Urgensi Objek Dakwah Bagi Juru Dakwah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id mereka, dan takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak tabir penghalang antara doanya dan Allah”. 61 Pelajaran dari Hadith yang diriwayatkan oleh Iۖn ‘Aۖۖas Ra iyallahu „Anhuma diatas menyodorkan 3 poin penting , antara lain: 1 Urgensi dakwah 2 Dasar-dasar U ul dakwah dan skala prioritas dalam ۖerdakwah 3 Akhlak pendakwah Pelajaran pertama: yakni berkaitan dengan urgensi dakwah, bagi seorang pendakwah ataupun siapapun orangnya yang memiliki keilmuan dan pengetahuan dalam ilmu Islam berkewajiban untuk menyampaikan dan mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim, mencintai dan menyukai saudaranya sebagaimana ia mencintai dan menyukai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri demikian pula ia membenci keburukan yang terjadi dan musibah yang menimpa saudaranya sebagimana ia membenci hal tersebut menimpa dirinya, bahkan Rasulullah allallahu „Alaihi Wa Sallam menjadikan sifat ini sebagai bagian dari keimanan seorang muslim. Anas bin Malik Ra iyallahu „Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah allallahu „Alaihi Wa Sallam bersabda: ا ْ ع ه ا ص ا ا ع أ ْ ع ، ثا ح : ذ ْ ح خأ ا ح ا ح ،ْ حأ ْ َ د “Tidak ۖeriman salah seorang diantara kalian sampai ia menۗintai saudaranya seۖagaimana ia menۗintai dirinya sendiri”. 62 61 Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, t.t: Daar Tuuq An Najah, 1422 H, 5162 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Rasa cinta akan kebaikan terhadap saudara inilah yang menggerakkan Mua’z ۖin Jaۖal Ra iyallahu „Anhu mematuhi perintah Rasulullah dan meninggalkan kota Madinah berdakwah di negeri Yaman, dalam sebuah riwayat menۗeritakan ۖahwa tatkala Mua’az ۖin Jaۖal Ra iyallahu „Anhu kembali ke kota Madinah ia mendapati Rasulullah telah wafat. 63 Pelajaran kedua: berkaitan dengan dasar-dasar dalam berdakwah U ul Dakwah. bahwa materi atau pesan dakwah yang pertama kali disampaikan hendaknya lebih mendahulukan perkara-perkara wajib dari pada yang sunnah atau mubah serta hal-hal yang sangat urgen dibutuhkan oleh objek dakwah, lebih memprioritaskan hal-hal pokok yang wajib dan bersifat dasar صأ dalam agama sebagaimana yang terdapat dalam hadith ini bahwa ilmu pokok atau dasar agama yang pertama kali disampaikan dan diajarkan oleh Mu’az ۖin Jaۖal Ra iyallahu „Anhu kepada para penduduk negeri Yaman antara lain dimulai dari Tauhid yaitu mengenal Allah dan Rasul-Nya kemudian dilanjutkan dengan kewajiban- kewajiban lainnya seperti perin tah olat, zakat dan sedekah. Pelajaran ketiga: yaitu berkaitan dengan sikap seorang pendakwah setidaknya mampu dan harus bisa bersikap adil serta tidak menzalimi atau menyakiti mad‟unya karena suatu masalah yang bersifat duniawi atau menyangkut kepentingan pribadi, sebaliknya bersikap dan bertindak sebagaimana seorang 62 Al Bukhari, Kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13; Imam Muslim “Kitaۖ Al Iman, Baۖ Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An ٱuhiۖۖa Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45. 63 Muhammad bin Muhammad bin Suwailim, As Sīrah An Nabawiyyah „Ala ou Al Qur‟an Wa As Sunnah, Damaskus: Dār Al Qolam, 1427, 558 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id pendakwah yang telah tersebut ciri-ciri dan karakternya pada pembahasan sebelumnya dalam bab ini. Dakwah di daerah pedalaman memiliki banyak keterbatasan serta diliputi berbagai kekurangan dari segala sisi baik SDM nya maupun terkendala komunikasi dan transportasi. Oleh karenanya berlandaskan pada pembahasan di atas, betapa urgennya dakwah di daerah pedalaman dan bahkan menjadi sebuah kewajiban bagi daerah sekitarnya dalam hal ini adalah wilayah perkotaan yang memiliki berbagai kemajuan untuk memperhatikan daerah-daerah pedalaman yang berada di sekitarnya terutama dalam urusan dakwah atau urusan agama. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah selaku pemimpin umat dan pemimpin di wilayah kekuasaannya mengutus berbagai delegasi dakwah dari para sahabatnya ke daerah pedalaman dan ke berbagai daerah yang membutuhkan dakwah atau bahkan minim akan pengetahuan agama. Yaman adalah negeri yang penduduknya telah lebih dulu beriman diawal hijrah seperti Ammar bin Yassir, Miqdad bin Aswad, Aۖu Musa Al ‘Asy’ari, Syurahۖil ۖin Hasanah Ra iyallahu ‘Anhum. Kendati demikian Rasulullah senantiasa mengutus sahabat-sahabatnya untuk berdakwah di negeri tersebut. Bahkan para delegasi yang dikirm oleh Bani Himyar pada tahun 630-631 H meminta Rasulullah untuk mengutus dan mengirimkan sejumlah sahabat atau guru mengajarkan kepada mereka agama Islam. Para sahabat yang didelegasikan Rasulullah ke negeri Yaman antara lain: ‘Ali ۖin Aۖi aliۖ dan Al Muhājir ۖin Aۖi Umayyah ۖin Al Mugirah ke ana’a yang merupakan iۖukota ٱaman, Mu’az ۖin Jaۖal ke Taiz seۖelah selatan Kota digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ٱaman, dan Aۖu Musa Al ‘Asy’ari ke Zaۖid, Ziyād ۖin Laۖīd Al An ari ke Haḍralmaut, ‘Adi ۖin Hātim ke Bani Asad dan Mālik ۖin Nuwairah Al ٱarۖu’. 64

B. Polemik Antara Tradisi dan Ajaran Agama

Tradisi atau traditio berasal dari bahasa latin, secara etimologi artinya sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Tradisional adalah menurut tradisi adat atau diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Upacara adat yaitu upacara menurut tradisi. Atau masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat- istiadat yang lama. 65 Islam telah mengatur berbagai etika dan norma yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang dalam Islam tradisi diistilahkan dengan adab. Islam telah menoreh sejarah yang mulia, memecah tradisi dan budaya yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islam. Mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat serta mencegah dari berbagai perbuatan mungkar dan keji merupakan salah satu tujuan fundamental dalam proses dakwah dan tegaknya Islam tak lepas dari unsur ini. Polemik antara tradisi dan agama adalah suatu yang pasti terjadi, terkadang ajakan untuk berbuat baik maupun larangan dari melakukan suatu perbuatan berdampak positif demikian juga sebaliknya kedua hal ini yakni ajakan dan larangan berdampak negatif. Terlebih lagi larangan terkait dengan sebuah tradisi untuk menerima tradisi baru yang bukan tradisi dari para leluhur atau para 64 Suwailim, As Sīrah An Nabawiyyah, 558-561 65 KBBI, dalam http:www.kbbi.web.idtradisional diakses 23 Mei 2016 10.41 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id tokoh-tokoh adat tersebut. Allah Ta‟ala telah mengabadikan dan menegaskan polemik ini dalam Al Qur’an: َ ش َ ٓ اء أ ۚٓ ءٓ اء ع أ ٓ ع ا ْا اَ أ ٓ ْا ا ا “Dan apaۖila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?. 66 Dan Firman Allah Ta‟ala: َ ٓ اء أ ۚٓ ءٓ اء ع ج ح ْا ا اَ أ ٓ ْا ا َ ش “Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab: Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk? ”. 67 Hanafi menyatakan ۖahwa: “Kita harus berhati-hati dengan tradisi itu sendiri. Dalam melakukan pembaharuan, tradisi adalah sarananya. Kemudian ۖeliau melanjutkan juga ۖahwa: “…tradisi menۗerminkan tahap perjalanan sejarah yang bisa berubah-ubah dan berganti-ganti dibentuk oleh setiap generasi sesuai 66 Al Qur’an, 2:170. 67 Ibid., 5:104. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dengan tantangan zaman. 68 Oleh karena itu tradisi masa lampau bisa saja hadir dalam realitas kehidupan dan mengarahkan prilaku masa kini yang hidup di era modern namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau yang dianggap sebagai suatu warisan, dan disinilah tradisi itu menjadi pandangan hidup. 69 Namun disisi lain tradisi luar atau tradisi barat yang hadir di era modern berpeluang atau memiliki peluang yang sama dalam mengarahkan perilaku kehidupan manusia. 70 Bila ditinjau dari kacamata Islam, eksistensi tradisi atau adat istiadat tidak sedikit menimۖulkan polemik namun, al Qur’an juga seۖagai pedoman hidup manusia telah mengatur dan menjelaskan kedudukan tradisi dalam agama karena nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah tradisi dipercaya dapat mengantarkan keberhasilan dan keberuntungan bagi masyarakat. Tradisi Islam Hukum Syara‟ 71 mengatur berbagai bentuk peraturan yang memiliki sifat tidak memaksa dan tidak membebani terhadap ketidakmampuan pemeluknya. ع ۚ اَ اَ ف َ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya ”. 72 68 Wasid, dkk, Menafsirkan Tradisi Modernitas: Ide-ide Pembaharuan Islam, Surabaya: Pustaka Idea, 2011, 31. 69 Ibid., 32 70 Ibid., 32 71 Hukum Syara’ menurut ulama Fiqh yaitu Seperangkat peraturan ۖerdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang ۖeragama Islam. Sedangkan Hukum Syara’ menurut ulama U ul: Perintah Allah yang menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Lih. AmirSyarifuddin, “U ul Fiqh” Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997, 281-282 72 Ibid., 2:286. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Tradisi dalam hukum Islam diistilahkan dengan al „urf ف ا. Secara etimologi berarti: ma‟rifah ا yaitu sesuatu yang telah diketahui dan dikenal antonimnya adalah sesuatu yang belum diketahui atau An Nakirah ا maksudnya adalah sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. 73 Selain itu oleh para Ulama U ul menyamakan ‘urf dengan adat yang berarti pengulangan. Abdul Karim An Namlah mengemukakan bahwa adat lebih umum dari „urf dan semua „urf adalah adat. Sedangkan Al „urf secara terminologi adalah “Sesuatu yang dikenal atau dipahami dan dipandang baik oleh mayoritas orang masyarakat dan bukan perorangan berkaitan dengan urusan dunia dan telah lama menjadi kebiasaan diantara masyarakat tersebut serta tidak bertentangan dan melanggar Syara‟ hukum agama baik berupa ucapan, perbuatan atau meninggalkan”. 74 Penjelasan definisi diatas dapat dipahami ۖahwa terdapat dua ۖentuk ‘urf, yang pertama adalah ‘urf atau kebiasaan dalam bentuk perkataan atau ucapan dan ‘urf yaitu kebiasaan dalam bentuk perbuatan atau ajaran agama yakni berkaitan dengan na - na dalam al Qur’an. Meskipun ‘urf tradisi telah lama dikenal dan diterima serta menjadi keۖiasaan masyarakat namun tidak semua ‘urf tradisi sejalan dan sesuai dengan Syara‟ Hukum Islam. Dalam hal ini, para ulama yang paling ۖanyak menggunakan ‘urf sebagai dalil adalah para ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah 75 . Kaedah H ukum yang ۖerkaitan dengan al ‘urf antara lain: 73 ‘Aۖdul Karim ۖin ‘Ali ۖin Muhammad An Namlah,, Al Muhazzab Fii „Ilmi Ushul Al Fiqh Al Muqaran, Riyadh: Maktabah Ar Rusyd, 1999, 1020 74 Muhammad Hasan Abdul Ghifary, Taysir Ushul Fiqh Lil mubtadhi‟in t.t: t.p., t.th 75 Abdurrahman Dahlan, U ul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011, 212. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ح ا “ Adat Keۖiasaan dapat menjadi hukum” 76 Oleh karenanya para ulama u ul menyatakan ۖawah al „urf atau tradisi dapat dijadikan salah satu dalil dalam menentukan hukum syara‟, bila memenuhi persyaratan berikut: 1. Tradisi atau ‘urf yang absah yaitu tidak bertentangan dengan dalil atau Syara‟ yang telah diatur dalam agama al Qur’an dan sunnah Contoh pertama berupa larangan terhadap tradisi yang bertentangan dengan s yara‟: dahulu kebiasaan para sahabat melakukan nikah mut‟ah kemudian setelah ada hukum dan dalil pelarangan nikah tersebut maka mereka pun meninggalkan dan menghapus kebiasaan atau tradisi tersebut. Contoh kedua berupa legalitas atau pengakuan s yara‟ terhadap tradisi: sistem kerjasama mu arabah qira 77 atau bagi hasil yang telah lama dikenal sebelum Islam dan dahulu Rasulullah allallah „Alaihi Wa Sallam mengikat perjanjian kerjasama bagi hasil dengan Khadijah Ra iyallahu „Anha, setelah datang Islam s yara‟ melegalkan atau tidak mempertentangkan tradisi tersebut 2. Tradisi atau „urf yang rusak atau salah yaitu adat kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil syara‟ adat kebiasaan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. 78 76 Ibid., 213. Lih. Juga, Abdul Malik bin Abdullah, Al Burhān Fī U ul Fiqh, Beirut : Dār Al Kutuۖ Al ‘Ilmiyyah, 1997, 222. 77 yaitu akad perjanjian atau kerjasama usaha antar pemberi modal penerima modal dengan konsekuensi bahwa keuntungan yang didapatkan oleh peminjam modal diberikan atau dibagi kepada pemberi modal sesuai ketentuan yang disepakati. 78 Dahlan, U ul Fiqh, 211.