commit to user 39
2. Peran PPAT Dalam Pelaksanaan UU NO 20 Tahun 2000 Tentang
BPHTB Dalam Jual Beli
Dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20  Tahun  2000  disebut  dengan  UU  BPHTB,  memberikan  pengertian  mengenai
BPHTB,  yaitu  Bea  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  Bangunan  adalah  pajak  yang dikenakan  atas  perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan,  yang  selanjutnya
disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama dengan  Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,
UU  BPHTB  menyebutkan  bahwa  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  atau  bangunan adalah  perbuatan  atau  peristiwa  hukum  yang  mengakibatkan  diperolehnya  hak
atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Berdasarkan  Pasal  2  ayat  2  UU  BPHTB  perolehan  hak  atas  tanah  dan
atau bangunan yan menjadi objek pajak terbagi menjadi dua yaitu: a.    Perolehan  hak  atas  tanah  dan  bangunan  karena  pemindahan  hak.
Pemindahan  hak  yang  mengakibatkan  perolehan  hak  atas  tanah  dan bangunan yang merupakan objek BPHTB meliputi:
1.  Perolehan hak karena jual beli, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan  oleh  pembeli  dari  penjual,  yang  terjadi  melalui
transaksi  jual  beli,  dimana  atas  perolehan  tersebut  pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual.
2.    Perolehan  hak  karena  tukar  menukar,  yaitu  perolehan  hak  atas tanah  dan  bangunan  yang  diterima  oleh  seseorang  atau  suatu
badan  dari  pihak  lain  dan  sebagai  gantinya  orang  atau  badan tersebut memberikan tanah dan bangunan miliknya kepada pihak
lain tersebut  sebagai penggantian tanah dan atau bangunan yang diterimanya.  Biasanya  pada  tukar  menukar  tanah  dan  atau
bangunan yang dipertukarkan ditentukan nilainya masing-masing dan  dibandingkan  terlebih  dahulu  agar  tidak  ada  pihak  yang
dirugikan atas tukar menukar tersebut. 3.    Perolehan  hak  karena  hibah,  yaitu  perolehan  hak  atas  tanah  dan
atau bangunan yang diperoleh oleh seorang penerima hibah yang
commit to user 40
berasal dari pemberi hibah pada saat pemberi hibah masih hidup. Penerima hibah memperoleh hak atas tanah dan bangunan secara
cuma-cuma  tanpa  perlu  memberikan  sejumlah  uang  maupun suatu barang kepada pemberi hibah.
4.  Perolehan hak karena hibah wasiat,  yaitu suatu penetapan wasiat yang  khusus  mengenai  pemberian  hak  atas  tanah  dan  atau
bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5.    Perolehan  hak  karena  waris,  yaitu  perolehan  hak  atas  tanah  dan atau  bangunan  oleh  ahli    waris  dari  pewaris  pemilik  tanah  dan
atau bangunan yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 6.    Perolehan  hak  karena  pemasukan  dalam  perseroan  atau  badan
hukum  lainnya,  yaitu  perolehan  hak  atas  tanah  dan  bangunan sebagai  hasil  pengalihan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  dari
orang  pribadi  atau  badan  kepada  perseroan  atau  dari  badan hukum  lainnya  sebagai  penyertaan  modal  pada  perseroan  atau
badan hukum lain tersebut. 7.    Perolehan  hak  karena  pemisahan  hak  yang  mengakibatkan
peralihan,  yaitu  perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau   bangunan yang  berasal  dari  pemindahan  sebagian  hak  bersama  atas  tanah
dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
8.    Perolehan  hak  karena  penunjukan  pembeli  dalam  lelang,  yaitu perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  oleh  seorang  atau
badan  yang  ditetapkan  sebagai  pemegang  lelang  oleh  pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.
9.  Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terjadi dengan peralihan
hak  dari  orang  pribadi  atau  badan  hukum  sebagai  pihak  yang semula  memiliki  suatu  tanah  dan  atau  bangunan  kepada  pihak
commit to user 41
yang ditentukan dalam putusan hukum menjadi pemilik baru atas tanah dan atau bangunan tersebut.
10.  Perolehan  hak  karena  penggabungan  usaha,  yaitu  perolehan  hak atas tanah dan atau bangunan oleh badan usaha yang tetap berdiri
dari badan usaha  yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri.
11.  Perolehan  hak  karena  peleburan  usaha,  yaitu  perolehan  hak  atas tanah  dan  atau  bangunan  oleh  badan  usaha  baru  sebagai  hasil
peleburan  usaha  dari  badan-badan  usaha  yang  bergabung  dan telah dilikuidasi.
12. Perolehan hak karena pemekaran usaha, yaitu perolehan hak atas tanah  dan  atau  bangunan  oleh  badan  usaha  yang  baru  didirikan
yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan. 13.  Perolehan  hak  karena  hadiah,  yaitu  perbuatan  hukum  berupa
penyerahan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  yang  dilakukan oleh orang pribadi atau badan usaha kepada penerima hadiah.
b.    Perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  karena  pemberian  hak baru.  Pemberian  hak  baru  yang  mengakibatkan  perolehan  hak  atas
tanah dan bangunan yang merupakan objek BPHTB meliputi: 1.    Perolehan  hak  karena  pemberian  hak  baru  sebagai  kelanjutan
pelepasan  hak,  yaitu  pemberian  hak  baru  dari  negara  kepada orang  pribadi  atau  badan  hukum  yang  mana  hak  atas  tanah
tersebut berasal dari pelepasan hak. 2.    Perolehan  hak  karena  pemberian  hak  baru  diluar  pelepasan  hak,
yaitu  pemberian  hak  baru  dari  negara  kepada  orang  pribadi  atau badan  hukum  menurut  peraturan  perundang-undangan  yang
berlaku. Sedangkan  jenis-jenis  hak  atas  tanah  yang  perolehan  haknya  dikenakan
BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 3 UU BPHTB meliputi :
commit to user 42
1.  Hak Milik Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan perpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah,  atas  tanah  dengan  mengingat  ketentuan  dalam  Pasal  6
UUPA. 2.  Hak Guna Usaha
Hak  guna  usaha  adalah  hak  untuk  mengusahakan  tanah  yang  dikuasai langsung  oleh  negara  dalam  jangka  waktu  sebagaimana  ditentukan
oleh perundang-undangan yang berlaku. 3.  Hak Guna Bangunan
Hak  guna  bangunan  adalah  hak  untuk  mendirikan  dan  mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu
yang ditetapkan dalam UUPA. 4.  Hak Pakai
Hak  pakai  adalah  hak  untuk  mengunakan  dan  atau  memungut  hasil dari  tanah  yang  dikuasai    langsung  oleh  negara  aau  tanah  milik  oang
lain,  yang  memberi  wewenang  dan  kewajiban  yang  ditentukan  dalam keputusan
pemberiannya oleh
pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,  yang
bukan  perjanjian  sewa  menyewa  atau   perjanjian  pengolahan  tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 5.  Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Hak  milik  atas  satuan  rumah  susun  adalah  hak  milik  atas  satuan  yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun
meliputi  pula  hak  atas  bagian  bersama,  benda  bersama  dan  tanah bersama  yang  semuanya  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. 6.  Hak Pengelolaan
Hak  pengelolaan  adalah  hak  menguasai  dari  negara  yang kewenangannya  pelaksanaannya  sebagian  dilimpahkan  kepada
commit to user 43
pemegang  haknya,  antara  lain,  berupa  perencanaan  peruntukan  dan penggunaan  tanah  untuk  keperluan  pelaksanaan  tugasnya,  penyerahan
bagian-bagian  dari    tanah  tersebut  kepada  pihak  ketiga  dan  atau bekerjasama dengan pihak ketiga.
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau  bangunan.  Pengertian  ini  memunjukkan  bahwa  pajak  dikenakan  kepada
pihak  yang  memperoleh  hak.  Berdasarkan  Pasal  4  ayat  1  UU  BPHTB,  yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal
yang  merupakan  kesatuan,  baik  yang  melaksanakan  usaha  maupun  tidak melakukan  usaha  yang  meliputi  perseroan  terbatas,  perseroan  komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan,  organisasi  massa,  organisasi  sosial  politik,  atau  organisasi  yang  sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
Wajib  pajak  merupakan  subjek  pajak  yang  dikenakan  kewajiban membayar  pajak.  Karena  yang  menjadi  subjek  pajak  adalah  pihak  yang
memperoleh  hak  atas  tanah  dan  bangunan  sesuai  dengan  perolehan  hak  yang terjadi.  Kewajiban  pembayaran  pajak  BPHTB  harus  dilakukan  oleh  wajib  pajak
pada  saat  terutangnya  pajak  sesuai  dengan  ketentuan  undang-undang.  Bila kewajiban  ini  belum  terpenuhi  maka  perolehan  hak  akan  tertunda  karena  pejabat
yang berwenang tidak akan mengesahkan perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayardilunasi oleh wajib pajak.
BPHTB  adalah  pajak  yang  dipungut  oleh  Pemerintah  terhadap  orang pribadi  atau  badan  yang  memperoleh  hak  atas  tanah  dan  bangunan  berdasarkan
peraturan  perundangan  yang  berlaku.  Peraturan  perundang-undangan  mengenai perpajakan yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli atas tanah dan bangunan,
membawa perubahan mendasar pada pelaksanaan tugas seseorang PPAT. Hal ini terutama karena waktu jatuh tempo pembayaran BPHTB oleh pembeli harus telah
dibayar  pada  saat  akta  pengalihan  hak  atas  tanah  dan  bangunan  ditandatangani
commit to user 44
dihadapan  PPAT.  Keterkaitan  PPAT  dalam  pelaksanaan  pemungutan  BPHTB adalah  sebagai  pejabat  umum  yang  mengesahkan  terjadinya  transaksi  pengalihan
hak  atas  tanah  dan  bangunan  dimana  disyaratkan  agar  sebelum  menandatangani akta  dpenuhi  segala  ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku,  dalam  suatu
pelaksanaan  jual  beli  tanah  dan  atau  bangunan,  penjual  dan  pembeli  setelah mencapai kesepakatan mengenai harga tanah dan atau bangunannya segera datang
kekantor PPAT untuk melakukan jual beli dihadapan PPAT. Dalam penjelasan umum UU BPHTB disebutkan bahwa prinsip yang
dianut dalam Undang-undang ini adalah : a.    pemenuhan  kewajiban  Bea  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  Bangunan  adalah
berdasarkan  sistem    self  assesment,  yaitu  Wajib  Pajak  menghitung  dan membayar sendiri utang pajaknya;
b.  besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 lima persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPKP;
c.    agar  pelaksanaan  Undang-undang  ini  dapat  berlaku  secara  efektif,  maka  baik kepada  Wajib  Pajak  maupun  kepada  pejabat-pejabat  umum  yang  melanggar
ketentuan  atau  tidak  melaksanakan  kewajibannya  sebagaimana  ditentukan oleh  Undang-undang  ini,  dikenakan  sanksi  menurut  peraturan  perundang-
undangan yang berlaku; d.    hasil  penerimaan  Bea  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  Bangunan  merupakan
penerimaan  Negara  yang  sebagian  besar  diserahkan  kepada  Pemerintah Daerah,  untuk  meningkatkan  pendapatan
daerah guna  membiayai
penyelenggaraan  pemerintahan  daerah  dan  dalam  rangka  memantapkan otonomi daerah;
e.    semua  pungutan  atas  perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  di  luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan
Dengan  dilakukannya  perubahan  dan  penyempurnaan  atas  Undang-undang Nomor  21  Tahun  1997  oleh  Pemerintah,  hal  ini  membuktikan  bahwa  Undang-
undang  tentang  Bea  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  Bangunan  memberikan kontribusi  dan  hasil  positif  bagi  penerimaan  negara.  Disamping  itu  juga  tampak
bahwa  pemerintah  sangat  konsent  untuk  meningkatkan  penerimaan  negara  dari
commit to user 45
jenis  pajak  BPHTB.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  penambahan  atas  objek  baru BPHTB  dan  peningkatan  besarnya  sanksi  yang  diberikan  kepada  Pejabat
khususnya  kepada  PPAT  yang  tidak  melaksanakan  Undang-undang  Nomor  20 Tahun  2000  Tentang  Perubahan  Atas  Undang-undang  Nomor  21  Tahun  1997
Tentang  Bea  Perolehan  Hak  Atas  Tanah  Dan  Bangunan  dengan  baik,  benar  dan tanggung jawab.
Undang-Undang BPHTB menentukan beberapa pejabat yang tunduk pada ketentuan  BPHTB.  Pejabat  tersebut  ditunjuk  karena  kewenangannya  dalam
pembuatan  akta  dan  pengesahan  terjadinya  perolehan  hak.  PPAT  diberikan kewenangannya  untuk  memeriksa  apakah  BPHTB  terutang  sudah  dibayar  oleh
pihak yang memperoleh hak sebelum ditandatangani akta yang berkenaan dengan perolehan hak. Ketentuan dalam UU BPHTB harus dipatuhi karena apabila terjadi
pelanggaran maka PPAT yang bersangkutan diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku .
Sebagai  gambaran,  wajib  pajak  yang  akan  melakukan  peralihan  hak  atas tanah  melalui  jual  beli,  maka  sebelum  akta  jual  belinya  dibuatkan  oleh  PPAT,
maka  kewajiban  para  pihak  untuk  memenuhi  terlebih  dahulu  pembayaran pajaknya baik PPh bagi pihak penjual maupun BPHTB bagi pihak pembeli.
Dalam  UU  BPHTB  tidak  mengatur  secara  jelas  tentang  kewajiban  PPAT dalam  melihat  pembayaran  BPHTB,  sehingga  hal  ini  menimbulkan  pertanyaan
dari kalangan PPAT sendiri yaitu : a.  Apa saja yang dilihat oleh PPAT atas pembayaran BPHTB tersebut;
b.  Sampai dimana kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB;
c.    Bagaimana  dengan  pembayaran  BPHTB  yang  perhitungannya  tidak  sesuai dengan  peraturan  BPHTB.Untuk  menjawab  pertanyaan  ini,  sampai  saat  ini
belum ada aturan yang menjelaskan hal tersebut sehingga PPAT dalam hal ini hanya menafsirkan sesuai dengan kepentingan PPAT itu sendiri.
Untuk  menjawab  pertanyaan  ini,  sampai  saat  ini  belum  ada  aturan  yang menjelaskan hal tersebut sehingga PPAT dalam hal ini hanya menafsirkan sesuai
dengan kepentingan PPAT itu sendiri. Di antara PPAT yang menjadi nara sumber
commit to user 46
penulis  dalam  penulisan  tesis  ini  untuk  menjawab  pertanyaan  di  atas  yang menyatakan bahwa:
a.  Yang dilihat oleh PPAT dalam pembayaran BPHTB adalah Nama Wajib Pajak, Alamat Wajib Pajak, Nomor Objek Pajak NOP PBB, Nilai Perolehan  Objek
Pajak  NPOP,  jenis  transaksi,  perhitungan  BPHTB-nya.  Nilai  Perolehan Objek  Pajak  Tidak  Kena  Pajak  NPOPTKP,  besarnya  BPHTB  yang  dibayar
oleh Wajib Pajak dan tempat serta tanggal pembayaran. Tetapi PPAT tersebut menyatakan  tidak  dapat  mengetahui  kebenaran  tempat  serta  tanggal
pembayaran BPHTB tersebut dan PPAT tidak dapat menolak atas perhitungan BPHTB
terutama yang
dituliskan dalam
SSB sebagai
bukti pembayaran.
b.  Kewenangan  PPAT  untuk  mengetahui  kebenaran  pembayaran  BPHTB hanyasebatas melihat pembayaran tersebut dan tidak dapat melakukan koreksi
atas  pembayaran  yang  dilakukan  oleh  wajib  pajak,  apakah  perhitungannya benar dan apakah pembayaran tersebut benar telah dilakukan di Bank Tempat
Pembayaran  BPHTB  yang  telah  ditentukan  oleh  pemerintah.    Sehingga  hal iniberakibat pada perhitungan BPHTB yang tidak benar dan pembayaran fiktif
SSB  palsu.  Seharusnya  terhadap  kondisi  ini  PPAT  tidak  dapat  dimintakan pertanggungjawabannya  dan  PPAT  tidak  dapat  dikenakan  sanksi  apapun  atas
pembayaran BPHTB tersebut. c.    Pembayaran  BPHTB  yang  perhitungannya  tidak  sesuai  dengan  peraturan
BPHTB,  dijawab  bahwa  seperti  dijelaskan  di  atas,  maka  PPAT  tetap menerima  bukti  pembayaran  tersebut  dan  dapat  menandatangani  akta-nya
karena  PPAT  berpendapat  bahwa  kebenaran  perhitungan  BPHTB  merupakan hak  wajib  pajak  berdasarkan  asas  self  assessment  yang  dianut  oleh  Undang-
Undang  BPHTB.  Pada  kondisi  ini  PPAT  hanya  dapat  menginformasikan kepada  wajib  pajak  agar  melakukan  pembayaran  BPHTB  lagi  apabila
pembiayaan BPHTB tersebut kurang bayar dibandingkan dengan perhitungan yang  sebenarnya  karena  dengan  perhitungan  yang  tidak  sesuai  tersebut  maka
akan  berakibat  dilakukan  pemeriksaan  kepada  wajib  pajak  dan  dari  hasil pemeriksaan  tersebut  dapat   diterbitkan  Surat  Tagihan  Pajak  atau  Surat
commit to user 47
Ketetapan  Bea  Kurang  Bayar.  Hal  ini  merupakan  peran  PPAT  sebagai  pihak yang  mengetahui  perhitungan  yang  sebenarnya.  Nilai  transaksi  yang
disepakati oleh para pihak tidak diketahui; Berdasarkan pada pasal 6 ayat 3 UU  BPHTB  telah  diatur  bahwa  Apabila  Nilai  Perolehan  Objek  Pajak  tidak
diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak  yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan,
kecuali penunjukan pembeli dalam lelang, maka  dasar pengenaan pajak  yang dipakai  adalah  nilai  Jual  Objek  pajak  Bumi  dan  bangunan.  BPHTB  disebut
Nilai Perolehan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber bahwa para pihak yang
datang  menghadap  ke  PPAT  dengan  maksud  melakukan  transaksi  pemindahan hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  pada  umumnya  telah  menyepakati  nilai  atau
harga  transaksi  tersebut  dengan  menggunakan  Nilai  Jual  Objek  Pajak  PBB, walaupun  sebenarnya  nilai  perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  tersebut
lebih tinggi atau lebih rendah dari NJOP PBB. Apabila nilai perolehan tersebut lebih tinggi dari NJOP berarti negara telah
dirugikan  sebesar  selisih  nilai  perolehan  dengan  NJOP  PBB,  tetapi  apabila  nilai perolehan  lebih  rendah  dari  NJOP  PBB  maka  masyarakat  merasa
negarapemerintahan  tidak  adil  dalam  pengenaan  pajak  BPHTB.  sehingga  nara sumber menyatakan seharusnya pemerintah menetapkan peraturan yang adil yaitu
menetapkan NJOP PBB sebagai nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan secara pasti.
Uraian  diatas  dapat  penulis  sampaikan  ilustrasi  kerugian  negara  akibat nilai  perolehan  lebih  besar  dari  NJOP  PBB  tetapi  masyarakat  sepakat  untuk
menggunakan  NJOP  PBB  sebagai  Nilai  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan  atau Bangunan NPOP, yaitu:
Contoh: Pada  tanggal  28  Oktober  2010  tuan  A  membeli  rumah  yang  dibangun  diatas
sebidang  tanah  hak  milik  seluas  350  m2  yang  terletak  di  jalan  Banjir  Kanal. Rumah tersebut merupakan milik tuan B dengan luas bangunan sebesar 200 m2.
Harga jual beli rumah tersebut sebenarnya adalah Rp 1.400.000.000,-. Tetapi para
commit to user 48
pihak  sebelum  menghadap  ke  kantor  PPAT  telah  sepakat  untuk  menggunakan NJOP  PBB  yang  tercantum  dalam  SPPT  PBB.  Dalam  SPPT  PBB  tahun  2007
diketahui bahwa NJOP-nya adalah sebesar Rp1.037.500.000,-. Dari  contoh  di  atas  maka  dapat  diketahui  kerugian  negara  atas  transaksi
jual  beli  tersebut  diatas  sebagai  berikut:  ¾    BPHTB  yang  dibayar  oleh  wajib pajak:    NPOP  Rp1.037.500.000,-    NPOPTJP  Rp  30.000.000,-     NPOPKP  Rp
1.007.500.000,-    BPHTB  terutang:  5  x  Rp  1.007.500.000,-  Rp  50.375.000,- Apabila perhitungan BPHTB tersebut menggunakan nilai perolehannilai transaksi
yang sebenarnya, maka BPHTB yang terutang adalah: ¾  BPHTB yang dibayar oleh wajib pajak:  NPOP Rp 1.400.000.000,-  NPOPTJP
Rp  30.000.000,-  NPOPKP  Rp  1.370.000.000,-    BPHTB  terutang:  5  x Rp1.370.000.000,- Rp 68.500.000;
Atas  transaksi  tersebut  di  atas  maka  negara  telah  dirugikan  Rp68.500.000  - Rp50.375.000 = Rp18.125.000;
Apabila  setiap  transaksi  negara  sering  dirugikan  maka  berarti  banyak penerimaan  negara  yang  seharusnya  masuk  dalam  kas  negara  menjadi  hilang
tanpa negara dapat berbuat lebih lanjut. Menurut  penulis  seharusnya  PPAT  dapat  mengetahui  harga  transaksi
yang  sebenarnya  karena  PPAT  dapat  menanyakan  kepada  para  pihak  berapa besarnya transaksi jual beli tersebut, karena PPAT dapat menyatakan kepada para
pihak  bahwa  apabila  para  pihak  tidak  memberitahukan  besarnya  harga  tansaksi yang  sebenarnya,  akan  berakibat  apabila  terjadi  sengketa  maka  akta  jual  beli  ini
dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tersebut. Namun apabila alat buktinya sendiri  tidak  dapat  memberikan  informasi  yang  sebenarnya  maka  akta  jual  beli
tidak dapat membuktikan kebenaran yang sesungguhnya. Dari  sisi  Direktorat  Jenderal  Pajak  seharusnya  dapat  menetapkan  NJOP
PBB  yang  pasti  dan  adil  sesuai  dengan  harga  pasar  atau  setidak-tidaknya menyatakan kepada masyarakat bahwa nilai atau harga yang dipakai untuk segala
transaksi atas tanah dan atau bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak PBB. Hal ini dapat  meminimalisir  kerugian  negara  dan  memberikan  kepastian  hukum  dalam
commit to user 49
perhitungan pajak  yang seharusnya dibayar dan memudahkan segala pihak untuk membayar pajaknya.
Di  dalam  UU  BPHTB  pasal  24  ditetapkan  ketentuan  bagi  pejabat PPATNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara bahwa:
1      Pejabat  PPATNotaris  hanya  dapat  menandatangani  akta  pemindahan hak atas tanah dan  atau  bangunan pada saat setelah WP menyerahkan
bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB 2  Kepala  Kantor  Lelang  hanya  dapat  menandatangani  risalah  lelang
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB
2a  Pejabat  yang  berwenang  menandatangani  dan  menerbitkan  surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan
menerbitkan surat dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan. 3   Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah
wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan KabupatenKota pada  saat  Wajib  Pajak  menyerahkan  bukti  pembayaran  pajak  berupa
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tata  cara  pembuatan  akta  jual  beli  tanah  danatau  bangunan  dikaitkan
dengan  ketentuan  perpajakan,  seorang  PPAT  tunduk  kepada  ketentuan  dalam Pasal  24  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2000  tentang  BPHTB  di
mana  akta  pemindahan  hak  atas  tanah  danatau  bangunan  ditandatangani  apabila telah  melunasi  SSB,  diserahkan  kepada  PPAT  bersangkutan,  serta  menyerahkan
satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila pembeli Kewajiban wajib pajak tidak  membayar  BPHTB  maka  secara  otomatis  akta  jual  beli  secara  PPAT  tidak
dapat dilaksanakan. Sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  24  ayat  1  UU  BPHTB,  yang  berbunyi  sebagai
berikut : Pejabat  Pembuat  Akta  TanahNotaris  hanya  dapat  menandatangani  akta
pemindahan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  pada  saat  Wajib  Pajak
commit to user 50
menyerahkan  bukti  pembayaran  pajak  berupa  Surat  Setoran  Bea  Perolehan  Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berbasis  pada  pasal  24  ayat  1  UU  BPHTB  tersebut  di  atas,  maka  dapat diuraikan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT adalah :
a.    Pejabat  yang  ditunjuk  untuk  menandatangani  akta  otentik  terhadap pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun;
b.     Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi pembayaran BPHTB; c.      Pejabat  yang  ditunjuk  untuk  menyaksikan  bahwa  Wajib  Pajak  telah
membayar BPHTB dengan benar; d.     Pejabat yang berwenangberhak untuk meminta bukti pembayaran BPHTB;
e.    Pejabat  yang diberi kewenangan  yang sangat strategis untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun  1998  Tentang  Peraturan  Jabatan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  PPAT,
definisi  PPAT  adalah  pejabat  umum  yang  diberi  kewenangan  untuk  membuat akta-akta  otentik  mengenai  perbuatan  hukum  tertentu  mengenai  hak  atas  tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun. Ketentuan  Umum  Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  tahun  1998  Tentang
Peraturan  Jabatan  PPAT,Disamping  itu  PPAT  juga  diwajibkan  untuk  membuat laporan  bulanan  pembuatan  akta  tentang  perolehan  hak  atas  tanah  dan  atau
bangunan  disertai  salinan  Surat  Setoran  Bea  Perolehan  Hak  Atas  Tanah  dan Bangunan  SSB  kepada  Direktorat  Jenderal  Pajak  selambat-lambatnya  pada
tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya.Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan  Bangunan  Bea  Perolehan  Hak  Atas  Tanah  Dan  Bangunan  merupakan  jenis
pajak yang masih tergolong baru berlakunya di Republik Indonesia. Kewajiban yang dibebankan adalah:
1.    Pejabat  Pembuat  Akta  TanahNotaris  hanya  dapat  menandatangani  akta pemindahan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  pada  saat  Wajib  Pajak
menyerahkan  bukti  pembayaran  pajak  berupa  Surat  Setoran  Bea  Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.  Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  pada  saat  Wajib  Pajak  menyerahkan  bukti
pembayaran  pajak  berupa  Surat  Setoran  Bea  Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan Bangunan.
commit to user 51
3.    Pejabat  yang  berwenang  menandatangani  dan  menerbitkan  surat  keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat
keputusan  dimaksud  pada  saat  Wajib  Pajak  menyerahkan  bukti  pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4.  Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya  dapat  dilakukan  oleh  pejabat   Pertanahan  KabupatenKota  pada  saat
Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berarti PPAT sebagai pejabat yang ditunjuk oleh UU BPHTB untuk melihat bukti  pembayaran  pajak  berupa  surat  setoran  bea  perolehan  hak  atas  tanah  dan
bangunan  pada  saat  menandatangani  akta  pemindahan  hak  atas  tanah  dan  atau bangunan.  Hal  ini  menimbulkan  konsekuensi  bahwa  PPAT  hanya  dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan apabila pihak yang  memperoleh  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  Wajib  Pajak  telah
memperlihatkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. Kewajiban  untuk  melihat  bukti  pembayaran  pajak  berupa  SSB  dibarengi
dengan  kewajiban  untuk  melaporkan  pembuatan  akta  perolehan  hak  atas  tanah dan atau bangunan tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya
pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya. Sistem    self  assessment    dalam  pemungutan  pajak  BPHTB  masih  belum
dipahami  oleh  masyarakat.  Ketidak-pahaman  masyarakat  dalam  pembayaran BPHTB disebabkan karena masyarakat cenderung tidak paham prosedur apa yang
harus  dilakukan  dalam  memenuhi  kewajiban  BPHTB  tersebut.  Hal  ini  menjadi peluang  bagi  orang-orang  yang  tidak  bertanggung  jawab  untuk  mencari
keuntungan dengan cara menawarkan jasa dalam memenuhi kewajiban BPHTB tersebut.
Dalam  prakteknya  berdasarkan  keterangan  dari  PPAT  tempat  penulis melakukan penelitian bahwa pada umumnya wajib pajak dalam hal ini pihak yang
diwajibkan  membayar  BPHTB  sering  kali  menyerahkan  pembayaran  BPHTB kepada  PPATNotaris.  Namun  mengenai  pembayaran  BPHTB  ini  juga  sering
dilakukan oleh Wajib pajak dengan menggunakan jasa pihak lain biro jasaorang
commit to user 52
yang menawarkan jasa untuk pembayaran BPHTB seperti biro jasa orang pribadi atau  pegawai  Notaris.  Kondisi  yang  terakhir  ini  sering  berakibat  pada
pembayaran BPHTB yang dilakukan dengan menggunakan jasa pihak laintersebut adalah pembayaran fiktif atau palsu.
Praktek  ini  kelihatannya  semakin  marak  karena  di  dorong  oleh  adanya birokrasi  dari  pajak  yang  tidak  jarang  membuat  tidak  nyaman  bagi  orang  dalam
membayar  pajak,  misalnya  karena  prosedur  yang  tidak  jelas,  berbelit-belit  dan cara  perhitungan  yang  kurang  dipahami   oleh  masyarakat.  Hal  ini  berdampak
bahwa masyarakat akan mencari jalan pintas sehingga mudah. PPAT  dalam  hal  ini  terpaksa  memberi  bantuannya  kepada  penjual  dan  pembeli
dalam hal menghitung jumlah pajak terutang, kemudian besarnya pembayaran dan tata  cara  pembayaran,  padahal  PPAT  tidak  diberikan  imbalan  apapun  oleh
pemerintah  untuk  melakukan  pekerjaan  itu.  Menurut  Pasal  24  ayat  1  UU BPHTB, PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan
atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak  yang berupa SSB.
Akibatnya  banyak  masyarakat  yang  masih  belum  paham  dan  mengerti mengenai  BPHTB,  maka  hal  tersebut  menjadi  tambahan  aktivitas  yang
membebani  tugas  PPAT,  padahal  bukan  merupakan  tugas  dan  tanggung  jawab PPAT.  Posisi  PPAT  menjadi  pihak  yang  lemah,  di  satu  sisi  PPAT  baru  bisa
melakukan transaksi apabila BPHTB telah dibayar lunas oleh wajib pajak, namun disisi  lain  PPAT  harus  juga  melayani  masyarakat  agar  masyarakat  dapat
memahami  dan  menyelesaikan  masalah  yang  mereka  hadapi  dalam  melunasi BPHTB.
Undang-Undang NO 20 Tahun 2000 tentang BPHTB memberikan ketentuan yang  harus  diikuti  oleh  pejabat  yang  berwewenang  dalam  penandatanganan
dokumen  atau  akta  perolehan  hak  atas  tanah  dan  bangunan  sebagaimana ditentukan dalam pasal 24 ayat 1, 2, 3 dan 4 yaitu :
1. PPAT atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak
atas  tanah  dan  bangunan  pada  saat  wajib  pajak  menyerahkan  bukti pembayaran pajak berupa SSB.
commit to user 53
2. Pejabat  Lelang  hanya  dapat  menandatangani  risalah  lelang  perolehan
hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
3. Pejabat  yang  berwewenang  menandatangani  dan  menerbitkan  surat
keputusan  pemberian  hak  atas  tanah  dan  bangunan  pada  saat  wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak SSB.
4. Terhadap  pendaftaran  peralihan  hak  atas  tanah  karena  waris,  hibah,
hibah  wasiat  hanya  dapat  dilakukan  oleh  pejabat  pertanahan kabupatenkota pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak  SSB  Penyerahan  bukti  pembayaran  pajak  dilakukan  dengan menyerahkan fotocopy dan menunjukkan aslinya.
Dalam ketentuan Pasal 24 UU BPHTB, telihat bahwa pemungutan maupun pembayaran  pajak  BPHTB  ini  dikaitkan  dengan  proses  penandatanganan  akta
pemindahan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  yang  selanjutnya  dengan  akta pemindahan  hak  ini  akan  dilakukan  proses  pemutakhiran  data  yuridis  dalam
sertifikat  hak  atas  tanah.  Dari  ketentuan  pasal  tersebut,  menunjukkan  bahwa ketika  masyarakat  memerlukan  pelayanan  untuk  membuat  akta  peralihan  hak
harus terlebih dahulu melakukan pelunasan pembayaran pajak BPHTB. Keterkaitan  PPAT  dalam  pelaksanaan  pemungutan  BPHTB,  telah
dijelaskan  sebagai  pejabat  umum  yang  mengesahkan  terjadinya  transaksi pengalihan  hak  atas  tanah  dan  bangunan  di  mana  disyaratkan  agar  sebelum
menandatangani  akta  dipenuhi  segala  syarat-syarat  termasuk  di  dalamnya pembayaran pajak-pajak yang salah satunya pembayaran pajak BPHTB.
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah  akta PPAT merupakan salah satu unsur utama  dalam  rangka  pemeliharaan  data  pendaftaran  tanah,  maka  pokok-pokok
tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan  juga  dalam  Peraturan  Pemerintah  ini.  PPAT  sudah  dikenal  sejak
berlakunya  Peraturan  Pemerintah  Nomor  10  Tahun  1961  tentang    Pendaftaran Tanah,  yang  merupakan  peraturan  tanah  sebagai  pelaksana  Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria UUPA.
commit to user 54
Dalam  Praktek  tahapan  sebagaimana  diuraikan  tersebut  sulit  untuk diterapkan  secara  tegas,  banyak  yang  menjadi  hambatan  dalam  pembayaran
BPHTB dahulu baru penandatanganan akta. Hambatan tersebut berupa : 1.
Kemauan para pihak untuk segera membuat dan menandatangani akta jual  beli  dihadapan  PPAT,  tetapi  para  wajib  pajak  masih  kurang
menyerahkan  berkas-berkas  seperti  identitas  diri  guna  keperluan administrasi agar akta jual beli segera dapat dilakukan.
2. Tingkat  pengetahuan  masyarakat  yang  masih  rendah  dalam  mengenai
tata  cara  pembayaran  pajak  secara  langsung  ke  bank-bank  persepsi yang  ditunjuk.  Sehingga  mereka  langsung  memasrahkan  pada  PPAT
karena  para  wajib  pajak  tidak  mau  ribet.  Padahal  bukan  tugas  pokok seorang PPAT
3. Kakunya  peraturan  dari  Bank  persepsi  yang  ditunjuk  dan  Kantor
Pratama  Pajak  yang  memberikan  batas  waktu  kurang  dari  jam  11.00 WIB.
Penulis  juga  melakukan  wawancara  pada  beberapa  PPAT  masalah  dalam penandatanganan  akta.  Dalam  Prakteknya  beberapa  PPAT  di  kota  surakarta  ada
yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan BPHTB dimana para wajib pajak  harus  melakukan  pembayaran  pajak  BPHTB  dulu  baru  penandatanganan
akta  jual  beli.  Tapi  ada  juga  PPAT  yang  melakukan  beberapa  pelanggaran. Pelanggaran tersebut yaitu :
1.  Tanggal  penandatanganan  akta  lebih  awal  dari  tanggal  pembayaran BPHTB. Penandatangan  akta jual beli dilakukan terlebih dahulu, baru
pembayaran  BPHTB.PPAT  yang  melakukan  pelanggaran  tersebut karena  mereka  tidak  takut  pada  ancaman  sanksi  denda.  Faktanya  ada
PPAT  yang  sudah  kerja  sama  pada  beberapa  pegawai  pajak.  Mereka mendapat  tempo  waktu  seminggu  dari  jarak  tanggal  penandatanganan
akta  sampai  pembayaran  BPHTB  tidak  lebih  dari  seminggu.  Tetapi tidak  semua  PPAT  mendapat  dispensasi  dari  Pegawai  Kantor  Pajak,
mereka yang mendapat dispensasi PPAT yang sudah sering kerja sama pada mereka dan mereka kebanyakan PPAT yang sudah senior.
commit to user 55
2.  Ada  juga  PPAT  yang  nakal  mereka  mempertimbangkan  demi menghindari  kewajiban  membayar  denda  yang  mengancam  dirinya,
nomor  dan  tanggal  akta  yang  dicantumkan  dalam  aktanya  akan ditentukan  setelah  atau  setidak-tidaknya  sama  dengan  tanggal  yang
tercantum  dalam  bukti  pembayaran  pajak  yang  menjadi  kewajiban penjual  dan  pembeli  dibayarkan  ke  Bank  Persepsi  atau  Kantor
Pratama. Kewajiban PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi  funsinya  sebagai  pejabat  umum  yang  ditunjuk  oleh  pemerintah
untuk  mencatat  dan  menjamin  tanggal  dari  perbuatan  hukum  yang dilakukannya dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat memenuhi
sebagai syarat otentik.
Terhadap  Akta  Jual  Beli  yang  ditandatangani  mendahului  kewajiban pembayaran  BPHTB  akta  tersebut  tetap  sah  sepanjang  dibuat  oleh  Pejabat  yang
berwenang  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan,  dan  pada  prinsipnya perbuatan  hukum  yang  dilakukan  oleh  para  pihak  dalam  akta  sudah  sah  dan
mengikat  bagi  kedua  belah  pihak  dengan  ditandatanganinya  akta  tersebut  oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
Akta  Jual  Beli  yang  ditandatangani  mendahului  kewajiban  pembayaran BPHTB  tidak  mempengaruhi  keabsahan  akta  tersebut,  karena  dalam  undang-
undang  BPHTB  tidak  ada  ketentuan  yang  menyebutkan  akta  menjadi  batal  atau tidak  sah  jika  akta  ditandatangani  mendahului  kewajiban  pembayaran  BPHTB,
adapun mengenai sanksi administrasi dan denda yang dimaksud ditujukan kepada pejabatnya. Pada dasarnya akta jual beli terkait dengan pelayanan publik sehingga
tidak boleh merugikan masyarakat. Dengan  adanya  perubahan  Undang-Undang  mengenai  system  pemungutan
pajak  dari  official  assessment  ke  system  self  assessment.  Penggunaan  self assessment, pemerintah  memberikan kepercayaan  yang besar kepada wajib pajak
untuk  melaksanakan  kewajiban  perpajakannya,  serta  untuk  menjamin  adanya kepastian hukum berupa hak dan kewjiban pajak.
commit to user 56
System self assessment merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang  kepada  wajib  pajak  untuk  menentukan  sendiri  besarnya  pajak.  Untuk
itu,  wajib  pajak  dituntut  untuk  menentukan  besarnya  pajak  terutang  wajib  pajak sendiri,  wajib  pajak  harus  aktif  mulai  dari  menghitung, meyetor dan  melaporkan
sendiri. PPAT berperan memeriksa kebenaran formil dan materiil dalam pemberikan
nilai harga pasar yang wajar terhadap obyek  pajak, sehingga membawa pengaruh pada  pendapatan  Negara  dalam  perpajakan  dapat    dilakukan  secara  maksimal,
akan tetapi dalam prakteknya banyak juga PPAT menggunakan harga obyek pajak berdasarkan NJOP, sedangkan harga transaksi antara para pihak  sebenarnya lebih
tinggi dari NJOP, hal tersebut dilakukan untuk menghindari pajak yang tinggi bila mengikuti  harga  transaksi,  artinya  peranan  PPAT  dalam  hal  memberikan
informasi  tentang  harga  yang  wajar  bagi  obyek  pajak  di  wilayah  kerjanya  tidak dapat  terlaksana,    sehingga  tidak  ada  penerimaan  pajak  yang  maksimal  bagi
Negara. Bahwa  peran  PPAT  dalam  meningkatkan  pajak  dilakukan  dengan  dilihat
dari  dua  hal  yaitu  pada  saat  penandatanganan  akta    yaitu  memberitahukan kewajiban  pembayaran  pajaknya  dan  pada  saat  pemberitahuan  laporan  bulanan
atas  pembuatan  akta.  Bahwa  PPAT  dalam  mengefektifkan  penerimaan  Pajak, dapat membantu para pihak untuk melakukan pembayaran pajak-pajak terhutang.
Hal ini juga dilakukan untuk mempercepat proses penandatanganan akta Dalam  UU  N0  20  Tahun  2000  selain  mengatur  masalah  penandatanganan
dokumen  atau  akta  UU  BPHTB  juga  memberikan  ketentuan  yang  harus  diikuti oleh  pejabat  yang  berwewenang  kewajiban  untuk  mnyerahkan  laporan  tentang
pembuatan akta. Dalam  UU  BPHTB  pasal  25  ditetapkan  ketentuan  bagi  pejabat
PPATNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara  bahwa: 1      Pejabat  Pembuat  Akta  TanahNotaris  dan  Kepala  Kantor  Lelang
Negara  melaporkan  pembuatan  akta  atau  Risalah  Lelang  perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya
pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya.
commit to user 57
2      Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah
Terhadap  akta  akta  yang  dibuatnya,  PPAT  Notaris  mempunyai  kewajiban untuk  melaporkan  setiap  bulannya  ke  Kantor  Pelayanan  PBB,  sebagaimana
tertuang dalam Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 UU BPHTB. Dalam Pasal 25  ditetapkan  bahwa  PPATNotaris  dan  Kepala  Kantor  Lelang  Negara
melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan  kepada  Dirjen  Pajak  selambat-lambatnya  pada  tanggal  10  bulan
berikutnya.Bagi  PPATNotaris  atau  Kepala  Kantor  Lelang  Negara  yang melanggar ketentuan pasal 25 ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar
Rp.250.000,- untuk setiap laporan. PPAT  juga  berkewajiban  untuk  menyerahkan  laporan  tentang  pembuatan
akta  disertai  dengan  copy  SSB  kepada  KPP  Pratama.  Penyampaiaan  laporan  ini diperlukan  dalam  rangka  pengawasan  terhadap  kepatuhan  dan  kebenaran
pemenuhan  kewajiban  dibidang  perpajakan.  Laporan  PPAT  sekurang-kurangnya memuat  nomor,  tanggal  akta,  status  hak,  letak  tanah  dan  bangunan,  luas  tanah,
luas  bangunan,  nomor  dan  tahun  surat  pajak,  NJOP,  harga  transaksi,  nama  dan alamat  pihak  yang  mengalihkan  dan  yang  memperoleh  hak,  serta  tanggal  dan
jumlah setoran pembayaran pajak berupa SSB. Penyampaian  laporan  bulanan  atas  akta  peralihan  hak  atas  tanah  dan  atau
bangunan  yang  dilakukan  oleh  PPAT  diperlukan  dalam  rangka  pengawasan terhadap  kepatuhan  dan  kebenaran  pemenuhan  pembayaran  pajak  BPHTB  atas
terjadinya  peralihan  hak  atas  tanah  dan  atau  bangunan  tersebut,  dan  juga  bagi petugas  pajak  untuk  melihat  kebenaran  besarnya  pengenaan  pajak  dengan  Nilai
Perolehan Objek Pajak NPOP, mengkompilasikan data yang ada di Bank dengan yang dilaporkan PPAT, serta memilah BPHTB yang bersumber dari peralihan hak
atas  tanah  dan  atau  bangunan  dari  PPAT  dengan  yang  bersumber  dari  peralihan pada kantor pertanahan BPN.
Terhadap akta akta  yang dibuatnya, PPAT Notaris mempunyai kewajiban untuk  melaporkan  setiap  bulannya  ke  Kantor  Pelayanan  PBB,  sebagaimana
tertuang  dalam  Pasal  24  ayat  1  dan  Pasal  25  ayat  1  UU  BPHTB.  Dari  kedua
commit to user 58
Pasal tersebut, nampak adanya kewajiban PPAT Notaris untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan
oleh wajib pajak.
B.  Akibat  Hukum  Bagi  PPAT  Yang  Melanggar  Ketentuan  UU  NO  20 Tahun 2000 Tentang BPHTB