Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Status Gizi terhadap Hipertensi pada Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara

(1)

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI TERHADAP HIPERTENSI PADA PEGAWAI KANTOR

WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

RAHMADANI SITEPU

107032246/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF SMOKING HABIT AND NUTRITIONAL STATUS ON THE HYPERTENSION IN THE EMPLOYEES REGIONAL

OFFICE OF THE MINISTRY RELIGIOUS AFFAIRS PROVINCE OF SUMATERA UTARA

THESIS

By

RAHMADANI SITEPU 107032246/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI TERHADAP HIPERTENSI PADA PEGAWAI KANTOR

WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAHMADANI SITEPU

107032246/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI TERHADAP

HIPERTENSI PADA PEGAWAI KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Rahmadani Sitepu

Nomor Induk Mahasiswa : 107032246

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/

Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes) (Drs. Jemadi, M.Kes) Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes Anggota : 1. Drs. Jemadi, M.Kes

2. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H 3. Dra. Jumirah Apt, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI TERHADAP HIPERTENSI PADA PEGAWAI KANTOR

WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012

Rahmadani Sitepu 107032246/IKM


(7)

ABSTRAK

Hipertensi dewasa ini menjadi masalah global karena prevalensinya semakin meningkat dan menjadi ancaman semua orang karena dapat menyebabkan kematian secara mendadak. Berdasarkan data WHO tahun 2000 sebesar 26,4% penduduk di dunia menderita hipertensi dan dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 32,2%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dan status gizi terhadap hipertensi.

Penelitian ini mengunakan desain case control dengan sampel sebanyak 30 kasus (hipertensi) dan 30 kontrol (Tidak Hipertensi) yang terlebih dahulu melakukan machting atara umur, jenis kelamin dan bagian pekerjaan. Pengaruh variabel bebes dan terikat ditentukan berdasarkan odds ratio (OR) pada Confidence Interval (CI) 95%, kemudian dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kebiasaan merokok dan status gizi antara kelompok kasus dan kelompok kontrol (p<0,005). Analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor resiko yang paling dominan penyebab hipertensi.

Rekomendasi agar dibuat sebuah program pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya hipertensi seperti membuat artikel ilmiah kesehatan yang berkaitan tentang hipertensi dan kepada petugas kesehatan tetap manambah ilmu pengetahuannya melalui seminar dan peelatihan.


(8)

ABSTRACT

Hypertension nowdays has become a global problem and a threat to all people because it can cause a sudden death. According to the data of WHO in 2000, 26.4% of world population was suffering from hypertension, and the result of Riskesdas in 2007 showed that the prevalence of hypertension was 32.2%. The purpose of this study was to find out the influence of smoking habit and nutritional status on hypertension.

The samples for this study with case-control design were 60 cases comprising 30 cases with hypertension and 30 cased without hypertension whose age, sex and occupation were previously matched. The influence of the independent and dependent variables was based on the odds ratio (OR) at Confidence Interval (CI) 95%. The data obtained were then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that there was a significant influence between the smoking habit and nutritional status in the case group and that in the control group (p < 0.005). The result of multiple logistic regression analysis showed that smoking habit was the most dominant risk factor causing hypertension.

It is recommended to make a prevention program to minimize the risk of the incident of hypertension such as writing health articles, stop smoking, and doing regular exercise.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Status Gizi terhadap Hipertensi pada Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaiakan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak terutama kepada tim pembimbing tesis. Kepada Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes dan Drs. Jemadi, M.Kes, yang dengan penuh perhatian, kesabaran telah membimbing, mengarahkan, membagi ilmu, memberikan waktu dan pemikiran kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan tesis ini selesai. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan juga terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti


(10)

pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH dan Dra. Jumirah Apt, M.Kes, selaku komisi penguji yang banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan. 5. dr. H. Lili Syarief Hidayatsyah, Sp.PD selaku Kepala Rumah Sakit PTPN II

dr. G.L. Tobing Tanjung Morawa dan teman-teman yang bekerja di Rumah Sakit PTPN II dr. G.L. Tobing Tanjung Morawa tempat penulis bekerja. 6. Drs. Abd. Rahim M.Hum selaku Kepala Kementerian Agama Provinsi

Sumatera Utara telah memberi izin penulis untuk melakukan penelitian, dan seluruh pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Sumtera Utara yang telah membantu penulis melakukan penelitian.

7. Teristimewa buat istri dan putri tercinta, dr. Elaninanivi br. Tarigan dan Juwairiyah Anida br. Sitepu yang penuh perhatian, kesabaran, dukungan dan berdoa sehingga memotivasi penulis selama mengikuti pendidikan.

8. Orang tua terkasih Cinta Sitepu dan Siti Khadijah br. PA terima kasih yang sebesar-besarnya buat dukungan moral dan doa yang sudah diberikan dan juga kepada ibu mertua penulis Nurihi br. Sembiring dan seluruh keluarga besar


(11)

penulis abang, kakak dan keponakan yang terus memberikan semangat dan inspirasi.

9. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2010, khususnya Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berperan dalam selesainya penyusunan tesis ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, kiranya Tuhan akan membalas semua kebaikan yang sudah diberikan.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2012 Penulis

Rahmadani Sitepu 107032246/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rahmadani Sitepu dilahirkan pada tanggal 10 Juni 1984 di Maryke. Alamat Jl. Puskesmas II, Komplek Griya Raihan Blok C.01 Medan Sunggal, Medan. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan ayahanda M. Syukri Sitepu dan ibunda Siti Khadijah br. Pa. Menikah pada tanggal 22 Januari 2010 dengan dr. Elaninanivi br. Tarigan dan dikaruniai seorang putri yaitu Juwairiyah Anida br. Sitepu.

Pendidikan sekolah dimulai di SD Negeri 050640 Kutambaru tahun 1991-1996, SLTP di SMP Negeri 1 Salapian tahun 1996-1999, SLTA di SMU Negeri 2 Binjai tahun 1999-2002, S1 di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung tahun 2002-2009 dan tahun 2010-sekarang di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Bekerja tahun 2009-2010 di Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia, tahun 2011- sekarang di Rumah Sakit PTPN II dr. G.L. Tobing Tanjung Morawa.


(13)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB 1. PENDAHULUAN... 1.1. Latar belakang... 1.2. Permasalahan... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.4. Hipotesis... 1.5. Manfaat Penelitian... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...

2.1. Hipertensi... 2.2. Kebiasaan Merokok ... 2.3. Status Gizi ... 2.4. Umur... 2.5. Jenis Kelamin... 2.6. Landasan Teori... 2.7. Kerangka Konsep... BAB 3. METODE PENELITIAN... 3.1. Jenis Penelitian... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.3. Populasi dan Sampel... 3.4. Metode pengumpulan data... 3.5. Variabel, Definisi Operasional... 3.6. Metode Pengukuran... 3.7. Metode Analisis Data ... BAB 4. HASIL PENELITIAN...

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 4.2. Karakteristik Responden... 4.3. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan Merokok.... 4.4. Karakteristik Responden Menurut Status Gizi...

i ii iii vi vii ix x xi 1 1 8 8 9 8 10 10 35 37 42 42 43 44 45 45 46 47 50 51 51 53 54 54 57 60 62


(14)

4.5. Analisis Bivariat... 4.6. Analisis Multivariat... BAB 5. PEMBAHASAN...

5.1. Karakteristik Responden... 5.2. Kebiasaan Merokok... 5.3. Status Gizi... BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

63

64 66 66 67 71 73 73 74 75


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Klasifikasi Tekanan Darah...22

2.2. Kategori Ambang Batas IMT...41

2.3. Kriteria Ukuran Lingkar Pinggang...42

2.4. Variabel, Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Data...51

4.1. Jumlah Pegawai Menurut Jenis Kelamin...57

4.2. Karakteristik Responden Menurut Umur...58

4.3. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin...58

4.4. Karakteristik Responden Menurut Bagian Pekerjaan...59

4.5. Karakteristik Responden Menurut Agama...59

4.6. Karakteristik Responden Menurut Suku...60

4.7. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan Merokok...60

4.8. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan merokok...62

4.9. Karakteristik Responden Menurut Status Gizi...63

4.10. Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Hipertensi di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara...64

4.11. Pengaruh Status Gizi terhadap Hipertensi di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara...64

4.12. Regresi Logistik Berganda Antara Kebiasaan Merokok dan Status Gizi Terhadap Hipertensi ...65


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1Overweight dan Obesitas...40

2.2. Bentuk Obesitas... 42 2.3 Faktor Risiko Penyakit tidak Menular...45 2.4 Kerangka Konsep... 46


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 78

2. Output SPSS... 80 3. Master Data... 95 4 Surat izin penelitian ... 100


(18)

ABSTRAK

Hipertensi dewasa ini menjadi masalah global karena prevalensinya semakin meningkat dan menjadi ancaman semua orang karena dapat menyebabkan kematian secara mendadak. Berdasarkan data WHO tahun 2000 sebesar 26,4% penduduk di dunia menderita hipertensi dan dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 32,2%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dan status gizi terhadap hipertensi.

Penelitian ini mengunakan desain case control dengan sampel sebanyak 30 kasus (hipertensi) dan 30 kontrol (Tidak Hipertensi) yang terlebih dahulu melakukan machting atara umur, jenis kelamin dan bagian pekerjaan. Pengaruh variabel bebes dan terikat ditentukan berdasarkan odds ratio (OR) pada Confidence Interval (CI) 95%, kemudian dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kebiasaan merokok dan status gizi antara kelompok kasus dan kelompok kontrol (p<0,005). Analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor resiko yang paling dominan penyebab hipertensi.

Rekomendasi agar dibuat sebuah program pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya hipertensi seperti membuat artikel ilmiah kesehatan yang berkaitan tentang hipertensi dan kepada petugas kesehatan tetap manambah ilmu pengetahuannya melalui seminar dan peelatihan.


(19)

ABSTRACT

Hypertension nowdays has become a global problem and a threat to all people because it can cause a sudden death. According to the data of WHO in 2000, 26.4% of world population was suffering from hypertension, and the result of Riskesdas in 2007 showed that the prevalence of hypertension was 32.2%. The purpose of this study was to find out the influence of smoking habit and nutritional status on hypertension.

The samples for this study with case-control design were 60 cases comprising 30 cases with hypertension and 30 cased without hypertension whose age, sex and occupation were previously matched. The influence of the independent and dependent variables was based on the odds ratio (OR) at Confidence Interval (CI) 95%. The data obtained were then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that there was a significant influence between the smoking habit and nutritional status in the case group and that in the control group (p < 0.005). The result of multiple logistic regression analysis showed that smoking habit was the most dominant risk factor causing hypertension.

It is recommended to make a prevention program to minimize the risk of the incident of hypertension such as writing health articles, stop smoking, and doing regular exercise.


(20)

BAB 1 PEND AHULUAN

1.1. Latar Belakang

Silent killer, istilah lain untuk hipertensi, disebut demikian karena penyakit ini biasanya menyerang tanpa tanda-tanda (Dipiro et.al. 2005). Hipertensi memang dewasa ini menjadi masalah global karena kecenderungan prevalensinnya semakin meningkat dan menjadi ancaman semua orang. Pola struktur yang berubah dari masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap perubahan gaya hidup, aktifitas fisik, dan stres.

Perubahan ini pada akhirnya dapat menyebabkan adanya pergeseran angka morbiditas dan mortalitas, dimana prevalensi penyakit infeksi atau penyakit menular cenderung menurun, sedangkan prevalensi penyakit non infeksi atau degeneratif seperti hipertensi, stroke, kanker dan sebagainya semakin meningkat (Bustan, 1997). Perubahan pola akibat pergeseran angka morbiditas dan mortalitas ini dikenal dengan Transisi Epidemiologi.

Di dunia, sedikitnya sekitar 7,6 juta orang pada tahun 2011 meninggal lebih dini karena hipertensi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penduduk di seluruh dunia menderita hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.


(21)

Hipertensi terkait dengan beberapa faktor, yaitu kebiasan merokok, obesitas, aktivitas fisik dan riwayat keluarga. Hipertensi merupakan salah satu pencetus terjadinya penyakit jantung, ginjal dan stroke. Prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 27,3 %, Thailand dengan 22,7 % dan Malaysia mencapai 20 %.

Hasil Riskesdas tahun 2007 di Indonesia prevalensi hipertensi 32,2%, sedangakan menurut kelompok umur hipertensi umur > 18 tahun adalah 29,8%. Selain itu hasil Riskesdas juga menunjukkan hipertensi menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama untuk semua kelompok umur di Indonesia dengan Case Fatality Rate (CFR) 6,8%. Indonesian Society of Hypertension (InaSH) menegaskan hipertensi sudah menjadi permasalahan dunia. Pada tahun 2000 saja hipertensi menyumbang Proportionated Mortality Rate (PMR) 12,8% dari seluruh kematian dan 4,4% dari semua kecacatan.

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 yang merujuk hasil Riskesdas 2007 di Sumatera Utara, dari 10 jenis penyakit tidak menular diketahui bahwa prevalensi hipertensi menduduki peringkat tertinggi keempat dengan proporsi 5,8% setelah penyakit persendian, jantung dan gangguan mental. Sedangkan berdasarkan penelitian Rasmaliah dkk (2004) di Pekan Labuhan diketahui bahwa prevalensi Hipertensi penduduk usia ≥ 26 tahun sebesar 26,4% .

Bila ditinjau dari perbandingan antara jenis kelamin, ternyata angka prevalensinya sangat bervariasi. Menurut M.N. Bustan (1997) wanita lebih banyak menderita hipertensi di banding dengan pria. Sedangkan menurut Nurkhalida (2003)


(22)

hipertensi lebih banyak diderita oleh pria dibanding wanita. Menurut Arief Mansjoer, dkk (2001) pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. Survei penyakit jantung pada usia lanjut yang dilaksanakan Boedhi Darmojo (1997) prevalensi hipertensi tanpa atau dengan tanda penyakit jantung, hipertensi sebesar 33,3%.

Penyakit hipertensi ini merupakan penyakit dengan kategori biaya pengobatan yang tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan rumah sakit dan atau penggunaan obat-obatan jangka panjang bagi pasien-pasien hipertensi. Biaya untuk mengobati penyakit hipertensi saat ini sudah tidak dapat dikendalikan. Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) pada tahun 2002 total biaya kesehatan untuk hipertensi di Amerika telah diperkirakan sekitar $ 47,2 milyar per tahunnya. Total pelayanan kesehatan ini sudah termasuk biaya obat yang terhitung bisa lebih dari 70% dari total biaya pelayanan kesehatan untuk Hipertensi (Dipiro et.al. 2005).

Data hipertensi di Klinik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang diambil dari buku registrasi kunjungan pasien menununjukan peningkatan jumlah kasus dari tahun 2009-2011. Pada tahun 2009 kasus hipertensi sebesar 25,2%, sedangkan pada tahun 2011 yaitu sebesar 26,1%.

Merokok yang merupakan salah satu risiko penyebab penyakit kardiovaskuler perlu mendapat perhatian khusus. Tujuan program penanggulangan penyakit kardiovaskuler adalah mencegah peningkatan jumlah penderita penyakit


(23)

kardiovaskuler dalam masyarakat dengan menghindari faktor penyebabnya, seperti merokok, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, stres dan lain-lain.

Data United States of Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2002, Indonesia menduduki urutan kelima dalam hal negara dengan konsumsi tembakau tertinggi dunia setelah Cina, Amerika, Rusia dan Jepang. Keadaan ini terjadi akibat peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun yaitu dari 30 milyar batang rokok pertahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang rokok di tahun 2000.

Di Indonesia, prevalensi perokok pria sebesar 68,8 % dan perokok wanita sebesar 2,6% (Suhardi, 2005). Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (2006) yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia, terbukti jika 24,5% anak laki-laki dan 2,3% anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, dimana 3,2% dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan atau kecanduan. Menurut Riskesda 2010 jumlah perokok menurut kelompok umur yang tertinggi yaitu pada usia 25-34 tahun yaitu sebesar 31,1%, sedangkan menurut pekerjaaan prevalensi merokok tertinggi pada petani/buruh/nelayan, sedangkan pegawai sekitar 35,9%

Satu dari 3 orang dewasa merokok dan lebih banyak yang merokok adalah pria pedesaan (67%) dibandingkan dengan pria dari perkotaan (58,3%). Selain itu, sebagian besar perokok (68,8%) memulai kebiasaan merokoknya sebelum umur 19 tahun (Depkes RI, 2003). Data terakhir menunjukkan bahwa total perokok aktif di Indonesia sudah mencapai 70% dari jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 141,44


(24)

juta orang. Perilaku merokok dianggap sebagai kebiasaan yang wajar, padahal bahaya yang ditimbulkannya sangat mengkhawatirkan.

Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok didalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap tembakau pasif atau asap tembakau lingkungan (ETS–Environmental Tobacco Smoke). Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%.

Hasil survei pendahuluan Di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dan Asrama haji Medan ditemukan dari 314 pegawai pria 195 (62%) diantaranya adalah perokok, sedangkan pada pegawai wanita tidak dijumpai pegawai yang perokok.

Status gizi lebih, seperti Overweight atau Obesitas sekarang menjadi masalah kesehatan yang mulai banyak ditemui di seluruh dunia. Penelitian tentang gizi lebih telah banyak dilakukan di luar negeri, tetapi di Indonesia masih relatif sedikit. Hal ini disebabkan para peneliti di Indonesia lebih disibukkan dengan masalah gizi kurang dibandingkan gizi lebih.

Gizi kurang berhubungan dengan penyakit infeksi, sedangkan gizi lebih dianggap sinyal awal dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif/non infeksi dan ini terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia maupun dunia. Fenomena ini sering disebut dengan New World Syndrom atau Sindrom Dunia Baru.


(25)

Obesitas telah menjadi masalah kesehatan global, terutama di negara-negara maju. Obesitas mempunyai korelasi yang kuat dengan morbiditas dan mortalitas, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius mengenai penyebab, tindakan pencegahan dan upaya pengobatannya.

Indonesia sendiri belum memiliki data yang lengkap untuk menggambarkan prevalensi obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Soegih dkk (2004) menyatakan bahwa terdapat 9,16% pria dan 11,02% wanita yang obesitas. Dari data Riskesdas tahun 2007 dilaporkan bahwa prevalensi obesitas penduduk >15 tahun di Sumatera Utara sebanyak 20,9%, sedangkan tahun 2010 sebesar 25,4%. Dari data tersebut kelihatan peningkatan obesitas dalam 3 tahun di Sumatera Utara sekitar 5,4%.

Risiko relatif untuk penderita hipertensi pada orang yang mengalami berat badan berlebih adalah lima kali lebih besar dibandingkan seseorang dengan berat badan normal. Menurut Budistio, M (2001) perempuan yang sangat gemuk pada umur 30 tahun mempunyai risiko terkena penyakit hipertensi 7 kali lebih besar dari perempuan yang langsing pada umur yang sama. Individu dengan kelebihan berat badan 20% memiliki risiko 3–8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal.

Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas berbeda-beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai 32,8% di Brazil. Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di


(26)

Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998.

Data dari studi Framingham (AS) yang mengacu Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl dan kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT >30 pada laki-laki sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17% perampuan yang memiliki IMT <25 (Krummel, 2004). Obesitas pada anak berisiko terkena hipertensi 3 kali lebih besar daripada anak tidak obesitas. Aktivitas sistem saraf simpatik berlebih dan resistansi Insulin berkontribusi dalam kejadian hipertensi pada anak maupun orang dewasa.

Berbagai penelitian epidemiologik telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara obesitas dan hipertensi. Data yang diperoleh dari NHANES pada populasi orang Amerika Serikat memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan linier antara kenaikan rasio lingkar pinggang dan pinggul dengan tekanan darah sistolik dan diastolik serta tekanan nadi. Framingham study (2007) melaporkan risiko terjadinya Hipertensi sebesar 65% pada wanita dan 78% pada laki-laki berhubungan langsung dengan Obesitas dan kelebihan berat badan.

Dampak atau kerugian-kerugian yang diderita apabila seseorang terserang hipertensi dan penyakit-penyakit yang ditimbulkannya sangat luas. Dari sisi ekonomi, setidaknya terdapat dua kelompok kerugian yang dialami penderita. Pertama adalah kerugian ekonomi yang terbagi menjadi 4 bagian, yaitu dampak penyakit terhadap


(27)

konsumsi sehat, interaksi sosial, produktivitas jangka pendek dan produktivitas jangka panjang. Kerugian yang kedua adalah adanya dampak penyakit yang mempengaruhi variabel-variabel penting dalam kegiatan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang, seperti dampak penyakit terhadap konsumsi, pendapatan, saving, investasi rumah tangga dan investasi untuk sumber daya manusia (human capital investment).

Berdasarkan hal tersebut, peneliti berkeinginan untuk melakukan suatu penelitian tentang pengaruh kebiasaan merokok dan status gizi terhadap hipertensi pada pegawai di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah peningkatan jumlah kasus hipertensi dalam 3 tahun terakhir dan tingginya jumlah pegawai yang merokok di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh kebiasaan merokok dan status gizi terhadap hipertensi pada pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Hipotesis

Kebiasaan merokok dan status gizi berpengaruh terhadap hipertensi pada pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.


(28)

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1.Sebagai bahan masukan bagi Kantor Wilayah Kementerian Provinsi Agama Sumatera Utara untuk melakukan pencegahan sedini mungkin terhadap bahaya/ komplikasi dari hipertensi.

1.5.2.Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan dalam hal ini dokter yang bekerja di Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara untuk ke depannya dapat melakukan program-program pencegahan dan penanganan hipertensi.

1.5.3.Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai bahan pustaka untuk penelitian lebih lanjut


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi menurut Sudabutar, RP dan Wiguna P (1990) adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah (hasil perkalian antara curah jantung dan resistensi perifer), di mana seseorang dapat dikatakan menderita hipertensi bila tekanan sistolik sama atau lebih dari 130 mmHg dan tekanan diastolik sama atau lebih dari 90 mmHg. Tingginya tekanan sistolik berhubungan dengan besarnya curah jantung sedangkan tingginya tekanan diastolik berhubungan dengan besarnya resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah.

Hipertensi juga didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005). Hipertensi menurut Kaplan N.M (2006) adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90mmHg.

Pada pengukuran tekanan darah dikenal dua istilah, yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik menunjukkan besarnya tekanan pada dinding pembuluh darah pada saat jantung berkontraksi. Tekanan ini merupakan tekanan tertinggi pada pembuluh darah pada satu waktu tertentu, yaitu pada saat


(30)

darah dipompakan dari ventrikel kiri. Tekanan darah diastolik menunjukkan besarnya tekanan pada dinding pembuluh darah pada saat otot jantung relaks diantara dua denyutan. Tekanan ini merupakan tekanan terkecil di pembuluh darah pada satu waktu tertentu, yaitu saat darah kembali ke atrium kanan.

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg dikatakan normal.

Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak, lengan diatas meja. Lengan atas dibalut dengan selembar kantong karet yang dapat digembungkan, yang terbungkus dalam sebuah manset dan yang digandengkan dengan sebuah pompa dan manometer. Dengan memompa maka tekanan dalam kantong karet cepat naik sampai 200 mmHg yang cukup untuk menjepit sama sekali arteri brakhial, sehingga tidak ada darah yang dapat lewat dan denyut nadi pergelangan menghilang. Kemudian tekanan diturunkan sampai suatu titik dimana denyut dapat dirasakan. Bila dengan menggunakan stetoskop denyut arteri brakhialis pada lekukan siku dengan jelas dapat didengar. Pada titik ini tekanan yang tampak pada kolom air raksa dalam manometer dianggap tekanan sistolik. Kemudian tekanan diatas arteri brakhialis perlahan-lahan dikurangi sampai bunyi jantung atau pukulan denyut arteri semakin sulit didengar atau dirasakan. Dan titik dimana bunyi menghilang dianggap tekanan diastolik.


(31)

Tekanan darah sistolik berpengaruh terhadap tekanan arteri pada gangguan kardiovaskular. Laki-laki yang memiliki TDD (Tekanan Darah Diastolik) normal (<82 mmHg) tetapi TDS (Tekanan Darah Sistolik) tinggi (>158 mmHg) memiliki risiko terkena gangguan kardiovaskular dua setengah kali lebih besar daripada seseorang dengan nilai TDD sama tetapi TDS-nya normal ( <130 mmHg).

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Dalam pasien dengan diabetes melitus atau penyakit Ginjal, penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah diatas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor risiko dan sebaiknya diberikan perawatan. 2.1.2. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan penyebab kematian no 3, selain stroke dan tuberkulosis. Jumlah mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia. Kejadian prevalensi hipertensi di Indonesia telah mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa. Dari jumlah diatas hanya sekitar 0,4% penderita yang minum obat anti hipertensi untuk pengobatan. Diduga terdapat 76% kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis. Tren kasus hipertensi di wilayah Indonesia nampaknya akan terus meningkat. Kejadiaan ini juga meningkat seiring dengan angka obesitas di Indonesia semakin besar. (Riskesdas, 2007)

Sekitar 7,6 juta orang pada tahun 2011 meninggal lebih dini karena hipertensi. Lebih dari sepertiga kematian di negara-negara berpenghasilan rendah di Eropa dan


(32)

Asia tengah disebabkan hipertensi. Jumlah tersebut lebih dari setengahnya adalah penderita stroke dengan hipertensi. Sekitar 80% terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, lebih dari separuh terjadi pada usia 45-69 tahun.

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain alkohol, stres, aktifitas fisik, asam lemak jenuh, kolesterol dalam darah, gangguan mekanisme pompa natrium (yang mengatur jumlah cairan tubuh), faktor renin-angiotensin-aldosteron (hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah). Hormon estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi belum ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal estrogen. M.N. Bustan (1997) menyatakan bahwa dengan lamanya pemakaian kontrasepsi estrogen (± 12 tahun berturut-turut), akan meningkatkan tekanan darah perempuan.

Terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, ras, kebiasaan merokok, BMI, stres kejiwaan, makanan tinggi garam dan tinggi lemak, minuman beralkohol, diabetes mellitus, kolesterol total dan Iskemi dengan hipertensi. Meningkat kelompok usia (≥ 40 tahun) meningkat pula prevalensi hipertensi. Jenis kelamin wanita lebih tinggi dari laki-laki tetapi ada pula yang menyatakan laki-laki lebih tinggi dibanding wanita. Untuk ras, kulit hitam lebih banyak menderita hipertensi dibanding kulit putih. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Semakin tinggi BMI dan kolesterol total, semakin tinggi prevalensi hipertensi. Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Jika


(33)

asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Tekanan darah meninggi dengan konsumsi minuman beralkohol >3x/hari. Penyakit iskemi mempunyai prevalensi hipertensi yang tinggi.

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Sementara itu, faktor risiko diartikan sebagai karakteristik yang berkaitan dengan kejadian suatu penyakit diatas rata-rata. Faktor risiko memiliki pengaruh yang sangat kuat dan lemah. Faktor risiko Hipertensi dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak bisa diubah dan faktor risiko yang bisa diubah (Budistio, 2001).

2.1.2.1. Faktor Risiko yang tidak Dapat Diubah a. Umur

Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjutcukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala


(34)

usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi.

b. Jenis Kelamin

Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita. Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik.38 Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. Menurut Bustan tahun 1997 bahwa wanita lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita. c. Riwayat Keluarga

Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer.Keluarga yang memiliki hipertensi


(35)

dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi. Menurut Sheps, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.

d. Genetik

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.

2.1.2.2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah a. Kebiasaan Merokok

Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan


(36)

hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari.

b. Obesitas

Obesitas atau kegemukan adalah dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh >25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah


(37)

penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olah raga ternyata juga dihubungkan dengan pengobatan terhadap hipertensi. Melalui olah raga yang isotonik dan teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Selain itu dengan kurangnya olah raga maka risiko timbulnya obesitas akan bertambah, dan apabila asupan garam bertambah maka risiko timbulnya hipertensi juga akan bertambah. Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Penyelidikan epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi. Dibuktikan juga bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan timbulnya hipertensi dikemudian hari. Pada penelitian lain dibuktikan bahwa curah jantung dan volume darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat


(38)

badan normal dengan tekanan darah yang setara. Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi). Ada dugaan bahwa meningkatnya berat badan normal relatif sebesar 10% mengakibatkan kenaikan tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi kalori bagi orang-orang yang obes bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah terjadinya hipertensi. Berat badan dan indeks massa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang dengan obesitas 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan lebih.

c. Inaktivitas Fisik

Olahraga dan aktifitas fisik banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus


(39)

bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

d. Stres

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan terhadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi. Stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap pengaruh-pengaruh dari luar itu. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat


(40)

berupa hipertensi atau penyakit maag. Stres juga memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.

2.1.3. Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebab ada dua jenis hipertensi, yaitu :

a. Hipertensi primer (esensial), adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi. Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun, sedangkan usia dibawah 20 tahun jarang ditemukan.

b. Hipertensi sekunder, adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005). Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. hipertensi sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan hipertensi pertama kali pada usia diatas 50 tahun atau yang sebelumnya diterapi tapi mengalami refrakter terhadap terapi


(41)

yang diberikan mungkin mengalami hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal dan lain-lain. WHO (1999) membagi hipertensi menjadi rendah, sedang, tinggi dan tinggi sekali. Klasifikasi lain hipertensi dapat juga berdasarkan penyebab, tingkat klinik, luasnya kerusakan organ tubuh dan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik (Sadan K, 1994).

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7, Tahun 2003 Klasifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Derajat I 140 – 159 90 – 99

Hipertensi Derajat II >160 >100

2.1.4. Etiologi Hipertensi

Pada sekitar 90% penderita hipertensi, penyebabnya tidak diketahui dan keadaan ini dikenal sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial kemungkinan memiliki banyak penyebab. Jika penyebabnya diketahui, maka hipertensi jenis ini disebut hipertensi sekunder. Yang terbanyak dari hipertensi sekunder adalah disebabkan penyakit ginjal. Penyebab lain yang juga sering adalah kelainan hormonal, pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB), koartasio aorta, preeklamsi pada kehamilan, keracunan timbal akut.


(42)

2.1.5. Gejala dan Tanda Hipertensi

Pada sebagian besar penderita, Hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi walaupun sesungguhnya tidak tepat sepenuhnya. Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita Hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.

Pada Hipertensi berat atau menahun serta tidak diobati, bisa timbul seperti gejala sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Kadang penderita Hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut Ensefalopati Hipertensif dan memerlukan penanganan segera.

2.1.6. Patogenesis Hipertensi

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara: a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada

setiap detiknya.

b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal


(43)

dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.

c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi maka tekanan darah akan menurun.

Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis):

a. Perubahan Fungsi Ginjal.

Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara:

a.1. Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekana darah ke normal

a.2. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal.


(44)

a.3. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut Renin, yang memicu pembentukan hormon Angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon Aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (Stenosis Arteri Renalis) bisa menyebabkan Hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

b. Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan:

b.1. Meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar)

b.2. Meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung; juga mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak)

b.3. Mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh.

b.4. Melepaskan hormon Epinefrin (Adrenalin) dan Norepinefrin (Noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah.


(45)

2.1.7. Diagnosa Hipertensi

Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama 5 menit. Angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran.

Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya hipertensi.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan terhadap organ utama, terutama pembuluh darah, jantung, otak, ginjal dan retina. Retina (selaput peka cahaya pada permukaan dalam bagian belakang mata) merupakan satu-satunya bagian tubuh yang secara langsung bisa menunjukkan adanya efek dari Hipertensi terhadap arteriola (pembuluh darah kecil). Dengan anggapan bahwa perubahan yang terjadi di dalam retina mirip dengan perubahan yang terjadi di dalam pembuluh darah lainnya di dalam tubuh, seperti ginjal. Untuk memeriksa retina, digunakan Oftalmoskop. Dengan menentukan derajat kerusakan retina (retinopati), maka bisa ditentukan beratnya Hipertensi.

Perubahan di dalam jantung, terutama pembesaran jantung, bisa ditemukan pada elektrokardiografi (EKG) dan foto rontgen dada. Pada stadium awal, perubahan tersebut bisa ditemukan melalui pemeriksaan ekokardiografi (pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik untuk menggambarkan keadaan jantung). Bunyi jantung yang


(46)

abnormal (disebut bunyi jantung keempat), bisa didengar melalui stetoskop dan merupakan perubahan jantung paling awal yang terjadi akibat tekanan darah tinggi.

Petunjuk awal adanya kerusakan ginjal bisa diketahui terutama melalui pemeriksaan air kemih. Adanya sel darah dan albumin (sejenis protein) dalam air kemih bisa merupakan petunjuk terjadinya kerusakan ginjal. Pemeriksaan untuk menentukan penyebab dari Hipertensi terutama dilakukan pada penderita usia muda. Pemeriksaan ini bisa berupa rontgen dan radioisotop ginjal, rontgen dada serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu.

Untuk menemukan adanya kelainan ginjal, ditanyakan mengenai riwayat kelainan ginjal sebelumnya. Sebuah stetoskop ditempelkan diatas perut untuk mendengarkan adanya bruit (suara yang terjadi karena darah mengalir melalui arteri yang menuju ke ginjal, yang mengalami penyempitan).

Selain itu dapat dilakukan analisa air kemih dan rontgen atau USG ginjal. Jika penyebabnya adalah feokromositoma, maka di dalam air kemih bisa ditemukan adanya bahan-bahan hasil penguraian hormon epinefrin dan norepinefrin. Biasanya hormon tersebut juga menyebabkan gejala sakit kepala, kecemasan, palpitasi (jantung berdebar-debar), keringat yang berlebihan, tremor (gemetar) dan pucat. Penyebab lainnya bisa ditemukan melalui pemeriksaan rutin tertentu. Misalnya mengukur kadar kalium dalam darah bisa membantu menemukan adanya hiperaldosteronisme dan mengukur tekanan darah pada kedua lengan dan tungkai bisa membantu menemukan adanya koartasio aorta.


(47)

2.1.9. Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi terdiri dari penatalaksanaan nonfarmakologis dan penatalaksaan farmakologis.

a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi dengan tujuan sebagai penanganan awal sebelum penambahan obat anti hipertensi, juga termasuk hal yang perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi obat. Modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi. Menurut beberapa ahli, pengobatan nonfarmakologis sama pentingnya dengan pengobatan farmakologis, terutama pada pengobatan hipertensi derajat I. Pada hipertensi derajat I, pengobatan secara nonfarmakologis kadang-kadang dapat mengendalikan tekanan darah sehingga pengobatan farmakologis tidak diperlukan atau pemberiannya dapat ditunda. Jika obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan nonfarmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik. Pengonatan nonfarmakologis yang dimaksud, antara lain:

a.1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan hipertensi

Menurut Corwin (2001) berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis. Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi


(48)

asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10 Kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per Kg berat badan.

a.2. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang dianjurkan untuk penderita Hipertensi dilakukan dengan teratur, minimal tiga kali seminggu. Hal ini dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun. Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingatkan kepada kita adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi. Menurut Dede Kusmana (2002) beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum memutuskan berolahraga, antara lain:

a.2.1. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah sistolik tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melebihi 100 mmHg.

a.2.2. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat informasi mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.


(49)

a.2.3. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung dengan beban (treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan darah serta perubahan aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai tingkat kapasitas fisik.

a.2.4 Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap diteruskan sehingga dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan beban.

a.2.5. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan tidak menambah peningkatan darah.

a.2.6. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan. a.2.7. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.

a.2.8. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah latihan.

a.2.9. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan darah sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi.

a.2.10. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada kaitannya dengan beban emosi. Oleh karena itu disamping olahraga yang bersifat fisik dilakukan pula olahraga pengendalian emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional yang ada.


(50)

a.2.11. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka dosis/takaran obat yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian (pengurangan).

a.3. Perubahan pola makan

a.3.1 Mengurangi asupan garam pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasehat pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis. Menurut Sheps (2005) Jika dokter atau ahli gizi menyarankan agar kita mengurangi Natrium demi menurunkan tekanan darah, maka ikutilah saran itu.Bahkan sebelum disarankan pun sebaiknya kurangi natrium, cobalah membatasi jumlah natrium yang kita konsumsi setiap hari. Beberapa cara yang dapat dilakukan:

a.3.2. Perbanyak makanan segar, kurangi makan yang diproses. a.3.3. Pilihlah produk dengan natrium rendah.


(51)

a.3.4. Jangan menambah garam pada makanan saat memasak. a.3.5. Jangan menambah garam saat di meja makan.

a.3.6. Batasi penggunaan saus-sausan a.3.7. Bilaslah makanan dalam kaleng. a.3.8. Diet rendah lemak jenuh

Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium terbukti erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak mengandung Kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung Magnesium). Sedangkan susu mengandung banyak Kalsium.


(52)

a.4. Menghilangkan stres

Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres. Perubahan-perubahan itu ialah:

a.4.1. Rencanakan semua dengan baik. Buatlah jadwal tertulis untuk kegiatan setiap hari sehingga tidak akan terjadi bentrokan acara atau kita terpaksa harus terburu-buru untuk tepat waktu memenuhinya

a.4.2. Sederhanakan jadwal. Cobalah bekerja dengan lebih santai. a.4.3. Bebaskan diri dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan. a.4.4. Siapkan cadangan untuk keuangan.

a.4.5. Makanlah yang benar. a.4.5. Tidur yang cukup.

a.4.6. Ubahlah gaya. Amati sikap tubuh dan perilaku saat sedang stres. a.4.7. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.

a.4.8. Binalah hubungan sosial yang baik.

a.4.9. Ubahlah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan kritis atau negatif terhadap diri sendiri.

a.4.10 Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus. a.4.11. Carilah humor.


(53)

b. Penatalaksanaan Farmakologis

Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama hipertensi primer adalah dengan obat. Keputusan untuk mulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskuler atau faktor risiko lain. Terapi dengan pemberian obat anti hipertensi terbukti dapat menurunkan sistolik dan mencegah terjadinya stroke pada pasien usia 70 tahun atau lebih.

Menurut Arif Mansjoer (2001) penatalaksanaan dengan obat anti hipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai umur dan kebutuhan. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah dan dapat mengontrol hipertensi terus menerus dan lancar dan melindungi pasien terhadap risiko dari kematian mendadak, serangan jantung atau stroke akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun tidur.

Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis rendah 2 obat dari golongan yang berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektifitas tambahan dan mengurangi efek samping. Setelah diputuskan untuk untuk memakai obat anti hipertensi dan bila tidak terdapat indikasi untuk memilih golongan obat tertentu, diberikan diuretik atau beta bloker. Jika respon tidak baik dengan dosis penuh, dilanjutkan sesuai dengan algoritma. Diuretik biasanya menjadi tambahan karena dapat meningkatkan efek obat yang lain. Jika tambahan obat yang kedua dapat


(54)

mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah satu tahun, dapat dicoba menghentikan obat pertama melalui penurunan dosis secara perlahan dan progresif.

2.2. Kebiasaan Merokok

Nikotin pada rokok yang sampai di otak akan menyebabkan peningkatan efineprin oleh kelenjar adrenalin yang pada gilirannya dapat menyempitkan pembuluh darah dan menyebabkan tekanan darah meningkat (Astawan, 2002). Rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan juga menyebabkan pengapuran sehingga volume plasma darah berkurang karena tercemar nikotin, akibatnya viskositas darah meningkat sehingga timbul hipertensi (Dekker, E, 1996).

Di Singapura, Kanada, Brazil, Australia, Thailand, Uruguay, Venezuela, India melampirkan peringatan bahaya merokok berupa gambar pesan peringatan dengan ukuran mencapai setengah dari tampilan depan dan belakang. Sedangkan di Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya yang muslim, peringatan tersebut hanya dilampirkan dalam bentuk tulisan kecil pada setiap bagian belakang bungkus rokok yang berbunyi "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”.

Merokok merupakan salah satu kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat. Perilaku merokok tidak hanya menyebabkan berbagai macam penyakit tetapi juga dapat memperberat sejumlah penyakit lainnya. Dekker, E (1996) mengungkapkan bahwa seorang perokok yang menghisap 1-9 batang perhari akan mengalami pemendekan umur sekitar 5,5 tahun.


(55)

Resiko tersebut sesungguhnya tidak hanya mengenai perokok saja tetapi juga orang-orang yang tidak merokok yang berada disekitar perokok sehingga harus menghirup asap rokok atau yang sering disebut dengan perokok pasif.

Di Indonesia usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku merokok sebenarnya telah dilakukan, namun demikian hasilnya belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah orang yang berstatus perokok di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga menanggulangi masalah merokok menyebutkan bahwa sebanyak 59,04% penduduk laki-laki usia 10 tahun ke atas di 14 propinsi di Indonesia berstatus perokok, sedangkan pada wanita sebanyak 4,83%. Hal ini bertentangan dengan pasal 59 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa pemerintah, lembaga-lembaga negara, masyarakat dan orang tua, mempunyai kewajiban untuk melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, terlindungi serta aktif berpartisipasi.

Asap rokok (Carbon monoksida) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya dan berhubungan dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden PJK sekitar 24.4%.

Nikotin dapat mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, Nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan kebutuhan


(56)

oksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak dan banyak bagian tubuh lainnya. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah dan dapat menurunkan kadar High Dencity Lipoprotein (HDL). Rokok dapat meningkatkan kadar Low Dencity Lipoprotein (LDL) dalam darah dan menurunkan kadar HDL. Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20–49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah 4.5–6.5 % pada perokok dan pada studi lain dilaporkan bahwa pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi, 2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan,2003).

Faktor merokok tentunya berbeda-beda setiap orang dan sangat bervariasi. Oleh sebab itu menurut Martini S dkk (2006) hal yang tak boleh dilupakan adalah frekuensi merokok, jumlah rokok yang dihisap, jenis rokok yang dihisap, umur mulai merokok, lama kebiasaan merokok. Tentunya faktor-faktor tersebut membantu untuk penelitian ini nantinya, untuk melihat sejauh mana pengaruhnya terhadap hipertensi.

2.3. Status Gizi

Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan


(57)

mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4, yaitu: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Secara tidak langsung dibagi menjadi 3, yaitu: survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2002).

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa (2002), penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali.

Obesitas adalah keadaan dimana terdapat penimbunan kelebihan lemak di tubuh yang berlebihan pada seseorang. Umumnya obesitas ditentukan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT)/Body Mass Index (BMI), yaitu perbandingan berat badan (dalam Kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam Meter). Pada usia 0-20 tahun, IMT ditentukan dengan memplot IMT menggunakan grafik Indeks-Massa-Tubuh CDC 2000, yaitu di atas persentil 95th.

Kelebihan berat badan memiliki korelasi yang positif dengan terjadinya hipertensi. Hubungan ini terlihat dari meningkatnya curah jantung dan volume darah dalam sirkulasi darah seseorang seiring dengan bertambahnya berat badan orang tersebut. Akibatnya, seseorang yang berat badannya berlebih cenderung akan memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibanding seseorang dengan berat badan normal. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas akan lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas.


(58)

Mekanisme penyebab utama terjadinya hipertensi pada obesitas diduga berhubungan dengan kenaikan volume tubuh, peningkatan curah jantung dan menurunnya resistensi vaskuler sistemik. Beberapa mekanisme lain yang berperan dalam kejadian hipertensi pada obesitas antara lain peningkatan sistem saraf simpatik, meningkatnya aktivitas renin angiotensin aldosteron (RAAS), peningkatan leptin, peningkatan Insulin, peningkatan asam lemak bebas (FFA), peningkatan Endotelin 1, terganggunya aktivitas natriuretic peptide (NP) serta menurunnya nitrit oxide (NO).

Gambar 2.1. Overweight dan Obesitas 2.3.1. Pengukuran Antropometri sebagai Skreening Obesitas

Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara. Metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), lingkar perut serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul.


(59)

1. Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu: BB

IMT =

TB2

dimana, BB adalah berat badan dalam Kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam Meter.

Tabel 2.2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia (Supariasa, 2002)

Status Gizi Kategori IMT

Kurus Kurang BB tingkat berat Kurang BB tingkat ringan

<17.0 17.0-18.5

Normal >18.5-25.0

Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan Kelebihan BB tingkat berat

>25.0-27.0 >27.0

2. Lingkar perut juga merupakan parameter penting untuk menentukan resiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi. Semakin besar lingkar perut seseorang, maka resiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi pada orang tersebut lebih besar.

3. Lingkar pinggang/panggul juga dapat menjadi penilai adanya obesitas yang pada gilirannya beresiko pada terjadinya penyakit degeneratif. Para ahli menyimpulkan, setiap penambahan 53 cm pada lingkar pinggang atau perut, resiko kematian dini akan meningkat antara 13% - 17% (Misnadiarly, 2007).


(60)

Gambar 2.2. Bentuk Obesitas

IDF (Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis. Kriteria ukuran pinggang berdasarkan etnis Negara/grup etnis Lingkar pinggang (Cm) pada Obesitas yaitu:

Tabel 2.3. Kriteria Ukuran Lingkar Pinggang Berdasarkan Etnis Etnis Negara/Grup etnis Lingkar pinggang

Pria Wanita

Eropa > 94 > 80

Asia Selatan (Melayu, India) > 90 > 80

Cina > 90 > 80

Jepang > 85 > 80


(61)

2.4. Umur

Faktor umur sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat risiko hipertensi. Hal ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon.

Seiring bertambahnya usia, pembuluh darah arteri semakin kehilangan elastisitasnya/kelenturannya sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur.

Dengan bertambahnya umur risiko terkena hipertensi lebih besar prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun.

2.5. Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Kemungkinan terbesar yang mempengaruhi hal tersebut adalah adanya hormon estrogen yang lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Esterogen yang cukup tinggi di darah dapat mengurangi resiko terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Ketika seorang wanita memasuki usia menopause, kadar hormon estrogen dalam darahnya akan semakin menurun yang akhirnya semakin beresiko untuk mengalami hipertensi dan penyakit kardiovaskular.


(1)

(IMT<25) agar mempermudah kategori dari status gizi yang ada. Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa responden yang gemuk banyak yang menderita hipertensi, sedangkan responden yang tidak gemuk kebanyakan tidak mengalami hipertensi.

Dari hasil analisi bivariat ditemukan nilai p= 0,041 dan layak dimasukkan ke analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda, sehingga ditemukan p=0,19 dan OR=5,211. Artinya status gizi memiliki resiko 5,211 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi.

Hasil penelitian Sugiarto tahun 2007 menunjukkan pengaruh status gizi terhadap hipertensi (p=0,001; OR= 5,40; 95% CI 1,72-9,37). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Rachmawaty tahun 2011 yaitu nilai p=0,0026. Didukung juga oleh American Hearth Association yang mengatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara status gizi pada orang yang merokok terhadap hipertensi (p=0,002).


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari Penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa kebiasaan merokok dan status gizi sama-sama berpengaruh terhadap hipertensi. Kebiasaan merokok dinilai dari frekuensi merokok, jumlah rokok, jenis rokok dan lama merokok.

Kebiasaan merokok pada pegawai kantor wilayah kementerian agama provinsi sumatera utara banyak yang tergolong perokok berat. Dari kebiasaan merokok diperoleh nilai odds ratio (OR) = 5,320, artinya pegawai yang memiliki kebiasaan merokok memiliki resiko 5,320 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi.

Status gizi pada pegawai yang hipertensi di kantor wilayah kementerian agama provinsi sumatera utara banyak yang tergolong gemuk. Dari status gizi diperoleh nilai

odds ratio (OR) = 5,211, artinya pegawai yang memiliki status gizi gemuk memiliki resiko 5,211 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi.

6.2. Saran

Penderita hipertensi agar selalu mengontrolkan tekanan darahnya secara rutin minimal satu kali dalam seminggu dan megurangi atau dapat mengeliminasi faktor-faktor penyebab hipertensi seperti kebiasan merokok dan mencapai berat badan ideal. Untuk yang tidak menderita hipertensi agar tetap mengawasi serta mencegah agar tidak terjadi hipertensi.


(3)

Petugas kesehatan dalam hal ini dokter umum yang bekerja di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara agar membuat artikel kesehatan yang disisipkan secara rutin di buletin Kemenag yang terbit setiap bulannya, terutama masalah Hipertensi, bahaya merokok dan masalah gizi.

Kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara agar membuat kesepakatan atau peraturan agar tidak merokok dilingkungan kantor baik saat bekerja maupun istirahat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alimul Hidayat A.A., 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif, Jakarta : Heath Books

Bisma M., 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______., 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Budiarto-Eko, 2001. Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: EGC: 5-6.

Budistio M., 2001. Pencegahan dan Pengobatan Hipertensi pada Pasien Usia Dewasa, Jurnal Kedokteran Trisakti Vol.20 No 2.

Buku Registrasi Kunjungan Pasien, 2012 Klinik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara Medan.

Bustan, M.N., 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Rineka Cipta: 29-38.

Corwin, Elizabeth J., 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 356.

Dahlan S., 2008. Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: CV Sagung Seto.

Darmojo-Boedhi R., 1997. Community Survey of Hypertension in Semarang, Semarang: 15-19.

Dekker E., 1996. Hidup dengan tekanan darah tinggi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Kebijakan dan Strategi Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, Jakarta: 2-8. _____________________, 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta, Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

_____________________, 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.


(5)

Dipiro et al. 2005. The National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI). Gunawan-Lany, 2005. Hipertensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius: 9-19.

Herda Andriyani, 2009. Prevalensi dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, FKM UI, Jakarta.

Isbayuputra Marsen, 2009. Prevalensi Obesitas pada Anak TK dan Faktor yang Memengaruhinya, FK UI, Jakarta.

Kaplan M. Norman, 1998. Hypertension in The Population at large In Clinical Hypertension, Seventh Edition, Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkins: 1-17.

________________, 1998. Pathoghenesis In Clinical Hypertension: Seventh Edition. Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkins: 1-17.

Konsensus Pengobatan Hipertensi, 2005. Jakarta: Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Perhi): 5.

Kusmana Dede, 2002. Olahraga Bagi Kesehatan Jantung, Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 112-115.

Mansjoer-Arif, dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Jakarta: Media Aesculapius FKUI: 520.

Martini S, dkk, 2006. Usia merokok pertama kali merupakan faktor yang meningkatkan risiko kejadian hipertensi; Besar risiko kejadian hipertensi menurut pola merokok, Jakarta: Jurnal Kedokteran YARSI

Misnadiarly, 2007. Obesitas sebagai Faktor Risiko Beberapa Penyakit, Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Notoatmodjo S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta: 136.

Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008. Departemen Kesehatan RI Provinsi Sumatera Utara, Medan.

Rasmaliah dkk, 2004. Gambaran Epidemiologi Penyakit Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Sumatera Utara.


(6)

Riduwan., 2002. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian, Bandung: CV Alfabeta.

_______., 2010. Metode dan teknik menyusun tesis, Bandung: CV Alfa beta.

Roslina., 2008. Analisa determinan hipertensi esensial di wilayah kerja tiga puskesmas kabupaten Deli Sedang, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rothman J. Kenneth, 1998. Environmenttal Epidemiology, Reproductive Epidemiology, Genetic Epidemiology, and Nutritional Epidemiology in Modern Epidemiology. Second Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins: 555-642.

Sadan K., 1994. Survei Hipertensi di Perkebunan PTP VII Papandayan, Majalah Kedokteran Indonesia Tahun XX, No 5: 205-210.

Sheps, Sheldon G., 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama: 26,158.

Sidabutar R.P., 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid II, FK UI, Jakarta: Balai Penerbit. Sugiarto A., 2007. Faktor – faktor risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat

Kabupaten Karanganyar, Universitas Diponegoro Semarang.

The National Health Nutrition Examination (NHES), 2003. Departement of Health and Human service, US.

The Seventh Report of The Joint National Comitte, 2003 Prevention, Detection, Evaluation and Treatmenth High Blood Pressure, US.

WHO dalam Soenarta Ann Arieska, 2005. Konsensus Pengobatan Hipertensi, Jakarta: Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Perhi): 5.

WHO, 2006. Global Youth Tobacco Survey, US.

The New England Journal of Medicine, Hypertensin Articles,

diakses 30 Juni 2012; http://www.NEJM.org/medical.research/hypertension The Assosiation Between Smoking and Hypertension in a Population Base Sample of

Vietnam,