Untuk mencapai target produksi padi serta keberhasilan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional, segala langkah dan kebijakan dikerahkan
oleh pemerintah seperti subsidi benih padi hibrida, pupuk, pembiayaan usaha tani dan pemberdayaan kelembagaan petani serta perluasan lahan pertanian melalui
konversi lahan yang dilakukan per provinsi DEPTAN, 2009. Penerapan budidaya S.R.I. merupakan salah satu langkah yang dapat
menunjang dan membantu Pemerintah untuk menyukseskan Program P2BN. Usahatani padi sawah metoda S.R.I. merupakan teknologi usaha tani ramah
lingkungan, efisien input, hemat air, melalui pemberdayaan lokal dan kearifan lokal. Saat ini budi daya S.R.I. Sistem of Rice Intensification telah banyak
diperkenalakan dan dengan teknik budidaya S.R.I. dapat meningkatkan produktifitas padi sebesar 50 bahkan 100. Budidaya S.R.I. berbeda dengan
budi daya padi secara konvensional yaitu dengan mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Kelebihan dari S.R.I. yaitu tanaman hemat air, hemat
biaya karena kebutuhan input berkurang, hemat tenaga, hemat waktu tanam bibit muda, panen dapat lebih awal, dan produksi meningkat Suryanata, 2007.
Kondisi tanah yang tidak tergenang pada budidaya S.R.I. dapat mendukung pertumbuhan dan fungsi akar serta meningkatkan populasi mikroba
tanah yang fungsional seperti, Azotobacter, Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dimana mikroba tanah tersebut sangat bermanfaat bagi tanah dan tanaman.
Peningkatan populasi mikroba fungsional tanah karena pengaruh budidaya S.R.I. ini belum banyak diteliti.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dinamika populasi mikroba tanah pada budidaya padi konvensional dan S.R.I., meliputi total mikroba, total
fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut posfat.
1.3. Hipotesis
Populasi mikroba total, fungi total, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat pada budidaya S.R.I. lebih tinggi daripada budidaya padi konvensional.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Padi 2.1.1. Budidaya Padi Konvensional
Tanah merupakan medium bagi pertumbuhan tanaman pada pertanian konvensional. Ketersediaan hara di dalam tanah merupakan salah satu pembatas
pertumbuhan tanaman. Tiga jenis unsur hara utama untuk pertumbuhan tanaman adalah nitrogen, fosfor dan kalium Pusposendjojo, 1991.
Selama ini teknologi budidaya padi sawah identik dengan menggenangi lahan hampir seluruh periode pertumbuhan tanaman padi. Petani mengeringkan
lahan ketika padi sudah mulai menguning dengan tujuaan untuk memudahkan waktu pemanenan. Pola penggenangan secara terus-menerus seperti ini
membutuhkan air dalam jumlah yang besar Kasli et al., 2007. Padi sebenarnya dapat ditanam di dua jenis lahan utama yaitu sawah dan
ladang kering, namun sebagian besar petani menanam padi dengan menggenangi lahannya dalam bentuk padi sawah dan dilakukan dengan pindah tanam setelah
benih dibibitkan terlebih dahulu. Kondisi tanah yang selalu tergenang menyebabkan lingkungan tanah menjadi kurang kondusif bagi tanaman padi,
sedangkan penanaman padi dengan pindah tanam menyebabkan terjadinya kerusakan akar. Hal ini menyebabkan budidaya padi menjadi tidak efisien dalam
penggunaan sumber daya dan hasil padi menjadi rendah dengan rerata nasional hanya mencapai 4–5 tonha saja Santos, 2007. Penggenangan pada penanaman
padi biasanya mendukung hasil panen yang tinggi karena meniadakan cekaman air dan menurunkan gangguan gulma pada sebagian besar tanah, dan dalam hal
tertentu memperbaiki keadaan kimia tanah Sanchez, 1993. Ciri umum dari sawah berpengairan yang selama ini diusahakan adalah
selalu menggenang selama proses produksi, tanah diolah hingga melumpur, penanaman bibit terlalu tua 21-28 hari umur bibit, jarak tanam yang rapat
17x17 cm hingga 20x20 cm dengan jumlah bibit per rumpun 3-8 bibit per lubang, penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl dengan dosis tinggi dan
pengendalian hama dan penyakit yang menggunakan bahan kimia Agustamar dan Syarif, 2007.
Sifat fisik, kimia dan biologi tanah sawah dan tanah pada lahan basah lainnya sangat berbeda dibandingkan tanah pada lahan kering. Lansekap berteras-
teras, adanya pematang dan penutupan tanah dengan lapisan genangan air melindungi tanah dari proses degradasi yang paling menentukan produktivitas
lahan pada jangka panjang, yaitu erosi Sudadi, 2002.
2.1.2. Budidaya S.R.I. System of Rice Intensification
System of Rice Intensification pertama kali dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh seorang biarawan Yesuit asal Perancis bernama FR.
Henri de Laulanié, S. J. Namun teknik SRI meluas dan berkembang hingga diterapkan di 39 negara di Asia, Afrika dan Amerika berkat promosi Prof. Dr.
Norman Uphoff. Sistem intensifikasi ini memungkinkan petani yang mempunyai lahan sempit dapat meningkatkan hasil padinya sampai 50 atau 100 Suryanata,
2007. Pada Tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan
AARD Agency for Agricultural Research and Development di Indonesia melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar. Sementara itu pada tahun 2006
kegiatan validasi pengaruh SRI di 20 negara serta negara lainnya telah diujicobakan dengan hasil yang positif. Keduapuluh negara tersebut meliputi:
Bangladesh, Benin, Cambodia, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philippines, Sinegal, Sierra
Leone, Srilangka, Thailand, dan Vietnam Setiajie et al., 2008. Prinsip-prinsip budidaya padi metode S.R.I. yaitu tanam bibit muda
berusia kurang dari 12 hari setelah semai HSS, tanam bibit satu lubang satu dengan jarak tanam lebih lebar, misalnya 25 cm x 25 cm atau lebih jarang lagi,
pindah tanam harus sesegera mungkin kurang 30 menit dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal, pemberian air tidak tergenang, hanya
macak-macak dan pada periode tertentu dikeringkan sampai pecah irigasi berselangterputus, penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2-3
kali dengan interval 10 hari, sedapat mungkin menggunakan pupuk organik kompos atau pupuk hijau walaupun hal ini bukan keharusan DISIMP, 2006.
Di Indonesia teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau
1999 dengan hasil 6,2 tonha dan musim hujan dengan hasil rata-rata 8,2 tonha. Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di
Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah Setiajie et al.,
2008. Saat ini budidaya padi dengan sistem S.R.I. telah dikembangkan di Bali,
seluruh provinsi di Sulawesi, NTB dan NTT. Di Sulawesi mencakup areal seluas 6.979,3 ha dengan petani sebanyak 7.316 orang sedangkan untuk NTB dan NTT
pada areal seluas 2.449,9 ha yang melibatkan 4.817 petani Suryanata, 2007. Tabel 1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia tahun 1999-2006
Propinsi Hasil tonha
Peningkatan Produktivitas
Tahun Padi S.R.I.
Padi non S.R.I. Jawa Barat
6.8-13.76 3.5-6.8
94-102 2000-2006
Sulawesi Sel. 7.15-8.76
3.19-5.18 124-69
2002-2004 NTB 7.03-9.63
4.20-6.16 67-56
2003-2004 Bali 13.3
8.4 58
2006 NTT 11.7
4.4 165
2002 Lampung 8-8.5 3-3.5 167-143
2002 Data Antara
6.8-13.76 3-8.4
58-165 1999-2006
Sumber: 1. Handout of Cornell University USA, 2007. diolah, 2. DISIMP: Technical Note on Innovative Paddy Cultivation by SRI, 3. Alik Sutaryat 2006.
Budidaya padi dengan menggunakan metode S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78 dan juga dapat mengurangi penggunaan air sebesar
40 dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sebesar 50 juga menurunkan biaya produksi sebesar 20 Sato dan Uphoff, 2007.
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan Indonesia khususnya bagi wilayah yang sumber daya airnya
terbatas, sejak tahun 1990 dibentuklah Small Scale Irrigation Management Project
SSIMP. Dengan SSIMP yang menjadi Decentralized Irrigation System Improvement Project
DISIMP dikembangkan teknik S.R.I. di Indonesia Setiajie et al
., 2008.
Aplikasi irigasi terputus yang dipadukan dengan pengelolaan nutrisi dan pemindahan bibit pada umur muda disamping dapat menghemat penggunaan air,
sekaligus dapat meningkatkan hasil dengan rata-rata sebesar 6,9 tonha sedangkan dengan cara konvensional sebesar 5,4 tonha Kasli et al., 2007.
Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan keragaman mikroorganisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi.
Pada saat bersamaan perakaran memberikan stimulus pada citokinin segera membuat formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas
tanaman Agustamar dan Syarif, 2007. Pengalaman petani dan evaluasi ilmiah memperlihatkan bahwa budidaya
S.R.I. menekankan pada pentingnya potensi genetik tanaman padi. Budidaya ini juga merangsang aktivitas mikroorganisme yang menuntungkan bagi tanah dan
membantu tersedianya hara bagi akar tanaman Suryanata, 2007.
2.2. Mikroba Tanah
Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi kedalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi
residu toksik. Selain itu, mikroba tanah juga berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman Plant Growth Promoting Agents yang menghasilkan
berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar Hindersah dan
Simarmata, 2004 Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikrobiologi tanah
terdiri dari golongan flora dan fauna. Golongan flora yang meliputi bakteri autotrof dan heterotrof, aktinomicetes, fungi dan ganggang algae, golongan
fauna meliputi protozoa, arthropoda, nematoda dan cacing tanah Sutedjo et al., 1991
Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes
, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta sel mikroba per gram tanah. Produktivitas dan
daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian, yaitu
berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen
dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut
Isroi, 2005. Secara umum, budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi total mikroba,
Azotobacter , Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dibanding budidaya
konvensional. Budidaya S.R.I. dengan menggunakan pupuk anorganik, maupun
pupuk organik, dengan atau tanpa penambahan bio-organic fertilizer meningkatkan populasi total mikroba, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat
dibanding budidaya konvensional Nareswari, 2008.
2.2.1. Bakteri dan Fungi
Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya melainkan juga pada ciri alami mikroba yang menghuninya. Mikroba yang
menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, aktinomycetes, jamur, alga dan protozoa Subba Rao, 1994.
Bakteri merupakan mikroba kelompok prokaryotik yang paling banyak terdapat di dalam tanah. Bakteri berperan dalam konversi energi dari bahan
organik tanah menjadi energi yang dapat digunakan oleh organisme lain, berperan penting dalam dekomposisi bahan organik, siklus hara, imobilisasi hara dan
berasosiasi dengan perakaran tanaman Simarmata, 2005. Bakteri merupakan kelompok mikroba dalam tanah yang paling dominan
dan mungkin meliputi separuh dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat dalam segala macam tipe tanah, tetapi populasinya menurun dengan
bertambahnya kedalaman tanah Subba Rao, 1994 Bakteri sangat beragam dalam ukuran, bentuk, keperluan oksigen aerob
dan anaerob, penggunaan energi autotrof dan heterotrof dan hubungan pada tanaman dan binatang saprofit dan parasit Sutedjo et al., 1991.
Fungi ditemukan di dalam tanah. Mereka aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik, berperan penting dalam agregasi tanah, sejumlah
fungi juga dapat menyebabkan penyakit patogen Anas, 1989.
Fungi merupakan mikrobia eukariotik; morfologinya berbentuk benang hifa kumpulan hifanya disebut miselium; termasuk mikroba aerobik dan
tergolong heterotrof. Fungi terdapat pada semua jenis tanah yang bereaksi masam. Fungi memperbanyak diri dengan cara aseksual dan seksual. Fungi kebanyakan
terdapat pada tanah bereaksi masam. Meski demikian, ada juga fungi yang terdapat pada tanah netral atau tanah alkalis. Pemberian pupuk anorganik dapat
merubah populasi fungi di dalam tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah berpengaruh pula terhadap jumlah populasi fungi, karena fungi bersifat
heterotrof Ma’shum et al., 2003. Di dalam tanah, jumlah bakteri jauh lebih banyak dari fungi. Oleh karena
itu, sangat penting menggunakan medium yang secara aktif menyokong pertumbuhan fungi dan sekaligus menekan pertumbuhan bakteri. Senyawa yang
biasanya digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri adalah antibiotik tertentu seperti oxgall, Na-propinat, Bengal Rose, atau pengasaman media yang
mencapai pH 4.5 Anas, 1989.
2.2.2. Mikroba Tanah Fungsional
Peranan mikroba dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan
dengan pembentukan struktur remah, mikroba berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap. Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan
hara, mikroba berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi
bentuk tersedia Ma’shum et al., 2003. Salah satu kelompok organisme yang penting dalam ekosistem tanah dan
berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman adalah rhizobacteri, yaitu bakteri yang hidup di rhizosfer dan mengalami interaksi yang intensif dengan
akar tanaman maupun tanah. Unsur hara yang membatasi produktivitas tanaman adalah nitrogen sehingga pupuk nitrogen selalu ditambahkan sebagai input dalam
produksi tanaman. Untuk menghindari penurunan kesehatan tanaman akibat penambahan input bahan kimia diperlukan input biologis berupa rhizobakteria
Hindersah dan Simarmata, 2004.
Mikroorganisme yang berfungsi sebagai penyedia unsur hara di dalam tanah diantaranya adalah kelompok penyedia unsur N dan pelarut P Phosphate
Solubilizing Microbes . Kelompok penyedia unsur N meliputi : Azotobacter
chrooccum, Azomonas argilis, Azotobacter beijerinckii, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brasilense, Blue Green Algae, Rhizobium japonicum, Rhizobium
lupine, Rhizobium leguminosarum. Sedangkan kelompok pelarut P diantaranya :
Aspergillus niger, Bacillus megatenum, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, Pseudomonas duminuta dan Penicillium sp.
Sutedjo et al., 1990 Menurut Berkelaar 2008, bakteri di dalam dan sekitar akar padi yang
memiliki kemampuan menyediakan nitrogen tidak akan menambat nitrogen dengan optimal bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan atau kondisi
tanah tergenang.
Azotobacter
Azotobacter adalah spesies rhizobakteri yang telah dikenal sebagai agen
biologis pemfiksasi dinitrogen, diazotrof yang mengkonversi dinitrogen ke amonium melalui reduksi elektron dan protonisasi gas dinitrogen. Secara umum,
fiksasi nitrogen biologis sebagai bagian dari input nitrogen untuk mendukung pertumbuhan tanaman telah menurun akibat intensifikasi pemupukan anorganik.
Salah satu bakteri yang penting untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam tanah dan meningkatkan hasil adalah Azotobacter. Kemampuan Azotobacter
dalam memfiksasi N
2
pertama kali diketahui oleh Beijerinck pada tahun 1901 Hindersah dan Simarmata, 2004.
Azotobacter merupakan bakteri penambat-N yang hidup bebas. Sel
Azotobacter bervariasi dalam bentuk batang, polimorfik. Azotobacter bersifat
gram negatif dan berflagela yang tersusun secara peritrikus. Azotobacter bersifat heterotrofik, hidup tidak saja di daerah rizosfer tanaman tetapi juga di dalam tanah
yang bebas dari pengaruh akar tanaman. Azotobacter sangat sensitif terhadap pH rendah. Oleh karena itu pada tanah yang masam pH 6.0 Azotobacter jarang
dijumpai Subba Rao, 1982.
Azotobacter selain memiliki kemampuan menambat N yang tinggi juga
dapat meningkatkan panjang akar tanaman padi, menambah berat basah akar dan meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman padi Razie, 2003.
Mikroba Pelarut Fosfat
Mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi tersedia. Mikroba Pelarut Fosfat
MPF terdiri dari golongan bakteri Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium dan Serratia
dan dari golongan fungi Aspergillus, Penicillium, Culvularia, Humicola dan Phoma
. Populasi mikroba tersebut dalam tanah berkisar dari ratusan sampai puluhan ribu sel per gram tanah Subba Rao, 1982
Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi jenuh. Namun, hara P ini sedikittidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada
mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman.
Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Mikroba pelarut Fosfat merupakan mikroba yang
hidup di daerah rhizosphere yang mampu meningkatkan ketersediaan P dalam tanah dengan mengeluarkan asam-asam organik yang mampu melarutkan P yang
tidak tersedia menjadi tersedia Isroi, 2005. Jenis asam organik yang dihasilkan oleh mikroba pelarut fosfat adalah
asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, fumarat, asam formiat, asetat, glikoat, oksalat, propionat, malat, tartat dan
α-ketobutirat yang mampu mengkhelat kation logam Al
3+
, Fe
3+
, Ca
2+
, dan Mg
2+
, sehingga dapat membebaskan P sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman Subba Rao, 1982.
Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis
mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan
hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah
Glomus sp dan Gigaspora sp Isroi, 2005.
Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular FMA sebagai inokulan indigenous cukup baik jika tanah sawah tidak tergenang atau tidak ditanami padi sawah
secara terus-menerus. Pada kondisi tanpa pemupukan P, Fungi Mikoriza Arbuskular FMA mampu menginfeksi dan bersporulasi pada akar tanaman serta
meningkatkan ketersediaan dan serapan P, serapan N, pertumbuhan dan produksi padi sawah tadah hujan Hanafiah, 2001.
2.3. Biofertilizer
Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan
bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa pupuk, herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil
pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan
memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber kekayaan hayati Isroi, 2005.
Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman,
yaitu Nitrogen N, Fosfat P, dan Kalium K seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74 kandungan udara
adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman.
Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam
bintil akar tanaman kacang-kacangan leguminose. Mikroba penambat N non- simbiotik misalnya: Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N
simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut Fosfat P dan Kalium K Hindersah dan Simarmata, 2004.
Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba
akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara
lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat
mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman Isroi, 2005.
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian