati Garut Pati Sagu

Kalori (kal) 362 355 353

Protein ( g ) 0,5 0,7 0,7

Lemak ( g ) 0,3 0,2 0,2

Karbohihrat ( g ) 86,9 85,2 84,7

Air ( g ) 12.0 13,6 14,0

Fosfor (mg ) - 22 13

Kalsium (mg ) - 8 11

Besi (mg ) - 1,5 1,5

Sumber : Direktorat Gizi, Dep kes R.I (1979)

Pati merupakan butiran atau ganula berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa ( Brautlecht, 1953). Ganula pati mempunytai bentuk dan ukuran yang beranekaragam, tetapi pada umumya berbentuk elips atau bola. Pati sagu berbentuk elips( prolate ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5 – 80 mm dan relatif lebih besar dari pati serealia (Wirakartakusumah, 1986).

Pada dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 glukosa. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya. Pati terdapat dalam dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Struktur dari amilosa dan amilopektin adalah sebagai berikut :


(31)

Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin berbeda-beda dalam setiap jenis pati.Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin( Wirakartakusumah, 1986) rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap air lebih banyak (higoskopis).

Hidrolisis amilum (Pati) dapat menghasilkan oligosakarida yang dinamakan

dekstri.Jika dekstrin ini dihidrolisis, akan memperoleh maltose (disakarida).

Hidrolisis lebih lanjut disakarida ini akan menghasilkan D – glukosa (monosakarida) Amilum H2O Dekstrin H2O Maltosa H2O Glukosa

(Polisakarida) (Oligosakarida) (Disakarida) (Monosakarida) Gambar 2.2. Reaksi hidrolisi pati menjadi glukosa ( Monosakarida)

Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinasi setelah mencapai suhu tertentu(suhu gelatinasi). Hal ini disebabkan oleh pemanasan energi kinetik molekul-molekul air yang menjadi lebih kuat dari pada daya tarik- menarik antara molekul pati dalam ganula, sehingga air dapat masuk kedalam pati tersebut dan pati akan membengkak(mengembang). Ganula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan sifat inilah yang disebut Gelatinasi ( Winarno,1986). Suhu pada saat butir pati pecah disebut suhu gelatinitasi.


(32)

Gambar 2.3 Bentuk suspensi pati sagu yang dipanaskan (a) pdasa suhu 500C selama 20 menit, (b) pada suhu 60oC selama 20 menit, (c) pada suhu 700C selama 20 menit

Peningkatan suhu menyebabkan pemutusan ikatan lemah antar rantai polisakarida, termasuk ikatan glikosida dalam polisakarida serat pangan pun akan rusak (http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2009).Oleh sebab itu terjadinya peningkatan viskositas selama gelatinitas disebabkan oleh yang sebelumnya berada diluar ganula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sebagian sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak bergerak bebas lagi karena terikat gugus hidroksil dalam molekul pati. Apabial suhu dinaikkan, maka viskositas pasta/gel berkurang. Menurut Knight (1986) suhu glatinasi pati sagu sekitar 60-720C, tetapi menurut Wirakartakusumah (1986) sekitar 72-900C.


(33)

2.4. Nilai gizi Sagu

Komposisi kimia tepung sagu ( genus Metroxxylen, sp ) menurut muller 1976, sangat dipengaruhi oleh cara pengolahanya. Analisis kimia terhadap tepung sagu dan ampas dari batang sagu dapat dilihat pada table 2.2.

Tabel 2.2. Hasil Analisis kimia Tepung dan Ampas dari batang sagu ( genus Metroxxylen, sp )

Susunan Analis Bahan Kering % Bahan Uji Penguji Kadar AirProtein

Kasar Lemak Serat

Kasar Abu BETN

Tepung sagu LIM, 1967 13,2 1,2 0,4 6,2 4,1 88,2

FAO, 1972 13,1 1,6 0,5 0 0,5 97,7

Ampas dari batang sagu

LIM, 1967 13,3 1,9 0,4 6,0 3,0 88,7

Jalaludin, dkk

1970 12,2 3,3 0,3 14,0 5,0 64,6

Dari tabel diatas terlihat bahwa sagu merupakan bahan makanan dengan kandungan karbohidrat mudah larut (BETN) yang sangat tinggi, sedangkan kandungan protein, mineral dan lemak sangat rendah. Dengan kandungan karbohidrat tersebut sagu merupakan sumber makanan yang cukup penting bagi manusia.Perlu ditambahkan pula bahwa setiap 100 g tepung sagu juga mengandung Ca: 11,0 mg; P: 13,0 mg : Fe 1,5 mg : Vitamin B: 0,01 mg. Beberapa macam zat gizi yang essensial bagi tubuh manisia adalah karbohidrat, protein, lemak, beberapa unsur logam dan berbagai macam vitamin telah tersedia pada sagu ( Bambang H dan Philipus P, 1992)

2.5. Degradasi Polimer

Degradasi polimer merupakan suatu proses kerusakan atau penurunan mutu yang pada dasarnya berkaitan dengan terjadinya perubahan sifat, karena terputusnya


(34)

ikatan rantai. Selama proses pengolahan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, bahan polimer ini juga mengalami degradasi secara mekanis dan panas.Pada pemakaiannya menjadi barang jadi, bahan polimer ini juga mengalami degradasi oleh pengaruh radiasi ultra violet dalam sinar matahari.Disamping itu kondisi lingkungan seperti adanya oksigen atau bahan-bahan kimia oksidator turut pula mempengaruhi kecepatan degradasi.

Jika bahan baku polimer dikenakan terhadap kondisi tertentu maka akan mengalami degradasi.Perubahan yang diamati selama degradasi dapat dihasilkan dari perubahan struktur dari bahan polimer,kehilangan atau perubahan dalam setiap bahan senyawa dan perubahan sifat-sifat mekanis (kudoh,1996).

Valdya,(1994). Menyelidiki biodegradasi campuran polimer yang mempunyai gugus fungsi dan polimer alam (misalnya: Karbohidrat,protein). Selama pencampuran, kedua polimer dapat mengalami reaksi kimia dengan polimer yang dapat terbiodegradasi dan menghasilkan ikatan diantara kedua polimer.

2.6. Degradasi Pati

Pati merupakan biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam dan bersifat dapat diperbarui. Pati sendiri memiliki batasan bervariasi terkait dengan kelarutan dalam air.

Peningkatan suhu menyebabkan pemutusan ikatan lemah antar rantai polisakarida, termasuk ikatan glikosida dalam polisakarida serat pangan pun akan rusak (http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2006). Oleh sebab itu, selanjutnya dapat dipahami bahwa walaupun kurva peningkatan vanilin dan


(35)

glukosa serupa, namun jumlah glukosa yang terbentuk akibat peningkatan suhu lebih berbeda nyata diantara perlakuan suhu yang digunakan.

Lapisan tipis dari pati dapat dengan mudah rusak. Untuk meningkatkan karakteristik, biasanya pati dicampur biopolimer serta bahan pengisi sehingga banyak digunakan untuk kekuatan tarik sehingga tidak mudah rusak

. Salah satu biopolimer hidrokopis yang direkomendasikan adalah gliserol yang dapat disintesis dari kelapa sawit.Gliserol direkomendasikan sebagai biomaterial berpotensi tinggi untuk dikompositkan dengan pati atau amilum sebagai bahan utama pembuatan komposit pati-gliserol. Gliserol merupakan senyawa yang netral,dengan rasa manis,tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 200C dan memiliki titik didih yang tinggi, yaitu 2900C.Gliserol dapat larut secara sempurna didalam air dan alcohol, tetapi tidak dalam minyak.Sebaliknya banyak zat mudah larut dalam gliserol dibandingkan dalam air maupun alcohol. Oleh karena itu gliserol merupakan suatu pelarut yang baik (AnonymousI,2006).

Struktur gliserol mempunyai gugus alkohol sekunder dan dua gugus alkohol primer, maka akan memberikan banyak kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini (Finar, 1980). Misalnya dengan menambahkan gugus asetal pada gugua gliserol akan dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegasi oleh pengaruh bahan kimia atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba(Pissecki,2000).

Penambahan pengisi dalam untuk meningkatkan karakteristik biopolimer biasanya digunakan bermacam kayu, sehingga biopolimer tersebut tidak mudah rusak, dan mudah terdegradasi.


(36)

Asam oksalat (oxalic acid (COOH)2) sebagai asam karboksilat sederhana

ditemukan hampir pada seluruh jenis organisme termasuk tumbuhan, hewan dan jamur (Hodgkinson 1977). Peranan asam oksalat pada berbagai jenis organisme telah dipejari dari berbagai aspek dari yang menguntungkan organisme itu sendiri seperti pada jamur, sampai pada efek yang membahayakan bagi kehidupan seperti pembentukan dan penumpukan kristal kalsium oksalat yang menyebabkan penyakit ginjal pada manusia. Jamur kelas basidiomycetes sebagai agen utama dalam degradasi kayu (lignoselulosa) menghasilkan sejumlah besar asam oksalat selama mengkolonisasi kayu. Asam ini diketahui memiliki peranan yang sangat penting dalam degradasi komponen-komponen kayu. Asam oksalat yang dihasilkan jamur berfungsi sebagai sumber proton dalam hidrolisis selulosa kayu baik secara enzimatis maupun non-enzimatis dengan penurunan pH kayu dan mempercepat tingkat depolimeraisasi selulosa sehingga menyebabkan hilangnya kekuatan kayu.

Jamur-jamur kelas basidiomycetes. Beberapa askomisetes juga diketahui sebagai pengahsil asam oksalat yang cukup potensial seperti Aspergillus niger. Biosintesa asam oksalat telah dipelajari pada berbagai golongan organisme, dan yang paling banyak dilaporkan dan dipelajari adalah sintesa asam oksalat pada tumbuhan dan mikroorganisme termasuk protozoa, bakteri dan jamur. Pada jamur oksalat disintesis oleh dua jenis enzim intraseluler, yaitu glioksilat dehidrogenase (GLOXDH) dan oksaloasetase (OXA). Enzim-enzim ini menggunakan senyawa-senyawa perantara yang terlibat dalam siklus asam karboksilat (siklus Krebs) dan glioksilat (siklur Kornberg). Reaksi yang dikatalisis oleh kedua enzim ini adalah:


(37)

1. Glioksilat Oksalat 2. Oksaloasetat Oksalat + Asetat

Reaksi yang pertama adalah reaksi oksidasi, dimana enzim GLOXDH mengoksidasi glioksilat untuk membentuk oksalat sedangkan reaksi yang kedua adalah reaksi hidrolisis, dimana enzim OXA menghidrolisis oksaloasetat yang memiliki empat atom karbon dan menghasilkan oksalat dan asetat yang masing-masingnya memiliki 2 atom karbon. Kedua jenis enzim ini telah banyak dipelajari dan dimurnikan dari jamur yang menghasilkan asam oksalat termasuk dari kelas basidiomistes

Asam oksalat memiliki peranan yang cukup penting dalam degradasi kayu (lignoselulosa) oleh jamur pembusuk kayu. Pada tahap awal serangan, enzim-enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh jamur seperti enzim kelompok selulase terlalu besar untuk dapat melewati pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil. Kalsium yang merupakan bahagian yang cukup penting pada lamela tengah dalam bentuk kalsium pektat, diikat oleh asam oksalat yang dihasilkan jamur, yang selanjutnya dapat merusak integitas dinding sel dan menyebabkan terbukanya pori-pori dinding sel untuk memberi kesempatan pada enzim-enzim selulase untuk bereaksi. Disamping itu penuruan pH akibat penumpukan asam oksalat yang dihasilkan jamur dapat menyebabkan terjadinya degradasi selulosa secara non-enzimatis melalui pembentukan radikal-radikal oksigen. Geen et al (1991) Postia placenta menyebabkan penurunan pH kayu sampai 1.6 hidrolisis kayu secara non-enzimatis mungkin lebih penting pada pembusukan kayu oleh jamur. Sehingga pada beberapa jamur hubungan


(38)

yang erat antara kemampuan menghasilkan asam oksalat dengan kemampuan menyerang kayu (Micales & Highley 1991). Disamping itu, selama pembusukan kayu, karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan biosintesa berbagai senyawa termasuk veratril alkohol dan asam oksalat. Oksalat disintesa dari oksaloasetate dan glioksilat. Enzim oksalat dekarbosilase memiliki peranan yang sangat penting dalam dekomposisi asam oksalat menjadi karbon dioksida dan format. Selanjutnya, asam format (HCOOH) yang terbentuk dioksidasi menjadi karbondioksida dan NADH oleh format dehidrogenase. Koenzim (NADH) yang terbentuk berperan dalam reduksi senyawa-senyawa quinon (lignin). (Munir Erman)

Sebagian besar mikroorganisme memindahkan berbagai macam molekul kecil melewati sel-sel atau membran plasma dan memetabolismenya. Substansi ini termasuk glukosa, asam amino, peptida kecil, nukleotida dan phosphat serta ion organik lainnya. Sebagai tambahan, untuk endoenzim yang diproduksi untuk digunakan sel, banyak bakteri (dan fungi) memproduksi eksoenzim dan melepaskannya melalui sel atau membran plasma. Enzim (eksoenzim) yang berperan dalam merubah karbohidrat komplek adalah karbohidrase, amilase, selulase. Pati merupakan substansi yang terlebih dahulu harus diubah menjadi molekul lebih sederhana agar dapat diserap oleh sel. Mikroorganisme memproduksi enzim untuk memecah substansi di dalam sel, salah satunya adalah amilase (Black, 2005). Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil pemecahan dan letak ikatan yang dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan glukoamilase. Enzim alfa-amilase merupakan endoenzim yang memotong ikatan alfa-1,4 amilosa dan amilopektin


(39)

dengan cepat pada larutan pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-amilase akan menghidrolisis ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil degradasi secara acak di bagian tengah atau bagian dalam molekul. Enzim beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4-glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2. bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi konfigurasi posisi atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim ini memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan unit-unit maltosa dari ujung nonpe-reduksi pada rantai polisakarida. Bila tiba pada ikatan alfa-1,6 glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti. Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4- glukan glukohidro-lase atau EC 3.2.1.3. Enzim ini menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4, tetapi hasilnya beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis ikatan glikosida alfa-1,6 dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis ikatan glikosida a-1,4 (Biogen, 2008).

2.7. Penyalut (Cauting)

Produk makanan berkemasan semakin popular dikalangan masyarakat Indonesia dan semakin menjadi sejenis makanan yang dimakan setiap hari..

Secara umumnya, penyalut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pengguna kepada produk makanan yang tersedia. Dari segi ekonomi, penyalut menghasilkan produk yang lebih menarik dan lebih berat. Manakala dari segi rasa dan penampilan, ia dapat mengekalkan bentuk produk dan paling penting ia dapat


(40)

meningkatkan rasa (Fuller & Parry, 1987). Penggunaan makanan kemasan akan memberikan penampilan, aroma, perisa dan tekstur yang diinginkan (Hunter 1991). Penyalut juga disebut pembungkus, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas/dibungkusnya. Sebelum dibuat oleh manusia, alam juga telah menyediakan kemasan untuk bahan pangan, seperti jagung dengan kelobotnya, buah-buahan dengan kulitnya, buah kelapa dengan sabut dan tempurung,polong-polongan dengan kulit polong dan lain-lain. Manusia juga menggunakan kemasan untuk pelindung tubuh dari gangguan cuaca, serta agar tampak anggun dan menarik. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, masalah kemasan menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama dalam hubungannya dalam produk pangan. Ruangan lingkup bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari mulai bahan yang bervariasi hingga model atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik. Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas, logam, fiber, hingga bahan-bahan yang dilaminasi (ElisaJ. Dan Mimi N,2007).

Fungsi dari pengemasan pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekkan, benturan dan getaran.Disamping itu pengemasan berfungsi sebagai wadah agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian. Menurut Syarief et.al (1988) ada


(41)

lima persyaratan pengemasan yaitu : penampilan, perlindungan, fungsi, harta dan biaya, serta penanganan limbah kemasan. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan coating film adalah suatu yang sangat menjanjikan, baik yang terbuat dari karbohidrat, lipid, protein, maupun kombinasi dari ketiganya. Keuntungan coating film adalah dapat melindungi produk pangan, penampilan asli produk dapat dipertahankan, dan dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan.

Edible Packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang

berfungsi sebagai pelapis tipis (coating) dan yang berbentuk sebagai lembaran (Film) sehingga kita kenal istilah edible film dan edible coating. Dewasa ini penggunaan

edible coating telah banyak digunakan sebagai pelapis produk daging

beku,sedangkan penggunaan edible film untuk produk pangan dan penguasaan teknologinya masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penelitian yang lebih intensif, karena edible coating sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi, maupun hasil pertanian segar.

Komponen penyusun edible packaging mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible coanting dikelompokkan menjadi tiga yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid banyak diperoleh dari selulosa dan turunanaya dan pati. Kelompok lipida yang sering digunakan adalah asam lemak. Komposit adalah bahan yang didasarkan pada bahan campuran hidrokoloid dan lipida ( Helmi H 2001).


(42)

2.8. Mikrobiologi

Selain harus bergizi dan menarik, pangan juga harus bebas dari bahan-bahan berbahaya yang dapat berupa cemaran kimia, mikroba dan bahan lainnya. Mikroba dapat mencemari pangan melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolah (selama proses produksi atau penyiapan) juga sekresi dari usus manusia atau hewan. Penyakit akibat pangan (food borne diseases) yang terjadi segera setelah mengkonsumsi pangan, umumnya disebut dengan keracunan( toksisitas). Pangan dapat menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga mampu memproduksi toksin yang dapat membahayakan manusia. Selain itu, ada juga makanan yang secara alami sudah bersifat racun seperti beberapa jamur/tumbuhan dan hewan.Secara sederhana dan ringkas, toksokologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistim biologi lainya.

Bahkan bila terdapat mikroba patogen, besar kemungkinan akan berbahaya bagi yang mengkonsumsinya. Dalam pengujian cemaran mikroba digunakan mikroba indikator, karena selain mudah dideteksi juga dapat memberikan gambaran tentang kondisi higienis dari produk yang diuji.

Untuk mengetahui bahwa pangan sudah tercemar, dapat dilihat secara fisik dari tekstur makanan tersebut. Namun banyak makanan terutama yang sudah melewati suatu proses pengolahan, tetap mempunyai tekstur yang masih baik tetapi


(43)

mengandung suatu cemaran seperti bakteri patogen, yang disebabkan oleh penanganan yang tidak memadai.

Jenis mikroba yang terdapat dalam makanan meliputi bakteri, kapang / jamur dan ragi serta virus yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan seperti penampilan, tekstur, rasa dan bau dari makanan. Pengelompokan mikroba dapat berdasarkan atas aktifitas mikroba (proteolitik, lipofilik, dsb) ataupun atas pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik, dsb) Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban, nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai gizi atau bahkan merusak makanan tersebut.

Toksikologi sangat luas cakupanya, untuk menangani penelitian bahan-bahan kimia yang digunakan (1) dibidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2) dalam industri makanan sebagai zat tambahan langsung maupun tidak langsung, (3) dalam pertanian sebagai pestisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat tambahan makanan hewan dan (4) dalam industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi pelarut serta banyak jenis bahan kimia lainya. (Frank,1991).

Toksisitas diartikan sebagai racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang retan terhadapnya ( Soemirat, 2003).


(44)

Bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau mematikan berbagai mikroorganisme disebut antimikrobial yang dapat menghambat atau mematikan beberapa mikroorganisme disebut antimikrobial kisaran sempit. (narrow spectrum antimicrobial), (laydan Hastowo,1992).

Syarat untuk menetapkan kualitas atau baik tidaknya makanan, hingga kini masih berpusat pada pengertian “COLI” yang senantiasa dipandang sebagai indicator terhadap racun untuk menimbulkan kerusakan.( K. Brahmana, 1998).

2.9. Mikroba Tanah

Menurut Salle (1984), bakteri selulotik tanah dibedakan atas empat kelompok yaitu: mesofilik aerobik, termofilik aerobok, mesofilik anaerobik dan termofilik anaerobik. Lebih lanjut Alexander (1997) dan Salle (1984) menjelaskan bahwa bakteri selulotik yang mesofilik aerobik meliputi anggota-anggota dari genus

celvacicula, celvibrio, cellalomonas, sporocytophage, pseudomonas, cytophaga dan

vibrio.

Kisaran jenis mikroorganisme dalam tanah sangat luas yang terdiri dari bakteri,virus protozoa, dan fungi, dengan populasi bakteri merupakan populasi mikroorganisme yang dominan. Jumlahnya dapat mencapai 2,5 juta sel/gam, sedangkan tingkat pertumbuhannya dalam tanah dipengaruhi oleh berbagai factor, yaitu : jumlah dan macam zat hara, kelembaban, tingkat aerasi, temperatur, pH, dan perlakuaan pada tanah. Pada tanah yang berpH asam populasi fungi dominan, sedangkan pada tanah yang digenangi air mikroba anaerob lebih dominan.

Panas, konsentrasi ion hydrogen (pH), adanya air, oksigen dan cahaya mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Enzim dapat mempercepat reaksi


(45)

kimiawi, suhu dimana enzim berfungsi dengan sempurna disebut suhu optimum. Bila suhu ini menyimpang dari suhu optimum, maka aktivitas enzim menurun.

Kisaran suhu untuk aktivitas enzim menentukan sifat pertumbuhan mikroorganisme. Suhu tertinggi dimana mikroorganisme masih dapat tumbah disebut suhu maksimum, sedangkan minimum adalah suhu terendah dimana mikroorganisme masih dapat tumbuh. Kisaran suhu tidak saja mempengaruhi aktivitas enzim, namun mempengaruhi sifat fisik membaran sel.Permeabilitas membran sel tergantung pada kandungan dan jenis lipida. Peningkatan 50-100C diatas suhu optimum dapat menyebabkan proses lisis dan kematian sel mikroba.

Lazimnya, mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 7,0, namun ada juga yang dapat tumbuh pada pH 2,0 dan pH 10,0. Fungi dapat tumbuh pada kisaran pH yang cukup luas, kelompok ini dapat tumbuh pada pH asam. ( Lay dan Hastowo, 1992)


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Peralatan

Peralatan Merek

1. Neraca analitik Satorius

2. Oven memmert

3. Botol aguades

4. Hot plate stirrer Ika- Ret BC

5. Cawan Petri 6. Bunsen 7. Jarum ose 8. Tabung reaksi 9. Gelas beaker 10. Gelas ukur 11 Vakum

12. Seperangkat Alat FT – IR 13. Seperangkat Alat SEM 14. Petridish

15. Sprayer 16. Autoklave


(47)

3.2. Bahan

1. Pati sagu 2. Gliserol

3. Serbuk kayu batang sagu 4. Air.

5. Biakan E.coli

6. Standart uji nilai gizi. 7. Media PDA

8. Biakkan Aspergillus niger

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pembuatan Spesimen Campuran Pati Sagu dengan Variasi Berat Serbuk batangan Sagu pada Berat Gliserol tetap.

Sebanyak 10 g pati sagu ditambahkan dengan campuran 2 g gliserol dan 100 g air ( berat air divariasikan) sambil diaduk lalu dipanaskan sampai membentuk gel ( 100 0C ) hingga bercampur homogen. Kemudian ditambahkan serbuk batang sagu 3g sedikit demi sedikit hingga semua campuran homogen, kemudian diletakkan diatas cawan petri, matriks kemudian dikeringkan. Lalu divakum sampai berat tetap. Hasil dianalisis dengan menggunakan FT – IR dan SEM.


(48)

Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja disterilkan dengan menggunakan desinfektan dan tangan menggunakan antiseptik agar daerah sekitar tempat kerja menjadi steril.Media NA yang telah steril dituang kecawan petri yang telah steril. Kemudian didiamkan hingga memadat. Suspensi

E.Coli disiapkan hingga jumlah sel 108 sebanyak 10 ml dengan standar Mc. Farlan.

Setelah itu dengan menggunakan cutton swap yang telah steril digoreskan suspensi biakan E.Coli keseluruh permukaan media NA yang telah memadat. Kemudian kertas cakram yang telah direndam kedalam larutan penyalut pati sagu diletakkan dibagian tengah dari petri. Lalu di inkubasi pada suhu 370C selama 48 jam. Kemudian diamati zona bening yang terbentuk. jika ada, diukur dengan menggunakan jangka sorong. Masing-masing sample dibuat dengan 2 kali ulangan dan 1 kali kontrol.

3.3.5. Perlakuan Uji Biodegradasi

3.3.5.1 Uji biodegradasi Film Spesimen Penanaman dalam Tanah

Uji degradasi penanaman didalam tanah dimulai dengan mencuci masing-masing spesimen uji dengan air steril selama 5 menit dan dibilas dengan alkohol 70 % selama 5 menit, dikeringkan dalam vakum 400C selama 1 malam, serta ditimbang menggunakan neraca analitis kemudian dikubur dalam tanah .Pada hari ke o.hari 3, hari 5, spesimen uji diambil dan dibersihkan, dicuci dengan air steril, dibilas dengan alkohol 70% , dikeringkan, ditimbang, kembali menggunakan neraca analitis. Laju degradasi pengkuburan dalam tanah ini diamati dengan menguji perubahan berat.


(49)

3.3.5.2. Uji biodegradasi Film Spesimen terhadap Jamur Aspergillys Niger

Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja disterilkan dengan menggunakan densifektan dan tangan menggunakan antiseptik agar daerah disekitar tempat kerja menjadi stril. Terlebih dahulu kita lakukan preparasi , masing-masing penyalut dipotong dengan ukuran luas 3 x 3 cm2. Kemudian sample ditimbang dengan menggunakan neraca analitis. Setelah itu, sample disterilkan dengan direndam kedalam alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian direndam kedalam akuades steril selama 5 menit. Perlakuan ini diulang hingga 2 kali. Media PDA yang sudah steril dituang kedalam petridish. Kemudian dinokulasikan A.

Niger keseluruh permukaan petridish hingga merata. Sampel penyalut yang telah

dipotong diletakkan dibagian tengah dari permukaan media PDA. Sampel penyalut sedikit ditekan – tekan agar lebih melekat kepermukaan media. Kemudian diinkubasi pada suhu 320C selama 10 hari. Kemudian sample diambil dari media dan disterilkan dalam alkohol 70% selama 5 menit lalu diremdam kedalam aquades steril selama 5 menit sebanyak 2 kali. Setelah itu sample dikeringkan pada suhu 650C lalu ditimbang berat keringnya. Kemudian sample disterilkan kembali dengan alcohol 70% selama 5 menit dan diremdam dengan aquades steril selama 5 menit sebanyak 2 kali. Lalu sample diletakkan diatas biakan A. niger dan diinkubasi selama 10 hari. Setelah itu sample diambil dan disterilkan dengan alkohol 70% selama 5 menit lalu direndam kedalam akuades steril selama 5 menit sebanyak 2 kali. Kemudian dikeringkan pada suhu 650C lalu ditimbang berat keringnya dengan menggunakan neraca analitis.


(50)

3.3.6. Analisa FT – IR

Karakterisasi produk kopolimer cangkok dilakukan dengan Fourir transform infrared spectroscopy (FTIR) untuk mengidentifikasi struktur kimia dari sampel. Sampel kering dicampur dengan KBr dan dipres dalam cetakan. Kemudian sampel discan pada frequensi antara 4000 – 400 cm-1dengan consecutive scan 32 dan resolusi 4 cm-1.

3.3.7. Analisa SEM

Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi terhadap sampel. Dalam hal ini dapat dilihat rongga-rongga hasil pencampuran material pati sagu dengan gliserol dan batang sagu. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari degadasi polimer.


(51)

3.4. Bagan Penelitian

10 g pati sagu

2 g gliserol

Diaduk hingga bercampur lalu dipanaskan sampai

membentuk gel (100oC)

Hasil pencampuran pati sagu, gliserol, air dan serbuk halus batang sagu

Dituang di cawan petri dan dibiarkan hingga kering

Hasil pencampuran yang telah kering

Bentuk Film

Dicampur dengan 100 g, 120g, 150 g air

Gliserol + air

Ditambahkan serbuk halus batang sagu 3g sedikit demisedikit hingga homogen

Divakum sampai berat tetap Bentuk Penyalut

Tanah Sampah Tanah Pasir Tanah Kebun

Dikarakterisasi

Massa Spesimen Dihitung

Analisis SEM Uji FT-IR

Ditimbang Dipotong- potong


(52)

10 g pati sagu

2 g gliserol

Diaduk hingga bercampur lalu dipanaskan sampai

membentuk gel (100oC)

Hasil pencampuran pati sagu, gliserol, air dan serbuk halus batang sagu

Dituang di cawan petri dan dibiarkan hingga kering Dicampur dengan 100g,120g, 150g air

Gliserol + air

Ditambahkan serbuk halus batang sagu 3g sedikit demisedikit hingga homogen

Hasil pencampuran yang telah kering Divakum sampai berat tetap

Bentuk Film

Uji Biodegadasi Ditimbang

Media Bermikroba Aspergillus Niger

Dikarakterisasi

Masa Spesimen Dihitung

Bentuk Penyalut

Dipotong-potong

Analisis SEM Uji FT-IR

Gambar 3.2 Bagan Alir Uji Biodegradasi Penyalut Campuran Pati Sagu dengan Variasi Berat Serbuk Batang Sagu pada Berat Gliserol tetap dengan


(53)

Gambar 3.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Bahan Penyalut Media NA

Dituang kedalam cawan petri

Didiamkan hingga padat

Diamati Zona Bening

E. Coli digoreskan

Kertas cakram direndam dalam larutan Penyalut 1, Penyalut 2 dan Penyalut 3 kemudian diletakan di tengah media

Di inkubasi pada suhu 37 OC


(54)

BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

4.1 Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Pembungkus layak Makan

Sampel pembungkus yang digunakan adalah pati sagu komersial yang dicampur dengan batang sagu(350 mesh), gliserol, dan air dengan perbandingan: 10 g; 3 g ; 2 g dan 100 g. Kemudian, hasil pencampuran diaduk lalu dipanaskan sampai membentuk gel (1000 C ). Setelah campuran homogen, diletakkan diatas cawan petri, matriks kemudian dikeringkan.kemudian film dipotong-potong 10x5 cm2 untuk perlakuan penanaman dalam tanah dan dalam media bermikroba

Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk campuran dengan variasi air yang berbeda.

4.2. Uji biodegradasi Pembungkus layak Makan pada Penanaman dalam Tanah Uji biodegradasi penanaman didalam lingkungan tanah dimulai dengan menanamkan setiap spesimen sampel dalam wadah yang masing-masing berisi: (prosedur 3.3.5.1):

a. Dimana tanah berpasir,diambil dari daerah pantai belawan ( KIM 2 ) b. Tanah kebun diambil dari areal perkebunan Tanjung Anom (Sembahe Baru) c. Tanah sampah diambil dari lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) pancur

batu Medan.

Penanaman spesimen yang dilakukan pada 3 jenis tanah yang berbeda ini, bertujuan untuk melihat pada jenis tanah yang mana tingkat biodegradasinya lebih baik.


(55)

Laju biodegradasi penanaman dalam tanah ini diamati selama 3 hari dengan persentase perubahan berat spesimen uji (tabel 4.1)

Tabel 4.1. Persentase perubahan berat spesimen uji selama penanaman dalam tanah selama 3 hari penanaman.

No Komposisi spesimen

Penurunan berat (%)

Tanah pasir Tanah kebun Tanah sampah

1

Pembungkus dengan kandungan air 100 g

33.33 50 73.56

2

Pembungkus dengan kandungan air 120 g

12.5 25 29

3

Pembungkus dengan kandungan air 150 g

5 9.625 14,8

Uji biodegradasi pada penanaman dalam tanah memperlihatkan laju degradasi yang nyata selama 3 hari untuk semua spesimen.Terlihat bahwa semua spesimen mengalami perubahan berat dengan persentase yang berbeda-beda. Harga penurunan berat yang lebih besar pada spesimen Pembungkus yang dicampur dengan air 100 g, pada penanaman dalam tanah sampah. Ini kemungkinan tanah sampah lebih banyak nutrisinya dan adanya kerja sinergis antara kegiatan beberapa mikroba (jamur dan bakteri) yang terdapat didalam tanah uji penanaman


(56)

( Wirjosentono,1999). Laju dan mekanisme biodegradasi bahan penyalut ini sangat dipengaruhi oleh suhu, oksigen, kelembaban dan kondisi mikroba dari bahan polimer.

4.3. Uji Biodegradasi Pembungkus dalam Media Bermikroba

Hasil pengamatan secara visual terhadap specimen yang diinkubasi dalam media PDA menggunakan Aspergillus niger menunjukkan bahwa beberapa hari inkubasi terlihat bercak kehitam-hitaman pada penyalut dan tidak hilang setelah pencucian.

Pengujian biodegeadasi pembungkus oleh jamur Aspergillus niger dilakukan dengan kehilangan berat pada specimen. Data kehilangan berat sampel dibuat persentase beratnya maka dapat dilihat pada table 4.2.

Tabel 4.2. Persentase perubahan berat specimen uji selama 3 hari dalam media PDA yang ditanamkan jamur Aspergillus niger

Spesimen Penurunan berat (%)

Pembungkus dengan

kandungan air 100 g 12%

Pembungkus dengan

kandungan air 120 g 11.6%

Pembungkus dengan

kandungan air 150 g 6%

Pada uji biodegradasi pembungkus dalam media Jamur Aspergillus niger, kehilangan berat untuk specimen terlihat lebih nyata pada specimen penyalut dengan kandungan air 100 g, dibandingkan dengan pembungkus dengan kandungan air 120 g dan pembungkus dengan kandungan air 150 g.


(57)

Bila dibandingkan dengan uji penanaman dalam tanah sampah, biodegradasi specimen campuran pembungkus tersebut pada perlakuan dalam media jamur

Aspergillus niger , memperlihatkan laju yang lebih kecil.

Selanjutnya spesimen dikarakteristik dengan spektrofoto metri FT IR untuk melihat puncak serapan dan analisis SEM untuk mengetahui bentuk dan perubahan dari suatu bahan.

Tabel 4.3.Hasil Analisis Gugus Fungsi Penyalut Campuran dari Spektra FT IR Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi

Pembungkus dengan 100 g air sebelum

biodegradasi

3362.91 1645.46 1360,34

OH ikatan Hidrogen C=O

OH keton

Pembungkus dengan 100 g air sesudah biodegradasi dengan

tanah sampah

3469.47 1659.33

OH ikatan Hidrogen C=O

Pembungkus dengan 100 g air sesudah biodegradasi dengan

media aspergillus niger

3641,56 OH bebas

Dari spectrum pembungkus dengan 100 g air sebelum biodegradasi, memberikan informasi pita lebar pada bilangan gelombang 3362,91cm-1 menunjukkan adanya gugus OH berikatan hitrogen.Pada bilangan gelombang


(58)

1645.46 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O keton yang didukung sidik jari pada 1360,34 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH pendukung keton

Dari spectrum pembungkus dengan 100 g air sesudah biodegradasi dengan tanah sampah, memberikan informasi pada bilangan gelombang 3469.47cm-1 menunjukkan adanya gugus OH yang melemah dan serapan gugus karbonil C=O keton pada bilangan gelombang1659.33.

Dari spectrum pembungkus dengan 100 g air sesudah biogedradasi dengan media a spergillus niger, bilangan gelombang yang hanya nyata terlihat pada OH yaitu 3641,56 cm-1menunjukkan adanya gugus OH bebas, bila dibandingkan dengan penurunan biogedradasi dengan tanah sampah maka lebih terurai dengan tanah sampah.Terlihat bahwa puncak serapanya melemah. Ini menunjukkan telah terjadi biodegadasi.

Proses biodegradasi campuran pembungkus tersebut dimulai dari fase bahan pengisi, sehingga memungkinkan difusi oksigen kedalam fase ruas matrik pembungkus yang selanjutnya memicu proses degadasinya.Kemudian dibantu adanya enzim α amylase (EC.3.2.1.1,α.–1,4-D-glukan glukanohidrolase,endoamilase) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan α.-1,4-glikosidik dari pati dan maltodekstrin secara acak pada bagian dalam molekul polisakarida (Ballscmiter et al.,2006). Dimana enzim ini berperan memutuskan ikatan dengan konfigurasi α. Pada pati, dimana hitrolisis terbagi dua jalur, yaitu hitrolisis amilosa dan hitrolisis amilopektin.


(59)

Menurut Suhartono (1989) hitrolisis amilosa oleh α.-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penguraiaan amilosa menjadi maltosa maltotriosa yang terjadi secara acak.Penguraian ini terjadi secara cepat yang diikuti tahap kedua berlangsung relative lambat, dengan pwmbentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir.

Gambar 4.1 Penguraian amilosa menjadi maltosa dan maltptriasa

Gambar 4.2 Penguraian glukosa dan maltosa dari maltosa dan maltptriasa


(60)

Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin yang merupakan oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang mengandung ikatan α-1,6 glikosidik.

Amilopektin glukosa maltosa + oligosakarida ( gula≥ 4, ikatan α 1,6 glikosidi)

Gambar 4.3. Penguraian Amilopektin menjadi glukosa, maltosa dan oligosakarida


(61)

Gambar 4.4 : Foto SEM dengan 250 kali pembesaran (A) Pembungkus sebelum biodega dasi, (B) setelah Biodegadasi penanaman dalam tanah sampah, (C)setelah biodegadasi menggunakan jamur

aspergillus niger

Dari gambar 4.1. menunjukkan bahwa terjadinya proses biodegradasi terlihat adanya perubahan permukaan pembungkus yakni permukaanya menjadi tidak rata dan bentuk seratnya menjadi lebih halus serta terlihat alur hitam yang menyelimuti permukaan.dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa biodegradasi terjadi dengan baik dan juga terjadi perubahan struktur jaringan pada pembungkus yang semula terlihat homogen menjadi bentuk bongkahan.

(A) (B)


(62)

4.4. Uji Sifat Toksinitas pembungkus Berbasis Pati Sagu terhadap perkembangan Bakteri E. Coli

Suspensi E. Coli disiapkan hingga jumlah sel 108 sebanyak 10 ml dengan standar MC. Farlan. Kemudian digoreskan suspense biakan E. Coli keseluruh cawan petri yang telah diberi media NA yang telah memadat. Kemudian pembungkus dicetak sebesar kertas cakram diletakkan dibagian tengah cawan petri, diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam.

Kemudian diamati zona bening yang terbentuk, jika ada, diukur dengan menggunakan jangka sorong.Data pengamatan zona bening yang terbentuk tidak terdapat.

Dari pengamatan terlihat bahwa pada penyalut Berbasis Pati sagu tidak mempunyai indikasi sifar antiseptic terhadap bakteri E. Coli.

Gambar 4.5 : Uji toksinitas terhadap bakteri E. Coli. (A) Control, (B) Penyalut berbasis pati sagu.


(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dari hasil penelitian diperoleh dalam penyediaan penyalut layak makan

berbasisi pati sagu dengan pengisi serbuk batang sagu diperoleh pada variasi air 120 g adalah variasi yang optimum dilihat dari segi fisiknya yang kelihatan merata dan licin.

2.

Hasil penentuan persentase kehilangan berat menunjukkan bahwa semua polimer dapat terbiodegradasi meskipun dengan laju biodegradasi yang berbeda-beda. Campuran pembungkus layak makan berbasis pati sagu dengan kandungan air 100 g air lebih mudah terbiodegradasi dari pada pembungkus layak makan berbasis pati sagu dengan kandungan air 120 g dan 150 g., sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan pembungkus layak makan berbasis pati sagu lebih ramah lingkungan. Bila dibandingkan dengan uji perlakuan dalam media jamur Aspergillus niger,biodegadasi spesimen campuran pembungkus layak makan tersebut, pada perlakuan uji penanaman dalam tanah memperlihatkan laju yang lebih besar.

3.

Pembungkus layak makan berbasis pati sagu tidak mempunyai sifat antiseptik terhadap mikroba E. Coli.


(64)

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penyalut layak makan berbasisi pati sagu dengan pengisi serbuk batang sagu dengfan uji organoleptik dan citarasa yang diminati

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pembuatan pembungkus yang layak makan yang lebih menekanan penambahan nilai gizi.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pembuatan pembungkus yang layak maka yang diaplikasikan langsung kepembungkus makanan.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Adicondro.G.j.1982. Palma-palma raksasa itu tumbanglah, Prisma. Jakarta Anonymous.2006. Gliserin.www.Pioneethinking.com/glucerine.html

Anwar Efponora.2002.Pemanfaatan Maltodestrin dari Pati Singkong Sebagai Bahan

Penyalut Layak Tipis Tablet. Jurusan Farmasi.FMIPA. Universitas Indonesia

Jakarta

Austin.1985. Shereve’s Chemical Process Industries. Mc Graw-Hill Book Co. Tokyo Bambang H dan Philipus P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit kanisius.

Yokyakarta

Ballschmiter et al., 2006 .Jurnal hitrolisis pati

Broutlecht, C. A. 1992.Starch its Sources, Production and Uses. Reinhold Publ.Co.New York.

Budhi H. 1986.Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit kanisius. Yokyakarta

Direktorat Gizi Dep.Kesehatan RI.1979.Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bratara Karya Aksara.Jakarta.

Elisa J. dan mimi N. 2007. Buku Ajar Teknologi Pengema san. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.Medan.

Finar,I.L.1986. Organic Chemistry. Mc – Graw – Hill. Volume 1,6 th ed. Longman Inc. New York

Grasie, N and G. Scott, 1085, Polimer Degra dation dan Stabilization, 1 th ed, Cambridge University Press, Cambridge

Hasibuan, Macharani. 2009. Pembuatan film layak makan dari Pati Sagu Menggunakan bahan Pengisi Serbuk batang sagu dan Gliserol sebagai

Plastisiser. Thesis Program Madister Ilmu Kimia USU. Medan

Haris, Helmi. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film Layak Makan dari Pati

Tapioka untuk Pengema s Lempuk. Jurnal ilmu Pengetahuan Indonesia. Vol 3


(66)

Herawan T. Eirjosentono B. dan Rahmi U. 2006. Pemurnian Residu Gliserol Pabrik

Biodisel dengan Cara Penga saman. Penelitian PPKS – USU. PPKS –

Departemen kimia. USU. Medan.

Helmi H. 2001. Komposit Polimer. Jurnal Ilmiah Kimia Hodgkinson 1977.Degrada si Pati. Jurnal Ilmiah Kimia

Hunter, 1991. Penggunaan Kemasan Makanan. Jurnal Ilmiah Kimia.

http// wikipwdia Bahasa Indonesia, ensiklopedia Bebas. Dias\kses tanggal 28 Agustus. 2009.

http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2006

Indarti,Eti.Sri Mulyani, dan Normalina Arpi.2007. Perbaikan Karakteristik Pla stik Biodegradable Pati Sagu dengan Penambahan Serat Selulosa Dan MInyak

Sa wit.Universitas Syiah Kuala.Aceh

Info POM, Pengujian MikrobiologiPangan. 2008. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

K. Brahmana,1998. Bakteri pada Makanan. USU.Pres

Kudoh, H.1996, Aplication of Target Theory for Then Radiation Degradation of

Mechanical Properties of Polymer Materials, j Material Sci. Lett,15.666

Lay, Bibiana W. dan Hastono, Sugyo. 1992, Analisis Microba dilaboratorium, ed L, cetl Pt. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. Hal 75,129

Liao, Hsin – tzu dan Chin-San WU. 2009. Preparation and Cha racterization of

Ternary Blends Composed of polylactide, Poly( E-Caprolactone) and Starch.

Jurnal Material Science and Engineering A 515

Lu,Frank.C. 1994, Toksikologi Dasa r, Asas Organ Sasaran, dan Penelitian Resiko, Edisi kedua, UIP, hal 3-4

Marhamah, 2008. Biodegrada si Plastisiser Poligliserol Asetat (PGA) dan Dioktil Ftalat (DOP) dalam Matriks Polivinil Klorida (PVC) dan toksisitasnya

terhadap pertumbuhan Mikroba. Thesis Program Madister Ilmu Kimia USU.

Medan

Meier, :. “ Plastizers”, in R Grachter and H. muller,Eds.1990, Plasties Additives Hanbook, 3th ed, Hanser Publishers, Munich, Ghemany.


(67)

Mohtar.2001. Quality of Basic Oleochemical Production in Malaysia. Inform. 12: 529-536.

Munir Erman. 2001. Peran Mikroba Dalam Pelapukan Kayu.Jurnal Ilmiah Mikrobiologi.

Muller, Z.O 1976.An Animal Nutritionst`s Vieew of the Equatrial Swamp. Paper of

the First International Sago Symposium.Kucing.Malaysia.

Meutia Sandra, Muhammad Yusuf Maskat, Wan Aida Wan Mustafa & Amina Abdullah 2005. Effect of Flour Type on the Viscosity and Processing

Parameter of a Fried Coated Produc. Fakultas Sain dan Teknologi.

Universitas Kebangsaan. Malaysia.

Niken .H. Sri S. Yuliani. Pembungkus dari Sagu. Jurnal Kimia.

Ong, Tan Sri K.H.1977. Sago in Sara wak. Paper of the First International.Sago Symposium. Kucing.Malaysia.

Piasecki.2000. Synthesis and surface properties of chemodegradable anionic

Surfactans diastreomeric (2-N-alkil-1-3 Dioxan-5-yl) Sulafates.

J.am.oil.Chem.Socs.Vol.74,1

Pranamuda,Hardaning.2001. Pengembangan Baha n Plastik Biodegradable Berbahan

Baku Pati Tropis. Bahan Pengajian dan Penerapan teknologi Jakarta.

Sasttrohamidjojo hardjono1991,Spektroskopi.Universitas gaja mada. Yokyakarta. Santono, AminPengaruh Ikatan Hitrogen terhadap TITIk didih, Titik Leleh dan

Kelarutan Senya wa. Universitas Malang.

Soekarto,ST. dan S. Wijandi.1983. Prospek Pengembangan Sagu Sebagai Bahan

Pangan di Indonesia, seri Monetering Srategis Perkembangan IPTEK No.

Monstra/14/1983. Biro koordinasi dan kebijaksanaan Ilmiah – LIPI.

Soemirat Juli.1999, Toksikologi Lingkungan, Cetakan Pertama Gajah Mada Universitas Press, hal 12-19.

Suhartono 1989.jurnal hitrolisis Pati

Syarief R Santausa S. dan B.S Isyana 1988. Buku dan Monograf Teknologi

Pengemasan Pangan IPB.Bogor.


(68)

Wijandi, S. 1080. Sago and Food-Energy Shortage in Indonesia. Proceeding of the Second International Sago Symposium. Kuala Lumpur.

Wirjosentono,B,Abdi Negara S, Sumarno,Tirena A.S dan Samsul Bahri 1, 1995,

Analisa dan Karakteristik Polimer,USU Press.Medan

Wirjosentono,B.1998. Struktur dan Sifat mekanisme Polimer, Intan Dirja Lela, Medan.

Wirjosentono,B.1999. Pembuatan Poliblen mampu tredegrada si Menggunakan

Teknik Pengolahan Reaktif Poliolefin dan Serat Limbah Kelapa Sa wit.

Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing V/1-V/3 Perguruan Tinggi 1996 s/d 1999.USU

Wirjosentono,B.1994, Degradasi dan Pemantapan Polimer Hidrola rbon(Poliolefin), Jurusan Kimia FMIPA USU.Medan

Wirjosentono,B,1995. Perkembangan Industri Polimer diIndonesia. Orasi Ilmiah Lustrum 6. FMIPA – USU. Medan

Winarno, F.G.1998. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Jakarta.

Wirakartakusumah,1986. Isolation and Chasracterization of sago and its Utilization

for Prodution of Liquid Sugar, Jakarta.


(69)

LAMPIRAN 1

Lampiran 1.a. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah berpasir.

Spesimen

Waktu penanaman (Hari)

0 (Hari) /g 3 (Hari)/g 5 (Hari)/g Pembungkus dengan

kandungan air 100 g Pembungkus dengan kandungan air 120 g Pembungkus dengan kandungan air 150 g

1,2 0,8 0,8 0,8 0,7 0,76 0,6 0.657 0,7

Lampiran 1.b. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah kebun.

Spesimen

Waktu penanaman (Hari)

0 (Hari)/g 3(Hari)/g 5 (Hari)/g Pembungkus dengan

kandungan air 100 g Pembungkus dengan kandungan air 120 g Pembungkus dengan kandungan air 150 g

1,4 0,4 0,8 0,7 0,3 0,723 0,5 0.234 0,633


(70)

Lampiran 1.c. Data Perubahan berat specimen uji selama penanaman dalam tanah sampah.

Spesimen

Waktu penanaman (Hari)/g

0 (Hari) 3 (Hari) 5 (Hari)

Pembungkus dengan kandungan air 100 g Pembungkus dengan kandungan air 120 g Pembungkus dengan kandungan air 150 g

1,4 0,5 0,6 0,345 0,355 0,511 0,453 0.423 0,435

Lampiran 1.d. Data Perubahan berat specimen uji terhadap jamur Aspergillus niger.

Spesimen

Waktu penanaman (Hari)/g

0 (Hari) 3 (Hari) 5 (Hari)

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Pembungkus dengan kandungan

air 100 g Pembungkus

dengan kandungan

air 120 g Pembungkus

dengan kandungan

air 150 g

0.25 0.25 0.25 0.15 0.15 0.15 0.220 0.221 0.235 0.124 0.126 0.132 0.156 0.189 0.191 0.097 0.113 0.119


(71)

LAMPIRAN 2


(72)

Lampiran 2.b.: Spektrum FT IR Pembungkus setelah penanaman dengan tanah sampah


(73)

Lampiran 2.c: Spektrum FT IR Pembungkus setelah penanaman dengan jamur


(74)

LAMPIRAN 3

3. a. Pembungkus sebelum terdegradasi


(75)

(76)

3.d. Pembungkus dengan kandungan air 100g ditanam di aspergillus niger (hari 0 )


(77)

3.f.Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 0 )

3.g.Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam di aspergillus niger ( hari 1 )


(78)

3.i. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 1 )

3.j.Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam di aspergillus niger ( hari 5 )


(79)

3.l. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 5 )

3.m Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam E-Coli


(80)

3.o. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam E-Coli

3.p.Pembungkus dengan kandungan air 100 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah

3.r. Pembungkus dengan kandungan air 150 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah


(81)

3.q. Pembungkus dengan kandungan air 120 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah


(1)

3.d. Pembungkus dengan kandungan air 100g ditanam di aspergillus niger (hari 0 )


(2)

3.f.Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 0 )

3.g.Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam di aspergillus niger ( hari 1 )


(3)

3.i. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 1 )

3.j.Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam di aspergillus niger ( hari 5 )


(4)

3.l. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam di aspergillus niger ( hari 5 )

3.m Pembungkus dengan kandungan air 100 g ditanam dalam E-Coli


(5)

3.o. Pembungkus dengan kandungan air 150 g ditanam dalam E-Coli

3.p.Pembungkus dengan kandungan air 100 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah

3.r. Pembungkus dengan kandungan air 150 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah


(6)

3.q. Pembungkus dengan kandungan air 120 g setelah terdegradasi dengan tanah sampah