13 dinyatakan maupun yang tersirat, masa kini dan masa depan. Menurut Kottler
Ketler 2006 dalam Manopo 2008 mendefisinikan kualitas sebagai ciri serta suatu sifat dari suatu produk atau layanan yang berpengaruh kepada kemampuan
memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat.
2.2.2.2. Kualitas Inti
Kotler Keller 2006 mendefinisikan kualitas inti sebagai keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau layanan yang berpengaruh pada kemampuan
memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Menurut Parasuraman, dkk. I985 kualitas inti adalah kualitas jasa yang mencakup suatu perbandingan antara
harapan dan persepsi konsumen terhadap kinerja jasa yang mereka terima gap theory. Parasuraman, dkk. 1985 mengembangkan sebuah model yang
merupakan dasar dari skala SERVQUAL, dalam mengevaluasi kualitas jasa konsumen membandingkan antara jasa yang mereka harapkan dengan persepsi
dan jasa yang mereka terima. Dalam penelitian Parasuraman et aI., dihasilkan lima dimensi kualitas layanan yang dijadikan dasar dalam penelitian kualitas
layanan yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. 1.
Tangibles meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai,
dan sarana komunikasi.
2. Reliability, merupakan kemampuan perusahaan dalam memberikan layanan
yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan. 3.
Responsiveness merupakan kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dengan memberikan layanan dengan tanggap.
4. Assurance mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang
dimiliki oleh para staf.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
14 5.
Emphaty mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan.
2.2.2.3. Kualitas Hubungan
Sebagai modal hubungan baik perusahaan adalah jumlah dari seluruh pengetahuan, pengalaman, dan kepercayaan trust yang dimiliki oleh sebuah
perusahaan dengan para pelanggannya, para pegawai, pemasok, dan partner- partner distribusinya. Kualitas dari hubungan-hubungan baik tersebut seringkali
jauh lebih berharga dari pada aset fisik perusahaan. Kualitas hubungan yang baik akan menentukan nilai masa depan perusahaan tersebut. Pemasaran berdasarkan
pada hubungan baik mengakui pentingnya berbagai pihak diantaranya pemasok, pegawai, distributor, agen, pengecer dalam bekerja sama untuk memberikan nilai-
nilai yang terbaik bagi sasaran pelanggan Kotler, 2004. Menurut Johnson 1999, kualitas hubungan antara produsen dengan
distributor atau intermediate perlu diperhitungkan dalam membina hubungan dengan perusahaan. Kualitas hubungan meliputi kepercayaan trust, komitmen
commitment maupun kejujuran fairness. Heide dan John 1992 dengan tegas mendefinisikan norma hubungan disyaratkan sebagai kelanjutan dari suatu tipe
norma yang saling melengkapi. Tiga dimensi yang dapat diidentifikasi yaitu fleksibelitas flexibility, solidaritas solidarity, dan saling tukar informasi
information exchange. 1.
Fleksibelitas didefinisikan bahwa harapan kedua belah pihak dapat menyesuaikan keadaan yang berubah.
2. Solidaritas didefinisikan bahwa kedua belah pihak mengharapkan nilai yang
tinggi dari hubungan tersebut.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
15 3.
Saling tukar informasi didefinisikan bahwa harapan kedua belah pihak akan proaktif dalam menyediakan layanan informasi kepada partnernya. Dengan
demikian baik produsen maupun intermediate hendaknya saling memberi dan mengisi sehingga terjalin suatu hubungan yang saling menguntungkan.
Siguaw dkk 1998 menyatakan ada beberapa ukuran yang dapat dipakai untuk mengetahui kedekatan hubungan dengan pelanggan, seperti : kelancaran
komunikasi dan keakraban, sikap dan penerimaan perusahaan oleh pelanggan, kepercayaan trust, loyalitas dan komitmen pelanggan customer commitment.
Tugas utama pemasok adalah bagaimana menjaga dan membentuk hubungan baik dengan pelanggan agar mendatangkan penjualan yang optimal.
2.2.3. Resiko
2.2.3.1. Resiko Yang Dipersepsikan
Resiko yang dipersepsikan merupakan salah satu komponen yang penting pada proses informasi yang dilakukan oleh konsumen Aassael, 1998. Perceived
Risk didefinisikan oleh Oglethrope dan Monroe 1994 sebagai persepsi konsumen mengenai ketidakpastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang
mungkin diterima atas pembelian suatu produk atau jasa. Persepsi bahwa suatu pembelian beresiko menjadikan konsumen melakukan aktivitas pencarian
informasi tambahan mengenai suatu produk. Ketika persepsi semakin menjadi tinggi, ada suatu motivasi apakah akan
menghindari pembelian dan penggunaan atau meminimumkan resiko melalui pencarian informasi dan evaluasi alternatif pembelian dalam tahap pengambilan
keputusan yang kompleks. Konsumen mungkin akan mengevaluasi merek secara
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
16 detail dan cermat. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan dan konsumen
mengevaluasi berbagai merek. Proses pengambilan keputusan yang demikian menggambarkan adanya keterlibatan konsumen dengan suatu produk.
Raymond A. Bauer Bateman, 1973 memperkenalkan konsep resiko yang dipersepsikan melalui penelitian perilaku konsumen yang menyatakan bahwa
perilaku konsumen mengandung adanya risiko, artinya bahwa setiap tindakan konsumen akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat
diantisipasi dengan apapun yang dapat diperkirakan kepastiannya, dan beberapa konsekuensi-konsekuensi diantaranya mungkin akan mengecewakan.
Pada saat konsep resiko yang dipersepsikan diperkenalkan pertama kali, konstruk ini diajukan untuk menjelaskan fenomena-fenomena dalam perilaku
konsumen seperti pencarian informasi, loyalitas merek, dan kepercayaan terhadap orang lain didalam keputusan-keputusan pembelian. Ide dasar dibalik konstruk ini
bukan merupakan hal yang baru, tetapi lebih banyak diilhami oleh teori-teori statistik, psikologi dan ilmu ekonomi. Dalam teori-teori tersebut, resiko persepsi
dikaitkan dengan situasi-situasi pilihan yang secara potensial dan hasilnya bisa positif bisa negatif. Sebaliknya, dalam perilaku konsumen, konsep mengenai
resiko hanya memfokuskan pada potensi yang negatif saja. Potensi hasil negatif inilah yang akan menjadi perbedaan penting antara pengertian resiko dalam
perilaku konsumen dengan perilaku yang digunakan dalam disiplin ilmu lain Stode dan Grounhaug, 1993.
Pengertian resiko telah digunakan dalam banyak konteks. Lawrence dalam Manuela 1990 mendefinisikan resiko sebagai potensi untuk menerima kenyataan
yang tidak diinginkan, yaitu konsekuensi-konsekuensi negatif dari suatu peristiwa. Meskipun demikian konsep resiko yang dikemukakan oleh para peneliti tidak lagi
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
17 menjadi bahan pertimbangan. Dalam konteks perilaku konsuman para peneliti
berusaha memberi gambaran bahwa konsumen menghadapi kesulitan dalam mempertimbangkan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari
tindakannya dan konsumen jarang dapat mempertimbangkan beberapa konsekuensi ini dengan tingkat kepastian yang tinggi. Konsumen dihadapkan pada
beberapa tipe resiko yang berbeda dalam keputusan pembeliannya.
2.2.3.2. Tipe Resiko