3 Morfologi Tiap Stadia dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.

Tabel 4. Morfologi telur G. agamemnon L. Karakter morfologi Ciri-ciri X ± SD Bentuk Bulat Warna Kuning keputihan Lama stadia telur Hari 2-3 Diameter cangkang telur mm 1,110-1,400 1,233±0,101 Diameter sisa cangkang telur mm 0,410-0,80 0,666±0,109 Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata. Telur G. agamemnon yang diamati berbentuk bulat memiliki bagian bawah yang rata. Pada bagian atas telur terdapat lubang kecil yang disebut dengan “mikropile”. Menurut Amir dkk 2003 “mikropile” yaitu tempat spermatozoid masuk ke dalam telur. Telur menetas menjadi larva dalam durasi waktu 2-3 hari, sedangkan telur yang lebih dari 3 hari tidak menetas. Hal ini mungkin dikarenakan kualitas telur yang buruk seperti telur tidak mengalami proses pembuahan, atau karena sperma tidak tersalurkan ke dalam sel telur yang berada di dalam mikrophile, atau telur telah terkena parasitoid, atau usia G. agamemnon yang sudah tidak terdapat spermateka spermateka sudah kosong tetapi telur tetap dihasilkan oleh betina. Telur yang menetas menjadi larva, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi imago dewasa. Fase larva dari tiap jenis satu dengan yang lain tidak sama. Morfologi predewasa G. agamemnon tersaji pada Tebel 5. Tabel 5. Morfologi pradewasa G. agamemnon L. Stadia larva x ± SD mm Waktu hari Morfologi L 1 4,625 ± 0,673 2-4 -Bagian toraks berwarna putih kehijauan -Bagian abdomen berwarna hitam -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna putih kehijauan -Spina lateral berwarna hitam, sedangkan spina akhir abdomen berwarna putih kehijauan L 2 9,387 ± 2,028 2-4 -Bagian toraks berwarna sedikit kehijauan -Bagian abdomen berwarna sedikit kehijauan -Bagian segmen terakhir abdomen bergaris dengan warna putih -Spina lateral berwarna hitam, sedangkan spina akhir abdomen berwarna putih kehijauan L 3 14,883±2,112 1-4 -Bagian toraks berwarna hitam kecoklatan -Bagian abdomen berwarna hitam kecoklatan -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau terang -Spina lateral berwarna hitam -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. L4 26,036±3,985 2-4 -Bagian toraks berwarna coklat sedikit kuning bintik-bintik hijau tua -Bagian abdomen berwarna hijau kecoklatan sedikit kuning bintik-bintik hijau tua -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau terang -Spina lateral berwarna hitam -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. L5 37,948±4,280 3-8 -Bagian toraks berwarna hijau tua kecoklatan pudar -Bagian abdomen berwarna hijau tua pudar -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau muda kekuningan -Memiliki bintik-bintik di seluruh badan berwarna hijau tua -Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti cincin kecil berwarna oranye -Terdapat dua kotak di abdomen berwarna hijau kekuningan -Terdapat garis lurus berwarna putih mulai dari toraks sampai ujung abdomen -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata. Pada stadia larva, setiap individu membutukan durasi waktu yang berbeda untuk menjadi G. agamemnon imago. Pada larva instar satu, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 4,625±0,673 mm Lampiran 2. Larva instar dua, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 9,387±2,028 mm Lampiran 2. Larva instar tiga, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 1-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 14,883±2,112 mm Lampiran 2. Larva instar empat, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 26,036±3,985 mm Lampiran 2. Larva instar lima, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar antara 3-8 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 37,948±4,280 mm Lampiran 2. Pada instar prepupa, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 1-2 Prepupa 32,991±1,527 1-2 -Bagian toraks berwarna kuning terang kuning muda dan terdapat sedikit garis-garis merah -Bagian abdomen berwarna kuning terang kuning muda dengan ujung abdomen terdapat duri halus dan kulit mengerut. -Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti cincin kecil berwarna oranye -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung -Tidak terdapat dua kotak di punggung berwarna hijau kekuningan Pupa 32,532±1,150 12-15 -Bagian toraks dan abdomen berwarna kuning terang kuning muda -Tidak memiliki kaki-kaki prolage untuk menempel di daun. -Ketika kupu-kupu telah siap untuk menetas maka: -Bagian toraks berwarna hitam bercak hijau apel agak transparan. -Bagian abdomen hijau bergaris hitam. -Bagian ujung abdomen transparan. hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 32,991±1,527 mm Lampiran 2. Pupa merupakan tahap akhir stadia dalam siklus hidup sebelum menjadi G. agamemnon dewasa imago, pada tahap ini terjadi transformasi diri selama 12-15 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 32,532±1,150 mm Lampiran 2. Setiap tahapan instar, larva mengalami pergantian kulit molting sampai menjadi G. agamemnon imago. Ketika berganti kulit molting, larva diam dan tidak makan, ukuran tubuhnya mengecil sampai kulit lama terganti dengan kulit baru. Pergantian kulit dapat memakan waktu sampai 1 jam. Setelah keluar dari kulit lamanya, larva diam beberapa saat, kemudian memutarkan tubuhnya untuk memakan kulit lamanya sampai yang tersisa hanya bagian kepala saja dengan diameter yang bervariasi antara 0,420-0,670 - 1,800-2,720 mm. Hal ini dikarenakan kulit lama larva mengandung protein yang diperlukan oleh tubuhnya. Pergantian kulit pada fase prepupa, berbeda dengan tahap instar 1-4. Prepupa memilih tempat yang nyaman sebelum berubah menjadi pupa. Kemudian perlahan-lahan larva terlihat sedang melilitkan bagian toraks dengan benang halus dan kuat yang dibuatnya sendiri di tempat yang telah dipilihnya seperti di permukaan bawah atau atas daun pakan, di dinding wadah pelastik atau tutup wadah pelastik. Setelah 1-2 hari fase prepupa selesai, semua kulit lama akan terlepas dan berganti dengan cangkang pembungkus pupa. Pola pakan larva di setiap stadia hanya memakan daun yang dimulai dari bagian tengah daun lalu kebagian pinggir daun. Daun yang dikonsumsi adalah daun muda, dan untuk larva intar satu mengkonsumsi daun yang benar-benar muda pucuk daun. Hal ini karena tekstur dari pucuk daun masih lunak, sehingga larva yang baru menetas lebih mudah mengkonsumsinya. Larva instar satu merupakan fase yang rentan dengan kematian seperti terkena parasitoid, terkena air ataupun terinjak. Hal ini karena dengan ukuran tubuhnya yang kecil maka parasitoid mudah masuk ke dalam tubuh larva. Selain itu, karena ukuran tubuhnya yang kecil, jika larva terjatuh dari daun yang tertiup oleh angin tidak terlihat oleh mata maka dapat terinjak. Dengan ukurannya yang kecil pula, saat pemberian daun pakan atau pembersihan kandang sebaiknya dibersihkan kemudian di keringkan terlebih dahulu dari air baik pada daun pakan maupun kandangnya. Hal ini dikarenakan jika terdapat air yang terlalu banyak maka larva tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya untuk bergerak karena terlalu banyak air disekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam penanganan larva instar satu ini. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon Linn. tersaji pada Gambar 13. Tingkah laku larva di setiap stadia adalah diam, bergerak di daun kemudian memakan daun, buang feces yang ditandai dengan mengangkat bagian ujung abdomen lalu feces pun keluar dan diam. Selama pengamatan tingkah laku larva di tiap stadia berlangsung, kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh larva adalah makan. Hal ini dikarenakan larva membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi agar tumbuh kembang larva berjalan dengan baik, hingga larva siap memasuki fase pupa. Menurut Amir dkk 2003 larva memiliki kegiatan hanya makan, mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya untuk pertumbuhannya. Larva dapat tumbuh menjadi besar dan masak, selanjutnya siap memasuki masa pupasi. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Amir dkk 2003 bahwa Semakin besar ukuran larva G. agamemnon di tiap stadia, maka semakin banyak pula daun yang dikonsumsi. Hal ini dapat terlihat dari bentuk dan ukuran tubuh yang semakin bertambah di setiap stadia. Gambar 13. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.; a. telur; b. larva instar 1; c. larva instar 2; d. larva insrtar 3; e. larva instar 4; f. larva instar 5; g. prepupa; h. pupa; i. imago G. agamemnon L. Maulidia, 2010 Selain itu, ketika membersikan kandang dan pemberian daun pakan, atau saat pengukuran tubuh larva. Terkadang sesekali larva mengeluarkan semacam antena yang berwarna putih gading dari bagian kepalanya dengan bau yang menyengat yang disebut dengan osmeterium. Hal ini dikarenakan larva merasa terganggu. Menurut Achmad 2002 biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat perlindungan dari serangan predator atau pengganggu lain, yakni mengeluarkan a b c d e f g h i osmeterium semacam zat beracun yang berbau tidak enak melalui suatu alat seperti antena pada bagian kepala dari larva tersebut. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Achmad 2002 bahwa ketika larva merasa terganggu, larva mengeluarkan semacam antena yang berwarna putih gading dari bagian kepalanya dengan bau yang menyengat sebagai senjata perlindungan atau proteksi diri dari pengganggu. Setelah 12-15 hari berada dalam cangkang pembungkus pupa, seekor G. agamemnon dewasa imago keluar. Tubuh G. agamemnon jantan dan betina memiliki perbedaan ukuran tubuh, perbedaan tersebut tersaji pada Tebel 6. Tabel 6. Ukuran tubuh mm G. agamemnon L. jantan dan betina dewasa Keterangan Jantan ♂ 6 Individu x ± sd mm Betina ♀ 4 Individu x ± sd mm Panjang badan 22,638 ± 0,833 23,540 ± 2,494 Panjang antenna 16,772 ± 0,660 16,360 ± 1,094 Panjang sayap depan 41,510 ± 1,608 44,773 ± 1,259 Lebar sayap depan 20,720 ± 1,202 22,797 ± 1,107 Rentang sayap 83,020 ± 3,216 89,547 ± 2,518 Panjang sayap belakang 32,818 ± 2,218 37,373 ± 0,761 Lebar sayap belakang 19,912 ± 1,031 21,723 ± 0,523 Ketika mengamati proses G. agamemnon keluar dari cangkang pupa. Terlihat G. agamemnon keluar secara perlahan dari cangkang pupa dan terdapat pula cairan berwarna hijau kekuningan dari cangkang pupa. G. agamemnon tidak mampu untuk terbang langsung setelah keluar dari cangkang pembungkusnya. Akan tetapi, G. agamemnon menggantungkan tubuhnya dengan posisi terbalik dari cangkang pembungkus yang telah kosong tersebut atau mencari cabang atau daun terdekat. Saat muncul, sayap G. agamemnon terlihat kusut dan lembab. G. Ket: Rentang sayap= 2x panjang sayap depan; sd= Standar deviasi; x=Rata-rata. agamemnon perlu waktu untuk memompa cairan tubuhnya agar sayap dapat mengembang. Proses ini memakan waktu hingga satu jam. Hal ini dikarenakan agar sayap dapat terbuka lebar dan sempurna, sehingga dapat digunakan untuk terbang dengan baik. Kemudian perlahan-lahan sayap digerakan sampai akhirnya dapat terbuka lebar dan sempurna. Setelah sayap meningkat dan mengeras, G. agamemnon akan terbang jauh untuk mencari makanan dan pasangan. Menurut Suhara 2009 otot dada kupu-kupu memiliki fungsi sebagai pengontrol sayap, otot berkontraksi dan rileks untuk menghasilkan gerakan atau kepakan sayap saat terbang. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara 2009 bahwa G. agamemnon tidak dapat langsung terbang setelah keluar dari cangkang pembungkus pupa, hal ini dikarenakan G. agamemnon perlu waktu untuk memompa darah dari perut agar otot dada yang berfungsi sebagai pengontrol sayap dapat bekarja dengan baik. Selain itu, agar G. agamemnon dapat menyeimbangkan tubuhnya saat terbang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan hingga umur G. agamemnon dewasa imago karena adanya keterbatasan tempat pengamatan. Akan tetapi, menurut penelitian yang dilakuakan Achmad 2002 umur G. agamemnon dewasa bisa mencapai 50-59 hari. Pupa yang siap menetas menjadi G. agamemnon L. tersaji pada Gambar 14. Gambar 14. Pupa yang siap menetas menjadi G. agamemnon L. Maulidia, 2010 Dari kesepuluh individu, tidak semua individu G. agamemnon bermetamorfosis sempurna. Seperti yang terjadi pada individu 2 dan individu 6 yang mengalami cacat di bagian kepala dan antena. Hal ini dikarenakan ketika G. agamemnon keluar dari cangkang pembungkusnya, bagian kepala dan antena tersebut tidak bisa lepas dari cangkang pembungkus pupa pada saat keluar dari cangkang pembungkus pupa, sehingga sayap tidak dapat berkembang dengan sempurna. G. agamemnon yang tidak dapat melepaskan bagian kepala dan antena dari cangkang pun tidak dapat hidup seperti individu yang lain. G. agamemnon yang cacat tersaji pada Gambar 15. Gambar 15. G. agamemnon L. yang cacat Maulidia, 2011 Tubuh G. agamemnon berwarna dasar hitam, pada permukaan atas dan bawah sayapnya memiliki bercak berwarna hijau apel. Pada daerah costal terdapat dua bintik berwarna putih, pada daerah dorsalnya terdapat rambut-rambut halus berwarna hitam. Bagian ventral sayap depan berwarna coklat keunguan dengan bercak hijau yang sama dengan bagian dorsal. Pada vena keempat sayap belakang ditemukan pemanjangan menyerupai ekor yang pendek, G. agamemnon betina memiliki ekor yang lebih panjang di bandingkan dengan jantan. b a Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 individu. Dari 10 individu yang diamati, 6 diantaranya berjenis kelamin jantan dan 4 berjenis kelamin betina. G. agamemnon jantan memiliki beberapa perbedaan dengan G. agamemnon betina. Individu jantan mempunyai ukuran panjang dan rentangan sayap yang lebih pendek jika dibandingkan dengan sayap betina. Terdapat 6 individu jantan, akan tetapi dari 6 individu, hanya 5 individu saja yang dapat dilakukan pengukuran pada sayapnya. Hal ini dikarenakan cacat di bagian kepala dan antena. Panjang badan seluruh individu jantan 6 individu berkisar 22,638±0,833 mm, sedangkan panjang antena dari 5 individu jantan berkisar 16,772±0,660 mm. Panjang sayap depan dari 5 individu tersebut berkisar 41,510±1,608 mm dan lebar sayap depan berkisar 20,720±1,202 mm dengan rentang sayap berkisar 83,020±3,216 mm. Panjang sayap belakang dari 5 individu ini berkisar 32,818±2,218 mm dan lebar sayap belakang berkisar 19,912±1,031 mm. Selain itu, individu jantan memiliki ciri-ciri bentuk tubuh yang lebih ramping di bandingkan tubuh betina dengan bentuk ujung abdomen yang meruncing dan tidak terdapat lubang untuk mengeluarkan telur. Terdapat 4 individu betina, tetapi dari 4 individu hanya 3 individu saja yang dapat dilakukan pengukuran pada sayapnya. Hal ini dikarenakan cacat di bagian kepala dan antena. Panjang badan seluruh individu betina 4 individu berkisar 23,540±2,494 mm, sedangkan panjang antena dari 3 individu betina berkisar 16,360±1,094 mm. Panjang sayap depan dari 3 individu berkisar 44,773±1,259 mm dan lebar sayap depan berkisar 22,797±1,107 mm dengan rentang sayap berkisar 89,547±2,518 mm. Panjang sayap belakang dari 3 individu berkisar 37,373±0,761 mm dan lebar sayap belakang berkisar 21,723±0,523 mm. Selain itu, individu betina memiliki bentuk tubuh yang gemuk dengan ujung abdomen yang membulat dan terdapat lubang untuk mengeluarkan telur. G. agamemnon L. tersaji pada Gambar 16. Gambar 16. G. agamemnon L. ; a. G. agamemnon betina dan jantan dorsal; b. G. agamemnon betina dan jantan ventral Maulidia, 2011 Selama 123 hari 4 bulan dalam pengamatan tiap stadia siklus hidup G. agamemnon, dilakukan pula pengukuran faktor fisik ruangan. Suhu berkisar antara 24-30 C, intensitas cahaya berkisar antara 58-95 lx, kelembaban relatif udara berkisar antara 50-78 dan kecepatan angin 0 m s . Menurut Suhara 2009 a b ♂ Dorsal ♀ Dorsal ♀ Ventral ♂ Ventral cm cm suhu tubuh larva ditentukan oleh jumlah radiasi yang diserap kedalam tubuh melalui proses fisik. Peningkatan suhu tubuh mengarah ke peningkatan laju respirasi. Hasil pengamatan ini sejalan oleh Suhara 2009 bahwa metabolisme tubuh larva tergantung pasa kondisi lingkungan. Jika suhu disekitar hangat, intensitas cahaya dan kelembaban yang tidak terlalu tinggi membuat larva dapat bergerak lebih aktif. Akan tetapi, jika Jika suhu disekitar rendah atau dingin, intensitas cahaya dan kelembaban yang tinggi membuat larva menjadi kurang aktif dalam bergerak. Pengukuran faktor fisik ruangan yang tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Faktor fisik ruangan Faktor fisik Pagi 07.00 WIB Siang 12.00 WIB Sore 16.00 WIB Suhu C 25-27 27-30 24-27 Cahaya lx 65-93 80-95 58-90 Kecepatan angin m s Kelembaban relatif udara 60-77 50-73 60-78 Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Penulis, terdapat perbedaan durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad dan Salmah dkk. Menurut Achmad 2002 jenis G. agamemnon di Taman Nasional Bantimurung membutuhkan waktu 5-7 hari untuk stadia telur. Larva instar 1 berwarna kuning kehijauan dan bagian dorsal segmen ke-5 sampai 8 berwarna kuning keputihan. Larva instar 2 dan 3, bagian dorsal segmen ke-5 sampai 7 dan bagian segmen ke-8 berwarna kuning, sedangkan bagian tubuh lainnya berwarna coklat kekuningan hingga coklat. Larva instar 4 dan 5 berwarna hijau. Secara umum larva G. agamemnon berwarna kuning tua sampai hijau pekat, setiap segmen dada mempunyai duri hitam dan pada segmen ketiga duri tersebut muncul duri bintik kecil berwarna kuning oranye. Masa stadium larva 21 sampai 26 hari. Selain itu, G. agamemnon membutuhkan waktu sekitar 17 hari untuk menjadi pupa. Prepupa dan pupa berwarna hijau muda, pada pupa bagian toraks membentuk dua ujung yang agak meruncing dan bagian dada membentuk struktur menyerupai tanduk. Menurut Salmah dkk 2002 siklus hidup G. agamemnon pada tanaman sirsak di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu antara 38 sampai 44 hari fase telur 4-5 hari, fase larva 21-26 hari, fase prepupa 1- 2 hari dan fase pupa 11-12 hari. Secara keseluruhan, siklus hidup G. agamemnon pada tanaman Glodokan di Kampus I UIN Jakarta membutuhkan durasi waktu yang bervariasi antara 31 sampai 38 hari fase telur 2-3 hari, fase larva 14-19 hari, fase prepupa 1-2 hari dan fase pupa 12-15 hari. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon tersaji pada Tebel 8. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup mulai dari fase telur, larva, prepupa dan pupa G. agamemnon dari 10 individu yang diamati berbeda- beda. Dari tabel pengamatan, terlihat perbedaan waktu dari masing-masing Individu ke Lama Instar Tiap Stadia Hari Telur L1 L2 L3 L4 L5 Prepupa Pupa Jumlah 1 2 4 3 2 4 5 1 14 35 2 2 4 3 3 3 6 1 13 35 3 3 3 3 2 3 6 2 12 34 4 3 3 2 4 2 6 2 13 35 5 3 2 3 3 3 5 2 15 36 6 3 2 4 1 4 8 2 14 38 7 3 2 3 3 3 5 1 12 32 8 2 4 2 2 3 4 2 12 32 9 2 3 3 2 3 4 2 12 31 10 2 3 3 2 3 3 2 13 31 Lama 2-3 2-4 2-4 1-4 2-4 3-8 1-2 12-15 31-38 Tabel 8. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon L. individu. Hal ini mungkin dikarenakan masing-masing individu memiliki hormon yang berfungsi selama proses metamorfosis berlangsung dengan jumlah berbeda dalam tubuhnya. Terlihat durasi waktu siklus hidup tercepat dan siklus hidup terlama, pada individu 6 yang memiliki jumlah durasi waktu siklus hidup terlama dengan durasi waktu keseluruhan 38 hari. Akan tetapi, Individu 9 dan 10 memiliki durasi waktu siklus hidup tercepat dengan durasi waktu keseluruhan 31 hari. Individu 6 mengalami perkembangan metabolisme dalam tubuhnya yang lebih lambat jika dibandingkan dengan individu lainnya. Mungkin karena dalam tiap tubuh individu memproduksi hormon juvenil, hormon edyson dan hormon Prothoracicotropic yang berbeda. Hormon juvenil yang dimiliki oleh individu 6 jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan hormon ecdyson dan hormon Prothoracicotropic daripada individu yang lainnya. Hormon juvenil merupakan hormon awet muda dan penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai hormon pergantian kulit. Sehingga bila jumlah hormon juvenil lebih banyak, maka individu tersebut mengalami proses pergantian kulit molting lebih lama. Oleh karena itu, durasi waktu yang dibutuhkan individu 6 lebih lama yaitu 38 hari. Berbeda dengan individu 6. Pada individu 9 dan 10 memiliki jumlah hormon juvenil lebih sedikit dibandingkan dengan hormon ecdyson dan hormon Prothoracicotropic daripada individu yang lainnya. Hormon juvenil merupakan hormon awet muda atau hormon penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai hormon pergantian kulit. Sehingga bila jumlah hormon juvenil lebih sedikit, maka individu tersebut mengalami proses pergantian kulit molting lebih cepat. Oleh karena itu, durasi waktu yang dibutuhkan individu 9 dan 10 lebih singkat yaitu 31 hari. Siklus hidup G. agamemnon pada tanaman sirsak di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu antara 38 sampai 44 hari fase telur 4-5 hari, fase larva 21-26 hari, fase prepupa 1-2 hari dan fase pupa 11-12 hari Salmah dkk, 2002. Akan tetapi, siklus hidup G. agamemnon di Taman Nasional Bantimurung berkisar antara 42-50 hari. Terlihat adanya perbedaan durasi waktu yang di butuhkan dalam proses siklus hidup G. agamemnon antara kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Naional Bantimurung dan kawasan kampus I UIN Jakarta. Siklus hidup G. agamemnon di kawasan kampus I UIN Jakarta lebih singkat dibandingkan dengan siklus hidup G. agamemnon di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bantimurung. Hal ini dikarenakan adanya beberapa perbedaan selain dari jumlah produksi hornon pada tiap individu, seperti nutrisi yang terkandung dalam tanaman pakan, lokasi, ketinggian dan iklim. Larva mebutuhkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam tubuhnya. Nutrisi tersebut dapat berasal dari senyawa sekunder daun pakan tanaman inangnya. Jika nutrisi senyawa sekunder dari daun pakan tersebut tidak mencukupi, maka pertumbuhan dan perkembangan tubuh larva akan lambat. Kualitas makanan juga dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh larva. Menurut Suhara 2009 produksi senyawa sekunder pada tanaman inang tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tubuh larva. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara 2009 bahwa pada tanaman Glodokan mungkin memiliki lebih banyak kandungan nutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva G. agamemnon dibandingkan dengan kandungan nutrisi yang terdapat di tanaman Sirsak, sehingga siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Glodokan lebih cepat dibandingkan dngan siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Sirsak. Selain itu, perbedaan lokasi, ketinggian dan iklim juga ikut mempengaruhi siklus hidup dari larva G. agamemnon. Hutan pegunungan memiliki iklim dengan dataran tinggi yang tingkat kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah atau perkotaan. Semakin tinggi tingkat kelembaban dan suhu disekitar lebih rendah, maka larva akan menjadi kurang aktif dalam bergerak. Hal ini karena enzim yang berperan sebagai katalis dalam proses metabolisme yang menghasilkan energi terhambat karena terjadinya penurunan suhu. larva membutuhkan cahaya matahari untuk memperoleh energi dengan menaikan suhu agar enzim tersebut dapat bekarja. Agar larva dapat meningkatkan suhu tubuh yang mengarah ke peningkatan laju respirasi, maka larva membutuhkan cahaya matahari sehingga larva lebih aktif bergerak, serta agar perkembangan dan pertumbuhan larva juga dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, siklus hidup G. agamemnon di kawasan Taman Nasional Bantimurung lebih lama dibandingkan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. Sedangkan siklus hidup di Taman Nasional Kerinci Seblat lebih lama dibandingkan dengan siklus hidup G. agamemnon di sekitar skampus I UIN Jakarta. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian siklus hidup G. agamemnon L., maka dapat disimpulkan bahwa: 1. G. agamemnon memilih daun muda dan daun tua sebagai media untuk meletakan telur-telurnya, dengan posisi telur 20 terletak di permukaan atas dan 80 terletak di permukaan bawah daun. 2. Siklus hidup G. agamemnon dimulai dari stadia telur, larva, pupa, hingga menetas menjadi imago kupu-kupu dengan durasi waktu berkisar antara 31-38 hari dan morfologi tiap stadia memiliki ciri khas yang spesifik.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan nutrisi dan produksi senyawa sekunder pada tanaman yang dapat mempengaruhi perkembangan larva G. agamemnon pada tanaman inang glodokan, sirsak dan tanaman Annonaceae yang lain. 2. Perlu dilakukan penelitian siklus hidup dan tanaman inang dari jenis-jenis Lepidoptera lain sebagai salah satu serangga penyerbuk yang terdapat di kawasan kampus I UIN Jakarta. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN