Status Dan Perkembangan Peran ICRC Sebagai Subyek Hukum Internasional

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ambarwati, dkk., Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

A.K, Syahmin., Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1985.

Blondel, Jean-Luc et al. The Fundamental Principles of The Red Cross and Red Crescent, ICRC, Geneva, 1992.

Bowett, D, W., The Law of Internasional Institution, Stevens and Sons, London, 1982.

Brownlie, Ian., Principles of Public International Law, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1977.

Fournin, Henry, Komite Internasional Palang Merah Internasional dalam Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter & HAM, FH Trisakti, Jakarta, 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar., Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979

Kusumaatmadja, Mochtar., Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1982.

Mc. Coubrey, Hilaire., International humanitarian Law : the Regulation of Armed Conflicts, Dartmouth Publishing Co. Ltd, 1994.

Mu’in, Umar., Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan Perhimpunan Palang Merah Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Oppenheim, L., International Law, T&A Constable Ltd, London, 1969. Permanasari, Arlina, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Penerbit ICRC, Jakarta, 1999.

Permanasari, Arlina, dkk., Perlindungan Korban Konflik dan Proses menuju Perdamaian di Aceh Persfektif Konvensi Jenewa 1949, Pusat Studi Hukum Humaniter & HAM, FH Trisakti, Jakarta, 2003.


(2)

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional 2, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Suryokusumo, Sumaryo., Hukum Organisasi Internasional, Penerbit: Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

Swinarski, Christophe., Competences and Functions of the ICRC as an instrument of Humanitarian Action, I.C.R.C, Hongkong, 1992.

B. Peraturan Peundang-undangan

Konvensi Jenewa 1949 Satuta ICRC

C. Tulisan/ Artikel

ICRC, Anuual Report 1995, Geneva, 1996.

, Answers to your question, Geneva, 1996. , Headquarter Appeal 1996, Geneva, 1996.

, Offprints International Review of The Red Cross No. 279, Nov-Dec 1990, ICRC, Geneva, 1990.

, Mengenal Lebih Jauh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Jakarta, 2004.

, Menjawab Pertanyaan-pertanyaan anda, Jakarta, 2004. , What it is, What it does, Geneva, 1993

D. Website


(3)

BAB III

STATUS ICRC DALAM HUKUM INTERNASIONAL

III.1. Pengertian dan jenis-jenis subyek hukum internasional

Subyek hukum secara umum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan kewajiban. Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon), karena ia memiliki hak dan kewajiban tersendiri dalam lalu lintas hukum.

Dalam hukum internasional, pengertian subyek hukum dapat ditemukan dalam definisi yang dibuat oleh beberapa pakar hukum internasional, antara lain :

Menurut Ian Brownlie, pengertian subyek hukum internasional merupakan entitas yang menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional42

42

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1977, halaman. 60

. Selanjutnya ia menambahkan bahwa subyek hukum internasional juga mempunyai kemampuan untuk mengajukan klaim-kalim dalam hal terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum internasional, kemampuan untuk membuat perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan yang sah dalam latar internasional, dan dapat menikmati hak-hak


(4)

istimewa (privileges) dan kekebalan-kekebalan (immunities) dari yurisdiksi-yurisdiksi nasional43

i. Pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Subyek hukum semacam ini disebut subyek hukum internasional penuh, misalnya negara.

.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja pengertian subyek hukum internasional adalah :

ii. Mencakup pula keadaan-keadaan dimana yang dimilikinya itu hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban terbatas, misalnya kewenangan untuk mengadakan penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi, misalnya individu.

iii. Subyek hukum internasional memperoleh kedudukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah44

Pada awalnya, bahkan sampai sekarang ini, negara masih diakui sebagai subyek hukum internasional yang paling utama. Negara adalah subyek hukum internasional dalam arti klasik sejak lahirnya hukum internasional dan sampai sekarang masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakekatnya adalah hukum antar negara. Hal ini disebabkan negara mempunyai hak dan kewajiban yang utuh yang diakui hukum internasional. Tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat internasional dari abad keabad, negara saat ini bukanlah satu-satunya subyek hukum internasional45

Ketentuan hukum internasional terutama berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta kepentingan-kepentingan negara. Biasanya ketentuan hukum internasional merupakan ketentuan yang harus ditaati negara-negara, dan

.

43 Ibid. 44

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Op.cit, halaman. 88

45


(5)

dalam traktat-traktat dapat membedakan kewajiban yang disetujui sendiri untuk dilaksanakan oleh negara penandatanganan. Anggapan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional merupakan anggapan yang wajar sekali dimana hubungan antara negara identik dengan hubungan internasional. Anggapan semacam ini dianut pada awal perkembangan hukum internasional sampai pada awal abad ke-20.

Anggapan ini antara lain dibantah oleh Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang mengajukan teori bahwa apa yang dinamakan hak-hak dan kewajiban negara sebenarnya merupakan hak-hak dan kewajiban manusia-manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara itu. Teori Kelsen ini intinya adalah bahwa subyek hukum internasional yang sesungguhnya adalah individu46

Dalam perkembangan hukum internasional selanjutnya, ternyata jenis-jenis subyek hukum internasional bertambah sejalan dengan perkembangan hubungan internasional. Jenis-jenis subyek hukum internasional yang telah diakui secara umum sampai saat ini adalah negara, organisasi internasional, insurgency (pemberontakan), belligerency (pihak yang terlibat dalam perang), tempat kedudukan Paus di Vatican (The Holy See), wilayah mandat/ perwalian, wilayah koloni, Gerakan Pembebasan (misalnya PLO), dan individu

.

47

Dalam perkembangan hubungan internasional dewasa ini, organisasi internasional merupakan subyek hukum yang penting selain negara, mengingat kontribusinya yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

.

46

Ibid., halaman. 90

47


(6)

Organisasi internasional adalah organisasi yang timbul dari hubungan internasional yang menampung kehendak banyak negara. Negara melalui organisasi itu akan berusaha mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut bidang kehidupan internasional yang sangat luas sehingga diperlukan peraturan internasional agar kepentingan masing-masing negara dapat terjamin48. Oppenheim memberi rumusan mengenai defenisi

internasional yaitu : “ an association of states of potentially universal character for the ultimate fulfillment of purposes which, in relation to indivifuals organised in political society, are realized by the state”49

Menurut Bowett, perkembangan organisasi internasional merupakan jawaban atas kebutuhan nyata yang timbul dari pergaulan internasional. Pertumbuhan pergaulan internasional, dalam arti perkembangan hubungan antara rakyat yang beragam merupakan cirri konstan dari peradaban yang matang, kemajuan dalam bidang komunikasi dan perdaganngan menciptakan tingkat hubungan yang akhirnya memerlukan pengaturan melalui cara-cara kelembagaan

.

50

Sumaryo Suryokusumo mencatat beberapa jenis organisasi internasional, yaitu comission, union, council, league, association, united nations, commonwealth, community, dan cooperation

.

51

48

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, cet.1, Jakarta,1990, halaman. 1

49

L. Oppenheim, International Law : a treatise, vol 1, New York, 1955, halaman. 370

50

D.W.Bowett, The Law of International Institutions, London, 1982, halaman. 1

51

Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman. 1


(7)

Pada awalnya, organisasi internasional ini berbentuk suatu perhimpunan atau perserikatan (union), yang bergerak di bidang publik dan perdata (public and private international union). Anggota public international union biasanya adalah negara-negara (yang kemudian berkembang menjadi organisasi internasional), sedangkan private international union dibentuk oleh lembaga non pemerintah, baik individual atau suatu asosiasi, yang memiliki kepentingan yang bersifat internasional. Bowett membuat kriteria private international union ini sebagai berikut 52

1. The Possesssion of a permanent organ :

2. The object must be interest to all or some nations, and not one of profit 3. The membership should be open to individuals or group from different

countries

4. Emphazied the need for permanent organization and for periodic, regular meeting

5. Set up a small, permanent secretariat Arti:

1. Kepemilikan sebuah organ yang permanen

2. Obyeknya harus berkepentingan semua bangsa atau beberapa, dan tidak satu keuntungan.

3. Keanggotaan harus terbuka untuk individu atau kelompok dari beberapa negara.

4. Menekankan perlunya bagi organsisasi permanen dan periodik, pertemuan rutin.

5. Mendirikan sekretariat kecil yang permanen.

52


(8)

Menurut Sumaryo Suryokusumo, organisasi dalam arti luas meliputi organisasi internasional publik dan organisasi internasional privat, tetapi pada hakikatnya yang disebut organisasi internsional publik, adalah yang anggotanya terdiri dari negara53

Mochtar Kusumaatmadja dalam pembahasan mengenai subyek hukum internasional memberikan tempat yang terpisah dari organisasi internasional bagi ICRC . Beliau juga menyebutkan bahwa “sekarang Palang Merah Internasional (ICRC) secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subyek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang terbatas”

.

III.2. Status ICRC sebagai subyek hukum internasional

Mengenai status ICRC sebagai subyek hukum internasional, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum internasional, apakah ICRC dapat diklasifikasikan sebagai suatu organisasi internasional atau memiliki status tersendiri.

54

Sedangkan Bowett tampaknya menolak anggapan bahwa ICRC termasuk organisasi internasional. Hal ini terlihat dari pendapat beliau yang menggolongkan ICRC sebagai private international union, sedangkan yang dianggap awal perkembangan organisasi internasional menurut beliau adalah public international

.

53

Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., halaman 12

54


(9)

union55

a. Memiliki organisasi yang tetap untuk menjalankan fungsi-fungsinya, berupa organ-organ khusus yang akan menjalankan fungsi ICRC sebagaimana tercantum dalam Statuta ICRC, Statuta Gerakan, dan Konvensi Jenewa.

. Dalam Pasal 1 Statuta ICRC disebutkan bahwa ICRC adalah “an independent humanitarian organization”.

Selain itu, Oppenheim, Goodspeed, dan umumnya pendapat para sarjana lain yang secara tegas menyatakan bahwa keanggotaan organisasi internasional adalah negara-negara, tentunya akan menolak untuk menggolongkan ICRC terdiri dari individu, walaupun memang harus diakui bahwa ICRC memenuhi sebagian besar kriteria sebagai suatu organisasi internasional, misalnya :

b. Memiliki instrument dasar berupa Statuta ICRC yang diadopsi tanggal 21 Juni 1973, dimana di dalamnya dicantumkan struktur organisasi ICRC (pasal 8-10), metode operasi berupa “Rules of Procedur” (pasal 13), baik untuk ICRC sendiri maupun dalam kapasitasnya sebagai bagian dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

c. Memiliki lembaga konsultatif berupa Konferensi Internasional Palang Merah yang diadakan setiap 4 tahun sekali. Pada konferensi ini dihasilkan berbagai resolusi yang akan menjadi pedoman kerja bagi seluruh unsure Gerakan. Konferensi ini dihadiri oleh ICRC, Federasi, Perhimpunan Nasional, serta negara-negara penandatanganan Konvensi Jenewa. Selain itu ada pula lembaga Council of Delegates yang terdiri dari wakil-wakil ICRC, Federasi,

55


(10)

dan Perhimpunan Nasional yang bertemu 2 tahun sekali untuk memberikan pendapat atas kebijakan dan masalah umum bagi semua unsur Gerakan.

d. Memiliki sekrettariat tetap yang berpusat di Jenewa yang menjalankan fungsi-fungsi administratif, riset, dan informasi secara terus menerus.

Dalam perkembangan dewasa ini, terminologi “organisasi internasional” memang lebih ditekankan pada organisasi yang didirikan oleh negara-negara dan anggotanya adalah negara-negara pula, dan adanya suatu perjanjian internasional yang menjadi instrument dasar organisasi tersebut. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa ICRC memiliki kedudukan tersendiri dalam hal statusnya sebagai subyek hukum internasional.

ICRC adalah produk dari inisiatif pribadi (bukan negara). Pembentukan ICRC tidak berdasarkan inisiatif atau perjanjian internasional antar beberapa negara sebagaimana organisasi internasional umumnya, tetapi adalah atas inisiatif pribadi Henry Dunant dan rekan-rekannya. ICRC pun dibentuk berdasarkan hukum perdata Swiss. Tetapi melalui berbagai tugas yang dibebankan kepadanya oleh Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya, ICRC memperoleh status internasionalnya, yang mana status tersebut memberikan hak bagi ICRC untuk melaksanakan misinya di seluruh dunia. Mandat yang diberikan itu juga memungkinkan ICRC untuk melakukan hubungan dengan negara-negara dengan membuka perwakilan dan menyebarkan delegasinya. Hubungan yang dibuat ICRC dengan pemerintah dalam rangka pengawasan korban perang tidak akan mempengaruhi status kedua belah pihak.


(11)

Dimensi internasional ICRC dikuatkan dengan headquarter agreement atau seat agreement yang telah dibuat 50 negara dimana ICRC membuka kantor perwakilan (misalnya regional delegation). Dengan adanya perjanjian ini, negara mengakui ICRC sebagai suatu kesatuan hukum dan menjamin hak-hak istimewa serta kekebalannya seperti anggota korps diplomatik. Hal ini termasuk kekebalan dari proses hukum, yang melindungi staf ICRC dari proses administrasi dan yudisial, serta tidak mengganggu arsip dan dokumen ICRC56

Hak-hak istimewa dan kekebalan bagi ICRC ini perlu diberikan untuk menjamin sifat netral dan kemandirian ICRC. Karena sifat dan keanggotaannya yang non pemerintah, ICRC secara organisasional berada di luar sistem PBB atau organisasi interbasional lainnya

.

57

The International Committee, founded in Geneva in 1863 and formally recognized in Geneva Conventions and by International Conferences of The Red Cross, is an independent humanitarian organization having a status of its own. It co-opts its members from among Swiss citizens

. Disinilah antara lain letak kemandirian ICRC.

Dasar hukum mengenasi status ICRC terdapat dalam pasal 5 (1) Statuta gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, yang menyebutkan bahwa :

58

. Arti:

Komite internasional yang didirikan di Jenewa tahun 1863 dan secara resmi diakui dalam Konvensi Jenewa dan oleh Konferensi Internasional Palang Merah, adalah sebuah organisasi kemanusiaan yang independen yang memiliki status sendiri, ini memilih anggotanya dari kalangan warga negara Swiss.

56

ICRC, ICRC answes to your questions, Geneva, 1996, halaman. 6

57 Ibid. 58


(12)

Dalam Statuta ICRC pasal 1 dan 2 yang disebutkan bahwa :

International Committee of The Red Cross (ICRC), founded in Geneva in 1863 and formally recognized in the Geneva Conventions and by International Conferences of The Red Cross, shall be an independent humanitarian organization having status of its own. It shall be a constituent part of the International Red Cross and Red Crescent Movement. As an association governed by article 60 and following of the Swiss Civil Code, the ICRC shall have legal personality59

Komposisi keanggotaan ICRC seluruhnya berasal dari suatu negara yang telah diakui kenetralannya oleh masyarakat internasional dan bersifat individual. Dengan kondisi ini ICRC diharapkan dapat menjalankan tugas yang diembannya

. Arti :

Komite Internasional Palang Merah didirikan di Jenewa tahun 1863 dan secara resmi diakui dalam Konvensi Jenewa dan Konferensi Internasional dari palang merah, akan sebuah organisasi kemanusiaan yang independen memiliki status sendiri. Itu akan menjadi bagian pokok dari gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional. Sebagai asosiasi diatur dalam pasal 60 dan mengikuti dari kode sipil Swiss ICRC harus mempunyai kepribadian hukum.

Jelaslah bahwa ICRC merupakan badan hukum privat yang dibentuk berdasarkan Hukum Perdata Swiss. Hal ini berbeda dengan sebuah organisasi internasional, yang dibentuk berdasarkan sebuah perjanjian internasional antara negara-negara pendirinya. Keanggotaan ICRC juga bukan negara, tetapi individu yang direkrut langsung oleh ICRC dari kalangan warga negara Swiss saja. Walaupun demikian, ICRC dapat merekrut staf dari warga lokal tempat aktivitasnya dijalankan.

59


(13)

dengan baik berdasrkan prinsip netralitas dan kemandirian dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik negara60

ICRC memperoleh mandat untuk melaksanakan fungsinya sebagai penegah yang netral dalam konflik bersenjata, dapat menawarkan jasa baiknya dalam situasi yang bukan merupakan bidang hukum humaniter internasional, misalnya gangguan intern. ICRC bertanggung jawab menyebarluaskan hukum dan prinsip-prinsip humaniter dan mengamati perkembangan serta pelaksanaanya di dalam dan di luar tubuh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Dengan demikian, ICRC memiliki kewenangan yang terbatas, yaitu dalam bidang hukum humaniter, khususnya perlindungan korban perang

.

61

Sifat internasional ICRC sebagi sebuah organisasi bukan dilihat dari keanggotaannya, tetapi dari misi dan wilayah kerjanya yang berada hamper di seluruh dunia. Hilaire Mc. Coubrey memberikan penegasan bahwa “ICRC is being ‘international’ in function rather than in membership or corporate identity”

.

62

. Selain itu, sifat internasional ICRC juga dibuktikan dari pemberian mandate masyarakat internasional melelui Konvensi Jenewa 1949.

Untuk dapat menjalankan tugasnya, ICRC juga memiliki dasar hukum yang terdiri dari dua jenis, yaitu :

60

ICRC,What it is, What it does, Geneva, 1993, halaman. 6

61

Ibid., halaman. 4

62

Hilaire Mc. Coubrey, International Humanitarian Law : The Regulation of Armed Conflicts, 1994, halaman. 32


(14)

Perjanjian Internasional (Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya)

Selama konflik bersenjata internasional, kegiatan ICRC diatur dalam Konvensi Jenewa dan Protokol I, yang mengakui hak ICRC untuk melakukan kegiatan tertentu, antara lain membantu korban yang luka, sakit, dan karam, mengunjungi tawanan perang, dan menolong penduduk sipil.

Selama konflik intern, ICRC bekerja berdasarkan pasal 3 Bagian Umum Konvensi Jenewa dan Protokol II, dimana ICRC diakui haknya untuk menawarkan operasi bantuan dan kunjungan kepada tahanan kepada para pihak.

Statuta Gerakan Palang Merah Internasional

Dalam situasi kekacauan lainnya yang bukan berupa konflik bersenjata, misalnya gangguan keamanan dalam negeri, ICRC mendasarkan kegiatannya pada Statuta Gerakan yang member hak inisiatif bagi ICRC untuk bertindak dalam masalah-masalah kemanusiaan sebagai lembaga penengah yang netral dan mandiri63

a. International armed conflict (konflik bersenjata antar negara) .

Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ICRC dapat melakukan kerjanya dalam empat jenis keadaan, yaitu :

b. Non-international armed conflict (konflik bersenjata yang terjadi antara dua pihak atau lebih dalam satu negara)

63


(15)

c. Internal disturbances (adanya gangguan keamanan di dalam suatu negara, dimana negara menggunakan angkatan bersenjatanya untuk memulihkan ketertiban umum)

d. Internal tension (adanya suatu ketegangan di dalam suatu negara karena alas an politik, agama, rasial, social, ekonomi, dan sebagainya), dimana negara merasa perlu menggunakan angkatan bersenjatanya sebagai sarana untuk mempertahankan hukum dan ketertiban umum)

Sedangkan para korban yang menjadi tanggung jawab ICRC adalah prajurit yang luka, sakit, dan tenggelam, tawanan perang, tahanan sipil, penduduk sipil dalam wilayah pihak yang terlibat perang atau wilayah yang dikuasai salah satu pihak dalam perang, pengungsi, dan thanan politik (dalam kasus tertentu dapat pula tahanan pidana). Mereka inilah yang dalam Konvensi Jenewa 1949 disebut protected persons.

Lebih daripada itu, sejatinya ICRC yang merupakan komponen dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional berstatus Badan Hukum, mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sendiri serta terikat oleh Undang-undang Negara Swiss. Selain dari pada itu, ICRC juga mendapat pengakuan dan kepercayaan oleh Konferensi Jenewa 1949 sebagaimana termuat di dalam Konvensi I, II, III, dan IV64.

64


(16)

III.2. Pengakuan atas status ICRC sebagai subyek hukum internasional.

Status ICRC sebagi subyek hukum internasional telah diakui oleh masyarakat internasional sejak lama, dan terus berkembang selama perjalanan sejarah ICRC. Pengakuan ini diberikan oleh berbagai pihak secara integral, yang meliputi status, fungsi dan peranan, tujuan, prinsip-prinsip, dan cara kerja ICRC.

Pada awalnya pengakuan terhadap status ICRC didapat dari masyarakat internasional yang telah memahami benar bahwa tujuan dan fungsi yang diemban ICRC sangat penting dalam upaya memperlancar proses perdamaian dunia. Pengakuan masyarakat internasional ini dibuktikan melalui lahirnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahannya sebagai hasil konferensi internasional.

Pengakuan negara terhadap status ICRC dikuatkan dalam Headquarter Agreement atau Seat Agreement antara ICTRC dengan negara dimana ia memiliki perwakilan. Dengan adanya perjanjian ini, maka negara tersebut mengakui dan menghormati kerja ICRC di seluruh wilayah negaranya dan tidak mencampuri prinsip-prinsio ICRC dalam menjalankan tugasnya.

Headquarter Agreement ini contohnya yang dibuat antara ICRC dengan Swiss, tempat dimana ICRC menempatkan markas berkasnya (di Jenewa). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 1993 dimana Swiss mengakui status ICRC sebagai subyek hukum internasional dan menegaskan kembali bahwa ICRC dalam menjalankan tugasnya bersifat independen dan terlepas dari pemerintah Swiss. Pengakuan negara juga dibuktikan dengan keikutsertaan negara-negara penandatanganan Konvensi Jenewa dalam Konferensi Internasional Palang Merah


(17)

yang secara aktif dipersiapkan dan diikuti oleh ICRC, sejak Konferensi I di Paris tahun 1867 sampai Konferensi XXVI di Jenewa tahun 1995. Selain itu, negara-negara di hampir seluruh dunia mengizinkan ICRC melakukan aktivitas di dalam wilayahnya yang memerlukan bantuan kemanusiaan.

Pengakuan dari organisasi internasional, misalnya PBB, juga tidak kalah berartinya bagi eksistensi ICRC dalam hubungan antar bangsa. PBB sejak tanggal 16 Oktober 1990 berdasarkan Resolusi Majelis Umum No. 45/.6 dibawah judul “Observer status for the International Committee of The Red Cross, in consideration of the special role and mandates conferred by the Geneva Conventions of 12 August 1949” memberikan status peninjau bagi ICRC dalam sidang-sidang majelis Umum. Resolusi ini dibuat berdasarkan kesepakatan 138 negara anggota-anggota PBB. Dengan status ini, ICRC berkewajiban untuk hadir pada pertemuan-pertemuan dan konferensi-konferensi berkala organ-organ utama PBB (antara lain Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial). Dengan status sebagai peninjau ini, walaupun tidak memiliki hak suara, tetapi ICRC memiliki hak-hak istimewa, misalnya untuk memberikan pendapat atas inisiatif sendiri (tanpa diminta oleh organ-organ PBB)65

Organisasi internasional lainnya, baik di tingkat regional maupun internasional, juga membuktikan pengakuannya dengan berbagai cara, antara lain melalui kerjasama dalam bidang kemanusiaan, atau mengundang ICRC menjadi peninjau atau tamu dalam pertemuan berkala mereka.

.

65

ICRC, Offprints International Review of the Red Cross No. 279-280, Nov-Dec 1990 & Jan-Feb 1991, Geneva, 1991, halaman. 38


(18)

BAB IV

FUNGSI DAN PERKEMBANGAN PERAN ICRC DALAM PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

IV.1. Fungsi dan peran ICRC berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977

Dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahannya 1977, ICRC selain melaksanakan kegiatan-kegiatan operasional untuk melindungi dan membantu para korban konflik bersenjata, juga berperan sebagai pelaksana dan pelindung prinsip-prinsip hukum humaniter internasional66

“Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Pihak-pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini, Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian

.

Fungsi ICRC sebagai lembaga humaniter yang tidak berpihak dan berhak menawarkan bantuan kemanusiaannya ditegaskan dalam pasal 3 (2) keempat Konvensi Jenewa yang berbunyi :

67

66

Hukum humaniter (hukum perikemanusiaan) adalah sekelompok aturan yang berusaha menjamin adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam suatu konflik bersenjata. Hukum Humaniter memiliki prinsip-prinsip antara lain : non diskriminasi, hak untuk hidup, perlindungan terhadap unsur-unsur penunjang kehidupan, larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, larangan terhadap perbudakan, jaminan proses hukum, perlindungan terhadap kehidupan anak-anak dan keluarga, dan penghormatan terhadap agama. ICRC., International Humanitarian Law (Geneva, 1996), halaman. 7

67

Pasal 3 (2) Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949


(19)

Dasar hukum dari segala kegiatan ICRFC diatur dalam pasal 9 Konvensi Jenewa I-III dan pasal 10 Konvensi IV yang menyatakan bahwa :

“ Ketentuan-ketentuan Konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh Komite Palang Merah Internasional atau tiap-tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan dan rohaniawan, selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan Pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”68

Ada sejumlah fungsi yang dilakukan ICRC sebagai pelakasana dan pengawal Hukum Humaniter Internasional, baik dalam situasi sengketa bersenjata internasional, noninternasional, maupun pada masa damai, antara lain

.

69

1. Monitoring

:

yaitu fungsi untuk secara terus menerus melakukan penilaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang berlaku apakah masih sesuai atau relevan dengan kenyataan-kenyataan dan fenomena konflik bersenjata yang terjadi dewasa ini serta menyiapkan upaya penyesuaian atau adaptasi serta pengembangan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut apabila dipandang perlu. Penyempurnaan Konvensi tentang Tawanan Perang tahun 1939 menjadi Konvensi Jenewa III tahun 1949 merupakan salah satu contoh dari hal ini. Begitu pula halnya dengan penyusunan protolol I dan II tahun 1977 juga merupakan contoh bagaimana ketentuan-ketetentuan Hukum Humaniter perlu

68

Pasal 9 Konvensi Jenewa I-III dan pasal 10 Konvensi Jenewa IV tahun 1949

69

Arlina Permanasari, “Perlindungan Korban Konflik dan Proses menuju Perdamaian di Aceh Perspektif Konvensi Jenewa 1949”, Pusat Studi Hukum Humaniter & HAM, Fakultas Hukum Universitas TRISAKTI, Jakarta, 2003, halaman. 14


(20)

diselaraskan dengan perkembangan-perkembangan konflik uang sesuai dengan jamannya.

2. Katalisator (Catalist)

yaitu menstimulus diskusi-diskusi yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum humaniter dan mencari kemungkinan pemecahannya, khususnya dalam hal ini dengan kelompok ahli dari pemerintah. Diskusi-diskusi semacam ini dapat mengarah kepada suatu rekomendasi atas perubahan-perubahan terhadap hukum yang berlaku ataupun tidak. Fungsi ini berkaitan dengan fungsi pertama sebagaimana diuraikan diatas. Dalam hal ini, manakala suatu ketentuan misalnya dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan yang ada, maka tidak cukup jika hanya mengatakan bahwa ketentuan tersebut perlu dirubah atau disesuaikan. Serangkaian tindakan perlu diambil termasuk untuk mendapatkan masukan dari ahli-ahli yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang bersangkutan dan kemudian mendiskusikannya secara mendalam serta mencoba merumuskan kemungkinan pemecahannya.70

3. Promosi (Promotion)

yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman setiap orang akan ketentuan-ketentuan hukum humaniter sehingga harapan akan penerapannya pun akan menjadi lebih baik lagi. Tidak dapat dibayangkan bagaimana aka nada tindakan pelaksanaan apabila pemahaman atas isi dan maksud dari

70 Ibid.


(21)

Konvensi Jenewa atau ketentuan hukum humaniter lainnya masih rendah. Karena itu disini dipilih kata “promosi” dan bukan hanya sekedar “disseminasi” atau penyebarluasan saja. Karena sasarannya tidak hanya agar ketentuan-ketentuannya diketahui dan dipahami, tetapi juga dilaksanakan serangkaian tindakan lanjutan, misalnya menerbitkan peraturan nasional sebagai pelaksanaan dari ketentuan hukum humaniter yang dimaksud.

4. Melindungi (Guardian Angel)

yaitu suatu fungsi untuk melindungi hukum humaniter dari perkembangan-perkembangan hukum yang mengabaikan atau dapat melemahkan hukum humaniter itu sendiri71

5. Melakukan tindakan nyata

. Hal ini bias terjadi disebabkan ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman perjanjian internasional lain selain hukum humaniter. Contoh mengenai hal ini adalah intervensi yang dilakukan oleh ICRC dan beberapa negara pada waktu penyusunan Pasal mengenai perlindungan anak pada waktu perang dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak. Pada waktu itu ICRC dan beberapa negara tersebut melihat bahwa Pasal yang diusulkan tidak sesuai dengan apa yang tedapat didalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahannya 1977.

yakni melakukan tindakan konkrit dan memberikan kontribusi praktis bagi penerapan hukum dalam situasi konflik bersenjata. Fungsi ini adalah fungsi yang terpenting bagi ICRC, yakni melakukan tindakan-tindakan nyata dan

71 Ibid.


(22)

konkrit bagi korban-korban sengketa bersenjata. Misalnya diatur bahwa pihak-pihak yang bersengketa harus memperhatikan hak-hak dari mereka yang terluka, sakit, meninggal atau ditawan karena terjadinya sengketa bersenjata. Dalam hal ini ICRC pertama-tama meningkatkan para pihak yang bersengketa tentang kewajiban ini dan yang kedua memberikan bantuan secara langsung kepada korban-korban sengketa bersenjata tersebut.

6. Pengawasan atau anjing penjaga (Watchdog)

yakni berfungsi mengingatkan negara-negara dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata dan juga kepada masyarakat internasional secarakeseluruhan manakala terjadi pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum humaniter. Fungsi ini digambarkan seperti membunyikan alarm manakala terjadi pelanggaran-pelanggaran serius. Namun dalam melakukannya fungsi ICRC lebih mengutamakan kepada dialog secara langsungdan konfidensial dengan pihak-pihak yang berkompetenn dimana pelanggaran serius tersebut terjadi. Hanya dalam situasi-situasi yang sangat spesifik dimana terlihat sama sekali adanya kehendak pihak yang bersengketa untuk menerapkan hukum humaniter maka kemudian ICRC meminta perhatian masyarakat internasional. Contoh mengenai hal ini adalah kasus pembersihan etnis yang terjadi di bekas negara Yugoslavia.

Dari semua fungsi yang dijelaskan tersebut tidak dapat diartikan bahwa ICRC sebagai guardian kemudian juga berfungsi sebagai penjamin atau guarantor dilaksanakannya ketentuan-ketentuan hukum humaniter oleh negara


(23)

dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata. Karena yang dapat menjamin hal ini adalah negara-negara serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam sengketa bersenjata itu sendiri. Fungsi sebagai guardian dapat dilihat sebagai upaya untuk memobilisir perjatian secara terus menerus tentang nilai-nilai kemanusiaan dari hukum humaniter yang harus ditegakkan baik pada masa damai maupun pada masa perang72

“Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dari negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi ynag dapat memberikan bantuan kepada mereka”

.

ICRC juga berhak untuk melakukan pengawasan terhadap tawanan perang dan penduduk sipil, dengan cara mendatangi tempat-tempat mereka ditahan atau dipekerjakan, berkomunikasi dengan mereka secara langsung atau menggunakan jasa penerjemah, dengan jangka waktu dan frekuensi yang tidak terbatas. Kunjungan seperti ini tidak boleh dilarang, kecuali bila ada kepentingan militer yang mendesak. ICRC berhak memilih sendiri tempat-tempat yang akan mereka kunjungi. Hal ini diatur dalam pasal 126 Konvensi III dan pasal 143 Konvensi IV.

Hubungan antara ICRC dengan protected persons diatur dalam pasal 30 Konvensi IV yang berbunyi :

73

72

Ibid, halaman. 16

73

Pasal 30 Konvensi IV Jenewa tahun 1949


(24)

Hubungan ICRC dengan para tawanan perang secara khusus diatur dalam pasal 125 Konvensi III, yang menyebutkan bahwa “ kedudukan istimewa dari Komite Palang Merah Internasional dalam bidang ini selalu harus diakui dan dihormati”. Pasal ini dibuat untuk menghargai ICRC yang telah memainkan suatu peran penting dalam membuat para tawanan perang selama dua Perang Dunia, sehingga Konvensi memberikan kedudukan yang khusus bagi ICRC, dan mendukung setiap aktivitasnya.

Negara yang memiliki tawanan perang harus menjamin pelaksanaan tugas delegasi ICRC, memberikan fasilitas yang diperlukan untuk mengunjungi para tawanan perang, membagikan suplai bantuan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, atau sekedar hiburan bagi mereka, dan membantu mereka mengorganisir kegiatan sehari-hari didalam kamp. Prinsip umum mengenai tawanan perang yang harus dilaksanakan oleh semua pihak diatur dalam pasal 13 Konvensi III yang menegaskan bahwa “Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan”74

Peranan ICRC dalam memberikan pertolongan dan bantuan kemanusiaan kepada protected persons antara lain diatur dalam pasal 75 Konvensi III yang menyebutkan bahwa “……… Komite Palang Merah Internasional atau tiap organisasi lainnya yang telah disetujui oleh Pihak-pihak dalam sengketa, dapat bertindak untuk menjamin pengangkutan kiriman tersebut dengan alat-alat yang

.

74


(25)

memadai75

“Pembagian kiriman-kiriman sumbangan yang tecantum dalam pasal-pasal di atas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan dibawah pengawasan Negara Pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan Pendudukan dan Negara pelindung, dapat juga diserahkan kepada suatu Negara, kepada Komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan kemanusiaan lain yang tidak memihak”

untuk keperluan ini ………. “. Semua bahan bantuan ini dibebaskan dari biaya imor, cukai, dan pembayaran lain. Dalam hal pemberian bantuan kemanusiaan, pengalaman ICRC dalam dua Perang Dunia telah diakui dunia. Selain itu, dalam Konvensi IV pasal 61 diatur tentang distribusi bantuan kemanusiaan yang melibatkan ICRC dimana disebutkan bahwa :

76

Mengenai salah satu organ ICRC, yaitu Central Tracing Agency (CTA), bekerja memulihkan hubungan keluarga dalam semua situasi konflik bersenjata atau kekerasan dalam negeri. Setiap tahun dibuka ratusan ribu kasus baru mengenai orang yang dicari oleh keluarganya, baik itu pengungsi internal, pengungsi eksternal, tahanan maupun orang hilang. Konvensi Jenewa dan Protokolnya memberikan pengaturan tersendiri untuk menjamin pelaksanaan

.

Dalam hal ini, negara yang bersangkutan harus mengizinkan operasi pemberian bantuan kemanusiaan yang dianggap perlu untuk membantu masyarakat dan memperlancar pelaksanaan operasi tersebut dengan berbagai alat dan cara yang mungkin, apalagi bila pemberian bantuan tersebut dilaksanakan oleh ICRC.

75

Dalam pasal ini yang dimaksud adalah pengangkutan bahan bantuan

76


(26)

tugas CTA di lapangan. Pengaturan ini antara lain tedapat dalam pasal 33 (3) Protokol I.

Dalam hubungannya dengan tawanan perang, ICRC dapat pula mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang disebut Central Prisoners of War Information Agency atau Biro Pusat Penerangan Tawanan Perang yang berkedudukan di sebuah negara netral. Fungsi dari lembaga ini, sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 Konvensi III adalah “ Fungsi Biro Pusat Penerangan tawanan perang adalah mengumpulkan semua informasi yang dapat diperoleh melalui saluran-saluran informasi-informasi itu secepat mungkin ke negara asal tawanan perang atau kepada Negara yang mereka taati. Biro Pusat Penerangan itu mendapat fasilitas dari Pihak-pihak dalam sengketa untuk melakukan pengiriman-pengiriman tersebut”.

Dalam melaksanakan tugas pelacakan terhadap korban perang yang terpisah dari keluarganya ini, ICRC selalu memperhatikan prinsip ynag dinyatakan dalam pasal 32 Protokol I.

IV. 2. Pelaksanaan fungsi dan perkembangan peran ICRC dewasa ini

Dewasa ini, fungsi dan peran ICRC berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat internasional terhadap sumbangsih ICRC dalam bidang humaniter. ICRC berusaha untuk mengelompokkan kegiatan-kegiatan agar dapat terorganisir baik dan menjangkau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dengan efektif dan efisien di berbagai belahan dunia.


(27)

Dengan berkembangnya kegiatan ICRC pada saat ini, maka fungsi lembaga ini dapat digolongkan ke dalam beberapa hal yaitu 77

1. Sebagai agen dalam penerapan Konvensi Jenewa :

2. Sebagai bagian dan lembaga pendiri Gerakan Palang Merah Internasional 3. Sebagai pelindung Hukum Humaniter Internasional dan prinsip-prinsip dasar

Palang Merah

4. Sebagai penyebar luas Hukum Humaniter Internasional

5. Sebagai pelaksana dalam kegiatan kemaniusiaan internasional atas prakarsa sendiri

6. Sebagai penggerak kegiatan kemanusiaan baik diminta atau tidak oleh masyarakat internasional

ICRC juga melakukan kunjungan kepada tahanan-tahanan yang berkaitan dengan konflik bersenjata atau tindak kekerasan dalam rangka memastikan penghormatan terhadap hukum humaniter. Selain itu, ICRC juga memberikan bantuan program pelatihan kepada TNI dan Polri serta program kegiatan di Universitas-universitas mengenai hukum humaniter.

Kegiatan ICRC yang bersifat preventif dirancang untuk membatasi efek buruk dari konflik dan meminimalkan efek-efek semacam itu, oleh karena itu, ICRC berusaha untuk menyebarluaskan seluruh rangkaian prinip kemanusiaan dalam rangka mencegah atau sekurang-kurangnya membatasi akses-akses

77

Christophe Swinarski, Competences and functions of the ICRC as an instrument of humanitarian action, Hongkong, 1992, halaman. 8


(28)

terburuk dari peperangan. Ada sejumlah tindakan preventif yang dilakukan oleh ICRC antara lain sebagai berikut 78

1. Mencegah melalui komunikasi :

yaitu target ICRC secara khusus ialah orang-orang dan kelompok-kelompok yang berada dalam posisi untuk menentukan nasib para korban konflik bersenjata atau yang dapat mengahalangi atau memfasilitasi kegiatan ICRC. Kelompok-kelompok tersebut antara lain angkatan bersenjata, kepolisian, pasukan keamanan, dan pihak-pihak bersenjata lainnya, para pengambnil keputusan, dan para tokoh masyarakat di tingkat lokal maupun internasional, para remaja, mahasiswa dan para pengajar. Strategi dibalik kegiatan-kegiatan tersebut terdiri dari tiga tingkatan79

- Membangun kesadaran

:

- Mempromosikan hukum humaniter internasional melalui kegiatan pengajaran dan pelatihan

- Mengintegrasikan hukum humaniter internasional ke dalam kurikulum resmi dibidang hukum, pendidikan, dan operasi

Tujuan akhir dari program-program ini adalah memengaruhi sikap dan perilaku orang dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap

orang-78

Ambarwati dkk, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman. 147

79 Ibid.


(29)

orang sipil dan korban-korban lain pada masa konflik bersenjata, memfasilitasi akses terhadapkorban, dan meningkatkan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan.

2. Menghormati dan menjamin penghormatan

Yaitu negara berkewajiban menjamin bahwa angkatan bersenjatanya menguasai hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Untuk itu, ICRC mempromosikan pengintegrasian hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan ini ke dalam doktrin, pendidikan, dan pelatihan militer serta membantu negara-negara melaksanakan proses tersebut. ICRC juga berupaya agar pihak kepolisian dan keamanan menerima pelatihan hukum humaniter internasional, hukum, HAM, dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Kepada kelompok bersenjata yang belum pernah mendapatkan pelatihan, ICRC berusaha menjalin kontak dengan semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memperkenalkan kegiatan dan cara kerja ICRC, Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, supaya akses untuk membantu korban menjadi lebih mudah dan keamanan pekerja kemanusiaan lebih terjamin.

3. Mengubah Keadaan

Yaitu guna menghindari tumpang tindih kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai kalangan, ICRC berupaya agar para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, anggota LSM, wartawan, dan orang-orang yang berpengaruh lainnya mengenal kegiatan-kegiatan ICRC sehingga akan memperoleh


(30)

dukungan dalam menjamin implementasi hukum humaniter internasional80

4. Mengamankan masa depan

. Untuk itulah, ICRC melakukan diplomasi kemanusiaan yang antara lain berupaya menjalin serta memelihara jaringan kontak dengan berbagai pelaku kemanusiaan dan mengoordinasikan kegiatan dengan pelaku-pelaku lain dilapangan.

Yaitu untuk menjangkau calon pembuat keputusan dan tokoh masyarakat, ICRC memprioritaskan dunia akademis, terutama Fakultas Hukum, Ilmu Politik, dan Jurnalistik sebagai sasaran diseminasinya untuk mendorong dimasukkannya hukum humaniter ke dalam berbagai program pelajaran yang diselenggarakan.

IV. 3. Keberadaan dan kegiatan ICRC di Indonesia

IV.3.1 Sejarah keberadaan ICRC di Indonesia

Pada tahun 1950-1952, waktu konflik Maluku Selatan, ICRC dapat mengunjungi ratusan tahanan militer dan sipil setelah bentrokan akibat penolakan kepulauan tersebut masuk Republik Indonesia. Sebelumnya, ICRC sudah pernah bekerja diwilayah ini, pada tahun 1940, ICRC untuk pertama kalinya dapat melaksanakan tugasnya disini, yaitu pada waktu pendudukan Jepang81

80 Ibid.

81

ICRC, Keberadaan dan Kegiatan Komite Internasional Palang Merah di Indonesia,

Jakarta, 1998, halaman. 3


(31)

Akibat agresi yang diajukan Belanda setelah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka, banyak orang menjadi tawanan, termasuk juga presiden pertama Indonesia Soekarno82

Pada tahun 1975, konflik internal meletus di timor-timur segera sesudah portugis menarik mundur dari wilayah tersebut. Sebelum keterlibatan Indonesia, kedua pihak yang bertikai yaitu UDT dan Fretilin, menerima kedatangan ICRC yang dapat memberikan bantuan kepada korban akibat konflik tersebut. Sejak September hingga Desember 1975, utusan ICRC dapat mengunjungi tahanan dari kedua belah pihak, melakukan pertukaran berita antara anggota keluarga yang terpisah dan mengusahakan pencarian orang-orang yang dilaoporkan hilang. Namun mulai akhir tahun 1975, ICRC terpaksa menghentikan kegiatannya di

. Pada saat itu, ICRC dapat mengunjungi presiden Soekarno waktu beliau masih di dalam tahanan.

Setelah upaya kudeta komunis gagal tahun 1965, ribuan orang mendekam dlam tahanan. Tiga tahun kemudian, ICRC menawarkan dukungannya untuk ikut membantu meningkatkan kondisi penahanan. Penawaran ini baru desetujui pada tahun 1969 dan ICRC mulai mengunjungi para tahanan tersebut pada tahun 1970. Antara tahun 1974 dan 1978, ICRC melakukan kunjungan di seratus tempat penahanan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan meningkatkan kondisi penahanan dari kurang lebih 40.000 orang yang ditahan sehubungan dengan upaya kudeta tahun 1965.

82 Ibid.


(32)

Timor-timur selama hampir empat tahun. Pada tahun 1979, ICRC diperbolehkan lagi untuk melakukan program bantuan di daerah tersebut83

Pada tahun 1982, sebuah kantor delegasi ICRC dibuka di Jakarta. Berdasarkan persetujuan antara pemerintah Indonesia dan organisasi ICRC yang ditandatangani tanggal 19 Oktober 1987, kantor delegasi ICRC ini berubah menjadi kantor perwakilan regional, dan wilayah yang tercakup sekarang adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Myanmar

.

84

83

Ibid., halaman. 3

84

Ibid., halaman. 2

.

IV. 3. 2. Kegiatan ICRC di Indonesia

Sebagai negara yang telah menjadi peserta Konvensi Jenewa 1949 maka kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan ICRC dan antara ICRC dengan Palang Merah Indonesia sangat diperlukan. Di Indonesia, ketegangan sosial dan politik telah berubah menjadi konflik dengan kekerasan yang memakan korban penduduk sipil misalnya di Aceh, Kalimantan, Ambon, Timor-timur dan lain-lain. Salah satu pemicu ketegangan antar kelompok masyarakat yang berubah menjadi konflik dengan kekerasan dan tingginya korban di kalangan penduduk sipil yang jatuh sebagai akibat konflik bersenjata (baik internasional maupun internal) tersebut adalah lemahnya pengendalian dan pengawasan terhadap produksi dan perdagangan senjata (ringan), sehingga orang begitu mudah untuk memperoleh dan menggunakannya untuk membunuh orang lain.


(33)

Ruang lingkup kerja ICRC di Indonesia antara lain 85

a. Operasi bantuan

:

Bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), ICRC membantu memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi dan masyarakat yang menderita akibat konflik. Operasi bantuan dapat berupa pangan dan non pangan, program air bersih dan sanitasi, penyuluhan pertanian, dan bantuan kesehatan. Operasi bersama PMI-ICRC, sebagai contoh, dilakukan pada kerusuhan di Pontianak (Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), dan penanganan pengungsi Timor-Timur di Nusa Tenggara Timor-Timur (NTT).

b. Pertolongan Medis

ICRC dapat memberikan obat-obatan atau bantuan medis bagi korban kekerasan yang membutuhkan perawatan khusus. Misalnya di Aceh, ICRC pernah memberikan bantuan kaki palsu kepada orang Aceh yang dipulangkan dari Malaysia. Pada kerusuhan di Jakarta bulan Mei dan November 1998. ICRC juga mendukung program ambulans PMI untuk mengevakuasi korban luka-luka.

c. Kunjungan kepada Tahanan

ICRC mengunjungi orang-orang yang ditahan sehubungan dengan situasi konflik atau peristiwa konflik. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk melihat kondisi tahanan selama ditahan bukan mempertanyakan alasan

85


(34)

mereka ditahan. ICRC juga membantu agar hubungan si tahanan dengan keluarga tidak terputus. Laporan hasil kunjungan ICRC di tahanan hanya disampaikan kepada instansi yang berwenang sebagai masukan dalam upaya untuk memperbaiki kondisi yang ada.

d. Penyebarluasan nilai-nilai kemanusiaan

Untuk meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ICRC menyebarluaskan Hukum Humaniter Internasional dan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan militer dan polisi, instansi pemerintah, universitas dan masyarakat pada umumnya.

e. Badan Pusat Pencarian

Konflik bersenjata membawa akibat tercerai berainya keluarga, teman dan orang yang dikasihi. Mereka mungkin telah meninggal, ditahan, atau hilang. Dalam situasi seperti ini, Badan Pusat Pencarian (Central Tracing Agency) yang berada dibawah naungan ICRC, hadir untuk berusaha menjalin kembali hubungan keluarga yang terputus, menyatukan kembali pihak keluarga yang terpisah, memastikan nasib dari tawanan atau orang yang hilang, dan mengeluarkan dokumen ICRC untuk perjalanan internasional bagi orang yang tidak mempunyai kartu identitas.

Penanggulangan bencana konflik suatu konflik vertikal telah berlangsung di Aceh sejak Januari 2000, konflik horizontal di Poso Sulawesi Tengah pada 23 Mei 2000 dan kerusuhan hebat di Maluku Utara pada 17 Mei 2001. Di Aceh PMI


(35)

bekerjasama dengan ICRC secara intensif melakukan kegiatan evakuasi korban luka dan mayat, membagikan bantuan pangan, pelayanan kesehatan darurat serta penyampaian berita keluarga. Sedang untuk konflik yang terjadi di Maluku Utara, kembali PMI bekerjasama dengan ICRC menyalurkan 5.655 paket bantuan keluarga kepada korban disamping pelayanan kesehatan di Tobelo dan Galela. Bantuan tambahan sebanyak 4500 paket dan 2000 unit peralatan sekolah dan seragam dari Kedutaan Besar Jepang. Di samping itu bantuan satu unit kendaraan juga telah dikirim ke Ternate dari Jakarta untuk membantu operasional teknis lapangan.

Peran ICRC di Indonesia semakin meningkat dalam kaitan dengan konflik di Aceh serta memberikan bantuan yang signifikan pada penanganan korban Tsunami Aceh dan Nias. Akhir tahun 2004 tsunami menimpa wilayah Aceh. Dengan bantuan ICRC di Lhoksumawe, Tim PMI ikut turun tangan membersihkan jalan-jalan dan fasilitas sosial lainnya dan memberikan bantuan 4000 paket bantuan alat kebersihan. Pada periode yang sama, banjir juga melanda Gorontalo Sulawesi Tengah yang mengakibatkan wilayah tersebut terutama di Kecamatan Ranoyapo terisolir banjir. Banjir Lumpur dikuti longsor juga melanda wilayah Jawa Barat selama beberapa hari pada bulan Februari. Banjir bandang terjadi pula di NTB 1000 paket bantuan PMI dan 610 petromaks disumbangkan oleh Federasi Internasional melalui PMI86.

86

diakses pada tanggal 01 November 2010 pada pukul 11.00 WIB, halaman 1


(36)

IV. 3. 3. Manfaat dari kegiatan ICRC

Disamping manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh para tahanan yang dikunjungi, hasil pengamatan ICRC dan kerjasamanya dengan pemerintah Indonesia dalam upaya memperbaiki kondisi para tahanan pada umumnya,sekaligus akan memberikan citra yang positif bagi pemerintah Indonesia. Operasi ICRC ke daerah-daerah yang masih “rawan” atau yang diwarnai konflik, seperti yang pernah terjadi di Aceh, Irian Jaya dan Timor-Timur, dapat membantu proses penyembuhan dari luka-luka yang timbul akibat konflik tersebut87

Menurut Dr. N. Hassan Wirajuda menilai bahwa kunjungan ICRC ke tempat penahan ikut memberikan kontribusi dalam menciptakan “rasa aman” bagi

.

Upaya semacam ini terlihat menonjol di Irian Jaya, misalnya terutama dalam rangka pembinaan kembali dan menyatukan kembali para pelintas batas. Sedangkan di Aceh, hal ini terlihat dalam upaya menemukan kembali orang-orang yang selama ini dianggap hilang.

Di Timor-Timur, kegiatan ICRC dapat membangun rasa percaya bagi masyarakat setempat, mengingat sensitifnya konteks tersebut. Peningkatan rasa saling percaya antara semua pihak akan membantu menciptakan suasana yang memungkinkan adanya dialog, karena dialog yang melibatkan semua pihak mutlak dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah secara damai.

87

ICRC, Keberadaan dan Kegiatan Komite Internasional Palang Merah di Indonesia,


(37)

para tahanan dalam rangka peningkatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), yang kini menjadi topic hangat di dunia, khususnya dalam kaitan perkembangan di Timor-Timur88

Berikut adalah garis besar program kemanusiaan kepalangmerahan yang terakomodasi antara lain dalam kesepakatan Federasi Internasional ( Strategi 2010), Komitmen Regional anggota Perhimpunan ( Deklarasi Hanoi ) dan kesepakatan Konferensi Internasional ( Plan of Action )

.

Bagi Indonesia, kerjasama ICRC sangat penting, karena salah satu prinsip yang ingin ditonjolkan dan dikembangkan dalam rangka penghormatan Hak Asasi Manusia adalah dalam bentuk kemitraan dan bukannnya konfrontasi.

89

1. STRATEGI 2010

.

Strategi 2010 (S-2010) adalah seperangkat strategi Federasi Internasional dalam menghadapi tantangan kemanusiaan pada dekade menantang. Dokumen yang diadopsi Sidang Umum pada tahun 1999 ini menjabarkan misi Federasi yaitu: "memperbaiki hajat hidup masyarakat rentan dengan memobilisasi kekuatan kemanusiaan".

88

Ibid., halaman 11

89


(38)

Tiga tujuan utama yang strategis adalah90

1. Memperbaiki hajat hidup masyarakat rentan. Strategi ini terfokus melalui empat bidang inti, yaitu:

:

a. Promosi Prinsip-Prinsip dasar Gerakan dan nilai-nilai kemanusiaan b. Penanggulangan Bencana

c. Kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan d. Kesehatan dan perawatan di masyarakat.

Keempat bidang ini adalah suatu paket yang integral dan saling terkait satu sama lain, yang memiliki dua dimensi yaitu pelayanan dan advokasi.

2. Memobilisasi Kekuatan Kemanusiaan

Pengerahan kapasitas organisasi untuk pelayanan ini akan terjadi bila perhimpunan nasional berfungsi dengan baik. Artinya ada mekanisme organisasi, pengembangan kapasitas, memobilisi sumber keuangan dengan mengembangkan kemitraan dan mengoptimalkan komunikasi dalam Perhimpunan Nasional.

3. Bekerjasama Secara Efektif

Adanya perhimpunan nasional yang kuat akan membentuk sebuah Federasi yang kuat, efektif dan efisien yaitu dengan mengembangkan kerjasama

90 Ibid.


(39)

subregional dan mengimplementasikan strategi gerakan, kemitraan dengan organisasi internasional lain, memobilisasi publik dan advokasi penentu kebijakan serta mengkomunikasikan pesan-pesan dan misi Federasi Internasional.

2. DEKLARASI HANOI"United for Action"

Dokumen ini disahkan melalui Konferensi Regional V di Hanoi, Vietnam pada tahun 1998, yang disepakati oleh 37 perhimpunan nasional se Asia Pasifik dan Timur Tengah yang bertekad , walau beragam budaya, geografis dan latar belakang lain, untuk bersatu demi suatu aksi kemanusiaan.

Kecenderungan bencana alam serta krisis moneter secara global telah melanda wilayah regional dan berdampak pada permasalahan imigrasi penduduk karena menghendaki perbaikan hidup, krisis ekonomi yang menyebabkan angka pengangguran yang semakin meningkat serta berjangkitnya wabah penyakit. Hal ini menjadi tantangan bagi Palang Merah untuk membantu meringankan penderitaan umat manusia.

Deklarasi Hanoi memfokuskan penanganan program pada isu-isu berikut91

a. Penanggulangan bencana :

b. Penanganan wabah penyakit

91

Ibid.


(40)

c. Remaja dan Manula

d. Kemitraan dengan pemerintah

e. Organisasi dan Manajemen kapasitas sumber daya f. Hubungan masyarakat dan promosi

3. PLAN OF ACTION 2000 – 2003

Plan of Action 2000 - 2003 merupakan keputusan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-27 di Jenewa pada tahun 1999 . Pemerintah Indonesia dan PMI sebagai peserta menyatakan ikrarnya di bidang kemanusiaan.

Komitmen Pemerintah Indonesia antara lain92

• Memenuhi komitmen untuk meratifikasi Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949

:

• Memperkuat Legislasi yang berkaitan dengan penggunaan Lambang Palang Merah

• Memperkuat aspek-aspek kelembagaan dalam perencanaan kesiapsiagaan penanggulangan bencana

• Mengintensifkan pendidikan dan diseminasi Huku m Humaniter Internasional dan karya-karya organisasi kemanusiaan kepada masyarakat sipil dan militer

92


(41)

• Memperkuat kemitraan dengan lembaga-lembaga nasional untuk membantu masyarakat rentan

Komitmen Palang Merah Indonesia93

• Program diseminasi nilai-nilai kemanusiaan kepada anggota dan kelompok sasaran tertentu serta mendorong pemerintah untuk menyusun peraturan nasional mengenai lambang dan perjanjian terkait.

:

• Mengintensifkan program kesiapsiagaan penanggulangan bencana di daerah-daerah yang rawan bencana melalui program "community based" dan meningkatkan kemampuan manajemen bencana dan pelatihan sukarelawan serta penyediaan peralatan standar operasional.

• Melaksanakan program sosial dan kesehatan dalam hal pelayanan darah, pendidikan remaja sebaya sebagai upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS atau kegiatan-kegiatan yang berorientasikan pada pelayanan P3K yang berbasis masyarakat, masalah air dan sanitasi, kesejahteraan kelompok masyarakat rentan di daerah tertinggal dan memperbaiki pelayanan ambulan dan pos P3K.

93


(42)

BAB V

PENUTUP

V. I. Kesimpulan

Pada uraian penulis dari Bab I sampai dengan Bab IV, Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Subyek hukum internasional terbagi menjadi dua macam, yaitu subyek hukum internasional penuh dan subyek hukum internasional terbatas. Yang dimaksud dengan subjek hukum internasional penuh adalah pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Negara adalah subyek hukum internasional dalam arti ini. Sedangkan yang dimaksud dengan subyek hukum internasional terbatas adalah subyek hukum internasional yang hanya memiliki hak dan kewajiban yang terbatas (tertentu) saja. Salah satu subyek hukum internasional yang mengalami perkembangan pesat akibat tuntutan kebutuhan masyarakat internasional adalah organisasi internasional. Oleh karena ICRC mengemban hak dan kewajiban dalam hukum internasional, dan karenanya dapat disebut sebagai subyek hukum internasional terbatas yang memiliki kedudukan sejajar dengan subyek hukum internasional lainnya. Status sebagai subyek hukum internasional ICRC diperoleh melalui perjalanan sejarah yang kemudian diperkuat oleh perjanjian-perjanjian internasional dan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol Tambahannya 1977.


(43)

2. Fungsi dan perkembangan peran ICRC sebagai subyek hukum internasional dalam perjalanan sejarahnya adalah sebagai subyek hukum internasional yang bergerak di bidang humaniter. ICRC memiliki kelengkapan berupa berbagai divisi dan departemen yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan kegiatan ICRC. Divisi dan departemen tersebut antara lain divisi medis, divisi bantuan, divisikemanusiaan, dan departemen komunikasi dan sumber daya. Peran ICRC lainnya yang terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 Statuta ICRC yaitu ICRC berperan sebagai lembaga penengah netral. ICRC harus dapat berperan sebagai penengah atau penghubung anatara korban perang dan pemerintah negara dimana korban perang itu berasal. ICRC ini juga membuktikan adanya pengakuan masyarakat internasional terhadap peran penting ICRC sebagai organisasi yang dapat menjadi penengah antara pihak-pihak yang bersengketa, sebagai pelindung dan pelaksana Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977, konvensi dan protokol mana turut pula disponsori secara aktif perumusannya oleh ICRC. Sebagai konsekuensinya, ICRC bertanggung jawab atas pengembangan penyebarluasan hukum humaniter pada umumnya dan Konvensi Jenewa 1949 serta protocol tambahannya 1977 pada khususnya.

3. Keberadaan dan kegiatan ICRC di Indonesia ini yaitu pada waktu terjadinya konflik di Aceh, Kalimantan, Ambon, Timor-timur dan lain-lain ICRC membantu memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi dan masyarakat yang menderita akibat konflik. Bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI),


(44)

ICRC membantu memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi dan masyarakat yang menderita akibat konflik.

V. II. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas penulis mengemukakan saran-saran berikut:

1. ICRC dalam melaksanakan tugasnya hendaklah mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian. Seharusnya organisasi sosial dan kemanusiaan yang bersifat netral yang bertujuan untuk membantu dan melindungi korban perang, ICRC harus diberikan kebebasan bergerak setiap waktu tanpa menunggu persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan sepanjang kegiatan-kegiatan ICRC tidak menyimpang dari prinsip dasar atau asas Palang Merah Internasional.

2. Kegiatan ICRC ini perlu ditambahkan lagi atau ditumbuh kembangkan, karena apabila dilihat sejarahnya di Indonesia, banyak sekali Indonesia menerima bantuan dari ICRC tersebut sehingga para korban konflik dapat menerima bantuan dengan cepat dan tanggap dari ICRC.

3. Hendaknya pendidikan mengenai Hukum Humaniter harus ditingkatkan di semua perguruan tinggi di kalangan nasional maupun internasional dan melakukan penyebarluasan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 kepada warga negaranya, guna menghindari dan mencegah terjadinya perang.


(45)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ICRC II.1. Sejarah singkat kelahiran ICRC.

Berawal dari inisiatif seorang warga yang bernama Jean Henry Dunant lahir tanggal 8 Mei 1828 di Jenewa. Ayahnya bernama Jean Jacques Dunant, seorang Anggota Dewan Republik di Swiss dan ibunya bernama Anne Antoinette Colladon, keturunan bangsawan Perancis. Terpengaruh oleh pekerjaan ayahnya yang di samping sebagai Anggota Dewan Republik juga menjadi ketua Yayasan Perawatan Anak Yatim Piatu, Henry Dunant memiliki dasar-dasar kepribadian yang halus dan senantiasa tertarik kepada mereka yang menderita6

Di dalam bidang bisnis, Dunant yang juga terkenal taat beragama, telah mampu mengembangkan usahanya ke luar negeri. Di Aljazair (waktu itu berada dalam jajahan Perancis) Dunant membangun usaha perkebunan dan penggilingan

.

Pada usia 18 tahun Dunant masuk menjadi anggota sebuah perhimpunan yang bertujuan meringankan penderitaan sesama hidup. Sedangkan untuk mencari nafkah ia bekerja pada sebuah kantor bank. Walaupun dengan bekerja pada kantor bank tersebut mulai tumbuh jiwa bisnisnya, namun kepribadian yang cinta menolong sesama tidaklah padam. Malahan, dengan memperhatikan pengabdian Florence Ninghtingale pada Perang Krim, semangat Dunant semakin menyala-nyala.

6

H.Umar Mu’in, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional & Perhimpunan Palang Merah Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,halaman. 12


(46)

gandum disamping kegiatannya sebagai penyebar Injil. Tetapi pada usia 30 tahun, dia dihadapkan pada cobaan dimana usahanya mulai mengalami kesulitan dana. Untung kesulitan tersebut sedikit banyak dapat diatasi karena ia menerima uang warisan bibinya yang meninggal.

Kesulitan lain yang dialami ialah bahwa karena Dunant bukan warga Negara Perancis maka ia tidak dapat dengan begitu saja memperoleh konsesi atas penggunaan air bagi penggilingan gandumnya. Untuk itu bagi Dunant tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk dapat menemui Napoleon III yang kebetulan sedang berada di daerah Italia utara untuk memimpin perang menghadapi Austria. Dengan tekad yang bulat Dunant berangkat ke Italia mengikuti Angkatan Perang Perancis dengan maksud akan lebih mudah bertemu dengan Napoleon III. Namun apa yang dialami oleh Dunant bukanlah bertemu dengan Napoleon untuk kepentingan bisnisnya tetapi terperangkap dalam wilayah pertempuran di Solferino.

Dengan mengesampingkan bisnisnya, Dunant bersama-sama masyarakat setempat melakukan berbagai usaha untuk membantu prajurit yang luka. Pengabdiannya berlangsung hingga berakhir perang di Solferino dan diteruskan dengan mengumpulkan data dan infromasi tentang perang di Solferino kurang lebih selama 2 tahun.

Dengan mengumpulkan berbagai data dan informasi ditambah dengan pengalaman sendiri, akhirnya Dunant dapat menerbitkan buku di Bulan November 1862 yang diberi judul “ UN SOUVENIR DE SOLFERINO”.7

7

Ibid., halaman. 14


(47)

hanya memuat tentang gambaran betapa hebatnya pertempuran dan penderitaan prajurit kedua pihak yang berperang dan tentang pengalaman tentang Dunant sendiri, tetapi yang lebih penting dari itu ialah adanya ide Henry Dunant yang menyatakan perlunya organisasi-organisasi sukarela yang bersifat internasional dan bebas untuk melakukan kegiatan pemberian bantuan bagi prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran tanpa adanya diskriminasi.

Dalam proses perkembanganya organisasi kemanusiaan ini, apalagi setelah terbentuknya perhimpunan-perhimpunan nasional Palang Merah, nama Henry Dunant semakin popular dan mendapat sanjungan di mana-mana. Tetapai sebaliknya bisnis Henry Dunant semakin hancur dan mengalami kebangkrutan. Usaha bank menjadi berantakan, rumahnya terjual dan harta miliknya baik di Swiss maupun diluar negeri habis dan utangnya menumpuk serta gaji pegawai tidak terbayar. Pendeknya, bisnis Dunant lumpuh total.

Pada abad ke-19, di Jenewa, kebangkrutan suatu bank merupakan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Oleh karena itu Pengadilan Hukum Sipil menganggap Dunant sebagai penyebab bencana masyarakat. Dia dituduh telah menipu teman-temannya dan tuduhan itu dimuat dalam surat kabar. Hancurnya bisnis dan habisnya harta Henry Dunant justru karena kegiatannya dibidang kemanusiaan. Dunant mengalami penderitaan demi penderitaan. Pada usia 39 tahun, tepat 8 tahun setelah perang Solferino, Dunant kehilangan haknya sebagai warga Jenewa, dan kedudukannya di dalam organisasi Palang Merah pun lepas.

Kerugian yang dialami Dunant hampir sebanyak 1 Juta Franc Swiss bukanlah jumlah yang sedikit pada waktu itu. Saat itu kebangkrutan bank di


(48)

Jenewa merupakan aib atau noda besar. Lebih parah lagi, keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya, secara pribadi, memusuhinya. Orang tak akan melupakan bencana yang disebabkan oleh kebangkrutan itu. Sebenarnya Henry Dunant telah bersumpah untuk mengembalikan hutang-hutangnya maupun membayar gaji pegawai. Tetapi sayang, bencana telah menghancurkan perjalanan hidupnya, dan tak mungkin dapat dibangun kembali walaupun dalam jangka waktu 30 tahun.

Dengan perasaan sedih Henry Dunant bertekad meninggalkan jenewa untuk selama-lamanya, pergi menetap di Perancis. Di Perancis, Henry Dunant tinggal disebuah rumah yang amat sederhana. Bantuan dari keluarga pun tidak ada.

Pada tahun 1867, Napoleon III menyelenggarakan pameran besar di Paris. Pada pameran itu terdapat pula stan Palang Merah yang antara lain menggelar patung dada dari Henry Dunant. Pada saat itu Dunant merasa terperangah. Bagaimana tidak, di satu pihak namanya disanjung-sanjung sedangkan di lain pihak ia mngalami penderitaan yang luar biasa.

Dalam rangka pameran tersebut Henry Dunant, Mounier dan Dufor menerima penghargaan berupa Medali Emas. Pada saat itu, Dunant merasakan bahwa namanya telah pulih kembali. Sinar dunia terlihat kembali oleh Dunant yang ditandai dengan diangkatnya Dunant oleh berbagai negara di Eropa sebagai wakil Ketua Palang Merah. Walaupun Dunant tersingkir dari Jenewa tetapi orang-orang Eropa tetap menanggap dia sebagai pemimpin Palang Merah.


(49)

Disamping perhatiannya terhadap Palang Merah, Dunant juga mempunyai keinginan untuk membentuk perpustakaan internasional dan bahkan ia juga ingin memperjuangkan kembalinya orang-orang yahudi ke palestina.

Selama 16 tahun Dunant hidup dalam penderitaan. Berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya, antara lain ke Paris, London, Stugaart, Kepulauan Wight, Triste, Gorfu dan kembali ke beberapa kota di Jerman dan akhirnya kembali juga ke kampung halamannya, Heiden, Swiss bagian timur. Tahun 1901 Henry Dunant mendapat hadiah Nobel untuk perdamaian yang merupakan hadiah Nobel pertama kalinya yang diberikan. Dunant meninggal dalam usia 82 tahun, hari minggu tanggal 30 Oktober 1910 di Desa Apenzeller, Heiden dan dimakamkan di Zurich.

Buku karangan Henry Dunant yang berjudul Un Souvenir De Solferino ternyata menarik perhatian kaum intelektual di Jenewa. Yang pertama kali menyatakan tertarik dengan buku atau ide Henry Dunant adalah Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga Ketua dari The Geneva Public Walfare Society (GPWS) / suatu asosiasi amal dengan pusat di kota Swiss .

Moynier menyarankan kepada Dunant agar idenya itu dikemukakan pada pertemuan GPWS yang akan berlangsung pada tanggal 9 Februari 1863 bertempat di gedung Cacino Saint-Pierre. Ternyata 160 dari 180 Anggota GPWS yang menghadiri pertemuan itu mendukung ide Henry Dunant, bahkan sejak saat itu usaha untuk mewujudkan ide Henry Dunant diberi nama “ Proyek Mounier-Dunant”.


(50)

Demikian antusiasnya peserta pertemuan GPWS sehingga pada hari itu juga secara langsung ditunjuk empat orang anggotanya untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant. Mereka adalah :

1. Gustave Moynier (Ketua GPWS)

2. Dr. Louis Appia (Anggota GPWS)

3. Dr. Theodore Maunoir (Anggota GPWS)

4. Jenderal Guillame-Henri Dufour (Anggota GPWS)

Sedangkan Henry Dunant tidak hadir karena ia bukan anggota GPWS. Secara resmi pada hari itu juga terbentuklah apa yang dikenal dengan nama KOMITE LIMA dengan ketuanya Gustave Moynier dan Henry Dunant sebagai Sekretaris. Pada pertemuannya tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima menyempurnakan fungsi dan mengganti namanya dengan KOMITE TETAP INTERNASIONAL UNTUK PERTOLONGAN PRAJURIT YANG LUKA dan sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jenderal Guillame-Henri Dufour.

Dalam rapatnya tanggal 25 Agustus 1863 komite tetap ini memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional guna membicarakan lebih lanjut ide Henry Dunant sambil mempersiapkan suatu memorandum yang terdiri dari 10 butir.

KONFERENSI INTERNASIONAL

Henry Dunant tidak henti-hentinya berusaha menjelang diselenggarakannya konferensi internasional, dia terlebih dahulu pergi ke Berlin untuk mengusahakan agar anggota-anggota yang menghadiri Konferensi Ilmu Statistik mengenai Kesehatan dan Angka Kematian yang akan diadakan di kota


(51)

tersebut termotivasi untuk mengikuti konferensi internasional nanti atau setidak-tidaknya mereka mewujudkan rasa simpati.

Melalui Dokter J.B.C. Basting dari Negeri belanda, ternyata anggota-anggota yang menghadiri Konferensi Ilmu Statistik dimaksud yang diadakan tanggal 12 September 1863, sangat menghargai ide Henry Dunant serta maksud komite tetap untuk mendirikan Komite Internasional dan perhimpunan-perhimpunan nasional permanen. Bahkan menyampaikan pula rekomendasi yang isinya sebagai berikut 8

1. Bahwa setiap pemerintah di Eropa diharapkan menyetujui dan mengakui adanya komite internasional dan komite nasional, serta memberi perlindungan dan anggota-anggota komite dibentuk dari orang-orang terhormat.

:

2. Bahwa setiap pemerintah akan mengakui dan menganggap personil dari Jawatan Kesehatan tentara dan yang termasuk di dalamnya sebagai tenaga sukarela dan orang netral.

3. Bahwa dalam keadaan perang, transportasi personil dan barang bantuan akan dipermudah.

Atas usaha komite tetap dan bantuan pemerintah Swiss, konferensi internasional pertama dapat diselenggarakan tanggal 26 s/d 29 Oktober 1863 dengan mengambil tempat di Palais de L’Athenee yang dihadiri oleh 31 orang peserta dari 16 Negara yaitu :

8


(52)

Austria, Baden, Beierem, Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italy, Norwegia, Rusia, Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover, Hutenberg

Konferensi berlangsung dari tanggal 26 s/d 29 Oktober 1863 di pimpin oleh Moynier dengan Sekretaris Henry Dunant, setelah membahas memorandum Komite Lima dan rekomendasi Kongres Berlin, ditetapkanlah resolusi sebagai berikut 9

9

Ibid., halaman.20

:

Pasal 1

Disetiap negara akan dibentuk suatu komite yang bertugas untuk membantu Dinas Kesehatan Militer dengan cara dan kemampuan yang ada. Komite tersebut harus diorganisasikan dengan baik dan bermanfaat

Pasal 2

Masing-masing komite dapat membentuk seksi-seksi (cabang-cabang) yang diperlukan untuk membantu komite yang merupakan Badan Pengendali Pusat

Pasal 3

Tiap-tiap komite akan berhubungan dengan pemerintah masing-masing agar pelayanannya dapat diterima pada setiap kesempatan yang ada

Pasal 4

Pada waktu damai, komite dengan seksi-seksinya, akan melakukan usaha-usaha secara nyata agar kegiatan komite di waktu perang dapat terjamin, terutama dalam mempersiapkan berbagai logistik yang dibutuhkan dan mempersiapkan tenaga-tenaga sukarela pelayanan kesehatan.


(53)

Pasal 5

Di waktu perang, komite dari negara-negara yang berperang akan mengirimkan bahan-bahan bantuan (kesehatan) kepada masing-masing angkatan perangnya sesuai dengan keadaan yang memungkinkan yang didahului dengan mengorganisasikan satuan-satuan sukarela serta menugaskan mereka ditempat-tempat strategis, dan dengan persetujuan pejabat militer seditempat-tempat, menyediakan lahan atau tempat yang memungkinkan dapat terlaksananya tugas pelayanan bagi prajurit yang terluka. Di samping itu komite dapat pula menghimbau komite-komite negara netral untuk sama-sama memberikan bantuan.

Pasal 6

Baik atas permohonan sendiri ataupun atas pertimbangan dari pejabat militer, komite dapat mengirim sukarelawan kesehatan ke daerah pertempuran yang selanjutnya akan berada di bawah Komando Militer.

Pasal 7

Satuan sukarelawan kesehatan yang ditugaskan pada Angkatan Bersenjata, logistiknya akan ditanggung oleh Komite masing-masing sesuai dengan kebutuhan sehingga keadaan fisik dan kesehatan mereka tetap terpelihara.

Pasal 8

Para sukarelawan kesehatan dari seluruh negara (dalam melaksanakan tugas) akan menggunakan lambang yang seragam dan jelas yaitu berupa ban lengan dengan Palang Merah di atas Dasar Putih.


(54)

Pasal 9

Komite-komite atau seksi-seksi (cabang-cabang) dari berbagai negara dapat bertemu dalam forum Sidang lengkap Internasional untuk berkomunikasi mengenai hasil-hasil dan pengalaman masing-masing dan untuk menyepakati langkah-langkah yang akan diambil sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 10

Untuk sementara, pertukaran informasi dan komunikasi antar komite dari semua negara akan disampaikan melalui Komite Internasional Palang Merah (Komite Jenewa).

Selain dari resolusi 10 pasal di atas, keputusan penting yang ditetapkan ialah10

a. Lahirnya lembaga kemanusiaan yang bersifat Internasional. :

b. Ditetapkannya tanda khusus bagi sukarelawan yang member pertolongan prajurit yang luka di medan pertempuran yaitu palang merah di atas dasar putih.

c. Digantinya nama Komite Tetap Internasional untuk menolong Prajurit yang luka dengan Komite Internasional Palang Merah.

d. Penggunaan ban lengan Palang Merah di atas dasar putih oleh tenaga sukarela. Lebih lanjut, konferensi telah menyepakati pula rekomendasi sebagai berikut :

10


(55)

a. Bahwa, setiap pemerintah harus memberikan perlindungan yang semakin baik terhadap komite-komite pemberi bantuan dan sejauh mungkin mendukung kesempurnaan pelaksanaan tugas mereka,

b. Bahwa, pada waktu keadaan perang, negara-negara yang bersengketa harus mengumumkan kenetralan Ambulans dan Rumah Sakit Militer, dan setiap pengumuman kenetralan itu harus diakui secara penuh yakni meliputi personil kesehatan yang resmi, personil kesehatan sukarela, penduduk negeri yang bersangkutan yang dengan kehendak sendiri (sukarela) ikut memberikan bantuan kepada mereka yang luka, dan juga meliputi para prajurit yang luka itu sendiri.

c. Bahwa, lambang yang jelas dan seragam diakui untuk korps kesehatan Angkatan Perang atau personil Kesehatan Militer yang termasuk ke dalam Dinas Kesehatan Militer.

KONFERENSI DIPLOMATIK

Resolusi Konferensi Internasional tanggal 26 s/d 29 Oktober 1863 walaupun merupakan langkah yang bersejarah dari usaha Komite Lima dan titik awal pembentukan lembaga kemanusiaan, namun belum mengikat negara-negara peserta. Selain itu apa yang termuat dalam resolusi dimaksud barulah menyinggung hal-hal yang pokok, khususnya mengenai keberadaan lembaga dan belum mencakup ketentuan mengenai pelaku, objek pelayanan dan apa saja yang harus diindahkan dan dipenuhi11

11

Ibid., halaman. 24


(56)

Oleh karena itu, tidak saja didorong oleh keinginan untuk dapat menikmati hakikat dan tujuan serta manfaat dari lembaga dan apa yang terkandung dalam resolusi tahun 1863, maka atas bantuan dari pemerintah Swiss diselenggarakan Konferensi Diplomatik di Jenewa yang dihadiri oleh utusan dari 16 negara dan hasil konferensi berupa konvensi ditanda-tangani tanggal 22 Agustus 1864.

Peserta Konferensi ternyata merupakan utusan resmi dari pemerintah suatu negara maka penandatanganan pengakuan menerima konvensi tersebut memerlukan ratifikasi dari pemerintah yang bersangkutan. Dengan demikian penandatanganan atau pernyataan ikut serta mengandung arti bertanggung jawab untuk mematuhi dan melaksanakan isi konvensi.

Konvensi Jenewa 1864, yang pada waktu penetapannya ditanda-tangani langsung oleh 12 negara, terdiri dari 10 pasal yaitu :

Pasal 1

Ambulans dan rumah sakit dinyatakan netral (tidak berpihak) dan oleh karenaya dihormati, dan dilindungi oleh pihak yang sedang berperang, selama ia diisi dengan orang yang sakit dan luka-luka.

Pasal 2

Personil ambulans dan rumah sakit, orang-orang yang mempunyai tugas dan disertai pengawasan, petugas administrasi, perawat, angkutan dari yang luka-luka, serta rohaniawan lapangan, mendapat status tidak berpihak, selama ,mereka menjalankan tugasnya.


(57)

Pasal 3

Personil tersebut pada pasal 2 dapat terus menjalankan tugasnya di ambulans atau rumah sakit, meskipun pihak musuh telah menguasai daerah yang bersangkutan.

Pasal 4

Barang-barang, material dari rumah sakit dikuasai di bawah Undang-Undang Perang, yang oleh karena itu personil yang meninggalkan rumah sakit hanya boleh membawa barang-barang pribadi saja. Akan tetapi, dalam keadaan demikian, ambulans tetap meliputi segala perlengkapannya.

Pasal 5

Penduduk negeri yang diduduki, dan memberikan pertolongan kepada yang luka, tidak akan diganggu.

Pasal 6

Prajurit yang luka atau sakit akan dimasukkan ke tempat perawatan dan dirawat dengan tidak membedakan antara kawan dan lawan. Komandan tertinggi diberi wewenang (di waktu perang berkobar) untuk memindahkan (mengangkut) prajurit musuh yang luka, langsung di pos-pos terdepan dari musuh, bila keadaan mengizinkan dan disetujui oleh kedua belah pihak. Prajurit musuh yang luka, dan setelah sembuh ternyata tidak akan dapat lagi masuk atau menjalankan dinas, akan dipulangkan ketempat asalnya. Hal ini dapat juga dilaksanakan bagi yang biasa masuk dinas lagi, dengan syarat bahwa selama perang masih berkecamuk, dia tidak lagi menjadi prajurtit. Tempat-tempat dan depot-depot PPPK dengan personilnya dinyatakan tidak berpihak


(58)

Pasal 7

Bendera Palang Merah yang mudah terlihat akan dikibarkan di rumah sakit, ambulans, dan tempat-tempat PPPK. Tetapi bendera nasional harus selalu dikibarkan juga.

Pasal 8

Rincian untuk melaksanakan perjanjian ini akan diatur oleh komandan-komandan tertinggi dari tentara yang sedang berperang (berhadapan) sesuai dengan yang dikuasakan oleh masing-masing pemerintah dan sesuai dengan prinsip-prinsip perjanjian ini.

Pasal 9

Disepakati oleh para utusan negara yang berkonferensi untuk mengirimkan perjanjian ini kepada semua pemerintah yang tidak mengirim utusan dengan kuasa penuh ke konferensi internasional di Jenewa ini dan mengundangnya untuk ikut serta. Dengan demikian protokol dibuka terus.

Pasal 10

Perjanjian ini akan dikuatkan, dan diratifikasinya akan dipertukarkan, disarankan dalam 4 (empat) bulan, atau bila mungkin lebih cepat lagi.

Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 ini dinamakan KONVENSI JENEWA 22 AGUSTUS 1864 TENTANG PERBAIKAN TERHADAP KEADAAN PRAJURIT YANG LUKA DI MEDAN PERTEMPURAN DARAT. Konvensi Jenewa tahun 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum


(59)

perikemanusiaan modern. Konvensi ini terutama ditandai dengan karakter sebagai berikut12

a. Aturan tertulis yang mempunyai wawasan universal untuk melindungi korban konflik;

:

b. Bersifat multilateral, terbuka untuk semua negara;

c. Adanya kewajiban untuk memperluas usaha perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;

d. Penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya dengan menggunakan sebuah lambang (palang merah diatas dasar putih).

Sesuai dengan perkembangan dan kesadaran dunia internasional terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam konvensi maupun deklarasi yang sudah ada dan untuk mengembangkan sumber-sumber hukum bagi perlindungan dan penyelesaian berbagai permasalahan dunia di masa depan maka berbagai konferensi internasional/ diplomatik antara lain dengan nama “ Konferensi Perdamaian” maka berturut-turut diselenggarakan konferensi yang tidak saja di Jenewa tetapi juga di kota lain seperti di Den Haag.

Sebagai puncak dari berbagai konvensi terdahulu yang amat terkenal dan merupakan konvensi-konvensi utama mengenai perlindungan bagi manusia yang berhubungan dengan persengketaan bersenjata dewasa ini adalah konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yaitu 13

12

ICRC, ICRC menjawab pertanyaan-pertanyaan anda, Jakarta, 2004, halaman. 9

13

H.Umar Mu’in, op. cit., halaman. 28 :


(1)

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan perkuliahan dan bimbingan dari semester I sampai selesai.

9. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan layanan dengan cepat dan baik yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar.

10.Chairina, Ika, Desy-cimot, Fatin, Chaca, Melisa yanwar yang telah menemani penulis di masa perkuliahan yang sudah banyak membantu dan selalu menjadi yang terbaik disaat-saat suka dan duka penulis, yang selalu menjadi tempat “curhat” penulis yang tidak bosan-bosan mendukung penulis, menjadi supporter terbaik, semoga persahabatan ini kekal selamanya.

11.Mila, Tasa, Deby, Dian, Fela, Bela, Dita yang memberikan dukungan dan selalu memberikan canda tawa kpada penulis disaat duka, ayoook segera menyusul selesaikan skripsi kalian.

12.Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2007 yang telah memberikan motivasi penulis selama ini.

13.Teman-teman Penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu seta semua pihak yang telah ikut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terakhir, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung selama masa menuntut ilmu dan penyelesaian skripsi.


(2)

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, November 2010 Hormat Saya,


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………… ………..i

DAFTAR ISI………...…v

BAB I . PENDAHULUAN……….1

1. Latar Belakang ………... …….1

2. Perum usan Masalah ………... ……..4

3. Tu juan dan Manfaat Penulisan ……….5

4. Keaslia n Penulisan……….5

5. Tinjauan Kepustakaan ………..6

6. Metode Penulisan ……… …...9

7. Sist ematika Penulisan ……….10

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG ICRC ………. 13

1. Sejarah Kelahiran ICRC……….………. ...….13

2. Struktur Organisasi ICRC ………..….31

3. Tuj uan, Prinsip – prinsip dasar, dan Peran ICRC ………...37


(4)

1. Tuj uan ICRC ……….37 2. Prinsip – prinsip dasar……….…..38

3. Per

an ICRC ………...44

BAB III. STATUS ICRC DALAM HUKUM INTERNASIONAL ………....50

1. Pen

gertian dan jenis – jenis Subyek Hukum Internasional ………….50 2. Status ICRC sebagai Subyek Hukum Internasional ………55 3. Pengakuan atas status ICRC sebagai Subyek Hukum Internasional…63

BAB IV. FUNGSI DAN PERAN ICRC DALAM PERKEMBANGAN

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ………..65

1. Fungsi

dan Perkembangan Peran ICRC berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977………. ..…..65 2. Pelaksanaan fungsi dan peran ICRC dewasa ini ………. ……73

3. Kebera

daan dan kegiatan ICRC di Indonesia ………. ……77


(5)

1. Kesimpulan ……….……89

2. Saran ………91


(6)

ABSTRAKSI

Perang adalah suatu keadaan yang tidak dapat dicegah apabila komunikasi, negoisasi dalam hubungan masyarakat internasional gagal atau tidak mendapat kesepakatan. Perang ini sudah ada dari ribuan tahun yang lalu sejak dunia berkembang. Akibat perang ini tentu telah banyak jatuh korban baik dari pihak sipil maupun dari pihak militer.

Dalam medan pertempuran yang amat terkenal pada abad ke-19 ialah perang KRIM dan perang SOLFERINO dan tercatat sebagai perang yang sangat menyeramkan. Dengan tujuan untuk meringankan penderitaan para korban perang, Jean Henry Dunant mempelopori berdirinya International Committee of The Red Cross (ICRC). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ICRC membutuhkan pengakuan atas status hukum yang jelas dan diakui oleh masyarakat internasional. Status dan pengakuan ini mutlak diperlukan oleh ICRC karena lingkup wilayah kerja ICRC tersebar diseluruh penjuru dunia. Karena dengan hak dan kewajibannya, peran ICRC di masyarakat Internasional kemudian dapat dimasukkan kedalam kategori subjek hukum internasional.

Berdasarkan pertimbangan pentingnya diketahui secara jelas mengenai keistimewaan status ICRC serta fungsi dan perannya sebagai suatu subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas yang terbatas. Penulisan ini dilakukan melalui metode pengumpulan data yang bersumber dari media massa yang mengankat permasalahan khusus mengenai ICRC dan juga menggunakan metode Library Research yaitu suatu teknik pengumpulan data yang tidak secara langsung ke objek penelitian melakinkan dengan penelusuran buku, dokumen yang ada hubunganya dengan objek penelitian ICRC ini.

Dalam penulisan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni: pertama, ICRC mengemban hak dan kewajiban dalam hukum internasional dapat disebut sebagai subyek hukum internasional terbatas yang memiliki keduduka n sejajar dengan subyek hukum internasional lainya yang diperoleh melalui perjalanan sejarah dan diperkuat oleh perjanjian internasional dan konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Prtokol Tambahannya 1977. Kedua, Peran dari ICRC dapat dilihat dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 Statuta ICRC antara lain sebagai lembaga penengah netral, sebagai pelindung dan pelaksana Konvensi-konvensi Jenewa, betanggung jawab atas penyebarluasan hukum humaniter pada umumnya dan Konvensi Jenewa serta Protokol Tambahannya 1977 pada khususnya. Ketiga, keberadaan dan kegiatan ICRC di Indonesia dapat dilihat pada konflik di Aceh, Kalimantan, Ambon, Timor-timur dan lain-lain. ICRC membantu memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi dan masyarakat yang menderita akibat konflik. Bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).