METODOLOGI PENELITIAN Analysis of farmer’s perceptions and strategies in smallholder timber plantation business (case studies of smallholder timber plantations at Gunungkidul District, Special Province of Yogyakarta and Tanah Laut District, Province of So

usaha tanaman kayu dan peluang-peluang yang tersedia bagi upaya pengembangan usaha tanaman kayu tersebut. Pengumpulan informasi-informasi tersebut dilakukan melalui wawancara dengan para tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan di tingkat desa dan kabupaten serta melalui diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion FGD. Wawancara dengan tokoh masyarakat dilakukan antara lain terhadap kepala desa dan perangkat desa, pedagang kayu dan ketua kelompok tani. Wawancara dengan nara sumber atau informan di tingkat kabupaten dilakukan terhadap pejabat atau staf pegawai pemerintahan khususnya pada lingkup Dinas Kehutanan kabupaten dan Kantor Penyuluhan dan perwakilan industri kayu. Diskusi kelompok terfokus dilakukan sebagai pelengkap dari survey rumah tangga. Diskusi ini merupakan bagian dari metoda triangulasi untuk memverifikasi data dan informasi yang diperoleh melalui pelaksanaan survey rumah tangga. Diskusi kelompok terfokus terutama dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang praktek-praktek pengelolaan tanaman kayu rakyat. Diskusi dilakukan bersama perwakilan kelompok tani, tokoh-tokoh masyarakat di lokasi studi kasus dan perwakilan dari instansi lokal yang terkait dengan sektor kehutanan. Diskusi kelompok terfokus yang telah dilaksanakan meliputi:  Diskusi kelompok terfokus tentang praktek pengelolaan hutan rakyat jati di Kabupaten Gunungkidul. Diskusi ini telah dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2007 di Wonosari, Gunungkidul dan dihadiri oleh sekitar 60 peserta dari berbagai perwakilan masyarakat dan instansi setempat.  Diskusi kelompok terfokus tentang hutan tanaman rakyat di Kabupaten Tanah Laut. Diskusi ini telah dilaksanakan di kota Banjarbaru, Desa Asam Jaya dan Desa Ranggang masing-masing pada tanggal 17, 18 dan 19 Maret 2009. Diskusi dihadiri oleh masing-masing sekitar 30 peserta yang merupakan perwakilan dari masyarakat dan instansi setempat. c. Data finansial usaha tani Pengumpulan data finansial usaha tani bertujuan untuk mengetahui kinerja finansial dari usaha tanaman kayu serta usaha tani alternatif lainnya. Di Kabupaten Gunungkidul, data finansial tersebut dikumpulkan dari 31 petani responden yang merupakan sub set dari responden petani di dalam survey rumah tangga. Data yang dikumpulkan mencakup data biaya input produksi dan pendapatan yang diperoleh dari produksi usaha tani. Fokus pengumpulan data adalah pada jenis pengelolaan lahan dengan model kitren fokus uaha pada tanaman jati rakyat dan tegalan fokus usaha pada produksi tanaman pangan. Di Kabupaten Tanah Laut karena belum ada praktek pemanenan hasil tanaman kayu, maka pengumpulan data finansial dilakukan melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap memahami aspek-aspek finansial tersebut. Pengumpulan data di kabupaten ini difokuskan pada kegiatan tanaman kayu tanaman kayu mahoni di Desa Ranggang dan kayu jabon di Desa Asam Jaya dan tanaman perkebunan karet serta kelapa sawit. Kedua jenis usaha tani terakhir dipilih karena relatif sudah dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat di wilayah ini. d. Data inventarisasi tanaman kayu rakyat Inventarisasi atas tanaman kayu rakyat dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik tanaman kayu yang diusahakan petani. Kegiatan ini tidak dilakukan secara langsung oleh penulis, namun dilakukan oleh team peneliti yang tergabung di dalam proyek penelitian seperti telah dijelaskan terdahulu lihat sub bab 3.2. Di Kabupaten Gunungkidul inventarisasi tanaman jati rakyat dilakukan atas 227 petak lahan yang mencakup model penggunaan lahan pekarangan, tegalan dan kitren. Metoda inventarisasi yang digunakan adalah Proportional Stratified Random Sampling dengan menggunakan petak ukur 20 X 20 m. Di Kabupaten Tanah Laut inventarisasi tanaman kayu rakyat dilakukan terhadap 77 petak tanaman mahoni di Desa Ranggang dan 92 petak tanaman jabon serta 19 petak tanaman akasia di Desa Asam Jaya. Informasi rinci tentang pelaksanaan inventarisasi tersebut disajikan di dalam Lampiran 6.

3. 4.

Analisa data Analisa data dilakukan secara deskriptif dan evaluatif dengan mengikuti pendekatan kerangka analisa kelembagaan menurut Ostrom 2006. Analisa deskriptif dilakukan untuk menjelaskan karakteristik petani kayu sebagai aktor utama di dalam usaha tanaman kayu rakyat, kondisi dan situasi yang dihadapi petani di dalam menjalankan usaha tersebut serta berbagai faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani. Analisa evaluatif bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan oleh petani tersebut terjadi sebagai bentuk interaksi antara karakter petani sebagai aktor dengan faktor- faktor tersebut di atas. Analisa evaluatif juga bertujuan untuk menjelaskan implikasi kebijakan dari strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat serta kinerja usaha yang dihasilkannya. Analisa finansial dilakukan dengan dua cara. Pada kasus tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul, analisa finansial dilakukan dengan membandingkan biaya produksi yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh petani di dalam sistem usaha tanaman kayu jati pada kedua model penggunaan lahan kitren dan tegalan. Cara ini ditempuh karena tingkat keragaman yang sangat tinggi di dalam praktek pengusahaan tanaman kayu rakyat yang dilakukan oleh petani responden. Pada kasus di Kabupaten Tanah Laut, analisa finansial dilakukan dengan menggunaan Rasio Biaya Manfaat atau Benefit Cost Ratio BCR dan Nilai Kini Bersih atau Net Present Value NPV pada model usaha tanaman kayu dan usaha tani alternatif lainnya. Karena belum tersedia kecukupan data riil dalam usaha tanaman kayu dan usaha tani alternatif tersebut, sejumlah asumsi digunakan di dalam proses analisa ini. Asumsi-asumsi yang digunakan serta perhitungan analisa disajikan pada Lampiran 9 dan 10.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1. Kabupaten Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul terletak pada garis lintang selatan 7 46’– 8 09’ dan bujur timur 110 21’ – 110 50’. Gunungkidul merupakan salah satu dari lima kabupaten di wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Ibu kota kabupaten adalah Wonosari yang terletak sekitar 39 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki 18 kecamatan, 144 desa dan 1,536 dusun. Luas wilayah kabupaten adalah 1,485.36 km² dan mencakup sekitar 46 dari luas wilayah Provinsi DIY Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2008. Wilayah kabupaten pada umumnya berbukit dan setengah dari luas wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 15. Berdasarkan kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi ke dalam tiga zone, yaitu daerah perbukitan di bagian utara dan sisi timur yang disebut sebagai zone Baturagung, wilayah pegunungan karst di bagian selatan yang disebut dengan zone Gunung Seribu dan daerah yang relatif datar di bagian tengah yang disebut dengan zone Ledok Wonosari Soeharto 2008. Zone Baturagung mempunyai ketinggian antara 200 sampai 700 m di atas permukaan laut dpl dan mencakup wilayah kecamatan Patuk, Nglipar, Gedangsari, Ngawen, Semin dan bagian utara dari kecamatan Ponjong. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah yang berbukit dan bergunung dengan jenis tanah yang didominasi latosol dengan batuan induk vulkanik dan sedimen tufan. Curah hujan per tahun berkisar antara 2,000 – 2,500 mm. Wilayah ini memiliki sungai diatas tanah dan banyak ditemukan sumber air. Wilayah ini potensial untuk tanaman tahunan tanaman perkebunan, buah-buahan dan kayu-kayuan, tanaman semusim padi, palawija, budidaya perikanan darat, pembibitan dan penggemukan ternak Soeharto 2008. Zone Ledok Wonosari terletak pada ketinggian antara 150 sampai 200 m dpl. dan meliputi kecamatan-kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, bagian utara kecamatan Semanu, dan bagian tengah kecamatan Ponjong. Ledok Wonosari merupakan pusat kegiatan pertanian di kabupaten ini. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah landai sampai bergelombang, dengan ketinggian antara 150 – 200 m dpl. dan dikelilingi oleh perbukitan pegunungan. Curah hujan per tahun berkisar antara 1,800 – 2,000 mm. Di wilayah ini terdapat sungai permukaan, sumber air dan diduga terdapat sungai bawah tanah. Seperti halnya di wilayah utara, wilayah ini potensial untuk tanaman semusim padi, palawija dan sayuran, tanaman tahunan seperti tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan, budidaya perikanan darat dan usaha penggemukan maupun pembibitan ternak Soeharto 2008. Zone Gunung Seribu terletak pada ketinggian antara 100 dan 300 m dan mencakup wilayah-wilayah kecamatan Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Girisubo, Rongkop, serta bagian selatan kecamatan Semanu dan Ponjong. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 100 – 300 m dpl. Wilayah ini tersusun dari perbukitan gamping dan banyak mengandung sungai bawah tanah. Wilayah ini potensial untuk tanaman lahan kering padi gogo dan palawija, tanaman buah-buahan, budidaya perikanan darat telaga dan perikanan tangkap serta untuk budidaya ternak Soeharto 2008. Jumlah penduduk di kabupaten ini diperkirakan sekitar 685 ribu jiwa, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 dan survey tahun 2005. Sekitar 66.5 dari jumlah penduduk berada pada usia produktif dimana sebagian besar 82 bekerja sebagai tenaga buruh atau bekerja pada lahan milik keluarga. Produk Domestik Regional Bruto PDRB pada tahun 2007 berdasarkan harga berlaku adalah Rp 4.9 trilyun, dimana sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar dengan prosentase sebesar 34. Pendapatan per kapita bruto pada tahun 2007 berdasarkan harga berlaku adalah Rp 7 juta Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2008. Data statistik pada tahun 2008 tidak merinci PDRB dari sektor pertanian, namun data tahun 2005 melaporkan bahwa pada sektor pertanian, kontribusi terhadap PDRB terbesar diberikan oleh hasil tanaman pangan 64, diikuti oleh kehutanan 27, peternakan 6, perkebunan 2 dan perikanan 1 Gunungkidul Regency 2005. Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul tergolong pesat. Pada tahun 1950an kabupaten ini terkenal sebagai wilayah yang gersang dengan total luas tutupan hutan hanya sekitar 3 dari luas wilayah Filius 1997. Kini total luas hutan sudah mencapai lebih dari 42 ribu ha, atau sekitar 29 dari luas wilayah kabupaten. Hampir 70 dari hutan tersebut adalah hutan rakyat yang didominasi oleh tanaman jati Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2008. Filius 1997 telah menyimpulkan sedikitnya terdapat lima faktor yang mendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Faktor pertama adalah perkembangan teknologi dalam sistem produksi tanaman pangan. Penggunaan pupuk kimia telah meningkatkan produktivitas lahan sehingga mengurangi tekanan terhadap kebutuhan lahan oleh petani dan mereka lebih leluasa mengalokasikan sebagian lahan mereka untuk tanaman kayu. Faktor kedua adalah sebagai respon mereka atas menurunnya kesuburan lahan. Tanaman kayu, khususnya tanaman buah-buahan relatif dapat tumbuh dengan baik dan bertahan terhadap kondisi kemarau panjang dan tanah yang kurang subur, sehingga mendorong mereka untuk menanam tanaman buah-buahan di pekarangan mereka. Faktor ketiga adalah karena keterbatasan tenaga kerja karena migrasi penduduk ke kota untuk mencari pekerjaan. Keterbatasan tenaga kerja menyebabkan petani memilih tanaman kayu untuk dikembangkan di lahan-lahan mereka karena relatif lebih sedikit memerlukan curahan tenaga kerja. Faktor keempat adalah pengaruh pasar yang positif atas produk tanaman kayu, seperti buah-buahan dan termasuk kayu jati. Faktor kelima adalah dukungan kebijakan dan program pemerintah terhadap penanaman kayu, khususnya sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden INPRES tahun 1975 tentang program reboisasi dan penghijauan. Penuturan beberapa tokoh senior Bapak Somo Jamin dan Bapak Wirorejo 4 9 Mei 2008, komunikasi pribadi di Kabupaten Gunungkidul menceriterakan bahwa penanaman jati di lahan-lahan milik petani diawali oleh beberapa tokoh masyarakat yang lebih peduli terhadap upaya perbaikan lingkungan. Sutarpan 2005 mendukung pendapat ini dan menyebut seorang tokoh Bapak Prawirorejo di Kecamatan Nglipar yang telah memulai penanaman jati sekitar tahun 1960. Sutarpan 2005 membagi masa perkembangan tanaman jati rakyat di 4 Antara lain Bapak Somo Jamin Desa Katongan dan Bapak Wirorejo Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar yang menyatakan bahwa mereka termasuk kelompok yang mengawali penanaman jati di lahan milik mereka sekitar tahun 1960an dimana saat itu lahan masih didominasi oleh alang-alang. Gunungkidul menjadi 3 fase, yaitu fase penanaman jati di lahan milik yang dimulai di Kecamatan Nglipar sekitar tahun 1960, fase penanaman jati di hutan penelitian Wanagama, Playen selama tahun 1960 sampai 1970 dan fase penanaman jati pada lahan-lahan milik setelah tahun 1970an yang dimulai di Kecamatan Panggang dan Girisekar. Penulis lain Awang 2001 membagi fase perkembangan tanaman jati rakyat tersebut kedalam empat fase, yaitu fase lahan kritis sebelum tahun 1960, fase penanaman jati secara independen inisiatif sendiri pada tahun 1960 sampai 1970, fase penanaman intensif dengan dukungan program pemerintah pada tahun 1970 sampai 1985 dan fase regenerasi alam sejak tahun 1985.

4. 2. Kabupaten Tanah Laut

Informasi umum tentang Kabupaten Tanah Laut tersedia cukup lengkap pada jaringan internet pada alamat situs http:www.tanahlautkab.go.id Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut 2012. Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu dari sepuluh kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Laut terletak di bagian selatan provinsi tersebut pada posisi 114 o 30’ 22” - 115 o 10’ 30” bujur timur dan 3 o 30’ 33” - 4 o 10’ 30” lintang selatan. Ibukota kabupaten terletak di Pelaihari, sekitar 65 km dari ibukota provinsi, Banjarmasin. Wilayah kabupaten dibatasi oleh Laut Jawa pada bagian barat dan selatan, Kabupaten Tanah Bumbu di bagian timur dan Kabupaten Banjar di bagian utara. Luas wilayah kabupaten adalah 3,631.35 km 2 dan mencakup 9.71 dari wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Laut memiliki 11 kecamatan dan 135 desa. Wilayah Kabupaten Tanah Laut didominasi oleh dataran rendah yang landai di bagian selatan, namun bergelombang dan bergunung-gunung di bagian utara. Dataran rendah dengan ketinggian 0 – 10 m dan kemiringan 0 – 3 mendominasi wilayah kabupaten 67 membentang dari bagian barat hingga timur, mulai dari wilayah selatan pantai ke utara pedalaman. Wilayah ini memiliki potensi untuk usaha tanaman pangan lahan basah padi sawah dan perikanan tambak pada wilayah-wilayah sepanjang pantai. Wilayah perbukitan dengan ketinggian antara 10 hingga 250 m di atas permukaan laut dpl dengan kelerengan 3-25 terpusat di bagian tengah yang membentang dari bagian barat hingga timur dan mencakup sekitar 26 dari luas total wilayah kabupaten. Wilayah pegunungan dengan lereng yang terjal terpusat di bagian utara dengan beberapa puncaknya seperti Gunung Kematian 951 m dpl, Gunung Batu Belerang 921 m dpl dan Gunung Batu Karo 621 m dpl. Kabupaten Tanah Laut termasuk daerah beriklim tropis basah dengan hujan turun merata sepanjang tahun dan curah hujan berkisar antara 2,000 sampai 3,000 mm per tahun. Jenis tanah di wilayah ini didominasi oleh podsolik, alluvial dan latosol. Jenis tanah podsolik yang relatif mudah terkena erosi dengan produktivitas tanah rendah sampai sedang menempati sekitar 33 dari luas total wilayah. Jenis tanah alluvial dan latosol dengan produktivitas sedang sampai tinggi masing-masing menempati sekitar 32 dan 29 dari luas total wilayah. Jumlah penduduk di Kabupaten Tanah Laut berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 adalah 296.282 orang dengan rasio laki-laki dan wanita yang seimbang 1.05. Jumlah penduduk di Kecamatan Takisung dan Jorong yang menjadi lokasi penelitian ini masing-masing adalah 27,923 dan 28,907 jiwa. Laju pertambahan penduduk rata-rata selama tahun 2000 – 2010 di wilayah kabupaten adalah 2.51 per tahun. Kecamatan Jorong termasuk wilayah yang memiliki laju pertambahan penduduk tinggi, yaitu 3.13 per tahun karena termasuk daerah pengembangan industri. Sementara di Kecamatan Takisung rata-rata pertumbuhan penduduknya hanya 1.26 per tahun selama periode tersebut di atas. Kabupaten Tanah Laut memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang mencakup bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan dan kehutanan. Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu sentra produksi pangan di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Produksi padi tahun 2010 mencapai lebih dari 140 ribu ton dan sebagian besar berupa surplus yang dapat dimanfaatkan oleh wilayah lainnya di luar kabupaten. Di Tanah Laut telah berdiri industri tepung tapioka PT. Citra Borneo Sukses Agro yang dapat menampung produksi ubi kayu di wilayah ini. Dalam bidang perkebunan, komoditas kelapa sawit dan karet merupakan dua primadona perkebunan yang mengalami perkembangan cukup pesat. Pada tahun 2010 luas areal perkebunan kelapa sawit dan karet masing-masing mencapai sekitar 91 ribu ha dan 18 ribu ha dengan produksi masing-masing sekitar 45 ribu ton dan 9.6 ribu ton. Dalam bidang pertambangan, batubara dan bijih besi merupakan komoditas unggulan dengan produksi rata-rata selama kurun waktu 2005-2009 masing-masing adalah sekitar 3.5 juta dan 303 ribu metrik ton. Kabupaten Tanah Laut memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 200 km yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai areal budidaya tambak, baik untuk komoditas ikan maupun udang. Produksi perikanan laut pada tahun 2010 mencapai hampir 20 ribu ton, sedangkan budidaya ikan mencapai hampir 800 ton. Kawasan hutan di Kabupaten Tanah Laut sebagian besar tergolong kepada hutan produksi tetap sekitar 66 ribu ha dan hutan konversi sekitar 30 ribu ha. Sisanya berupa hutan produksi terbatas, hutan lindung, taman wisata alam dan suaka margasatwa. Terdapat tiga perusahaan tanaman industri kayu yang beroperasi di Tanah Laut, yaitu PT. Inhutani III, PT. Hutan Rindang Banua HRB dan PT. Emida. PT, Inhutani III merupakan Badan Usaha Milik Negara BUMN yang melakukan usaha penanaman kayu dari jenis Acacia mangium. Luas areal kerja PT Inhutani III mencakup 57,500 ha yang tersebar di Kabupaten Tanah Laut dan Banjar Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2008. PT. Inhutani antara lain memasok salah satu industri kayu di Pelaihari PT. Pradipta Ratanindo sebanyak 20 ribu m3 kayu akasia per tahun Bapak Tatang dan Mr. Gopar 5 23 Mei 2008, komunikasi pribadi. PT. HRB adalah perusahaan dengan luas areal penanaman sebesar 269,000 ha di wilayah kabupaten ini. PT. HRB mengelola sekitar 30 areal tanamannya melalui skema penanaman kemitraan bersama masyarakat. PT. Emida adalah sebuah perusahaan tanaman kayu mahoni yang mengelola areal penanaman seluas 700 ha. Perusahaan ini memasok industri mebelnya yang berlokasi di Surabaya. Pasokan kayu rakyat di wilayah kabupaten masih didominasi oleh kayu karet yang berasal dari program peremajaan tanaman karet. Inventarisasi hutan rakyat yang dilakukan oleh Team Universitas Lambung Mangkurat Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Lambung Mangkurat 2008 melaporkan bahwa luas total hutan rakyat di wilayah ini adalah sekitar 40 ribu ha, yang didominasi oleh hutan rakyat murni 5 Bapak Tatang dan Mr. Gopar adalah nara sumber dari PT. Pradipta Ratanindo Pelaihari. Wawancara dilakukan di lokasi pabrik di Desa Liang Anggang Kabupaten Banjar tanggal 23 Mei 2008. HRM karet 77.5 dan hutan rakyat campuran 22. Jenis layu lainnya yang dijumpai dalam jumlah yang masih terbatas adalah HRM kayu kelapa, jati dan akasia. Selama pengamatan di lapangan dijumpai juga blok-blok tanaman jati dan sungkai Peronema canescens milik masyarakat. Desa Ranggang Desa Ranggang merupakan salah satu dari 12 desakelurahan di Kecamatan Takisung. Lokasi desa mudah diakses dari ibukota kabupaten dan memiliki infrastruktur jalan yang cukup baik. Jarak desa dari ibu kota kabupaten Pelaihari adalah sekitar 18 km dan dapat ditempuh selama kurang lebih 15-30 menit. Luas wilayah desa mencakup sekitar 11.5 km 2 dengan wilayah pemukian yang kompak, terpusat di sekitar jalan utama desa. Relatif semua rumah penduduk mempunyai akses jalan yang mudah. Berdasarkan catatan Profil Desa Ranggang Tahun 2007 Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut Kecamatan Takisung Desa Ranggang 2007, jumlah penduduk di desa ini adalah 2,629 jiwa, terdiri dari 1,318 jiwa laki-laki dan 1,311 jiwa perempuan di dalam 735 KK. Pada saat dilakukan penelitian, jumlah KK telah bertambah menjadi 975 yang tersebar di dalam 10 Rukun Tetangga RT. Kelompok etnis yang menghuni Desa Ranggang sebagian besar berasal dari etnis Banjar 85 dan sisanya berasal dari transmigran asal Jawa yang mulai menghuni desa sejak tahun 1970an Bapak Fachruji 6 16 Okt 2008, komunikasi pribadi. Tanaman karet Hevea brasiliensis Muell, Arg merupakan jenis yang paling banyak dibudidayakan oleh penduduk setempat di desa ini, sedangkan budidaya tanaman mahoni Swietenia macrophylla King. mulai diperkenalkan oleh para pendatang dari etnis Jawa. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat desa Bapak Suripto 7 dan Bapak Heri Supriyanto 8 16 Okt 2008, komunikasi pribadi, penanaman mahoni di Desa Ranggang telah dimulai sejak tahun 1970an secara sporadis oleh masyarakat, walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit. 6 Bapak Fachruji adalah Kepala Desa Ranggang yang telah menjabat sejak bulan Desember tahun 2006. 7 Bapak Suripto adalah Ketua Kelompok Tani Sido Maju di RT 06 Desa Ranggang 8 Bapak Heri Supriyanto adalah Sekretaris Kelompok Tani Sido Maju di RT 06 Desa Ranggang, merangkap sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Penanaman mahoni secara intensif dimulai sekitar tahun 2003 yang dipicu oleh program rehabilitasi hutan dan penghijauan dari pemerintah Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan Balai Pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan. Potensi areal penanaman mahoni yang tersedia di desa ini adalah sekitar 400 ha, dan diperkirakan sebanyak 370 ha telah tertanami. Kegiatan budidaya tanaman mahoni secara aktif terutama dilakukan oleh dua dari delapan kelompok tani yang ada di desa, yaitu Kelompok Tani Sido Maju di RT 6 dan Sinar Karya di RT 7, dimana penduduk di kedua RT tersebut didominasi oleh etnis Jawa. Pada umumnya lahan yang digunakan untuk penanaman mahoni di Desa Ranggang adalah lahan produktif yang biasa digunakan untuk penanaman padi dan palawija. Desa Asam Jaya Desa Asam Jaya merupakan salah satu dari 10 desakelurahan di wilayah Kecamatan Jorong. Lokasi desa terletak sekitar 13 km dari kota kecamatan Jorong dan sekitar 42 km dari ibu kota kabupaten Pelaihari. Desa ini dapat dicapai melalui jalan poros Pelaihari – Batulicin dengan infrastruktur jalan yang relatif baik dengan jarak tempuh sekitar 1 jam dari ibu kota kabupaten Pelaihari. Akses jalan di dalam desa cukup baik karena pada umumnya dapat dilalui dengan kendaraan roda empat, walaupun sebagian besar jalan masih berupa jalan tanah yang telah diperkeras. Desa Asam Jaya merupakan pengembangan dari desa transmigrasi dan sebelumnya disebut dengan Desa Trans 400. Angka 400 menunjukkan jumkah KK transmigran yang pada awalnya ditempatkan di wilayah ini sejak tahun 1991. Catatan profil desa tahun 2007 menunjukkan jumlah penduduk sebanyak 1,621 dengan rasio laki-laki dan wanita = 1.08 dan terdiri dari 410 KK. Penduduk didominasi oleh transmigran dari etnis Jawa 1484 orang dan sebagian kecil dari etnis Banjar, Sunda, Bali, Madura dan Bugis. Berdasarkan ranking kesejahteraan yang dilakukan saat penelitian dilakukan, jumlah KK telah berkurang menjadi 383 KK, yang terdiri dari 95 KK pada kategori keluarga miskin, 226 KK pada kategori sedang dan sisanya 62 KK pada kategori kaya. Mata pencaharian penduduk terdiri dari petani 295 jiwa, karyawan swasta 264 jiwa, buruh tani 63 jiwa, pedagang 59 jiwa, dan sisanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS, tukang jasa dan pengrajin. Berdasarkan catatan profil desa tahun 2007 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tanah Laut 2007, desa ini memiliki luas wilayah sekitar 1,300 ha dengan distribusi penggunaan lahan seperti terlihat pada Tabel 6. Tanaman karet Hevea brasiliensis Muell, Arg, merupakan jenis yang paling populer ditanam petani di Desa Asam Jaya walaupun umur tegakannya relatif masih muda. Luas total tanaman karet masyarakat berdasarkan profil desa tahun 2007 adalah 75 ha. Jenis komersial lainnya adalah kelapa sawit Elaeis guinensis yang mulai menarik minat masyarakat. Luas total tanaman kelapa sawit yang dimiliki masyarakat di desa ini baru mencapai 25 ha. Jenis tanaman kayu rakyat yang dibudidayakan di desa ini adalah tanaman jabon Anthocephalus cadamba Miq,. Penanaman jabon dimulai sekitar tahun 2003 yang diperkenalkan oleh sebuah perusahaan kayu lapis PT, Hendratna. Selain tanaman jabon, beberapa keluarga petani juga memiliki tanaman akasia Acacia mangium Willd. yang dibangun melalui kontrak kerjasama dengan perusahaan hutan tanaman industri, yaitu PT. HRB. Sekitar 25 KK 7 dari total KK di desa telah menjalin kontrak kerjasama dengan perusahaan ini sejak tahun 2003. Di dalam kerjasama tersebut pada prinsipnya petani hanya menyediakan areal lahan karena seluruh aktivitas penanaman dilakukan oleh perusahaan. Menurut penuturan staf PT. HRB di lokasi Bapak Andri Jatiatmana 9 18 Okt 2008, komunikasi pribadi tujuan penanaman adalah untuk memasok industri serpih dengan rotasi tebang antara 6 sampai 7 tahun. Sistem pembagian hasil antara perusahaan dengan pemilik lahan adalah 60:40 dari harga jual kayu yang disepakati setelah dikurangi biaya produksi. Tabel 6 Distribusi penggunaan lahan di Desa Asam Jaya, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut 9 Bapak Andri Jatiatmana adalah perwakilan PT. Hutan Rindang Banua, beralamat di Jl. Sei Baru RT 06 RW 04, Desa Asam-Asam, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut. No. Penggunaan lahan Luash ha 1 Tegalladang 715.50 2 Pemukiman 112.50 3 Sawah tadah hujan 122.00 4 Tanah perkebunan rakyat 61.00 5 Tanah hutan: - Hutan konversi 193.00 - Hutan produksi 49.93 - Hutan lindung 30.00 6 Tanah fasilitas umum: - Kas desa 10.00 - Perkantoran pemerintah 8.00 - Lapangan 3.00 - Lainnya 29.00 Jumlah 1333.93 Sumber: Profil Desa Tahun 2007 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tanah Laut 2007, data diolah.