3 Morfologi Tiap Stadia dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.
                                                                                Tabel 4. Morfologi telur G. agamemnon L.
Karakter morfologi Ciri-ciri
X ± SD Bentuk
Bulat Warna
Kuning keputihan Lama stadia telur Hari
2-3 Diameter cangkang telur mm
1,110-1,400 1,233±0,101
Diameter sisa cangkang telur mm 0,410-0,80
0,666±0,109 Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata.
Telur  G.  agamemnon  yang  diamati  berbentuk  bulat  memiliki  bagian bawah yang rata. Pada bagian atas telur terdapat lubang kecil yang disebut dengan
“mikropile”.  Menurut  Amir    dkk  2003  “mikropile”  yaitu  tempat  spermatozoid masuk ke dalam telur. Telur menetas menjadi larva dalam durasi waktu 2-3 hari,
sedangkan telur yang lebih dari 3 hari tidak menetas. Hal ini mungkin dikarenakan kualitas  telur  yang  buruk  seperti  telur  tidak  mengalami  proses  pembuahan,  atau
karena  sperma  tidak  tersalurkan  ke  dalam  sel  telur  yang  berada  di  dalam mikrophile,  atau  telur  telah  terkena  parasitoid,  atau  usia  G.  agamemnon  yang
sudah  tidak  terdapat  spermateka  spermateka  sudah  kosong  tetapi  telur  tetap dihasilkan oleh betina. Telur yang menetas menjadi larva, kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi imago dewasa. Fase larva dari tiap jenis satu dengan yang lain tidak sama. Morfologi predewasa G. agamemnon tersaji pada Tebel 5.
Tabel 5. Morfologi pradewasa G. agamemnon L. Stadia
larva x ± SD mm
Waktu hari
Morfologi L
1
4,625 ± 0,673 2-4
-Bagian toraks berwarna putih kehijauan -Bagian abdomen berwarna hitam
-Bagian  segmen  terakhir  abdomen  berwarna  putih
kehijauan
-Spina  lateral  berwarna  hitam,  sedangkan  spina akhir abdomen berwarna putih kehijauan
L
2
9,387 ± 2,028 2-4
-Bagian toraks berwarna sedikit kehijauan -Bagian abdomen berwarna sedikit kehijauan
-Bagian  segmen  terakhir  abdomen  bergaris  dengan
warna  putih -Spina  lateral  berwarna  hitam,  sedangkan  spina
akhir abdomen berwarna putih kehijauan L
3
14,883±2,112 1-4
-Bagian toraks berwarna hitam   kecoklatan -Bagian abdomen berwarna hitam kecoklatan
-Bagian  segmen  terakhir  abdomen  berwarna  hijau
terang -Spina lateral berwarna hitam
-Spina  pada  akhir  abdomen  berwarna  putih  di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam  di
bagian tengah pangkal sampai ujung. L4
26,036±3,985 2-4
-Bagian  toraks  berwarna  coklat  sedikit  kuning bintik-bintik hijau tua
-Bagian  abdomen  berwarna    hijau  kecoklatan sedikit kuning bintik-bintik hijau tua
-Bagian  segmen  terakhir  abdomen  berwarna  hijau terang
-Spina lateral berwarna hitam -Spina  pada  akhir  abdomen  berwarna  putih  di
bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam  di bagian tengah pangkal sampai ujung.
L5 37,948±4,280
3-8 -Bagian toraks berwarna hijau tua kecoklatan pudar
-Bagian abdomen berwarna hijau tua pudar -Bagian  segmen  terakhir  abdomen  berwarna  hijau
muda kekuningan -Memiliki  bintik-bintik  di  seluruh  badan  berwarna
hijau tua -Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti
cincin kecil berwarna oranye -Terdapat  dua  kotak  di  abdomen  berwarna  hijau
kekuningan -Terdapat  garis  lurus  berwarna  putih  mulai  dari
toraks sampai ujung abdomen -Spina  pada  akhir  abdomen  berwarna  putih  di
bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam  di bagian tengah pangkal sampai ujung.
Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata. Pada stadia larva, setiap individu membutukan durasi waktu yang berbeda
untuk menjadi G. agamemnon imago. Pada larva instar satu, durasi waktu yang dibutuhkan  untuk  tahap  ini  berkisar  2-4  hari  Tabel  8  dengan  panjang  tubuh
4,625±0,673  mm  Lampiran  2.  Larva  instar  dua,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 9,387±2,028 mm
Lampiran  2.  Larva  instar  tiga,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  tahap  ini berkisar 1-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 14,883±2,112 mm Lampiran 2.
Larva  instar  empat,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  tahap  ini  berkisar  2-4 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 26,036±3,985 mm Lampiran 2.
Larva instar lima, durasi waktu  yang dibutuhkan untuk  tahap ini berkisar antara 3-8 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 37,948±4,280 mm Lampiran 2.
Pada  instar  prepupa,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  tahap  ini  berkisar  1-2 Prepupa  32,991±1,527
1-2 -Bagian  toraks  berwarna  kuning  terang  kuning
muda dan terdapat sedikit garis-garis merah -Bagian  abdomen  berwarna  kuning  terang  kuning
muda  dengan  ujung  abdomen  terdapat  duri  halus dan kulit mengerut.
-Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti cincin kecil berwarna oranye
-Spina  pada  akhir  abdomen  berwarna  putih  di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam  di
bagian tengah pangkal sampai ujung -Tidak  terdapat  dua  kotak  di  punggung  berwarna
hijau kekuningan Pupa
32,532±1,150 12-15
-Bagian  toraks  dan  abdomen  berwarna    kuning terang kuning muda
-Tidak memiliki kaki-kaki prolage untuk menempel di daun.
-Ketika kupu-kupu telah siap untuk menetas maka: -Bagian  toraks  berwarna  hitam  bercak  hijau
apel agak transparan. -Bagian abdomen hijau bergaris hitam.
-Bagian ujung abdomen transparan.
hari  Tabel  8  dengan  panjang  tubuh  32,991±1,527  mm  Lampiran  2.  Pupa merupakan tahap akhir stadia dalam siklus hidup sebelum menjadi G. agamemnon
dewasa imago, pada tahap ini terjadi transformasi diri selama 12-15 hari Tabel 8 dengan panjang tubuh 32,532±1,150 mm Lampiran 2.
Setiap  tahapan  instar,  larva  mengalami  pergantian  kulit  molting  sampai menjadi G. agamemnon imago. Ketika berganti kulit molting, larva diam dan
tidak  makan,  ukuran  tubuhnya  mengecil  sampai  kulit  lama  terganti  dengan  kulit baru.  Pergantian  kulit  dapat  memakan  waktu  sampai  1  jam.  Setelah  keluar  dari
kulit  lamanya,  larva  diam  beberapa  saat,  kemudian  memutarkan  tubuhnya  untuk memakan  kulit  lamanya  sampai  yang  tersisa  hanya  bagian  kepala  saja  dengan
diameter  yang  bervariasi  antara  0,420-0,670  -  1,800-2,720  mm.  Hal  ini dikarenakan kulit lama larva mengandung protein yang diperlukan oleh tubuhnya.
Pergantian  kulit  pada  fase  prepupa,  berbeda  dengan  tahap  instar  1-4.  Prepupa memilih  tempat  yang  nyaman  sebelum  berubah  menjadi  pupa.  Kemudian
perlahan-lahan larva terlihat sedang melilitkan bagian toraks dengan benang halus dan  kuat  yang  dibuatnya  sendiri  di  tempat  yang  telah  dipilihnya  seperti  di
permukaan  bawah  atau  atas  daun  pakan,  di  dinding  wadah  pelastik  atau  tutup wadah  pelastik.  Setelah  1-2  hari  fase  prepupa  selesai,  semua  kulit  lama  akan
terlepas dan berganti dengan cangkang pembungkus pupa. Pola pakan larva di  setiap stadia hanya memakan daun  yang dimulai dari
bagian  tengah  daun  lalu  kebagian  pinggir  daun.  Daun  yang  dikonsumsi  adalah daun  muda,  dan  untuk  larva  intar  satu  mengkonsumsi  daun  yang  benar-benar
muda pucuk daun. Hal ini karena tekstur dari pucuk daun masih lunak, sehingga larva yang baru menetas lebih mudah mengkonsumsinya.
Larva  instar  satu  merupakan  fase  yang  rentan  dengan  kematian  seperti terkena  parasitoid,  terkena  air  ataupun  terinjak.  Hal  ini  karena  dengan  ukuran
tubuhnya  yang kecil maka parasitoid mudah masuk ke dalam tubuh larva. Selain itu, karena ukuran tubuhnya yang kecil, jika larva terjatuh dari daun yang tertiup
oleh angin  tidak terlihat  oleh mata maka dapat  terinjak. Dengan ukurannya  yang kecil  pula,  saat  pemberian  daun  pakan  atau  pembersihan  kandang  sebaiknya
dibersihkan kemudian di keringkan terlebih dahulu dari air baik pada daun pakan maupun  kandangnya.  Hal  ini  dikarenakan  jika  terdapat  air  yang  terlalu  banyak
maka larva tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya untuk bergerak karena terlalu banyak  air  disekitarnya.  Oleh  karena  itu,  diperlukan  ketelitian  dan  kehati-hatian
dalam  penanganan  larva  instar  satu  ini.
Metamorfosis  dalam  Siklus  Hidup  G. agamemnon Linn.
tersaji pada Gambar 13. Tingkah  laku  larva  di  setiap  stadia  adalah  diam,  bergerak  di  daun
kemudian memakan daun, buang feces  yang ditandai dengan mengangkat bagian ujung abdomen lalu feces pun keluar dan diam. Selama pengamatan tingkah laku
larva di tiap stadia berlangsung, kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh larva adalah  makan.  Hal  ini  dikarenakan  larva  membutuhkan  nutrisi  sebagai  sumber
energi  agar  tumbuh  kembang  larva  berjalan  dengan  baik,  hingga  larva  siap memasuki  fase  pupa.  Menurut  Amir  dkk  2003  larva  memiliki  kegiatan  hanya
makan,  mendapatkan  makanan  sebanyak-banyaknya  untuk  pertumbuhannya. Larva  dapat  tumbuh  menjadi  besar  dan  masak,  selanjutnya  siap  memasuki  masa
pupasi.  Hasil  pengamatan  ini  sejalan  dengan  Amir  dkk  2003  bahwa  Semakin besar ukuran larva G. agamemnon di tiap stadia, maka semakin banyak pula daun
yang  dikonsumsi.  Hal  ini  dapat  terlihat  dari  bentuk  dan  ukuran  tubuh  yang semakin bertambah di setiap stadia.
Gambar 13. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.; a. telur; b.
larva instar 1; c. larva instar 2; d. larva insrtar 3; e. larva instar 4; f. larva instar 5; g. prepupa; h. pupa; i. imago G. agamemnon L.
Maulidia, 2010
Selain  itu,  ketika  membersikan  kandang  dan  pemberian  daun  pakan,  atau
saat  pengukuran  tubuh  larva.  Terkadang  sesekali  larva  mengeluarkan  semacam antena  yang  berwarna  putih  gading  dari  bagian  kepalanya  dengan  bau  yang
menyengat  yang  disebut  dengan  osmeterium.  Hal  ini  dikarenakan  larva  merasa terganggu.  Menurut  Achmad  2002  biasanya  larva  kupu-kupu  mempunyai  alat
perlindungan  dari  serangan  predator  atau  pengganggu  lain,  yakni  mengeluarkan
a b
c
d e
f
g h
i
osmeterium  semacam  zat  beracun  yang  berbau  tidak  enak  melalui  suatu  alat seperti antena pada bagian kepala dari larva tersebut. Hasil pengamatan ini sejalan
dengan Achmad 2002 bahwa ketika larva merasa terganggu, larva mengeluarkan semacam  antena  yang  berwarna  putih  gading  dari  bagian  kepalanya  dengan  bau
yang menyengat sebagai senjata perlindungan atau proteksi diri dari pengganggu. Setelah 12-15 hari berada dalam cangkang pembungkus pupa, seekor G.
agamemnon  dewasa  imago  keluar.  Tubuh  G.  agamemnon  jantan  dan  betina memiliki perbedaan ukuran tubuh, perbedaan tersebut tersaji pada Tebel  6.
Tabel 6. Ukuran tubuh mm G. agamemnon L. jantan dan betina dewasa Keterangan
Jantan ♂ 6 Individu
x ± sd mm Betina ♀
4 Individu x ± sd mm
Panjang badan 22,638 ± 0,833
23,540 ± 2,494 Panjang antenna
16,772 ± 0,660 16,360 ± 1,094
Panjang sayap depan 41,510 ± 1,608
44,773 ± 1,259 Lebar sayap depan
20,720 ± 1,202 22,797 ± 1,107
Rentang sayap 83,020 ± 3,216
89,547 ± 2,518 Panjang sayap belakang
32,818 ± 2,218 37,373 ± 0,761
Lebar sayap belakang 19,912 ± 1,031
21,723 ± 0,523
Ketika  mengamati  proses  G.  agamemnon  keluar  dari  cangkang  pupa. Terlihat  G.  agamemnon  keluar  secara  perlahan  dari  cangkang  pupa  dan  terdapat
pula cairan berwarna hijau kekuningan dari cangkang pupa. G. agamemnon tidak mampu  untuk  terbang  langsung  setelah  keluar  dari  cangkang  pembungkusnya.
Akan  tetapi,  G.  agamemnon  menggantungkan  tubuhnya  dengan  posisi  terbalik dari cangkang pembungkus yang telah kosong tersebut atau mencari cabang atau
daun  terdekat.  Saat  muncul,  sayap  G.  agamemnon  terlihat  kusut  dan  lembab.  G.
Ket: Rentang sayap= 2x panjang sayap depan; sd= Standar deviasi; x=Rata-rata.
agamemnon  perlu  waktu  untuk  memompa  cairan  tubuhnya  agar  sayap  dapat mengembang.
Proses  ini  memakan  waktu  hingga  satu  jam.  Hal  ini  dikarenakan  agar sayap dapat terbuka lebar dan sempurna, sehingga dapat digunakan untuk terbang
dengan  baik.  Kemudian  perlahan-lahan  sayap  digerakan  sampai  akhirnya  dapat terbuka  lebar  dan  sempurna.  Setelah  sayap  meningkat  dan  mengeras,  G.
agamemnon  akan  terbang  jauh  untuk  mencari  makanan  dan  pasangan.  Menurut Suhara  2009  otot  dada  kupu-kupu  memiliki  fungsi  sebagai  pengontrol  sayap,
otot berkontraksi dan rileks untuk menghasilkan gerakan atau kepakan sayap saat terbang.
Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara 2009 bahwa G. agamemnon tidak  dapat  langsung  terbang  setelah  keluar  dari  cangkang  pembungkus  pupa,
hal ini dikarenakan G. agamemnon perlu waktu untuk memompa darah dari perut agar  otot  dada  yang  berfungsi  sebagai  pengontrol  sayap  dapat  bekarja  dengan
baik.  Selain  itu,  agar  G.  agamemnon  dapat  menyeimbangkan  tubuhnya  saat terbang.  Dalam  penelitian  ini  tidak  dilakukan  pengamatan  hingga  umur  G.
agamemnon  dewasa  imago  karena  adanya  keterbatasan  tempat  pengamatan. Akan  tetapi,  menurut  penelitian  yang  dilakuakan  Achmad  2002  umur  G.
agamemnon  dewasa  bisa  mencapai  50-59  hari.
Pupa  yang  siap  menetas  menjadi  G. agamemnon L.
tersaji pada Gambar 14.
Gambar 14. Pupa yang siap menetas menjadi G. agamemnon L. Maulidia,  2010
Dari  kesepuluh  individu,  tidak  semua  individu  G.  agamemnon bermetamorfosis  sempurna.  Seperti  yang  terjadi  pada  individu  2  dan  individu  6
yang mengalami cacat di bagian kepala dan antena. Hal ini dikarenakan ketika G. agamemnon  keluar  dari  cangkang  pembungkusnya,  bagian  kepala  dan  antena
tersebut tidak bisa lepas dari cangkang pembungkus pupa pada saat keluar dari cangkang  pembungkus  pupa,  sehingga  sayap  tidak  dapat  berkembang  dengan
sempurna. G. agamemnon yang tidak dapat melepaskan bagian kepala dan antena dari  cangkang  pun  tidak  dapat  hidup  seperti  individu  yang  lain.  G.  agamemnon
yang cacat tersaji pada Gambar 15.
Gambar 15. G. agamemnon L. yang cacat Maulidia, 2011 Tubuh  G.  agamemnon  berwarna  dasar  hitam,  pada  permukaan  atas  dan
bawah sayapnya memiliki bercak berwarna hijau apel. Pada daerah costal terdapat dua  bintik  berwarna  putih,  pada  daerah  dorsalnya  terdapat  rambut-rambut  halus
berwarna  hitam.  Bagian  ventral  sayap  depan  berwarna  coklat  keunguan  dengan bercak hijau yang sama dengan bagian dorsal. Pada vena keempat sayap belakang
ditemukan  pemanjangan  menyerupai  ekor  yang  pendek,  G.  agamemnon  betina memiliki ekor yang lebih panjang di bandingkan dengan jantan.
b a
Spesimen  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  berjumlah  10  individu. Dari  10  individu  yang  diamati,  6  diantaranya  berjenis  kelamin  jantan  dan  4
berjenis  kelamin  betina.  G.  agamemnon  jantan  memiliki  beberapa  perbedaan dengan  G.  agamemnon  betina.  Individu  jantan  mempunyai  ukuran  panjang  dan
rentangan  sayap  yang  lebih  pendek  jika  dibandingkan  dengan  sayap  betina. Terdapat 6 individu jantan, akan tetapi dari 6 individu, hanya 5 individu saja yang
dapat  dilakukan  pengukuran  pada  sayapnya.  Hal  ini  dikarenakan  cacat  di  bagian kepala  dan  antena.  Panjang  badan  seluruh  individu  jantan  6  individu  berkisar
22,638±0,833  mm,  sedangkan  panjang  antena  dari  5  individu  jantan  berkisar 16,772±0,660 mm.
Panjang  sayap  depan  dari  5  individu  tersebut  berkisar  41,510±1,608  mm dan lebar sayap depan berkisar 20,720±1,202 mm dengan rentang sayap berkisar
83,020±3,216  mm.  Panjang  sayap  belakang  dari  5  individu  ini  berkisar 32,818±2,218  mm  dan  lebar  sayap  belakang  berkisar  19,912±1,031  mm.  Selain
itu,  individu  jantan  memiliki  ciri-ciri  bentuk  tubuh  yang  lebih  ramping  di bandingkan  tubuh  betina  dengan  bentuk  ujung  abdomen  yang    meruncing  dan
tidak terdapat lubang untuk mengeluarkan telur. Terdapat  4  individu  betina,  tetapi  dari  4  individu  hanya  3  individu  saja
yang  dapat  dilakukan  pengukuran  pada  sayapnya.  Hal  ini  dikarenakan  cacat  di bagian  kepala  dan  antena.  Panjang  badan  seluruh  individu  betina  4  individu
berkisar  23,540±2,494  mm,  sedangkan  panjang  antena  dari  3  individu  betina berkisar  16,360±1,094  mm.  Panjang  sayap  depan  dari  3  individu  berkisar
44,773±1,259  mm  dan  lebar  sayap  depan  berkisar  22,797±1,107  mm  dengan
rentang  sayap  berkisar  89,547±2,518  mm.  Panjang  sayap  belakang    dari  3 individu  berkisar  37,373±0,761  mm  dan  lebar  sayap  belakang  berkisar
21,723±0,523 mm. Selain itu, individu betina memiliki bentuk tubuh yang gemuk dengan ujung abdomen yang membulat dan terdapat lubang untuk mengeluarkan
telur. G. agamemnon L. tersaji pada Gambar 16.
Gambar 16. G. agamemnon L. ; a. G. agamemnon betina dan jantan dorsal; b. G. agamemnon betina dan jantan ventral Maulidia, 2011
Selama  123  hari  4  bulan  dalam  pengamatan  tiap  stadia  siklus  hidup  G. agamemnon,  dilakukan  pula  pengukuran  faktor  fisik  ruangan.  Suhu  berkisar
antara  24-30 C,  intensitas  cahaya  berkisar  antara  58-95  lx,  kelembaban  relatif
udara berkisar antara 50-78 dan kecepatan angin 0
m s
. Menurut Suhara 2009
a
b
♂ Dorsal ♀ Dorsal
♀ Ventral ♂ Ventral
cm cm
suhu  tubuh  larva  ditentukan  oleh  jumlah  radiasi  yang  diserap  kedalam  tubuh melalui  proses  fisik.  Peningkatan  suhu  tubuh  mengarah  ke  peningkatan  laju
respirasi.  Hasil  pengamatan  ini  sejalan  oleh  Suhara  2009  bahwa  metabolisme tubuh  larva  tergantung  pasa  kondisi  lingkungan.  Jika  suhu  disekitar  hangat,
intensitas  cahaya  dan  kelembaban  yang  tidak  terlalu  tinggi  membuat  larva  dapat bergerak  lebih  aktif.  Akan  tetapi,  jika  Jika  suhu  disekitar  rendah  atau  dingin,
intensitas  cahaya  dan  kelembaban  yang  tinggi  membuat  larva  menjadi  kurang aktif dalam bergerak. Pengukuran faktor fisik ruangan yang tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7. Faktor fisik ruangan Faktor fisik
Pagi 07.00 WIB
Siang 12.00 WIB
Sore 16.00 WIB
Suhu C
25-27 27-30
24-27 Cahaya lx
65-93 80-95
58-90 Kecepatan angin
m s
Kelembaban relatif udara    60-77 50-73
60-78 Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Penulis, terdapat
perbedaan durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon  dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad dan Salmah dkk. Menurut Achmad
2002  jenis  G.  agamemnon  di  Taman  Nasional  Bantimurung  membutuhkan waktu  5-7  hari  untuk  stadia  telur.  Larva  instar  1  berwarna  kuning  kehijauan  dan
bagian  dorsal  segmen  ke-5  sampai  8  berwarna  kuning  keputihan.  Larva  instar  2 dan  3,  bagian  dorsal  segmen  ke-5  sampai  7  dan  bagian  segmen  ke-8  berwarna
kuning,  sedangkan  bagian  tubuh  lainnya  berwarna  coklat  kekuningan  hingga coklat. Larva instar 4 dan 5 berwarna hijau.
Secara  umum  larva  G.  agamemnon  berwarna  kuning  tua  sampai  hijau pekat,  setiap  segmen  dada  mempunyai  duri  hitam  dan  pada  segmen  ketiga  duri
tersebut muncul duri bintik kecil berwarna kuning oranye. Masa stadium larva 21 sampai  26  hari.  Selain  itu,  G.  agamemnon  membutuhkan  waktu  sekitar  17  hari
untuk  menjadi  pupa.  Prepupa  dan  pupa  berwarna  hijau  muda,  pada  pupa  bagian toraks membentuk  dua ujung  yang agak meruncing dan bagian dada membentuk
struktur  menyerupai  tanduk.  Menurut  Salmah  dkk  2002  siklus  hidup  G. agamemnon pada tanaman sirsak di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu
antara 38 sampai 44 hari fase telur 4-5 hari, fase larva 21-26 hari, fase prepupa 1- 2 hari dan fase pupa 11-12 hari. Secara keseluruhan, siklus hidup G. agamemnon
pada  tanaman  Glodokan  di  Kampus  I  UIN  Jakarta  membutuhkan  durasi  waktu yang bervariasi antara 31 sampai 38 hari fase telur 2-3 hari, fase larva 14-19 hari,
fase  prepupa  1-2  hari  dan  fase  pupa  12-15  hari.  Durasi  waktu  yang  dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon tersaji pada Tebel 8.
Durasi  waktu  yang  dibutuhkan  dalam  siklus  hidup  mulai  dari  fase  telur, larva, prepupa dan pupa  G. agamemnon dari 10 individu  yang diamati berbeda-
beda.  Dari  tabel  pengamatan,  terlihat  perbedaan  waktu  dari  masing-masing Individu
ke Lama Instar Tiap Stadia Hari
Telur L1
L2 L3
L4 L5
Prepupa Pupa
Jumlah 1
2 4
3 2
4 5
1 14
35 2
2 4
3 3
3 6
1 13
35 3
3 3
3 2
3 6
2 12
34 4
3 3
2 4
2 6
2 13
35 5
3 2
3 3
3 5
2 15
36 6
3 2
4 1
4 8
2 14
38 7
3 2
3 3
3 5
1 12
32 8
2 4
2 2
3 4
2 12
32 9
2 3
3 2
3 4
2 12
31 10
2 3
3 2
3 3
2 13
31 Lama
2-3 2-4
2-4 1-4
2-4 3-8
1-2 12-15
31-38 Tabel 8. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon L.
individu. Hal ini mungkin dikarenakan masing-masing individu memiliki hormon yang  berfungsi  selama  proses  metamorfosis  berlangsung  dengan  jumlah  berbeda
dalam  tubuhnya.  Terlihat  durasi  waktu  siklus  hidup  tercepat  dan  siklus  hidup terlama, pada individu 6 yang memiliki jumlah durasi waktu siklus hidup terlama
dengan durasi waktu keseluruhan 38 hari. Akan tetapi, Individu 9 dan 10 memiliki durasi waktu siklus hidup tercepat dengan durasi waktu keseluruhan 31 hari.
Individu  6  mengalami  perkembangan  metabolisme  dalam  tubuhnya  yang lebih  lambat  jika  dibandingkan  dengan  individu  lainnya.  Mungkin  karena  dalam
tiap  tubuh  individu  memproduksi  hormon  juvenil,  hormon  edyson  dan  hormon Prothoracicotropic  yang  berbeda.  Hormon  juvenil  yang  dimiliki  oleh  individu  6
jumlahnya  lebih  banyak  dibandingkan  dengan  hormon  ecdyson  dan  hormon Prothoracicotropic  daripada  individu  yang  lainnya.  Hormon  juvenil  merupakan
hormon awet muda dan penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai hormon  pergantian  kulit.  Sehingga  bila  jumlah  hormon  juvenil  lebih  banyak,
maka  individu  tersebut  mengalami  proses  pergantian  kulit  molting  lebih  lama. Oleh  karena  itu,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan  individu  6  lebih  lama  yaitu  38
hari. Berbeda  dengan  individu  6.  Pada  individu  9  dan  10  memiliki  jumlah
hormon  juvenil  lebih  sedikit  dibandingkan  dengan  hormon  ecdyson  dan  hormon Prothoracicotropic  daripada  individu  yang  lainnya.  Hormon  juvenil  merupakan
hormon awet muda atau hormon penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai  hormon  pergantian  kulit.  Sehingga  bila  jumlah  hormon  juvenil  lebih
sedikit, maka individu tersebut mengalami proses pergantian kulit molting lebih
cepat.  Oleh  karena  itu,  durasi  waktu  yang  dibutuhkan  individu  9  dan  10  lebih singkat yaitu 31 hari.
Siklus  hidup  G.  agamemnon  pada  tanaman  sirsak  di  kawasan  Taman Nasional  Kerinci  Seblat  yaitu  antara  38  sampai  44  hari  fase  telur  4-5  hari,  fase
larva  21-26  hari,  fase  prepupa  1-2  hari  dan  fase  pupa  11-12  hari  Salmah  dkk, 2002. Akan tetapi, siklus hidup G. agamemnon di Taman Nasional Bantimurung
berkisar  antara  42-50  hari.  Terlihat  adanya  perbedaan  durasi  waktu  yang  di butuhkan  dalam  proses  siklus  hidup  G.  agamemnon  antara  kawasan  Taman
Nasional  Kerinci  Seblat,  Taman  Naional  Bantimurung  dan  kawasan  kampus  I UIN Jakarta. Siklus hidup G. agamemnon di kawasan kampus I UIN Jakarta lebih
singkat  dibandingkan  dengan  siklus  hidup  G.  agamemnon  di  kawasan  Taman Nasional  Kerinci  Seblat  dan  Taman  Nasional  Bantimurung.  Hal  ini  dikarenakan
adanya beberapa perbedaan selain dari jumlah produksi hornon pada tiap individu, seperti  nutrisi  yang  terkandung  dalam  tanaman  pakan,  lokasi,  ketinggian  dan
iklim. Larva  mebutuhkan  nutrisi  yang  cukup  untuk  pertumbuhan  dan
perkembangan  dalam  tubuhnya.  Nutrisi  tersebut  dapat  berasal  dari  senyawa sekunder daun pakan tanaman inangnya. Jika nutrisi senyawa sekunder dari daun
pakan  tersebut  tidak  mencukupi,  maka  pertumbuhan  dan  perkembangan  tubuh larva  akan  lambat.  Kualitas  makanan  juga  dapat  berpengaruh  terhadap
metabolisme  tubuh  larva.  Menurut  Suhara  2009  produksi  senyawa  sekunder pada  tanaman  inang  tersebut  mempengaruhi  pertumbuhan  dan  perkembangan
tubuh  larva.  Hasil  pengamatan  ini  sejalan  dengan  Suhara  2009  bahwa  pada
tanaman  Glodokan  mungkin  memiliki  lebih  banyak  kandungan  nutrisi  yang dibutuhkan  untuk  mendukung  pertumbuhan  dan  perkembangan  larva  G.
agamemnon  dibandingkan  dengan  kandungan  nutrisi  yang  terdapat  di  tanaman Sirsak, sehingga siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Glodokan lebih cepat
dibandingkan dngan siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Sirsak. Selain itu, perbedaan lokasi, ketinggian dan iklim juga ikut mempengaruhi
siklus hidup dari larva G. agamemnon. Hutan pegunungan memiliki iklim dengan dataran  tinggi  yang  tingkat  kelembaban  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  di
dataran  rendah  atau  perkotaan.  Semakin  tinggi  tingkat  kelembaban  dan  suhu disekitar lebih rendah, maka larva akan menjadi kurang aktif dalam bergerak. Hal
ini  karena  enzim  yang  berperan  sebagai  katalis  dalam  proses  metabolisme  yang menghasilkan  energi  terhambat  karena  terjadinya  penurunan  suhu.  larva
membutuhkan cahaya matahari untuk memperoleh  energi dengan menaikan suhu agar  enzim  tersebut  dapat  bekarja.  Agar  larva  dapat  meningkatkan  suhu  tubuh
yang  mengarah  ke  peningkatan  laju  respirasi,  maka  larva  membutuhkan  cahaya matahari  sehingga  larva  lebih  aktif  bergerak,  serta  agar  perkembangan  dan
pertumbuhan  larva  juga  dapat  berjalan  dengan  baik.  Untuk  itu,  siklus  hidup  G. agamemnon  di  kawasan  Taman  Nasional  Bantimurung  lebih  lama  dibandingkan
dengan  Taman  Nasional  Kerinci  Seblat.  Sedangkan  siklus  hidup  di  Taman Nasional  Kerinci  Seblat  lebih  lama  dibandingkan  dengan  siklus  hidup  G.
agamemnon di sekitar skampus I UIN Jakarta.
58
                