Analisis Eksponen Path Loss Dengan Membandingkan Dengan Histeresis Adaptif Dan Histeresis Tetap

(1)

ANALISIS EKSPONEN PATH LOSS DENGAN MEMBANDINGKAN METODE HISTERESIS ADAPTIF DAN HISTERESIS TETAP

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro Sub Jurusan Teknik Telekomunikasi

Oleh :

MUTIARA W. SITOPU NIM : 110422030

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

ABSTRAK

Sebuah sistem komunikasi bergerak memberikan kemudahan terhadap pengguna untuk dapat melakukan proses komunikasi meskipun dalam keadaan bergerak, salah satunya memungkinkan pengguna untuk berpindah dari suatu cakupan area sel menuju cakupan area sel yang lain, fenomena perpindahan ini dinamakan handoff. Handoff merupakan proses pengalihan kanal trafik secara otomatis pada Mobile Station (MS) yang sedang digunakan untuk berkomunikasi tanpa terjadinya pemutusan hubungan. Sesuai dengan tujuan handoff, proses ini sedapat mungkin tidak dirasakan oleh pelanggan. Namun pada kenyataannya sering terjadi dropcall, yaitu terputusnya hubungan saat percakapan sedang berlangsung yang salah satu penyebabnya adalah kegagalan .

Dalam tugas akhir ini penulis menganalisis variansi eksponen path loss dengan membandingkan algoritma histeresis adaptif dan histeresis tetap untuk mengetahui bagaimana pengaruh parameter kinerja yaitu jumlah handoff, delay dan sinyal degradasi. Jumlah handoff rata-rata pada eksponen path loss=2dB, dengan menggunakan metode histeresis adaptif adalah 2,27 sedangkan metode histeresis tetap adalah 5,40. Jumlah delay yang dihasilkan pada saat eksponen path loss = 2dB, dengan menggunakan metode histeresis adaptif adalah 335,53 m/s sedangkan metode histeresis tetap adalah 366,03 m/s. Nilai sinyal degradasi pada eksponen path loss = 6,5dB dengan menggunakan metode histeresis adapftif adalah 0,5dB sedangkan dengan metode histeresis tetap adalah 0,696dB. Dari hasil ketiga parameter kinerja yang didapat maka metode yang paling baik digunakan adalah metode histeresis adaptif karena jumlah handoff yang lebih sedikit menghasilkan jumlah delay yang lebih kecil dan jumlah degradasi yaitu jumlah sinyal dibawah level minimum lebih sedikit dibandingkan dengan metode histeresis tetap.

Kata kunci : algoritma histeresis adaptif, algoritma histeresis tetap, variansi eksponen path loss


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis diberikan kemampuan untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini, dengan judul:

“ANALISIS EKSPONEN PATH LOSS DENGAN MEMBANDINGKAN METODE HISTERESIS ADAPTIF DAN METODE HISTERESIS TETAP”.

Adapun penulisan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik Elektro Ekstensi, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan rasa bangga dan terimakasih sebesar-besarnya kepada orangtua saya, Ibunda S. Purba, yang menyayangi saya, telah membesarkan, mendidik dan mendoakan saya. Dan juga rasa sayang kepada abang saya Samuel Sitopu.

Dalam kesempatan ini juga, saya mengucapakan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Maksum Pinem, ST, MT, selaku dosen pembimbing Tugas Akhir, yang meluangkan waktunya untuk berdiskusi, memberikan masukan, bimbingan dan motivasi selama penulisan Tugas Akhir ini.

2. Bapak Ir. Eddy Warman, selaku dosen wali selama saya mengikuti perkuliahan.

3. Bapak Ir. Surya Tarmizi Kasim, MSi, selaku ketua Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Rahmad Fauzi, ST, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staff pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu pendidikan selama saya kuliah.

6. Seluruh staff karyawan Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

7. Teman-teman saya Mediska Simanjuntak dan Lucky Simanjuntak, teman seperjuangan dalam menulis skripsi bersama-sama.

8. Teman-teman satu stambuk 2011: kak imel, bang daniel, flow, desi, andri, elisabeth dan yang lainnya yang belum saya sebutkan.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, penulis siap menerima saran dan kritik dari pembaca untuk menyempurnakan Tugas Akhir ini. Akhirnya, penulis berharap, agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Februari 2014


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………. ... i

KATA PENGANTAR ………... ii

DAFTAR ISI ……….. ... iv

DAFTAR GAMBAR ……… vi

DAFTAR TABEL ………. vii

DAFTAR ISTILAH ………. viii

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. . 1

1.1 Latar Belakang ………...……….. 1

1.2 Rumusan Masalah ……….... 2

1.3 Tujuan Penelitian ………. 3

1.4 Batasan Masalah ……… 3

1.5 Metodologi Penelitian ………... 3

1.6 Sistematika Penulisan ……… 4

BAB 2 DASAR TEORI .………. 5

2.1 Konsep Seluler ……….. 5

2.2 Propogasi Gelombang Radio ……… 8

2.2.1 Refleksi (Pantulan) ………... 8

2.2.2 Difraksi (Pembelokkan) ……… 8

2.2.3 Scattering (Hamburan) ………. 9

2.3 Karakteristik Propogasi Gelombang Radio ……….. 10

2.3.1 Fast Fading ………. 10

2.3.2 Shadow Fading ……… 11

2.3.3 Redaman Propagasi (Path Loss)………... 11

2.4 Model Pengukuran Level Sinyal ……….. 12

2.5 Handoff dalam Seluler ………. 13

2.5.1 Tujuan dari Handoff ……… 17

2.5.2 Proses Handoff ……… 18

2.5.3 Metode Relatif Kuat Sinyal ………. 20

2.5.4 Metode Histeresis Tetap……… 20

2.5.5 Metode Histeresis Adaptif ………. 21


(7)

2.6.1 Pendekatan Analistis ………. 22

2.6.2 Pendekatan Simulasi ……….. 23

2.6.3 Pendekatan Emulsi ………. 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ……… 26

3.1 Persiapan Penelitian …….………. 26

3.2 Model Lintasan ……….. 27

3.3 Sampel Kuat Sinyal ……… 28

3.4 Rata-rata Kuat Sinyal ………. 30

3.5 Parameter Kinerja ……….. 32

3.6 Metode Handoff ………. 34

3.6.1 Metode Histeresis Tetap ……….. 35

3.6.1 Metode Histeresis Adaptif ……….. 36

BAB 4 HASIL dan ANALISA SIMULASI ………. 40

4.1 Susunan Parameter ……… 40

4.2 Analisa Hasil Simulasi ………. 41

4.2.1 Analisa Pengaruh Parameter Kontrol (Histeresis tetap dan Histeresis Adaptif) terhadap Parameter Handoff ………. 42

BAB 5 KESIMPULAN dan SARAN ………. 52

5.1 Kesimpulan ……….. 53

5.2 Saran ……… 55

DAFTAR PUSTAKA ………. xi LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan Heksagonal dan Lingkaran ………. 5

Gambar 2.2 Bentuk Sel Sebenarnya ……….. 6

Gambar 2.3 Jenis Antena ……….. 6

Gambar 2.4 Konfigurasi Site ………. 6

Gambar 2.5 Mekanisme Propogasi Gelombang Radio ………. 10

Gambar 2.6 Inter Cell dan Intra Cell (A), handoff (B) ………. 16

Gambar 2.7 Skema inisiasi keputusan handoff diantara dua BTS ………….… 21

Gambar 2.8 Histeresis adaptif ℎ sebagai fungsi jarak � ………. 22

Gambar 2.9 Komponen Model Simulasi ………... 24

Gambar 3.1 Model Lintasan Dalam Sistem Kartesian ……….. 28

Gambar 3.2 Diagram Transisi Handoff ... 32

Gambar 4.1 Level Sinyal diterima MS dari 3 BTS ……… 42

Gambar 4.2 Pengaruh Konstanta Eksponen Path Loss Terhadap Jumlah Handoff (���������������������) ………. 43

Gambar 4.3 Pengaruh Variansi Eksponen Path loss terhadap Parameter Delay Rata-rata (�������������) Handof………. 47

Gambar 4.4 Pengaruh Variansi Eksponen Path loss terhadap Parameter Sinyal Degradasi (NSD). ………. 50


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Faktor eksponen � untuk path loss berdasarkan tipe lingkungan … 29 Tabel 4.1 Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi …………..…………41 Tabel 4.2 Variansi Eksponen Path loss Terhadap Parameter Jumlah Handoff .. 44 Tabel 4.3 Variansi Eksponen Path loss Terhadap Parameter Delay rata-rata

(�������������) Handoff …....………. 49 Tabel 4.4 Variansi Eksponen Path loss Terhadap Parameter Sinyal Degradasi


(10)

DAFTAR ISTILAH

MS (Mobile Station)

Perangkat yang digunakan oleh pelanggan untuk dapat memperoleh layanan komunikasi bergerak.

BTS (Base Tranceiver Station)

Merupakan perangkat pemancar dan penerima yang memberikan pelayanan radio pada MS.

MSC (Mobile Switch Center)

MSC bertugas mengatur komunikasi antar pelanggan dan user jaringan dengan telekomunikasi lainnya

BSC (Base Switch Center)

Perangkat yang berfungsi untuk mengontrol BTS dan juga untuk menghubungkan BTS dengan MSC.

Antena omnidirektional

Jenis antena ideal yang memancarkan daya ke semua arah dengan pola radiasi yang radial.

Co-channel

Interferensi antar sel yang menggunakan kanal frekuensi yang sama. Sel

Area tertentu yang dicakup oleh BTS.

Cluster

Sekolompok sel bersebelahan yang masing-masing selnya memiliki seluruh alokasi frekuensi yang berbeda-beda dengan sel yang lain.


(11)

Daerah sub-urban

Daerah pinggiran kota yang terdiri dari rumah-rumah, bangunan-bangunan dengan penduduk yang sangat padat, namun trafik percakapan telepon terjadi pada saat tertentu saja.

Daerah urban

Daerah perkotaan yang terdiri dari gedung-gedung tinggi, rumah sakit serta trafik penggunaan telepon yang padat dan kepadatan trafik terjadi setiap saat.

Delay handoff

Lamanya kejadian handoff terjadi ketika MS tidak dilayani oleh BTS terdekat. Drop Call

Kejadian terputusnya panggilan secara paksa karena level sinyal terima dibawah level sinyal minimum.

Difraction

Pembelokan sinyal karena sinyal merambat ke sisi benda penghalang yang tajam.

Fading

Fluktuasi daya sinyal yang diterima yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan pada medis transimisi.

Shadowing

Peristiwa terhalangnya sinyal dari pemancar ke penerima sehingga sinyal mengalami fluktuasi secara lambat. Objek yang menghalangi perambatan sinyal seperti gedung, pepohonan, dan gunung.

Pathloss

Disipasi daya pancar akibat pengaruh kanal propagasi, yang proposional terhadap jarak.


(12)

Reflection

Refleksi (pemantulan) terjadi ketika suatu sinyal elektromagnetik menemui permukaan yang relatif besar terhadap panjang gelombang sinyal.

Scatter

Peristiwa penyebaran sinyal akibat perambatan sinyal ke objek yang memiliki dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan panjang gelombang sinyal.

Handoff

Perpindahan dari satu kanal menuju kanal lain karena MS bergerak dengan menjauhi sumber kanal lama.

Hard handoff

Tipe ini menggunakan metode break before make, yang berarti koneksi MS akan terputus dari BTS yang sedang melayaninya sebelum terkoneksi ke BTS baru. Soft handoff

Soft handoff merupakan handoff yang terjadi antara sel dengan frekuensi pembawa yang sama, dimana MS memulai komunikasi dan membentuk hubungan dengan BTS yang baru terlebih dahulu sebelum memutuskan hubungan dengan BTS asal

Multipath

Peristiwa sinyal merambat dari pemancar ke penerima melalui beberapa jalur propagasi.

Intracellhandoff

Intracell handoff merupakan transfer panggilan berlangsung dari saluran dalam satu sel ke saluran lain dalam sel yang sama.

Intercellhandoff


(13)

(14)

ABSTRAK

Sebuah sistem komunikasi bergerak memberikan kemudahan terhadap pengguna untuk dapat melakukan proses komunikasi meskipun dalam keadaan bergerak, salah satunya memungkinkan pengguna untuk berpindah dari suatu cakupan area sel menuju cakupan area sel yang lain, fenomena perpindahan ini dinamakan handoff. Handoff merupakan proses pengalihan kanal trafik secara otomatis pada Mobile Station (MS) yang sedang digunakan untuk berkomunikasi tanpa terjadinya pemutusan hubungan. Sesuai dengan tujuan handoff, proses ini sedapat mungkin tidak dirasakan oleh pelanggan. Namun pada kenyataannya sering terjadi dropcall, yaitu terputusnya hubungan saat percakapan sedang berlangsung yang salah satu penyebabnya adalah kegagalan .

Dalam tugas akhir ini penulis menganalisis variansi eksponen path loss dengan membandingkan algoritma histeresis adaptif dan histeresis tetap untuk mengetahui bagaimana pengaruh parameter kinerja yaitu jumlah handoff, delay dan sinyal degradasi. Jumlah handoff rata-rata pada eksponen path loss=2dB, dengan menggunakan metode histeresis adaptif adalah 2,27 sedangkan metode histeresis tetap adalah 5,40. Jumlah delay yang dihasilkan pada saat eksponen path loss = 2dB, dengan menggunakan metode histeresis adaptif adalah 335,53 m/s sedangkan metode histeresis tetap adalah 366,03 m/s. Nilai sinyal degradasi pada eksponen path loss = 6,5dB dengan menggunakan metode histeresis adapftif adalah 0,5dB sedangkan dengan metode histeresis tetap adalah 0,696dB. Dari hasil ketiga parameter kinerja yang didapat maka metode yang paling baik digunakan adalah metode histeresis adaptif karena jumlah handoff yang lebih sedikit menghasilkan jumlah delay yang lebih kecil dan jumlah degradasi yaitu jumlah sinyal dibawah level minimum lebih sedikit dibandingkan dengan metode histeresis tetap.

Kata kunci : algoritma histeresis adaptif, algoritma histeresis tetap, variansi eksponen path loss


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan trafik dalam sistem komunikasi seluler meningkat semakin pesat, sementara spektrum frekuensi yang tersedia terbatas. Untuk menangani masalah tersebut, maka dilakukan peningkatan kapasitas kanal dengan teknik pembelahan sel (cell splitting) dan pengulangan frekuensi (frequency reuse) [1].

Didalam proses pembelahan sel tersebut dibutuhkan proses handoff, dimana handoff merupakan proses pengahlian kanal trafik secara otomatis pada Mobile Station (MS) yang sedang digunakan untuk berkomunikasi tanpa terjadinya pemutusan hubungan. Proses handoff ini diperlukan untuk menjamin kontinuitas hubungan layanan agar terciptanya kualitas sinyal yang diterima oleh penerima. Dalam proses hardhandoff diperlukan konsep break before made yaitu memutuskan terlebih dahulu kemudian melakukan hubungan komunikasi. Setiap handoff membutuhkan fasilitas atau sumber jaringan yang banyak untuk berpindah dari satu sel ke sel lain, hal ini mengakibatkan beban switching dalam suatu jaringan tidak beroperasi secara efisien.

Beberapa kriteria untuk menemukan efisien sebuah algoritma handoff yang lebih optimal digunakan yaitu banyaknya jumlah handoff yang diharapkan, banyaknya jumlah delay yang tidak perlu (mengoptimalkan jumlah handoff) karena masih kuat sinyal yang diterima oleh user, sedikitnya sinyal degradasi. Sinyal degradasi terjadi ketika level sinyal berada dibawah level sinyal degradasi


(16)

minimum (����), dengan mengasumsikan bahwa kekuatan sinyal pemancar terbatas, sinyal dapat dilihat berdasarkan bentuk lintasan dan kanal trafik yang sama. [2,3,4].

Dari beberapa kriteria diatas maka ditentukan parameter kontrol untuk mengefisiensikan algoritma yaitu eksponen path loss. Meminimalisasi banyaknya handoff yang diharapkan akan memberikan minimalisasi pada beban switching dan signalling pada jaringan. Selain itu, meminimalisasi delay juga meminimalisasi interferensi co-channel [5].

Dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik membahas analisis eksponen path loss dengan membandingkan algoritma histeresis adaptif dan histeresis tetap untuk mendapatkan jumlah handoff yang minimal dan tundaan atau delay handoff yang terjadi minimal , dan sinyal degradasi (sinyal minimum) yang berada dibawa sinyal link drop minimal.

1.2 Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dalam Tugas Akhir ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh variansi eksponen path loss terhadap parameter kinerja algoritma hard handoff dengan metode hysteresis adaptif dan hysteresis tetap.

2. Bagaimana perbandingan metode histeresis adaptif dengan histeresis tetap terhadap parameter kinerja.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk menganalisis pengaruh variansieksponen path loss terhadap parameter kinerja algoritma


(17)

hard handoff dan membandingkan metode algoritma histeresis adaptif dengan algoritma histeresis tetap.

1.4 Batasan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan pada Tugas Akhir ini, maka dibuat batasan masalah sebagai berikut :

1. Hanya membahas hard handoff

2. Metode handoff yang dievaluasi yaitu : metode histeresis adaptif dan histeresis tetap.

3. Kriteria parameter kinerja adalah : jumlah handoff, delay handoff, dan sinyal degradasi.

4. Pengamatan dilakukan terhadap 3 BTS 5. Lintasan diasumsikan lintasan lurus. 1.5 Metodologi Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan Tugas Akhir ini adalah;

1. Studi Literatur

Pada studi literatur dipelajari dan dipahami bahan-bahan referensi tertulis seperti: buku referensi, jurnal-jurnal, bahan dari internet yang mendukung penulisan Tugas Akhir ini.

2. Simulasi

Pada simulasi dilakukan dengan memodelkan sistem handoff yang dibahas, lalu mensimulasikan dengan bantuan software MATLAB, kemudian hasilnya dianalisa untuk memperoleh kesimpulan.


(18)

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini, disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II DASAR TEORI

Pada bab ini membahas tentang konsep seluler, propagasi gelombang radio, model propagasi, model pengukuran sinyal handoff, proses handoff dan mekanisme evaluasi handoff.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas tentang model lintasan, sampel kuat sinyal, rata-rata kuat sinyal, metode handoff dan parameter handoff.

BAB IV HASIL dan ANALISA SIMULASI

Pada bab ini berisi tentang parameter simulasi dan analisa hasil simulasi. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


(19)

BAB 2

DASAR TEORI

2.1 Konsep Seluler

Sel (cell) merupakan unit geografi terkecil dalam jaringan seluler. Ukuran sel yang berbeda-beda dipengaruhi oleh keadaan geografis dan besar trafik yang akan di layani. Sel yang memiliki kepadatan trafik tinggi ukuran sel dibuat kecil dan sel yang memiliki kepadatan trafik rendah ukuran sel dibuat lebih besar. Selain istilah sel, pada sistem seluler dikenal pula istilah cluster yaitu kumpulan dari sel.

Pada sistem seluler semua daerah dapat dicakup tanpa adanya gap sel satu dengan yang lain sehingga bentuk sel secara heksagonal lebih mewakili di banding bentuk lingkaran (Gambar 2.1). Bentuk lingkaran lebih mewakili persebaran daya yang ditransmisikan oleh antena. Bentuk seperti itu adalah bentuk ideal, di dalam prakteknya bentuk seperti itu tidak pernah ditemukan, karena radiasi antena tidak bisa membentuk daerah cakupan seperti itu, disamping itu keadaan geografis (kontur) turut mempengaruhi bentuk sel, sehingga bentuk sel sebenarnya bisa digambarkan seperti Gambar 2.2[6].


(20)

Gambar 2.2 Bentuk Sel Sebenarnya[6].

Berdasarkan jenis antena yang digunakan, sel dapat dibagi menjadi dua yaitu sel omnidireksional dan sel sektoral pada Gambar 2.3[6]. Sel omnidireksional hanya mampu melayani dengan luasan yang sempit. Pada sel sektoral terdapat tiga arah pancaran, yang masing-masing melingkupi area sebesar 120o.

Gambar 2.3 Jenis Antena[6].

Satu sel akan dilayani oleh site. Dalam satu site bisa memiliki lebih dari satu sel. Setiap site biasanya terdiri atas sebuah menara (tower)antena dan shelter. Ada juga yang hanya menjadi pengulang (repeater) untuk minilink saja. Penempatan site biasanya dilakukan di atas tanah, namun untuk daerah yang padat site ditempatkan di atas gedung-gedung yang tinggi. Konfigurasi site dapat dilihat pada Gambar 2.4[6].

.

1200 1200 1200 300

300


(21)

Gambar 2.4 Konfigurasi Site[6] Menara (1)

Menara digunakan untuk meletakkan berbagai macam antena. seperti antena sektoral, dan radio transmisi (minilink). Tinggi menara disesuaikan dengan kebutuhan.

Shelter (2)

Shelter terbuat dari bahan sejenis besi sebagai tempat untuk menyimpan berbagai komponen site seperti: BTS, perangkat transmisi, baterai-BFU (Battery Fuse Unit), fan unit, cooling unit/air condinditioner, heating unit.

Dengan adanya pengulangan frekuensi, kelompok-kelompok sel yang menggunakan frekuensi yang sama membentuk sebuah cluster (N), seperti Gambar 2.1. Dimunculkan parameter i dan j untuk menentukan cluster-cluster yang berbeda dengan N=i2+ij+j2. Nilai N misalkan N = 7, tergantung persyaratan C/I yang diperbolehkan oleh sistem. Dengan nilai N tersebut, maka perbandingan jarak antara dua sel berfrekuensi sama terhadap jari-jari sel R dapat diketahui :

Dimana q = faktor co-channel reduction, apabila nilai q meningkat maka C/I juga naik.

D = diameter (km), R = radius (km), N = jumlah cluster

1

2

q = �


(22)

2.2 Propogasi Gelombang Radio

Propagasi merupakan peristiwa perambatan gelombang radio dari antena pemancar ke antena penerima. Gelombang radio suatu gelombang yang terdiri dari garis-garis listrik dan garis-garis gaya magnet yang merambat di ruang bebas dengan kecepatan cahaya.

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks yaitu :

1. Kondisi yang sangat bergantung pada keadaan cuaca 2. Fenomena luar angkasa yang tidak menentu

Mekanisme dasar propagasi gelombang elektromagnetik bermacam-macam, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: refleksi, difraksi, dan scattering.

2.2.1 Refleksi (Pantulan)

Refleksi atau pantulan terjadi pada saat suatu sinyal bertumbukan dengan suatu permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan panjang gelombang sinyal. Pemantulan sinyal ini mengakibatkan sinyal mengalami redaman. Redaman sinyal akibat refleksi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; frekuensi radio, sudut sinyal memantul, sifat-sifat material dan ketebalan bidang permukaan pantulan. Refleksi dapat terjadi melalui permukaan bumi, bangunan dan permukaan dinding [7, 8].

2.2.2 Difraksi (Pembelokkan)

Difraksi terjadi saat lintasan dari gelombang dihalangi oleh permukaan yang tidak teratur (tajam dan kecil). Difraksi memungkinkan gelombang radio


(23)

merambat sepanjang permukaan bumi yang berbeda-beda ketinggiannya. Pembelokan sinyal dapat terjadi ke berbagai arah yang bersumber dari sisi penghalang yang dilalui sinyal tersebut. Gelombang sekunder yang dihasilkan dari permukaan penghalang dapat mencapai ruangan dan bahkan belakang penghalang, sehingga menyebabkan lenturan gelombang disekitar penghalang. Pada frekuensi tinggi, difraksi bergantung pada geometri objek, amplitudo, fasa dan polarisasi gelombang dimana titik terjadinya difraksi [7,8].

2.2.3 Scattering ( Hamburan)

Scattering (Hamburan) terjadi ketika perambatan gelombang elektromagnetik dihalangi oleh media yang mempunyai ukuran dimensi lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang gelombang yang dikirim dari transmitter sehingga menyebabkan pemantulan ke segala arah.

Kinerja sistem komunikasi dipengaruhi oleh efek propagasi sinyal, sehingga efek propagasi sinyal perlu dipertimbangkan dalam perencanaan. Bila sinyal yang langsung diterima oleh receiver (mobile station) secara LOS (line of sight), maka pengaruh difraksi dan scattering merupakan masalah kecil, meskipun refleksi dapat berakibat besar. Bila sinyal diterima tidak ada LOS, maka penerimaan sinyal terutama terjadi melalui difraksi dan scattering [8]. Pada Gambar 2.5 memperlihatkan mekanisme propagasi radio (difraksi, refleksi, dan scattering).


(24)

Gambar 2.5 Mekanisme Propagasi Gelombang Radio [9] 2.3 Karakteristik Propagasi Gelombang Radio

Ada beberapa karakteristik propagasi gelombang radio yaitu fast fading, shadow fading, redaman propagasi (path loss).

2.3.1 Fast Fading

Fast Fading adalah fluktuasi fasa, polarisasi atau level daya terima sebagai fungsi waktu. Umumnya fast fading disebabkan oleh pengaruh mekanisme propagasi terhadap gelombang radio seperti: refleksi, refraksi, difraksi, dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi fading antara lain :

a. Propagasi multipath.

b. Kecepatan pergerakan receiver. c. Kecepatan gerak objek lain. d. Bandwidth transmisi dari sinyal.

Dengan kata lain fast fading diakibatkan oleh kondisi geometri dan meteorologi lingkungan. Fast fading menyebabkan suatu kondisi dimana sinyal yang diterima terlalu buruk untuk dilakukan pemrosesan sinyal[7].


(25)

2.3.2 Shadow Fading

Shadow fading atau shadowing merupakan fluktuasi daya rata-rata sinyal terima disekitar letak kejadian fluktuasi cepat, dengan perubahan sinyal yang lambat. Fenomena shadowing terjadi karena adanya penghalang antara pemancar dan penerima dilingkungan yang memiliki kontur menonjol seperti: pegunungan, hutan, bangunan dan persimpangan jalan. Sinyal yang terhalangi akan mengalami redaman karena sinyal mengalami reflection, difraction dan scatter. Variasi sinyal karena shadowing, sebanding dengan panjang objek penghalang antara pemancar dan penerima, yang terjadi pada jarak 10 sampai 100 m [7].

2.3.3 Redaman Propagasi (Path Loss)

Redaman propagasi (Path Loss) adalah besarnya daya yang hilang dalam menempuh jarak tertentu. Besarnya redaman ditentukan oleh kondisi alam seperti tidak adanya halangan antara pemancar dengan penerima. Redaman sangat dipengaruhi oleh jarak antara pemancar dengan penerima dan frekuensi yang digunakan. Adanya pemantulan dari beberapa objek dan pergerakan mobile station menyebabkan kuat sinyal yang diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut mengalami path loss.

Path loss dipengaruhi pula oleh kontur medan, kondisi lingkungan, udara sekitar, jarak antara transmitter dan receiver, juga tinggi dan lokasi antena. Level daya yang diterima antena penerima akan lebih kecil dari pada level daya antena pemancar sehingga kualitas telekomunikasi nirkabel menurun. Nilai path loss eksponen (�) diperlukan untuk menentukan kualitas jaringan pada suatu tipe daerah karena adanya penghalang sinyal yang akan diterima[8].


(26)

2.4 Model Pengukuran Level Sinyal

Pada sistem komunikasi seluler, level sinyal diterima MS dapat diukur secara model waktu kontinu ataupun secara model waktu diskrit. Pada model pengukuran berdasarkan waktu kontinu merupakan pengukuran sebagai fungsi waktu yang kontinu, sedangkan model pengukuran waktu diskrit merupakan pengukuran berdasarkan unit sampel level sinyal pada interval waktu tertentu. Pengukuran level sinyal berdasarkan model waktu kontinu dan model waktu diskrit, masing-masing dinyatakan pada Persamaan 2.2 dan 2.3 [10,11].

��,� = ��,� +��,� +��,� , � ≥0 (2.2)

, =�,�+��,� +��,� , � ≥0 (2.3)

Dimana, ��, menyatakan level sinyal yang diterima MS dari ���� selama waktu kontinu �. ��, menyatakan level sinyal yang diterima MS dari ���� pada unit sampel sinyal ke-�. Ketiga suku penjumlahan dari kedua Persamaan 2.2 dan 2.3, yaitu; �, � dan � masing-masing mewakili komponen pathloss, shadow fading dan fast fading.

Adapun model pengukuran berdasarkan waktu diskrit merupakan pilihan lebih akurat secara praktis daripada model pengukuran waktu kontinu untuk mendapatkan pola handoff. Didalam sistem nyata, pengukuran level sinyal disampel secara diskrit [10,11].

Komponen sinyal path loss semakin mengecil seiring jarak MS menjauhi BTS. Komponen sinyal shadow fading menyebabkan sinyal berfluktuasi dengan skala besar dan komponen sinyal fast fading menyebabkan sinyal fluktuasi dengan skala kecil [12].


(27)

Pada metode handoff, komponen fast fading diabaikan karena memiliki korelasi jarak yang sangat singkat, yaitu dengan melewatkan sinyal melalui filter lowpass. Kemudian sinyal dirata-ratakan dengan metode rata-rata seperti; rectangular dan eksponensial untuk memperhalus sinyal berfluktuasi akibat shadow fading. Metode rata-rata yang dibahas adalah metode eksponensial.

Persamaan level sinyal setelah dirata-ratakan dengan metode eksponensial berdasarkan waktu diskrit ke-� dinyatakan dengan Persamaan 2.4 [3,11,13,14,15].

�̅�,� =��̅�,�−1+ (1− �)��,� (2.4)

Dimana �̅, menyatakan sinyal rata-rata �,; �= �−��/����� −���� , dengan ��menyatakan interval jarak sinyal disampel; ���� �−���� menyatakan jumlah sinyal sebanyak ����� −���� dirata-ratakan.

2.5 Handoff dalam Seluler

Salah satu fasilitas didalam sistem seluler untuk menjamin adanya kontinuitas komunikasi apabila pelanggan bergerak dari satu sel ke sel yang lain adalah handoff. Handoff merupakan proses pengalihan kanal trafik secara otomatis pada Mobile Station (MS) yang sedang digunakan untuk berkomunikasi tanpa terjadinya pemutusan hubungan. Hal ini menjelaskan bahwa handoff pada dasarnya adalah sebuah “call” koneksi yang bergerak dari satu sel ke sel lainnya. Secara umum handoff dapat didefenisikan sebagai prosedur, dimana ada perubahan layanan pada MS dari satu Base Station (BS) ke BS yang lain. Proses ini memerlukan alat pendeteksi untuk mengubah status dedicated node (persiapan handoff) dan alat untuk menswitch komunikasi yang sedang berlangsung dari suatu kanal pada sel tertentu ke kanal yang lain pada sel yang lain. Keputusan


(28)

untuk sebuah handoff dibuat oleh Base Station Centre (BSC), yaitu dengan mengevaluasi secara permanent pengukuran yang diambil oleh BTS dan MS. Pengukuran daya rata-rata (Px) oleh BSC dibandingkan dengan nilai ambang batas (treshold), jika Px melebihi nilai treshold maka dimulai proses handoff dengan mencari sebuah sel target yang cocok. Sehingga handoff diperlukan pada saat kualitas signal yang diterima MS lebih kecil dibandingkan dengan threshold , kualitas dikonversi dengan Eb/I0.

Eb/I0 atau Eb/N0 merupakan perbandingan antara energi tiap bit sinyal informasi terhadap sinyal interferensi atau sinyal derau (noise) yang menyertainya. Pada intinya adalah perbandingan antara kuat sinyal yang dikehendaki terhadap kuat sinyal yang tidak dikehendaki. Makin besar nilai Eb/I0 akan makin memberikan performansi yang lebih baik.

Pada komunikasi seluler, proses handoff didasarkan pada proses transfer pada percakapan yang sedang berlangsung (ongoing call) atau transfer data (data session) dari satu kanal yang terkoneksi pada satu jaringan kepada jaringan lainnya. Terdapat beberapa alasan mengapa handoff dapat terjadi :

1. Saat mobile station (MS) bergerak dari coverage area Site Base Station (SBS) yang melayaninya menuju coverage area Transmitter Base Station (TBS) sehingga percakapan atau pengiriman data dari SBS ditransfer ke TBS dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemutusan proses percakapan atau pengiriman data yang sedang berlangsung saat MS keluar area layanan SBS. 2. SBS dengan kapasitas beban koneksi yang telah melewati batas yang

ditentukan dapat mentransfer MS yang berada pada daerah layanan SBS yang juga overlap dengan daerah layanan BS terdekat dengan tujuan untuk


(29)

memberikan kapasitas layanan kepada MS yang hanya terkoneksi atau dilayani oleh SBS tersebut.

Secara luas handoff dapat di golongkan dalam dua kategori yaitu: hard dan soft handoff. Hard handoff selanjutnya dibagi atas dua jenis yang berbeda yaitu: intra dan inter cell handoff. Begitu juga dengan soft handoff dimana digolongkan atas dua jenis yaitu: multiway soft handoff dan softer handoff. Hard handoff merupakan “break before make” connection. Dibawa kendali dari Mobile Switching Center (MSC) BS menjalankan proses handoff pada MS dan kemudian memutuskan koneksi dimana dapat dijelaskan bahwa koneksi antara MS dengan SBS lebih dulu diputuskan sebelum atau saat MS ditransfer menuju daerah layanan TBS. Hard handoff digunakan pada frequency division multiple access (FDMA) dan time division multiple access (TDMA), dimana frekuensi yang berbeda digunakan pada channel yang berdekatan agar dapat meminimalisir interferensi kanal. MS hanya mungkin melakukan komunikasi dengan satu BS dikarenakan perbedaan frekuensi yang digunakan saat bergerak dari satu BS menuju BS lainnya. Gambar 2.6 mengilustrasikan proses hard handoff antara MS dan BS. Intra cell/domain handoff menunjuk pada handoff yang terjadi saat MS bergerak dari satu BS menuju BS lainnya yang berada pada layanan operator atau backbone yang sama (a), sedangkan pada inter cell/domain handoff MS bergerak antara BS dengan layanan operator atau backbone yang berbeda (b).


(30)

Gambar 2.6 Inter Cell dan Intra Cell (A), handoff (B)

Hard handoff memberikan keuntungan diantaranya hanya menggunakan satu kanalpada satu percakapan sehingga MS hardware tidak memerlukan desain yang rumit untuk mampu menerima dua atau lebih kanal secara paralel yang mana berdampak pada harga yang lebih murah serta bentuk yang lebih sederhana. Namun kelemahan yang ditimbulkan adalah saat terjadinya kegagalan pada proses handoff berdampak pada terganggu bahkan putusnya percakapan atau transfer data yang sedang berlangsung.

Pada soft handoff, koneksi layanan dari SBS diputuskan bila telah terbangunnya koneksi yang baru antara MS dengan TBS yang ada, hal ini memperkecil kemungkinan terganggunya proses percakapan atau transfer data yang sedang berlangsung. Dengan alasan lain, kegagalan terjadi pada soft handoff


(31)

hanya bila interferensi terjadi secara bersamaan untuk semua kanal pada TBS. Ini menyebabkan daya tahan terhadap gangguan saat komunikasi pada soft handoff sangat baik. Kelebihan ini berdampak pada kompleksnya desain hardware MS, dimana harus mempunyai kemampuan untuk memproses beberapa kanal secara paralel. Kelemahan lain yang ditimbulkan akibat penerapan soft handoff adalah penggunaan beberapa kanalpada jaringan hanya untuk mendukung kestabilan satu komunikasi. Hal ini menurunkan kapasitas layanan dari jaringan.

2.5.1. Tujuan dari Handoff

Proses Handoff terjadi karena kualitas atau daya ratio turun di bawah nilai yang dispesifikasikan dalam Base Station Center (BSC). Penurunan level sinyal ini dideteksi dari pengukuran yang dilakukan Mobile Station (MS) maupun Base Tranceiver Station (BTS). Konsekuensinya handoff ditujukan ke sel dengan sinyal lebih besar. Selain itu, handoff dapat terjadi apabila trafik dari sel yang dituju sudah penuh. Saat MS melewati sel, dialihkan ke ‘neighbouring cell’ dengan beban traffic yang lebih kecil.

Tujuan dari Handoff diantaranya disebutkan dibawah ini, a. As imperceptible to user as possible.

Sedapat mungkin tidak dirasakan oleh pemakai dengan cara meminimalisasi waktu handoff dengan menggunakan teknik interpolasi suara .

b. As successfully as possible.

Dengan meminimalisasi error pada saat estimasi kebutuhan Handoff. c. As infrequently as possible.


(32)

Mobile Station Center (MSC) melakukan assign (sharing) pada kanal yang sama pada sel tetangga dan meminjam kanal lain dari sel tetangga pada sel sebelumnya.

2.5.2. Proses Handoff

Proses handoff dapat dibagi kedalam tiga tahap yang berbeda, yaitu[16]: 1. Tahap inisiasi yaitu: membahas tentang masalah link radio termasuk

monitoring dan proses efisiensi pengukuran kualitas link radio.

2. Tahap eksekusi yaitu: mengacu pada efisiensi manajemen sumber radio dan juga meliputi strategi pengalokasian kanal.

3. Transfer panggilan aktual, dengan tetap memegang syarat kualitas layanan bagi user.

Adapun beberapa variasi parameter dalam mengeksekusi handoff. yaitu; berdasarkan level sinyal, intensitas trafik jaringan, perbandingan carrier -interferensi, bit error rate, jarak, daya transmisi dan kecepatan[17]. Eksekusi handoff berdasarkan informasi sinyal terdiri dari metode yang bervariasi.

Adapun beberapa metode inisiasi handoff berdasarkan informasi level sinyal, yaitu: relatif level sinyal, relatif level sinyal dengan hysteresis adaptif, relative level sinyal dengan hyisteresis tetap [3,4,16]. Histeresis adaptif dengan nilainya dinamik berdasarkan informasi jarak [18].

Proses handoff dimulai ketika MS mendeteksi sinyal pilot yang secara signifikan lebih kuat dibandingkan kanal trafik forward lainnya yang ditujukan kepadanya. MS tersebut akan mengirimkan pesan pilot measurement ke Base Station (BS) kandidat dengan sinyal terkuat tadi sekaligus menginstruksikan untuk memulai proses Handoff. Cell site tersebut akan mengirimkan pesan


(33)

handoff direction ke MS, mengarahkannya untuk melakukan handoff. Eksternal handoff dikontrol oleh MS asal (inter-BSS & inter-MSC Handoff). Informasi pengukuran dilaporkan dari MS melalui kanal radio khusus dan diterima oleh BSS. Setelah dilakukan diproses pendahuluan hasilnya dikirim ke MSC. Internal Handoff diinisiasi dan dilakukan dalam BSS tanpa referensi ke MSC asal (controlling MSC). Disini MSC hanya diinformasikan bahwa sebuah proses Handoff internal otomatis telah selesai dilakukan. Internal Handoff hanya terjadi antar sel pada BSS yang sama BSS dengan multi sel /multi BTS.

Pada saat Mobile Station (MS) bergerak menjauhi suatu sel maka daya yang diterima oleh MS akan berkurang. Jika MS bergerak semakin menjauhi Base Station (sel) maka daya pancar akan semakin berkurang. Menjauhnya MS pada sel asal menjadikan MS mendekati sel lainnya. Sel lainnya dikatakan sebagai sel kandidat yaitu sel yang akan menerima pelimpahan MS dari sel sebelumnya. MSC melalui sel kandidat akan memonitor pergerakan MS dan menangkap daya pancar MS. Diantara sel kandidat yang menerima daya pancar MS terbesar maka pelimpahan MS akan berada pada sel tersebut. Sel kandidat yang menerima pelimpahan MS akan melakukan monitoring. Proses monitoring dilakukan oleh MSC dan menginstruksikan pada sel kandidat tersebut. Pada saat Handoff, supervisi dipersingkat. MSC melakukan prioritas pendudukan kanal pada MS yang akan mengalami Handoff. Sel kandidat dibuat urutan prioritas.

Untuk kelangsungan komunikasi seluler, Handoff sangat diperlukan agar percakapan yang terjadi antar pelanggan tetap berlangsung tanpa terputus, meskipun pelanggan berpindah sel/wilayah. Pada saat MS bergerak dari satu sel ke sel lainnya, trafik pada sel sebelumnya harus diubah ke kanal dengan trafikdan


(34)

kanal kontrol sel yang baru. Apabila terjadi kegagalan handoff akan berakibat dropcall yaitu terputusnya hubungan saat percakapan sedang berlangsung. Faktor-faktor penyebab gagalnya handoff antara lain :

a. Interferensi yang tinggi

b. Setting parameter yang tidak baik c. Kerusakan Hardware

d. Area cakupan radio jelek

e. Neighbouring cell relation yang tidak perlu f. Masalah antenna receiver atau hardware BTS.

2.5.3 Metode Relatif Kuat Sinyal

Pada metode relatif kuat sinyal, BTS yang akan melayani MS dipilih berdasarkan perhitungan sinyal rata-rata terkuat yang diterima MS dari BTS. Metode ini menghasilkan banyaknya kejadian handoff yang tidak perlu, bahkan ketika sinyal BTS yang sedang melayani MS berada pada tingkat kualitas sinyal yang masih dapat diterima [3,4,14].

2.5.4 Metode Histeresis Tetap

Pada Metode Histeresis Tetap, MS akan handoff dari BTS1 ke BTS2 jika

level sinyal BTS2 lebih besar daripada BTS1 (BTS yang sedang melayani atau

aktif) sebesar margin histeresis H, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.7[14]. Pada kasus ini handoff terjadi pada titik C.


(35)

Kuat sinyal BTS 2 Kuat sinyal

BTS 1

D C

B A

H

�3

�2

�1

MS

Gambar 2.7 Skema inisiasi keputusan handoff diantara dua BTS [14]

Teknik ini mencegah efek ping-pong, yaitu: handoff terjadi secara berulang diantara dua BTS atau lebih karena sinyal berfluktuasi dengan cepat diterima oleh MS dari setiap BTS. Jadi handoff pertama mungkin tidak diperlukan jika BTS yang sedang aktif masih memiliki level sinyal yang cukup [3,4,14].

2.5.5 Metode Histeresis Adaptif

Pada Metode Histeresis Adaptif, inisiasi handoff terjadi apabila level sinyal BTS kandidat yang akan melayani MS, lebih besar dari pada level sinyal BTS yang sedang aktif melayani MS. Nilai histeresis adaptif merupakan fungsi jarak, sehingga nilainya berubah secara dinamik, yang ditulis dengan Persamaan 2.5.

ℎ= ��� �20�1− ��

�� 4

�, 0� 2.5 Dimana: �= jarak antara MS terhadap BTS yang sedang melayani.


(36)

Histeresis ℎ berubah-ubah diantara 0 sampai 20 ��. Histeresis semakin besar ketika jarak MS dengan BTS semakin dekat, sebaliknya histeresis semakin kecil ketika MS semakin menjauhi BTS yang melayaninya. Metode ini dapat mengurangi jumlah handoff tidak perlu dengan tetap memelihara kualitas sinyal. Histeresis ℎ yang berubah-ubah sebagai fungsi jarak �, diilustrasikan pada Gambar 2.8[3].

R

d

MS

h(d)

BTS 2 BTS 1

Gambar 2.8 Histeresis adaptif ℎ sebagai fungsi jarak �.[3]

2.6 Mekanisme Evaluasi Handoff

Ada tiga mekanisme dasar yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja metode handoff, yaitu; pendekatan analitis, simulasi dan emulsi [19].

2.6.1 Pendekatan Analitis

Pada pendekatan analitis, secara cepat dapat diperoleh ide tentang kinerja dari beberapa metode handoff untuk skenario handoff yang sederhana. Pendekatan ini akan valid jika dibatasi pada kondisi tertentu, misalnya; mengasumsikan profil level sinyal.

Pada kenyataannya, prosedur handoff sangat kompleks dan tidak memiliki memori. Hal ini menyatakan bahwa pendekatan secara analitis tidak realistis.


(37)

Dalam kondisi sebenarnya, pendekatan ini begitu kompleks dan membutuhkan proses matematis yang rumit.

2.6.2 Pendekatan Simulasi

Pada pendekatan simulasi, untuk mengevaluasi kinerja metode handoff dapat dilakukan dengan menggabungkan gambaran parameter sistem seluler dan lingkungan yang mempengaruhi sistem seluler itu. Beberapa model simulasi, cocok untuk mengevaluasi tipe metode handoff yang berbeda. Hal ini dilakukan berdasarkan skenario handoff yang bervariasi dirancangkan dan yang banyak digunakan dalam literatur.

Pada umumnya, pendekatan simulasi digunakan untuk membandingkan metode handoff yang berbeda dan juga menyediakan pengetahuan tentang perilaku sistem [19]. Software simulasi menyediakan kecepatan, kemudahan dan harga efektif untuk mengevaluasi mekanisme handoff. Pendekatan analitis menyumbangkan pengetahuan tentang perilaku handoff dengan cepat, sementara simulasi menyediakan skenario handoff yang kompleks. Oleh karena itu, kombinasi dari pendekatan analitis dan simulasi menyumbangkan manfaat yang lebih bagus untuk mengevaluasi handoff.

Model simulasi biasanya terdiri dari satu atau lebih komponen berikut; model sel, model propagasi, model trafik dan model pergerakan. Pada Gambar 2.9 ditunjukkan komponen dari tipe model simulasi.


(38)

Gambar 2.9 Komponen model simulasi [19].

Model sel, model propagasi, model trafik dan model pergerakan dijelaskan sebagai berikut:

1. Model sel

Model sel berkaitan dengan perencanaan sel berdasarkan lingkungannya, seperti; mikrosel dan makrosel. Sel juga dapat dianggap berbentuk lingkaran, heksagonal untuk mempertimbangkan handoff diantara dua atau lebih sel.

2. Model propagasi

Kinerja sistem komunikasi seluler secara signifikan dipengaruhi oleh kanal radio. Perambatan gelombang melalui kanal radio memiliki mekanisme berbeda, yaitu; reflection, difraction dan scatter.

Model propagasi dibedakan untuk propagasi outdoor dan indoor. Berdasarkan tipe lingkungan, model propagasi dibedakan untuk daerah urban dan rural. Berdasarkan karakteristik propagasinya, model propagasi dibedakan untuk mikrosel dan makrosel. Model propagasi biasanya terdiri dari pathloss, model slow fading lambat atau shadow fading dan model fading cepat atau fast fading.

Model simulasi

Model sel

Model propagasi

Model pergerakan

Shadowing Pathloss Fast fading


(39)

3. Model pergerakan

Mobile Station memiliki kecepatan berbeda pada waktu-waktu tertentu. Arah pergerakan MS juga berubah-ubah pada waktu-waktu tertentu.

2.6.3 Pendekatan Emulsi

Pada pendekatan emulsi menggunakan software simulator yang menyediakan metode handoff untuk melakukan proses pengukuran variabel, misalnya; level sinyal dan bit error rate. Pada kenyataannya, pengukuran propagasi didasarkan atas simulasi dengan keuntungan menyediakan pengetahuan lebih baik tentang kanal radio dan pengukuran data yang lebih akurat. Kelemahan utama pendekatan emulsi adalah ketika memerlukan pengukuran secara periodik dan tidak sesuai untuk membandingkan metode handoff pada platform yang sama. Pembahasan pada Tugas Akhir ini menggunakan model simulasi.


(40)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Persiapan Penelitian

Dalam metodologi penelitian penyusunan Tugas Akhir bersumber dari studi literatur, yaitu : jurnal, ebook. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian yaitu: laptop, software Matlab R2009b. Langkah-langkah pemodelan dan simulasi yang dirancang yaitu :

Jaringan seluler yang homogen direncanakan terdiri dari 3 BTS yaitu

���1, ���2, ���3, dengan mengasumsikan Mobile Station (MS) akan bergerak

terhadap setiap sampel ke-k disepanjang lintasan lurus. Pengukuran laju delay dapat diukur berdasarkan jarak antara setiap titik sampel adalah k (�� = v��), dimana �� adalah periode waktu sampling. Pada sampel kuat sinyal, MS mengukur kuat sinyal secara diskrit dari masing-masing BTS yang berdekatan dimana komponen sinyal ini adalah path loss, shadow fading. Sampel sinyal tersebut akan diproses dengan menggunakan metode rata-rata eksponensial. Pemilihan sinyal rata-rata yang melayani MS, di evaluasi dengan menggunakan metode histeresis adaptif dan histeresis tetap. Parameter handoff yang dievaluasi antara lain jumlah handoff, delay handoff, dan sinyal degradasi. Parameter kontrol yang divariansikan adalah eksponen path loss. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh parameter kontrol terhadap parameter kinerja dan membandingakn kedua metode histeresis adaptif dan histeresis tetap terhadap parameter kinerja.


(41)

3.2 Model Lintasan

Jaringan seluler yang homogen direncanakan terdiri dari 3 BTS yaitu:

���1, ���2 dan ���3. Untuk memudahkan pemodelan sistem, masing-masing

BTS diletakkan pada sistem kartesian dengan koordinat ����(����,����). Dengan mengasumsikan masing-masing BTS memiliki cakupan sel yang ekivalen, dengan model sel berbentuk heksagonal yang dicakup oleh jenis antena omnidireksional.

Jarak �, merupakan jarak MS terhadap setiap sampel ke-� dari ����, yang diperoleh dengan Persamaan 3.1.

��,� =���� − ����� 2

+ (� − ����)2 3.1

Dengan mengasumsikan pergerakan MS dalam cakupan sistem seluler adalah konstan dan memiliki arah yang linear �[0,2�], setiap waktu sampel. Maka titik koordinat MS yaitu; (��,��) juga berubah-ubah setiap waktu sampel. Titik (��,��) masing-masing diperoleh dengan Persamaan 3.2 dan 3.3.

�� = �cos��−1+��−1 3.2 �� = �sin��−1+��−1 3.3

Dimana, �=��(jarak interval sampel), � ≥2(menyatakan sampel ke-�). Lintasan lurus MS diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1.


(42)

D

BTS1 (268,1268)

BTS2 (2000,1) BTS3 (2000,2001)

MODEL SEL

Gambar 3.1 Model Lintasan Dalam Sistem Kartesian

Pada Gambar 3.1, MS bergerak mengikuti garis berwarna merah sesuai dengan arah panah. Setiap jarak sampling (��), kuat sinyal yang diterima oleh MS ketika berada pada jarak �1,,�2,, dan �3, dari ���1, ���2, dan ���3

yang diukur secara diskrit, masing-masing sebesar �1,�, �2,�, dan �3,�.

3.3 Sampel Kuat Sinyal

Pengukuran kuat sinyal dilakukan dengan mengambil setiap unit sampel kuat sinyal dari BTS secara diskrit setiap waktu � =��, dimana � adalah periode waktu sampling. Jarak antara setiap titik sampel adalah � =��. Kuat sinyal yang diukur secara diskrit �,�, dari ���� setiap waktu ke-�dalam satuan

dB, dimodelkan dengan Persamaan 3.4 [11].


(43)

Dimana ��,�, ��,�, dan ��,� masing-masing mewakili komponen path loss, efek

shadow fading, dan fast fading. Besar nilai �, ditulis dengan Persamaan 3.5.

��,� = ���,� − 10ηlog��,� 3.5

Dimana:

���,� : kuat sinyal yang dikirim oleh ����R dalam satuan dB.

η : faktor eksponen untuk path loss yang bergantung pada tipe

lingkungan sistem propagasi.

��,� : jarak MS dari ����R pada sampel ke-�.

Faktor eksponen η ditentukan berdasarkan perkiraan daerah referensi lingkungan sistem propagasi. Pada Tabel 3.1 mengelompokkan faktor eksponen � berdasarkan tipe lingkungan sistem propagasi.

Tabel 3.1 Faktor eksponen η untuk pathloss berdasarkan tipe lingkungan [8]. Tipe lingkungan Path loss eksponen

Ruang Bebas 2

Area Perkotaan Seluler Radio 2,7 - 3,5 Area Pinggiran Kota Seluler Radio 3 – 5

Bangunan Bebas Hambatan 1,6 – 1,8 Bangunan Penghalang 4 – 6

Area Pabrik 2 – 3

Model log-normal autoregressive pertama (AR-1) diasumsikan sebagai shadow fading. �,� yang diwakili oleh zero-mean AR-1 proses stasioner


(44)

Gaussian dikarakteristikkan sebagai fungsi autokorelasi, yang ditulis dengan Persamaan 3.6 [20,21].

����,���+�,��= ��2��|�| 3.6

Sehingga �,� dapat ditulis secara rekursif pada Persamaan 3.7 [21]. �0, =�2��,0

��+1,� =����,�+���1− �2��,� 3.7

Dimana,

��,�(0,1) : variabel acak �� : korelasi jarak

��2 : variansi shadow fading

�� : koefisien korelasi dari ��,�; �� = exp⁡(−���/�).

Dengan mengeliminasi komponen fading cepat,, maka kuat sinyal �, yang diterima oleh MS dari ���� pada sampel ke- �, ditulis dengan Persamaan 3.8 [7].

��,� =�1− �2������,��+��,� 3.8

3.4 Rata-Rata Kuat Sinyal

Level kuat sinyal yang diterima oleh MS dari ���� sepanjang lintasan ��,�,

ditulis dengan Persamaan 3.9

��,�(��,�) =�1− �2������,��+��,� 3.9


(45)

��,� : kuat sinyal yang diterima dari ���� pada sampel ke-�. ��,� : jarak MS terhadap ���� pada sampel ke-�.

�1 : konstanta pathloss. �2 : eksponen pathloss.

��,� : distribusi Gaussian��(0,�2)� yang merepresentasikan efek shadowing.

Level sinyal yang diterima oleh MS disampel secara diskrit setiap � = ��

dimana �� adalah periode waktu sampling. Jarak antara setiap titik sampel adalah

�� =���, dengan mengasumsikan kecepatan MS �(����� �����⁄ ) adalah konstan.

Untuk memperhalus atau meminimalkan pengaruh sinyal yang berfluktuasi, maka level sinyal yang diterima oleh MS diolah dengan proses rata-rata. Proses rata-rata level sinyal dilakukan dengan merata-ratakan sinyal secara waktu diskrit dengan metode window rata-rata. Proses rata-rata yang digunakan adalah secara window eksponensial, dinyatakan dengan Persamaan 3.10 [3,10,11].

����[�] =���� −����1 ��� ����� −����−��� � ,� ≥0 3.10

Level sinyal yang diproses dari ���� merupakan perkalian konvolusi diskrit, yang ditulis dengan Persamaan 3.11.

�̅�,� = ����[�]∗ ��,� � ≥0 3.11

Sehingga persamaan level sinyal setelah dirata-ratakan, ditulis dengan Persamaan 3.12.

�̅�,����,��= �

−������ −������ �

�̅�,�−1���,�−1�+�1− �

−������ −������ �

� ��,����,�� 3.12

Dimana,


(46)

�̅�,����,�� : rata-rata sinyal diterima oleh MS dari ���� sebagai fungsi jarak

�, pada sampel sinyal yang ke-�.

�̅�,�−1���,�−1� : rata-rata sinyal diterima oleh MS dari ���� sebagai fungsi

jarak �, pada sampel yang ke- � −1.

3.5 Parameter Kinerja

Parameter kinerja handoff yang dievaluasi antara lain; 1. Jumlah Handoff

Apabila handoff terjadi maka � = 1, sebaliknya jika � = 0 menyatakan bahwa handoff tidak terjadi. Peristiwa ini diilustrasikan pada Gambar 3.2. Banyaknya kejadian handoff (��(�)) pada lintasan � yang terdiri dari � titik sampel sinyal, dinyatakan dengan Persamaan 3.13.

��(�) =∑�−1��

�=1 3.13

Dimana : Uk1 = terjadi handoff Uk0 = tidak terjadi handoff

Ket : Uk1 = terjadi handoff Uk0 = tidak terjadi handoff

Gambar 3.2 Diagram Transisi Handoff

Nilai rata-rata handoff sejumlah � lintasan �, ditulis dengan Persamaan 3.14. BTS

3

BTS 1

BTS 2


(47)

�������

������������ =∑�=1��(�) 3.14

2. Delay handoff

Delay merupakan tundaan bahwa MS tidak dilayani oleh BTS yang terdekat dengan MS. Posisi MS melewati titik pertengahan sel dalam area BTS yang identik. Titik pertengahan mengindikasikan bahwa level sinyal dari BTS adalah sama dengan asumsi tidak ada noise dilingkungan seluler [13]. Delay handoff ( �����(�) ) merupakan lamanya MS tidak dilayani oleh BTS yang terdekat sepanjang lintasan � yang terdiri dari � titik sampel sinyal, yang dinyatakan dengan Persamaan 3.15.

�����(�) =∑�=1 3.15

Dimana, �� = ��� , ���������������� 0 ����������

Jadi, delay rata-rata (�������������) sejumlah � lintasan � dirumuskan dengan Persamaan 3.16.

�����

��������=1∑�=1�����(�) 3.16

3. Sinyal Degradasi (���)

Kejadian sinyal degradasi (����) terjadi ketika level sinyal berada dibawah level sinyal degradasi minimum (����), dengan mengasumsikan bahwa kekuatan sinyal pemancar terbatas, sinyal dapat dilihat berdasarkan bentuk lintasan dan kanal trafik yang sama. Kemudian level interferensi yang diketahui tidak berubah secara signifikan dengan waktu dimana kualitas kanal trafik terjadi berasal dari kejadian sinyal degradasi. Namun level interferensi tersebut akan


(48)

bervariasi dengan waktu sehingga informasi ini dapat digunakan untuk memperbaiki algoritma handoff dengan memvariasikan threshold (∆) [6]. Jumlah sinyal degradasi dapat dinyatakan pada Persamaan 3.17 [6].

��(�) = ∑=1� { � B (k) (k) < ���� } 3.17 Dimana:

��� : jumlah total sinyal degradasi

N : jumlah titik sampling P : fungsi indikator � : jumlah rata-rata sinyal

�� : menunjukkan indeks BTS terhadap k

Laju ekspektasi kejadian sinyal degradasi dalam suatu lintasan l yang terdiri dari N sample sinyal �,, dinyatakan pada Persamaan 3.18.

����(�) =� �1∑��=1����,� <������ 3.18

Dimana,

����,� < ����� = � �

−∆+�[�,+1|�,] ���[�,�+1|��,�] �

����,�+1���,�� = �1− �2log��,�+1 + �� �(�1− �2log��,� +��,�� − (�1− �2log��,�)


(49)

Maka sinyal degradasi rata-rata �̅��� dari sejumlah s lintasan l dirumuskan dengan Persamaan 3.19. Jika ���� (level sinyal minimum yang melayani MS) berada dibawah ambang batas maka kualitas sinyal akan semakin memburuk.

�̅���= 1

�∑��=1���� (l) 3.19

3.6 Metode Handoff

Jika dalam keadaan awal MS dilayani oleh ���1, maka kuat sinyal yang

melayani MS adalah �̅,��1,�. Seiring pergerakan MS kuat sinyal dari BTS tetangga (���2dan ���3) juga diukur untuk dibandingkan hasilnya. Hasil perbandingan didasarkan atas metode handoff. Ada 2 metode handoff untuk melakukan inisiasi handoff yang digunakan dalam Tugas Akhir ini yaitu:

3.6.1 Metode Histeresis Tetap

Pada metode Histeresis, inisiasi handoff akan terjadi ketika kuat sinyal dari BTS aktif lebih tinggi dari kuat sinyal BTS kandidat sebesar nilai histeresis �, dinotasikan dengan (�̅�������� >�̅����� + �), dimana � adalah nilai dari histeresis yang ditentukan. Strategi ini dapat mencegah efek ping-pong, mengurangi jumlah handoff tetapi dapat menambah delay [5,22,23].

Berdasarkan konsep metode Histeresis diatas, maka metode Histeresis Tetap pada 3 BTS yaitu:

1. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���1 menangani MS a. Syarat handoff : ���1→���2


(50)

b. Syarat handoff : ���1→���3

(�̅1,� + � ≤ �̅3,�)∩(�̅2,� <�̅3,�)

2. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���2 menangani MS a. Syarat handoff : ���2→���1

�̅2,� + � ≤ �̅1,�)∩(�̅1,� > �̅3,�)

b. Syarat handoff : ���2→���3

(�̅2,� + � ≤ �̅3,�)∩(�̅1,� <�̅3,�)

3. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���3 menangani MS a. Syarat handoff : ���3→���1

(�̅3,� + � ≤ �̅1,�)∩(�̅1,� > �̅2,�)

b. Syarat handoff : ���3→���2

(�̅3, + � ≤ �̅2,�)∩(�̅1,� < �̅2,�)

Dimana:

�̅�,� : sinyal rata-rata ���� pada sampel sinyal ke-�.

handoff : ���3→���1 menyatakan kejadian handoff dari ���3 ke ���1.

3.6.2 Metode Histeresis Adaptif

Pada metode Histeresis Adaptif, kejadian handoff diawali ketika kuat sinyal BTS kandidat yang lebih tinggi dari sinyal BTS aktif yang sedang melayani MS sebesar nilai histeresis adaptif, ditulis dengan: (�̅�������� ≥ �̅����� +�������� ). Histeresis adaptif berubah-ubah berdasarkan fungsi jarak. Histeresis adaptif pada persamaan 2.5 ditulis kembali pada Persamaan 3.20[18].

� = ��� �20�1− ���

�� 4


(51)

Dimana,

��: jarak antara MS terhadap BTS yang sedang melayani.

�: radius sel.

�������� berubah-ubah diantara 0 sampai 20 ��, histeresis semakin kecil ketika

MS mendekati perbatasan sel. Metode ini dapat mengoptimalkan area handoff dan mengurangi handoff tidak perlu [18].

Diasumsikan kuat sinyal terima/ Received Signal Strength (RSS) merupakan efek dari path loss dan shadowing. Transmisi daya dibuat menjadi 0 dB, kuat sinyal terima dari BS kandidat dan BS aktif dinotasikan menjadi Rc, dan Ri dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rc = -K log (dc) + u(dc) (3.21) Ri = -K log (di) + vi(di), i = 1,2,3 (3.22) Dimana : k = merupakan faktor path loss.

di,dc = merupakan jarak antara BS aktif dan BS kandidat. u(d), vi(d) = variable shadowing.

Rc dan Ri merupakan proses gaussian dengan standart deviasi dan diartikan sebagai mc dan mi, dapat dirumuskan sebagai berikut :

mc = -K log (dc) (3.23) mi = -K log (di) , i= 1,2,3 (3.24) handoff dapat dikondisikan sebagai berikut :

[ Ri > Rc + H] , i=1,2 3 (3.25) Dimana Ri dan Rc adalah kuat sinyal terima dari BS aktif dan BS kandidat dimana MS berada dan H merupakan histeresis adaptif.


(52)

Pho = P{⋃3=1[�� >��+�]}

= 1 – ∏=13 �[��≤ Rc+H] (3.26)

Dimana P[.] dinotasikan sebagai probabilitas dari kejadian [.] Ri = 1,2,3 dan Rc = diasumsikan bebas.

P [ Ri ≤ Rc + H]

= ∫ ���+ (�)∫+����(�)����

= ∫ 1

√2�� +

ₑ�

(�−��) 2

2� 2 [ 1-Q(�+ℎ−��

� )]dx (3.27)

Dimana : fRc(x) dan fRi(x) dinotasikan sebagai probabilitas density function (pdf) dari Rc dan Ri dan Q. adalah Q-Function( komplementari distribusi function).

Metode Histeresis Adaptif untuk inisiasi handoff pda 3 BTS, diperlihatkan sebagai berikut:

1. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���1 menangani MS a. Syarat handoff : ���1→���2

(�̅1,� + ����� ≤ �̅2,�)∩(�̅2,� >�̅3,�)

b. Syarat handoff : ���1→���3

(�̅1,� + ����� ≤ �̅3,�)∩(�̅2,� <�̅3,�)

2. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���2 menangani MS a. Syarat handoff :���2→���1

(�̅2,� + ����� ≤ �̅1,�)∩(�̅1,� >�̅3,�)

b. Syarat handoff : ���2→���3


(53)

3. Mengasumsikan keadaan sebelumnya ���3 menangani MS a. Syarat handoff : ���3→���1

(�̅3,� + ����� ≤ �̅1,�)∩(�̅1,� > �̅2,�)

b. Syarat handoff : ���3 →���2

(�̅3,� + ����� ≤ �̅2,�)∩(�̅1,� <�̅2,�)


(54)

BAB 4

HASIL DAN ANALISA SIMULASI

4.1 Susunan Parameter

Simulasi dilakukan dengan bantuan software Matlab R2009b. Sebanyak 3 BTS yang bersebelahan dengan jarak antara BTS adalah 1000√3 meter, berada dalam sistem kartesian, masing-masing berkoordinat: ���1[268,1001],

���2[2000, 1], [2000, 2001]. Dengan mengasumsikan MS bergerak lurus setiap

1 meter dimulai dari titik (2000, 0), dengan arah (sudut �) setiap gerakan lurus 1 meter tersebut adalah lintasam lurus. Sebanyak s=30 lintasan yang merupakan jalur MS akan dibangkitkan dalam area ketiga BTS. Setiap lintasan terdiri dari N=2000 sampel kuat sinyal dengan jarak antara setiap sampel berdekatan

�� = 1 meter.

Dengan mengasumsikan kuat sinyal yang dibangkitkan disetiap titik sampel sepanjang seluruh lintasan yang merupakan jalur MS bergerak, yaitu:

,(�,) =�1− �2�����,�+�,, dimana �1 = 135 ��; �2 = 2 ,2.5,3.0, 3.5,4.0, 4.5, 5.0, 5.5, 6.0, 6.5 ��; ��, merupakan jarak MS (meter) pada sampel ke- � terhadap ���; �, adalah distribusi Gaussian ��(0,�2)

yang merepresentasikan efek shadowing; di = 30 meter menyatakan korelasi jarak shadowing; �= 10 � �⁄ menyatakan kecepatan MS; �� = 0,5 ����� menyatakan waktu setiap titik sinyal disampel; �= 8 �� menyatakan standar deviasi shadow fading.


(55)

Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi dirangkum dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi

Simbol Deskripsi Nilai

BTS Base tranceiver station 3 [7,22]

s Jumlah lintasan 30

N Jumlah titik sampel dalam lintasan 2000 D Jarak antar BTS 1000√3 meter K1 Konstanta pathloss 135 [7,22] K2 eksponen pathloss 2 - 6.5 dB [7,22]

� Standard deviasi shadow fading 8 dB [7,21,22]

���� Level sinyal minimum 0 dB [7,22]

di Korelasi jarak shadowfading 30 meter [7,]

Jarak interval titik sampel 1 meter 7,21]

v Kecepatan MS 10 m/s [21]

Waktu setiap titik sampel 0,5 sekon [21] p Proporsi level sinyal dibawah ���� 0,1 [22]

h histeresis variabel

����� −���� Panjang rata-rata window variabel

4.2 Analisa Hasil Simulasi

Pada metode histeresis tetap, nilai divariansikan dari 1 sampai 5 dB [7,22]. Pada metode histeresis adaptif, nilai divariasikan dari 0 sampai 20 dB dengan histeresis adaptif (berubah-ubah berdasarkan fungsi jarak MS terhadap BTS diantara nilai 0 sampai 20 dB). Masing-masing metode handoff pada diatas, dievaluasi berdasarkan parameter handoff, yaitu: lamanya kejadian handoff yang dinyatakan dengan delay handoff (�������������), banyaknya handoff yang terjadi (�������������������), dan sinyal degradasi (NSD). Dalam parameter diatas diharapkan delayhandoff minimal, sinyal degradasi dan jumlah handoff diharapkan minimal terhadap konstanta eksponen path loss.

Pada Gambar 4.1 menunjukkan level sinyal diterima MS dari masing-masing 3 BTS, dengan asumsi MS yang bergerak secara lurus, disampel setiap 1 meter


(56)

sebanyak 30 sampel. Level sinyal diukur secara diskrit, kemudian dirata-ratakan berdasarkan metode eksponensial.

Gambar 4.1 Level Sinyal diterima MS dari 3 BTS

4.2.1 Analisa Pengaruh Parameter Kontrol (Histeresis tetap dan Histeresis Adaptif) terhadap Parameter Handoff

Pada subbagian ini, dianalisa pengaruh variasi parameter kontrol terhadap parameter handoff pada masing-masing metode handoff yang dibahas.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 -100

-90 -80 -70 -60 -50 -40

sample

ke-lev

el

s

iny

al

sinyal1 sinyal2 sinyal3


(57)

1. Analisis pengaruh variansi eksponen path loss terhadap parameter Jumlah Handoff (�������������������)

Pada metode histeresis adaptif dan metode histeresis tetap, nilai eksponen path loss divariansikan dari 2-6,5dB. Pada gambar 4.2 menunjukkan kurva pengaruh nilai variansi eksponen path loss terhadap jumlah handoff untuk histeresis tetap dari 1dB-5dB dan histeresis adaptif divariansikan dari 0-20 dB berdasarkan fungsi jarak. Untuk nilai variansi eksponen path loss antara 2-5dB jumlah handoff menurun pada saat histeresis tetap dan juga pada histeresis adaptif, atau dengan kata lain jumlah handoff pada saat nilai histeresis tetap (H =1dB) lebih tinggi daripada jumlah handoff pada saat nilai histeresis tetap (H=2dB). Juga jumlah handoff pada saat nilai histeresis tetap (H=2dB) lebih besar dibandingkan dengan pada saat (H=3dB). Demikian halnya juga dengan metode histeresis adaptif, jumlah handoff pada saat nilai eksponen path loss = 2-3dB jumlah handoff yang sama, kemudian bergerak menurun seiring meningkatnya nilai eksponen path loss. Jumlah handoff pada metode histeresis tetap lebih besar dibandingkan dengan metode histeresis adaptif.


(58)

Gambar 4.2 Kurva Pengaruh Konstanta Eksponen Path loss Terhadap Jumlah Handoff (���������������������).

Data hasil simulasi untuk variansi eksponen path loss terhadap jumlah handoff dapat ditunjukkan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Variansi Eksponen Path loss Terhadap Parameter Jumlah Handoff

Eksponen

Path loss (dB)

Histeresis Tetap (dB) Histeresis Adaptif

0-20 (dB)

1 2 3 4 5

Jumlah Handoff

2 5,40 2,33 1,43 1,20 1,13 2,27

2,5 4,03 2,00 1,37 1,23 1,13 2,27

3 3,43 1,77 1,27 1,23 1,13 2,27

3,5 2,93 1,73 1,27 1,23 1,17 2,20

4 2,53 1,70 1,27 1,27 1,13 2,13

4,5 1,63 0,57 0,13 0 0 1,80

5 0 0 0 0 0 0

5,5 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0 0

6,5 0 0 0 0 0 0

Pada metode histeresis tetap dengan variansi nilai dari 1-5 dB dan eksponen path loss divariansikan (2, 2,5, 3, 3,5, 4, 4,5, 5, 5,5, 6, 6,5) dan metode histeresis adaptif yang divariansikan berdasarkan fungsi jarak antara 0dB - 20dB.

2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5

0 1 2 3 4 5 6 7

Konstanta Eksponen Path loss (dB)

J u m la h H a n d o ff Hist.Adaptif H = 1 H = 2 H = 3 H = 4 H = 5


(59)

Pada table 4.2 diperlihatkan hubungan jumlah handoff dengan konstanta eksponen path loss. Pada nilai eksponen path loss = 2 dB jumlah handoff pada histeresis tetap dengan nilai 1dB adalah 5,40 sedangkan pada histeresis adaptif jumlah handoff adalah 2,27. Pada nilai eksponen path loss 2 – 3dB jumlah handoff pada histeresis tetap dengan nilai 5 dB adalah sama yaitu 1,13 sedangkan pada histeresis adaptif jumlah handoff adalah 2,27. Pada nilai ekponen path loss 2,5-3,5dB jumlah handoff pada histeresis tetap dengan nilai 4dB adalah sama yaitu

1,23 sedangkan pada metode hyteresis adaptif pada eksponen path loss 2,5-3,5 dB jumlah handoff nya berbeda yaitu 2,27dB , 2,27dB dan 2,20dB jumlah

handoff nya semakin menurun. Nilai histeresis tetap dari 1-5 dB pada eksponen path loss 5– 6,5dB adalah 0 itu berarti tidak terjadi handoff, pada metode hyteresis adaptif dengan eksponen path loss dari antara 5-6,5dB, jumlah handoff nya adalah 0 sama halnya dengan metode histeresis tetap. Nilai eksponen path loss dari 2-4,5dB dengan metode histeresis tetap dengan nilai 1-5dB mengalami penurunan sampai pada eksponen path loss dengan nilai 5dB, tidak terjadi handoff, sama halnya dengan metode histeresis adaptif yang dimulai dengan nilai 2,27 pada eksponen path loss bernilai 2dB jumlah handoff menurun sampai dengan eksponen path loss bernilai 4,5dB kemudian pada eksponen path loss bernilai 5-6,5dB tidak ada handoff. Dari jumlah handoff diatas maka metode yang paling baik digunakan adalah histeresis adaptif untuk mendapatkan jumlah handoff yang lebih sedikit, pada metode histeresis adaptif jumlah handoff dimulai dari 2,27 sampai 0 sedangkan pada metode histeresis tetap dengan nilai 1-5dB jumlah handoff dimulai lebih banyak dibandingkan dengan metode histeresis adaptif yaitu dari 5 menurun sampai 0. Hubungan antara variansi eksponen path loss terhadap


(60)

parameter jumlah handoff yaitu semakin banyak jumlah variansi eksponen path loss maka semakin kecil/sedikit jumlah handoff baik menggunakan metode histeresis adaptif maupun dengan menggunakan metode histeresis tetap.

2. Analisis pengaruh variansi eksponen path loss terhadap parameter Delay rata-rata (�������������) Handoff.

Pada metode histeresis adaptif dan metode histeresis tetap, nilai eksponen path loss divariansikan dari 2-6,5dB. Pada Gambar 4.3 menunjukkan hubungan pengaruh variansi eksponen path loss terhadap parameter delay rata-rata dengan nilai untuk histeresis tetap dari 1-5dB dan histeresis adaptif divariansikan dari 0-20 dB berdasarkan fungsi jarak. Untuk nilai variansi eksponen path loss antara 2-5dB jumlah delay rata-rata menurun pada saat histeresis tetap dan juga pada histeresis adaptif, atau dengan kata lain jumlah delay rata-rata pada saat nilai histeresis tetap (H=1dB) dengan nilai eksponen path loss meningkat maka jumlah delay rata-rata menurun. Juga pada saat nilai histeresis tetap (H=2dB) jumlah delay rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan H=1dB seiring dengan bertambahnya variansi eksponen path loss, seiring semakin banyak jumlah histeresis tetap maka semakin besar jumlah delay rata-rata dan semakin meningkatnya variansi eksponen path loss mengakibatkan semakin kecil jumlah delay rata-rata baik menggunakan metode histeresis tetap juga dengan metode histeresis adaptif.


(61)

Gambar 4.3 Pengaruh Variansi Eksponen Path loss terhadap Parameter Delay Rata-rata (�������������) Handoff

Pada tabel 4.3 diperlihatkan hubungan variansi eksponen path loss terhadap pengaruh parameter delay . Pada variansi eksponen path loss dari 2dB – 6,5dB dengan menggunakan metode histeresis adaptif dan metode histeresis tetap. Pada variansi eksponen path loss dari 2-4dB dengan menggunakan metode histeresis adaptif didapat nilai jumlah delay yang hampir sama yaitu ≅ 335.53 m/s sedangkan dengan menggunakan metode histeresis tetap dengani nilai 1-5dB didapat jumlah delay yang berbeda yaitu 366,03 m/s menurun sampai 327,07 m/s. Pada eksponen path loss 5dB dengan menggunakan metode histeresis tetap dari 1-5dB didapat hasil jumlah delay handoff yang sama yaitu 114,07 m/s sedangkan pada metode histeresis adaptif jumlah delay yang dihasilkan 0 m/s. Pada eksponen path loss 5,5dB dengan menggunakan histeresis tetap dari 1-5dB didapat hasil yang sama yaitu jumlah delay =115,40 m/s sedangkan pada histeresis adaptif jumlah delay=0 m/s. Pada eksponen path loss 6dB dengan menggunakan metode

histeresis tetap dari 1-5dB didapat hasil yang sama yaitu jumlah delay = 115,80 m/s sedangkan dengan menggunakan metode histeresis adaptif jumlah

delay = 0 m/s. Pada eksponen path loss 6,5dB dengan menggunakan metode

2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Konstanta Eksponen Path Loss (dB)

D el ay R at a-rat a( m /s) Hist.Adaptif H = 1 H = 2 H = 3 H = 4 H = 5


(62)

histeresis tetap dari 1-5dB didapat jumlah delay yang sama yaitu 117 m/s sedangkan dengan menggunakan metode histeresis adaptif jumlah delay =0 m/s. Dari kedua metode tersebut yaitu metode histeresis adaptif didapat jumlah delay=335,53 m/s menurun sampai dengan 0 m/s lebih sedikit dibandingkan dengan metode histeresis tetap dengan nilai 1-5dB didapat 366,03 m/s menurun sampai dengan 117 m/s. Maka metode yang paling bagus digunakan adalah metode histeresis adaptif karena jumlah delay yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan metode histeresis tetap dengan nilai 1-5dB, karena semakin sedikit jumlah delay maka semakin bagus proses handoff tersebut. Hubungan antara variansi eksponen path loss terhadap jumlah delay rata-rata adalah semakin banyak variansi eksponen path loss maka semakin sedikit jumlah delay yang dihasilkan baik menggunakan metode histeresis adaptif maupun dengan menggunakan metode histeresis tetap.

Data hasil simulasi untuk variansi eksponen path loss terhadap delay rata-rata dapat ditunjukkan pada table 4.3

Tabel 4.3 Variansi Eksponen Path loss Terhadap Parameter Delay rata-rata (�������������) Handoff

Eksponen

Path loss

(dB)

Histeresis Tetap (dB) Histeresis Adaptif 0-20 (dB)

1 2 3 4 5

Delay rata-rata (m/s)

2 366,03 354,57 380,67 393,17 439,97 335,53 2,5 349,70 340,80 358,20 382,03 391,00 335,50 3 342,17 338,80 348,30 369,47 379,03 335,40 3,5 335,83 335,67 344,07 352,20 378,37 335,37 4 335,30 335,40 343,47 349,03 353,47 335,00 4,5 327,07 327,20 328,43 328,43 328,43 324,93

5 114,07 114,07 114,07 114,07 114,07 0 5,5 115,40 115,40 115,40 115,40 115,40 0 6 115,80 115,80 115,80 115,80 115,80 0 6,5 117,00 117,00 117,00 117,00 117,00 0


(1)

Lampiran A /Code Program

S_H(n,o)=S3(n,o);

S_rata_H(n,o)=S3_rata(n,o); BTS_kontrol_H(n,o)=BTS(3); Uk_H(n,o)=[tidak_handoff]; Delay_H(n,o)=d3k(n,o);

S_mean_H(n,o)= S33_rata_eks(n,o); end

end

%% jika keadaan sebelumnya MS mengalami drop, maka dieksekusi pemilihan BTS

else

%% jika BTS_1 yang terbaik

if (S1_rata(n,o) > S2_rata(n,o)) && (S1_rata(n,o) > S3_rata(n,o))

% && (S1_rata(n,o)>t(m))

S_H(n,o)=S1(n,o);

S_rata_H(n,o)=S1_rata(n,o); BTS_kontrol_H(n,o)=BTS(1); Uk_H(n,o)=[tidak_handoff]; Delay_H(n,o)=d1k(n,o);

S_mean_H(n,o)= S11_rata_eks(n,o);

%% jika BTS_2 yang terbaik

elseif (S2_rata(n,o) > Smin) && (S2_rata(n,o) > S1_rata(n,o)) && (S2_rata(n,o) > S3_rata(n,o))

% &&(S2_rata(n,o)>t(m))

S_H(n,o)=S2(n,o);

S_rata_H(n,o)=S2_rata(n,o); BTS_kontrol_H(n,o)=BTS(2); Uk_H(n,o)=[tidak_handoff]; Delay_H(n,o)=d2k(n,o);

S_mean_H(n,o)= S22_rata_eks(n,o);

%% jika BTS_3 yang terbaik

elseif (S3_rata(n,o) > Smin) && (S3_rata(n,o) > S1_rata(n,o)) && (S3_rata(n,o) > S2_rata(n,o))

% &&(S3_rata(n,o)>t(m))

S_H(n,o)=S3(n,o);

S_rata_H(n,o)=S3_rata(n,o); BTS_kontrol_H(n,o)=BTS(3); Uk_H(n,o)=[tidak_handoff]; Delay_H(n,o)=d3k(n,o);

S_mean_H(n,o)= S33_rata_eks(n,o); else

continue; end

end end end end


(2)

Lampiran A /Code Program

Delay_HH=(Delay_H>(D/2));

Prob_Smin_H=qfunc((S_mean_H-Smin)./std1);

%========================================================= =================

Uk_H_rata(m,:)=1/s*sum(sum(Uk_H'));

Delay_H_rata(m,:)=1/s*sum(sum(Delay_HH')); Prob_Smin_HH(m,:)=1/s*sum(mean(Prob_Smin_H'));

%========================================================= =================

end

%========================================================= =================

Uk_H_var_eks_pathloss(:,var_eks_pathloss)=[Uk_H_rata]; Delay_H_var_eks_pathloss(:,var_eks_pathloss)=[Delay_H_rata];

Prob_Smin_H_var_eks_pathloss(:,var_eks_pathloss)=[Prob_Smin_HH];

%========================================================= =================

end

figure(1) % posisi BTS

t = linspace(0, 2*pi,7);

a1 = X_BTS(1)+ (1000)*cos(t);a2 = X_BTS(2)+ (1000)*cos(t);a3 = X_BTS(3)+ (1000)*cos(t);

b1 = Y_BTS(1)+ (1000)*sin(t);b2 = Y_BTS(2)+ (1000)*sin(t);b3 = Y_BTS(3)+ (1000)*sin(t);

plot(a1,b1,'-b',a2,b2,'-r',a3,b3,'-g') hold on;

plot(X_BTS(1),Y_BTS(1),'bp',X_BTS(2),Y_BTS(2),'rh',X_BTS(3),Y_BTS(3),'g* ');

hold on; plot(xk,yk) grid on;

figure(2)

plot(S1(1,:),'b'); hold on;

plot(S2(1,:),'r'); hold on;

plot(S3(1,:),'g'); xlabel('sampel ke-'); ylabel('level sinyal');

legend('sinyal1','sinyal2','sinyal3')

figure(3)

plot(S1_rata(1,:),'b'); hold on;


(3)

Lampiran A /Code Program

hold on;

plot(S3_rata(1,:),'g'); xlabel('sampel ke-'); ylabel('level sinyal');

legend('sinyal rata2 1','sinyal rata 2','sinyal rata2 3')

figure(4)

semilogy(K2,[Prob_Smin_H_adaptif_rata';Prob_Smin_H_var_eks_pathloss]); xlabel('konstanta eks.pathloss');

ylabel('Sinyal Degradasi');

legend('Hist.Adaptif','H = 1','H = 2','H = 3','H = 4','H = 5')

%

figure(5)

plot(K2,[Uk_H_adaptif_rata';Uk_H_var_eks_pathloss]) xlabel('konstanta eks.pathloss');

ylabel('Jumlah Handoff');

legend('Hist.Adaptif','H = 1','H = 2','H = 3','H = 4','H = 5') grid on;

%

figure(6)

plot(K2,[Delay_H_adaptif_rata';Delay_H_var_eks_pathloss]) xlabel('konstanta eksponen pathloss');

ylabel('Delay Rata-rata(meter)');

legend('Hist.Adaptif','H = 1','H = 2','H = 3','H = 4','H = 5') grid on;

toc;


(4)

Lampiran B / Code Program 1 /1

B. Fungsi Truncnormrnd

function [F1,F2,F3]=truncnormrnd(s,N,mu1,tho1,xlo,xhi)

% truncnormrnd: truncated normal deviate generator % usage:z=truncnormrnd(N,mu1,tho1,xlo,xhi)

% (assumes the statistics toolbox, its easy % to do witho1ut that toolbox tho1ugh) % arguments: (input)

% N - size of the resulting array of deviates

% (note, if N is a scalar, then the result will be NxN.) % mu1 - scalar - Mean of underlying normal distribution

% tho1 - scalar - Standard deviation of underlying normal distribution % xlo - scalar - Low truncation point, if any

% xhi - scalar - High truncation point, if any % arguments: (output)

% z - array of truncated normal deviates, size(z)==N % defaults

if (nargin<2)|isempty(mu1) mu1=0;

end

if (nargin<3)|isempty(tho1) tho1=0;

end

if (nargin<4)|isempty(xlo) xlo=-inf;

plo=0; else

plo=normcdf((xlo-mu1)/tho1); end

if (nargin<5)|isempty(xhi) xhi=inf;

phi=1; else

phi=normcdf((xhi-mu1)/tho1); end

% test if trunation points are reversed if xlo>xhi

error 'mu1st have xlo <= xhi if both provided' end

% generate uniform [0,1] random deviates % r=rand(N);

r1=rand(s,N); r2=rand(s,N); r3=rand(s,N);

% scale to [plo,phi] % r=plo+(phi-plo)*r;

r1=plo+(phi-plo)*r1; r2=plo+(phi-plo)*r2; r3=plo+(phi-plo)*r3;

% Invert through standard normal % F=norminv(r);

F1=norminv(r1); F2=norminv(r2); F3=norminv(r3);

% apply shift and scale

F1=mu1+F1*tho1; F2=mu1+F2*tho1; F3=mu1+F3*tho1;


(5)

FLOW CHART SYSTEM

Flowchart evaluasi metode handoff

mulai

Inisialisasi parameter

Lintasan l =1

k =1

Informasi sinyal dari BTS pada sampel ke-k

Sinyal rata-rata dgn metode eksponensial

Proses handoff

Mencapai k=N?

Mnecapai l=s?

Lanjut ke sampel sinyal ke-k

Lanjut ke lintasan ke- l +1

Nilai Parameter tradeoff handoff

selesai ya

tidak

tidak

ya

Proses handoff

in


(6)

FLOW CHART SYSTEM