Peran PPAT Dalam Pelaksanaan UU NO 20 Tahun 2000 Tentang

commit to user 39

2. Peran PPAT Dalam Pelaksanaan UU NO 20 Tahun 2000 Tentang

BPHTB Dalam Jual Beli Dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 disebut dengan UU BPHTB, memberikan pengertian mengenai BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama dengan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU BPHTB menyebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 UU BPHTB perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yan menjadi objek pajak terbagi menjadi dua yaitu: a. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemindahan hak. Pemindahan hak yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan objek BPHTB meliputi: 1. Perolehan hak karena jual beli, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh pembeli dari penjual, yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual. 2. Perolehan hak karena tukar menukar, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diterima oleh seseorang atau suatu badan dari pihak lain dan sebagai gantinya orang atau badan tersebut memberikan tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain tersebut sebagai penggantian tanah dan atau bangunan yang diterimanya. Biasanya pada tukar menukar tanah dan atau bangunan yang dipertukarkan ditentukan nilainya masing-masing dan dibandingkan terlebih dahulu agar tidak ada pihak yang dirugikan atas tukar menukar tersebut. 3. Perolehan hak karena hibah, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh oleh seorang penerima hibah yang commit to user 40 berasal dari pemberi hibah pada saat pemberi hibah masih hidup. Penerima hibah memperoleh hak atas tanah dan bangunan secara cuma-cuma tanpa perlu memberikan sejumlah uang maupun suatu barang kepada pemberi hibah. 4. Perolehan hak karena hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. 5. Perolehan hak karena waris, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris pemilik tanah dan atau bangunan yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 6. Perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai hasil pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan atau dari badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan atau badan hukum lain tersebut. 7. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. 8. Perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh seorang atau badan yang ditetapkan sebagai pemegang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang. 9. Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terjadi dengan peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai pihak yang semula memiliki suatu tanah dan atau bangunan kepada pihak commit to user 41 yang ditentukan dalam putusan hukum menjadi pemilik baru atas tanah dan atau bangunan tersebut. 10. Perolehan hak karena penggabungan usaha, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh badan usaha yang tetap berdiri dari badan usaha yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri. 11. Perolehan hak karena peleburan usaha, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh badan usaha baru sebagai hasil peleburan usaha dari badan-badan usaha yang bergabung dan telah dilikuidasi. 12. Perolehan hak karena pemekaran usaha, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh badan usaha yang baru didirikan yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan. 13. Perolehan hak karena hadiah, yaitu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan usaha kepada penerima hadiah. b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena pemberian hak baru. Pemberian hak baru yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan objek BPHTB meliputi: 1. Perolehan hak karena pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru dari negara kepada orang pribadi atau badan hukum yang mana hak atas tanah tersebut berasal dari pelepasan hak. 2. Perolehan hak karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru dari negara kepada orang pribadi atau badan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah yang perolehan haknya dikenakan BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 3 UU BPHTB meliputi : commit to user 42 1. Hak Milik Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan perpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. 2. Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. 3. Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam UUPA. 4. Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk mengunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara aau tanah milik oang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. 6. Hak Pengelolaan Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada commit to user 43 pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Pengertian ini memunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU BPHTB, yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melaksanakan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. Wajib pajak merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Kewajiban pembayaran pajak BPHTB harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Bila kewajiban ini belum terpenuhi maka perolehan hak akan tertunda karena pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayardilunasi oleh wajib pajak. BPHTB adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli atas tanah dan bangunan, membawa perubahan mendasar pada pelaksanaan tugas seseorang PPAT. Hal ini terutama karena waktu jatuh tempo pembayaran BPHTB oleh pembeli harus telah dibayar pada saat akta pengalihan hak atas tanah dan bangunan ditandatangani commit to user 44 dihadapan PPAT. Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB adalah sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan dimana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dpenuhi segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam suatu pelaksanaan jual beli tanah dan atau bangunan, penjual dan pembeli setelah mencapai kesepakatan mengenai harga tanah dan atau bangunannya segera datang kekantor PPAT untuk melakukan jual beli dihadapan PPAT. Dalam penjelasan umum UU BPHTB disebutkan bahwa prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini adalah : a. pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya; b. besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 lima persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPKP; c. agar pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang ini, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku; d. hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah; e. semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan Dengan dilakukannya perubahan dan penyempurnaan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 oleh Pemerintah, hal ini membuktikan bahwa Undang- undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan memberikan kontribusi dan hasil positif bagi penerimaan negara. Disamping itu juga tampak bahwa pemerintah sangat konsent untuk meningkatkan penerimaan negara dari commit to user 45 jenis pajak BPHTB. Hal ini dapat dilihat dari penambahan atas objek baru BPHTB dan peningkatan besarnya sanksi yang diberikan kepada Pejabat khususnya kepada PPAT yang tidak melaksanakan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dengan baik, benar dan tanggung jawab. Undang-Undang BPHTB menentukan beberapa pejabat yang tunduk pada ketentuan BPHTB. Pejabat tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. PPAT diberikan kewenangannya untuk memeriksa apakah BPHTB terutang sudah dibayar oleh pihak yang memperoleh hak sebelum ditandatangani akta yang berkenaan dengan perolehan hak. Ketentuan dalam UU BPHTB harus dipatuhi karena apabila terjadi pelanggaran maka PPAT yang bersangkutan diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku . Sebagai gambaran, wajib pajak yang akan melakukan peralihan hak atas tanah melalui jual beli, maka sebelum akta jual belinya dibuatkan oleh PPAT, maka kewajiban para pihak untuk memenuhi terlebih dahulu pembayaran pajaknya baik PPh bagi pihak penjual maupun BPHTB bagi pihak pembeli. Dalam UU BPHTB tidak mengatur secara jelas tentang kewajiban PPAT dalam melihat pembayaran BPHTB, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan dari kalangan PPAT sendiri yaitu : a. Apa saja yang dilihat oleh PPAT atas pembayaran BPHTB tersebut; b. Sampai dimana kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB; c. Bagaimana dengan pembayaran BPHTB yang perhitungannya tidak sesuai dengan peraturan BPHTB.Untuk menjawab pertanyaan ini, sampai saat ini belum ada aturan yang menjelaskan hal tersebut sehingga PPAT dalam hal ini hanya menafsirkan sesuai dengan kepentingan PPAT itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan ini, sampai saat ini belum ada aturan yang menjelaskan hal tersebut sehingga PPAT dalam hal ini hanya menafsirkan sesuai dengan kepentingan PPAT itu sendiri. Di antara PPAT yang menjadi nara sumber commit to user 46 penulis dalam penulisan tesis ini untuk menjawab pertanyaan di atas yang menyatakan bahwa: a. Yang dilihat oleh PPAT dalam pembayaran BPHTB adalah Nama Wajib Pajak, Alamat Wajib Pajak, Nomor Objek Pajak NOP PBB, Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP, jenis transaksi, perhitungan BPHTB-nya. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP, besarnya BPHTB yang dibayar oleh Wajib Pajak dan tempat serta tanggal pembayaran. Tetapi PPAT tersebut menyatakan tidak dapat mengetahui kebenaran tempat serta tanggal pembayaran BPHTB tersebut dan PPAT tidak dapat menolak atas perhitungan BPHTB terutama yang dituliskan dalam SSB sebagai bukti pembayaran. b. Kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB hanyasebatas melihat pembayaran tersebut dan tidak dapat melakukan koreksi atas pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak, apakah perhitungannya benar dan apakah pembayaran tersebut benar telah dilakukan di Bank Tempat Pembayaran BPHTB yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sehingga hal iniberakibat pada perhitungan BPHTB yang tidak benar dan pembayaran fiktif SSB palsu. Seharusnya terhadap kondisi ini PPAT tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya dan PPAT tidak dapat dikenakan sanksi apapun atas pembayaran BPHTB tersebut. c. Pembayaran BPHTB yang perhitungannya tidak sesuai dengan peraturan BPHTB, dijawab bahwa seperti dijelaskan di atas, maka PPAT tetap menerima bukti pembayaran tersebut dan dapat menandatangani akta-nya karena PPAT berpendapat bahwa kebenaran perhitungan BPHTB merupakan hak wajib pajak berdasarkan asas self assessment yang dianut oleh Undang- Undang BPHTB. Pada kondisi ini PPAT hanya dapat menginformasikan kepada wajib pajak agar melakukan pembayaran BPHTB lagi apabila pembiayaan BPHTB tersebut kurang bayar dibandingkan dengan perhitungan yang sebenarnya karena dengan perhitungan yang tidak sesuai tersebut maka akan berakibat dilakukan pemeriksaan kepada wajib pajak dan dari hasil pemeriksaan tersebut dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak atau Surat commit to user 47 Ketetapan Bea Kurang Bayar. Hal ini merupakan peran PPAT sebagai pihak yang mengetahui perhitungan yang sebenarnya. Nilai transaksi yang disepakati oleh para pihak tidak diketahui; Berdasarkan pada pasal 6 ayat 3 UU BPHTB telah diatur bahwa Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, kecuali penunjukan pembeli dalam lelang, maka dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah nilai Jual Objek pajak Bumi dan bangunan. BPHTB disebut Nilai Perolehan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber bahwa para pihak yang datang menghadap ke PPAT dengan maksud melakukan transaksi pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada umumnya telah menyepakati nilai atau harga transaksi tersebut dengan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak PBB, walaupun sebenarnya nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut lebih tinggi atau lebih rendah dari NJOP PBB. Apabila nilai perolehan tersebut lebih tinggi dari NJOP berarti negara telah dirugikan sebesar selisih nilai perolehan dengan NJOP PBB, tetapi apabila nilai perolehan lebih rendah dari NJOP PBB maka masyarakat merasa negarapemerintahan tidak adil dalam pengenaan pajak BPHTB. sehingga nara sumber menyatakan seharusnya pemerintah menetapkan peraturan yang adil yaitu menetapkan NJOP PBB sebagai nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan secara pasti. Uraian diatas dapat penulis sampaikan ilustrasi kerugian negara akibat nilai perolehan lebih besar dari NJOP PBB tetapi masyarakat sepakat untuk menggunakan NJOP PBB sebagai Nilai Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan NPOP, yaitu: Contoh: Pada tanggal 28 Oktober 2010 tuan A membeli rumah yang dibangun diatas sebidang tanah hak milik seluas 350 m2 yang terletak di jalan Banjir Kanal. Rumah tersebut merupakan milik tuan B dengan luas bangunan sebesar 200 m2. Harga jual beli rumah tersebut sebenarnya adalah Rp 1.400.000.000,-. Tetapi para commit to user 48 pihak sebelum menghadap ke kantor PPAT telah sepakat untuk menggunakan NJOP PBB yang tercantum dalam SPPT PBB. Dalam SPPT PBB tahun 2007 diketahui bahwa NJOP-nya adalah sebesar Rp1.037.500.000,-. Dari contoh di atas maka dapat diketahui kerugian negara atas transaksi jual beli tersebut diatas sebagai berikut: ¾ BPHTB yang dibayar oleh wajib pajak: NPOP Rp1.037.500.000,- NPOPTJP Rp 30.000.000,- NPOPKP Rp 1.007.500.000,- BPHTB terutang: 5 x Rp 1.007.500.000,- Rp 50.375.000,- Apabila perhitungan BPHTB tersebut menggunakan nilai perolehannilai transaksi yang sebenarnya, maka BPHTB yang terutang adalah: ¾ BPHTB yang dibayar oleh wajib pajak: NPOP Rp 1.400.000.000,- NPOPTJP Rp 30.000.000,- NPOPKP Rp 1.370.000.000,- BPHTB terutang: 5 x Rp1.370.000.000,- Rp 68.500.000; Atas transaksi tersebut di atas maka negara telah dirugikan Rp68.500.000 - Rp50.375.000 = Rp18.125.000; Apabila setiap transaksi negara sering dirugikan maka berarti banyak penerimaan negara yang seharusnya masuk dalam kas negara menjadi hilang tanpa negara dapat berbuat lebih lanjut. Menurut penulis seharusnya PPAT dapat mengetahui harga transaksi yang sebenarnya karena PPAT dapat menanyakan kepada para pihak berapa besarnya transaksi jual beli tersebut, karena PPAT dapat menyatakan kepada para pihak bahwa apabila para pihak tidak memberitahukan besarnya harga tansaksi yang sebenarnya, akan berakibat apabila terjadi sengketa maka akta jual beli ini dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tersebut. Namun apabila alat buktinya sendiri tidak dapat memberikan informasi yang sebenarnya maka akta jual beli tidak dapat membuktikan kebenaran yang sesungguhnya. Dari sisi Direktorat Jenderal Pajak seharusnya dapat menetapkan NJOP PBB yang pasti dan adil sesuai dengan harga pasar atau setidak-tidaknya menyatakan kepada masyarakat bahwa nilai atau harga yang dipakai untuk segala transaksi atas tanah dan atau bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak PBB. Hal ini dapat meminimalisir kerugian negara dan memberikan kepastian hukum dalam commit to user 49 perhitungan pajak yang seharusnya dibayar dan memudahkan segala pihak untuk membayar pajaknya. Di dalam UU BPHTB pasal 24 ditetapkan ketentuan bagi pejabat PPATNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara bahwa: 1 Pejabat PPATNotaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB 2 Kepala Kantor Lelang hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB 2a Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 3 Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan KabupatenKota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tata cara pembuatan akta jual beli tanah danatau bangunan dikaitkan dengan ketentuan perpajakan, seorang PPAT tunduk kepada ketentuan dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB di mana akta pemindahan hak atas tanah danatau bangunan ditandatangani apabila telah melunasi SSB, diserahkan kepada PPAT bersangkutan, serta menyerahkan satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila pembeli Kewajiban wajib pajak tidak membayar BPHTB maka secara otomatis akta jual beli secara PPAT tidak dapat dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 UU BPHTB, yang berbunyi sebagai berikut : Pejabat Pembuat Akta TanahNotaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak commit to user 50 menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berbasis pada pasal 24 ayat 1 UU BPHTB tersebut di atas, maka dapat diuraikan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT adalah : a. Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani akta otentik terhadap pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun; b. Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi pembayaran BPHTB; c. Pejabat yang ditunjuk untuk menyaksikan bahwa Wajib Pajak telah membayar BPHTB dengan benar; d. Pejabat yang berwenangberhak untuk meminta bukti pembayaran BPHTB; e. Pejabat yang diberi kewenangan yang sangat strategis untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, definisi PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT,Disamping itu PPAT juga diwajibkan untuk membuat laporan bulanan pembuatan akta tentang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan disertai salinan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan SSB kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya.Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan merupakan jenis pajak yang masih tergolong baru berlakunya di Republik Indonesia. Kewajiban yang dibebankan adalah: 1. Pejabat Pembuat Akta TanahNotaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. commit to user 51 3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh pejabat Pertanahan KabupatenKota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berarti PPAT sebagai pejabat yang ditunjuk oleh UU BPHTB untuk melihat bukti pembayaran pajak berupa surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada saat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan apabila pihak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Wajib Pajak telah memperlihatkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. Kewajiban untuk melihat bukti pembayaran pajak berupa SSB dibarengi dengan kewajiban untuk melaporkan pembuatan akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya. Sistem self assessment dalam pemungutan pajak BPHTB masih belum dipahami oleh masyarakat. Ketidak-pahaman masyarakat dalam pembayaran BPHTB disebabkan karena masyarakat cenderung tidak paham prosedur apa yang harus dilakukan dalam memenuhi kewajiban BPHTB tersebut. Hal ini menjadi peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dengan cara menawarkan jasa dalam memenuhi kewajiban BPHTB tersebut. Dalam prakteknya berdasarkan keterangan dari PPAT tempat penulis melakukan penelitian bahwa pada umumnya wajib pajak dalam hal ini pihak yang diwajibkan membayar BPHTB sering kali menyerahkan pembayaran BPHTB kepada PPATNotaris. Namun mengenai pembayaran BPHTB ini juga sering dilakukan oleh Wajib pajak dengan menggunakan jasa pihak lain biro jasaorang commit to user 52 yang menawarkan jasa untuk pembayaran BPHTB seperti biro jasa orang pribadi atau pegawai Notaris. Kondisi yang terakhir ini sering berakibat pada pembayaran BPHTB yang dilakukan dengan menggunakan jasa pihak laintersebut adalah pembayaran fiktif atau palsu. Praktek ini kelihatannya semakin marak karena di dorong oleh adanya birokrasi dari pajak yang tidak jarang membuat tidak nyaman bagi orang dalam membayar pajak, misalnya karena prosedur yang tidak jelas, berbelit-belit dan cara perhitungan yang kurang dipahami oleh masyarakat. Hal ini berdampak bahwa masyarakat akan mencari jalan pintas sehingga mudah. PPAT dalam hal ini terpaksa memberi bantuannya kepada penjual dan pembeli dalam hal menghitung jumlah pajak terutang, kemudian besarnya pembayaran dan tata cara pembayaran, padahal PPAT tidak diberikan imbalan apapun oleh pemerintah untuk melakukan pekerjaan itu. Menurut Pasal 24 ayat 1 UU BPHTB, PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang berupa SSB. Akibatnya banyak masyarakat yang masih belum paham dan mengerti mengenai BPHTB, maka hal tersebut menjadi tambahan aktivitas yang membebani tugas PPAT, padahal bukan merupakan tugas dan tanggung jawab PPAT. Posisi PPAT menjadi pihak yang lemah, di satu sisi PPAT baru bisa melakukan transaksi apabila BPHTB telah dibayar lunas oleh wajib pajak, namun disisi lain PPAT harus juga melayani masyarakat agar masyarakat dapat memahami dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dalam melunasi BPHTB. Undang-Undang NO 20 Tahun 2000 tentang BPHTB memberikan ketentuan yang harus diikuti oleh pejabat yang berwewenang dalam penandatanganan dokumen atau akta perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana ditentukan dalam pasal 24 ayat 1, 2, 3 dan 4 yaitu : 1. PPAT atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. commit to user 53 2. Pejabat Lelang hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. 3. Pejabat yang berwewenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak SSB. 4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris, hibah, hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh pejabat pertanahan kabupatenkota pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak SSB Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotocopy dan menunjukkan aslinya. Dalam ketentuan Pasal 24 UU BPHTB, telihat bahwa pemungutan maupun pembayaran pajak BPHTB ini dikaitkan dengan proses penandatanganan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan yang selanjutnya dengan akta pemindahan hak ini akan dilakukan proses pemutakhiran data yuridis dalam sertifikat hak atas tanah. Dari ketentuan pasal tersebut, menunjukkan bahwa ketika masyarakat memerlukan pelayanan untuk membuat akta peralihan hak harus terlebih dahulu melakukan pelunasan pembayaran pajak BPHTB. Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB, telah dijelaskan sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan di mana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi segala syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak yang salah satunya pembayaran pajak BPHTB. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah akta PPAT merupakan salah satu unsur utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria UUPA. commit to user 54 Dalam Praktek tahapan sebagaimana diuraikan tersebut sulit untuk diterapkan secara tegas, banyak yang menjadi hambatan dalam pembayaran BPHTB dahulu baru penandatanganan akta. Hambatan tersebut berupa : 1. Kemauan para pihak untuk segera membuat dan menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT, tetapi para wajib pajak masih kurang menyerahkan berkas-berkas seperti identitas diri guna keperluan administrasi agar akta jual beli segera dapat dilakukan. 2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah dalam mengenai tata cara pembayaran pajak secara langsung ke bank-bank persepsi yang ditunjuk. Sehingga mereka langsung memasrahkan pada PPAT karena para wajib pajak tidak mau ribet. Padahal bukan tugas pokok seorang PPAT 3. Kakunya peraturan dari Bank persepsi yang ditunjuk dan Kantor Pratama Pajak yang memberikan batas waktu kurang dari jam 11.00 WIB. Penulis juga melakukan wawancara pada beberapa PPAT masalah dalam penandatanganan akta. Dalam Prakteknya beberapa PPAT di kota surakarta ada yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan BPHTB dimana para wajib pajak harus melakukan pembayaran pajak BPHTB dulu baru penandatanganan akta jual beli. Tapi ada juga PPAT yang melakukan beberapa pelanggaran. Pelanggaran tersebut yaitu : 1. Tanggal penandatanganan akta lebih awal dari tanggal pembayaran BPHTB. Penandatangan akta jual beli dilakukan terlebih dahulu, baru pembayaran BPHTB.PPAT yang melakukan pelanggaran tersebut karena mereka tidak takut pada ancaman sanksi denda. Faktanya ada PPAT yang sudah kerja sama pada beberapa pegawai pajak. Mereka mendapat tempo waktu seminggu dari jarak tanggal penandatanganan akta sampai pembayaran BPHTB tidak lebih dari seminggu. Tetapi tidak semua PPAT mendapat dispensasi dari Pegawai Kantor Pajak, mereka yang mendapat dispensasi PPAT yang sudah sering kerja sama pada mereka dan mereka kebanyakan PPAT yang sudah senior. commit to user 55 2. Ada juga PPAT yang nakal mereka mempertimbangkan demi menghindari kewajiban membayar denda yang mengancam dirinya, nomor dan tanggal akta yang dicantumkan dalam aktanya akan ditentukan setelah atau setidak-tidaknya sama dengan tanggal yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli dibayarkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pratama. Kewajiban PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi funsinya sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mencatat dan menjamin tanggal dari perbuatan hukum yang dilakukannya dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat memenuhi sebagai syarat otentik. Terhadap Akta Jual Beli yang ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB akta tersebut tetap sah sepanjang dibuat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan pada prinsipnya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam akta sudah sah dan mengikat bagi kedua belah pihak dengan ditandatanganinya akta tersebut oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Akta Jual Beli yang ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB tidak mempengaruhi keabsahan akta tersebut, karena dalam undang- undang BPHTB tidak ada ketentuan yang menyebutkan akta menjadi batal atau tidak sah jika akta ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB, adapun mengenai sanksi administrasi dan denda yang dimaksud ditujukan kepada pejabatnya. Pada dasarnya akta jual beli terkait dengan pelayanan publik sehingga tidak boleh merugikan masyarakat. Dengan adanya perubahan Undang-Undang mengenai system pemungutan pajak dari official assessment ke system self assessment. Penggunaan self assessment, pemerintah memberikan kepercayaan yang besar kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, serta untuk menjamin adanya kepastian hukum berupa hak dan kewjiban pajak. commit to user 56 System self assessment merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak. Untuk itu, wajib pajak dituntut untuk menentukan besarnya pajak terutang wajib pajak sendiri, wajib pajak harus aktif mulai dari menghitung, meyetor dan melaporkan sendiri. PPAT berperan memeriksa kebenaran formil dan materiil dalam pemberikan nilai harga pasar yang wajar terhadap obyek pajak, sehingga membawa pengaruh pada pendapatan Negara dalam perpajakan dapat dilakukan secara maksimal, akan tetapi dalam prakteknya banyak juga PPAT menggunakan harga obyek pajak berdasarkan NJOP, sedangkan harga transaksi antara para pihak sebenarnya lebih tinggi dari NJOP, hal tersebut dilakukan untuk menghindari pajak yang tinggi bila mengikuti harga transaksi, artinya peranan PPAT dalam hal memberikan informasi tentang harga yang wajar bagi obyek pajak di wilayah kerjanya tidak dapat terlaksana, sehingga tidak ada penerimaan pajak yang maksimal bagi Negara. Bahwa peran PPAT dalam meningkatkan pajak dilakukan dengan dilihat dari dua hal yaitu pada saat penandatanganan akta yaitu memberitahukan kewajiban pembayaran pajaknya dan pada saat pemberitahuan laporan bulanan atas pembuatan akta. Bahwa PPAT dalam mengefektifkan penerimaan Pajak, dapat membantu para pihak untuk melakukan pembayaran pajak-pajak terhutang. Hal ini juga dilakukan untuk mempercepat proses penandatanganan akta Dalam UU N0 20 Tahun 2000 selain mengatur masalah penandatanganan dokumen atau akta UU BPHTB juga memberikan ketentuan yang harus diikuti oleh pejabat yang berwewenang kewajiban untuk mnyerahkan laporan tentang pembuatan akta. Dalam UU BPHTB pasal 25 ditetapkan ketentuan bagi pejabat PPATNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara bahwa: 1 Pejabat Pembuat Akta TanahNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya. commit to user 57 2 Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah Terhadap akta akta yang dibuatnya, PPAT Notaris mempunyai kewajiban untuk melaporkan setiap bulannya ke Kantor Pelayanan PBB, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 UU BPHTB. Dalam Pasal 25 ditetapkan bahwa PPATNotaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.Bagi PPATNotaris atau Kepala Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 25 ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp.250.000,- untuk setiap laporan. PPAT juga berkewajiban untuk menyerahkan laporan tentang pembuatan akta disertai dengan copy SSB kepada KPP Pratama. Penyampaiaan laporan ini diperlukan dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan kewajiban dibidang perpajakan. Laporan PPAT sekurang-kurangnya memuat nomor, tanggal akta, status hak, letak tanah dan bangunan, luas tanah, luas bangunan, nomor dan tahun surat pajak, NJOP, harga transaksi, nama dan alamat pihak yang mengalihkan dan yang memperoleh hak, serta tanggal dan jumlah setoran pembayaran pajak berupa SSB. Penyampaian laporan bulanan atas akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh PPAT diperlukan dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan pembayaran pajak BPHTB atas terjadinya peralihan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut, dan juga bagi petugas pajak untuk melihat kebenaran besarnya pengenaan pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP, mengkompilasikan data yang ada di Bank dengan yang dilaporkan PPAT, serta memilah BPHTB yang bersumber dari peralihan hak atas tanah dan atau bangunan dari PPAT dengan yang bersumber dari peralihan pada kantor pertanahan BPN. Terhadap akta akta yang dibuatnya, PPAT Notaris mempunyai kewajiban untuk melaporkan setiap bulannya ke Kantor Pelayanan PBB, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 UU BPHTB. Dari kedua commit to user 58 Pasal tersebut, nampak adanya kewajiban PPAT Notaris untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak.

B. Akibat Hukum Bagi PPAT Yang Melanggar Ketentuan UU NO 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

6 129 121

PELAKSANAAN PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU NO 21 TAHUN 1997 JO UU NO 20 TAHUN 2000 DAN PERSEPSI PPAT/NOTARIS TERHADAPNYA DI KABUPATEN SLEMAN.

1 4 59

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DALAM PERKARA JUAL BELI TANAH TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DALAM PERKARA JUAL BELI TANAH (Studi di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kantor Pertanahan Surakarta

0 1 15

Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Badung.

2 16 63

PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM JUAL BELI TANAH DAN ATAU BANGUNAN DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 79

Penentuan Harga Jual Beli Tanah Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

0 0 17

BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BPHTB DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA TANJUNG BALAI A. Jenis-jenis Sistem Pemungutan Perpajakan - Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Bel

0 1 27

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

0 1 15

SUATU TINJAUAN TENTANG ARTI PENTING AKTA PPAT DALAM JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH DAN PENDAFTARANNYA

0 0 72

PENERAPAN SISTEM SELF ASSESSMENT PADA PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA SURAKARTA - UNS Institutional Repository

0 1 13