ANALISA YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN CREDE

(1)

Page | 1

!" #$%

BAB I Pendahuluan

1. Latar Belakang

Akibat globalisasi dewasa ini, banyak negara-negara yang tak bisa mengelak dari pergaulan internasional, tak terkecuali mobilisasi masyarakat dunia yang tak mengenal batas yuridiksi. Disatu sisi, setiap negara berusaha melindungi kepentingan nasionalnya meski harus merampas hak bangsa/negara lain dengan bungkus legitimasi hukum internasional, baik itu hak berdaulat, menentukan nasib sendiri atau terlebih menyangkut masalah ekonomi.

Abad ke-19, dengan filsafatnya yang berorientasi bisnis, menekankan pentingnya kontrak sebagai dasar hukum bagi perjanjian (teori perstujuan/theory of consent) yang bisa mengikat negara-negara merdeka. Disatu sisi, tidak ada kewajiban negara-bangsa untuk melakukan/tidak melakukan persetujuan/kontrak, dan karenanya, mereka hanya bisa diikat oleh persetujuan mereka sendiri1. Tidak ada otoritas yang secara teoritis atau praktis mampu membuat aturan (hukum) yang berlaku efeketif bagi negara-bangsa secara koheren dan komperhensif dalam pergaulan di era globalisasi. Disisi lain, pengaruh hukum alam yang dikembangkan Stoa yang mempengaruhi hukum internasional diawal perkembangannya masih mengakar kuat dan berpengaruh hingga sekarang memberi legitimasi meta-yuridis. Sebuah aliran hukum yang mendasarkan pada daya deduksi akal pikiran manusia sebagai ikhtiar penemuan hukum. Oleh karena bertitik tolak dari nalar manusia maka memiliki relevansi universal2 melintasi batas-batas yuridiksi.

Mengkaji penundaan presiden Dilma menerima Credential Letter Dubes Indonesia tentu kurang afdhol tanpa melihat latar belakang dan suasana politik masing-masing negara. Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Brasil tak bisa lepas dari motif politik yang diemban masing-masing pemimpin negara tersebut dalam mengangkat ‘komoditas politik’

1 Malcom N. Shaw QC, Hukum Internasional, penerjemah; Derta Sri Widowatie, Imam Baihaqi, dan

M.Khozin,Nusa Media, Bandung, 2013, h. 7.

2


(2)

Page | 2 kontra hukum mati yang dibungkus dengan retorika hukum tentang cara bagaimana mengetengahkan sudut pandang konsepsi hukuman mati menurut hukum internasional sebagaimana yang diagendakan pemerintah brasil3, dan disisi lain, ‘berbenturan’ dengan konsep kedaulatan dan konsep theory of consent yang diretorikakan oleh pemerintah Indonesia4.

1.1. Ketegangan Hubungan Bilateral Indonesia-Brasil

Beberapa waktu lalu, hubungan bilateral Indonesia dan Brasil yang telah lama dan saling menguntungkan tersebut memanas karena ‘intervensi’ Pemerintah Brasil terhadap law enforcement hukum Indonesia.

Sebelumnya, pihak Brasil juga telah memprotes keras eksekusi mati terpidana mati terpidana narkoba dari Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira (53 Tahun)5yang terdaftar dalam gelombang pertama6 eksekusi mati pada 18 Januari 2015 silam terkait kejahatan narkoba dibawah rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan, pemerintah Brasil merespon terhadap kebijakan hukum yang diambil oleh pemerintah Indonesia dengan menarik pulang Duta Besarnya, Paulo Alberto da Siveira Soares7 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan hukum Indonesia. Presiden Dilma Rousseff beranggapan hukuman mati menyalahi aturan Amnesti Internasional, dan tidak sepantasnya hukuman mati dijadikan sebuah hukuman disebuah negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

1.2. Penolakan Toto Riyanto sebagai Duta Besar Indonesia oleh Pemerintah Brazil

Penolakan Toto Riyanto sebagai Duta Besar Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Dilma Rousseff terjadi sesaat menjelang penyerahan Credential Letter di Istana Kepresidenan Brasil (Palacio do Planalto) pada 20 Februari 2015 pukul 09.00 pagi

5Marco Archer Cardoso Moreira ditangkap pada 2003 lalu setelah polisi di bandara Cengkareng

menenemukan 13,4 kg kokain yang disembunyikan di dalam peralatan olahraga.

6 Selain Marco Archer Cardoso Moreira, dalam gelombang pertama pelaksanaan eksekusi oleh Kejagung

ada lima terpidana lain, yaitu; Namaona Denis ( Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda), dan Rani Adriani alias Melisa Aprilia (indonesia).

7Lihat http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menlu-brasil-resmi-tarik-dubes-belanda-belum/99707


(3)

Page | 3 waktu setempat8 telah memantik ketegangan dua negara yang telah menjalin kerjasama sejak 55 tahun silam. Sebagai Duta Besar, Toto Riyanto merupakan representasi atas nama Bangsa Indonesia dengan membawa Credential Letter yang dibawa oleh Dubes Toto Riyanto dengan menyandang tanda tangan langsung oleh Presiden Indonesia yang merupakan representasi Bangsa Indonesia yang berdaulat. Sebagaimana penuturan Toto Riyanto9, latar belakang belakang penolakan tersebut diprediksi kuat karena akumulasi ‘sakit hati’ pemerintah Brasil terkait putusan Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang dilakukan oleh Dilma Roussef bagi warga negaranya yang akan menjalani vonis hukuman mati10 terkait kasus kepemilikan psikotropika, yaitu Rodrigo Gularte.

Presiden Dilma Ro usseff berdalih penyerahan surat kepercayaan dari Presiden Indonesia tersebut akan ditinjau dan diputuskan lebih lanjut menunggu perkembangan nasib warga negaranya yang akan dieksekusi mati di Indonesia. Perlakuan pemerintah Brasil ini memicu ketersinggungan Pemerintah Indonesia.

Terkait dengan insiden itu, Presiden Jokowi pun telah bertindak tegas dengan memanggil pulang Duta Besar Toto Riyanto melalui kanal Kementrian Luar Negeri Indonesia dibawah Menlu Retno Marsudi. Lebih jauh lagi, tindakan ini telah ditindak lanjuti oleh Kemenlu dengan pengiriman nota protes diplomatik keras kepada pemerintah Brasil11. Tak cukup sampai disitu, Legislatif pun membuka wacana untuk mengkaji ulang pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Brasil sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Brasil12.

3. Rumusan Masalah

Dari uraian singkat diatas serta agar subtansi topik yang dibahas dalam penyusunan makalah ini tidak melebar/bias, maka dirumuskanlah batasan kajian sebagai berikut;

8 Antaranews.com

http://www.antaranews.com/berita/481892/soal-penarikan-duta-besar-indonesia-untuk-brasil, diakses tanggal 17 April 2015.

9 OkeZone.com,

http://news.okezone.com/read/2015/02/23/18/1109537/kronologis-penolakan-dubes-ri-di-istana-presiden-brasil, diakses anggal 17 April 2015.

10 Analisadaily.com

http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menlu-brasil-resmi-tarik-dubes-belanda-belum,/99707/2015/01/18. diakses tanggal 17 April 2015.

11Republika Online.com

http://republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/24/nk98af-dubes-toto-riyanto-ceritakan-kronologi-penolakan-brasil, diakses anggal 17 April 2015.

12Lihat


(4)

Page | 4 1. Bagaimanakah ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang Diplomat menyangkut

perihal penolakan seorang duta besar (persona non grata) oleh negara penerima ? 2. Apakah secara empiris yang melatarbelakangi penolakan seorang diplomat negara

pengirim oleh negara penerima sudah sesuai ketentuan yuridis ?

4. Metode Penulisan

Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah yuridis normative dan Sosio-Empiris. Yuridis-Normatif dalam arti yang menjadi alat analisa adalah ketentuan-ketentuan legal hukum dan teori hukum doktrinal oleh para pakar yang telah diakui keilmuanya oleh para pakar hokum saat ini. Sedangkan Sosio-Yuridis adalah

Metode yang dikembangkan dalam pengkajian data dalam penulisan makalah ini menggunakan cara deduktif. Dalam arti, cara memahami permasalahan yang ada dengan cara mengkaji data-data yang didapat agar memperoleh pemahaman dan kesimpulan yang obyektif dan komperhensif.

5. Tujuan Penulisan

Meski dalam hubungan interpendensi ini sudah ada instrument-instrumen internasional hukum yang telah mengatur tentang tata cara hubungan antar negara, tapi dalam prakteknya, kaidah-kaidah yang telah ditetapkan bersama tersebut kadang tidak mampu mengawal aktifitas lalu-lintas hubungan negara karena tidak adanya organ yudikatif dalam struktur hukum internasional. Bahkan seringkali hukum-hukum yang telah disepakati tersebut kalah oleh kepentingan negara-negara kuat dalam implementasinya.

Bab II Pembahasan

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik

Pada dasarnya, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik merupakan dasar hukum bagi Bangsa-Bangsa/Negara-Negara berperilaku dalam melakukan kerjasama.


(5)

Page | 5 Konvensi pada hakikatnya merupakan perjanjian internasional yang melibatkan banyak negara sebagai pihak, oleh karena itu konvensi memiliki karakter multilateral. Selain itu, konvensi juga bisa dilakukan oleh dua negara saja sebagai pihak dalam perjanjian yang lazim dikenal kerja sama bilateral.

Hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional, karena keberlakuannya yang melintasi batas yuridiksi nasional13. Sedangkan Eileen Denza mengemukakan bahwa hukum diplomatik adalah berbagai komentar atas Konvensi Wina yang menyangkut hubungan diplomatik14. Sedangkan Jan Osmanczyk mengatakan hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dan dinas diplomatik15. Pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan/prinsip-prinsip internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal balik (reciprocity principle)16.

Secara subtantif, hakikat hukum diplomatik adalah seluruh ketentuan dan prinsip-prinsip hukum internasional yang khusus mengatur hubungan diplomatik antar negara17 yang mana kerja sama tersebut diselenggarakan berdasar kesepakatan bersama/kedua belah pihak. Sebagaimana dikatakan Shaw dalam bukunya bahwa tidak ada kewjiban mengenai hubungan diplomatik, dan hubungan ini ada karena asas saling menyetujui ( principle of mutual consent)18 dan asas timbale balik (reciprocity). Jika satu negara tidak ingin masuk kedalam hubungan diplomatik, secara hukum ia tidak bisa dipaksa melakukannya19.

2. Asas-Asas Hukum Diplomatik

Asas bisa diartikan dasar, manurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)20 yaitu sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, Sedang menurut Sunaryati Hartono, pengertian asas adalah kebenaran dasar (basic truth) yang memberi arah pada penyusunan kaidah-kaidah hukum yang lebih konkret sehingga seluruh kaidah yang terdapat pada suatu

13 Prof. Dr. Widodo,

Hukum Diplomatik Pada Era Globalisasi, LBJ,, Surabaya, 2009, h. 11.

14Ibid.

15 Syahmin, Ak., Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Analisis, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, h. 8.

16Ibid., hlm. 11.

17 Syahmin, Ak.,

Hukum Diplomatik; Suatu Pengantar, Amico, Bandung,1988, h. 14.

18Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Artikel 2.

19Malcom N. Shaw QC,

Hukum Int….., h. 726.


(6)

Page | 6 bidang hukum menjadi kesatuan yang tetap dan utuh21. Asas-asas hukum diplomatik tersebut merupakan asas-asas yang telah berkembang dizaman Imperium Romawi. Misalnya asas itikad baik (bonafides), persetujuan antar negara/bangsa harus dihormati (pacta sun servanda), timbal balik (contractus bilateralis), kesepakatan bersama (mutual consent), berdasar pada prinsip keadilan (et alquo et bono), hak-hak istimewa (privalegium), asas adanya kesepakatan bersama (mutual consent), dan kekebalan hukum (immunitet). Menurut Masyur Effendi, setidaknya ada 7 asas hukum diplomatik, yaitu sebgai berikut22;

a. Asas persamaan, persaudaraan, dan perdamaian. Sebagaimana tersirat dalam pembukaan Konvensi Wina 1961.

b. Asas penghormatan atas perbedaan negara, hal ini tersirat dalam naskah Konvensi Wina 1961 Alenia II.

c. Asas penghormatan atas wakil-wakil negara karena berdasarkan titik tolak sebagai kedaulatan negara masing-masing, sebagaimana uraian alenia IV naskah pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

d. Asas penghormatan terhadap adat dan kebiasaan internasional, sebagaimana penegasan Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

e. Asas kehendak bersama, sebagaimana penegasan Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang Konsuler.

f. Asas tidak dapat diganggu gugat (inviolability) perwakilan-perwakilan masing-masing negara. Tersirat dalam ketentuan Pasal 22 (1) Konvensi Wina 1961.

g. Asas kepercayaan, sebagaiman diatur dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1961 Tahun 1961.

Sedangkan asas-asas yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional adalah Good Faith, Estopel, Res Judicata, Circumtancial Evidence, Equality, Pacta Sun Servanda, dan Effectifities23.

2. Orang Yang Tidak Disukai (Persona Non Grata)

21Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991,

halaman 6.

22Masyur Effendi, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Poltik Bebas aktif Asas Hukum Diplomatik

dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, Usaha Nasional, Surabaya, 1993, h. 133.

23 Prof. Dr. Widodo,


(7)

Page | 7 Jika suatu negara telah membuat persetujuan kerja sama pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan asas saling menyutujui (principle of mutual consent), maka langkah berikutnya oleh kedua negara tersebut adalah menyusun formasi anggota korps kediplomatikan yang akan ditugaskan di negara penerima atas dasar asas yang wajar dan pantas (principle of reasonable and normal)24. Pada dasarnya pengangkatan anggota staf diplomatik oleh negara pengirim pada umumnya tidak memerlukan persetujuan dari negara penerima, karena negara pengirim secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri Penerima melalui nota Diplomatik25. Berbeda dengan pengangkatan seorang Duta Besar yang perlu persetujuan (agreement) dari negara penerima terlebih dahulu.

Pernyataan persona non grata disini dalam hubungan diplomatik menjadi bahan perdebatan yang panjang dan menarik. Meski ketentuan Artikel 9 Konvensi Wina 1961 telah mengatur hal ini bahwa negara penerima tidak berkewajiban member keawjiban untuk menjelaskan penolakannya. Tapi, setiap terjadi pernyataan persona non grata, negara pengirim meminta penjelasan kepada negara penerima atas penolakan tersebut.

Tindakan persona non grata ini lazimnya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka menggunakan melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan fasilitas diplomatik, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan domestik negara penerima, melakukan penyelundupan, atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat26.

2.1. Persona Non Grata dalam Perspektif Yuridis

Dalam ketentuan Artikel demi Artikel dalam Konvensi Wina 1961 tentang Diplomatik yang terdiri dari 53 Artikel tersebut, secara garis besar dapat dikelompokan dalam beberapa kategori sebagai berikut27;

a. Mengatur ketentuan terkait pribadi diplomat tersebut, baik martabat atau keselamatan pribadinya.diantaranya yaitu; 1. kebebasan bergerak (Artikel 26),

24Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo,

Hukum Diplomatik; Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005. Hlm. 108.

25Ibid., hlm. 108-109. 26 Syahmin, Ak.,

Op.cit., h. 66.


(8)

Page | 8 b. Mengatur ketentuan tentang kekebalan fasilitas diplomatik;

c. Mengatur ketentuan mengenai kebebasan alat-alat/fasilitas komunikasi, baik itu menyangkut kantong/tas/paket diplomatik, penggunaan fasilitas komunikasi. Diantaranya yaitu; 1. kebebasan komunikasi (Pasal 27)

Sebagaimana rumusan Pasal 4 (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang dinyatakan sebagai berikut;

The sending State must make certain that the agrément of the receiving State has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State. ( Negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan negara penerima telah diberikan bagi pengusulan orang tersebut sebagai kepala misi untuk negara tersebut. - terjemah; penulis).

Melihat kontekstual diatas, ada 3 hal yang ditekankan dalam pengiriman diplomat; pertama, adanya kepastian persetujuan calon diplomat dari negara penerima; Kedua, negara penerima dapat sewaktu-waktu menyatakan seorang diplomat dari negara pengirim adalah persona non grata, bahkan sebelum diplomat tersebut sampai di negara akreditasi28; ketiga, negara penerima (The Receiving State) tidak berkewajiban memberi alasan penolakan persetujuan kepada negara pengirim (Artikel 4 Ayat 2). Disamping itu, dalam Artikel 9 ditegaskan lagi Ayat 1;

The receiving Sta te may at any time and without having to explain its decision, notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State. (Negara penerima dapat sewaktu-waktu dan tanpa harus menjelaskan keputusannya, memberitahukan negara pengirim bahwa kepala misi atau anggota staf diplomatik dari misi adalah orang tidak disukai atau adanya salah satu anggota dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam tiap kasus tersebut, Negara pengirim, seyogyanya, baik menimbang orang tersebut atau

28 Syahmin, Ak.,


(9)

Page | 9 membatalkan tugasnya dari misi tersebut. Seseorang dapat dinyatakan tidak

disukai atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wila yah Negara penerima.- terjemah; penulis).

Ayat 2;

If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its obligations under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to recognize the person concerned as a member of the mission. (Jika negara pengirim menolak atau gagal dalam jangka waktu yang wajar untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang bersangkutan sebagai anggota misi tersebut.- penerjemah; penulis).

Menyimak ketentuan diatas, ada beberapa poin pemahaman yang dapat ditarik yaitu; a). seorang calon diplomat harus mendapatkan persetujuan negara akreditasi, b) kewajiban segera bagi negara pengirim untuk menarik diplomat tersebut pulang atau membatalkan tugas tersebut (melepaskan kekebalanya dan keistimewaannya) dalam batas waktu kewajaran.

2.2. Fakta Empiris Yang Melatarbelakangi Pernyataan Persona Non Grata Oleh Negara Penerima dalam Praktek Hubungan Bilateral

Disamping kajian secara yuridis, tentunya kita tak bisa menutup mata pada fakta empirik yang melatarbelakangi pernyataan persona non grata negara penerima terhadap agen diplomat asing agar kita bisa mendapat pemahaman komparatif-diametrikal mengenai ketentuan yuridis (das sollen) dan fakta empiris (das sein).

Menurut analisa penulis, ada dua faktor yang melatar belakanginya; pertama, murni ketidaksukaan terhadap duta besar tersebut. Ini sebagaimana yang terjadi ketika pemerintah Australia menolak agreement calon Dubes Indonesia, yaitu Letjen H.B.L Mantiri. Kedua, kondisi faktor politis yang melingkupi hubungan dua negara tersebut. Contoh kasus ini adalah penolakan bersifat politis terhadap Toto Riyanto oleh pemerintah Brasil terkait eksekusi mati warga negaranya oleh pemerintah Indonesia. Sikap ketidaksukaan pemerintah Brasil tersebut bukan kepada pribadi calon Duta Besar yang dipresentasikan Pemerintah Indonesia. Melainkan sikap ketidaksukaan pemerintah Brasil


(10)

Page | 10 terhadap kebijakan hukum Indonesia terkait pelaksaan eksekusi hukuman mati yang mana 2 warga negara Brasil menjadi terhukum.

BAB III Penutup

1. Kesimpulan

Aturan hukum internasional harus dibedakan dengan dari apa yang disebut sebagai tata krama (comity) internasional, karena ketentuan kesopanan tidak memiliki sifat mengikat. Sedang hukum internasional bersifat legal, baik dari sudut isi maupun bentuk. Sementara konsep moralitas internasional cabang dari etika. Meskipun dalam segi-segi tertentu memiliki nilai-nilai kesamaan dan tidak berarti bahwa hukum internasional dapat dipisahkan darinya29.

Meski menyakitkan, perlakuan Tidak Etis Pemerintah Brasil Kepada Duta Besar Indonesia secara legal tak menyalahi ketentuan Konvensi Wina 1961 dan tentu saja sikap yang harus diambil masing-masing pemerintah bukanlah langkah hukum, melainkan pertimbangan kebijakan matang terkait kepentingan ekonomi dan aliansi politis sebagai dua negara berkembang dalam forum internasional, dan kepentingan-kepentingan lainnya.

29 Lihat Shaw,


(11)

Page | 11 DAFTRA PUSTAKA

1. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. 2. Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler

3. Malcom Shaw QC, Hukum Internasional (edisi terjemah),Nusa Media, Bandung, 2013.

4. Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik; Teori dan Prektek, Alumni, Bandung, cet-2, 2005.

5. Setyo Widagdo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Banyumedia Publishing, Malang, 2008. 6. Prof. Dr. Widodo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, LaksBang Justitia,

Surabaya, 2009.


(1)

Page | 6 bidang hukum menjadi kesatuan yang tetap dan utuh21. Asas-asas hukum diplomatik tersebut merupakan asas-asas yang telah berkembang dizaman Imperium Romawi. Misalnya asas itikad baik (bonafides), persetujuan antar negara/bangsa harus dihormati (pacta sun servanda), timbal balik (contractus bilateralis), kesepakatan bersama (mutual consent), berdasar pada prinsip keadilan (et alquo et bono), hak-hak istimewa (privalegium), asas adanya kesepakatan bersama (mutual consent), dan kekebalan hukum (immunitet). Menurut Masyur Effendi, setidaknya ada 7 asas hukum diplomatik, yaitu sebgai berikut22;

a. Asas persamaan, persaudaraan, dan perdamaian. Sebagaimana tersirat dalam pembukaan Konvensi Wina 1961.

b. Asas penghormatan atas perbedaan negara, hal ini tersirat dalam naskah Konvensi Wina 1961 Alenia II.

c. Asas penghormatan atas wakil-wakil negara karena berdasarkan titik tolak sebagai kedaulatan negara masing-masing, sebagaimana uraian alenia IV naskah pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

d. Asas penghormatan terhadap adat dan kebiasaan internasional, sebagaimana penegasan Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

e. Asas kehendak bersama, sebagaimana penegasan Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang Konsuler.

f. Asas tidak dapat diganggu gugat (inviolability) perwakilan-perwakilan masing-masing negara. Tersirat dalam ketentuan Pasal 22 (1) Konvensi Wina 1961.

g. Asas kepercayaan, sebagaiman diatur dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1961 Tahun 1961.

Sedangkan asas-asas yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional adalah Good Faith, Estopel, Res Judicata, Circumtancial Evidence, Equality, Pacta Sun Servanda, dan Effectifities23.

2. Orang Yang Tidak Disukai (Persona Non Grata)

21Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, halaman 6.

22Masyur Effendi, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Poltik Bebas aktif Asas Hukum Diplomatik

dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, Usaha Nasional, Surabaya, 1993, h. 133. 23 Prof. Dr. Widodo,


(2)

Page | 7 Jika suatu negara telah membuat persetujuan kerja sama pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan asas saling menyutujui (principle of mutual consent), maka langkah berikutnya oleh kedua negara tersebut adalah menyusun formasi anggota korps kediplomatikan yang akan ditugaskan di negara penerima atas dasar asas yang wajar dan pantas (principle of reasonable and normal)24. Pada dasarnya pengangkatan anggota staf diplomatik oleh negara pengirim pada umumnya tidak memerlukan persetujuan dari negara penerima, karena negara pengirim secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri Penerima melalui nota Diplomatik25. Berbeda dengan pengangkatan seorang Duta Besar yang perlu persetujuan (agreement) dari negara penerima terlebih dahulu.

Pernyataan persona non grata disini dalam hubungan diplomatik menjadi bahan perdebatan yang panjang dan menarik. Meski ketentuan Artikel 9 Konvensi Wina 1961 telah mengatur hal ini bahwa negara penerima tidak berkewajiban member keawjiban untuk menjelaskan penolakannya. Tapi, setiap terjadi pernyataan persona non grata, negara pengirim meminta penjelasan kepada negara penerima atas penolakan tersebut.

Tindakan persona non grata ini lazimnya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka menggunakan melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan fasilitas diplomatik, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan domestik negara penerima, melakukan penyelundupan, atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat26.

2.1. Persona Non Grata dalam Perspektif Yuridis

Dalam ketentuan Artikel demi Artikel dalam Konvensi Wina 1961 tentang Diplomatik yang terdiri dari 53 Artikel tersebut, secara garis besar dapat dikelompokan dalam beberapa kategori sebagai berikut27;

a. Mengatur ketentuan terkait pribadi diplomat tersebut, baik martabat atau keselamatan pribadinya.diantaranya yaitu; 1. kebebasan bergerak (Artikel 26),

24Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo,

Hukum Diplomatik; Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005. Hlm. 108. 25Ibid., hlm. 108-109.

26 Syahmin, Ak.,

Op.cit., h. 66.


(3)

Page | 8 b. Mengatur ketentuan tentang kekebalan fasilitas diplomatik;

c. Mengatur ketentuan mengenai kebebasan alat-alat/fasilitas komunikasi, baik itu menyangkut kantong/tas/paket diplomatik, penggunaan fasilitas komunikasi. Diantaranya yaitu; 1. kebebasan komunikasi (Pasal 27)

Sebagaimana rumusan Pasal 4 (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang dinyatakan sebagai berikut;

The sending State must make certain that the agrément of the receiving State has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State. ( Negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan negara penerima telah diberikan bagi pengusulan orang tersebut sebagai kepala misi untuk negara tersebut. - terjemah; penulis).

Melihat kontekstual diatas, ada 3 hal yang ditekankan dalam pengiriman diplomat; pertama, adanya kepastian persetujuan calon diplomat dari negara penerima; Kedua, negara penerima dapat sewaktu-waktu menyatakan seorang diplomat dari negara pengirim adalah persona non grata, bahkan sebelum diplomat tersebut sampai di negara akreditasi28; ketiga, negara penerima (The Receiving State) tidak berkewajiban memberi alasan penolakan persetujuan kepada negara pengirim (Artikel 4 Ayat 2). Disamping itu, dalam Artikel 9 ditegaskan lagi Ayat 1;

The receiving Sta te may at any time and without having to explain its decision, notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State. (Negara penerima dapat sewaktu-waktu dan tanpa harus menjelaskan keputusannya, memberitahukan negara pengirim bahwa kepala misi atau anggota staf diplomatik dari misi adalah orang tidak disukai atau adanya salah satu anggota dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam tiap kasus tersebut, Negara pengirim, seyogyanya, baik menimbang orang tersebut atau

28 Syahmin, Ak.,


(4)

Page | 9 membatalkan tugasnya dari misi tersebut. Seseorang dapat dinyatakan tidak

disukai atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wila yah Negara penerima.- terjemah; penulis).

Ayat 2;

If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its obligations under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to recognize the person concerned as a member of the mission. (Jika negara pengirim menolak atau gagal dalam jangka waktu yang wajar untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang bersangkutan sebagai anggota misi tersebut.- penerjemah; penulis).

Menyimak ketentuan diatas, ada beberapa poin pemahaman yang dapat ditarik yaitu; a). seorang calon diplomat harus mendapatkan persetujuan negara akreditasi, b) kewajiban segera bagi negara pengirim untuk menarik diplomat tersebut pulang atau membatalkan tugas tersebut (melepaskan kekebalanya dan keistimewaannya) dalam batas waktu kewajaran.

2.2. Fakta Empiris Yang Melatarbelakangi Pernyataan Persona Non Grata Oleh Negara Penerima dalam Praktek Hubungan Bilateral

Disamping kajian secara yuridis, tentunya kita tak bisa menutup mata pada fakta empirik yang melatarbelakangi pernyataan persona non grata negara penerima terhadap agen diplomat asing agar kita bisa mendapat pemahaman komparatif-diametrikal mengenai ketentuan yuridis (das sollen) dan fakta empiris (das sein).

Menurut analisa penulis, ada dua faktor yang melatar belakanginya; pertama, murni ketidaksukaan terhadap duta besar tersebut. Ini sebagaimana yang terjadi ketika pemerintah Australia menolak agreement calon Dubes Indonesia, yaitu Letjen H.B.L Mantiri. Kedua, kondisi faktor politis yang melingkupi hubungan dua negara tersebut. Contoh kasus ini adalah penolakan bersifat politis terhadap Toto Riyanto oleh pemerintah Brasil terkait eksekusi mati warga negaranya oleh pemerintah Indonesia. Sikap ketidaksukaan pemerintah Brasil tersebut bukan kepada pribadi calon Duta Besar yang dipresentasikan Pemerintah Indonesia. Melainkan sikap ketidaksukaan pemerintah Brasil


(5)

Page | 10 terhadap kebijakan hukum Indonesia terkait pelaksaan eksekusi hukuman mati yang mana 2 warga negara Brasil menjadi terhukum.

BAB III Penutup 1. Kesimpulan

Aturan hukum internasional harus dibedakan dengan dari apa yang disebut sebagai tata krama (comity) internasional, karena ketentuan kesopanan tidak memiliki sifat mengikat. Sedang hukum internasional bersifat legal, baik dari sudut isi maupun bentuk. Sementara konsep moralitas internasional cabang dari etika. Meskipun dalam segi-segi tertentu memiliki nilai-nilai kesamaan dan tidak berarti bahwa hukum internasional dapat dipisahkan darinya29.

Meski menyakitkan, perlakuan Tidak Etis Pemerintah Brasil Kepada Duta Besar Indonesia secara legal tak menyalahi ketentuan Konvensi Wina 1961 dan tentu saja sikap yang harus diambil masing-masing pemerintah bukanlah langkah hukum, melainkan pertimbangan kebijakan matang terkait kepentingan ekonomi dan aliansi politis sebagai dua negara berkembang dalam forum internasional, dan kepentingan-kepentingan lainnya.

29 Lihat Shaw,


(6)

Page | 11 DAFTRA PUSTAKA

1. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. 2. Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler

3. Malcom Shaw QC, Hukum Internasional (edisi terjemah),Nusa Media, Bandung, 2013.

4. Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik; Teori dan Prektek, Alumni, Bandung, cet-2, 2005.

5. Setyo Widagdo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Banyumedia Publishing, Malang, 2008. 6. Prof. Dr. Widodo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, LaksBang Justitia,

Surabaya, 2009.