Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Hilir Sungai Padang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI HILIR
SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS
KABUPATEN BATUBARA
SKRIPSI
JUPENTUS SILABAN
070805026
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI HILIR
SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS
KABUPATEN BATUBARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sains
JUPENTUS SILABAN
070805026
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(3)
PERSETUJUAN
Judul : KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI
HILIR SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATENBATUBARA
Kategori : SKRIPSI
Nama : JUPENTUS SILABAN
NIM : 070805026
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI
Fakultas :MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA)
Diluluskan di Medan, September 2011
Komisi Pembimbing:
Pembimbing II Pembimbing I
Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si. Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc. NIP 19721126 199802 2 002 NIP 19581016 198703 1 003
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP 19630123 199003 2 001
(4)
PERNYATAAN
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI HILIR SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA
SKRIPSI
Saya mengaku bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, September 2011
Jupentus Silaban 070805026
(5)
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat, kasih, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Keanekaragaman Makrozoobenthos di Hilir Sungai Padang
Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara dalam waktu yang telah ditentukan.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus.,M.Sc dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si.,M.Si selaku dosen Pembimbing I dan Pembimbing II, Bapak Drs. Arlen H. J. M.Si dan Bapak Drs. H. M. Zaidun Sofyan M.Si sebagai dosen Penguji I dan Penguji II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar dan mendidik dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si yang merupakan dosen pembimbing akademik. Kepada abang Erwin dan kakak Rosalina Tarigan yang selama ini telah membantu penulis dalam penyelesaian administrasi perkuliahan.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, bapak D. Silaban dan ibu S. Sitorus yang selama ini telah mendidik dan memberikan motivasi yang luar biasa kepada penulis tanpa henti-hentinya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Demikian juga hal nya kepada keluarga A. Sinaga/br. Silaban selaku kakak penulis, adik- adik tersayang, Yusrian Sialaban dan Okto F. Silaban yang telah memberikan semangat dan dorongan selama ini kepada penulis.
Kepada seluruh rekan-rekan tim lapangan, Jayana Sitepu, Reymond Siburian, Else Nainggolan, dan Hotda Manik yang bersedia untuk bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Teman-teman stambuk 2007 (Like D’Ants) teman seperjuangan perkuliahan yang penulis sayangi, Ncay, Desi, Aini, Misfala, Affan, Mirza, Siti, Natalia, Eva, Alex, Farid, Riwil, Abel, Anti, Katrin, Dwi, Elisabeth, Anggun, Maria, Putri, Risa, dan lain-lain yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih juga kepada abang Misran Siregar S.Si, Rudi Manullang S.Si, Andri SMP, kakak Toberni S.Si, Helen S.Si dan seluruh penghuni mabes senina yang telah menjadi tempat berbagi pengalaman bagi penulis. Adikku Bienz, adik asuh penulis, Ima & Yuli, Silvia, Agustina, Adrian, Rencina, Reymon, Risa, Fivin, Boy, Julie, Siska, Ubasori, Gilang, Juhardi, dan seluruh adik-adik stambuk 2008, 2009, dan 2010.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan di Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) dan Persekutuan Keluarga Besar Kristen Biologi (PKBKB) yang selama ini telah banyak memberi penulis ilmu, pengalaman dan juga wawasan. Kepada semua rekan-rekan di NHKBP Bandar Klippa serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat diucapkan satu per satu, penulis ucapkan banyak terima kasih.
(6)
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu dengan lapang dada penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terimakasih.
Medan, Agustus 2011
(7)
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI HILIR SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman Makrozoobenthos di Hilir
Sungai Padang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara. Sampel diambil dari lima stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun dilakukan limabelas kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan surber net dan sampel diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan sebanyak 13 genus makrozoobenthos yang termasuk ke dalam 11 famili, 7 ordo dan 5
kelas. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada genus Faunus sebesar 191,11 ind/m2
(stasiun 4), dan nilai kepadatan populasi terendah terdapat pada genus Cardisoma,
Mactra sp2, dan Rhabdolaimus sebesar 0,74 ind/m2. Indeks keanekaragaman makrozoobenthos (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 1,51 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,51. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,96 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,37.
(8)
THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHIC IN DOWNSTREAM OF PADANG RIVER SUBDISTRICT OF MEDANG DERAS DISTRICT OF
BATUBARA
ABSTRACT
The diversity of Macrozoobenthic in Downstream of Padang River Subdistrict of Medang Deras Distrisct of Batubara, has been observed.The sample was taken from five stations of observation, fourteen replications were conducted in each station. The point of sampling was determined by using Purposive Sampling Method. The samples was taken by using surber net and the sample was then identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science, University of North Sumatera, Medan. The result of research indicated 13 genus of macrozoobenthic consisting of 11 families, 7
orders, and 5 class. The highest density was found in genus of Faunus, 191,11 ind/m2
(station I), and. The lowest was found in genus of Cardisoma, Mactra sp2, and
Rhabdolaimus, 0,74 ind/m2. The highest diversity index of macrozoobenthic was
found in station 5, about 1,51 and the lowest one was in station 4, about 0,51. The
highest uniformity index (E) was found in station 2, about 0,96 and the lowest one was in station 4, about 0,37.
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN i
PERNYATAAN ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR LAMPIRAN X
DAFTAR GAMBAR Xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Hipotesis 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
BAB 2 BAHAN DAN METODE 4
2.1 Metode Penelitian 4
2.2 Deskripsi Area 2.2.1 Stasiun 1 2.2.2 Stasiun 2 2.2.3 Stasiun 3 2.2.4 Stasiun 4 2.2.5 Stasiun 5
4 5 5 6 7 7
2.3 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos 8
2.4 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 8
2.5 Analisis Data 11
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 14
3.1 Parameter Biotik 14
3.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos
17
3.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks
Keseragaman (E)
20
3.1.3 Indeks Similaritas 22
3.2 Parameter Abiotik 23
3.2.1 Temperatur
3.2.2 pH (derajat keasaman) 3.2.3 Kecepatan Arus 3.2.4 Kejenuhan Oksigen
3.2.5 DO (Dissolve Oxygen)
3.2.6 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)
3.2.7 COD (Chemical Oxygen Demand)
24 24 25 25 26 26 27
(10)
3.2.8 Kandungan Organik Substrat 27
3.3 Analisis Korelasi Pearson Komputerisasi Ver. 14.00 28
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 30
4.1 Kesimpulan 30
4.2 Saran 30
(11)
DAFTAR TABEL
Nama Judul Halaman
Tabel 2.4.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam
Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
10
Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Diperoleh Pada
Setiap Stasiun Penelitian di Hilir Sungai Padang 14
Tabel 3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif
(%), dan Frekuensi Kehadiran (%)pada setiap stasiun
penelitian 17
Tabel 3.1.2 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks
Keseragaman (E) pada setiap stasiun penelitian 20
Tabel 3.1.3 Nilai Indeks Similaritas pada setiap stasiun penelitian 22
Tabel 3.2 Rata-rata Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan yang
Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian 23
Tabel 3.3 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman
Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan 28
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Nama Judul halaman
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 33
Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk mengukur BOD5 34
Lampiran C. Bagan Kerja Untuk Mengukur COD 35
Lampiran D. Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat 36
Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai
Temperatur Air 37
Lampiran F. Peta Lokasi Penelitian 38
Lampiran G. Data Mentah Makrozoobenthos 39
Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan 42
Lampiran I. Foto Kerja 43
Lampiran J. Makrozoobenthos yang Diperoleh 44
(13)
DAFTAR GAMBAR
Nama Judul halaman
Gambar 2.1 Foto areal stasiun penelitian pada stasiun 1 (kawasan
perkebunan) 5
Gambar 2.2 Foto areal stasiun penelitian pada stasiun 2 (kawasan
pengerukan pasir) 6
Gambar 2.3 Foto areal stasiun penelitian pada stasiun 3 (kawasan
pemukiman) 6
Gambar 2.4 Foto areal stasiun penelitian pada stasiun 4 (kawasan
dermaga) 7
Gambar 2.5 Foto areal stasiun penelitian pada stasiun 5 (kawasan
(14)
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI HILIR SUNGAI PADANG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman Makrozoobenthos di Hilir
Sungai Padang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara. Sampel diambil dari lima stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun dilakukan limabelas kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan surber net dan sampel diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan sebanyak 13 genus makrozoobenthos yang termasuk ke dalam 11 famili, 7 ordo dan 5
kelas. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada genus Faunus sebesar 191,11 ind/m2
(stasiun 4), dan nilai kepadatan populasi terendah terdapat pada genus Cardisoma,
Mactra sp2, dan Rhabdolaimus sebesar 0,74 ind/m2. Indeks keanekaragaman makrozoobenthos (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 1,51 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,51. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,96 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,37.
(15)
THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHIC IN DOWNSTREAM OF PADANG RIVER SUBDISTRICT OF MEDANG DERAS DISTRICT OF
BATUBARA
ABSTRACT
The diversity of Macrozoobenthic in Downstream of Padang River Subdistrict of Medang Deras Distrisct of Batubara, has been observed.The sample was taken from five stations of observation, fourteen replications were conducted in each station. The point of sampling was determined by using Purposive Sampling Method. The samples was taken by using surber net and the sample was then identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science, University of North Sumatera, Medan. The result of research indicated 13 genus of macrozoobenthic consisting of 11 families, 7
orders, and 5 class. The highest density was found in genus of Faunus, 191,11 ind/m2
(station I), and. The lowest was found in genus of Cardisoma, Mactra sp2, and
Rhabdolaimus, 0,74 ind/m2. The highest diversity index of macrozoobenthic was
found in station 5, about 1,51 and the lowest one was in station 4, about 0,51. The
highest uniformity index (E) was found in station 2, about 0,96 and the lowest one was in station 4, about 0,37.
(16)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sungai adalah salah satu ekosistem perairan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik oleh aktivitas alam maupun aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS). Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan yang jatuh diatas permukaan bumi dalam perjalanannya sebagian kecil menguap dan sebagian besar mengalir dalam bentuk-bentuk kecil, kemudian menjadi alur sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar atau utama. Dengan demikian dapat dikatakan sungai berfungsi menampung curah hujan dan mengalirkannya ke laut (Loebis et al., 1993, hlm: 3).
Sungai Padang merupakan aliran sungai yang terbentang mulai dari kabupaten Simalungun dengan hulu sungai Gunung Simbolon dengan luas DAS sungai Padang sekitar 126.163 hektar. Wilayah DAS Padang berasal dari empat anak sungai masing-masing sungai padang memiliki beragam penggunaan lahan Bahilang dan sungai Sibaran. Kawasan DAS Padang memiliki beragam penggunaan lahan dimulai dari wilayah Simalungun yang masih ditumbuhi vegetasi hutan dan juga merupakan lahan perkebunan rakyat, perkebunan pemerintah maupun kebun campuran, pengerukan pasir, kawasan pemukiman penduduk, dan juga dermaga perahu nelayan. (http//www.bappenas.go.id).
Pada umumnya aktivitas manusia yang mempengaruhi ekosistem sungai meliputi kegiatan pertanian, perkebunan pemukiman, industri, dan lain sebagainya, secara langsung atau tidak langsung sampah atau limbah pertanian, pemukiman dan industri yang masuk ke sungai dapat mengakibatkan perubahan terhadap sifat fisika,
(17)
kimia maupun sifat biologi sungai yang akan berpengaruh terhadap organisme, salah satunya adalah benthos (Wargadinata, 1995, hlm: 67).
Benthos merupakan organisma air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan (Odum, 1994, hlm : 394). Berdasarkan ukuran tubuhnya, benthos dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, makrobenthos (>2mm), meiobenthos (0,2-2 mm), dan mikrobenthos (<0,2 mm). Berdasarkan sifat hidupnya, benthos dibedakan menjadi fitobenthos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos yang bersifat hewan. Umumnya makrozoobenthos yang sering dijumpai di suatu perairan adalah dari taksa Crustacea, Moluska, Insekta, dan sebagainya (Barus, 2004, hlm: 33-34).
Benthos merupakan komponen yang sangat penting dalam jaring-jaring makanan di suatu perairan, dimanfaatkan sebagai makanan bagi konsumen yang lebih tinggi, misalnya burung, ikan, dan lain-lain. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa bentos yang hidup di daerah estuari memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan ikan di daerah tersebut, karena ikan-ikan muda mengkonsumsi organisme benthos di zona pasang surut. Kehidupan bentos di dasar perairan sudah teradaptasi sedemikian rupa walaupun tekanan lingkungan alamiah sudah cukup menghalangi untuk kehidupan organisme lain (Hendrasarie, 2001, hlm : 130-131).
Beragamnya aktivitas di Sungai Padang perlu diperhatikan kondisinya terhadap lingkungan dan masyarakat. Aktivitas tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi makrozoobenthos yang selam ini belum pernah diketahui. Sehubungan
dengan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian tentang Keanekaragaman
Makrozoobenthos di Hilir Sungai Padang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.
(18)
1.2 Permasalahan
Hilir sungai Padang kabupaten Batubara banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai kegiatan, seperti domestik, pertanian, perkebunan, pengerukan pasir, dan juga dermaga kapal nelayan. Beragamnya aktivitas manusia ini akan mempengaruhi faktor fisik kimia perairan, sehingga secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap keanekaragaman makrozoobenthos. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman makrozoobenthos di hilir Sungai Padang tersebut.
1.3Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos di hilir Sungai Padang.
b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia terhadap keanekaragaman
makrozoobentos di hilir Sungai Padang.
1.4Hipotesis
a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada beberapa lokasi di
hilir Sungai Padang.
b. Terdapat hubungan faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman
makrozoobenthos di hilir Sungai Padang.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos di hilir
Sungai Padang.
b. Memberikan informasi yang berguna bagi pihak yang membutuhkan tentang
(19)
BAB 2
BAHAN DAN METODE
2.1 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel
makrozoobenthos adalah Purposive Sampling pada lima stasiun pengamatan. Pada
masing-masing stasiun dilakukan 15 kali ulangan pengambilan sampel yaitu 5 ulangan pada setiap pinggiran sungai dan 5 ulangan pada bagian tengah sungai.
2.2 Deskripsi Area
Disepanjang hilir sungai Padang banyak terdapat aktifitas manusia, diantaranya adalah: kawasan perkebunan, pengerukan pasir, limbah rumah tangga (domestik), dan dermaga kapal-kapal nelayan bersandar. Banyaknya aktifitas manusia ini akan mempengaruhi faktor fisik kimia perairan yang juga akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos.
Di kawasan hilir sungai ini juga ditemukan muara sungai yang merupakan tempat bertemunya antara air sungai dengan air laut. Pada hilir sungai ini pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun sebagai berikut:
(20)
2.2.1 Stasiun 1
Daerah ini merupakan kawasan perkebunan sawit. Kawasan ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh pupuk di sekitar perkebunan. Secara geografis stasiun ini
terletak pada 030 21’ 45,6” LU – 0990 24’ 20,4” BT. Substrat pada stasiun ini
merupakan lumpur berpasir. Kedalaman berkisar antara 30 cm-150 cm, vegetasi disekitar pinggiran sungai berupa rumput-rumputan dan sawit.
Gambar 2.1 Foto areal penelitian pada stasiun 1 (kawasan perkebunan)
2.2.2 Stasiun 2
Stasiun ini merupakan tempat pengerukan pasir dengan menggunakan mesin sederhana. Mesin sederhana tersebut menggunakan air sebagai pendingin dan akan
membuangnya kembali ke badan sungai. Secara geografis terletak diantara 030 22’
01,00” LU- 0990 24’ 32,1” BT. Substrat pada stasiun ini merupakan lumpur berpasir.
Kedalaman berkisar 100 cm- 300 cm, vegetasi di sekitar pinggiran sungai berupa rumput-rumputan.
(21)
Gambar 2.2 Foto areal penelitian pada stasiun 2 (kawasan pengerukan pasir)
2.2.3 Stasiun 3
Di sekitar pinggiran sungai terdapat kawasan pemukiman penduduk dan juga sebagai tempat mandi, menyuci, dan kakus. Kawasan ini banyak ditemukan limbah organik rumah tangga. Secara geografis terletak diantara 030 22' 22,3" LU dan 0990 24' 42,1" BT. Substrat pada stasiun ini merupakan lumpur berpasir. Kedalaman berkisar antara 30 cm-150 cm. Vegetasi di sekitar pinggiran sungai berupa rumput-rumputan.
(22)
2.2.4 Stasiun 4
Pada stasiun ini terdapat dermaga kapal para nelayan bersandar. Pada kawasan dermaga ini banyak ditemukan limbah minyak dari kapal para nelayan. Secara geografis stasiun ini berada diantara 030 22' 32,7" LU - 0990 24' 48,9" BT. Substrat pada stasiun ini merupakan lumpur berpasir. Kedalaman berkisar 40 cm-150 cm, vegetasi di sekitar pinggiran sungai berupa rumput-rumputan.
Gambar 2.4 Foto areal penelitian pada stasiun 4 (kawasan dermaga)
2.2.5 Stasiun 5
Daerah ini merupakan muara sungai, dimana air tawar bertemu air laut (estuaria). Daerah ini dipengaruhi oleh gelombang pasang surut dan termasuk
kawasan perairan payau. Secara geografis terletak diantara 03⁰ 22’ 33,1” LU - 099⁰
24’ 48,3” BT. Substrat pada stasiun ini adalah lumpur berpasir. Kedalaman berkisar antara 30 cm-120 cm, vegetasi di sekitar pinggiran sungai berupa mangrove umumnya
(23)
Gambar 2.5 Foto areal penelitian pada stasiun 5 (kawasan muara sungai)
2.3 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan surber net yang diletakkan di dasar sungai dan dikeruk substratnya. Sampel yang didapat disortir dari
substrat dengan menggunakan Metode Hand Sortir, selanjutnya dibersihkan dengan
air dan dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label, selanjutnya diidentifikasi sampel di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku acuan identifikasi seperti Edmonson (1963), Pennak (1978), dan Dharma (1988; 2005).
2.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:
a. Temperatur
Diukur suhu dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air hingga skala konstan kemudian dibaca skalanya.
(24)
b. pH (Derajat Keasaman)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan ujung pH meter ke dalam sampel air yang diambil sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
c. DO (Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode winkler. Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).
d. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air yang diambil dengan menggunakan botol alkohol. Sampel tersebut diinkubasi selama 5 hari kemudian dilakukan pengukuran kadar oksigennya. Bagan kerja terlampir (Lampiran B).
e. COD (Chemycal Oxygen Demand)
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).
f. Kandungan Organik Substrat
Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven
dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substart yang kering
digerus di lumpang dan dimabukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1
jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditmbang 25 gr
(25)
substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:
KO = x100%
A B A−
dengan:
KO = Kandungan organik
A = Berat konstan substrat
B = Berat abu
Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran D).
g. Kejenuhan Oksigen
Harga Kejenuhan Oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kejenuhan = x100
[t] ] [
O
2 2 uO
%Dimana: O2 [u] = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 [t] = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel) sesuai dengan temperatur. (Lampiran E).
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.4.1.
Tabel 2.4.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
No. Parameter
Fisik – Kimia Satuan Alat
Tempat Pengukuran 1 Temperatur Air 0C Termometer Air Raksa In-situ
2 pH air - pH meter air In-situ
3 Kecepatan Arus m/det Stopwatch, Gabus, dan Meteran In-situ
4 DO mg/l Metoda Winkler In-situ
5 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium
6 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium
7 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium
(26)
2.5 Analisis Data
Data makrozoobenthos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, dan analisis korelasi dengan persamaan menurut Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi (K)
K = sampel unit jenis suatu individu Jumlah
b. Kepadatan Relatif (KR)
KR = x100%
Jenis Seluruh Kepadatan Jumlah Jenis Suatu Kepadatan
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
FK = x100%
ulangan total Jumlah jenis suatu ditempati yang ulangan Jumlah
dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang
25 – 50% = jarang
50 – 75% = sering
> 75% = sangat sering
d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)
H’= -
∑
pilnpidimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner
pi = proporsi spesies ke-i
In = logaritma nature
pi = Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan
keseluruhan jenis)
dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah
2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang
H’>6,907 = keanekaragaman tinggi
Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wienner (H’), dimana:
(27)
Dengan nilai H’: > 2,0 = Tidak Tercemar 1,6-2,0 = Tercemar Ringan 1,0-1,6 = Tercemar Sedang < 1,0 = Tercemar Berat/Parah
e. Indeks Equitabilitas (E)
Indeks equitabilitas (E) =
max H
H'
dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner
H maks = keanekaragaman spesies maksimum
= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1
f. Indeks Similaritas (IS)
IS = x100%
b a
2c +
dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b
c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila: IS = 75 – 100% : sangat mirip
IS = 50 – 75% : mirip
IS = 25 – 50% : tidak mirip
IS = ≤ 25% : sangat tidak mirip
g. Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan (%) = x100
[t] O2 ] [ 2 u O %
Dimana: O2 [u] = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 [t] = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel) sesuai dengan
(28)
h. Analisis Korelasi
Analisis korelasi dianalisa menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.14.00. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia dengan keanekaragaman benthos.
Bila interval koefisien 0,00-0,199 : sangat rendah
0,20-0,399 : rendah
0,40-0,599 : sedang
0,60-0,799 : kuat
(29)
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Parameter Biotik
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 5 (lima) stasiun di Hilir Sungai Padang diperoleh makrozoobenthos sebanyak 13 genus yang termasuk ke dalam 11 famili , 7 ordo, dan 5 kelas, seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Hilir Sungai Padang
Kelas Ordo Famili Genus Stasiun
1 2 3 4 5
1. Adhenoporea 1. Chromadorida 1. Plectidae 1. Rhabdolaimus 1 - - - - 2. Bivalvia 2. Eulamellibranchia 2. Donacidae 2. Donax - - - - 2 3. Mactridae 3. Mactra - - - - 3 4. Tellinidae 4. Psammotreata - - - - 6 5. Unionidae 5. Fusconaia 33 26 9 - 7 3. Crustacea 3. Decapoda 6. Gecarcinidae 6. Cardisoma - - 1 - - 4. Gastropoda 4. Archaegastropoda 7. Neritidae 7. Clithon - 49 - - -
8. Nerita - - 3 5 6
5. Mesogastropoda 8. Potamididae 9. Cerithidea - - - - 3 9. Thiaridae 10.Faunus 56 22 230 258 4
11.Melanoides 3 20 120 38 24
6. Neogastropoda 10.Buccinidae 12.Pisania - - - - 10 5. Polychaeta 7. Errantia 11.Nereididae 13.Nereis - - - 3 78
Jumlah jenis 4 4 5 4 10
Jumlah individu 93 117 363 304 153
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa makrozoobenthos yang terbanyak adalah dari kelas Gastropoda, yaitu sebanyak 6 genus yang terdapat di seluruh stasiun penelitian, dengan jumlah individu terbanyak adalah pada stasiun 3, yaitu sebanyak 350 individu dan jumlah inidividu yang paling sedikit terdapat pada stasiun 1 sebanyak 59 individu. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia di perairan ini dapat mendukung kehidupannya, seperti suhu dan pH (Tabel 3.2). Suhu dan pH sangat berperan penting
dalam metabolisme gastropoda. Suhu yang ideal berkisar antara 26-300 C, sedangkan
(30)
Menurut Koesbiono (1979), temperatur air sangat mempengaruhi aktivitas fisiologis dari hewan gastropoda. Perlu diketahui bahwa hewan gastropoda mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap nilai temperatur air. Umumnya
hewan gastropoda hidup di perairan dengan temperatur 25-300 C. Sedangkan untuk
nilai pH, Sinaga (2009) menyatakan bahwa pH yang ideal bagi kehidupan gastropoda pada umumnya adalah 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme tersebut karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme.
Terdapat juga jenis gastropoda yang hanya ditemukan pada stasiun 2, yaitu
genus Clithon sebanyak 49 individu. Hal ini disebabkan hewan tersebut menyukai
habitat berlumpur yang banyak terdapat sampah organik dan memiliki nilai BOD yang besar. Sehingga diduga bahwa hewan tersebut memanfaatkan sampah organik sebagai
nutrisinya. Menurut Haynes (2005), Clithon merupakan gastropoda yang
menghabiskan seluruh siklus hidupnya di air tawar dan sedikit tergenang dan sebagian pada lumpur air payau. Genera ini tersebar luas di daerah tropis, umumnya memiliki papilla dan bersifat detritus pada substrat.
Ada beberapa jenis makrozoobenthos yang hanya diperoleh pada stasiun 5
(muara sungai), yaitu Donax, Mactra, Psammotreata, dan Cerithidea. Hal ini
dikarenakan hewan tersebut merupakan makrozoobenthos yang umumnya terdapat di daerah pasang surut dan memiliki salinitas yang cukup tinggi dan juga DO yang tidak terlalu tinggi. Hewan-hewan tersebut dapat ditemukan pada muara sungai karena pada saat pasang terjadi, hewan ini akan terbawa oleh gelombang air laut menuju pesisir pantai dan muara sungai.
Demikian juga dengan kelas lainnya yang memiliki jumlah genus sedikit seperti Adhenoporea, Crustacea, dan Polychaeta juga masih dapat mentolerir faktor fisik kimia yang terdapat di perairan tersebut. Khususnya pada Crustacea dan Polychaeta yang cukup mampu beradaptasi hidup di dalam substrat.
Makrozoobenthos yang tergolong ke dalam kelas Adhenoporea adalah
(31)
dapat disebabkan karena hewan tersebut dapat hidup di daerah pasir berlumpur dengan kadar organik yang tinggi dan juga memiliki salinitas yang rendah. Menurut Voronov & Panchin (1998), kelas Adhenoporea merupakan salah satu kelas dari filum Nematoda. Kebanyakan anggota dari kelas Adhenoporea terdapat di air payau dan sedikit pada air laut. Hewan ini hidup di dalam substrat yang berlumpur dan mengandung bahan organik yang tinggi, ada juga beberapa termasuk hewan parasit.
Jenis crustacea juga ditemukan pada lokasi penelitian, dan hanya terdapat pada stasiun 3 dengan jumlah 1 individu. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut memiliki
suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 260C dan cukup banyak ditemukan
sampah-sampah organik yang dapat digunakan oleh hewan tersebut dalam perlindungan dirinya dan juga kebutuhan metabolismenya. Menurut Martin & Davis (2001), umumnya kelompok Crustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya, yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur. Crustacea adalah kelas organisme di bawah filum Arthropoda, yang meliputi kepiting, lobster, teritip dan udang. Kelas Crustacea banyak dijumpai di perairan yang payau hinga laut dan membenamkan dirinya di dalam substrat yang mengandung lumpur untuk melindungi diri.
Pada lokasi penelitian juga ditemukan makrozoobenthos yang termasuk ke dalam Polychaeta. Jenis ini banyak ditemukan pada stasiun 5, yaitu sebanyak 78 individu dan pada stasiun 4 sebanyak 3 individu. Hal ini karena lokasi tersebut merupakan daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga dapat meningkatkan salinitas perairan tersebut dan oksigen terlarut yang tidak terlalu tinggi dikarenakan hewan ini suka membenamkan dirinya di dalam substrat perairan. Kondisi perairan seperti ini merupakan habitat yang cocok bagi polychaeta tersebut.
Menurut Costa et. al. (2006), polychaeta merupakan hewan bentik yang umum
dijumpai di daerah pasang surut. Polychaeta tersegmentasi dengan bulu atau bantalan-bantalan. Cacing yang termasuk kelas ini biasanya hewan yang paling melimpah hidup dalam pasir dan lumpur di tepi pantai. Cacing ini tidak bisa sering terlihat di permukaan tetapi kadang-kadang mereka mungkin membuat tanda-tanda halus dan jejak kehadiran mereka. Hanya beberapa dapat ditemukan terpapar pada permukaan batu telanjang.
(32)
Jumlah individu makrozoobenthos yang terbanyak terdapat di stasiun 3 sebanyak 363 individu dan jumlah yang paling sedikit terdapat di stasiun 1 sebanyak 93 individu. Hal ini dikarenakan stasiun 3 merupakan lokasi yang lebih cocok untuk mendukung kehidupan makrozoobenthos tersebut, seperti oksigen terlarut yang tinggi dan juga kejenuhan oksigen (Tabel 3.2). Oksigen sangat dibutuhkan oleh makrozoobenthos dalam proses respirasi dan aktivitas metabolisme lainnya.
3.1.1 Nilai Kepadatan Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos
Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.1 berikut:
Tabel 3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian
Dari Tabel 3.1.1 diketahui bahwa nilai K dan KR tertinggi pada stasiun 1 pada genus
Faunus dengan nilai 39,26 ind/m2 dan 54,64 %, sedangkan yang terendah pada genus
Rhabdolaimus dengan nilai 0,74 ind/m2 dan 1,03%. Nilai FK tertinggi pada genus
Fusconaia dengan nilai 80% dan terendah pada genus Melanoides dan Rhabdolaimus
dengan nilai 6,6%. Besarnya nilai K dan KR Faunus dikarenakan nutrisi yang
dibutuhkan sangat mendukung pertumbuhannya, seperti kelarutan oksigen dan
kecepatan arus (Tabel 3.2). Menurut Dharma (1988), genus Faunus merupakan siput
air tawar, umumnya di muara sungai dan perairan yang tenang, sebagian di daerah
Genera Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
Cardisoma - - - 0,74 0,28 6,66 - - - -
Cerithidea - - - 2,22 1,97 13,33
Clithon - - - 30,37 38,68 46,66 - - - -
Donax - - - 1,48 1,32 6,66
Faunus 39,26 54,64 60 16,30 20,75 26,66 159,26 61,08 80 191,11 84,87 100 2,96 2,63 13,33
Fusconaia 29,63 41,24 80 12,59 16,04 53,33 6,67 2,56 26,66 - - - 5,19 4,61 20
Mactra sp1 - - - 1,48 1,32 6,66
Mactra sp2 - - - 0,74 0,66 6,66
Melanoides 2,22 3,09 6,66 19,26 24,53 33,33 91,85 35,23 86,66 28,15 12,50 40 17,78 15,79 26,66
Nereis - - - 2,22 0,99 6,66 64,44 57,24 73,33
Nerita - - - 2,22 0,85 13,33 3,70 1,64 6,66 4,44 3,95 13,33
Pisania - - - 7,41 6,58 33,33
Psammotreata - - - 4,44 3,95 33,33
Rhabdolaimus 0,74 1,03 6,66 - - - -
(33)
pasang surut. Cangkangnya berukuran kecil antara 6-8,5 cm, bentuk cangkangnya memanjang. Termasuk hewan herbivorus dan ovoviviparus.
Pada stasiun 2 nilai K dan KR tertinggi pada genus Clithon dengan nilai 30,37
ind/m2 dan 38,68%, sedangkan yang terendah pada genus Fusconaia dengan nilai
12,59 ind/m2 dan 16,04%. Nilai FK tertinggi pada genus Fusconaia dengan nilai
53,33% dan terendah pada genus Faunus dengan nilai 33,33%. Besarnya nilai K dan
KR Clithon disebabkan oleh nutrisi dan sampah organik yang sesuai untuk pertumbuhannya sehingga cukup banyak dan ditemukan hanya pada stasiun ini.
Menurut Dharma (1988), genus Clithon termasuk gastropoda yang umum ditemukan
di muara sungai dan daerah pasang surut. Ukuran cangkang kecil (0,8-1 cm) dan termasuk herbivorus. Hal ini didukung oleh Haynes (2005), menyatakan bahwa
Clithon merupakan gastropoda yang menghabiskan seluruh siklus hidupnya di air tawar dan sedikit tergenang dan sebagian pada lumpur air payau. Genera ini tersebar luas di daerah tropis, umumnya memiliki papilla dan bersifat detritus pada substrat.
Pada stasiun 3 nilai K dan KR tertinggi pada genus Faunus dengan nilai
159,26 ind/m2 sedangkan terendah pada genus Cardisoma dengan nilai 0,74 ind/m2
dan 0,8 %. Nilai FK tertinggi pada genus Melanoides dengan nilai 80% dan terendah
pada genus Cardisoma dengan nilai 6,66%. Besarnya nilai K dan KR genus Faunus
dikarenakan faktor biotik dan abiotik pada stasiun ini cukup mendukung pertumbuhannya, seperti kelarutan oksigen yang tinggi dan kejenuhan oksigen (Tabel 3.2) yang sangat dibutuhkan oleh hewan tersebut dalam proses respirasi dan metabolisme lainnya.
Pada stasiun 4 nilai K dan KR, FK tertinggi terdapat pada Faunus dengan
masing-masing nilai 191,11 ind/m2, 84,86% dan 100% sedangkan yang terendah pada
genus Nereis dengan masing-masing nilai 2,22 dan 0,99 %. dan 6,66%. Sama halnya
seperti stasiun 3, faktor abiotik untuk pertumbuhan genus ini sangat mendukung, terutama kelarutan oksigen dan kejenuhan oksigen yang masih relatif tinggi dan tidak berbeda jauh dengan stasiun 3.
(34)
Pada stasiun 5 nilai K, KR dan FKtertinggi pada genus Nereis dengan
masing-masing nilai 64,44 ind/m2, 57,24 % dan 73,33%. Nilai K dan KR terendah dimiliki
oleh genus Mactra sp2 dengan nilai 0,74 ind/m2 dan 0,66 % sedangkan FK terendah
pada genus Donax dengan nilai 6,66%. Besarnya nilai kepadatan Nereis dikarenakan
faktor lingkungan yang merupakan daerah pasang surut sangat mendukung pertumbuhannya, termasuk substrat berlumpur dan memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada stasiun yang lainnya karena terjadi pencampuran air dan substrat saat
gelombang pasan dan surut yang sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Costa et al.
(2006), genus Nereis tersebar luas di muara sungai dan daerah pasang surut dan
menunjukkan toleransi fisiologis tinggi untuk variasi faktor lingkungan yang ekstrim, dapat tumbuh dan bereproduksi dalam jenis sedimen yang berbeda dan dalam menekankan lingkungan. Pada umumnya kelompok ini lebih cepat beradaptasi dengan kondisi bahan organik tinggi. Genus ini memiliki kapasitas yang luas mengenai ukuran makanan yang ia makan, yang berkisar dari makrozoobentos, diatom mikro, untuk bahan organik terfragmentasi termasuk detritus. Jenis ini dapat juga menggunakan strategi yang berbeda untuk menangkap makanannya, menangkap makanan pada permukaan sedimen.
Genus Faunus dan Melanoides sangat dominan muncul hampir pada setiap
stasiun penelitian. Jumlahnya lebih sedikit ditemukan pada stasiun 5 (muara sungai). Hal ini disebabkan oleh faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun tersebut cocok untuk pertumbuhannya, seperti pH, DO, dan kecepatan arus. Berkurangnya jumlah genus ini pada stasiun 5 dikarenakan pada stasiun tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang-surut sehingga kawasan tersebut memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan salinitas tersebut akan mempengaruhi
pertumbuhan genus tersebut. Menurut Francis et all. (2011), genus Faunus dan
Melanoides merupakan gastropoda yang hidup di hilir sungai dengan sedikit pengaruh payau. Periostracum melindungi shell dari lingkungan yang asam habitatnya. Radula yang kuat menunjukkan bahwa genus ini adalah herbivorus.
Genus Rhabdolaimus merupakan salah satu genus yang ditemukan hanya pada
stasiun 1 (kawasan perkebunan). Hal ini mungkin dikarenakan genus ini memiliki habitat yang banyak terkandung bahan organik pada substrat yang dibutuhkannya
(35)
sebagai sumber nutrisi. Menurut Peters (2005), Rhabdolaimus merupakan jenis nematoda yang hidupnya di perairan pada substrat lumpur yang sedikit keras. Umumnya hidup pada daerah yang oligotrofik dan dangkal.
Genus Cerithidea, Donax, Mactra, Pisania, dan Psammotreata merupakan
jenis moluska yang habitatnya di perairan payau hingga laut. Genus ini ditemukan hanya pada stasiun 5 (kawasan muara sungai). Kawasan ini termasuk daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga memungkinkan adanya pencampuran substrat dan biota juga dapat terbawa oleh gelombang tersebut. Menurut Laxmilatha (2009), genera tersebut merupakan jenis moluska laut yang ditemukan di zona ombak pantai berpasir yang terbuka. Merupakan kelompok hewan filter feeder, memiliki bentuk cangkang sangat bervariasi, umumnya subtriangular, subovate, atau oval.
Genus Cardisoma adalah salah satu genus yang hanya terdapat di stasiun 3
(daerah pemukiman penduduk). Hal ini dikarenakan kondisi substrat pada stasiun ini cocok untuk kehidupan genus tersebut, yang merupakan kawasan yang cukup banyak
tumpukan semak dan sampah organik lain. Menurut Miculka (2009), Cardisoma
merupakan kepiting tanah yang hidupnya di dalam liang di sekitar wilayah pesisir. Hidupnya di dalam lubang tanah, atau semak-semak, serasah tanah, sampah tumpukan yang berada di sekitar padang rumput pantai. Koloninya ditemukan di dekat air payau dan biasanya dekat outlet sungai ke laut.
3.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)
Indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 3.1.2 berikut:
Tabel 3.1.2 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Setiap Stasiun Penelitian
Indeks STASIUN
1 2 3 4 5
H’ 0,85 1,33 0,82 0,51 1,51
(36)
Dari tabel 3.1.2 diketahui bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 1,51 dan nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,51. Tingginya keanekaragaman pada stasiun ini disebabkan oleh faktor fisik kimia perairan yang mendukung bagi pertumbuhan makrozoobenthos, seperti pH, DO, dan kandungan organik substrat (Tabel 3.2). Selain itu juga dikarenakan sebagian makrozoobenthos yang habitatnya di muara sungai dipengaruhi oleh gelombang pasang dan juga surut. Sehingga pada saat terjadi gelombang pasang, secara tidak langsung juga substrat pada stasiun ini akan mengalami pencampuran.
Menurut Soegianto (1994) dalam Handayani (2005), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas itu terjadi interaksi jenis yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer energi (jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks.
Berdasarkan indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut tergolong ke dalam perairan yang tercemar sedang hingga tercemar berat. Ini disebabkan oleh banyaknya bahan pencemar yang masuk ke badan perairan tersebut dan beragamnya aktivitas masyarakat di sekitar perairan tersebut.
Sedangkan pada indeks keseragaman, nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,96 dan nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,37. Tingginya nilai keseragaman sangat dipengaruhi oleh banyaknya makanan dan persebarannya yang kurang merata sehingga menyebabkan terjadinya pengelompokan makrozoobenthos yang sejenis.
Menurut Odum (1993) dalam Setiawan (2009), tipe substrat akan sangat
(37)
adalah faktor utama yang mengendalikan distribusi benthos. Adaptasi terhadap substrat akan menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme benthos terhadap suhu, salinitas serta faktor kimia lainnya. Karakter dasar suatu perairan yang sangat menentukan penyebaran makrozoobenthos adalah substrat dasar perairan seperti lumpur, pasir, liat, berkerikil, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi makrozoobenthos. Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah.
3.1.3 Indeks Similaritas (IS)
Nilai indeks similaritas pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.3 sebagai berikut:
Tabel 3.1.3 Nilai Indeks Similaritas pada Setiap Stasiun Penelitian
IS (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Stasiun 1 75 66,66 50 40
Stasiun 2 66,66 50 40
Stasiun 3 66,66 50
Stasiun 4 53,33
Stasiun 5
Dari Tabel 3.1.3 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa indeks similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 40% - 75%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai IS yang mempunyai kriteria kemiripan tertinggi adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 2. Sedangkan stasiun yang kemiripan terendah adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 5 dan stasiun 2 dengan stasiun 5. Kemiripan ini disebabkan karena faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun tersebut. Kondisi yang hampir sama menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut.
(38)
Menurut Krebs (1985, hlm: 525), indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobenthos yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makrozoobenthos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobenthos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut. Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.
3.2 Parameter Abiotik
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian
No Parameter Satuan Stasiun
1 2 3 4 5
1 Temperatur Air °C 28 30 26 27 26
2 pH Air - 7,6 7,6 7,6 7,6 7,3
3 Kecepatan Arus m/s 0,61 0,46 0,41 0,41 0,40
4 DO mg/l 6,3 6,4 7 6,7 6,2
5 Kejenuhan
Oksigen % 81,3 84,9 87,6 85,2 77,6
6 BOD5 mg/l 0,9 2,2 1,9 2,3 1,8
7 COD mg/l 2,32 3,10 3,88 4,49 5,43
8 Kandungan
Organik Substrat % 5,78 3,21 1,92 1,28 0,64
9 Substrat Dasar - Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Perkebunan Sawit Stasiun 2: Daerah Pengerukan Pasir Stasiun 3: Daerah Pemukiman Penduduk Stasiun 4: Daerah Dermaga Kapal Nelayan Stasiun 5: Muara Sungai
(39)
3.2.1 Temperatur Air
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa temperatur air pada kelima stasiun penelitian berkisar 26-30°C, dengan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 30°C dan terendah pada stasiun 3 dan stasiun 5 sebesar 26°C. Tingginya suhu pada stasiun 2 disebabkan karena stasiun ini merupakan lokasi pengerukan pasir dengan menggunakan mesin sederhana, sehingga akibat dari aktifitas tersebut dapat menyebabkan meningkatnya suhu di perairan tersebut dan akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos.
Menurut Brehm & Meijering (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa
suhu perairan dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembuangan limbah panas yang berasal dari mesin suatu pabrik dan penggundulan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air langsung terkena cahaya matahari secara langsung.
3.2.2 pH (Derajat Keasaman)
Derajat keasaman atau kebasaan (pH) pada setiap stasiun penelitian berkisar 7,3-7,6. pH pada stasiun 1 sampai dengan stasiun 4 masing-masing adalah 7,6. Sedangkan pH yang terendah terdapat pada stasiun 5 dengan nilai 7,3. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan
makrozoobenthos. pH sangat berperan penting di dalam metabolisme
makrozoobenthos.
Menurut Sinaga (2009), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya adalah 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme.
(40)
3.2.3 Kecepatan Arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun penelitian berkisar 0,40-0,61 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,61 m/s dan terendah pada stasiun 5 yaitu 0,40 m/s. Rendahnya nilai kecepatan arus pada stasiun 5 disebabkan karena stasiun tersebut merupakan muara sungai yang merupakan tempat bertemunya antara air sungai dengan air laut. Kecepatan arus akan mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos. Kecepatan arus yang tinggi dapat menyebabkan pencacahan yang tinggi bagi makrozoobenthos.
Menurut Mulyanto (2007, hlm: 67), makin ke hilir kelandaian air akan makin kecil. Daya gerus terhadap dasar akan berkurang dan konsentrasi sedimen yang dikandungnya cukup besar dengan akibat kapasitas transport aliran akan mengecil dan sedimen yang terbawa dari hulu akan mengendap.
3.2.4 Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari kelima stasiun penelitian berkisar antara 77,6% - 87,6%. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 87,6% dan terendah pada stasiun 5 sebesar 77,6%. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 3 berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut
sebesar 260C. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit,
sehingga mampu mendukung pertumbuhan makrozoobenthos.
Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Disamping pengukuran konsentrasi, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak (Barus, 2004, hlm: 58-59).
(41)
3.2.5 DO (Dissolved Oxygen)
Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari kelima stasiun penelitian berkisar 6,2-7,0 mg/l. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 6,2-7,0 mg/l dan terendah pada stasiun 5 sebesar 6,2 mg/l. Tingginya DO pada stasiun 3 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat limbah organik yang tidak terlalu tinggi, sehingga jumlah oksigennya tidak terlalu rendah. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh organisme, termasuk juga makrozoobenthos dalam metabolisme tubuh, sehingga daerah yang oksigen terlarutnya tinggi akan mendukung keberlangsungan hidup organisme tersebut.
Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali-kali di berbagai lokasi. Penentuan yang dilakukan di lokasi pabrik akan lain hasilnya daripada lokasi yang jauh dari pabrik. Sumber pencemar domestik lebih mudah diuraikan daripada pencemar non-domestik, seperti pabrik, industri, pertanian, dan sumber lainnya (Kristanto, 2002, hlm: 78;96).
Menurut Sinambela (1994) dalam Sinaga (2009), kehidupan makrozoobentos
di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal 2 mg/l. Berdasarkan baku mutu air menurut PP Nomor 82 Tahun 2001 batas minimum DO yang diperbolehkan yang masih layak digunakan adalah 4 mg/l.
3.2.6 BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)
Nilai BOD5 pada kelima stasiun penelitian berkisar 0,9-2,3 mg/l, dengan nilai tertinggi
terdapat pada stasiun 4 sebesar 2,3 mg/l dan nilai terendah pada stasiun 1 dan 5
sebesar 0,9 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian disebabkan
oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai
oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5
pada stasiun 4 (dermaga kapal nelayan) diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik dan juga limbah minyak kapal nelayan yang sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme pada lokasi tersebut. Sedangkan pada stasiun 1 yang merupakan
(42)
lokasi perkebunan sawit nilai BOD5 lebih rendah yaitu sebesar 0,9 mg/l karena
limbah organiknya tidak terlalu tinggi. Nilai BOD5 yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya defisit oksigen, sehingga akan mengganggu metabolisme makrozoobenthos.
Menurut Barus (2004, hlm: 66) nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian senyawa
organik, biasanya pada suhu 200 C. Penentuan oksigen terlarut merupakan dasar utama
dalam pengukuran BOD. Pengukuran BOD umum dilakukan selama 5 hari (BOD5).
3.2.7 COD (Chemical Oxygen Demand)
Nilai COD yang didapatkan dari kelima stasiun penelitian berkisar antara 2,32 mg/l sampai dengan 5,43 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 5, 43 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 2,32 mg/l. Tingginya nilai COD pada stasiun 5 disebabkan karena tingginya akumulasi limbah dan tidak menutup kemungkinan adanya masukan limbah yang berasal dari industri yang
pembuangannya ke laut, sehingga pada saat pasang akan bercampur dengan air sungai pada bagian muara. Banyaknya limbah dan senyawa kimia lainnya akan menjadi senyawa toksik bagi makrozoobenthos.
Menurut Sinaga (2009), COD erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD tetapi senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air, karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan. Untuk itulah tujuan diadakannya uji COD.
3.2.8 Kandungan Organik Substrat
Nilai kandungan organik yang didapatkan pada kelima stasiun penelitian berkisar 0,64% - 5,78% , dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun 1 sebesar 5,78 % dan terendah pada stasiun 5 sebesar 0,64 %. Tingginya kadar organik pada stasiun 1 karena pada stasiun tersebut merupakan daerah perkebunan sawit yang secara tidak
(43)
langsung sisa pupuk organik akan masuk ke badan perairan. Organik substrat merupakan salah satu nutrisi bagi makrozoobenthos.
Menurut Ramli (1989) dalam Darojah (2005), tipe substrat dasar ikut
menentukan jumlah dan jenis hewan bentos disuatu perairan. Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa lumpur. Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini.
Hal ini juga didukung oleh Razak (2002, hlm: 64) menyatakan bahwa pada substrat berpasir kandungan oksigen lebih tinggi dibandingkan substrat berlumpur, sebaliknya substrat berlumpur kandungan nutrien lebih tinggi dibandingkan dengan substrat berpasir. Berdasarkan informasi itu dapat dikatakan bahwa kombinasi tempat hidup yang ideal bagi hewan bentos adalah kombinasi lumpur dan pasir.
3.3 Analisis Korelasi Pearson Komputerisasi Ver. 14.00
Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman makrozoobenthos dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini:
Tabel 3.3 Nilai Analisis Korelasi Keaanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
Temperatur pH Kecepatan
arus DO
Kejenuhan
oksigen BOD COD
Kadar organik substrat H’ +0,184 -0,694 -0,136 -0,646 -0,594 +0,004 +0,239 -0,153
Dari tabel 3.3 di atas menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman (H’) berbeda tingkat korelasi dan juga arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman (H’), yaitu
(44)
seperti pada temperatur, BOD, dan COD. Hal ini berarti bahwa semakin besar nilai faktor fisik kimia tersebut, maka akan meningkatkan nilai indeks keanekaragaman pada batas toleransi yang masih dapat ditolerir. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan antara nilai faktor fisik kimia dengan nilai indeks keanekaragaman, dalam arti bahwa semakin tinggi nilai faktor fisik kimia maka akan semakin rendah nilai indeks keanekaragaman (H’) pada kondisi yang masih dapat ditolerir juga. Hal ini dapat dilihat pada nilai pH, kecepatan arus, DO, kejenuhan oksigen, dan kadar organik substrat.
Nilai pH dan DO berkorelasi kuat terhadap indeks keanekaragaman makrozoobenthos. pH dan DO sangat berperan penting di dalam metabolisme makrozoobenthos. Masing-masing organisme memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor lingkungan. Oleh karena itu, adanya perbedaan faktor lingkungan akan ditemukan juga makrozoobenthos yang berbeda.
Menurut Darojah (2005), nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan suatu perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air. pH tanah atau substrat akan mempengaruhi perkembangan dan aktivitas organisme lain. Bagi hewan bentos nilai pH berpengaruh terhadap menurunnya daya stress.
Menurut Barus (2004), oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu
00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan
konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda.
(45)
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian Keanekaragaman Makrozoobenthos di Hilir Sungai Padang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Makrozoobenthos sebanyak 13 genus terdiri dari 11 famili, 7 ordo, dan 5 kelas. 2. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 1,51 dan terendah
pada stasiun 4 sebesar 0,51. Indeks keanekaragaman masih tergolong rendah, dan tergolong dalam perairan tercemar sedang hingga tercemar berat.
3. Indeks keseragaman tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,96 dan indeks keseragaman terendah pada stasiun 4 sebesar 0,37.
4. Indeks similaritas tertinggi terdapat di antara stasiun 1 dengan stasiun 2 sebesar 75% sedangkan terendah terdapat di antara stasiun 1 dengan stasiun 5 dan antara stasiun 2 dengan stasiun 5 sebesar 40%.
5. pH dan kelarutan oksigen (DO) berpengaruh kuat terhadap indeks keanekaragaman makrozoobenthos.
4.2Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis makrozoobenthos sebagai indikator kualitas perairan.
2. Untuk mengetahui kualitas perairan lebih lanjut dapat juga dilakukan pengukuran kadar logam berat yang terkandung di dalam tubuh makrozoobenthos.
(46)
DAFTAR PUSTAKA
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Medan: USU Press.
Costa, F. E., Rui F. O., & Luis C. F. 2006. Feeding Ecology of Nereis diversicolor
(Annelida, Polychaeta) on Estuarine and Lagoon Environments in The
Southwest Coast of Portugal. Pan American Journal of Aquatic Sciences.Vol.
1 (2).
Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan
Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi. Semarang: Program Studi Biologi Universitas Negeri Semarang.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Jakarta: PT. Sarana Graha.
Dharma, B. 2005. Recent and Fossil Indonesian Shells. Hackenheim: Conchbooks.
Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. New York: John Wley and Sons.
Francis, A. S., W. F. Ang., Y. Beatrice. 2011. Status and Distribution of Faunus ater
(Linnaeus, 1758)(Mollusca: Cerithioidea) In Singapore. Nature in Singapore.
Vol.4.
Handayani, E. A. 2005. Keanekaragaman Jenis Gastropoda di Pantai Randusanga
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Skripsi. Semarang: Program Studi Biologi Universitas Negeri Semarang.
Haynes, A. 2005. An evaluation of members of the genera Clithon Montfort, 1810 and
Neritina Lamarck 1816 (Gastropoda: Neritidae). Fiji: University of South Pacific. Molluscan Research.Vol 25(2).
Hendrasarie, N. 2001. Struktur Komunitas Bentos di Kawasan Mangrove Pantai Situbondo. Majalah Ilmiah Teknik Sipil: Jurnal Aksial. Vol.2 (3).
http//www.bappenas.go.id. Diakses tanggal 31 Januari 2011.
Koesbiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan).
Sekolah Pascasarjana Program Studi Lingkungan. Bogor: IPB.
Krebs, C. J. 1985. Ecology. Third Edition. New York: Happer and Publisher.
(47)
Laxmilatha, P. 2009. ProximateComposition of The Surf Clam Mactra violacea
(Mollusca) (Gmelin 1971). Indian J. Fish. Vol 56 (2).
Loebis, J, Soewarno & Suprihadi. 1993. Hidrologi Sungai. Jakarta: Yayasan Badan
Penerbit Pekerjaan Umum.
Martin, J. W. & Davis, G. E. 2001. An Updated Classification of The Recent
Crustacea. Los Angels: Natural History Museum of Los Angels Country.
Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Jakarta: UI Press.
Miculka, B. C. 2009. Burrowing Habits, Habitat Selections, and Behaviors of Four
Common Dominican Land Crabs; Guinotia dentata, Gecarcinus lateralis,
Gecarcinus ruricola, and Cardisoma guanhumi. Texas: Texas A&M
University.
Mulyanto, H. R. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-sifatnya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
Pennak, R. 1978. Fresh Water Invertebrates of The United States Protozoa to
Molusca. Colorado: University of Colorado Boulder.
Peters, L. 2005. Periphyton as a Habitat for Meiofauna a case of a neglected
community. Dissertation. Konstanz: Universität Konstanz.
Razak, A. 2002. Dinamika Karakterisrik Fisik Kimiawi Sedimen dan Hubungannya
dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai
Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Skripsi.
Palembang: Program Studi Biologi Universitas Sriwijaya.
Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Medan:
Program Pascasarjana Biologi USU.
Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas.
Voronov, D. A. & Y. V. Panchin.1998. Cell Lineage in Marine Nematoda Enoplus
brevis. Moscow: Russian Academy of Sciences.
Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai
Percut. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Medan: Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan USU.
(48)
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)
1 ml H2SO4
ditambahkan 5 tetes amilum ditetesi Na2S2O3 0,0125 N
1 ml MnSO4
Sampel Air
1 ml KOH – KI dikocok
didiamkan
Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
didiamkan dikocok
Larutan Sampel Berwarna Coklat
diambil sebanyak 100 ml
Sampel Berwarna Kuning Pucat
Sampel Berwarna Biru
dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N
Sampel Bening
Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai
(= nilai DO akhir) Hasil
(49)
Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
(Suin, 2002, hlm: 60)
Keterangan :
• Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan
penghitungan Nilai DO
• Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir
dihitung nilai DO akhir diinkubasi selama 5 hari
pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal
Sampel Air
Sampel Air Sampel Air
(50)
Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Refluks
(Suin, 2002, hlm: 65) 10 ml sampel air
dimasukkan ke dalam erlenmeyer ditambah 5 ml K2Cr2O7 dan 0,2 gr
HgSO
dimasukkan 2 batu didih ditambah 5 ml H2SO4 (p)
direfluks selama 45 menit
dibiarkan sampai dingin dan dilepas dari rangkaian
k i
ditambah 30 ml akuades diteteskan indikator feroin dititrasi dengan Ferro Amonium Sulfat 0,025 N
dicatat volume peniternya Hasil Merah Kecoklatan
(51)
Lampiran D. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat
Dikeringkan dalam oven 45˚ C
Dihaluskan/digerus dengan lumpang
Dikeringkan dalam oven 45˚ C selama 1 jam Ditimbang sebanyak 5 gram
Dibakar di dalam tungku pembakar pada suhu 600˚ C selama 3 jam
(Barus, 2004, hlm: 139-140) Substrat dasar pada titik
pengamatan
100 gram substrat dasar
Berat konstan tanah
5 gram tanah
Abu
Hasil
(52)
Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air
ToC 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0 14, 16 14, 12 14, 08 14, 04 14, 00 13, 97 13, 93 13, 89 13,85 13,81 1 13, 77 13, 74 13, 70 13, 66 13, 63 13, 59 13, 55 13, 51 13, 48 13, 44 2 13, 40 13, 37 13, 33 13, 30 13, 26 13, 22 13, 19 13, 15 13, 12 13, 08 3 13, 05 13, 01 12, 98 12, 94 12, 91 12, 87 12, 84 12, 81 12, 77 12, 74 4 12,70 12, 67 12, 64 12, 60 12, 57 12, 54 12, 51 12, 47 12, 44 12, 09 5 12, 37 12, 34 12, 31 12, 28 12, 25 12, 22 12, 18 12, 15 12, 12 12, 09 6 12, 06 12, 03 12, 00 11, 97 11, 94 11, 91 11, 88 11, 85 11, 82 11, 79 7 11,76 11, 73 11, 70 11, 67 11, 64 11, 61 11, 58 11, 55 11, 52 11, 50 8 11, 47 11, 44 11, 41 11, 38 11, 36 11, 33 11, 30 11, 27 11, 25 11, 22 9 11, 19 11, 16 11, 14 11, 11 11, 08 11, 06 11, 03 11, 00 10, 98 10,95 10 10, 92 10, 90 10, 87 10, 85 10, 82 10, 80 10, 77 10, 75 10, 72 10, 70 11 10, 67 10, 65 10, 62 10, 60 10, 57 10, 55 10, 53 10, 50 18, 48 10, 45 12 10, 43 10, 40 10, 38 10, 36 10, 34 10, 31 10, 29 10, 27 10, 24 10, 21 13 10, 20 10, 17 10, 15 10, 13 10, 11 10, 09 10, 06 10, 04 10, 02 10, 00 14 9, 98 9, 95 9, 93 9, 91 9, 89 9, 87 9, 85 9, 83 9, 81 9, 78 15 9, 76 9, 74 9, 72 9, 70 9, 68 9, 66 9, 64 9, 62 9, 60 9, 58 16 9, 56 9, 54 9, 52 9, 50 9, 48 9, 46 9, 45 9, 43 9, 41 9, 39 17 9, 37 9, 35 9, 33 9, 31 9, 30 9, 28 9, 26 9, 24 9, 22 9, 20 18 9, 18 9, 17 9, 15 9, 13 9, 12 9, 10 9, 08 9, 06 9, 04 9, 03 19 9, 01 8, 99 8, 98 8, 96 8, 94 8, 93 8, 91 8, 89 8, 88 8, 86 20 8, 84 8, 83 8, 81 8, 79 8, 78 8, 76 8, 75 8, 73 8, 71 8, 70 21 8, 68 8, 67 8, 65 8, 64 8, 62 8, 61 8, 59 8, 58 8, 56 8, 55 22 8, 53 8, 52 8, 50 8, 49 8, 47 8, 46 8, 44 8, 43 8, 41 8, 40 23 8, 38 8, 37 8, 36 8, 34 8, 33 8, 32 8, 30 8, 29 8, 27 8, 26 24 8, 25 8, 23 8, 22 8, 21 8, 19 8, 18 8, 17 8, 15 8, 14 8, 13 25 8, 11 8, 10 8, 09 8, 07 8, 06 8, 05 8, 04 8, 02 8, 01 8, 00 26 7, 99 7, 97 7, 96 7, 95 7, 94 7, 92 7, 91 7, 90 7, 89 7, 88 27 7, 86 7, 85 7, 84 7, 83 7, 82 7, 81 7, 79 7, 78 7,77 7, 76 28 7, 75 7, 74 7,72 7, 71 7, 70 7, 69 7, 68 7, 67 7, 66 7, 65 29 7, 64 7, 62 7, 61 7, 60 7, 59 7, 58 7, 57 7, 56 7, 55 7, 54 30 7, 53 7, 52 7, 51 7, 50 7, 48 7, 47 7, 46 7, 45 7, 44 7, 43
(Barus, 2004, hlm: 149)
(53)
(54)
Lampiran G. Data Mentah Makrozoobenthos
Stasiun 1. Daerah perkebunan sawit
No Genus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total 1. Rhabdolaimus - - - 1 - - - 1
2. Donax - - - -
3. Mactra - - - -
4. Mactra - - - -
5. Psammotreata - - - -
6. Fusconaia 5 4 3 2 3 4 2 4 3 - 1 - 2 1 - 33 7. Cardisoma - - - -
8. Clithon - - - -
9. Nerita - - - -
10. Cerithidea - - - - 11. Faunus 10 - - - - 6 10 - - 4 3 9 7 3 4 56 12. Melanoides 3 - - - 3 13. Pisania - - - -
14. Nereis - - - -
Total 93
Stasiun 2. Daerah pengerukan pasir
No Genus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total 1. Rhabdolaimus - - - -
2. Donax - - - -
3. Mactra - - - -
4. Mactra - - - -
5. Psammotreata - - - - 6. Fusconaia 3 2 - 2 - - - 2 - 6 - - 4 3 4 26 7. Cardisoma - - - - 8. Clithon - 12 2 4 - 4 12 - 11 - - - 4 - - 49
9. Nerita - - - -
10. Cerithidea - - - - 11. Faunus - - - 5 7 - - - 7 3 - - - 22
12. Melanoides - - - 3 - 9 - - - 3 - - 5 20 13. Pisania - - - -
14. Nereis - - - -
(55)
Stasiun 3. Daerah domestik (pemukiman penduduk)
No Genus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total 1. Rhabdolaimus - - - -
2. Donax - - - -
3. Mactra - - - -
4. Mactra - - - -
5. Psammotreata - - - - 6. Fusconaia 2 - - 2 - 3 - - - 2 - 9 7. Cardisoma - - - 1 - - - 1
8. Clithon - - - -
9. Nerita - - - 1 - - - 2 - 3
10. Cerithidea - - - - 11. Faunus 27 34 27 24 17 28 27 - 5 7 8 7 9 - - 230 12. Melanoides 9 14 21 17 8 14 9 8 3 - 2 5 - 4 4 120 13. Pisania - - - -
14. Nereis - - - -
Total 363
Stasiun 4. Daerah dermaga kapal nelayan
No Genus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total 1. Rhabdolaimus - - - -
2. Donax - - - -
3. Mactra - - - -
4. Mactra - - - -
5. Psammotreata - - - -
6. Fusconaia - - - - 7. Cardisoma - - - -
8. Clithon - - - -
9. Nerita 5 - - - 5
10. Cerithidea - - - - 11. Faunus 15 36 17 4 24 18 32 13 27 11 9 12 9 14 17 258 12. Melanoides - - - - 7 3 8 - 11 - - 4 - - 5 38
13. Pisania - - - -
14. Nereis - - - 3 - - - 3
(56)
Stasiun 5. Muara sungai
No Genus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total 1. Rhabdolaimus - - - -
2. Donax - - - 2 - - - 2
3. Mactra sp1 2 - - - 2 4. Mactra sp2 - - - 1 - - - 1 5. Psammotreata - - 2 1 - - 1 1 - - - 1 - 6 6. Fusconaia - 2 - - - 3 1 - - 1 7 7. Cardisoma - - - -
8. Clithon - - - -
9. Nerita - 3 - - - - 3 - - - 6
10. Cerithidea - 2 - - - 1 - - - 3
11. Faunus - - 2 - - - 2 - - - - 4
12. Melanoides - - - 3 - - - 4 14 - - - 3 - - 24 13. Pisania - 2 - - 2 1 - - 3 - - - - 2 - 10 14. Nereis 7 - 5 7 13 7 17 6 - 4 - 6 - - 6 78
(57)
Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan
a. Kepadatan Makrozoobenthos Faunus pada stasiun 1
Net Surber Luas gan jenis/ulan suatu individu Jumlah K = ind/m ,09 0 15 / 53 = 2 ind/m 26 , 39 = 2
b. Kepadatan Relatif Faunus pada stasiun 1
% 100 x jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR= % 100 x 71,85 39,26 = % 64 , 54 =
c. Frekuensi Kehadiran Faunus pada Stasiun 1
% 100 x plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah FK= % 100 x 15 9 = % 60 =
d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)pada Stasiun 1
∑
−
= piln pi
H'
= - {(53/97 ln 53/97)+(3/97 ln 3/97)+(40/97 ln 40/97)+(1/97 ln 1/97)}
= 1, 39
e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) pada Stasiun 1
max H
H'
E=
ln 4
1,39
(58)
Lampiran I. Foto Kerja
Pengambilan makrozoobenthos dengan surber net
Pengukuran pH Pengukuran kecepatan arus
(59)
Lampiran J. Foto Makrozoobenthos yang Diperoleh
Faunus sp. Melanoides sp.
Fusconaia sp. Nerita sp.
(60)
Cardisoma sp. Mactra sp1
Mactra sp2 Donax sp.
(1)
Stasiun 5. Muara sungai
No
Genus
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Total
1.
Rhabdolaimus
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.
Donax
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
3.
Mactra sp1
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
4.
Mactra sp2
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
1
5.
Psammotreata
-
-
2
1
-
-
1
1
-
-
-
-
-
1
-
6
6.
Fusconaia
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
3
1
-
-
1
7
7.
Cardisoma
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.
Clithon
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.
Nerita
-
3
-
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
6
10.
Cerithidea
-
2
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
3
11.
Faunus
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
4
12.
Melanoides
-
-
-
3
-
-
-
4
14
-
-
-
3
-
-
24
13.
Pisania
-
2
-
-
2
1
-
-
3
-
-
-
-
2
-
10
14.
Nereis
7
-
5
7
13
7
17
6
-
4
-
6
-
-
6
78
(2)
Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan
a. Kepadatan Makrozoobenthos
Faunus
pada stasiun 1
Net
Surber
Luas
gan
jenis/ulan
suatu
individu
Jumlah
K
=
ind/m
,09
0
15
/
53
=
2ind/m
26
,
39
=
2b. Kepadatan Relatif
Faunus
pada stasiun 1
%
100
x
jenis
seluruh
kepadatan
Jumlah
jenis
suatu
Kepadatan
KR
=
%
100
x
71,85
39,26
=
%
64
,
54
=
c. Frekuensi Kehadiran
Faunus
pada Stasiun 1
%
100
x
plot
total
Jumlah
jenis
suatu
ditempati
yang
plot
Jumlah
FK
=
%
100
x
15
9
=
%
60
=
d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)
pada Stasiun 1
∑
−
=
pi
ln
pi
H'
=
- {(53/97 ln 53/97)+(3/97 ln 3/97)+(40/97 ln 40/97)+(1/97 ln 1/97)}
=
1, 39
e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E)
pada Stasiun 1
max
H
H'
E
=
1,39
(3)
Lampiran I. Foto Kerja
Pengambilan makrozoobenthos dengan surber net
Pengukuran pH
Pengukuran kecepatan arus
(4)
Lampiran J. Foto Makrozoobenthos yang Diperoleh
Faunus sp. Melanoides sp.
Fusconaia sp. Nerita sp.
(5)
Cardisoma sp. Mactra sp1
Mactra sp2 Donax sp.
(6)
Lampiran K. Hasil Uji Korelasi Pearson ver. 14.00
temperatur pH Arus DO kejenuhan BOD COD substrat H
temperatur
Pearson
Correlation 1 .468 .447 -.338 .159 .043 -.667 .567 .184 Sig.
(2-tailed) .427 .450 .578 .798 .945 .219 .319 .767
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
pH
Pearson
Correlation .468 1 .368 .547 .818 .020 -.736 .530 -.694 Sig.
(2-tailed) .427 .542 .340 .091 .974 .157 .359 .193
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Kecepatan arus
Pearson
Correlation .447 .368 1 -.406 -.194 -.844 -.842 .969(**) -.136 Sig.
(2-tailed) .450 .542 .498 .754 .073 .073 .007 .827
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
DO
Pearson
Correlation -.338 .547 -.406 1 .875 .397 .032 -.267 -.646 Sig.
(2-tailed) .578 .340 .498 .052 .508 .959 .664 .239
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Kejenuhan oksigen
Pearson
Correlation .159 .818 -.194 .875 1 .441 -.308 .011 -.594 Sig.
(2-tailed) .798 .091 .754 .052 .458 .614 .986 .291
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
BOD5
Pearson
Correlation .043 .020 -.844 .397 .441 1 .524 -.742 .004 Sig.
(2-tailed) .945 .974 .073 .508 .458 .364 .151 .995
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
COD
Pearson
Correlation -.667 -.736 -.842 .032 -.308 .524 1 -.948(*) .239 Sig.
(2-tailed) .219 .157 .073 .959 .614 .364 .014 .699
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Organik substrat
Pearson
Correlation .567 .530 .969(**) -.267 .011 -.742 -.948(*) 1 -.153 Sig.
(2-tailed) .319 .359 .007 .664 .986 .151 .014 .806
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
H’
Pearson
Correlation .184 -.694 -.136 -.646 -.594 .004 .239 -.153 1 Sig.
(2-tailed) .767 .193 .827 .239 .291 .995 .699 .806
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).