Pengaruh Faktor Pendorong Dan Penarik Pada Komuter Terhadap Pengembangan Wilayah

(1)

PENGARUH FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK

PADA KOMUTER TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Perencanaan Wilayah Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)

Dipertahankan Pada Tanggal 10 September 2012

Nama

: M.Fitri Rahmadana

NIM

: 088105007

Program

: S3 Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

Judul Desertasi

: PENGARUH FAKTOR PENDORONG DAN

PENARIK PADA KOMUTER TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH

Nama Mahasiswa

: M.Fitri Rahmadana

Nomor Pokok

: 088105007

Program Studi

: Perencanaan Wilayah (PW)

 

 

Menyetujui,

Prof. Bachtiar Hassan Miraza Promotor

Prof.Dr. Ramli, SE. MS Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam, SE Ko-promotor Ko-promotor

Mengetahui,

Ketua Program Studi Direktur

(Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam, SE) (Prof Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE) NIP. 196308181988031005 NIP. 195208151980031001


(3)

PERSYARATAN GELAR

PENGARUH FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK

PADA KOMUTER TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Perencanaan Wilayah

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tertutup

Pada Hari

: Kamis

Tanggal

: 14 Juni 2012

Pukul

: 10.00 WIB

Oleh :

M.FITRI RAHMADANA

NIM. 088105007


(4)

Telah diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 14 Juni 2012

____________________________________________________

PANITIA PENGUJI DESERTASI

Ketua

: Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Anggota

: Prof. Dr. lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE

Prof.Dr. Ramli, SE. MS

Prof. Erlina, M.Si, Ph.D

Prof. Dr. Badaruddin, MS

Prof. Dr. Moch Nur Syechalad, MS

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor

: 993/UN5.1.R/SK/SSA/2012

Tanggal

: 29 Mei 2012


(5)

Telah diuji pada Ujian Desertasi (Promosi)

Tanggal 10 September 2012

____________________________________________________

PANITIA PENGUJI DESERTASI

Ketua

: Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Anggota

: Prof. Dr. lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE

Prof.Dr. Ramli, SE. MS

Prof. Erlina, M.Si, Ph.D

Prof. Dr. Badaruddin, MS

Prof. Dr. Moch Nur Syechalad, MS

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor

: 1329/UN5.1.R/SK/SSA/2012

Tanggal

: 16 Agustus 2012


(6)

TIM PROMOTOR

Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Prof. Dr. lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE


(7)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. Erlina, M.Si, Ph.D

Prof. Dr. Badaruddin, MS

Prof. Dr. Moch Nur Syechalad, MS


(8)

ABSTRACT

THE EFFECT OF COMMUTER PUSH FACTORS AND PULL FACTOR ON REGIONAL DEVELOPMENT

Promotor : Prof.Bachtiar Hassan Miraza

Kopromotor : Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE dan Prof.Dr.Ramli, SE.MS Promovendus : M.Fitri Rahmadana

The city is often considered to be something interesting, beautiful, promising, and civilized. Significance of city life has been a source of heated debate and attracts a lot of parties. In inherent is something that the terms with the effects of the all good (positive), while others view the city as the situation is completely uncertain and completely bad (negative). Commuting is a behavior that arise from the perspective of those with all its consequences, both individually and interventions. Based on the above problems, it needs an in-depth study of the influence of push and pull factors in commuting to the Development Area.

This study aims to explain the push and pull factors in the development of the commuter. The study is useful for decision makers in planning and diversify regional planning theory. The research was conducted with explanatory approach using primary data. Samples were taken as many as 384 respondents in proportion random sampling with snowball sampling method. Analysis of the data was used a correlation, regression and structural equation model.

The results showed that the driving factors and pull factors significantly influence the development of the region. Dependency ratio and income significantly influence the allocation of partner income commuters to the area of origin and quality of life. Income, accessibility of destinations and employment significantly influence the allocation of revenues to the regions of origin and quality of life for commuters.

Kata Kunci : Push Factosr, Pull Factors, Regional Development, Structural Equation Model


(9)

ABSTRAK

PENGARUH FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK PADA KOMUTER TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

Promotor : Prof.Bachtiar Hassan Miraza

Kopromotor : Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE dan Prof.Dr.Ramli, SE. MS Promovendus : M.Fitri Rahmadana

Kota sering dianggap sesuatu yang menarik, indah, menjanjikan, dan berperadaban. Signifikansi kehidupan kota telah menjadi sumber perdebatan sengit dan menarik banyak pihak. Secara inhern adalah sesuatu yang syarat dengan efek-efek yang serba baik (positif), sementara yang lainnya memandang kota sebagai situasi yang serba tidak menentu dan serba buruk (negatif). Komuter adalah prilaku yang muncul akibat dari perspektif tersebut dengan segala konsekuensinya baik secara individu maupun kewilayahan.  Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu suatu kajian yang mendalam mengenai Pengaruh Faktor Pendorong dan Penarik pada Komuter terhadap Pengembangan Wilayah.

Penelitian ini bertujuan menjelaskan faktor pendorong dan penarik pada komuter terhadap pengembangan wilayah. Penelitian ini bermanfaat bagi pengambil keputusan di bidang perencanaan dan memberikan variasi teori perencanaan wilayah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan eksplanatori menggunakan data primer. Sampel diambil sebanyak 384 responden secara proporsional trandom sampling dengan metode snowball sampling. Analisis data yang digunakan adalah korelasi, regresi dan structural equation model.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendorong dan faktor penarik berpengaruh secara signifikan terhadap pengembangan wilayah. Rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh signifikan terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter dan kualitas hidup. Pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh signifikan terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter dan kualitas hidup.

Kata Kunci : Faktor Pendorong, Faktor Penarik, Pengembangan Wilayah, Structural Equation Model


(10)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim.

Maha Besar Allah yang telah memberikan kepada salah seorang hamba-Nya setets ilmu-hamba-Nya sehingga hambanya ini dapat menyelesaikan Desertasi ini. Maha Besar Allah yang telah memilih Muhammad SAW sebagai perantara yang menterjemahkan Al-Quran yang tak berbentuk, tak berasa dan tak berwarna itu dalam bahasa manusia untuk menuju-Nya.

Dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 14 September 1977. Anak pertama dari pasangan Bapak M.Yunus Batubara dan Ibu Wijayawati. Saat ini bertugas sebagai staff pengajar pada Program Studi Pendidikan Tata Niaga, Jurusan Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Medan sejak tahun 2005. Penyusun juga Aktif di Palang Merah Indonesia, ISEED-Community, Lembaga Konsultan BANYANEER dan Lembaga Ayosekolah.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara (Bapak Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM).Sp.A(K)

2. DIrektur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (Bapak Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang,MSIE)

3. Promotor (Bapak Prof.Bachtiar Hassan Miraza)

4. Ko-promotor I (Bapak Prof.Dr.Lic.rer.reg. Sirojuzilam,SE) 5. Ko-promotor II (Bapak Prof.Dr.Ramli,SE.,MS)

6. Komisi Penguji (Bapak Prof. Erlina, SE., M.Si., Ak., Ph.D dan Bapak Prof.Dr.Badaruddin)

7. Komisi Penguji Luar (Bapak Prof.Dr. Moch. Nur Syechalad, MS) 8. Rekan-rekan mahasiswa S3 perencanaan wilayah.

Terima kasih saya juga saya tujukan kepada seluruh dosen Program Doktor Perencanaan Wilayah :

1. Prof.Dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K) 2. Prof.Dr.Ir.Sumono,MS

3. Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang,MSIE 4. Prof.Bachtiar Hassan Miraza 5. Prof.Dr.Lic.rer.reg. Sirojuzilam,SE


(11)

6. Prof.Dr.Ramli,SE.,MS

7. Prof.Dr.Sutyastie Soemitro Remi 8. Dr.Ir.Rahmanta Ginting,M.Si 9. Dr.Polin L.R Pospos

10. Dr.Ir.Ibnu Syafri

Terima kasih saya yang sangat spesial kepada :

1. Kedua orang tua (Ayahanda M.Yunus Batubara dan Ibunda Wijayawati)

2. Istri saya tercinta (Oktavera Rizki)

3. Adik-adik saya (Nova Akbari, Julia Rahmadhani, Widya Masitah, Yasmin Afifah, Parlaungan Rambe)

Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan, semoga Allah membalas semua kebaikan tersebut dengan sempurna.

Medan, September 2012

M.Fitri Rahmadana

 


(12)

DAFTAR ISI

HAL

ABSTRACT... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II. KAJIAN PUSTAKA... 16

2.1. Landasan Teoritis... 16

2.1.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah... 16

2.1.2. Teori Daerah/Wilayah Inti... 22

2.1.3. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan... 28

2.1.4. Teori Tindakan Voluntaristik ... 29

2.1.5. Teori Pilihan Rasional ... 31

2.1.6. Teori Welfare of Economic ... 37

2.1.7. Teori Kualitas Hidup ... 42

2.1.8. Teori-teori Migrasi ... 45

2.8.1.1 Push and Pull Factor Theory (Lee,S.Everett) . 46 2.8.1.2 Teori Migrasi oleh Lewis-Fei-Ranis ... 47

2.8.1.3 Teori Migrasi Oleh Todaro ... 50


(13)

2.1.9. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk ... 54

2.1.10. Pola Migrasi Desa – Kota... 56

2.1.11. Teori-teori Pengambilan Keputusan Bermigrasi ... 57

2.1.12. Teori Transportasi ... 60

2.1.13. Instrumen Kebijakan Migrasi Internal... 67

2.2. Penelitian Terdahulu ... 68

BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN.. 77

3.1. Kerangka Konseptual... 77

3.2. Hipotesis ... 83

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 84

4.1. Desain Penelitian ... 84

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 84

4.2.1 Populasi ... 84

4.2.2 Sampel ... 85

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel... 87

4.3. Variabel Penelitian... 87

4.3.1 Klasifikasi Variabel ... 87

4.3.2 Defenisi Operasional Variabel ... 87

4.4. Instrumen Penelitian ... 89

4.5. Metode Pengumpulan Data... 89

4.6. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Data ... 91

4.6.1 Uji Validitas... 91

4.6.2 Uji Reliabilitas... 91

4.7. Teknik Pengukuran Data... 92

4.8. Teknik Analisis Data... 95

BAB V. ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 100

5.1. Deskripsi Lokasi penelitian... 100

5.2. Data Hasil Penelitian... 109


(14)

5.4. Analisis Korelasi dan Regressi ... 135

5.5. Analisis Faktor Konfirmatori ... 147

5.6. Analisis Full Model Structural Equation Model (SEM) ... 149

BAB VI. PEMBAHASAN... 153

6.1. Pembahasan Hasil Penelitian ... 153

6.2. Model Faktor Pendorong dan Faktor penarik Pada Komuter Terhadap Pengembangan Wilayah ... 173

6.3. Temuan Penelitian ... 174

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 185

7.1. Kesimpulan ... 185

7.2. Saran ... 185

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Gambar Judul Halaman

Tabel 1.1. Pertumbuhan Jumlah Pendatang Ke Ibukota 8 Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Jabodetabek Tahun 2009 – 2010 9 Tabel 1.3. Moda Transportasi Komuter Dari Bodetabek ke Jakarta

dan Jumlah Penduduk Jakarta 9 Tabel 1.4. 30 Pintu Gerbang Masuknya Komuter Ke Kota Medan 12 Tabel 2.1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk 56 Tabel 2.2. Tabulasi Penelitian Terdahulu 67 Tabel 3.1. Keterkaitan Teori Dengan Penelitian 81

Tabel 4.1. Populasi penelitian 84

Tabel 4.2. Alokasi Proporsional Sampel 86

Tabel 4.3. Teknik Pengukuran Data 93

Tabel 4.4. Indeks Kelayakan Model 99

Tabel 5.1. Tabulasi Silang Antara Jenis Kelamin dan Status

Pernikahan 112

Tabel 5.2. Tabulasi Silang Antara Jenis Kelamin dan Pendidikan 113 Tabel 5.3. Tabulasi Silang Antara Jenis Kelamin dan Pekerjaan 113 Tabel 5.4. Tabulasi Silang Antara Pendidikan dan Status 114 Tabel 5.5. Tabulasi Silang Antara Pendidikan dan Pekerjaan 114 Tabel 5.6. Jumlah Anggota Keluarga yang Bekerja 117 Tabel 5.7. Jumlah Anggota Keluarga yang Tidak Bekerja 117


(16)

Tabel 5.8. Uji Validitas Variabel Pengembangan Wilayah 133 Tabel 5.9. Uji Validitas Variabel Faktor Pendorong 133 Tabel 5.10. Uji Validitas Variabel Faktor Penarik 134 Tabel 5.11. Hasil Uji Reliabilitas 135 Tabel 5.12. Uji Multikollinearitas 137 Tabel 5.13. Uji Multikollinearitas 139 Tabel 5.14. Uji Multikollinearitas 140 Tabel 5.15. Uji Multikollinearitas 142 Tabel 5.16. Korelasi Secara Parsial dan Simultan Terhadap Variabel

Alokasi Pendapatan Ke daerah Asal Komuter 143 Tabel 5.17. Korelasi Secara Parsial dan Simultan Terhadap Variabel

Kualitas Hidup 144

Tabel 5.18. Regressi Secara Parsial dan Simultan Terhadap Variabel

Kualitas Hidup 145

Tabel 5.19. Regressi Secara Parsial dan Simultan Terhadap Variabel Alokasi Pendapatan Ke daerah Asal Komuter 146 Tablel 5.20. Hasil Pengujian Kelayakan Structural Equation

Modeling (SEM) 150

Tabel 5.21. Pengujian Hipotesis 152


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1.1. Jalur Masuk Komuter Ke Kota Medan 11

Gambar 2.1. Unit-unit Tindakan Voluntaristik Menurut Parsons 30

Gambar 2.2. Kurva amplop menunjukkan batas kesejahteraan. 39

Gambar 2.3. Kurva Indiference yang menggambarkan kombinasi

tingkat kesejahteraan masyarakat 40

Gambar 2.4. Consumer Surplus 41

Gambar 2.5. Aktifitas Harian Komuter 45

Gambar 2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Bermigrasi 47 Gambar 2.7. Grafik Model Lewis-Fei-Ranis (L-F-R) Tentang

Pertumbuhan Sektor Modern Dalam Perekonomian

Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja 49

Gambar 2.8. Model Migrasi Todaro 50

Gambar 2.9. Hubungan Antara Kebutuhan Dan Pola Mobilitas

Penduduk 54

Gambar 2.10. Model Teori Poros 61

Gambar 2.11. Interaksi Guna Lahan-Transportasi 63

Gambar 2.12. Sistem Transportasi Makro 66

Gambar 3.1. Mapping Theory 80

Gambar 3.2. Kerangka Konseptual 82

Gambar 4.1. Diagram Jalur 96


(18)

Gambar 5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur 110

Gambar 5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Penikahan 110

Gambar 5.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan 111

Gambar 5.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama 111

Gambar 5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan 112

Gambar 5.7. Persentasi Responden yang mengalokasikan

Biaya Perumahan 115

Gambar 5.8. Keterjangkauan Biaya perumahan 116

Gambar 5.9. Kelayakan Rumah 116

Gambar 5.10. Kemampuan Pasangan Menopang Perekonomian Keluarga 118

Gambar 5.11. Kelayakan Pendapatan 118

Gambar 5.12. Kesesuaian Pendapatan Dengan Alokasi Waktu 118

Gambar 5.13. Pendapatan Komuter Lebih Baik 119

Gambar 5.14. Kelayakan Pendapatan Komuter 119

Gambar 5.15. Kesesuaian Pendapatan Dengan Alokasi Waktu Komuter 120

Gambar 5.16. Kemudahan Moda Transportasi 121

Gambar 5.17. Kenyamanan Diperjalanan 121

Gambar 5.18. Waktu Tempuh Yang Wajar 121

Gambar 5.19. Mudahnya Informasi Pekerjaan 122

Gambar 5.20. Mudahnya Memperoleh Pekerjaan 123

Gambar 5.21. Mengurangi Pengangguran Di Wilayah Anda Tinggal 123

Gambar 5.22. Mengurangi Pengangguran Di Wilayah Anda Bekerja 124

Gambar 5.23. Menjadi Komuter Mengakibatkan Kualitas Hidup


(19)

Gambar 5.24. Menjadi Komuter Mengakibatkan Kehilangan

Kehidupan Sosial 128

Gambar 5.25. Menjadi Komuter Menurunkan Kualitas Sebagai

Orang Tua 128

Gambar 5.26. Menjadi Komuter Meminimalisai Berfikir Masa Depan 129

Gambar 5.27. Menjadi Komuter Menurunkan Kualitas Sebagai

Anggota Keluarga 129

Gambar 5.28. Menjadi Komuter Menghilangkan Waktu Anda

Menyalurkan Hobi 130

Gambar 5.29. Menjadi Komuter Membuat Anda Stress 130

Gambar 5.30. Menjadi Komuter Membuat Anda Merasa Kelebihan

Beban Kerja 131

Gambar 5.31. Grafik Histogram Pengujian Normalitas 135

Gambar 5.32. Scatter Plott Pengujian Heterokedastisiti 136

Gambar 5.33. Grafik Histogram Pengujian Normalitas 137

Gambar 5.34. Scatter Plott Pengujian Heterokedastisiti 138

Gambar 5.35. Grafik Histogram Pengujian Normalitas 139

Gambar 5.36. Scatter Plott Pengujian Heterokedastisiti 140

Gambar 5.37. Grafik Histogram Pengujian Normalitas 141

Gambar 5.38. Scatter Plott Pengujian Heterokedastisiti 142

Gambar 5.39. Konstruk Faktor Pendorong Awal 147

Gambar 5.40. Konstruk Faktor Pendorong Awal Revisi 148

Gambar 5.41. Konstruk Faktor Pendorong Penarik 148

Gambar 5.42. Konstruk Faktor Pendorong Awal 149

Gambar 5.43. Analisis Full Model 150


(20)

Gambar 6.2. Model 1 174


(21)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Kuesioner Desertasi

Lampiran II. Tabulasi Kuesioner

Lampiran III. Output Uji Validitas dan Uji Reliabilitas SPSS v.20.0 Lampiran IV. Output Statistik Deskriptif Variabel Penelitian SPSS v.20.0 Lampiran V. Output Korelasi dan Regresi Antar Variabel SPSS v.20.0 Lampiran VI. Output Confirmatory Factor Analysis SPSS v.20.0 Lampiran VII. Output AMOS v.5.0


(22)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Muhammad Fitri Rahmadana 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 14 September 1977 3. Agama : Islam

4. Pekerjaan : Dosen Fakultas Ekonomi UNIMED 5. Nama Isteri : Oktavera Rizki,SE.,M.Si

6. Nama Orang Tua

a. Ayah : Drs. H.M.Yunus Batubara,M.Pd b. Ibu : Hj. Wijayawati, S.Pd

7. Riwayat Pendidikan

a. Lulus SD Swasta ERIA Medan, Tahun 1989 b. Lulus SMP Negeri 2 Medan, Tahun 1992 c. Lulus SMA Negeri 2 Medan, Tahun 1995

d. Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Tahun 2000

e. Memperoleh Gelar Magister Sains Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Universitas Syiah Kuala Nangroe Aceh Darussalam, Tahun 2004

8. Riwayat Pekerjaan

a. Pada tanggal 1 Januari 2005 menjadi CPNS Golongan III.b dengan Jabatan Fungsional Asisten Ahli pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan

b. Sejak tanggal 1 April 2011 diangkat sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Tata Niaga Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan c. Pada tanggal 1 Juni 2011 mencapai jabatan fungsional sebagai Lektor d. Pada tanggal 1 Oktober 2011 mencapai kepangkatan III.c


(23)

ABSTRACT

THE EFFECT OF COMMUTER PUSH FACTORS AND PULL FACTOR ON REGIONAL DEVELOPMENT

Promotor : Prof.Bachtiar Hassan Miraza

Kopromotor : Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE dan Prof.Dr.Ramli, SE.MS Promovendus : M.Fitri Rahmadana

The city is often considered to be something interesting, beautiful, promising, and civilized. Significance of city life has been a source of heated debate and attracts a lot of parties. In inherent is something that the terms with the effects of the all good (positive), while others view the city as the situation is completely uncertain and completely bad (negative). Commuting is a behavior that arise from the perspective of those with all its consequences, both individually and interventions. Based on the above problems, it needs an in-depth study of the influence of push and pull factors in commuting to the Development Area.

This study aims to explain the push and pull factors in the development of the commuter. The study is useful for decision makers in planning and diversify regional planning theory. The research was conducted with explanatory approach using primary data. Samples were taken as many as 384 respondents in proportion random sampling with snowball sampling method. Analysis of the data was used a correlation, regression and structural equation model.

The results showed that the driving factors and pull factors significantly influence the development of the region. Dependency ratio and income significantly influence the allocation of partner income commuters to the area of origin and quality of life. Income, accessibility of destinations and employment significantly influence the allocation of revenues to the regions of origin and quality of life for commuters.

Kata Kunci : Push Factosr, Pull Factors, Regional Development, Structural Equation Model


(24)

ABSTRAK

PENGARUH FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK PADA KOMUTER TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

Promotor : Prof.Bachtiar Hassan Miraza

Kopromotor : Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE dan Prof.Dr.Ramli, SE. MS Promovendus : M.Fitri Rahmadana

Kota sering dianggap sesuatu yang menarik, indah, menjanjikan, dan berperadaban. Signifikansi kehidupan kota telah menjadi sumber perdebatan sengit dan menarik banyak pihak. Secara inhern adalah sesuatu yang syarat dengan efek-efek yang serba baik (positif), sementara yang lainnya memandang kota sebagai situasi yang serba tidak menentu dan serba buruk (negatif). Komuter adalah prilaku yang muncul akibat dari perspektif tersebut dengan segala konsekuensinya baik secara individu maupun kewilayahan.  Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu suatu kajian yang mendalam mengenai Pengaruh Faktor Pendorong dan Penarik pada Komuter terhadap Pengembangan Wilayah.

Penelitian ini bertujuan menjelaskan faktor pendorong dan penarik pada komuter terhadap pengembangan wilayah. Penelitian ini bermanfaat bagi pengambil keputusan di bidang perencanaan dan memberikan variasi teori perencanaan wilayah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan eksplanatori menggunakan data primer. Sampel diambil sebanyak 384 responden secara proporsional trandom sampling dengan metode snowball sampling. Analisis data yang digunakan adalah korelasi, regresi dan structural equation model.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendorong dan faktor penarik berpengaruh secara signifikan terhadap pengembangan wilayah. Rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh signifikan terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter dan kualitas hidup. Pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh signifikan terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter dan kualitas hidup.

Kata Kunci : Faktor Pendorong, Faktor Penarik, Pengembangan Wilayah, Structural Equation Model


(25)

BAB. I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Di dalam kepustakaan demografi sosial disebutkan bahwa perubahan jumlah, komposisi, distribusi dan pertumbuhan penduduk dalam suatu daerah, dipengaruhi oleh sedikitnya lima komponen demografi yaitu : (1) kelahiran , (2) kematian, (3) migrasi, (4) mobilitas sosial dan (5) perkawinan.

Pada dasarnya migrasi adalah pergerakan penduduk secara geografis, atau perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Hugo (1986) membedakan migrasi dalam dua kategori, yaitu migrasi permanen dan non permanen. Perbedaannya terletak pada tujuan pergerakan tersebut. Bila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, migran tersebut dikategorikan sebagai migran permanen, sebaliknya bila tidak ada niat menetap di tempat tujuan dikategorikan sebagai migran sirkuler. Mantra (2000) menambahkan satu lagi bentuk yang disebut komutasi, yaitu pergerakan penduduk yang dilakukan dengan cara pergi ke tempat kerja dan pulang ke rumah pada hari yang sama. Berbeda dengan migrasi permanen yang memboyong seluruh anggota keluarganya dan menetap di daerah tujuan, migrasi sirkuler adalah migran yang meskipun bekerja di tempat tujuan, tetapi umumnya keluarga masih tetap tingggal di daerah asal.

Dikatakan Jellinek (1986), bahwa migran sirkuler adalah migran yang meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanen mereka di tempat asal, di mana terdapat isteri, anak, dan kekayaannya.


(26)

Migrasi sebagai suatu proses perpindahan penduduk mengalami peningkatan yang cukup berarti pada beberapa dasawarsa belakangan ini, terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Peningkatan arus migrasi ini terutama terjadi dari desa menuju kota. Dilihat dari sebab terjadinya, pada dasarnya migrasi timbul karena adanya perbedaan kondisi alam dan/atau kondisi sosial ekonomi antara daerah yang satu dengan yang lain. Terbatasnya sumber daya alam dan lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi menjadi faktor dominan bagi penduduk meninggalkan daerah asal. Oberai (1985) mengatakan bahwa di banyak negara Asia, seperti juga di negara-negara dunia ketiga pada umumnya, kemiskinan merupakan faktor pendorong para migran meninggalkan daerah asal menuju ke daerah tujuan yang memiliki lebih banyak kesempatan memperoleh sumber daya sosial ekonomi. Manifestasi kemiskinan tersebut ditandai oleh pendapatan yang rendah di sektor pertanian, produktivitas rendah dan gejala pengangguran yang parah.

Selama ini berbagai studi telah menunjukkan bahwa, migrasi penduduk antar daerah pada umumnya disebabkan oleh terjadinya ketimpangan regional seperti demografis, budaya maupun model pembangunan ekonomi yang diterapkan (Zelinsky,1971; Titus,1988; Tjiptoherianto,2000; dan Nasution, 1997). Perbedaan model pembangunan ekonomi yang diterapkan seringkali membawa konsekuensi pada pesatnya peningkatan pendapatan sebagian penduduk yang memiliki akses pada pembangunan ekonomi. Sebagian besar lainnya bertambah miskin akibat tidak memiliki akses pembangunan ekonomi tersebut.

Menurut Kusnetz (dalam Todaro, 2000) tahap-tahap awal dari proses pembangunan ekonomi suatu negara akan menyebabkan distribusi pendapatan


(27)

penduduk semakin memburuk. Dampak domino dari ketimpangan kesempatan kerja dan pendapatan seperti itu adalah timbulnya arus migrasi penduduk dari daerah-daerah miskin menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pertumbuhan antar wilayah ekonomi, sosial dan kultural semacam itu juga telah dialami oleh Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Capaian perkembangan ekonomi yang relatif maju tersebut terjadi pada periode Repelita ke V yakni sekitar tahun 1994. Sejak periode tersebut arus perpindahan penduduk terutama dari desa ke kota terus meningkat sepanjang tahun (Tjiptoherijanto, 2000).

Oleh karena itu para peneliti dan ahli kependudukan pada periode 1970-an hingga menjelang 1990-an lebih memusatkan perhatiannya pada migrasi internal, yaitu perpindahan penduduk antar propinsi atau dalam satu propinsi, khususnya pola migrasi daerah asal-daerah tujuan yang sedang tumbuh (Naim,1979; Hugo,1978; Goldstein,1980; Mantra,1981; dan Titus,1988;). Kondisi ini pula yang diduga menjadi sebab mengapa studi-studi migrasi internasional, (terutama yang mengkaji tentang proses pengambilan keputusan di tingkat individu) masih belum banyak dikerjakan oleh peneliti Indonesia sendiri (Eki, 2002).

Mobilitas penduduk desa-kota seperti apa yang diuraikan di diatas sebenarnya sejalan dengan teori peralihan mobilitas penduduk dari Wilbur Zelinsky yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis dan tinggi rendahnya mobilitas geografis dengan fase modernisasi suatu masyarakat (Zelinsky, 1971). Bahkan kemudian muncul kekhawatiran di kalangan para ahli ilmu sosial dan demografi pada periode itu, bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari proses modernisasi ekonomi dan industrialisasi kota akan menyebabkan beberapa kota di


(28)

sejumlah negara sedang berkembang menghadapi tekanan kepadatan penduduk yang luar biasa besar dan membawa permasalahan yang amat kompleks.

Kekhawatiran para ahli tersebut nampaknya memang beralasan, karena dampak dari urbanisasi berlebih seperti yang digambarkan oleh Nasikun (1980) lebih banyak menimbulkan sisi buruknya dibanding sisi positifnya, baik dilihat dari sisi kehidupan migran sendiri di daerah tujuan dan daerah asalnya maupun dari sisi kebijakan penataan ruang kehidupan daerah tujuan dimasa depan.

Berkaitan dengan kenyataan tersebut maka antara periode 1971 – 2000, distribusi kota-kota di Indonesia cenderung bergerak kearah sistem perkotaan yang terpadu. Perkembangan kota-kota di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatra) cenderung menciptakan daerah-daerah “mega urban”. Beberapa contoh dari pola perkembangan ini adalah munculnya “Jabodetabek”. Di Sumatra (Medan - Lubuk Pakam – Binjai – Stabat - Tebing Tinggi), di Bandung (Cimahi - Lembang – Banjaran – Majalaya), di Jawa Tengah (Semarang - Kendal - Demak –

Unggaran - Salatiga) sedangkan di Jawa Timur dengan konsep

Gerbangkertosusila (Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya - Sidoarjo dan Lamongan) (Tjiptoherijanto,2000).

Demikian pesat perkembangan kota-kota di Pulau Jawa khususnya, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari migrasi, maka sangatlah beralasan jika perhatian para peneliti dan pemerintah saat itu masih terpusat pada masalah-masalah migrasi di dalam negeri (migrasi internal) khsusunya komuter.

Komuter menjadi permasalahan karena pendidikan yang umumnya rendah, dan juga karena mereka tidak memiliki ketrampilan yang memadai. Hal ini seringkali mengakibatkan mereka mencari nafkah di daerah tujuan dengan


(29)

melakukan usaha mandiri kecil-kecilan, menggunakan peralatan dan ketrampilan sederhana yang dikuasainya. Mereka bekerja sebagai pemulung, penjual keliling, pedagang asongan, tukang becak, tukang ojek, pedagang kaki lima, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang umumnya merupakan bagian dari sektor informal (Hart, 1985). Jangkauan kegiatan di sektor informal ini sangat luas. Kegiatan ini bisa dijumpai di sektor perbankan dalam bentuk kegiatan rentenir, di sektor angkutan dalam bentuk operasi tukang becak, di bidang jasa dalam bentuk kegiatan memulung, di sektor perdagangan ada kegiatan berdagang di kaki lima, dan di sektor konstruksi dalam bentuk penggunaan jasa pekerja bangunan dan mandor.

Dikemukakan Hugo (1986), bahwa ada dua pertimbangan yang mempengaruhi komuter terlibat dalam kegiatan di sektor informal. Pertama, bekerja di sektor informal lebih sesuai dengan sifat migran. Tidak seperti sektor formal yang menghendaki orang bekerja enam hari dalam seminggu, dengan jam kerja yang teratur. Kedua, kaum migran jauh lebih mudah memasuki sektor informal daripada sektor formal. Hugo (1978) mengatakan bahwa seperti sektor pertanian Jawa, sektor informal daerah tujuan umumnya dapat sangat fleksibel menyerap tenaga kerja dari golongan dan kelas manapun.

Bahwa para komuter di daerah tujuan umumnya bernasib lebih baik daripada ketika mereka bekerja di daerah asal. Meskipun ada kehidupan sosial ekonomi komuter setelah mereka melakukan komuter lebih buruk, dan keberhasilan para komuter dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonomi tidaklah terjadi secara merata.


(30)

Persoalan lainnya adalah daerah tujuan jauh lebih kompleks dari daerah asal. Bagi pelaku komuter, proses perpindahan dari daerah asal ke daerah tujuan seringkali menimbulkan persoalan. Daerah asal dan daerah tujuan merupakan dua lingkungan yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak hanya secara geografis, melainkan juga dalam hal nilai, norma dan model pengetahuan. Lingkungan mempengaruhi kebudayaan, sehingga kebudayaan yang terbentuk merupakan nilai, norma, dan model pengetahuan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan yang dihadapinya. Dengan demikian kebudayaan yang tumbuh di daerah asal berbeda dengan di daerah tujuan. Kebudayaan dalam hal ini dilihat sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Operasionalisasi dari kebudayaan dalam kehidupan nyata terwujud dalam struktur yang ada dalam masyarakat. Ini mungkin terjadi karena adanya pranata-pranata sosial yang dipunyai masyarakat. Pranata sosial merupakan suatu sistem antar-hubungan, peranan dan norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan sosial utama tertentu, yang dirasakan perlunya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Perbedaan antara daerah tujuan dengan daerah asal terletak pada tingkat kompleksitas kebudayaannya. Kompleksitas ini tercermin dalam berbagai sistem organisasi serta struktur yang ada di daerah tujuan dan di daerah asal, dan dari berbagai tingkah laku para warga daerah tujuan dan daerah asal. Dalam bidang pekerjaan di daerah tujuan, di samping adanya pekerjaan yang berkaitan dengan


(31)

keahlian spesialisasi tertentu dan menekankan pada pekerjaan otak, juga terdapat kegiatan ekonomi yang membutuhkan tenaga trampil yang dapat dilakukan melalui suatu pendidikan ketrampilan atau keahlian khusus. Keanekaragaman kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi daerah tujuan dimungkinkan oleh kepadatan penduduknya yang relatif lebih tinggi daripada di daerah asal, dan oleh kompleksnya struktur sosial di daerah tujuan (Suparlan, 1980). Dengan adanya berbagai perbedaan antara daerah asal dan daerah tujuan, komuter ketika tiba di daerah tujuan dihadapkan pada berbagai persoalan yang harus diatasi. Persoalan yang dihadapi tersebut tidak sekedar bagaimana komuter berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan daerah tujuan yang memiliki kompleksitas kebudayaan yang amat berbeda dengan kehidupan yang dialami para komuter ketika mereka masih di daerah asal, melainkan juga persoalan tentang bagaimana komuter berusaha bisa bertahan hidup.

Secara objektif, keberadaan komuter tidak selalu menyebabkan hal-hal negatif. Kehadiran komuter juga memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan sebuah wilayah. Pembangunan jalan, jembatan, gedung perkantoran, dan perumahan tidak terlepas dari para pekerja di sektor informal. Beroperasinya pabrik di kawasan-kawasan industri yang terletak di daerah tujuan juga tidak terlepas dari komuter. Berkembangnya pusat-pusat jajanan, pusat hiburan, sekolah, rumah sakit di daerah tujuan belum tentu semuanya dinikmati oleh penduduk dalam daerah tujuan itu sendiri, namun kenyataannya juga dinikmati oleh para komuter dan keluarganya. Kesemuanya memicu berkembangnya industri-industri tersebut dengan tingkat daya beli masyarakat baik yang tinggal didaerah tujuan tersebut maupun di interland-nya


(32)

Berdasarkan data Dinas Kependudukan, jumlah pendatang pasca lebaran pada tahun 2004 mencapai 190.356 orang, turun 7,07% dibandingkan tahun 2003. Begitu juga tahun 2005 dimana jumlah pendatang baru mencapai 180.767% orang, turun 5,04% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tabel.1.1 Pertumbuhan Jumlah Pendatang Ke Ibukota

No Tahun Jumlah Persen

1 2004 190.356 7,07

2 2005 180.767 5,04

3 2006 124.427 31,17

4 2007 109.716 11,90

5 2008 88.473 19,29

6 2009 69.554 21,38

7 2010 37.6552 7,08

Sumber : Dinas Kependudukan DKI Jakarta

Tren penurunan jumlah pendatang baru ke Jakarta juga terjadi pada tahun 2006 dimana pendatang baru tercatat 124.427 orang, turun 31,17% dibandingka tahun 2005. Lalu, pada tahun 2007, angka pendatang baru ke Jakarta juga menurun menjadi 88.473 orang, turun 19,29% dibandingkan tahun 2007, kemudian pada tahun 2009, jumlah pendatang baru ke Jakarta kembali turun menjadi 69.554 orang, lebih rendah 21.38% dibanding tahun 2008. Pendatang inilah yang kemudian berdomisili di daerah sekitar Jakarta dan kemudian menjadi pekerja komuter yang bekerja di Jakarta.

Sebagian dari urban tersebut akhirnya menjadi komuter dan mendongkrak jumlah komuter di Jakarta pada 2010 ini sehingga mencapai sekitar 5,4 juta orang setiap hari. Komuter di Jakarta berasal dari daerah penyangga yakni : Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) yang mengalami pertambahan penduduk yang cukup signifikan.


(33)

Tabel.1.2 Jumlah Penduduk Jabodetabek Tahun 2009 - 2010

Wilayah 2009 2010 Pertambahan (%)

DKI Jakarta 9.223.000 9.588.198 3,8

Kab. Bogor 4.453.927 4.695.453 5,2

Daerah tujuan Bogor 985.596 949.066 5,6

Kab. Tangerang 2.508.967 2.600.000 3,5

Daerah tujuan Tangsel 1.051.374 1.376.650 23,6

Daerah tujuan Tangerang 1.783.881 1.800.000 0,9

Kab. Bekasi 2.121.122 2.600.000 18,4

Daerah tujuan Bekasi 2.176.743 2.336.498 37,3

Daerah tujuan Depok 1.465.826 1.692.315 13,4

Bodetabek 16.457.436 18.049.982 8,8

Jabodetabek 25.680.436 27.638.180 7,1

Sumber : SUARA PEMBARUAN, Kamis, 23 September 2010

Berdasarkan data statistik kependudukan, penambahan warga Bodetabek tahun 2009-2010 sekitar 1,5 juta orang atau lebih dari lima kali lipat (536%) penambahan warga Jakarta pada kurun waktu yang sama. Dari 5,4 juta komuter tersebut, sebanyak 50 % menggunakan bus dan angkutan umum sejenis, 44 % menggunakan mobil pribadi dan sepeda motor serta hanya 3 % menggunakan kereta api (KA). Akibatnya, jalanan penuh sesak oleh kendaraan bermotor terutama pada saat jam masuk dan pulang kerja.

Tabel.1.3 Moda Transportasi Komuter Dari Bodetabek ke Jakarta dan Jumlah Penduduk Jakarta

No Jenis Angkutan Persen No Uraian Jumlah

1 Bus 50% 1 Malam Hari 9.588.198

2 Mobil Pribadi/ Sepeda Motor 44% 2 Komuter 5.400.000

3 Kereta Api 3% 3 Siang Hari 14.988.198

4 Lain - Lain 7% Jumlah 29.976.396

Sumber: MTI

Permasalahan bukan hanya terjadi di Jakarta. Sejumlah kota besar lain juga merasakannya. Seperti Surabaya, Medan, Semarang, dan kota-kota lainnya. Jumlah penduduk kota terus meningkat. Pada tahun 1980 jumlah penduduk di kota sebesar 32,8 juta (22,3%), meningkat menjadi 55,4 juta (30,9%) pada tahun


(34)

1990. Kemudian menjadi 74 juta (37%) pada 1998 dan 90 juta jiwa (44%) pada tahun 2002. Kota besar masih menjadi tujuan yang terus diburu masyarakat. Imbauan semata dan kebijakan parsial tertentu sulit untuk menekan arus urbanisasi ini.

Ada dua fakta yang menyebabkan arus tersebut terus berlangsung yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah asal, sementara faktor penarik adalah janji yang ada di daerah tujuan.

Daerah asal sudah tidak lagi bisa memberikan kehidupan yang baik dan pekerjaan sulit didapat. Pertanian yang selama ini menjadi andalan daerah asal tidak lagi memberi nafkah yang baik. Industrialisasi saat ini juga belum bisa masuk ke daerah asal sehingga lapangan pekerjaan sangat terbatas.

Faktor pendorong yang membuat mereka keluar dari daerah asal jauh lebih besar daripada faktor penariknya. Besarnya faktor pendorong ini membuat mereka tidak mempunyai pilihan selain harus pergi ke daerah tujuan dan mengadu nasib dengan kerasnya persaingan. Faktor penarik yang berasal dari daerah tujuan saat ini sebenarnya tidak terlalu besar. Daerah tujuan sudah tidak nyaman lagi untuk ditempati. Kepadatan penduduk yang sangat besar, tingkat kriminalitas yang tinggi, serta berbagai hal negatif lain akhirnya tidak terlalu menjadi pertimbangan. Daerah tujuan hingga saat ini masih memberikan harapan walaupun kadang harapan itu sangat kecil. Kedua faktor khususnya faktor pertama, harus menjadi perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Karena jika faktor pendorong itu bisa diminimalkan, sangat mungkin angka urbanisasi bisa di tekan. Misalnya pemerintah harus bisa memberi perhatian


(35)

yang serius pada pertanian sehingga masyarakat daerah asal akan lebih tenang mencari nafkah lewat jalur pertanian. Apalagi lahan-lahan di daerah asal masih sangat luas untuk digarap.

Di kota Medan sendiri, berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap. Penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 700.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu daerah tujuan dengan jumlah penduduk yang besar. Di siang hari, jumlah penduduk kota Medan mencapai 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah komuter.

         

     

Gambar.1.1 Jalur Masuk Komuter Ke Daerah tujuan Medan

(sumber : http:// wapedia.mobi /id/Daerah tujuan_Medan?t=4.).

Para gambar.1.1. diatas hanya terlihat 4 pintu masuk komuter ke daerah tujuan Medan yaitu 3 sisi dari Kabupaten Deli serdang dan 1 sisi dari Daerah


(36)

tujuan Binjai. Menurut survey BPS tahun 2009 sebenarnya ada 30 pintu masuk komuter ke daerah tujuan Medan seperti yang dapat dilihat pada tabel.1.4.

Pilihan sebagai komuter merupakan pilihan yang rasional dengan alasan-alasan yang tentunya rasional pula seperti alasan-alasan ekonomi, psikologi, geografi, demografi, sosiologi dan sebagainya demi mencapai tujuan yang diantaranya adalah kesejahteraan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih meningkat.

Tabel.1.4 Tiga Puluh Pintu Gerbang Masuknya Komuter Ke Daerah tujuan Medan

No Pintu Masuk Komuter

1 Jl.Gatot Subroto arah Binjai

2 Jl. Jamin Ginting arah Berastagi

3 Jl.SM Raja arah Tanjung Morawa

4 Jl.Letda Sujono arah Tembung

5 Jl.Brigjen Katamso arah Delitua

6 Jl.Labuhan Deli Hamparan Perak

7 Jl.Pancing

8 Pintu Tol Balmera

9 Jl.Garuda Perumnas Mandala

10 Jl.Karya arah Namorambe

11 Jl.Denai Ujung arah Tembung

12 Jl.Pertahanan/Amplas

13 Jl.Bendungan V

14 Jl.Selambo Ujung

15 Jl.Balai Daerah asal

16 Jl.Mariendal Dalam

17 Jl.Pancing arah Sentis

18 Kampung Tengah Terjun

19 Jl.Padang

20 Jl.Terjun arah Hamparan Perak

21 Perumnas Martubung

22 Jl.Williem Iskandar

23 Perumnas Simalingkar Jl.Pala Raya

24 Jl.Tanjung Gusta arah Hamparan Perak

25 Jl.PAM sunggal arah Sunggal DS

26 Jl.Simpang Melati arah Tj.Anom

27 Gaperta Ujung

28 Perumnas Simalingkar Jl.Nilam Raya

29 Belawan arah ke Batang Serai

30 Jl.Dame simpang Titi Layang


(37)

Atas dasar permasalahan diatas maka penulis memilih judul desertasi :

“Pengaruh Faktor Pendorong dan Penarik Pada Komuter Terhadap Pengembangan Wilayah”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah biaya perumahan, rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan

berpengaruh terhadap pengembangan wilayah.

1.1. Apakah biaya perumahan, rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter.

1.2. Apakah biaya perumahan, rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh terhadap kualitas hidup komuter.

2. Apakah pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap pengembangan wilayah.

2.1. Apakah pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter.

2.2. Apakah pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap kualitas hidup komuter.


(38)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka secara umum dalam penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah biaya perumahan, rasio

ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh terhadap

pengembangan wilayah.

1.1. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah biaya perumahan, rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh terhadap Alokasi pendapatan ke daerah asal komuter.

1.2. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah biaya perumahan, rasio ketergantungan dan pendapatan pasangan berpengaruh terhadap kualitas hidup komuter.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah pendapatan, aksesibilitas daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap pengembangan wilayah.

2.1. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah pendapatan, aksesibilitas

daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap alokasi pendapatan ke daerah asal komuter.

2.2. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah pendapatan, aksesibilitas

daerah tujuan dan kesempatan kerja berpengaruh terhadap kualitas hidup komuter.


(39)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dari segi pengembangan ilmu, diharapkan penelitian ini dapat

memberikan kontribusi terhadap khasanah keilmuan, khususnya di bidang ekonomi perkotaan dalam menyikapi persoalan komuter sebagai salah satu aspek yang dapat mendorong pengembangan wilayah. Disisi lain komuter dapat pula menjadi persoalan dalam sebuah tatanan kota. Penelitian ini dapat juga menjadi acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya, khususnya peneliti yang tertarik mengambil komuter sebagai objek penelitian.

2. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah disekitar kota Medan sebagai daerah interland dalam membuat kebijakan-kebijakan khususnya dalam perluasan kesempatan kerja, pemukiman dan peningkatan pendapatan. Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya akan mampu menunjang pengembangan wilayah di daerah asal komuter dan meningkatkan kualitas hidup komuter.

3. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah kota Medan dalam membuat berbagai kebijakan, khususnya kebijakan upah, perbaikan kualitas transportasi baik sarana, moda dan biaya transportasi serta kebijakan perluasan kesempatan kerja.

4. Dari sisi informatif, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang komprehenshif tentang prilaku rasional komuter berdasarkan aspek-aspek diantaranya ekonomi, psikologi, demografi, geografi dan sosiologi dalam mencapai tujuan komuter yaitu kesejahteraan ekonomi. Pada gilirannya akan berdampak terhadap pengembangan sebuah wilayah.


(40)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi, 2004) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase

kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi :


(41)

keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region

dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Menurut Saefulhakim (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun

similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan Pengembangan/ pembangunan/ development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.


(42)

Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk

mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek

pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan

lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable

development).

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan. Kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.

Menurut Akil (2003), dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu


(43)

Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah

maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread

effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir di Indonesia. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. (Akil, 2003)

Selanjutnya (Akil, 2003) menjelaskan, Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota nasional yang efisien dalam


(44)

konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP.

Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium bahkan mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris diatas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.

Berpijak pada pengertian diatas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial. Namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik. Mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.


(45)

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional,

meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan.


(46)

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

2.1.2. Teori Daerah/Wilayah Inti

John Friedmann menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general. Friedmann telah menampilkan teori daerah inti dalam artikel yang berjudul "A General Theory of Polarized Development", dalam Hansen N.M (1972). Di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau

periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pula daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah di sekitarnya.

Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinyu tetapi komulatif yang berasal pada sejumlah kecil pusat-pusat perubahan, yang terletak pada titik-titik interaksi yang mempunyai potensi interaksi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar ke bawah dan keluar dari pusat-pusat tersebut ke daarah-daerah yang mempunyai potensi interaksi yang lebih rendah (Hansen, N.M :1972).

Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megalopolis, dikategorisasikan sebagai daerah-daerah inti. Daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan subsistem-subsistem yang kemajuan


(47)

pembangunannya ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti. Dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spasial yang lengkap.

Proses daerah-daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah-daerah pinggiran dilaksanakan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti. Terdiri dari pengaruh dominasi (melemahnya perekonomian di daerah-daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya sumberdaya-sumberdaya alam, manusia, dan modal ke wilayah inti), pengaruh informasi (peningkatan dalam interaksi potensial untuk menunjang pembangunan inovatif), pengaruh psikologis (penciptaan kondisi yang menggairahkan untuk melanjutkan kegiatan kegiatan inovatif secara lebih nyata), pengaruh antar rantai (kecenderungan inovasi-inovasi untuk menghasilkan inovasi lainnya), dan pengaruh produksi menciptakan struktur balas jasa yang menarik untuk kegiatan-kegiatan inovatif, (Hasen, N.M ; 1972).

Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibukota pemerintahan,dan sebagainya.

Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut (Hasen, N.M ; 1972) :

1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah di sekitarnya melalui sistem suplai, pasar, dan daerah administrasi.


(48)

2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya. 3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung

mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan wilayah inti kepada daerah-daerah di sekitarnya tidak berhasil ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah di sekitarnya terhadap daerah-daerah inti menjadi berkurang.

4. Dalam suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karateristik-karateristiknya secara terperinci dan prestasinya.

5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.

Meskipun hubungan daerah inti - daerah pinggiran sebagai kerangka dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan regional dianggap kasar dan sederhana, akan tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan keterhubungan dan ketergantungan antara pusat dan daerah-daerah sekitarnya. Kemudian Friedmann dikembangkan klasifikasi daerah inti dan daerah-daerah pinggiran menjadi daerah metropolitan (metropolitan region), poros pembangunan (development axes),

daerah perbatasan (frontier region), dan daerah tertekan (depressed region).

Secara esensial hubungan antara daerah metropolitan dengan daerah-daerah perbatasan tidak berbeda dengan hubungan antara daerah-daerah inti dengan daerah-daerah pinggiran. Poros pembangunan merupakan perluasan dari daerah metropolitan dan sebagai bentuk embrio untuk berkembang menjadi megapolis.


(49)

Wilayah perbatasan termasuk dalam kategori daerah pinggiran, dan di dalamnya terdapat pusat kecil yang mempunyai potensi berkembang menjadi pusat-pusat yang lebih besar pada masa depan.

Dari klasifikasi di atas dapat diperoleh pelajaran yang bermanfaat, yakni suatu kebijaksanaan nasional pengembangan wilayah harus menyadari bahwa masalah-masalah dan metode pembangunan adalah berbeda-beda untuk setiap wilayah. Selain itu perubahan-perubahan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yang tejadi di seluruh jenis wilayah mempunyai ketergantungan satu sama lainnya.

Seperti halnya dengan teori kutub pertumbuhan (Perroux, 1964), Friedmann memberikan perhatian penting pada daerah inti sebagai pusat pelayanan dan pusat pengembangan. Teori-teori tersebut tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum industri dan tidak pula menentukan jenis investasi apa yang sebaiknya ditetapkan di pusat-pusat urban. Oleh karena itu mereka diklasifikasikan sebagai tanpa tata ruang. Walaupun demikian disadari bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan yaitu memberikan pancaran pengembangan ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Daerah inti mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mewujudkan integrasi spasial sistem sosial, ekonomi, dan budaya suatu bangsa.

Demikian kuat dominasi pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya susunan-susunan ketergantungan dualistik sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mendalam bagi pembangunan nasional. Beberapa arah perkembangannya yang penting dapat dikemukakan, yaitu hiper urbanisasi, pembangunan modern hanya terpusat di beberapa kota saja, sedangkan


(50)

daerah-daerah di luarnya boleh dikatakan terpencil dari perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, pengangguran dan kerja di bawah daya (underemployment),

perbedaan pendapatan dan kemiskinan, kekurangan makanan yang terus menerus, hidup kebendaan penduduk daerah pertanian tambah buruk, dan ketergantungan pada dunia luar. (Friedmann dan Douglass, 1976).

Memperlihatkan kelemahan-kelemahan di atas, maka Friedmann menganjurkan pembentukan agropolis-agropolis atau kota-kota di ladang. Hal ini berarti tidak mendorong perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar, tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal di tempat mereka semula. Dengan pembangunan agropolitan distrik, pertentangan abadi antara kota dan desa dapat

diredakan terutama di negara-negara berkembang, (Friedman dan

Douglass, 1976).

Salah satu dimensi perencanaan regional dalam bidang perkotaan ialah bagaimana menggerakkan pertumbuhan kota-kota kecil agar dapat mencapai pertumbuhan spontan yang mampu menyangga sendiri pembangunan kota-kota

kecil (spontaneous self-sustained growth). Dengan demikian pembangunan

agropolis-agropolis itu diusahakan tersusun dalam suatu jaringan kota secara regional yang disertai dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas perhubungan antar kawasan agropolitan ke kota-kota besar. Menetapkan kota agropolis menjadi pusat jasa-jasa pelayanan tertentu dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar dari pada yang terdapat dalam suatu kawasan (Fu Chen Lo, 1976).

Menurut Friedmann, kunci bagi pembangunan kawasan agropolitan yang berhasil ialah memperlakukan tiap-tiap kawasan sebagai satuan tunggal dan


(51)

terintegrasi. Kawasan agropolitan merupakan suatu konsep yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan tata ruang melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan. (Friedmann dan Douglass, 1976).

Friedmann telah mengembangkan teori kutub pertumbuhan dalam sistem pembangunan yang diselenggarakan berdasarkan atas desentraslisasi yang terkonsentrasikan (concentrated decentralization) atau sistem dekonsentrasi (Fu Chen Lo, 1976). Pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan selama ini mengikuti sistem desentralisasi, di mana peranan Pemerintah Pusat sangat besar. Ciri-cirinya yang menonjol antara lain adalah :

1. Pola pembangunan nasional atau sering disebut pula sebagai pembangunan sektoral, prioritasnya ditentukan berdasarkan kebijakan nasional.

2. Anggaran pembangunan disediakan oleh pemerintah pusat dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan

3. Pengelolaan proyek-proyek pembangunan dipertanggungjawabkan kepada

perangkat departemen di pusat atau perangkat pusat di daerah (jika pelaksanaannya didelegasikan kepada perangkat pusat di daerah).

Ciri-ciri kawasan agropolitan seperti yang dianjurkan Friedmann mirip dengan kota-kota (Ibukota-Ibukota Kabupaten) yang berpenduduk 50.000 orang ke bawah. Kebijakan perspektif yang dianjurkan oleh Friedman (1975) adalah :

(1) menganjurkan pembentukan lebih banyak titik-titik pertumbuhan ; (2) merangkai pusat-pusat agropolitan menjadi suatu jaringan pusat yang serasi

secara regional. Teori ini menjadi teori menarik untuk diadopsi sebagai salah stau teori tentang pengembangan wilayah dengan adanya daerah-daerah inti yang menarik banyak hal dari daerah-daerah sekitarnya termasuk sumberdaya manusia


(52)

yang kemudian disebut dengan komuter karena berdomisili di kota sekitar namun bekerja di kota inti.

2.1.3. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1966) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan : (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.

Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli (1985) dan Unwin (1989) dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di Negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.

Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado (2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi


(53)

neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan). Distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai. Dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.

Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002).

2.1.4. Teori Tindakan Voluntaristik

Asumsi yang mendasari pilihan teori “Voluntaristic action” ini adalah: (1) setiap orang pasti menganut sistem nilai, norma atau kebudayaan tertentu ; (2) kebudayaan tidak mungkin ada tanpa masyarakat. Jadi teori


(54)

pendekatan mikro guna menjelaskan proses pengambilan keputusan yang rasional ditingkat individu. Sebagaimana dikutip oleh Turner (1974), di dalam bukunya “The Structure of Sociological Theory” secara garis besar inti teori ‘Voluntaristic Action’ dari Parsons ini dapat dilihat dan dijelaskan melalui bagan berikut:

   

Gambar 2.1 Unit-unit Tindakan Voluntaristik Menurut Parsons.

Sumber : Turner,J.H.,The Structure of Sociological Theory,1974.

Menurut Parsons (1974) struktur dari tindakan sosial menyangkut lebih dari sekedar perilaku-perilaku yang ditentukan oleh aturan-aturan normatif belaka. Dalam kaitan ini, ada tiga komponen menurut Parsons yang perlu diperhatikan yakni : (1) Setiap tindakan menyangkut pengambilan keputusan perseorangan didalam usahanya meraih sesuatu tujuan. (2) Seperangkat nilai-nilai dan ide-ide yang lain akan membatasi pengambilan keputusan pelaku (Actor)

didalam upayanya untuk mencapai tujuan tersebut. (3) Adanya kondisi-kondisi yang bersifat situasional, seperti; keistimewaan lingkungan fisik dan keturunan, selanjutnya akan mendorong tindakan tersebut (Turner, 1974). Pada bagian lain Parsons (1974) menjelaskan konsepsi tentang Voluntarisme tersebut sebagai proses pengambilan keputusan subyektif dari seseorang aktor (pelaku individual), tetapi Parsons memandang keputusan seperti itu sebagai hasil parsial dari

Means 1 

Means 1  Means 1 

ACTOR 

NORMS, VALUES AND BELIEFS 

SITUATIONAL CONDITIONS 

 


(55)

bermacam-macam tekanan tertentu baik yang sifatnya normatif maupun situasional. Menjelaskan bagan tersebut di atas, Parsons (1974) sebagaimana dikutip oleh Turner, (1974) selanjutnya menyatakan bahwa, Voluntaristic Action

dengan demikian meliputi beberapa elemen dasar, sebagai berikut : (1) Ada pelaku (actor) yang dalam pemikiran Parsons merupakan perseorangan, (2) Pelaku yang sedang mengejar tujuan tertentu, (3) Pelaku yang juga mempunyai beberapa alternatif cara (means) untuk meraih tujuan itu, (4) Pelaku yang dihadapkan pada beberapa varian kondisi situasional, (5) Pelaku yang dibatasi oleh nilai-nilai, norma-norma dan sejumlah ide lainnya yang dalam hal ini mempengaruhi apa yang sesungguhnya dipertimbangkan sebagai tujuan dan sarana (means) yang dipilih untuk mencapai tujuan itu. Jadi tindakan sosial menurut Parsons (1974) meliputi aktor yang mengambil keputusan subyektif tentang sarana atau cara yang ia pakai untuk meraih tujuan, yang seluruhnya di pengaruhi atau mendapat tekanan dari nilai, ide dan kondisi situasional dilingkungan dimana aktor menjadi bagian di dalamnya (Turner, 1974).

2.1.5. Teori Pilihan Rasional

Sosiologi menurut Weber (1969) merupakan bidang kajian ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial dengan jalan menguraikan dan menjelaskan sebab-sebab dari sesuatu tindakan tersebut dilakukan. Sesungguhnya, inti dari sosiologi Weber adalah pada makna yang konkrit dari tindakan perseorangan yang lahir dari alasan-alasan subyektif, dan bukan pada bentuk-bentuk substansial dari kehidupan bersama maupun nilai obyektif dari tindakan


(1)

Covariances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change e8 <--> Faktor Penarik 8.034 -1.085 e4 <--> Faktor Penarik 4.075 -.229 e4 <--> Faktor Pendorong 10.047 .204 e5 <--> Faktor Pendorong 6.051 -.158 e5 <--> e9 5.214 .120 e5 <--> e7 5.220 .120 e6 <--> e9 9.835 -.285 e6 <--> e8 5.081 -1.174 e6 <--> e7 9.796 -.284 e6 <--> e5 4.736 .342 e3 <--> e9 5.609 .407 e3 <--> e7 5.588 .406 e3 <--> e4 8.920 .901 e3 <--> e5 6.304 -.769 e1 <--> e4 6.274 .159

Variances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change

Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change

Y2 <--- X22 4.990 -.277

Y2 <--- X23 7.552 -.220

Y1 <--- X23 5.176 -.032

Y1 <--- X13 5.275 .020

X21 <--- Faktor Pendorong 5.524 .162

X21 <--- X13 11.623 .052

X21 <--- X11 5.840 .151

X22 <--- Pengembangan Wilayah 5.219 .001

X22 <--- X13 8.061 -.044

X23 <--- Pengembangan Wilayah 9.831 -.002

X23 <--- Y2 14.507 -.096

X23 <--- Y1 15.791 -.538

X13 <--- Pengembangan Wilayah 5.612 .003

X13 <--- Y2 7.483 .129

X13 <--- Y1 10.196 .814


(2)

Minimization History (Default model)

Iteration Negative

eigenvalues Condition #

Smallest

eigenvalue Diameter F NTries Ratio

0 e 6 -.228 9999.000 711.918 0 9999.000

1 e 0 5030.915 1.346 259.268 20 .769

2 e 1 -.004 .925 154.203 11 .000

3 e 1 -.001 .523 100.809 5 .770

4 e 0 489.305 .407 91.017 6 .897

5 e 0 902.622 .938 85.635 1 .971

6 e 1 .000 .821 81.935 1 .966

7 e 0 5506.408 .587 80.692 8 .689

8 e 0 21346.679 1.053 79.250 1 1.328

9 e 0 41105.264 1.454 78.417 1 1.102

10 e 0 305841.899 1.153 77.602 1 1.243

11 e 0 224188.451 1.679 77.249 2 .000

12 e 0 1559396.236 1.367 76.756 1 1.242

13 e 0 998109.351 2.140 76.547 2 .000

14 e 0 7024474.267 1.581 76.223 1 1.228

15 e 0 3544119.716 2.822 76.107 2 .000

16 e 0 36510343.789 1.729 75.862 1 1.163

17 e 0 17341597.164 2.377 75.759 3 .000

18 e 0 32365480.446 2.951 75.634 1 1.329

19 e 0 57964646.838 3.282 75.530 1 1.312

20 e 0 112914842.440 3.390 75.441 1 1.342

21 e 0 161149741.310 4.009 75.369 1 1.272

22 e 0 365963479.759 3.633 75.301 1 1.362

23 e 0 335431818.693 5.479 75.258 1 .971

24 e 0 1978481817.869 3.178 75.198 1 1.242

25 e 0 729020895.380 6.156 75.176 2 .000

26 e 0 5776670756.429 3.315 75.125 1 1.192

27 e 0 2851188467.729 4.347 75.103 3 .000

28 e 0 3036517643.590 6.642 75.076 1 1.191

29 e 0 9481182599.421 4.965 75.046 1 1.346

30 e 0 7971426267.929 5.286 75.030 2 .000

31 e 0 11269047543.404 6.940 75.009 1 1.320

32 e 0 17998039155.563 7.123 74.989 1 1.339

33 e 0 23226259813.216 7.955 74.972 1 1.298

34 e 0 41946655386.899 7.523 74.956 1 1.360

35 e 0 39996548930.368 9.778 74.943 1 1.168

36 e 0 123128971353.912 6.901 74.929 1 1.341

37 e 0 87792100316.942 7.988 74.921 2 .000

38 e 0 141751457938.373 9.295 74.910 1 1.352


(3)

Iteration Negative

eigenvalues Condition #

Smallest

eigenvalue Diameter F NTries Ratio

40 e 0 339653494112.168 9.051 74.891 1 1.368

41 e 0 191333589801.203 15.464 74.887 1 .683

42 e 0 1655263753004.690 6.566 74.875 1 1.172

43 e 0 554791639648.972 10.847 74.871 3 .000

44 e 0 794168376158.946 12.189 74.864 1 1.346

45 e 0 908863060924.811 13.834 74.858 1 1.282

46 e 0 1646059780124.670 12.223 74.853 1 1.369

47 e 0 1182813904561.440 17.542 74.849 1 1.025

48 e 0 5170026247756.360 9.932 74.843 1 1.284

49 e 0 1923250557647.510 17.332 74.840 2 .000

Pairwise Parameter Comparisons (Default model)

Variance-covariance Matrix of Estimates (Default model)

par_1 par_2 par_3 par_4 par_5 par_6 par_7 par_8 par_9 par_10 par_11 par_12 par_13 par_14 par_15 par_16 par_17 par_1 .177

par_2 -.002 .005 par_3 .002 .002 .004 par_4 .002 -.006 -.003 .022 par_5 -.029 .000 -.001 -.001 .010 par_6 .011 .001 .001 -.001 -.004 .003

par_7 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 par_8 -.149 .003 -.003 .004 .034 -.012 .000 .182 par_9 -.002 -.027 -.023 .053 .003 -.010 .000 .009 .259

par_10 -.044 -.015 -.036 .020 -.100 .050 -5.640 .050 .172 83756.942

par_11 .148 -.003 .003 .003 -.034 .012 .000 -.174 -.002 -.050 .174

par_12 -.140 .002 -.003 -.002 .030 -.011 .000 .152 .002 .047 -.152 2.074

par_13 .002 .007 .007 -.008 -.003 .004 .000 -.002 -.057 -.172 .002 -.002 .173

par_14 .012 -.004 .002 .004 -.004 .002 .000 -.014 -.002 -.039 .014 -.013 .002 .030

par_15 -.009 .001 -.003 -.001 .002 -.001 .000 .010 .005 .072 -.010 .009 -.005 -.009 .022

par_16 .041 .014 .036 -.019 .101 -.051 5.640 -.047 -.170 -83756.677 .047 -.044 .170 .039 -.072 83756.415 par_17 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 15.544 .000 .000 .000 .000 .000 -15.531 2.671


(4)

Correlations of Estimates (Default model)

par_1 par_2 par_3 par_4 par_5 par_6 par_7 par_8 par_9 par_10 par_11 par_12 par_13 par_14 par_15 par_16 par_17 par_1 1.000

par_2 -.073 1.000 par_3 .086 .506 1.000 par_4 .033 -.504 -.337 1.000 par_5 -.689 .065 -.141 -.082 1.000 par_6 .486 .265 .383 -.132 -.785 1.000 par_7 .000 .000 .001 .000 .000 .003 1.000 par_8 -.831 .081 -.097 .070 .803 -.566 .000 1.000 par_9 -.008 -.719 -.672 .706 .058 -.390 .000 .039 1.000

par_10 .000 -.001 -.002 .000 -.003 .003 -.997 .000 .001 1.000

par_11 .845 -.083 .099 .043 -.818 .578 .000 -.979 -.009 .000 1.000

par_12 -.231 .023 -.027 -.012 .205 -.145 .000 .248 .003 .000 -.254 1.000

par_13 .010 .233 .260 -.129 -.071 .203 .000 -.011 -.270 -.001 .011 -.003 1.000

par_14 .168 -.330 .209 .172 -.247 .181 .000 -.188 -.018 -.001 .192 -.052 .022 1.000

par_15 -.139 .100 -.320 -.053 .167 -.134 -.001 .155 .068 .002 -.159 .043 -.083 -.339 1.000

par_16 .000 .001 .002 .000 .003 -.003 .997 .000 -.001 -1.000 .000 .000 .001 .001 -.002 1.000 par_17 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .005 .000 .000 .033 .000 .000 .000 .000 .000 -.033 1.000

Critical Ratios for Differences between Parameters (Default model)

par_1 par_2 par_3 par_4 par_5 par_6 par_7 par_8 par_9 par_10 par_11 par_12 par_13 par_14 par_15 par_16 par_17 par_1 .000

par_2 -.385 .000

par_3 -.810 -2.487 .000

par_4 .331 1.590 2.668 .000

par_5 -2.275 -7.961 -6.146 -6.834 .000

par_6 -1.838 -7.243 -5.864 -5.353 2.731 .000

par_7 -2.281 -10.414 -8.964 -7.370 1.625 -4.138 .000

par_8 .158 .690 1.070 -.041 3.576 1.879 2.550 .000

par_9 3.187 4.040 4.415 4.713 6.316 5.355 6.035 3.049 .000

par_10 .523 .523 .524 .522 .527 .525 .526 .522 .515 .000

par_11 -3.668 -1.602 -1.237 -2.290 .540 -.316 .253 -1.171 -4.488 -.526 .000

par_12 11.442 12.753 12.846 12.456 13.583 13.070 13.304 12.940 10.543 -.460 11.926 .000

par_13 6.361 9.646 10.107 7.828 11.196 10.946 11.290 6.038 2.210 -.510 7.849 -9.634 .000

par_14 .662 2.140 3.611 .655 6.376 5.896 7.112 .315 -3.385 -.522 2.707 -12.277 -7.737 .000

par_15 1.148 4.407 4.833 1.799 10.083 7.736 9.984 .946 -3.035 -.521 2.989 -12.258 -7.083 .952 .000

par_16 -.527 -.527 -.526 -.528 -.523 -.525 -.524 -.528 -.534 -.525 -.524 -.590 -.540 -.528 -.529 .000 par_17 12.828 13.334 13.443 13.102 13.909 13.686 13.833 12.741 11.413 -.448 13.340 1.581 10.614 12.999 12.866 .602 .000


(5)

Model Fit Summary

CMIN

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF

Default model 17 8.833 11 .347 0.803

Saturated model 28 .000 0

Independence model 7 546.166 21 .000 26.008

RMR, GFI

Model RMR GFI AGFI PGFI

Default model .815 .949 .871 .373 Saturated model .000 1.000

Independence model 1.200 .674 .565 .506 Baseline Comparisons

Model NFI

Delta1 RFI rho1

IFI Delta2

TLI rho2 CFI Default model .863 .738 .881 .768 .878

Saturated model 1.000 1.000 1.000

Independence model .000 .000 .000 .000 .000

Parsimony-Adjusted Measures

Model PRATIO PNFI PCFI

Default model .524 .452 .460 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000

NCP

Model NCP LO 90 HI 90

Default model 63.835 40.094 95.069 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 525.166 452.696 605.054


(6)

FMIN

Model FMIN F0 LO 90 HI 90

Default model .195 .167 .105 .248 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model 1.426 1.371 1.182 1.580

RMSEA

Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE

Default model .023 .009 .150 .000

Independence model .256 .237 .274 .000

AIC

Model AIC BCC BIC CAIC

Default model 108.835 109.561 175.996 192.996 Saturated model 56.000 57.195 166.618 194.618 Independence model 560.166 560.464 587.820 594.820

ECVI

Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI

Default model .284 .222 .366 .286 Saturated model .146 .146 .146 .149 Independence model 1.463 1.273 1.671 1.463

HOELTER

Model HOELTER

.05

HOELTER .01

Default model 101 127

Independence model 23 28

Execution time summary

Minimization: .062 Miscellaneous: .094 Bootstrap: .000