8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI
a. PMRI
Menurut Sembiring, matematika adalah konstruksi budaya manusia Prabowo dan Sidi, 2010:172. Budaya merupakan sesuatu yang dekat dengan
manusia, sehingga matematika merupakan hasil konstruksi dari berbagai hal yang ada di sekitar manusia. Hakekat ini yang mendasari munculnya Realistic
Mathematics Education RME dimana landasan filosofisnya, menurut Freudenthal, adalah matematika harusdihubungkan dengan sesuatu yang nyata
dan matematika seharusnya tampak sebagai aktivitas manusia. RME telah dipraktikkan di Belanda selama lebih dari 40 tahun dan telah menunjukkan
prestasi siswa yang memuaskan karena diyakini tidak hanya menanamkan matematika dari sisi kognitif, melainkan juga menanamkan karakter-karakter
tertentu dalam jiwa peserta didik. RME, sebagaimana diungkapkan oleh van den Heuvel- Panhuizen Prabowo dan Sidi, 2010:168, telah berhasil menjadi
pengungkit dalam keberhasilan siswa-siswa Belanda meraih lima besar Trends International Mathematics and Science Study TIMSS. Hal ini yang kemudian
menjadikan RME diadaptasi menjadi PMRI di Indonesia. PMRI sebagai adaptasi dari
RME dalam
konteks ke
Indonesiaan mengusung
landasan filosofis, prinsip, dan karakteristik yang tepat sama dengan RME, namun berbeda
pada beberapa hal karena konteks, budaya, sistem sosial, dan alam yang berbeda. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
b. Kaitan PMRI untuk Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian
Siswa Menurut Siswono, Tatag Y.E 2006, penggunaan masalah nyata context
problem sangat signifikan dalam PMRI. Berbeda dengan pembelajaran tradisional, yang menggunakan pendekatan mekanistik, yang memuat masalah-
masalah matematika secara formal “nakedproblems”. Sedangkan jika menggunakan masalah nyata, dalam pendekatan mekanistik, sering digunakan
sebagai penyimpulan dari proses belajar. Fungsi masalah nyata hanya sebagai materi aplikasi penerapan pemecahan masalah nyata dan menerapkan apa yang
telah dipelajari sebelumnya dalam situasi yang terbatas. Dalam PMRI, masalah nyata berfungsi sebagai sumber dari proses belajar masalah nyata dan situasi
nyata, keduanya digunakan untuk menunjukkan dan menerapkan konsep-konsep matematika. Ketika siswa mengerjakan masalah-masalah nyata mereka dapat
mengembangkan ide-idekonsep-konsep matematika dan pemahamanya. Pertama, mereka mengembangkan strategi yang mengarah dekat dengan konteks.
Kemudian aspek-aspek dari situasi nyata tersebut dapat menjadi lebih umum, artinya model atau strategi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah
lain. Bahkan model tersebut memberikan akses siswa menuju pengetahuan matematika yang formal. Untuk menjembatani antara tingkat informal dan formal
tersebut, modelstrategi harus ditingkatkan dari “model of” menjadi “model for”. Perbedaan lain dari PMRI dan pendekatan tradisional adalah pendekatan
tradisional menfokuskan pada bagian kecil materi, dan siswa diberikan prosedur yang tetap untuk menyelesaikan latihan dan sering individual. Pada PMRI,
10
pembelajaran lebih luas kompleks dan konsep-konsepnya bermakna. Siswa diperlakukan sebagai partisipan yang aktif dalam pembelajaran, sehingga dapat
mengembangkan ide-ide matematika. PMRI mempunyai tiga prinsip kunci, yaitu: 1.
Guided Reinvention menemukan kembali Progressive Mathematizing matematisasi progresif:
Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai
dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktifitas siswa diharapkan menemukan “kembali” sifat, definisi, teorema atau
prosedur-prosedur. Masalah kontekstual dipilih yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi. Perbedaan penyelesaian atau prosedur peserta didik dalam
memecahkan masalah dapat digunakan sebagai langkah proses pematematikaan baik horisontal maupun vertikal. Pada prinsip ini siswa diberikan kesempatan
untuk menunjukkan kemampuan berpikir kreatifnya untuk memecahkan masalah, sehingga menghasilkan jawaban maupun cara atau strategi yang
berbeda divergen dan “baru” secara fasih dan fleksibel. 2.
Didactical Phenomenology fenomena didaktik: Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika disajikan atas
dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam proses pematematikaan. Tujuan penyelidikan
fenomena-fenomena tersebut adalah untuk menemukan situasi-situasi masalah khusus yang dapat digeneralisasikan dan dapat digunakan sebagai dasar
pematematikaan vertikal. Pada prinsip ini memberikan kesempatan bagi siswa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
untuk menggunakan penalaran reasoning dan kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi konsep matematika.
3. Self-developed Models pengembangan model sendiri:
Kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat siswa sendiri dalam memecahkan masalah.
Model pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal akrab dengan siswa. Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut
akhirnya menjadi suatu model sesuai penalaran matematika. Prinsip ini memberikan kontribusi untuk pengembangan kepribadian siswa yang yakin,
percaya diri, dan berani mempertahankan pendapat bertanggung jawab terhadap model yang dibuat sendiri serta menerima kesepakatan atau kebenaran
dari pendapat teman lain. Prinsip ini juga mendorong kreativitas siswa untuk membuat model sendiri dalam memecahkan masalah.
c. Karakteristik PMRI
Menurut Y.Marpaung didalam “Karakteritik PMRI Pendidikan Matematika Realistik Indonesia “ karakteristik PMRI adalah :
1. Murid aktif, guru aktif Matematika sbg aktivitas manusia.
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual realistik. 3.
Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok kecil atau besar.
12
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi
ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data. 7.
Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur
kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah Menggunakan model. 9.
Guru bertindak sebagai fasilitator Tutwuri Handayani. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan
dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan dan usaha mereka hendaknya dihargai. Gunakan pendekatan Sani, praktekkan tepa selira
dan ngewongké wong d.
Prinsip-prinsip PMRI Menurut Y.Marpaung didalam “Karakteritik PMRI Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia, karena PMRI merupakan adaptasi dari RME maka prinsip PMRI sama dengan prinsip RME tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan RME
karena konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya berbeda. Gravemeijer Marpaung, 2011:2 merumuskan tiga prinsip RME, yaitu: a Reinvensi
terbimbing dan matematisasi berkelanjutan guided reinvention and progressive mathematization, b fenomenologi didaktis didactical phenomenology, dan c
dari informal ke formal from informal to formal mathematics; model plays bidging the gap between informal knowledge and formal mathematics. Ketiga
prinsip tersebut menekankan pada siswa untuk berperan aktif dalam memecahkan masalah-masalah yang dimunculkan oleh guru. Siswa dituntut untuk
13
menggunakan pengetahuan informalnya agar menghasilkan modelnya sendiri dan secara bertahap diarahkan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika,
sebagaimana dahulu konsep tersebut ditemukan. Melalui prinsip pertama siswa dihadapkan dengan masalah kontekstual atau realistik yang mempunyai berbagai
kemungkinan solusi sehingga terjadi perbedaan penyelesaian atau prosedur dalam pemecahan masalah. Pembelajaran matematika berdasarkan prinsip kedua
dilakukan dengan menyediakan situasi masalah-masalah khusus yang dapat digeneralisasi dan digunakan sebagai dasar untuk matematisasi vertikal. Proses ini
lebih menuntut penggunaan penalaran dalam memperoleh generalisasi konsep matematika. Pembelajaran matematika juga dilakukan dengan memanfaatkan
pengetahuan informal.
Sedangkan van
den Heuvel-Panhuizen
1996 merumuskannya sebagai berikut:
a. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si
pebelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Si pebelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang
disampaikan oleh guru,tetapi aktif baik secara fisik, teristimewa secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi pengetahuan
matematika. b.
Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah- masalah yang realistik bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa.
Masalah yang realistik lebih menarik bagi siswa dari masalah-masalah matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran dimulai dengan masalah
14
yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk belajar. Secara gradual siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.
c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh insight tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model bertindak
sebagai jembatan antara yang informal dan yang formal. Model yang semula merupakan model suatu situasi berubah melalui abtraksi dan generalisasi
menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen. d.
Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin
satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik. Konsep matematika adalah relasi-relasi. Secara
psikologis,hal-hal yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang daripada hal-hal yang terpisah tanpa
kaitan satu sama lain. e.
Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas sosial. Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan
strateginya menyelesai-kan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya
menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa
15
terdorong untuk melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu
masalah. f.
Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk “menemukan kembali re-invent ” pengetahuan matematika„terbimbing‟.
Guru menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka.
B. Kemampuan Pemecahan Masalah