KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

3.1. Kondisi Geografis

Kota Cilegon merupakan kota otonom yang secara yuridis dibentuk berdasarkan UU No. 15 Tahun 1999. Sebagai kota yang secara geografis berada pada ujung barat Pulau Jawa serta merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, Kota Cilegon merupakan lokasi bagi berbagai kegiatan industri, baik industri berat ataupun menengah.

Secara administratif, Kota Cilegon berada pada koordinat 5 0 52’24” –

0 0 6 0 04’07” Lintang Selatan dan 105 54’05” – 106 05’11” Lintang Utara, yang batas-batasnya:

(1) Sebelah barat

: Selat Sunda (Provinsi Lampung);

(2) Sebelah utara

: Kabupaten Serang;

(3) Sebelah timur

: Kabupaten Serang;

(4) Sebelah selatan : Kabupaten Serang. Dengan luas 175,5 km 2 , Kota Cilegon dibagi ke dalam 8 (delapan)

kecamatan dan 43 kelurahan. Kota Cilegon memiliki iklim tropis dengan

C, dan curah hujan rata-rata 95 mm per bulan.

temperatur berkisar antara 21,1 o C – 33,1

Tabel 3.1. Luas Daerah dan Pembagian Wilayah Administrasi di Kota Cilegon Tahun 2012

Banyaknya Jumlah Jumlah No Kecamatan

Letak Kantor/

Kelurahan RW RT

1. Ciwandan Tegal Ratu

Kebon Sari

Taman Sari

Jombang Wetan

Kali Timbang

Kota Cilegon

Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013

Jarak Kota Cilegon terhadap Ibu Kota Provinsi Banten (Serang) sekitar 15 km dan jarak ke Ibu Kota Negara Republik Indonesia sekitar 105 km. Kota Cilegon dilalui oleh beberapa sungai, yaitu Kali Kahal, Tompos, Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuasa, Sumur Wuluh, Grogol, Cipangurungan, dan Cijalumpang. Di antara sebelas sungai tersebut Kali Grogol merupakan yang terbesar dan hampir semua sungai bermuara di Selat Sunda. Selain sungai, di Kota Cilegon juga terdapat sebuah waduk yang cukup luas, yakni Waduk Krenceng yang membelah Desa Kebonsari, Lebakdenok, dan Tamansari di Kecamatan Ciwandan. Waduk ini merupakan sumber air PDAM yang dialirkan ke industri dan rumah tangga di sebagian wilayah Kota Cilegon.

3.2. Kondisi Demografi

Jumlah penduduk Kota Cilegon pada tahun 2012 sebanyak 392.341 jiwa yang tersebar cukup merata di delapan kecamatan, dengan penduduk laki-laki sebanyak 200.550 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 191.791 jiwa dengan sex ratio sebesar 105,00. Laju pertumbuhan penduduk selama periode (2011- 2012) sebesar 1,67% dan tingkat kepadatan penduduk mencapai sekitar 2.235 jiwa per kilometer persegi.

Jumlah penduduk Kota Cilegon berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2012 adalah 280.075 jiwa, yang terdiri atas penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak 184.121 jiwa atau 65,74% dan penduduk bukan angkatan kerja sebanyak 95.954 jiwa atau 34,26%. Pertumbuhan penduduk usia produktif ini selama tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif, yaitu 65,60% pada tahun 2010, menjadi 70,00% pada tahun 2011, dan menjadi menjadi 65,74% pada tahun 2012.

Tabel 3.2. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Kota Cilegon Tahun 2010 – 2012 Tahun

Angkatan Kerja

65,74% - Bekerja

163.312 - Mencari Kerja

20.809 Bukan Angkatan Kerja

Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013 Latar belakang lapangan usaha penduduk Kota Cilegon

menunjukkan sektor perdagangan, hotel dan restoran (81.476 jiwa) menjadi tumpuan utama sebagian besar penduduknya, diikuti oleh sektor jasa-jasa (60.770 jiwa), sektor industri (43.569 jiwa), sektor angkutan dan komunikasi (27.042 jiwa), sektor bangunan (21.407 jiwa), sektor bank dan lembaga keuangan (18.468 jiwa), sektor pertanian (13.804 jiwa), sektor pertambangan dan penggalian (2.507 jiwa), dan yang paling kecil sektor listrik, gas, dan air bersih (566 jiwa). Selama tiga tahun terakhir, sektor jasa- jasa mengalami peningkatan yang paling tinggi, sedangkan sektor industri mengalami penurunan yang paling besar.

Tabel 3.3.

Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kota Cilegon Tahun 2010 – 2012 Tahun

Lapangan Usaha

13.804 12.939 Pertambangan dan penggalian

43.569 52.934 Listrik, gas dan air bersih

21.407 24.815 Perdagangan, hotel dan restoran

81.476 84.731 Angkutan dan komunikasi

27.042 24.731 Bank dan lembaga keuangan

18.468 15.908 Jasa – jasa

Sumber : Cilegon Dalam Angka, 2013

3.3. Kondisi Sumber Daya Manusia

Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kota Cilegon telah mencapai 392.341 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,67% per tahun. Tingkat kepadatan penduduk

Kota Cilegon pada tahun 2012 telah mencapai 2.235 jiwa per km 2 . Dilihat dari tingkat kesejahteraannya, terdapat sejumlah 13.909 keluarga Kota Cilegon pada

tahun 2012, secara umum tergolong dalam tahapan keluarga sejahtera, dengan predikat hamper miskin berjumlah 2.898 keluarga (20,84 persen), keluarga miskin berjumlah 5.507 keluarga (39,59 persen), dan sekitar 5.504 keluarga (39,57 persen) menyandang predikat sangat miskin.

Gambar 3.1.

Jumlah Sekolah Menurut Tingkatan di Kota Cilegon

Berdasarkan data statistik dinas pendidikan Kota Cilegon tahun 2012 jumlah lembaga pendidikan swasta yang termasuk pendidikan luar sekolah terdapat sebanyak 186 buah lembaga pendidikan, terdiri atas kursus kerumahtanggaan (border, tata boga, hantaran) sebanyak 24 buah, kursus kesehatan (tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit dan SPA) sebanyak 46 buah, kursus kesenian (tata rias penganten, merangkai bunga, seni music, seni tari, keperagaan) sebanyak 34 buah, kursus keolahragaan (senam), sebanyak 2 buah, kursus kerajinan dan industry (batik, aklirik, flannel) sebanyak 7 buah, kursus teknik dan perambahan (elektronika, otomotif, instalasi listrik) sebanyak 4 buah, Berdasarkan data statistik dinas pendidikan Kota Cilegon tahun 2012 jumlah lembaga pendidikan swasta yang termasuk pendidikan luar sekolah terdapat sebanyak 186 buah lembaga pendidikan, terdiri atas kursus kerumahtanggaan (border, tata boga, hantaran) sebanyak 24 buah, kursus kesehatan (tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit dan SPA) sebanyak 46 buah, kursus kesenian (tata rias penganten, merangkai bunga, seni music, seni tari, keperagaan) sebanyak 34 buah, kursus keolahragaan (senam), sebanyak 2 buah, kursus kerajinan dan industry (batik, aklirik, flannel) sebanyak 7 buah, kursus teknik dan perambahan (elektronika, otomotif, instalasi listrik) sebanyak 4 buah,

3.4. Kondisi Produk Domestik Regional Bruto

Berdasarkan perhitungan atas dasar harga berlaku, PDRB Kota Cilegon pada tahun 2011 tercatat sebesar 34.485,15 milyar rupiah atau meningkat 10,19 persen dari tahun 2010 yang sebesar 31.295,91 milyar rupiah. Sedangkan menurut perhitungan atas harga konstan 2000, PDRB Kota Cilegon meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 6,53 persen.

Sumbangan terbesar terhadap pembentukan PDRB Kota Cilegon adalah sektor industri pengolahan. Selanjutnya disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,61 persen dan sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 5,15 persen. Sementara itu, sektor lainnya memiliki kuntribusi di bawah 5 persen.

Tabel 3.4. PDRB Kota Cilegon Menurut Lapangan Usaha Tahun 2011-2012

Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 (Rp Juta)

Harga Konstan 2000 No

Harga Berlaku

Lapangan Usaha

1. Pertanian, Peternakan, 558.676,36 591.845,85 293.563,49 296.121,45 Kehutanan dan Perikanan

2. Pertambangan dan

3. Industri Pengolahan

24.098.272,30 26.601.196,40 13.218.285,53 14.107.542,93

4. Listrik, Gas dan Air 1.813.017,98 1.950.831,69 980.774,99 1.010.756,92 Bersih

5. Bangunan

60.863,74 65.161,53 6. Perdagangan, Hotel dan

156.426,24 181.464,54

4.667.381,56 5.333.462,29 2.139.891,00 2.357.486,68 Restoran

7. Pengangkutan dan 1.747.910,45 1.891.060,61 908.932,85 951.926,24 komunikasi

8. Keuangan, Persewaan dan 994.678,00 1.124.955,31 408.769,00 442.926,24 Jasa Perusahaan

9. Jasa-jasa 437.724,77 525.996,61 206.107,98 225.763,38

Kota Cilegon 34.218.712,99 34.485.153,71 18.228.289,96 19.470.568,33

Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013

Kontribusi sektor/subsektor dari PDRB Kota Cilegon tahun 2012 atas dasar harga berlaku menunjukkan sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB yaitu sebesar Rp 26.601.196,40 juta, dan sektor pertambangan dan penggalian mempunyai kontribusi terkecil yaitu sebesar 17.899,71 juta. Kontribusi sektor-sektor lainnya disumbangkan oleh sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar Rp 1.950.831,69 juta; perdagangan, hotel, dan restoran sebesar Rp 5.333.462,29 juta; pengangkutan dan komunikasi Rp 1.891.060,61 juta; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Rp 1.124.955,31 juta; sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar Rp 591.845,85 juta, serta jasa-jasa sebesar Rp 525.996,61 juta. Berdasarkan besaran kontribusi PDRB ini terlihat bahwa Kota Cilegon sudah tidak bertumpu lagi pada sektor-sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan tetapi sudah beralih pada sektor sekunder yang bertumpu pada sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran.

Berdasarkan PDRB menurut harga konstan tahun 2000 terlihat bahwa pertumbuhan masing-masing sektor ekonomi Kota Cilegon pada dua tahun terakhir terbesar terdapat pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 10,17% dan terkecil sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 0,87%

3.5. Kondisi Perindustrian

Secara historis, pada awalnya Kota Cilegon merupakan wilayah pertanian, namun semenjak dijadikan kawasan industri berat dan menengah yakni dengan didirikannya industri baja Krakatau Steel, perlahan-lahan kegiatan pertanian tergeser dan semakin menyempit. Jenis industri yang banyak didirikan di Kota Cilegon, secara umum dapat dikategorikan ke dalam 3 jenis industri, yaitu industri baja, industri non baja, dan industri kecil ( home industry ).

Kelompok industri baja umumnya merupakan industri-industri yang memanfaatkan material baja kasar ( crude steel ) untuk diolah menjadi produk atau barang jadi. Beberapa produk dari industri-industri ini diantaranya adalah baja konstruksi, pipa baja, plat baja, perkakas rumah tanga, dan lain-lain. Kelompok industri ini sebagian besar berlokasi terpusat di sekitar kawasan industri terpadu PT. Krakatau Steel (KIEC).

Kelompok industri non baja yang terdapat di Kota Cilegon diantaranya adalah jenis industri kimia, dan pengolahan bahan tambang. Industri ini sebagian besar berkembang di sepanjang pantai Selat Sunda dengan memanfaatkan jasa angkutan laut untuk mendistribusikan dan memasarkan produknya.

Kelompok industri kecil merupakan jenis industri yang banyak dijalankan oleh masyarakat, yakni kelompok industri skala kecil dengan masih menggunakan teknologi sederhana. Pada umumnya kegiatan industri ini lokasinya berbaur dengan permukiman masyarakat ( home industry ).

Sebaran industri kecil di Kota Cilegon pada tahun 2012 terdiri atas industri emping melinjo 2.166 unit usaha, industri bata dan genteng 492 unit usaha, industri bahan bangunan dari kayu (kusen) 234 unit usaha, industri peralatan pertanian dari logam 170 unit usaha, industri roti dan kue kering 135 unit usaha, industri kerupuk 72 unit usaha, percetakan/sablon 35 unit usaha, dan industri pakaian jadi atau konveksi 3 unit usaha. Selain itu, masih ada beberapa jenis industri pengolahan lagi tetapi jumlah dan volume usahanya sangat sedikit/kecil.

3.6. Kondisi Perdagangan dan Restoran

Kegiatan perdagangan di Kota Cilegon dicirikan dengan adanya perdagangan tradisional dan modern. Perdagangan tradisional umumnya berupa perdagangan pada pasar-pasar tradisional yang banyak tersebar di Kota Cilegon, diantaranya Pasar Baru, Pasar Kelapa, Pasar Kranggor, Pasar Cigading, dan Pasar

Merak. Adapun kegiatan perdagangan modern lokasinya lebih terkonsentrasi di sekitar pusat Kota Cilegon, berupa pasar-pasar swalayan skala besar dan juga mall.

Tabel 3.5. Jumlah Perusahaan Perdagangan Nasional di Kota Cilegon Tahun 2012

Perdagangan

No. Kecamatan Jumlah

1. Ciwandan 50 46 3 99 2. Citangkil

Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013

Jenis perdagangan kecil dan menengah yang ada di Kota Cilegon pada tahun 2010 meliputi pedagang alat dan sarana pertanian 69 buah, pakaian jadi 12 buah, toko sembako 118 buah, toko sepatu 7 buah, toko kue dan makanan ringan

12 buah, dagang kerajinan 32 buah, dagang furniture 35 buah, dagang elektronik/voucer dan asesoris handphone/alat listrik 66 buah, bahan bangunan 14 buah, toko buku dan ATK 22 buah, toko obat/apotik sebanyak 33 buah, toko kelontong/waserda 1.399 buah, toko emas 31 buah, dan dagang hasil pertanian 8 buah. Usaha rumah makan/restoran di Kota Cilegon pada tahun 2009 berjumlah

96 buah, dan tersebar di 8 kecamatan.

Tabel 3.6. Jumlah Pasar, Luas Bangunan dan Jumlah Pedagang Pada Toko Swalayan Menurut Kecamatan di Kota Cilegon Tahun 2012

Jumlah Kecamatan

Jumlah

No. Luas Bangunan

Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013

3.7. Kondisi Pariwisata dan Hotel

Kegiatan pariwisata di Kota Cilegon umumnya didominasi oleh kegiatan wisata bahari yang banyak tersebar di sepanjang pesisir pantai. Salah satu objek wisata yang telah dikelola secara baik dan didukung oleh fasilitas yang memadai berupa hotel berbintang yakni pantai Pulorida. Kawasan wisata ini cukup terkenal bahkan hingga ke mancanegara, karenanya kunjungan wisatawan ke kawasan ini, baik wisatawan domestik maupun mancanegara, cukup tinggi.

Kota Cilegon merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang cukup potensial, baik wisatawan domestik maupun mancanegara, mengingat potensi wisata pantai yang cukup potensial dan jaraknya yang relatif dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Jumlah hotel di Kota Cilegon pada tahun 2012 berjumlah 27 unit, yang terdiri atas 8 unit hotel berbintang, dan 19 unit hotel melati.

Tabel 3.7. Jumlah Hotel Menurut Klasifikasi dan Kecamatan di Kota Cilegon Tahun 2012 Hotel

No. Kecamatan Hotel Melati Jumlah

8 19 27 Sumber: Cilegon Dalam Angka, Tahun 2013

BAB IV DATA PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) DI KOTA CILEGON

Kondisi data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ada di Kota Cilegon, dapat diuraikan sebagai berikut;

4.1. Keterlantaran

Keterlantaran mencakup anak balita terlantar, anak terlantar, lanjut usia terlantar dan pekerja migran terlantar. Kriteria keterlantaran pada dasarnya merupakan dampak dari latarbelakang kemiskinan atau juga karena sebab lain, namun lebih fokus pada obyek yang menjadi dampaknya yaitu obyek yang dinilai belum saatnya produktif seperti balita, anak-anak, obyek yang sudah tidak produktif lagi seperti lanjut usia, serta jauh dari wilayah/daerahnya.

Anak dan balita merupakan sumber potensi bangsa serta penerus cita-cita bangsa. Sebagai generasi penerus anak harus memiliki bekal yang cukup memadai. Tahapan yang paling penting pada proses pertumbuhan anak adalah saat balita. Untuk itu mereka perlu mendapat kesempatan serta perhatian yang besar dan berkembang secara wajar baik rohani, jasmani maupun sosialnya.

Tabel 4.1. Jumlah Keterlantaran di Kota Cilegon Tahun 20011-2012

Keterlantaran

No. Kecamatan

Balita

Anak

Lanjut Usia Pekerja Migran

Terlantar

Terlantar

Terlantar Terlantar

3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Anak balita terlantar disebabkan oleh orangtuanya tidak dapat melakukan kewajibannya, yang diantaranya disebabkan oleh: miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya meninggal, anak balita sakit), sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Sebagaimana data di atas, terlihat bahwa jumlah anak balita terlantar mengalami penurunan sebesar 19,32 persen, yaitu dari 88 orang pada tahun 2011 menjadi 71 orang pada tahun 2012.

Dilihat dari sebarannya per kecamatan, pada tahun 2011, jumlah balita terlantar terbanyak berada di Kecamatan Cibeber, sebanyak 26 orang, diikuti Kecamatan Cilegon dan Kecamatan Ciwandan sebanyak 12 orang, Kecamatan Pulomerak

dan Kecamatan Jombang sebanyak 10 orang, serta sisanya lagi sebanyak 18 orang berada di Kecamatan Citangkil, Grogol dan Purwakarta. Sedangkan sebaran anak balita terlantar pada tahun 2012, jumlah terbanyak berada di Kecamatan Jombang, sebanyak 34 orang, diikuti Kecamatan Pulomerak sebanyak 12 orang, Kecamatan

Ciwandan sebanyak 11 orang, Kecamatan Citangkil sebanyak 9 orang, KecamatanGrogol sebanyak 4 orang, dan Kecamatan Purwakarta sebanyak 1 orang. Pada tahun 2012, anak balita terlantar sudah tidak terdapat lagi di Kecamatan Cilegon dan Kecamatan Cibeber.

Anak terlantar merupakan anak usia 5 – 18 tahun yang berpotensi terlantar disebabkan oleh kemungkinan tertentu, diantaranya adalah; miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Di Kota Cilegon sendiri terdapat jumlah anak terlantar, yang menurut data Dinas Kesejahtaraan Sosial Kota Cilegon (2012), terdapat 319 orang anak terlantar pada tahun 2011 dan terdapat sebanyak 207 orang anak terlantar pada tahun 2012.

Sebaran anak terlantar di Kota Cilegon pada tahun 2011 berdasarkan kecamatan, memperlihatkan bahwa jumlah anak terlantar terbanyak berada di Kecamatan Cilegon, sebanyak 121 orang, diikuti Kecamatan Cibeber sebanyak 46 orang, Kecamatan Jombang sebanyak 36 orang, Kecamatan Purwakarta sebanyak 30

orang, Kecamatan Citangkil sebanyak 29 orang, Kecamatan Ciwandan sebanyak 21 orang, Kecamatan Pulomerak sebanyak 20 orang, dan sisanya di Kecamatan Grogol sebanyak 16 orang. Sedangkan sebaran anak terlantar pada tahun 2012, jumlah

terbanyak masih berada di Kecamatan Jombang sebanyak 132 orang, diikuti Kecamatan Ciwandan sebanyak 23 orang, Kecamatan Pulomerak sebanyak 19 orang, Kecamatan Grogol sebanyak 17 orang, Kecamatan Citangkil sebanyak 10 orang, dan Kecamatan Cilegon sebanyak 6 orang. Pada tahun 2012, anak terlantar sudah tidak terdapat lagi di Kecamatan Cibeber dan Kecamatan Purwakarta.

Lanjut usia terlantar adalah setiap orang yang berusia 60 tahun ke atas, dan tidak mempunyai/berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupan sehari-hari (UU Nomor 13 tahun 1998).Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.

Di Kota Cilegon, jumlah penduduk yang terdata termasuk dalam katagori lanjut usia terlantar berjumlah 435 orang pada tahun 2011. Jumlah tersebut meningkat sebesar 57,70 persen pada tahun 2012, menjadi sebesar 686 orang. Jumlah terbanyak lanjut usia terlantar pada tahun 2011 terdapat di Kecamatan Purwakarta, yaitu sebanyak 97 orang, dan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Grogol sebanyak 13 orang. Untuk tahun 2012, lanjut usia terlantar, jumlah terbanyaknya terdapat di Kecamatan Grogol, yaitu sebanyak 200 orang, dan jumlah lanjut usia terlantar paling sedikit, terdapat di Kecamatan Pulomerak, yaitu sebanyak 16 orang.

Berdasarkan kodratnya, secara umum penduduk lanjut usia (lansia) perlu bantuan orang lain untuk mengurus kehidupannya, disamping mereka perlu mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, baik pangan, sandang, papan maupun kesehatannya, serta melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan seperti mengkaji/kegiatan keagamaan, arisan atau olahraga agar tidak terasing dari lingkungannya. Apabila hidup mereka terasing, tidak ada yang mengurus atau tidak berpenghasilan, maka mereka mempunyai masalah kesejahteraan sosial yang pada akhirnya berpotensi terlantar. Lansia berpotensi terlantar antara lain disebabkan tidak mempunyai keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu mengurusnya atau ia tidak mempunyai penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya baik rohani, jasmani maupun sosial. Usia lanjut pada kenyataannya lebih membutuhkan perhatian, agar mereka dapat menjalani masa tuanya secara tenang karena terbatasnya kemampuan fisik dan pada umumnya di usia lanjut kondisi kesehatan seseorangpun mengalami penurunan. Kemiskinan pada tingkat keluarga antara lain sangat mempengaruhi dimana sebagian anggota keluarga tidak terkecuali lansia menjadi terlantar.

Sedangkan pekerja migran terlantar adalah seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan potensial mengalami permasalahan sosial. Indikatornya adalah orang terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar negri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orang-orang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia. Sebagaimana data pada Tabel 4.1., pekerja migran terlantar yang ada di Kota Cilegon periode 2012, jumlahnya hanya sebanyak 1 orang, berada di Kecamatan Jombang. Sedangkan tahun 2011, tidak terdapat pekerja migran terlantar di Kota Cilegon.

4.2. Kemiskinan (Keluarga Fakir Miskin)

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon pada tahun 2012, tercatat bahwa dari 116.896 keluarga, terdapat sebanyak 102.987 jumlah keluarga dalam katagori nonmiskin (88,10%) dan sebanyak 13.909 keluarga dalam katagori miskin (11,90%). Sedangkan kondisi pada tahun 2011, tercatat bahwa dari 115.387 keluarga, terdapat sebanyak 99.426 jumlah keluarga dalam katagori nonmiskin (86,17%) dan sebanyak 15.961 keluarga dalam katagori miskin (13,83%).

Pada Tabel 4.2. berikut memperlihtkan perbandingan antara jumlah keluarga dalam katagori miskin dan keluarga katagori tidak miskin di Kota Cilegon, periode tahun 2011 dan 2012.

Tabel 4.2. Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin di Kota Cilegon Tahun 2011 dan 2012

2012 Katagori Keluarga

Persen Keluarga Persen Katagori Miskin

1. Keluarga Hampir Miskin

2. Keluarga Miskin

3. Keluarga Sangat Miskin

Katagori Tidak Miskin

Sumber : CDA 2012 dan CDA 2013, BPS Kota Cilegon

Berdasarkan Tabel 4.2. di atas, selanjutnya dapat dibuat sebaran keluarga katagori miskin dan keluarga katagori nonmiskin berdasarkan kecamatan di Kota Cilegon, untuk periode tahun 2011 dan 2012.

Tabel 4.3. Jumlah Keluarga Nonmiskin dan Miskin Berdasarkan Kecamatan di Kota Cilegon Tahun 2012

Kategori Keluarga Miskin Persen

h a rg ri o kin

h dari No.

924 2.030 14,59 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Sebaran keluarga fakir miskin berdasarkan kecamatan di Kota Cilegon pada tahun 2012 yang sebanyak 13.909 keluarga, memperlihatkan bahwa jumlah keluarga fakir miskin terbanyak berada di Kecamatan Ciwandan, sebanyak 2.646 keluarga (19,02 persen), diikuti Kecamatan Citangkil sebanyak 2.030 keluarga (14,59

persen), Kecamatan Cibeber sebanyak 1.996 keluarga (14,35 persen), Kecamatan Pulomerak sebanyak 1.865 keluarga (13,41 persen), Kecamatan Jombang sebanyak 1.684 keluarga (12,11%), Kecamatan Grogol sebanyak 1.289 keluarga (9,27%), Kecamatan Purwakarta sebanyak 1.247 keluarga (8,97 persen), dan Kecamatan Cilegon sebanyak 1.152 keluarga (8,28 persen).

Sedangkan sebaran keluarga fakir miskin berdasarkan kecamatan di Kota Cilegon pada tahun 2011, yang sebanyak 15.961 keluarga, memperlihatkan bahwa jumlah keluarga fakir miskin terbanyak berada di Kecamatan Ciwandan, sebanyak 2.756 keluarga (17,82 persen), diikuti Kecamatan Citangkil sebanyak 2.298 keluarga (14,86 persen), Kecamatan Pulomerak sebanyak 2.205 keluarga (14,26 persen),

Kecamatan Jombang sebanyak 2.073 keluarga (13,41 persen), Kecamatan Purwakarta sebanyak 1.396 keluarga (12,33 persen), Kecamatan Cibeber sebanyak 1.676 keluarga (10,84 persen), Kecamatan Purwakarta sebanyak 1.907 keluarga (9,03 persen), dan Kecamatan Cilegon sebanyak 1.650 keluarga (7,45 persen).

Tabel 4.4. Jumlah Keluarga Nonmiskin dan Miskin Berdasarkan Kecamatan di Kota Cilegon Tahun 2011

a Kategori Keluarga Miskin Persen

h dari No.

la Kategori

J um elua

a um Miskin

428 2.298 14,86 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

4.3. Anak Nakal

Anak nakal merupakan anak laki-laki atau perempuan yang berusia 5-18 tahun dan belum menikah, yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi (karena usia) belum dapat dituntut secara hukum.

Sebagian besar anak nakal melakukan perbuatan (secara berulang) yang menyimpang atau melanggar norma masyarakat, seperti: sering bolos sekolah; sering bohong, ingkar/menipu; sering mencuri di lingkungan keluarga; sering merusak barang/peralatan/sarana umum; sering mengganggu orang lain, memancing keributan atau perkelahian; sering meminta uang/barang dengan paksa; perokok dan peminum; melakukan perkelahian massal (tawuran), serta melakukan tindak kriminal seperti perjudian, penodongan, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan pelacuran (membayar/dibayar).

Persoalan anak nakal di perkotaan merupakan persoalan yang sangat kompleks sehingga penanggulangannya memerlukan peran serta dari berbagai macam instansi termasuk masyarakat. Untuk Kota Cilegon sendiri, hanya sedikit sekali jumlah anak nakal yang tercatat di Dinas Sosial, dimana pada tahun 2011 tercatat sebanyak 12 orang, dan jumlahnya makin menurun menjadi 9 orang pada tahun 2012.

Tabel 4.5. Jumlah Anak Nakal di Kota Cilegon Tahun 20011-2012

Anak Nakal No.

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Jumlah anak nakal yang tercatat pada Dinas Sosial pada tahun 2011, sebarannya hanya ada di Kecamatan Jombang, Kecamatan Citangkil, dan Kecamatan Ciwandan, dimana secara berturut-turut masing-masing sebanyak; 5 orang, 2 orang dan 1 orang. Sedangkan di Kecamatan Pulomerak, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Grogol, Kecamatan Cilegon dan Kecamatan Cibeber, tidak terdapat catatan tentang jumlah anak nakal.

Jumlah anak nakal di Kota Cilegon pada tahun 2012, meningkat jumlahnya menjadi tinggal 9 orang. Adapun sebarannya terdapat di Kecamatan Jombang sebanyak 4 orang, Kecamatan Ciwandan sebanyak 3 orang dan di Kecamatan Purwakarta, yaitu sebanyak 2 orang. Sedangkan di Kecamatan lainnya, tidak terdapat catatan tentang jumlah anak nakal.

4.4. Anak Jalanan

Anak jalanan merupakan anak yang berusia 5-18 tahun dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Sebagian besar anak jalanan melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu, seperti pedagang asongan, penjual koran, tukang semir, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, tukang parkir, pembawa belanjaan di pasar atau yang melakukan usaha lain untuk mendapatkan uang. Kegiatan yang mereka lakukan dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum.

Fenomena anak-anak jalanan yang berkeliaran khususnya di Kota Cilegon adalah bagian dari pemandangan keseharian. Banyaknya anak jalanan merupakan masalah klasik, yamg sudah ada sejak dulu namun sampai saat ini belum bisa ditanggulangi secara tuntas. Persoalan anak jalanan merupakan persoalan yang sangat kompleks sehingga penanggulangannya memerlukan peran serta dari berbagai macam instansi termasuk masyarakat. Dalam hal ini, peran masyarakat yang biasanya bergerak di bawah bendera lembaga swadaya masyaakat (LSM) terkesan lebih tanggap daripada peran yang dilakukan oleh pemerintah.

Tabel 4.6. Jumlah Anak Jalanan di Kota Cilegon Tahun 20011-2012

Anak Jalanan No.

1. Ciwandan 0 1 2. Citangkil

0 11 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Sebagaimana data di atas, terlihat bahwa jumlah anak jalanan mengalami penurunan sebesar 41,67 persen, yaitu dari 60 orang pada tahun 2011 menjadi 34 orang pada tahun 2012. Dilihat dari sebarannya per kecamatan, pada tahun 2011, jumlah anak jalanan paling banyak terdapat di Kecamatan Jombang, Pulomerak dan Kecamatan Grogol, yaitu berturut-turut sebanyak; 31 orang; 18 orang; dan 8 orang.

Sedangkan sebagiannya lagi terdapat di Kecamatan purwakarta sebanyak 3 orang. Sedangkan pada tahun 2012, jumlah sebaran anak jalanan terbanyak

berada di Kecamatan Citangkil sebanyak 11 orang, diikuti Kecamatan Cilegon sebanyak 8 orang, Kecamatan Purwakarta sebanyak 7 orang, Kecamatan Jombang sebanyak 5 orang, Kecamatan Grogol sebanyak 2 orang, dan Kecamatan Ciwandan sebanyak 1 orang.

4.5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi

Wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) adalah seorang wanita dewasa belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (Keputusan Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996). Wanita rawan sosial ekonomi pada umumnya memiliki ciri-ciri; berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum (sesuai kriteria fakir miskin), tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat/maksimal pendidikan dasar), isteri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah, serta sakit sehingga tidak mampu bekerja.

Sebagaimana data Tabel 4.7., terlihat bahwa jumlah wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) mengalami peningkatan drastis, yaitu dari 13 orang pada tahun 2011 menjadi 1.488 orang pada tahun 2012. Dilihat dari sebarannya per kecamatan, pada tahun 2011, jumlah WRSE paling banyak terdapat di Kecamatan

Citangkil, yaitu sebanyak 3 orang, diikuti di Kecamatan Grogol sebanyak 3 orang, dan Kecamatan Pulomerak sebanyak 1 orang. Sedangkan di Kecamatan Ciwandan, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Cilegon, Kecamatan Jombang, dan Kecamatan Cibeber, tidak terdapat wanita rawan sosial ekonomi.

Tabel 4.7. Jumlah Wanita Rawan Sosial Ekonomi di Kota Cilegon Tahun 2011-2012 WRSE

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012 Sedangkan pada tahun 2012, jumlah sebaran wanita rawan sosial ekonomi,

terbanyak berada di Kecamatan Pulomerak sebanyak 456 orang, diikuti Kecamatan Ciwandan sebanyak 333 orang, Kecamatan Cibeber sebanyak 228 orang, Kecamatan Cilegon sebanyak 143 orang, Kecamatan Jombang sebanyak 136 orang, Kecamatan Citangkil sebanyak 75 orang, Kecamatan Purakarta sebanyak 74 orang, dan Kecamatan Grogol sebanyak 43 orang.

4.6. Korban Tindak Kekerasan

Korban tindak kekerasan adalah wanita 18 –59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah, yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya. Secara umum, termasuk pada kategori korban tindak kekerasan ini diantaranya; tidak diberi nafkah atau Korban tindak kekerasan adalah wanita 18 –59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah, yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya. Secara umum, termasuk pada kategori korban tindak kekerasan ini diantaranya; tidak diberi nafkah atau

Tabel 4.8. Jumlah Korban Tindak Kekerasan di Kota Cilegon Tahun 2011-2012

Korban Tindak Kekerasan No.

1. Ciwandan 0 7 2. Citangkil

1 1 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Sebagaimana data di atas, terlihat bahwa jumlah korban tindak kekerasan mengalami peningkatan sebesar 800,00 persen, yaitu dari 3 orang pada tahun 2011 menjadi 27 orang pada tahun 2012. Dilihat dari sebarannya per kecamatan, pada tahun 2011, korban tindak kekerasan terdapat di Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Jombang, dimana masing-masing sebanyak 1 orang menjadi korban tindak kekerasan.

Sedangkan pada tahun 2012, jumlah sebaran korban tindak kekerasan, meningkat menjadi 27 orang, sebaran terbanyak berada di Kecamatan Cibeber sebanyak 11 orang, diikuti Kecamatan Ciwandan sebanyak 7 orang, Kecamatan

Purwakarta sebanyak 3 orang, Kecamatan Grogol dan Cilegon masing-masing sebanyak 2 Purwakarta sebanyak 3 orang, Kecamatan Grogol dan Cilegon masing-masing sebanyak 2

kekerasan.

4.7. Penyandang Cacat

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara layaknya yang terdiri dari; penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental (UU Nomor 4 tahun 1997).

Penyandang cacat menjadi masalah sosial karena salah satu faktor penghambat kemajuan orang cacat adalah perlakuan orang-orang normal terhadap mereka. Sikap masyarakat mereka pada umumnya negatif, sehingga tidak jarang diantara mereka tersisihkan dari pergaulan. Banyak penyandang cacat khususnya yang menderita keterbelakangan mental dan ketidakmampuan berkomunikasi, ditinggalkan begitu saja tanpa ada dorongan apapun sejak mereka masih bayi. Karena itu penyandang cacat harus dibantu agar mampu dengan kesadaran dan

kekuatannnya sendiri “ bersaing” secara sehat dengan masyarakat lainnya. Jumlah penyandang cacat di Kota Cilegon pada tahun 2011 sebanyak 290

jiwa dan meningkat menjadi 1.178 pada tahun 2012. Jumlah penyandang cacat sejatinya diharapkan dapat terus menurun dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat.

Tabel 4.9. Jumlah Penyandang Cacat di Kota Cilegon Tahun 2011-2012

Penyandang Cacat No.

1. Ciwandan 75 230 2. Citangkil

57 243 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Pada tahun 2011, jumlah penyandang cacat terbanyak berada di Kecamatan Purwakarta, yaitu berjumlah 83 orang, dan jumlah penyandang cacat paling sedikit terdapat di Kecamatan Jombang , yaitu sebanyak 7 orang. Sedangkan pada tahun 2012, jumlah penyandang cacat paling banyak berada di Kecamatan Citangkil sebanyak 243 orang, diikuti oleh Kecamatan Ciwandan diurutan kedua,

sebanyak 230 orang. Sementara itu, jumlah penyandang cacat paling sedikit terdapat di Kecamatan Pulomerak yaitu sebanyak 62 orang.

4.8. Ketunaan Sosial dan Penyimpangan Perilaku

Ketunaan sosial adalah ketidakmampuan untuk melaksanakan kehidupan yang layak atau sesuai dengan norma agama, sosial atau hukum serta secara sosial cenderung terisolasi dari kehidupan masyarakatnya. Tuna susila merupakan seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18 – 59 tahun, yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.

Virus sosial dalam bentuk maraknya praktek/transaksi seks oleh para tuna susila atau wanita penjaja seks komersial (PSK) senantiasa mewarnai situasi sosial di Kota Cilegon. Operasi tantib misalnya seringkali menjaring para tuna susila. Hal ini menandakan bahwa Kota Cilegon khususnya di tempat-tempat tertentu (pusat hiburan, dijalanan dan tempat terselubung) seringkali dijadikan transaksi seks.

Tabel 4.10. Jumlah Jenis Ketunaan Sosial dan Penyimpangan Perilaku

di Kota Cilegon Tahun 2011-2012

Jenis Ketunaan Sosial dan Penyimpangan Perilaku

Bekas Warga No.

Orang dengan

Kecamatan

Tuna Susila

HIV/AIDS

Binaan LP Korban Napza

1 Ciwandan 0 8 2 0 3 0 1 0 2 Citangkil

9 1 3 1 5 7 4 4 3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Pada tahun 2011, jumlah tuna susila di Kota Cilegon berjumlah 184 orang, dengan jumlah terbanyak terdapat di Kecamatan Pulomerak sebanyak 160 orang, diikuti Kecamatan Cilegon sebanyak 15 orang, dan Kecamatan Citangkil sebanyak 9 orang tuna susila. Berkat berbagai upaya penertiban dan pendekatan secara personal maupun keagamaan terhadap para tuna susila yang terjaring, jumlah tuna susila pada tahun 2012 semakin berkurang menjadi 40 orang. Kedepan, keberadaan jumlah tuna susila diharapkan makin mengecil dan dapat menghilang di Kota Cilegon.

Akibat praktek tuna susila, beberap diantaranya kedapatan terjangkit penyakit kelamin dan virus HIV. Seseorang yang terjangkit tersebut disebut dengan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA adalah seseorang yang dengan rekomendasi profesional/petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS). Jumlah ODHA berdasarkan pendataan Dinas Sosial Kota Cilegon pada tahun 2011, cukup mencengangkan, yaitu terdapat sebanyak 32 orang ODHA, dengan jumlah terbesar terdapat di Kecamatan Pulomerak sebanyak 21 orang, diikuti di Kecamatan Grogol sebanyak 5 orang, dan Kecamatan Citangkil sebanyak 3 orang.

Kota Cilegon termasuk kategori concentrated level epidemic yaitu sebagai wilayah yang merupakan jalur lalu lintas utama Jawa-Sumatera, hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebaran HIV/AIDS. Program penanggulangan HIV/AIDS diarahkan ke usaha promotif dan preventif tetapi tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Berdasarkan upaya-upaya tersebut, pada pendataan Dinas Sosial di tahun 2012, jumlah ODHA di Kota Cilegon menurun tajam menjadi hanya 3 orang saja, dengan 2 orang ODHA terdapat di Kecamatan Purwakarta, dan sisanya 1 orang lagi terdapat di Kecamatan Citangkil.

Disamping tuna susila, perilaku menyimpang lainnya adalah berbagai kejahatan yang dilakukan narapidana (pelaku kejahatan) dan mantan narapidana (pelaku kejahatan yang telah menyelesaikan masa hukumannnya) yang mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, yang kadangkala terjerumus kembali untuk melakukan kejahatan, serta penggunaan barang haram seperti Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif (Napza) di luar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.

Pada tahun 2011, bekas warga binaan LP di Kota Cilegon, berjumlah 60 orang, jumlah tersebut terus mengalami penurunan menjadi 18 orang pada tahun 2012. Untuk korban Napza, terdapat 18 orang korban napza yang terdata di Dinas Sosial Kota Cilegon pada tahun 2011, dan jumlahnya terus mengalami penurunan menjadi 15 orang pada tahun 2012. Kecamatan Jombang, didapati sebagai kecamatan dengan jumlah bekas warga binaan LP terbanyak di Kota Cilegon pada tahun 2011. Sedangkan, paling sedikit jumlah bekas warga binaan LP pada tahun yang sama berada di Kecamatan Cibeber, yaitu berjumlah 1 orang . Sedangkan korban napza, terdapat sekitar 1 – 4 orang, tersebar di masing-masing kecamatan yang ada di Kota Cilegon. Kecuali tahun 2012, terdapat 6 orang Koran napza, yang terdapat di

Kecamatan Purwakarta.

4.9. Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Besarnya tingkat kemiskinan di Kota Cilegon telah menimbulkan efek turunan yaitu munculnya para gelandangan dan pengemis. Persoalan munculnya gelandangan dan pengemis ini tidak bisa ditimpakan hanya pada satu faktor saja yaitu kemiskinan sebab bila diteliti lebih mendalam lagi kemungkinan penyebab lain masih ada.

Gelandangan adalah orang-orang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum. Gelandangan dicirikan oleh; tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya, tidak mempunyai pekerjaan tetap, serta meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas dan lain-lain.

Berbeda dengan gelandangan, pengemis adalah orang-orang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Pengemis biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya. Hanya saja, pengemis memiliki pekerjaan meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu merah), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya, serta bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain, dengan cara berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.

Tabel 4.11. Jumlah Gelandangan dan Pengemis di Kota Cilegon Tahun 2011-2012

Pengemis No.

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Berdasarkan data pada tabel di atas, jumlah gelandangan yang terdata Dinas Sosial Kota Cilegon pada tahun 2011 dan 2012, masing-masing tercatat sebesar 1 orang dan 21 orang. Sedangkan jumlah pengemis yang terdata pada periode yang sama adalah sejumlah 13 orang dan 21 orang. Dengan demikian, selama kurun waktu tersebut terdapat kenaikan sebesar 2.000 persen untuk jumlah gelandangan, dan terdapat kenaikan sebesar 61,54 persen. Pada tahun 2012, sebaran terbanyak jumlah gelandangan dan pengemis terdapat di Kecamatan Grogol, yaitu sebesar 10 orang dan 11 orang untuk keduanya.

4.10. Keluarga Rentan

Keluarga Rentan adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Adalah keluarga yang masih berkategori tidak bermasalah, namun jika tidak diberdayakan melalui bimbingan sosial akan mengalami masalah tertentu. Keluarga rentan tersebut berada pada batas marginal dan menjadi rentan terhadap masalah sosial lainnya.

Tabel 4.12. Jumlah Keluarga Rentan di Kota Cilegon Tahun 2011-2012

Keluarga Rentan No.

Kecamatan

Sosial Ekonomi

Sosial Psikologi

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Jumlah keluarga rentan yang memiliki tendensi masalah ekonomi di Kota Cilegon pada tahun 2011 sebanyak 247 jiwa dan terus meningkat menjadi 1.079 pada tahun 2012. Sedangkan jumlah keluarga rentan yang memiliki tendensi bermasalah psikologi di Kota Cilegon pada tahun 2011 sebanyak 504 jiwa dan kecenderungan mengalami penurunan menjadi 193 pada tahun 2012.

4.11. Keluarga Berumah Tidak Layak Huni

Keluarga berumah tidak layak huni adalah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial. Keluarga berumah tidak layak huni dapat dikenali dengan memperhatikan; kondisi rumah, kondisi lingkungan dan kondisi keluarga.

Termasuk keluarga berumah tidak layak huni manakala kondisi rumahnya,

2 berkategori; luas lantai per kapita kota < 4m 2 , desa < 10 m ; sumber air tidak sehat dan akses memperoleh air bersih terbatas; tidak mempunyai akses MCK; bahan

bangunan tidak permanen atau atap/dinding dari bamboo/rumbia; tidak memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara; tidak memiliki pembagian ruangan; lantai dari tanah dan rumah lembab atau pengap; letak rumah tidak teratur dan berdempetan; serta kondisi rumah rusak. Termasuk keluarga berumah tidak layak huni manakala kondisi lingkungannya; kumuh dan becek; saluran pembuangan air tidak memenuhi standar; dan jalan setapak tidak teratur.

Tabel 4.13. Jumlah Keluarga Berumah Tidak Layak Huni di Kota Cilegon Tahun 20011-2012

Keluarga Berumah Tidak No.

Kecamatan

Layak Huni 2011

1. Ciwandan 15 64 2. Citangkil

27 225 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Kondisi keluarga berumah tidak layak huni tersebut disebabkan oleh kondisi keluarga yang miskin, dengan pengeluaran biaya hidup tidak melebihi Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan, serta kesadaran untuk ikut serta memiliki dan memelihara lingkungan pada umumnya rendah (ikut bersih kampung, ikut kerja bakti, membuang sampah sembarangan di sungai).

Pada tahun 2011, jumlah keluarga berumah tidak layak huni di Kota Cilegon, tercatat sebanyak 71 keluarga. Tahun berikutnya, jumlah keluarga berumah tidak layak huni meningkat 695,77 persen menjadi sebanyak 565 keluarga . Jumlah terbanyak keluarga berumah tidak layak huni tahun 2011, terdapat di Kecamatan Purwakarta dan Kecamatan Citangkil sebanyak 27 keluarga. Sedangkan pada tahun 2012, jumlah keluarga berumah tidak layak huni paling banyak berada di Kecamatan Citangkil sebanyak 225 keluarga , diikuti oleh Kecamatan Jombang diurutan kedua, sebanyak 99 keluarga, dan diurutan selanjutnya Kecamatan Purwakarta sebanyak 96 keluarga . Sementara itu, jumlah paling sedikit keluarga berumah tidak layak huni pada tahun 2012 di Kota Cilegon, terdapat di Kecamatan Cilegon yaitu sebanyak 9 keluarga.

4.12. Korban Bencana Alam dan Sosial

Lingkungan tempat tinggal ternyata tidak seluruhnya aman dari berbagai bencana alam. Daerah dikatakan rawan bencana alam mencakup daerah yang pernah mengalami bencana alam, atau belum terjadi namun berpotensi untuk setiap saat terjadi bencana alam (seperti gempa bumi, tanah longsor dan banjir). Sebagian lingkungan di pinggir pantai/laut merupakan wilayah yang berpotensi rawan bencana. Belum lagi buruknya penataan lingkungan menambah persoalan rawan dari bencana. Bencana banjir, abrasi pantai, angin topan dan gempa bumi di beberapa wilayah di Kota Cilegon hampir setiap tahun terjadi.

Tabel 4.14. Banyaknya Korban Bencana Alam Menurut Jenisnya di Kota Cilegon Tahun 2012

Jumlah Keluarga, Korban Bencana Alam No

Lainnya Jumlah

JUMLAH 1.744 3 1 - 331 2.081 Sumber: CDA, Tahun 2013

Pada tahun 2012 jumlah korban bencana alam menimpa sebanyak 2.081 keluarga yang diakibatkan oleh masalah banjir, kebakaran, angin topan, dan lainnya. Jumlah korban terbanyak akibat bencana alam yang dapat berpengaruh terhadap masalaah kesejahteraan sosial, terdapat di Kecamatan Cibeber sebanyak 866 keluarga, dan di Kecaoamat Jombanh sebanyak 819 keluarga.

Tabel 4.15. Jumlah Keluarga Korban Bencana Sosial di Kota Cilegon Tahun 20011-2012

Korban Bencana Sosial No.

0 0 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

Sementara itu, keluarga korban akibat bencana sosial pada tahun 2012 di Kota Cilegon, hanya sebanyak 14 keluarga, yang berada di Kecamatan Pulomerak.

Adanya bencana alam dan bencana sosial menyebabkan perorangan,

keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana alam atau musibah lainnya yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas- tugas kehidupannya.

Rekapitulasi jumlah PMKS yang ada di Kota Cilegon periode 2011-2012 sebagaimana tampak pada Tabel di bawah ini:

Tabel 4.16. Jumlah PMKS di Kota Cilegon Periode 2011-2012

Data PMKS Kecamatan

No. Kecamatan Ciwandan

Cilegon Jombang Cibeber 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012

Citangkil

Pulo Meran Purwakarta

Grogol

1. Balita Terlantar 12 11 4 9 10 12 8 1 6 4 12 0 10 34 26 0 2. Anak Terlantar

6 36 132 46 0 3. Lanjut Usia terlantar

84 171 57 105 59 27 4. Pekerja Migran Terlantar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

5. Fakir Miskin (RT) 2756 2646 2298 2030 2205 1865 1396 1247 1907 1289 1650 1152 2073 1684 1676 1996 6. Anak Nakal

1 3 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 5 4 0 0 7. Anak Jalanan

0 1 0 11 18 0 3 7 8 2 0 8 31 5 0 0 8. Wanita Rawan Sosek

0 73 3 43 0 143 0 136 0 228 9. Korban Tindak Kekerasan 0

7 1 1 0 0 0 3 1 2 0 2 1 1 0 11 10. Penyandang Cacat

35 73 8 189 8 98 17 170 11. Tuna Susila

11 0 8 0 2 15 1 0 9 0 82 12. Orang dengan HIV/AIDS

2 0 3 1 21 0 1 2 5 0 0 0 0 0 0 0 13. Bekas Warga Binaan

3 0 5 7 12 0 8 6 6 0 7 0 18 3 1 2 14. Korban Napza

1 0 4 4 1 1 3 6 1 0 3 0 2 1 3 3 15. Gelandangan

0 0 1 4 0 0 0 1 0 0 0 10 0 3 0 3 16. Pengemis

0 0 10 3 0 0 1 0 1 0 1 11 0 4 0 3 17. Keluarga Bermasalah Sosial Ekonomi

15 62 0 0 9 9 11 583 18. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis

7 35 19 14 0 25 32 33 56 41 49 18 6 Keluarga berumah tidak

19. layak huni

0 21 27 96 0 18 2 9 0 99 0 33 20. Korban bencana alam

0 0 0 60 0 819 0 866 21 . Korban bencana sosial

0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 22. Komunitas Adat terpencil 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah

Sumber : Tabel 4.1. hingga Tabel 4.15., Dinas Sosial Kota Cilegon, 2012, diolah

BAB V KONDISI EXISTING PELAYANAN SOSIAL TERHADAP MASYARAKAT KOTA CILEGON DAN EVALUASI

5.1. Kondisi Existing Pelaksanaan Pelayanan Sosial

Kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dewasa ini akibat kemajuan teknologi, industrialisasi, urbanisasi dan berbagai gejolak kemasyarakatan, telah menimbulkan banyak masalah sosial. Hal ini ditandai dengan ragam kehidupan sosial masyarakat yang penuh kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi, yang berdampak tingginya beban ekonomi masyarakat, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat, dan menurunnya ketertiban umum serta ketentraman masyarakat.

Masalah sosial merupakan gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan akibat ketidakberfungsian dari unsur-unsur masyarakat yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah masyarakat dan problema sosial adalah dua macam persoalan dalam masalah sosial.

Masalah sosial timbul dari berbagai sebab, baik faktor pelaku ( internal factors ) maupun faktor lingkungan ( external factors ). Faktor-faktor internal dan eksternal saling berinteraksi dan berinterdependensi, sehingga masalah sosial biasanya kompleks dan tidak mudah dipecahkan. Masalah sosial mempunyai berbagai dimensi, baik ekonomi, sosial, budaya, biologis, psikologis, spiritual, hukum, maupun keamanan, sehingga masalah sosial hanya bisa didekati secara lintas sektor dan interdisipliner

Perubahan dan perkembangan masyarakat terjadi secara bervariasi, artinya ada yang terjadi secara lambat ( evolusion ), namun ada yang terjadi secara cepat ( revolution ). Perubahan dan perkembangan masyarakat secara cepat, apalagi tidak direncanakan dengan baik ( unplanned ), biasanya menimbulkan masalah sosial. Masyarakat senantiasa berupaya menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan tersebut, namun biasanya ada sekelompok individu yang tidak mampu melakukannya, sehingga berada dalam kesulitan ( private troubles ) dan masalah ( private problems ).

Pada umumnya, masalah sosial yang berkembang pada saat ini terbagi ke dalam dua golongan, yaitu :

1. Masalah sosial konvensional ( persistent social problems ) atau disebut juga masalah sosial tradisional. Jenis masalah ini pada dasarnya senantiasa ada sejak aman dahulu. Keberadaannya kurang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi serta proses perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Masalah sosial konvensional, diantaranya :

a. Kemiskinan, baik yang terjadi di pedesaan maupun perkotaan. Karakteristik penduduk yang tergolong ke dalam masalah kemiskinan adalah kelompok fakir, kelompok miskin, dan kelompok kelas bawah atau warga kurang beruntung serta kelompok residual atau marginal.

b. Wanita rawan sosial ekonomi.

c. Keterlantaran, meliputi : Balita terlantar, Anak terlantar, lanjut usia terlantar

d. Keterasingan/keterpencilan, yang termasuk kedalam kelompok ini adalah masyarakat terasing atau komunitas adat terpencil (KAT),

e. Kecacatan.

f. Ketunaan Sosial

g. Bencana, baik yang diakibatkan oleh peristiwa alam, ulah manusia maupun kombinasi keduanya.

2. Masalah sosial kontemporer disebut juga masalah sosial baru merupakan masalah sosial yang timbul karena berbagai dampak pembangunan atau kebijakan politik dewasa ini serta perubahan dan perkembangan masyarakat. Masalah sosial yang termasuk ke dalam kelompok masalah sosial kontemporer diantaranya;

a. Korban tindak kekerasan/perlakuan salah

b. Anak jalanan

c. Keluarga yang bermasalah sosial psikologis

d. Korban Penyalahgunaan Narkoba

e. Psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) HIV/AIDS, dan;

f. Pemukiman tidak layak huni. Apabila tidak segera ditangani, maka masalah ini akan semakin menyebar dan semakin berdampak pada masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang terintegrasi dan terorganisasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Usaha dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di nasional maupun di daerah merupakan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah adalah menetapkan regulasi dan memberikan fasilitas.

Peran pelayanan sosial oleh masyarakat, sepatutnya dan perlu dilakukan oleh keluarganya, tetangganya, lembaga/badan/organisasi sosial, keagamaan, dll, khususnya terhadap orang yang sedang mengalami masalah sosial disebabkan mereka sendiri tidak dapat mengatasi masalahnya karena itu maka diperlukan adanya perhatian dan bantuan dari pihak/orang lain.

Seseorang individu, suatu keluarga atau suatu lembaga/badan/organisasi yang memberikan bantuan atau pelayanan dalam bentuk apapun kepada seseorang yang sedang mengalami sesuatu masalah sosial, berarti mereka sedang atau telah melakukan praktek pekerjaan sosial dalam arti yang sederhana dan tradisional maupun yang bersifat kompleks dan professional.

Dimasa lalu, pelaksanaan kegiatan pelayanan social umumnya dilakukan atas dasar belas kasihan dan ajaran agama oleh individu dan badan-badan keagamaan, badan sosial, masyarakat maupun pemerintah. Dengan berkembangnya waktu, pekerjaan sosial kemudian berkembang menjadi pekerjaan sosial profesional. Hal tersebut seiring dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menyebabkan penerima pelayanan menghendaki:

1. Pelayanan yang tepat, cepat, dan profesional. 2. Pelayanan yang berorentasi pada kompetensi. 3. Pelayanan yang mengedepankan Hak Asasi Manusia. 4. Pelayanan yang berdimensi keadilan dan pemberdayaan. 5. Pelayanan yang berorentasi kepada kebutuhan klien.

Oleh karena itu, bentuk kegiatan pelaksanaan usaha dan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial perlu dilaksanakan secara profesional, yang meliputi: a. Penyuluhan dan bimbingan sosial . b. Penyembuhan dan pemulihan sosial c. Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial. d. Pengembangan nilai-nilai, potensi dan sumber kesejahteraan sosial. e. Pengorganisasian, pengadministrasian dan pengelolaan lembaga kesejahteraan

sosial.

f. Perumusan kebijakan dan perencanaan program kesejahteraan sosial.

Pelaksanaan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial oleh Dinas Sosial merupakan bentuk amanat dari pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Pembangunan nasional/daerah harus memperhatikan berbagai aspek-aspek sosial dan ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2003) dalam Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial, menyatakan:

Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan.

Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sebaik-baiknya dalam upaya menciptakan suatu kondisi tata kehidupan sosial yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga memungkinkan setiap warga masyarakat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya secara layak bagi individu, keluarga maupun masyarakat.

Arah pembangunan kesejahteraan sosial adalah seperti yang tertuang di bawah ini :

a. Pencegahan, mencakup kegiatan mencegah timbul, meluas serta kambuhnya permasalahan baik dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat.

b. Rehabilitasi, merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

c. Pengembangan, merupakan upaya pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial para PMKS melalui penggalian dan pendayagunaan potensi dirinya.

d. Penunjang, merupakan fungsi pendorong dan pendukung yang turut menentukan keberhasilan pembangunan. Pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalani fungsi sosialnya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan sosial.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor; 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:

1) Rehabilitasi sosial, yang dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar yang dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.

2) Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.

3) Pemberdayaan sosial yang dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok,dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri juga 3) Pemberdayaan sosial yang dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok,dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri juga

a) Peningkatan kemauan dan kemampuan;

b) Penggalian potensi dan sumber daya;

c) Penggalian nilai-nilai dasar;

d) Pemberian akses; dan/atau

e) Pemberian bantuan usaha.

4) Perlindungan sosial, yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan sosial tersebut dilaksanakan melalui: bantuan sosial dan advokasi sosial; dan/atau bantuan hukum.

Tujuan Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup:

a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.

b. Peningkatan keberdayaan melalui penepatan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.

c. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan

kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, pembangunan kesejahteraan sosial hendaknya dilaksanakan berdasarkan, sebagai berikut :

1) Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan melalui usaha kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang melembaga.

2) Usaha kesejahteraan sosial yang mencakup semua program dan kegiatan yang ditunjukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial dilaksanakan sebagai tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah.

3) Peningkatan kualitas dan efektifitas pelayanan sosial.

4) Perluasan jangkuan pelayanan sosial yang makin adil dan merata.

5) Peningkatan profesionalitas pelayanan sosial. Baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah.

6) Pengutamaan fungsi pencegahan dan pengembangan di samping fungsi rehabilitasi dan bantuan.

7) Pembinaan dan pengembangan keterpaduan dalam kerja sama intra dan inter sektoral.

8) Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial dalam masyarakat. Kementerian Sosial Republik Indonesia, telah merancang berbagai program prioritas pembangunan kesejahteraan sosial yang harus pula dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota di daerah, seperti:

 Program penanggulangan kemiskinan, penanggulangan keterlantaran, pelayanan dan rehabilitasi cacat, ketunaan sosial dan penanggulangan

bencana termasuk pengungsi.  Program dan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial seperti pelayanan kesejahteraan anak, kesejahteraan sosial lanjut usia, rehabilitasi penyandang cacat, rehabilitasi tuna sosial dan rehabilitasi sosial korban NAPZA.

 Program bantuan dan jaminan sosial seperti bantuan korban bencana seperti bencana alam termasuk kondisi rawan dan rentan bencana, pengungsi,

kecelakaan dan masyarakat dalam kondisi konflik.  Program penanganan fakir miskin di kota, pinggiran kota, di desa dan desa

nelayan pantai. Penanganannya melalui kelompok usaha bersama (KUBE) dan Adopsi Desa Miskin (ADEM).

Sementara itu, di Kota Cilegon sendiri, pelaksanaan kegiatan pelayanan terhadap masyarakat Kota Cilegon dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, sebagai bagian dari perwujudan visi dan misi Dinas Sosial Kota Cilegon tahun 2010 – 2015, yaitu: Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat”. Penjabaran dari visi ini dimaksudkan bahwa pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat ditujukkan untuk mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang masuk ke dalam kategori PMKS menjadi berkesejahteraan sosial.

Pemerintah Kota Cilegon, melalui perangkat yang ada, pada dasarnya telah dan terus akan melaksanakan pelayanan sosial dalam rangka pembangunan kesejahteraan sosial. Tujuan utamanya pelaksanaan tersebut, termuat dalam misi Dinas Sosial, yaitu dalam rangka;

a. Meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

b. Meningkatkan pemberdayaan terhadap potensi (PSKS) dan sumber kesejahteraan dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM).

c. Meningkatkan pembinaan dan pelayanan bantuan sosial, jaminan social dan penanggulangan bencana.

d. Terwujudnya peningkatan kinerja kelembagaan SKPD untuk mendukung pelayanan sosial.

Tujuan jangka panjang dari aplikasi visi dan misi Dinas Sosial adalah meningkatnya keberdayaan dan kualitas kesejahteraan sosial masyarakat. Sedangkan tujuan jangka menengahnya adalah menurunnya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

Untuk mencapai sasaran jangka menengah tersebut, telah dirancang berbagai kebijakan, yaitu:

1. Peningkatan pelayanan bagi orang terlantar dalam perjalanan dan pemakaman jenazah terlantar serta pengelolaan tempat pemakaman umum.

2. Pembangunan Panti rehabilitasi sosial terpadu dan pembinaan PMKS.

3. Fasilitas bantuan dan pelatihan peningkatan kualitas tenaga sosial.

4. Fasilitas bantuan dan pemberdayaan sosial dan kepemudaan.

5. Peningkatan kapasitas tagana dan penanggulangan bencana.

6. Perluasan cakupan pelayanan jaminan sosial. Beberapa program telah disusun dalam rangka pelaksanaan pelayanan

sosial. Program-program utama yang akan dan telah dilaksanakan dalam rangka pelayanan sosial, diantaranya adalah;

a. Program Pelayanan, Rehabilitasi Sosial dan Pemakaman.

b. Program Pemberdayaan Sosial.

c. Program Bantuan Sosial, Jaminan Sosial dan Penanggulangan Bencana.

d. Program Dukungan Pelayanan Pemerintah.

Selama tahun 2011-2012, Dinas Sosial Kota Cilegon secara sungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan program-program utama pelayanan sosial dalam rangka pembangunan kesejahteraan sosial di Kota Cilegon, yaitu dengan cara menyediakan porsi anggaran dalam mendukung tercapainya pelaksanaan program utama tersebut.

5.1.1. Program Pelayanan, Rehabilitasi Sosial dan Pemakaman

Untuk mendukung tercapainya program pelayanan, rehabilitasi sosial dan pemakaman, telah dilakukan 4 kegiatan pelayanan sosial di tahun 2011 dengan jumlah anggaran sebanyak Rp 318.790.800,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pelayanan bagi orang terlantar dalam perjalanan dan pemakaman jenazah terlantar.

2. Pembinaan pekerja seks komersial (PSK).

3. Pendidikan dan pelatihan anak jalanan.

4. Penertiban PSK, gepeng, anak jalanan dan orang gila. Sedangkan di Tahun 2012, telah dilaksanakan 7 (tujuh) buah pelayanan sosial, dengan jumlah anggaran sebanyak Rp. 643.854.300,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pelayanan bagi orang terlantar dalam perjalanan dan pemakaman jenazah terlantar.

2. Pengadaan peralatan dan perlengkapan TPU Cikerai dan rumah penjaga makam.

3. Pembinaan PSK (pelatihan ketrampilan tata boga)

4. Akurasi data PMKS by name by addres .

5. Pembinaan anak jalanan (pelatihan ketrampilan cuci steam).

6. Pembinaan lansia produktif (UEP Warungan). Implementasi pelayanan sosial dari pelaksanaan program pelayanan, rehabilitasi sosial dan pemakaman, dapat disarikan sebagai berikut:

 Penyewaan Rumah Singgah Dalam rangka menampung anak-anak jalanan, Dinas Sosial menyewa rumah untuk dijadikan rumah tinggal dan alokasi anggaran sewa rumah singgah ini terdapat dalam DPA Pembinaan Anak Jalanan/Gepeng, PSK, Fakir Miskin, Penyandang Catat dan Orang Tua Cacat.

 Penanganan dan rehabilitasi penyandang PMKS Dalam rangka penanganan dan rehabilitasi penyandang PMKS,

telah dilakukan berbagai macam pembinaan terhadap PMKS, diantaranya adalah:

a. Pelayanan orang terlantar dalam perjalanan dan pemakaman jenazah terlantar Pelayanan orang terlantar dalam perjalanan merupakan kegiatan pelayanan bagi orang-orang yang terlantar dalam perjalanan karena kehabisan ongkos, kecopetan, atau tidak memiliki biaya untuk ongkos ketempat tujuan. Sedangkan pemakaman jenazah terlantar merupakan bantuan yang diperuntukkan untuk biaya pemakaman jenazah yang terlantar di wilayah hukum Kota Cilegon.

Jumlah anggaran untuk pelayanan ini sebanyak Rp119.210.800,- pada tahun 20010 dan Rp 122.435.000,- pada tahun 2012. Pada tahun 2009, pelayanan yang dilakukan terhadap jumlah orang terlantar dalam perjalanan sebanyak 220 orang, jumlah tersebut makin meningkat pada tahun-tahun berikutnya menjadi 258 orang pada tahun 2010, 325 orang pada tahun 2011, dan 315 orang pada tahun 2012. Sedangkan jumlah jenazah terlantar yang dapat dibantu biaya pemakamannya selama periode 2010-2012, adalah sebanyak 4 jenazah, 6 jenazah, dan 8 jenazah.

b. Pembinaan anak jalanan dan gepeng Anak jalanan adaah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat- tempat umum, hal ini biasanya disebabkan karena kemiskinan, persepsi orang tua akan keberadaan anak sehingga kebutuhan hak-hak kebutuhan dasar anak terpenuhi.

Selama tahun 2010-2012, jumlah anak jalanan yang diberikan pembinaan secara berturut-turut adalah sebesar 40 orang; 30 orang dan 20 orang. Pembinaan yang dilakukan diantaranya adalah pelatihan ketrampilan cuci steam.

c. Pembinaan PSK Pada umumnya, timbulnya PSK dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang dimulai dari lulusan SD sampai dengan lulusan SMA, desakan ekonomi, kurangnya keahlian dan ketrampilan. Profesi ini dianggap paling mudah untuk memperoleh uang.

Pembinaan yang dilakukan diantaranya adalah pemberian pelatihan tata boga. Selama tahun 2010-2012, jumlah PSK yang diberikan pembinaan masing-masing sebanyak 25 orang. Dalam proses pembinaan, selain ketrampilan dan pembinaan untuk bekal hidup, dilakukan juga pembinaan dari segi spiritual dan kesehatan. Pembinaan ini, bertujuan untuk menumbuhkan keinginan untuk merubah kondisi sosial dan ekonominya dengan beralih profesi.

d. Pembinaan Lansia Produktif Pembinaan lansia produktif dilakukan dengan cara memberikan bantuan permodalan usaha ekonomi produktif warungan kepada beberapa lansia yang dilakukan untuk membantu para lansia terhindar dari masalah kesejahteraan sosial.

Pembinaan yang dilakukan diantaranya adalah pemberian pelatihan usaha ekonomi produktif dan pemberian permodalan kepada lansia produktif. Selama tahun 2010-2012, bantuan usaha ekonomi produktif berupa warungan lansia, diberikan kepada lansia produktif, yang masing-masing berturut-turut selama periode itu adalah; 22 orang; 40 orang; dan 30 orang.

e. Akurasi Data PMKS by name by address Data merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, diperlukan data dan informasi kesejahteraan sosial yang lengkap, akurat dan mutahir. Dalam kegiatan ini telah dilakukan pendataan terhadap PMKS berdasarkan nama dan alamat, yaitu pada tahun 2010 dan 2012.

Sementara itu, menurut kementerian sosial (2010), untuk melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, perlu dilakukan dengan; 1. Menyusun kebijakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS; 2. Meningkatkan kualitas pelayanan, sarana dan prasarana rehabilitasi kesejahteraan

sosial bagi PMKS; 3. Meningkatkan pembinaan, pelayanan dan pelindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar, lanjut usia, penyandang cacat, dan tuna sosial; 4. Menyelenggarakan pelatihan keterampilan dan praktik belajar kerja bagi PMKS; 5. Meningkatkan pelayanan psikososial dan pembangunan pusat pelayanan krisis

( trauma center ) bagi PMKS, termasuk korban bencana alam dan sosial; dan

6. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai anti-eksploitasi, kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, reintegrasi eks-PMKS, dan pencegahan HIV/AIDS, serta penyalahgunaan Napza.

5.1.2. Program Pemberdayaan Sosial

Untuk mendukung tercapainya program pemberdayaan sosial, telah dilakukan 10 kegiatan pelayanan sosial di tahun 2011 dengan jumlah anggaran sebanyak Rp 351.224.000,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pembinaan pekerja sosial masyarakat.

2. Bhakti sosial hari kesetiakawanan sosial nasional (HKSN).

3. Pemberdayaan kelembagaan KUBE.

4. Pemberdayaan TKSK.

5. Pemberdayaan LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga)

6. Pembentukan fasilitator WKSBM.

7. Peningkatan pengembangan NK3.

8. Penguatan kelembagaan karang taruna.

9. Penguatan jaringan karang taruna.

10. Pemberdayaan organisasi sosial. Sedangkan di Tahun 2012, telah dilaksanakan 11 (sebelas) buah pelayanan sosial, dengan jumlah anggaran sebanyak Rp. 453.779.850,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pembinaan bagi PSM dan FKPSM.

2. Bhakti sosial hari kesetiakawanan sosial nasional (HKSN).

3. Pemberdayaan KUBE.

4. Pemberdayaan TSKS.

5. Pemberdayaan LK3.

6. Pemberdayaan WKSBM.

7. Pelestarian NK3.

8. Penguatan kelembagaan karang taruna.

9. Penguatan jaringan karang taruna.

10. Pemberdayaan organisasi sosial.

11. Bantuan operasional karang taruna. Implementasi pelayanan sosial dari pelaksanaan program pemberdayaan sosial, dapat disarikan sebagai berikut:  Pembinaan bagi Pekerjaan Sosial Masyarakat (PSM)

Pekerja sosial masyarakat adalah warga masyarakat yang atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial (Kepmensos Nomor; 08 Tahun 2012) atau warga warga masyarakat yang telah memperoleh atau mengikuti bimbingan dan pelatihan bidang kesejahteraan sosial, yang atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sosialnya secara sukarela melaksanakan usaha kesejahteraan sosial di daerah atau wilayah sendiri.

Pelatihan pekerja sosial masyarakat bertujuan untuk memberikan ketrampilan dan motivasi sebagai pekerja sosial, dan sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam penanganan permasalahan sosial. Selain itu, pembinaan PSM dilakukan untuk meningkatkan kinerja PSM yang mendukung kelancaran kegiatan penanganan dan rehabilitasi PMKS. Pelatihan pekerja sosial masyarakat telah dilakukan terhadap 100 orang; 86 orang; 86 orang; dan 86 orang, yang dilakukan pada periode 2009-2012.

 Bhakti Sosial Hari Kesetiakawanan Sosial Bhakti sosial hari kesetiakawanan sosial ini dilakukan sekali setiap

tahun dengan tujuan untuk menumbuhkan dan meramalkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial di masyarakat.

 Pemberdayaan KUBE Pemberdayaan dan pelatihan untuk masyarakat fakir miskin yang

dibentuk kelompok usaha bersama (KUBE) untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Selama periode 2010-2012, setiap tahun telah dilakukan pemberdayaan terhadap 50 orang fakir miskin. Bantuan kepada kelompok KUBE diberikan berdasarkan usulan dari kelompok tersebut, seperti; berupa peternakan, kerajinan, peralatan cuci motor, dan lainnya.

 Pemberdayaan LK3 LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga) merupakan suatu

lembaga atau organisasi yang memberikan pelayanan konseling, konsultasi, pemberian/penyebarluasan informasi, penjangkauan dan pemberdayaan bagi keluarga secara profesional, termasuk merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain yang benar-benar mampu memecahkan masalahnya secar intensif. Pada tahun 2011 dan tahun 2012, telah dilakukan pembinaan pelatihan terhadap masing-masing 5 orang pengelola LK3.

 Penguatan Kelembagaan Karang Taruna Wadah pembinaan dan pengembangan generasi muda, yang tumbuh

atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat, terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan, bergerak atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat, terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan, bergerak

Pembinaan lembaga karang taruna bertujuan untuk meningkatkan kinerja lembaga karang taruna. Pada tahun 2010 telah dilakukan pembinaan terhadap 50 orang peserta didik yang berasal dari karang taruna diberbagai wilayah di Kota Cilegon. Sementara pada tahun 2011 dan 2012 telah dilakukan pembinaan terhadap 100 orang yang berasal dari karang taruna yang ada di wilayah Kota Cilegon.

 Pemberdayaan Organisasi Sosial Organisasi sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik berbadan hukum

maupun tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial. Kegiatan pemberdayaan organisasi sosial bertujuan meningkatkan fungsi dan peran lembaga sosial dalam penanganan penyandang masalah sosial khususnya anak terlantar. Pada tahun 2011 - 2012 telah dilakukan pembinaan terhadap 5 lembaga sosial yang ada di wilayah Kota Cilegon.

5.1.3. Program Bantuan Sosial, Jaminan Sosial dan Penanggulangan Bencana

Untuk mendukung tercapainya program bantuan sosial, jaminan sosial dan penanggulangan bencana, telah dilakukan 9 (sembilan) kegiatan pelayanan sosial di tahun 2011 dengan jumlah anggaran sebanyak Rp 620.890.210,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pembinaan dan pelatihan TAGANA (Taruna Siaga Bencana).

2. Apel siaga penanggulangan bencana.

3. Pembinaan veteran dan keluarga veteran serta pejuang kemerdekaan.

4. Penyediaan Buffer Stock .

5. Pengadaan jaringan komunikasi penanggulangan bencana

6. Jaminan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat.

7. Pembinaan BKSP.

8. Sosialisasi UGB/PUB.

9. Penyusunan database bidang Banjamsos. Sedangkan di Tahun 2012, telah dilaksanakan 8 (delapan) buah pelayanan sosial, dengan jumlah anggaran sebanyak Rp. 662.219.190,-. Kegiatan pelayanan sosial yang telah dilakukan diantaranya;

1. Pembinaan dan pelatihan TAGANA (Taruna Siaga Bencana).

2. Apel siaga penanggulangan bencana.

3. Pembinaan veteran dan keluarga veteran serta pejuang kemerdekaan.

4. Penyediaan Buffer Stock .

5. Fasilitas unit reaksi cepat TAGANA.

6. Jaminan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat.

7. Pembinaan BKSP.

8. Sosialisasi UGB/PUB. Implementasi pelayanan sosial dari pelaksanaan program bantuan sosial, jaminan sosial dan penanggulangan bencana, dapat disarikan sebagai berikut:

 Pembinaan dan Pelatihan Tagana Pembinaan dan pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan

anggota Tagana. Dalam kurun waktu 2010- 2012, masing-masing telah dilakukan pelatihan terhadap 160 anggota tagana (2010), 60 orang anggota tagana (2011), dan 49 orang anggota tagana (2012).

 Pembinaan veteran dan keluarga veteran serta pejuang kemerdekaan Kegiatan ini merupakan bentuk penghargaan terhadap veteran, keluarga

veteran, pejuang/pahlawan serta melestarikan nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan. Pada tahun 2010, jumlah veteran, keluarga veteran, pejuang/pahlawan yang diberikan bantuan sebanyak 16 orang, tahun 2011 sebanyak 18 orang dan tahun 2012 sebanyak 17 orang.

 Penyediaan buffer stock Program ini merupakan program persediaan cadangan permakanan

yang diperuntukkan bagi korban bencana alam yang terjadi pada tahun berjalan. Pada tahun 2010, disediakan sebanyak 1438 paket yang dianggarkan untuk masyarakat korban bencana alam, sedangkan untuk dua tahun berikutnya, berturut-turut disediakan sebanyak 2.000 paket bantuan untuk korban bencana alam.

 Pembinaan BKSP Bantuan kesejahteraan sosial permanen merupakan usaha perlindungan

sosial berkelanjutan dalam bentuk pemberian jaminan biaya hidup minimal bagi PMKS non-potensial yang terlantar.

5.1.4. Program Dukungan Pelayanan Pemerintah

Program dukungan pelayanan pemerintah di bidang kesejahteraan sosial, telah dilakukan 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu;

1. Pelayanan administrasi perkantoran.

2. Tersedianya sarana dan prasarana aparatur.

3. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan. Dengan adanya pelaksanaan kegiatan pelayanan sosial oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, diharapkan berkurangnya jumlah proporsi PMKS, yang ditargetkan selama tahun 2010 adalah sebanyak 1,60%, serta target tahun 2011 dan 2012 adalah sebanyak 0,65%. Target tersebut ternyata terpenuhi, dimana pada tahun 2010, realisasi proporsi penurunan PMKS sebesar 1,60 persen, tahun 2011 tercapai realisasi proporsi penurunan PMKS sebesar 1,74 persen, dan pada tahun 2011 tercapai realisasi proporsi penurunan PMKS sebesar 0,74 persen.

Faktor penyebab tercapainya keberhasilan penurunan proporsi PMKS tiap tahunnya disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Adanya program-program daerah, provinsi maupun rogram nasional.

2. Peran aktif dari potensi dan sumber kesejahteraan sosial melalui pendampingan terhadap penanganan PMKS.

3. Bantuan permodalan untuk membuka usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan PMKS.

4. Pembekalan ketrampilan bagi PMKS sesuai dengan minat dan bakat. Disamping prioritas tujuan jangka menengah Dinas Sosial Kota Cilegon dalam rangka mencapai penurun proporsi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sesuai yang ditargetkan. Terdapat pula 6 (enam) tujuan lain yang harus dicapai dalam pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial, yaitu;

1. Proporsi Jumlah PMKS (PSK, anjal/gepeng, lansia, dan penyandang cacat) yang mandiri terhadap total jumlah PMKS yang dibina. Untuk proporsi jumlah PMKS yang mandiri terhadap jumlah PMKS yang dibina, dalam pencapaian realisasinya belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah ditargetkan sebelumnya. Pada tabel berikut diperlihatkan fakta yang terdapat di lapangan, yang memperlihatkan hanya pada tahun 2012 saja, proporsi jumlah PMKS yang mandiri terhadap jumlah PMKS yang dibina melebihi jumlah proporsi yang ditargetkan pada tahun itu. Sedangkan pada tahun 2010, target proporsi jumlah PMKS yang mandiri terhadap jumlah PMKS yang dibina, tidak tercapai.

Tabel 5.1. Target dan Realisasi Jumlah PMKS yang Mandiri Terhadap Jumlah PMKS yang Dibina

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Proporsi Jumlah PMKS yang Mandiri Terhadap Jumlah PMKS

40% 107,69% yang Dibina

Tidak Tercapai

Tercapai

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

2. Proporsi Peningkatan PSKS Aktif Dilihat dari sisi Proporsi peningkatan PSKS aktif, dalam pencapaian

realisasinya belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah ditargetkan sebelumnya. Pada tabel berikut diperlihatkan fakta yang terdapat di lapangan, yang memperlihatkan hanya pada tahun 2011 saja, proporsi peningkatan PSKS aktif melebihi jumlah proporsi yang ditargetkan pada tahun itu. Sedangkan pada tahun 2012, target proporsi proporsi peningkatan PSKS aktif, tidak tercapai.

Tabel 5.2. Target dan Realisasi Peningkatan PSKS Aktif

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Proporsi peningkatan PSKS

Tidak Tercapai

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

3. Proporsi Peningkatan PSKS Aktif Dilihat dari sisi Proporsi peningkatan TKSM aktif, dalam pencapaian realisasinya juga belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah ditargetkan sebelumnya. Pada tabel berikut diperlihatkan fakta yang terdapat di lapangan, yang memperlihatkan hanya pada tahun 2011 saja, proporsi peningkatan TKSM aktif melebihi jumlah proporsi yang ditargetkan pada tahun itu. Sedangkan pada tahun 2012, target proporsi proporsi peningkatan TKSM aktif, tidak tercapai.

Tabel 5.3. Target dan Realisasi Peningkatan TKSM Aktif

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Proporsi peningkatan TKSM

Tidak Tercapai

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

4. Proporsi korban bencana yang ditangani Berbeda dengan pencapaian 2 tujuan di atas, yang dalam pencapaian realisasinya belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah ditargetkan sebelumnya. Pada pencapaian target proporsi korban bencana yang ditangani oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, terlihat bahwa baik untuk tahun 2011 maupun tahun 2012, proporsi korban bencana yang ditangani oleh Dinas Sosial Kota Cilegon dapat dicapai sesuai yang ditargetkan.

Tabel 5.4. Target dan Realisasi Korban Bencana yang Ditangani

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Proporsi korban bencana

100% 100% yang ditangani

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

5. Jumlah masyarakat miskin sektor informal yang tercakup aksesos. Untuk tujuan jumlah masyarakat miskin sektor informal yang tercakup dalam aksesor, dalam 2 (dua) tahun berturut-turut, pencapaian target jumlah masyarakat miskin sektor informal yang tercakup dalam aksesor dapat dicapai sesuai yang ditargetkan, baik pada tahun 2011 maupun tahun 2012 oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.5.

Target dan Realisasi Jumlah Masyarakat Miskin Sektor Informal Yang Tercakup dalam Askesos

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Jumlah Masyarakat Miskin

200 150 Sektor Informal

orang orang Yang Tercakup dalam Askesos

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

6. Jumlah Tagana yang terlatih.

Untuk tujuan jumlah Tagana yang terlatih, dalam 2 (dua) tahun berturut-turut, pencapaian target jumlah Tagana yang terlatih berbeda tiap tahun, dimana pada tahun 2011 maupun tahun 2012 oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, dimana pada tahun 2012 tidak tercapai target, sedangkan pada tahun 2011, target yang ditetapkan dapat tercapai, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.6. Target dan Realisasi Jumlah Tagana yang Terlatih

2012 Keterangan Target Realisasi Target Realisasi

Jumlah Masyarakat Miskin

55 55 Sektor Informal

60 orang

49 orang

orang Yang Tercakup dalam Askesos

orang

Keterangan

Tidak Tercapai

Tercapai

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

5.2. Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Hasil pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial tercermin, antara lain, dari meningkatnya perkembangan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi masalah sosial pada umumnya dan masalah kesejahteraan sosial khususnya. Perkembangan ini selanjutnya menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial, seperti sebagai pekerja sosial masyarakat, relawan sosial, anggota karang taruna, dan sebagai pendukung dana sosial.

Makin meningkatnya mutu dan cakupan pelayanan sosial bagi fakir miskin, anak dan lanjut usia terlantar, penyandang cacat, korban penyalahgunaan obat, zat adiktif dan narkotika, korban bencana, masyarakat terasing dan masyarakat lain yang kurang beruntung telah dapat mengurangi kesenjangan sosial yang ada di masya-rakat. Di samping itu, makin banyaknya pelayanan sosial yang berkembang di masyarakat telah berhasil pula mengurangi gejolak sosial yang selanjutnya membantu terciptanya stabilitas nasional.

Penyuluhan dan bimbingan sosial yang merupakan kegiatan pokok dalam pelayanan sosial dilaksanakan dengan maksud untuk menciptakan kondisi agar masyarakat makin dapat menerima dan mendukung nilai-nilai pembaruan yang diamanatkan oleh pembangunan.

Untuk meningkatkan ef ekt i vi t as kegiatan penyuluhan sosial, pekerja sosial masyarakat (PSM) terus dibina dan ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui berbagai pelatihan. Selama periode 2009-2012 telah dilatih lebih dari 358 orang PSM. Mengingat, PSM ini berasal dari masyarakat dan akan kembali bekerja untuk masyarakat lingkungannya setelah menyelesaikan pel at i ha n . peningkatan pelatihan PSM ini merupakan cerminan makin meningkatnya kesadaran dan pa rt i s i pa s i masyarakat dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial.

Pembinaan generasi muda di bidang kesejahteraan sosial dipusatkan pada peningkatan pembinaan karang taruna, sebagai satu-satunya organisasi sosial kepemudaan di tingkat desa. Agar dapat berfungsi sebagai wadah untuk menanggulangi dan mencegah masalah kenakalan remaja serta mampu mengemban tugas mengatasi masalah sosial di lingkungannya, anggota karang taruna dibina agar mampu menciptakan lapangan kerja serta memiliki keterampilan kerja yang andal. Selama periode 2009-2012 telah dilakukan berbagai upaya dan dorongan melalui bantuan operasional karang taruna dan pemberian peralatan olahraga dan kesenian sehingga di semua desa telah tumbuh dan berkembang organisasi karang taruna.

Selanjutnya, pembinaan karang taruna dititikberatkan pada peningkatan mutu dan kinerja organisasi karang taruna melalui pengkaderan, pelatihan dalam berbagai keterampilan seperti dalam bidang industri dan pertanian. Selama tahun 2011 dan 2012 telah dibina sebanyak 150 orang yang berasal dari karang taruna yang ada di wilayah Kota Cilegon.

Pembinaan dan pemberdayaan sosial masyarakat juga telah dilakukan beberapa tahun terakhir ini, dengan tujuan untuk membimbing dan memantapkan organisasi sosial masyarakat yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial agar makin meningkat kemampuan manajerial dan profesionalnya dalam melaksanakan pelayanan sosial mereka. Pembinaannya dilakukan melalui pelatihan manajemen dan profesi pekerjaan sosial didukung dengan pemberian bantuan perlengkapan. Selama tahun 2011-2012 telah dilakukan pembinaan pekerja sosial masyarakat dan FKPSM, pemberdayaan TKSK, Pemberdayaan LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga), serta Pemberdayaan WKSBM.

Pembinaan juga dilakukan terhadap anak jalanan dengan memberikan pelatihan ketrampilan cuci steam. Selama tahun 2010-2012, sebanyak 90 orang anak jalanan telah diberikan pembinaan. Sementara untuk PSK, telah diberikan pelatihan tata boga. Selama tahun 2010-2012, sebanyak 75 orang PSK telah diberikan pembinaan. Pembinaan ini, bertujuan untuk menumbuhkan keinginan untuk merubah kondisi sosial dan ekonominya dengan beralih profesi.

Dalam periode yang sama, pemerintah Kota Cilegon, melalui Dinas Sosial, juga melakukan pelayanan terhadap jumlah orang terlantar dalam perjalanan. Tercatats sebanyak sebanyak 1.118 orang terlantar dalam perjalanan mendapat bantuan. Sementara itu, dalam periode yang sama telah diberikan bantuan biaya pemakamannya sebanyak 18 jenazah yang mengalami keterlantaran.

Sementara pembinaan terhadap lansia produktif dilakukan dengan cara memberikan bantuan permodalan usaha ekonomi produktif warungan kepada beberapa lansia yang dilakukan untuk membantu para lansia terhindar dari Sementara pembinaan terhadap lansia produktif dilakukan dengan cara memberikan bantuan permodalan usaha ekonomi produktif warungan kepada beberapa lansia yang dilakukan untuk membantu para lansia terhindar dari

Untuk penanggulangan bencana, Pemerintah Kota Cilegon, telah mencoba memberikan berbagai pembinaan dan penyuluhan dalam rangka meningkatkan kewaspadaan masyarakat menghadapi bencana dan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi akibat bencana sehingga mengurangi jumlah korban dan kerugian materi, serta memulihkan kembali fungsi sosial perseorangan, keluarga dan masyarakat korban bencana untuk hidup secara normal.

Kegiatan yang dilaksanakan antara lain, adalah menyiapkan petugas dan tenaga masyarakat (TAGANA) dalam menghadapi bencana alam dan musibah lainnya; memberi bantuan darurat, bantuan rehabilitasi rumah, serta bimbingan dan penyuluhan untuk mempercepat pemulihan kehidupan sehari-hari; dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam manajemen penanggulangan bencana telah dilakukan berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan, baik di lokal maupun di luar daerah. Pelatihan-pelatihan tersebut diberikan kepada petugas dari berbagai instansi yang meliputi berbagai aspek penanggulangan bencana.

Secara umum, dinas sosial telah dapat melaksanakan pelayanan sosial dengan cukup baik sesuai dengan indikator kinerja yang melekat pada program-program pelayanan sosial. Namun demikian, ke depan tantangan dalam pelayanan sosial makin meningkat.

Bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dan derasnya arus perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke Kota Cilegon, di samping bisa membawa hal-hal yang positif bagi kehidupan di kota, juga dapat membawa permasalahan sosial di daerah perkotaan seperti makin banyaknya masalah gelandangan, pengemis, dan tunasosial lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menjadi tantangan pula usaha mengendalikan arus perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta menangani secara tepat berbagai permasalahan sosial sebagai akibat arus urbanisasi.

Makin banyaknya tenaga kerja wanita, khususnya ibu rumah tangga yang masuk ke dalam lapangan kerja dalam industri di Kota Ciegon, merupakan suatu kemajuan yang akan membawa peningkatan kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Namun, pada saat yang bersamaan kecenderungan ini diperkirakan akan membawa masalah baru, yaitu kemungkinan munculnya masalah sosial dalam keluarga seperti makin berkurangnya waktu dan perhatian ibu terhadap tumbuh kembangnya anak-anak mereka, terutama anak berumur di bawah lima tahun (balita). Dengan demikian, tantangan yang akan dihadapi adalah menyediakan dan meningkatkan pelayanan bagi anak balita khususnya mereka yang ibunya bekerja, agar mereka dapat tumbuh kembang secara wajar.

Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerintah telah berusaha melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk ikut ambil bagian dalam upaya pelayanan sosial. Meskipun demikian, sampai kini baru sebagian saja golongan masyarakat dan perusahaan-perusahaan yang dapat dilibatkan dalam upaya pelayanan sosial. Di samping itu, peningkatan peran serta masyarakat melalui organisasi sosial (orsos) dan karang taruna sampai kini juga belum sepenuhnya berhasil karena tidak semua orsos, yang dapat dikatakan mandiri Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerintah telah berusaha melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk ikut ambil bagian dalam upaya pelayanan sosial. Meskipun demikian, sampai kini baru sebagian saja golongan masyarakat dan perusahaan-perusahaan yang dapat dilibatkan dalam upaya pelayanan sosial. Di samping itu, peningkatan peran serta masyarakat melalui organisasi sosial (orsos) dan karang taruna sampai kini juga belum sepenuhnya berhasil karena tidak semua orsos, yang dapat dikatakan mandiri

Dengan berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi dan berdasarkan pengalaman penanganan masalah kesejahteraan sosial dalam periode 2010-2012, diperkirakan masih dijumpai berbagai kendala dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dalam periode setelahnya. Diantaranya, jumlah dan kualitas tenaga kesejahteraan sosial tidak seimbang dibandingkan dengan permasalahan kesejahteraan sosial yang harus ditangani. Disamping itu, tingkat profesionalitas tenaga, termasuk orsos dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang kesejahteraan sosial, umumnya masih kurang memadai untuk menghadapi permasalahan kesejahteraan sosial yang makin kompleks.

Kendala lainnya adalah pengetahuan tentang berbagai masalah kesejahteraan sosial masih rendah, baik dilihat dari segi ketersediaan data, kelengkapan, kualitas data maupun tingkat kepercayaannya. Termasuk dalam hal ini adalah kurang lengkapnya data PMKS by name by address dengan segala latar belakang sosial ekonomi, dan budayanya.

BAB VI

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DINAS SOSIAL DAN PSKS DI KOTA CILEGON, SERTA

ALTERNATIF PEMECAHANNYA

6.1. Data Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial di Kota Cilegon

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) pada dasarnya mencakup;

1. Potensi Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok organisasi, dan lembaga yang belum memiliki dan atau belum memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya belum dapat didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial.

2. Sumber Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, organisasi, dan lembaga yang telah memiliki kemampuan dan atau telah memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya dapat didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial.

3. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial adalah potensi atau sumber yang ada pada manusia, alam, dan institusi sosial yang dapat digunakan untuk usaha kesejahteraan sosial.

Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) adalah semua hal yang berharga yang dapat di gunakan untuk menjaga, menciptakan, mendukung atau memperkuat usaha kesejahteraan sosial.

Potensi dan sumber kesejahteraan sosial di Kota Cilegon saat ini, terdiri dari:

6.1.1. Pekerja Sosial

Pekerja sosial merupakan warga masyarakat yang telah memperoleh atau mengikuti bimbingan dan pelatihan bidang kesejahteraan sosial, yang atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sosialnya serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi dan melaksanakan usaha kesejahteraan sosial didaerah atau wilayahnya sendiri.

Pekerja sosial terdiri dari pekerja sosial profesional dan pekerja sosial masyarakat. Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Seseorang dapat dikatakan sebagai pekerja sosial professional manakala telah bersertifikasi pekerja sosial profesional ; dan telah melaksanakan praktek pekerjaan sosial. Di Kota Cilegon sendiri, menurut data Dinas Sosial tahun 2013, telah terdapat 2 orang pekerja sosial professional, yaitu; sebanyak 1 orang di Kecamatan Ciwandan, dan 1 orang lagi bertugas di Kecamatan Pulomerak.

Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) adalah warga masyarakat yang atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial. Sebagian besar PSM di Kota Cilegon merupakan tokoh masyarakat yang berkecimpung di bidang sosial. Para tokoh tersebut sebelumnya telah mengikuti pelatihan PSM dan berpengalaman sebagai anggota

Karang Taruna sebelum menjadi PSM. Jumlah PSM di Kota Cilegon yang terdata di Dinas Sosial berjumlah 215 orang, dan tersebar di beberapa kecamatan dan kelurahan.

Tabel 6.1. Jumlah Pekerja Sosial Masyarakat di Kota Cilegon Tahun 2013

3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.2. Karang Taruna

Karang Taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan atau organisasi kepemudaan berkedudukan di desa/kelurahan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial.

Sebagai wadah organisasi masyarakat dan kepemudaan, Karang Taruna menjadi pilar utama bagi penggerak kesejahteraan sosial. Karang Taruna terdapat di seluruh kelurahan di Kota Cilegon. Menurut data dari Dinas Sosial Kota Cilegon, hingga tahun 2012, terdapat sebanyak 52 karang taruna, sebagai berikut:

Tabel 6.2. Jumlah Karang Taruna di Kota Cilegon Tahun 2013

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.3. Dunia Usaha

Dunia usaha adalah organisasi yang bergerak di bidang usaha, industri atau produk barang atau jasa serta Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta/atau wirausahawan beserta jaringannya yang peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial.

Di Kota Cilegon sendiri terdapat 158 dunia usaha (BUMN/BUMD/ Swasta) yang memiliki kepedulian dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial, sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.3. Jumlah Dunia Usaha di Kota Cilegon Tahun 2013

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

Kecuali di Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Cilegon, dan Kecamatan Cibeber yang tidak terdapat badan usaha, sumber dan potensi kesejahteraan sosial dari badan usaha cukup banyak di kecamatan lainnya di wilayah Kota Cilegon. Kemampuan pemerintah daerah dan instansi terkait dalam menghimpun dan memanfaatkan dana tanggung jawab sosial (CRS) dan bekerjasama dengan dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan social, akan membantu penanganan masalah sosial di Kota Cilegon.

6.1.4. Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat (WKSBM)

Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut (WKSBM) adalah sistim kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. WKSBM ini mewadahi jaringan sosial (perkumpulan, asosiasi, organisasi/kelompok) yang berada di RT/ RW/Kampung/Desa/Kelurahan/nagari/banjir atau wilayah adat.

Melalui WKSBM masing-masing perkumpulan, asosiasi, organisasi kelompok tersebut secara bersama-sama melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara sinergis di lingkungan. Di Kota Cilegon sendiri, sebagaimana data yang disamkaikan oleh Dinas Sosial Kota Cilegon, telah terbentuk 32 WKSBM, yang tersebar dibeberapa Kecamatan, sebagai berikut:

Tabel 6.4. Jumlah WKSBM di Kota Cilegon Tahun 2013

1. Ciwandan 6 2. Citangkil

1 3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.5. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial

Wanita pemimpin kesejahteraan sosial adalah wanita yang mampu menggerakkan dan memotivasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Wanita yang mempunyai potensi untuk menjadi/sudah menjadi pemimpin dan diakui oleh masyarakat setempat dapat ditunjuk menjadi wanita pemimpin kesejahteraan sosial dan dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan wanita di bidang kesejahteraan sosial. Wanita pemimpin kesejahteraan sosial bertugas memimpin usaha kesejahteraan sosial terutama yang dilaksanakan oleh wanita di wilayahnya.

Hingga saat ini, Kota Cilegon baru memiliki 4 orang wanita pemimpin kesos, yaitu; sebanyak 2 orang terdapat di Kecamatan Ciwandan, 1 orang di Kecamatan Grogol, dan sisanya 1 orang lagi bertugas di Kecamatan Cibeber.

6.1.6. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSM)

Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan yang selanjutnya disebut TKSK adalah Tenaga inti pengendali kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kecamatan. TKSK berasal dari unsur masyarakat dan berdomisili di kecamatan dimana ditugaskan. Persyaratan menjadi TKSK, adalah: Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan yang selanjutnya disebut TKSK adalah Tenaga inti pengendali kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kecamatan. TKSK berasal dari unsur masyarakat dan berdomisili di kecamatan dimana ditugaskan. Persyaratan menjadi TKSK, adalah:

b. Diutamakan aktifis karang taruna atau PSM;

c. Berusia 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 50 (lima puluh) tahun;

d. Berbadan sehat (keterangan dokter/puskesmas);

e. Diutamakan yang sudah mengelola UEP; Menurut Dinas Sosial Kota Cilegon, saat ini telah terdapat 8 orang TKSK yang bertugas di masing-masing kecamatan yang ada di Kota Cilegon. TKSK ini ditetapkan melalui SK Walikota yang mengacu kepada SK Kementerian Sosial. Berikut ini daftar TKSK Kota Cilegon di masing-masing Kecamatan, beserta tahun SK Pengangkatannya.

Tabel 6.5. Jumlah Nama TKSK Berdasarkan Kecamatan di Kota Cilegon Tahun 2013

No. Kecamatan

Nama TKSK

Tahun SK

Alamat

1. Ciwandan

Masruji, SE

Link. Ciasem 10/04 Kel. Banjarnegara Kec. Ciwandan

2. Citangkil

Sudirman, SE

Kp. Kalentemu Timur 05/05 Kelurahan Samangraya Citangkil

3. Pulo Merak

Epti Sufiyati

Lingk. Kubang Kepuh 02/02Kelurahan Suralaya Kecamatan Pulo Merak

4. Purwakarta

Maman Surohman

Lingk. Kudumalang 08/04 Kelurahan Tegal Bunder Kecamatan Purwakarta

5. Grogol

Urip H, S.Pdi

Kp. Sumur Wuluh04/03Kel. Gerem Kecamatan Grogol

Jl. DI Panjaitan Lingk.. Pasar Rt. 018/002 Kel. Bendungan Cilegon

7. Jombang

Rohilah, SE

Lingk. Pegantungan Baru 005/014 Kel. Jombang Wetan Kec. Jombang

Lingk. Jerang Ilir 02/02 Kel. Karang Asem Kec. Cibeber

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.7. Penyuluh Sosial

Penyuluh sosial dibedakan menjadi dua, yaitu; penyuluh sosial fungsional dan penyuluh sosial masyarakat. Penyuluh sosial fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempunyai jabatan ruang lingkup, tugas, Penyuluh sosial dibedakan menjadi dua, yaitu; penyuluh sosial fungsional dan penyuluh sosial masyarakat. Penyuluh sosial fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempunyai jabatan ruang lingkup, tugas,

a. Berijazah sarjana (S1)/ Diploma IV;

b. Paling rendah memiliki pangkat Penata Muda, Golongan III/a;

c. Memiliki pengalaman dalam kegiatan penyuluhan sosial paling singkat 2 (dua) tahun;

d. Telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan fungsional penyuluh sosial; dan

e. Usia paling tinggi 50 (lima puluh) tahun; Sampai saat ini, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial setempat, bahwa belum terdapat seorangpun yang menduduki jabatan sebagai Penyuluh Sosial Fungsional di Kota Cilegon.

Sedangkan Penyuluh Sosial Masyarakat adalah tokoh masyarakat (baik dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh wanita, tokoh pemuda) yang diberi tugas, tanggung jawab wewewang dan hak oleh pejabat yang berwenang bidang kesejahteraan sosial (pusat dan daerah) untuk melakukan kegiatan penyuluhan bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Kriteria seseorang termasuk dalam kategori penyuluh sosial masyarakat, adalah:

a. Memilki pendidikan minimal SLTP/sederajat;

b. Berusia antara 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 60 (enam puluh) tahun;

c. Tokoh agama/tokoh masyarakat/tokoh pemuda/tokoh adat/tokoh wanita;

d. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM);

e. Taruna Siaga Bencana (Tagana);

f. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamantan (TKSK); f. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamantan (TKSK);

h. Petugas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (Petugas LK3);

i. Manager Kesejahteraan Sosial tingkat desa (Kepala Desa); j. Memiliki pengaruh terhadap masyarakat tempat domisili; k. Memiliki pengalaman berceramah atau berpidato; l. paham tentang permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS); dan m. Memahami pengetahuan tentang Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial. Jumlah penyuluh sosial masyarakat di Kota Cilegon tahun 2012, sebagaimana yang terdata di Dinas Sosial Kota Cilegon, yaitu sebanyak 487 orang. Jumlah tersebut tersebar di 8 kecamatan yang ada di Kota Cilegon.

Tabel 6.6. Jumlah Penyuluh Sosial Masyarakat di Kota Cilegon Tahun 2013

3. Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.8. Lembaga Kesejahtaraan Sosial (LKS)

Lembaga Kesejahteraan Sosial selanjutnya disebut LKS adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Kriteria suatu organisasi sosial atau perkumpulan sosial dapat menjadi LKS, adalah: Lembaga Kesejahteraan Sosial selanjutnya disebut LKS adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Kriteria suatu organisasi sosial atau perkumpulan sosial dapat menjadi LKS, adalah:

b. Mempunyai pengurus dan program kerja;

c. Berbadan hukum atau tidak berbadan hukum; dan

d. Melaksanakan/ mempunyai kegiatan dalam bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Jumlah LKS di Kota Cilegon sampai tahun 2012, sebagaimana data dari Dinas Sosial Kota Cilegon adalah sebanyak 9 lembaga. Adapun sebarannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6.7. Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial di Kota Cilegon Tahun 2013

3. Pulo Merak 4. Purwakarta

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

6.1.9. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3)

Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga selanjutnya disebut (LK3) adalah Suatu Lembaga/Organisasi yang memberikan pelayanan konseling, konsultasi, pemberian/penyebarluasan informasi, penjangkauan, advokasi dan pemberdayaan bagi keluarga secara profesional, termasuk merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain yang benar-benar mampu memecahkan masalahnya secara lebih intensif. Jumlah LK3 di Kota Cilegon, hanya ada 1 lembaga, letaknya di Kecamatan Jombang.

6.1.10. Lembaga Lainnya

Lembaga lainnya yang dapat menjadi PSKS adalah;

a. Keluarga pionir

b. Tenaga Siaga Bencana (Tagana)

c. Lembaga perintis kemerdekaan/janda perintis. Keluarga pioner adalah keluarga yang mampu mengatasi masalahnya dengan cara-cara efektif dan bisa dijadikan panutan bagi keluarga lainnya. Taruna Siaga Bencana (Tagana) adalah seorang relawan yang berasal dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana. Sedangkan perintis kemerdekaan/janda perintis adalah perkumpulan para mantan pejuang/janda pejuang kemerdekaan yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat serta peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

Sampai tahun 2012, dalam pendataan Dinas Sosial Kota Cilegon, belum tercatat satupun keluarga pionir dan tagana. Sedangkan untuk perkumpulan perintis kemerdekaan/janda perintis, tercatat keberadaan lembaga ini sebanyak 5 lembaga, dimana 4 lembaga ada di Kecamatan Jombang, dan 1 lembaga berada di Kecamatan Pulomerak.

Berdasarkan ke-sepuluh jenis PSKS sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dibuatkan rekapitulasi PSKS yang ada di Kota Cilegon pada tahun 2012, sebagaimana berikut ini:

Tabel 6.8. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial Di Kota Cilegon Tahun 2012

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial l

si a l

si a sia l

sia t tis/

No. Kecamatan S sio

n g u lu sy a Per d er TK UMLAH

Ma n a em J Peker

Peny J K

1 Ciwandan 1 30 7 51 6 2 0 1 0 66 0 1 165 2 Citangkil

0 35 8 29 1 0 0 2 0 72 0 1 148 3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, Tahun 2012

6.2. Identifikasi Permasalahan dalam Pelayanan Sosial oleh Dinas Sosial Kota Cilegon dan Alternatif Pemecahannya

Dinas Sosial Kota Cilegon sebagai salah satu perangkat daerah mempunyai tugas pokok membantu Walikota dalam melaksanakan sebagai kewenangan desentralisasi dan tugas perbantuan di bidang kesejahteraan sosial. Dalam menjalankan tugas pokok tersebut, Dinas Sosial Kota Cilegon memiliki visi, misi, sasaran dan program yang harus dilaksanakan selama periode tertentu.

Tujuan jangka menengah (sasaran strategis) dari penerapan visi, misi, sasaran dan program Dinas Sosial Kota Cilegon adalah menurunnya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Wilayah Kota Cilegon. Beberapa indikator yang memperlihatkan tercapainya sasaran strategis tersebut dapat dilihat dari;

1. Proporsi jumlah penurunan PMKS dan peningkatan jumlah PMKS yang mandiri.

2. Proporsi peningkatan PSKS aktif

3. Proporsi peningkatan TKSM aktif

4. Proporsi korban bencana yang ditangani

5. Jumlah masyarakat miskin sektor informal yang tercakup dalam askesos.

6. Jumlah TAGANA yang terlatih.

6.2.1. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, dalam Menurunkan Jumlah PMKS dan Peningkatan Jumlah PMKS yang Mandiri

Dalam upaya menurunkan jumlah PMKS terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi, diantaranya adalah;

1. Belum tersedianya panti rehabilitasi di Kota Cilegon, sehingga dalam proses pembinaan mengalami kesulitan.

2. Kekhawatiran lingkungan yang belum tentu bisa menerima perubahan profesinya terutama profesi dari PMKS.

3. Kekhawatiran kehilangan mata pencaharian yang selama ini menopang kebutuhannya.

4. Tidak bisa menghadapi hambatan dalam menjalani aktivitas baru.

5. Adanya orang tua yang memanfaatkan anaknya untuk mencari uang di jalan

sehingga anak tersebut lebih sering berada di jalanan daripada di sekolah.

6. Banyaknya anjal/gepeng dan PSK yang datang dari luar kota, hal ini menyulitkan dalam penanganan dan pendataan.

7. Belum tersediannya data yang akurat

8. Masih kurangnya bantuan permodalan untuk memulai usaha baru terutama yang bersumber dari APBD Pemerintah Kota Cilegon.

9. Berkurangnya bantuan dari APBD dan APBN dibandingkan dengan bantuan tahun sebelumnya. Terhadap permasalahan tersebut, beberapa langkah antisipatif yang dapat dilakukan adalah:

1. Perlu segera mengajukan untuk dibangun panti rehabilitasi terpadu di Kota Cilegon, untuk rehabilitasi dan pembinaan bagi PMKS.

2. Perlunya peran aktif dari PSKS dalam rangka pemberian edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dan lingkungan tentang keberadaan PMKS dan perubahan profesi mereka, supaya dapat diterima di masyarakat dengan baik.

3. Pemberian pembekalan ketrampilan bagi PMKS sesuai dengan minat dan bakat sehingga mereka lebih percaya diri dengan perubahan status meraka, serta dapat menjadi bekal bagi mereka dalam mencari pekerjaan yang layak sebagai menopang kehidupan mereka.

4. Melakukanpemutakhiran data PMKS by name by address .

5. Melakukan pembinaan secara intensif dan monitoring serta mengevaluasi pembinaan terhadap PMKS tersebut.

6. Meningkatkan peran serta PMKS dan TKSM dalam rangka pendampingan bagi PMKS. Dalam upaya meningkatkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang mandiri terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi, diantaranya adalah;

1. Belum adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang larangan memberi pengeis atau gelandangan yang ada di jalan terutama yang berkeliaran di jalan protokol .

2. Kurangnya sarana dan prasarana untuk kegiatan pembinaan.

3. Belum tersedianya data yang akurat.

4. Masih kurangnya bantuan permodalan untuk memulai usaha baru terutama yang bersumber dari APBD Pemerintahan Kota Cilegon.

5. Belum adanya kesiapan mental untuk menghadapi persaingan usaha. Terhadap permasalahan tersebut, beberapa langkah antisipatif yang dapat dilakukan adalah:

1. Melakukan pembinaan secara intensif serta memonitoring dan evaluasi pembinaan terhadap PMKS tersebut.

2. Melakukan pemutakhiran data PMKS.

3. Bekerjasama dengan instansi dalam rangka meningkatkan pelatihan ketrampilan.

4. Meningkatkan peran serta PMKS dan TKSM dalam rangka pendampingan bagi PMKS.

5. Mengoptimalkan bantuan permodalan yang saat ini masih bersumber dari program APBD/APBN.

6. Melakukan pendampingan bagi PMKS yang sudah dibina dan memberikan bantuan permodalan usaha.

6.2.2. Permasalahan Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, dalam Meningkatkan PSKS Aktif

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka meningkatkan peran serta PSKS, adalah:

1. Masih kurangnya pengetahuan dan ketrampilan PSKS dalam mengelola organisasi.

2. Masih kurangnya pengetahuan dalam penanganan PMKS.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi PMKS yang dihadapi tersebut;

1. Mengadakan pelatihan dalam hal pengelolaan organisasi.

2. Diadakan pembinaan peningkatan pengetahuan dalam penganganan PMKS.

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka meningkatkan peran serta tenaga kesejahteraan sosial masyarakat adalah kurangnya pegetahuan TKSM dalam penanganan atau pendampingan terhadap PMKS.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi adalah memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat.

6.2.3. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, dalam Peningkatan TKSM Aktif

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka meningkatkan peren serta tenaga kesejahteraan sosial masyarakat adalah kurangnya pegetahuan TKSM dalam penanganan atau pendampingan terhadap PMKS.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi adalah memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat.

6.2.4. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, dalam Korban Bencana Alam yang Ditangani

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka penanganan korban bencana, yaitu;

1. Masih minimnya sarana komunikasi yang minim dalam penanggulangan bencana.

2. Kordinasi lintas sektoral dalam penanggulangan bencana masih kurang baik.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi;

1. Menambah penyediaan alat sarana komunikasi ( handy talkie ) untuk penanggulangan bencana.

2. Memperkuat koordinasi lintas sektoral dalam penanggulangan bencana.

3. Memberikan pengetahuan dan ketrampilan tindakan awal penanggulangan bencana bagi masyarakat yang rawan terkena bencana.

4. Memberikan pengtahuan tentang kebencanaan kepada masyarakat sedini mungkin.

6.2.5. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya dalam Jumlah Masyarakat Miskin Sektor Informal yang tercakup dalam Askesos

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka program asuransi kesejahteraan sosial, yaitu;

1. Pengelolaan manajemen askesos masih kurang baik.

2. Anggota Askesos belum mampu membayar premi secara rutin.

3. Anggota Askesos belum menyadari pentingnya program Aksesos.

4. Belum adanya penambahan anggota Askesos karena sulitnya pengkoordinasiaan.

5. Ada anggota Askesos yang meninggal dunia, mengundurkan diri dari anggota Askesos.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi di atas adalah mengadakan pembinaan terhadap anggota Askesos untuk menambah pemahaman anggota dan pengelola Askesos;

6.2.6. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, dalam menambah Jumlah Tagana yang Terlatih

Hambatan/kendala yang dihadapi dalam rangka meningkatkan anggota Tagana yang aktif, yaitu;

1. Masih banyaknya anggota TAGANA yang belum memiliki kecakapan yang mumpuni dalam penanggulangan bencana.

2. Kurangnya loyalitas dan dedikasi anggota Tagana. Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi;

1. Meningkatkan kemampuan dan keahlian TAGANA dalam penanggulangan bancana.

2. Memberikan motivasi dan pembinaan bagi TAGANA agar memiliki dedikasi dan loyalitas dalam penanggulangan bencana.

6.3. Identifikasi Permasalahan dalam Pelayanan Sosial yang dihadapi PSKS dan Alternatif Pemecahannya

6.3.1. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya pada Lembaga Sosial Karang Taruna

Persoalan ekonomi yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pemuda di Kota Cilegon adalah ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas dan kecilnya kesempatan peluang untuk usaha, hal ini mengakibatkan para pemuda kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang layak dan ketiadaan penghasilan untuk Persoalan ekonomi yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pemuda di Kota Cilegon adalah ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas dan kecilnya kesempatan peluang untuk usaha, hal ini mengakibatkan para pemuda kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang layak dan ketiadaan penghasilan untuk

Tabel 6.9. Anggota Karang Taruna yang Bekerja dan Menganggur Tahun 2012 Keterangan

Sumber: Hasil pengolahan data, 2013

Berdasarkan hasil data di atas diperoleh gambaran bahwa persoalan ketenagakerjaan terutama pengangguran penduduk usia muda (usia kerja) pada kelembagaan pemuda karang taruna cukup tinggi dan memerlukan adanya penanganan secara holistik dengan melibatkan pihak pemerintah, swasta juga stakeholders .

Selain itu, ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas dan kecilnya kesempatan peluang usaha, hal ini menjadi menambah berat masalah ekonomi yang dihadapi oleh para anggota pemuda tersebut. Adanya kondisi tersebut, mempengaruhi kinerja lembaga karang taruna dalam memberikan layanan sosial kepada masyarakat luas.

Adapun beberapa permasalahan yang dirasakan oleh kelembagaan Karang Taruna (berdasarkan hasil kuesioner), antara lain :

1) Tidak semua anggota karang taruna memahami tupoksinya sebagai organisasi sosial kepemudaan, yang menjadi garda terdepan dalam penanggulangan berbagai masalah kesejahteraan sosial terutama yang dihadapi generasi muda pada tingkat desa atau kelurahan , baik yang bersifat preventif, rehabilitatif

generasi muda dilingkungannya.

maupun

pengembangan

potensi

2) Beberapa diantara anggota Karang Taruna merasa tidak percaya diri menjadi mitra instansi terkait pada tingkat paling awal dalam pelayanan sosial terutama untuk menunjang pengembangan desa maupun kota yang nantinya akan berdampak baik dalam kehidupan bermasyarakat, karena sebagian besar dari mereka adalah penganggur.

3). Regenerasi dan skill (keterampilan) SDM yang masih memerlukan bimbingan dan pelatihan bidang kesejahteraan sosial. 4). Potensi secara perorangan pun belum dilihat dan dikaji dengan lebih optimal oleh dinas/instansi di Pemerintah Kota Cilegon.

5) Belum mampu mengoptimalkan networking yang tersedia. Meskipun, hubungan interaksi dan kerjasama dengan kelembagaan lokal lainnya, terjadi minimal dan dilakukan setiap bulannya, dimana Karang Taruna sering membantu kegiatan rutin bulanan yang dilakukan oleh Tim POSYANDU, PKK, PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), atau lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena latar belakang kelembagaan Karang Taruna yang kegiatan utamanya adalah di bidang usaha kesejahteraan sosial dan penanganan masalah sosial yang ada di wilayah kerjanya masing-masing. Hanya saja, dengan kelembagaan sosial lainnya belum seluruhnya terjalin interaksi dan tukar informasi dan masih bersifat masing-masing. Interaksi terjadi hanya pada saat kegiatan besar di kelurahan/kecamatan. Saat ini belum ada interaksi yang mengarah pada pemanfaatan jejaring untuk pengembangan kegiatan ekonomi kelembagaan pemuda.

6) Ada beberapa karang taruna, yang diantaranya belum memiliki sekretariat yang layak, selama ini sering ikut menggunakan kantor kelurahan/kecamatan, atau di rumah-rumah penduduk, dari salah satu anggota lembaga karang taruna.

7) Jejaring dan Program-program yang top down . Perkembangan kelembagaan pemuda karang taruna yang terdapat di kelurahan di Kota Cilegon, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir semakin banyak. Sampai saat ini, jumlah karang taruna yang tercatat di Dinas Sosial Kota Cilegon sebanyak 52 lembaga. Hal ini seiring perkembangan wilayah Kota Cilegon sebagai daerah otonom. Sangat disayangkan bahwa dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, keberadaan kelembagaan pemuda karang taruna belum menjadi komponen yang diperhitungkan sebagai asset sosial. Program-program dari Pemerintah Kota Cilegon yang melibatkan kelembagaan pemuda karang taruna, masih bersifat top-down , dan belum merupakan hasil usulan dan aspirasi yang berasal dari kelembagaan pemuda itu sendiri.

Langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengatasi permasalahan atau hambatan yang dihadapi di atas adalah:

1. Karang taruna hendaknya perlu meningkatkan kepercayaan dirinya bahwa mereka adalah lembaga kepemudaan yang paling potensial dan strategis dalam pelaksanaan program layanan kesejahteraan sosial di masyarakat.

2. Perlu bimbingan dan pembinaan yang continue dari Dinas Sosial terhadap anggota karang taruna untuk meningkatkan ketrampilan dan regenerasi di bidang kesejahtaraan sosial.

3. Perlu merubah mainsheet dari pemerintah untuk diposisikan karang taruna sebagai mitra strategis pada kegiatan-kegiatan sosial.

4. Karang taruna perlu meningkatkan jalinan kerjasama dengan lembaga lain, supaya karang taruna dapat berkembangan lebih maju dan besar, khususnya dalam pengembangan ekonomi kelembagaan pemuda.

5. Sepatutnya, perlu diupayakan agar karang taruna memiliki gedung sekretariat sendiri yang terpisah dan tidak menggunakan kantor kelurahan/kecamatan, atau di rumah-rumah penduduk.

6.3.2. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya pada Pekerja Sosial

Pekerja sosial didefinisikan sebagai orang yang memiliki kewenangan keahlian dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial. (Budhi Wibhawa, 2010: 52). Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial (Kepmensos No. 10/HUK/2007).

Berdasarkan Kepmensos NO.8/HUK/1981, pekerja sosial terdiri dari sebagai berikut:

1) Pekerja sosial fungsional, yaitu pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang secara penuh sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah maupun pada badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja social fungsional dikelompokan menjadi dua, yaitu: a) pekerja sosial fungsional 1) Pekerja sosial fungsional, yaitu pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang secara penuh sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah maupun pada badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja social fungsional dikelompokan menjadi dua, yaitu: a) pekerja sosial fungsional

2) Pekerja Sosial Kecamatan (PSK), yaitu pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Sosial dan ditempatkan di wilayah kecamatan dengan tugas membimbing, membina dan mengawasi pelaksanaan program kesejahteraan sosial di lingkungan kecamatannya.

3) Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), yaitu warga masyarakat yang atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela, mengabdi di bidang kesejahteraan sosial.

4) Pekerja sosial professional, yaitu seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

Pekerja Sosial merupakan profesi utama dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial yang mencakup rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial. Hal ini tentu membutuhkan pekerja sosial profesional, namun dalam kenyataanya kebutuhan akan pekerja sosial profesional untuk mendampingi program dan kegiatan tidaklah mudah. Terdapat keterbatasan jumlah pekerja sosial profesional dan rendahnya kemampuan anggaran untuk Pekerja Sosial merupakan profesi utama dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial yang mencakup rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial. Hal ini tentu membutuhkan pekerja sosial profesional, namun dalam kenyataanya kebutuhan akan pekerja sosial profesional untuk mendampingi program dan kegiatan tidaklah mudah. Terdapat keterbatasan jumlah pekerja sosial profesional dan rendahnya kemampuan anggaran untuk

Tabel 6.10. Jumlah Bekerja Pekerja Sosial Profesional Kota Cilegon Tahun 2012

No.

Kecamatan

Pekerja Sosial

1 Ciwandan

2 Citangkil

3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

Solusi yang ditempuh adalah memanfaatkan tenaga non profesional, yaitu pekerjaan sosial masyarakat (PSM) dan tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) yang dilatih menjadi tenaga kesejahteraan sosial. PSM dan TKSK ada yang bekerja di masyarakat dan ada yang bekerja di lembaga-lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah dan masyarakat.

Tabel 6.11. Jumlah Bekerja Pekerja Sosial Masyarakat Kota Cilegon Tahun 2012

No. Kecamatan

3 Pulo Merak

Sumber: Dinas Sosial Kota Cilegon, 2013

PSM dalam melaksanakan tugasnya mengacu pada pendekatan pekerjaan sosial yang mendayagunakan berbagai potensi dan sumber untuk membantu memecahkan masalah sosial yang dialami oleh seseorang, keluarga, kelompok atau komunitas.

Dalam rangka mendukung optimalisasi tugas dari PSM dan TKSK, telah dilakukan upaya-upaya, diantaranya; melakukan persiapan PSM dan TKSK sebelum melaksanakan tugas melalui rapat koordinasi dan pemantapan program di lapangan; diberikan surat tugas sesuai rencana kegiatan yang akan diikuti; bimbingan dan arahan-arahan; sosialisasi program dan kegiatan; diberikan bimbingan teknis; termasuk dilaksanakan pembekalan tentang pekerjaan sosial dan mempelajari petunjuk teknis untuk setiap jenis kegiatan.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat beberapa kelemahan dan permasalahan yang dialami oleh PSM dan TKSK, diantaranya adalah;

a. Belum mampu menempatkan diri sebagai pendamping masyarakat, dan lebih memposisikan diri sebagai staf dinas sosial.

b. Pendidikan belum memadai

c. Penghasilan belum mencukupi yang menyebabkan terganggunya aktivitas di lapangan.

d. Terbatasnya pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi.

e. Tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan.

f. Terbatasnya keterampilan di bidang pekerjaan sosial.

g. Kurang percaya diri.

h. Jumlah PMKS melebihi kapasitas penanganan yang dilakukan PSM dan TKSK. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya, diantaranya:

a. Penambahan TKSK yang perlu dilengkapi dengan fasilitas kerja yang memadai.

b. Pemberian sarana dan prasarana kerja untuk mendukung aktivitas TKSK.

c. Peningkatan kualitas SDM para penggiat pekerjaan sosial dan ekonomi melalui pelatihan para pengurus perkumpulan untuk meningkatkan ketrampilan dibidang sosial dan menambah kepercayaan diri mereka di bidang kesejahteraan sosial.

d. Perlu ditetapkan kriteria TKSK pada saat rekruitmen, seperti;  Sarana kerja: pedoman, modul dan juknis penanganan PMKS

 Memberikan insentif yang layak  Pembekalan keterampilan komunikasi yang baik.

6.3.3. Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya Organisasi Sosial Lainnya

Jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang mencakup kelompok/lembaga sosial dan perorangan dapat dijelaskan seperti berikut:

• Perkumpulan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kelompok ini beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang memiliki anak balita. Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa dari pemerintah. Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Kegiatannya • Perkumpulan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kelompok ini beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang memiliki anak balita. Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa dari pemerintah. Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Kegiatannya

• PKK, Kelompok ini dibentuk atas prakarsa pemerintah, beranggotakan kaum wanita terutama ibu rumahtangga. Tujuan kelompok ini adalah peningkatan kesejahteraan keluarga melalui berbagai kegiatan seperti arisan, simpan pinjam, tabungan, gotong royong, dan usaha ekonomis produktif. Lembaga ini mempunyai jangkauan wilayah berjenjang dari tingkat Rukun Tetangga, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi

 Pengajian/majlis taklim dibentuk oleh masyarakat untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi kaum muslim. Kegiatan yang

dilakukan kelompok ini diantaranya adalah mengadakan pengajian dan pembinaan mental keagamaan.

• Arisan keluarga. Kelompok ini dibentuk masyarakat merupakan wadah silaturahmi, umumnya beranggotakan sejumlah Kepala Keluarga dari etnis tertentu. Arisan ini digunakan sebagai sarana tukar informasi dan saling memberikan pemikiran tentang permasalahan yang dihadapi anggota.

Organisasi-organisasi sosial lokal di atas mempunyai kegiatan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong dan pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum tergugah dan kurang memahami pentingnya peran mereka dalam penanganan masalahan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Hal ini antara lain disebabkan kondisi SDM yang relatif rendah (sebagian besar pendidikan SD), dan minimnya sumber dana maupun informasi yang mereka miliki.