Kehidupan Ekonomi Masyarakat Betawi di Perkampungan Budaya
Islam sebagai agama masyarakat Betawi. Legenda ini adalah “Cerita tentang Mak Kopi, wanita berdarah Cina”.
26
Cerita tentang Mak Kopi ini diawali dari datangnya seeorang pemuda Islam dari Demak yang datang ke Betawi kemudian
menikah dengan putri Betawi dalam legenda tidak disebutkan siapa nama putri Betawi tersebut. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua orang anak laki-laki
bernama Samsudin dan Hadi.
27
Meskipun saudara, kedua kaka beradik ini memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda. Samsudin mengikuti jejak ayahnya
menjadi penghulu, sedangkan Hadi mengikuti jejak ibunya sebagai petani. Cerita selanjutnya, Hadi menikah dengan perempuan bernama Kopi yang
kemudian dikenal dengan Mak Kopi. Dalam legenda, nenek Mak Kopi adalah wanita berketurunan Cina. Anak keturunan Samsudin dan Hadi menghasilkan
keturunan yang berbeda kerpribadian. Pesilat-pesilat keturunan Hadi mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan pesilat keturunan Samsudin yang lebih religius.
Anak-anak keturunan Hadi kebanyakan menjadi seniman dan berkelana menunjukkan kemahiran seninya.
Dari legenda Mak Kopi, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Pertama hubungan etnis Betawi dengan Cina yang memang telah terjalin lama, yang
digambarkan melalui asal usul Mak Kopi, cucu dari seorang Cina. Kedua berdasarkan tingkah laku dan gaya hidupnya, terlihat orang-orang Betawi terbagi
26
Cerita ini oleh penulis dianggap hidup di tengah masyarakat Betawi karena hampir semua ahli masyarakat Betawi serta orang-orang Betawi muslim di Perkampungan Setu Babakan tahu
dan percaya dengan legenda ini. Kemudian cerita ini oleh Ibu Ninuk Kleden dianggap sebagai sumber sejarah lisan atas asal usul sejarah terbentuknya etnis betawi dan Islam sebagai agamanya,
dalam buku yang berjudul Teater Lenong betawi.
27
Ninuk Kleden-Probonegoro, Teater Lenong Betawi, Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi lisan, 1996, h. 102
dalam sub-sub kultur, keturunan Samsudin adalah kelompok dari orang-orang yang taat terhadap Islam, dan keturunan Hadi adalah mereka para seniman.
28
Selain legenda Mak Kopi, data dari penelitian mengenai agama masyarakat Betawi, menunjukkan besarnya peran Islam dalam keseharian hidup mereka,
seperti tampak dalam otobiografi Ridwan Saidi semasa anak-anak yang menggambarkan bagaimana Islam mewarnai kehidupan kelompok masyarakat
penduduk asli Jakarta :
“... terdapat sebuah masjid bernama An-Nur dekat rumah saya, yang didirikan pada tahun 1926 oleh Haji Tabri Thamrin, ayah dari Muhamad Husni Thamrin. Sama dengan masyarakat
Betawi lainnya, masjid merupakan pusat kegiatan anak-anak. Kami, anak-anak bermain di masjid sepangang siang. Kami pergi ke pengajian pada pagi hari yang diselenggarakan di
masjid. Amat umum untuk anak Betawi disekolahkan ke pengajian sebelum mereka masuk sekolah umum. Nenek saya mengantar saya ke Engkong Musa, imam masjid untuk turut
dalam pengajiannya. Murid-muridnya semua teman saya, membuat saya merasa di rumah. Kami belajar membaca Al-Quran dan belajar sembahyang. Bayarannya sukarela. Wajah
Engkong Musa masih tertanam amat dalam di ingatan saya, laki-laki tua yang kuat, yang melakukan pekerjaannya secara ikhlas. Ketika kami berumur sepuluh tahun, pengajian
dilakukan di rumah guru ngaji pada malam hari. Ketika kelas selesai, kami bermain di halaman masjid. Saya menyadari kemudian bahwa atmosfir keagamaan inilah yang
membentuk kepribadian saya.”
29
Dari kutipan di atas jelas tergambar bahwa agama masyarakat etnis Betawi adalah Islam, termasuk etnis Betawi yang berdomisili di kawasan konservasi
budaya Perkampungan Setu Babakan. Mayoritas penduduk Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah agama Islam. Islam adalah agama yang
dijadikan pedoman hidup. Maka tidak mengherankan jika jumlah masjid di kawasan Setu Babakan
berjumlah 12 unit, dengan jumlah mushola sebanyak 24. Masjid Baitul Makmur adalah salah satu masjid di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang
menggunakan ornamen dan arsitektur Betawi. Selain tempat peribadatan dengan
28
Ninuk Kleden-Probonegoro, Teater Lenong Betawi, Studi Perbandingan Diakronik, h. 104.
29
Ridwan Saidi, Dunia Islam dan Anak Betawi Tempo Doeloe, Panji Masyarakat, 1986.