Motivasi petani dalam menerapkan metode SRI (System of Rice Intensification): studi kasus di Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Ahmad Despuriansyah

110113000018

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Skripsi ini menganalisa kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Penelitian skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan data dikumpulkan melalui studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah kepentingan nasional dan konsep aliansi. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan Amerika Serikat dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012 adalah untuk menjalankan strategi extended deterrence dengan memperkuat aliansi militer bersama Jepang yang ditujukan kepada Tiongkok dan Korea Utara, agar stabilitas kawasan Asia Timur terjaga. Tiongkok dan Korea Utara telah dianggap AS sebagai ancaman dalam kepentingannya di kawasan ini. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dianggap AS sebagai langkah yang penting untuk menangkal kekuatan kedua negara tersebut di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS di Asia Timur akan terwujud jika Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan, dan tidak lagi mengikuti isi pasal 9 Konstitusi 1947 yang menyatakan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer dan hanya berlindung pada kekuatan militer AS. Untuk itulah AS memiliki kepentingan dibalik perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu sebagai jalan demi tercapainya kepentingan di Asia Timur. Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran belanja militer konsisten naik, dan berkembangnya teknologi militer Jepang.

Kata Kunci: Kepentingan Nasional, Aliansi, Militer, Kebijakan Pertahanan dan Keamanan, Pasal 9 Konstitusi 1947 Jepang, Extended Deterrence


(6)

ii

Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang Periode 2006 - 2012”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mencapau gelar Sarjana Strata 1 (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam skripsi ini. Sehubungan dengan itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga tercinta terutama Papa dan Mama yaitu Azran Bakri dan Purnamawati Siregar, Abang dan Kakak kandung dan keponakan, Anri Tirta Pratama, Inra Riady Widarta, Nurhasanah Ayu Andira, Desty Natalia Wuriyanti, dan Maulida Salsabilah Anrety, serta semua keluarga di Palembang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, mereka yang telah memberikan dukungan dan doanya untuk kelancaran skripsi ini.

2. Ibu Debbie Affianty selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Beliau juga salah satu orang yang ikut memudahkan kelancaran skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak.


(7)

iii

Nugraha, Ibu Eva Mustofa, Bapak Wendi Prajuli, Bapak Jajang Saprijal dan segenap dosen, tenaga pengajar serta TU FISIP UIN Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan semua, terima kasih telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

4. Teman – teman Keluarga Dubbing 2010, Muslim, Yuri, Idris, Miftah, Rima, Ty, Randy, Nanda, Ana, Rosi, Dek Dita, Dini, Tiwi, Kak Winda, Manda, Septin, Eed, Angga, Inun, Alaptia, Ayu, Dwi, Acun, Melia, dan spesial buat Miss Erna Wati, serta Guru MAN 3 Palembang lainnya Aba Zai, Abi Wahab, Ustd Rozi, Bapak Novir, Bapak Subroto, Bapak Pane, Bapak Mahendra, Ibu Hernawati, Emak kantin belakang dan semuanya yang tidak bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah Swt.

5. Teman – teman alumni SMP N 9 Palembang, Reffy, Nopi, Iqbal, Aldy, Febri, Alem, Aldo, Ari, Lisan, Edi, Eko, Amen, Dayat, Faisal, Beta, Bebeng, Rahman, Hasan, Husin, Nurbeta, Topek, Sandi, beserta para guru, Bapak Musa, Bapak Basarrudin (Alm), Ibu Komalasari, Bapak Syaiful, Bapak Arfani, Ibu Mariani, Ibu Pariani, Ibu Sinaga dan semuanya yang tidak bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah SWT.


(8)

iv

Terimakasih atas dukungan moril bahkan materilnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman – teman seperjuangan alumni Asrama UIN Jakarta, Nadi, Halimi, Indra, Jajat, Imam, Aul, Ucim, Jambul, Arif, dan semua yang tidak sempat disebutkan, terima kasih atas dukungannya, semoga bagi yang belum selesai skripsinya segera dapat menyusul.

Penulis berharap semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan mendapat imbalan dari Allah SWT dan dicatat sebagai sebuah amal ibadah. Penulis menyadari dalam penulisan skrispsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk bahan koreksi dimasa yang akan datang.

Jakarta, 27 Januari 2015


(9)

v

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR SINGKATAN... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK... ix

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Pertanyaan Penelitian... 7

1.3Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7

1.4Tinjauan Pustaka... 8

1.5Kerangka Pemikiran... 14

1.5.1 Kepentingan Nasional... 14

1.5.2 Konsep Aliansi... 16

1.5.3 Kebijakan Luar Negeri... 18

1.5.4 Teori Defensive Structural Realism... 20

1.6 Metode Penelitian... 21

1.7 Sistematika Penulisan... 22

BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012... 24

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang... 24

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 – 2012... 28

BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012... 40

3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang... 40

3.1.1 Kekuatan Militer Jepang... 41

3.1.2 Teknologi Milter Jepang... 51


(10)

vi

Pertahanan dan Keamanan Jepang... 65

4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang... 66

4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok... 69

4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara... 76

4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang... 82

4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur... 82

4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara... 88

4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur... 93


(11)

vii A2 : Anti-Access

AD : Area Denial

APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation AS : Amerika Serikat

ASCM : Anti Ship Cruise Missile

ASEAN : Association of Southeast Asia Nations BMD : Ballistic Missile Defense

BOP : Bilateral Common Operational Picture GDP : Gross Domestic Product

GSDF : Ground Self Defense Force

GSOMIA : General Security of Military Information Agreement IAEA : International Atomic Energy Agency

ICBM : Intercontinental Ballistic Missile JSDF : Japan Self Defense Force KLN : Kebijakan Luar Negeri LDP : Liberal Democratic Party MBT : Main Battle Tank

MEF : Marine Expeditionary Force NATO : North Atlantic Treaty Organization NDPG : National Defense Program Guideline NDPO : National Defense Program Outline NPT : Non-Proliferation Nuclear Treaty PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa PD : Perang Dunia

PKO : Peace Keeping Operation QDR : Quadrennial Defense Review RUU : Rancangan Undang Undang SCC : Security Consultative Commitee SDA : Sumber Daya Alam


(12)

viii

Gambar 1. Peta Pangkalan Militer AS di Okinawa... 26 Gambar 2. Peta Pangkalan Udara Militer AS di Kadena Selatan

Provinsi Okinawa dalam SCCJoint Statement 2012... 37 Gambar 3. Peta Jangkaun Misil Korea Utara ... 81 Gambar 4. Proyek Tahun 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer

AS – Jepang ... 92 Gambar 5. Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik ... 95


(13)

ix

Tabel 1. Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang

pada tahun 1996 – 2005 ... 29

Tabel 2. Daftar Penambahan Peralatan Miltier setelah SCC Joint Statement 2012 ... 36

Tabel 3. Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012 ... 47

Tabel 4. Teknologi Baru Militer Jepang ... 52

Tabel 5. Kepemilikan Misil Korea Utara ... 80

Tabel 6. Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012 ... 96

Grafik 1. Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode ... .... 43

Grafik 2. Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang ... 44

Grafik 3. Anggaran Pertahanan Jepang 2002-2012 ... 49

Grafik 4. Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi ... 69


(14)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan berfokus pada analisa tentang kepentingan Amerika Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang dilakukan oleh Jepang. Wilayah Asia Timur secara khusus akan menjadi fokus utama dalam skripsi ini.

Menurut Wahyu Wardani di dalam tulisannya berjudul “Realm Asia Timur” (2009), Asia Timur merupakan sebuah sub-wilayah Asia di mana luasnya sekitar 11,839,074 km2 atau 15 persen dari benua Asia. Asia Timur terletak di antara Rusia di utara dan di selatan negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Wilayah Asia Timur ini membentang dari daerah gurun di Asia Tengah sampai di Kepulauan Jepang dan Taiwan di kawasan tepi Pasifik Barat (Wardani 2009). Sub-wilayah Asia Timur meliputi wilayah Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Taiwan Mongolia, Korea Utara dan Korea Selatan, dengan populasi sekitar 1500 juta jiwa dan kepadatan 133 jiwa/ km2 (Wardani 2009, h.2). Negara-negara di wilayah Asia Timur yang menjadi fokus utama dalam skripsi ini di antaranya adalah Tiongkok, Korea Utara dan Jepang.

Menurut Ralph A. Cossa dalam tulisan yang berjudul “The U.S Asia-Pacific Security Strategy for the Twenty-First Century” (2000), Amerika Serikat berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama di bidang politik, ekonomi, serta militer (Cossa 2000). Selain karena kawasan Asia


(15)

Timur menjadi prioritas pertama AS, keterlibatan AS pada kawasan ini juga demi kepentingan masa depan AS dalam menjaga hegemoni di kawasan Asia. Keberlanjutan keterlibatan AS pada kawasan Asia dikarenakan Quadrennial Defense Review (QDR) pada tahun 1997 menjelaskan komitmen AS untuk menjaga stabilitas kawasan Asia. Quadrennial Defense Review (QDR) merupakan dokumen nasional AS untuk menjelaskan doktrin militer AS, yaitu dengan penggunaan kekuatan militer secara efektif demi kepentingan nasional AS (Shambaugh & Yahuda 2008). Komitmen AS diperjelas pada masa Presiden Obama dengan mengeluarkan “The Pivot to Asia” yaitu perubahan prioritas Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Timur (The Foreign Policy Initiative 2012).

Selanjutnya aliansi militer AS-Jepang menjadi upaya dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Timur, karena dengan berkembangnya kekuatan militer Tiongkok, masalah konflik semenanjung Korea dan beberapa masalah sengketa wilayah membuat kawasan ini rentan dengan konflik (Moore 2008). AS menilai kekuatan militer Tiongkok sebagai ancaman yang besar bagi kawasan. Penilaian AS tersebut terlihat dari anggaran militer Tiongkok yang terus meningkat dari tahun 1994, sebesar 18% pada tahun 1995 meningkat lagi sebesar 21%, tahun 2005 meningkat sebesar 12,6%, tahun 2006 meningkat sebesar 14,7% dan tahun 2007 meningkat sebesar 17,8% menjadi 44,94 miliar Dollar AS (Kompas, 5 Maret 2007).

Tiongkok juga sangat agresif dalam sengketa Kepulauan Senkaku dan Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 2006, terlihat Kebijakan pemerintah Tiongkok


(16)

yang agresif pada sengketa Kepulauan Senkaku dengan membangun pipa gas di Chunxiao sekitar Kepulauan Senkaku. Kemudian kebijakan ini mendapat protes dari Jepang ketika pertemuan “China-Japan Sea of Peace Cooperation and Friendship” pada Desember 2007. Pada pertemuan tersebut kedua negara tidak menemukan kesepakatan kongkrit masalah konflik ini, karena Tiongkok menolak menghentikan aktivitas pembangunan jalur pipa gas di sekitar Kepulauan Senkaku dan mengancam akan menyerang negara yang menentang kebijakan ini (Karismaya 2013).

Kemudian pada bulan Juli 2007, terjadi tindakan agresif militer Tiongkok pada sengketa Laut Tiongkok Selatan. Kapal Angkatan Laut Tiongkok menembaki sebuah kapal nelayan Vietnam kemudian menewaskan seorang pelaut di sekitar Kepulauan Paracel. Insiden tindakan Angkatan Laut Tiongkok ini membuat konflik Laut Tiongkok Selatan memanas (The Straits Times 2007). Dapat disimpulkan dari beberapa konflik yang sedang dihadapi Tiongkok, sangat terlihat perkembangan militer Tiongkok dapat meningkatkan posisinya dalam proses tawar menawar pada level internasional. Hal ini menguatkan persepsi kawasan terhadap Tiongkok dalam menjadi ancaman bagi kawasan Asia Timur. Selain itu pada tahun 2006 terdapat ancaman senjata nuklir Korea Utara yang dapat menjangkau hampir seluruh dari wilayah Asia Pasifik. Misil Taepoodong II dan Intercontinental Ballistic Missile atau ICBM milik Korea Utara memiliki jangkauan 3500 - 6000 km, dapat mengenai wilayah teritori Jepang (Moore 2008). Pada 9 Oktober 2006 Korea Utara melakukan uji coba nuklir perdana dengan bahan plutonium, bukan seperti pada masa sebelumnya


(17)

hanya dengan uranium yang diperkaya (BBC News 2006). Uji coba yang dilakukan Korea Utara inilah yang memicu ketegangan keamanan di kawasan Asia Timur.

Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerjasama militer bagi AS demi menjaga kepentingan di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS pada kawasan Asia Timur menjadikan Jepang sebagai sekutu yang penting pada kawasan ini. Pada pertemuan antara Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 18 November 2006 terdapat kesepakatan peninjauan kerjasama keamanan bilateral AS-Jepang, khususnya di bidang pertahanan rudal balistik (BMD), dalam rangka memikirkan kembali potensi ancaman dari Korea Utara dan Tiongkok (Xu 2014).

AS meminta Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militernya agar mempermudah, memperlancar dan memperbanyak bentuk kerjasama militer kedua negara (Avery & Reinhart 2013). Presiden Bush meminta Jepang untuk segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan mereka demi memperkuat kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan semakin berkembangnya militer Jepang semakin mudah dan banyak kerjasama militer yang mungkin dilakukan AS-Jepang di masa mendatang. Dalam rangka perubahan kebijakan pertahanan dan keamanannya Jepang diminta AS untuk mendirikan Kementerian Pertahanan agar dapat mengajukan anggaran pertahanan dengan lebih mudah (Deutche Welle News 2007). Ini diikuti dengan perubahan doktrin militer yaitu meninggalkan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer (Cossa 2000).


(18)

Amerika Serikat juga meminta Jepang mengubah doktrin pertahanannya yang lama dan mengganti dengan white paper pertahanan yang baru. Selanjutnya National Defense Program Guidelines (NDPG) paling baru yang dikeluarkan pada tahun 2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon pengembangan kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Avery & Reinhart 2013). Perubahan penting yang terjadi adalah dengan digantikannya “Basic Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”. Artinya Jepang diminta aktif dalam keamanan kawasan, dan tidak hanya sekedar berlindung pada kekuatan militer AS (Japan Ministry of Defense 2010).

Atas dorongan AS, Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika RUU usulan Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkaitan dengan transisi dari Badan Pertahanan Jepang untuk Kementerian Pertahanan disahkan oleh Majelis dan menjadi Undang-undang pada tanggal 15 Desember 2006. Parlemen menyetujui usulan Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut dan diwujudkan pada 9 Januari 2007 atau 53 tahun setelah pembentukan Badan Pertahanan pada tahun 1954. Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan yang merupakan sebuah badan pemerintah yang dibawahi langsung oleh seorang menteri pertahanan, memungkinkan Jepang untuk memiliki anggaran sendiri dalam pertahanan dan keamanan, serta memungkinkan untuk membuat undang – undang pertahanan dan keamanan sendiri. Hal ini kemudian diikuti dengan anggaran militer yang konsisten naik, berkembangnya teknologi militer Jepang dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer (Japan Ministry of Defense 2007).


(19)

Sejak berubah status menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran pertama diajukan hingga 4.86 triliun Yen atau sebesar 43 miliar Dollar AS dan mengajukan anggaran sebesar 200 juta Dollar AS khusus alokasi untuk misil penangkal, atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun – tahun sebelumnya yang telah berjalan (Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal. 12). Hal ini memperlihatkan Jepang mengalami transformasi perubahan kebijakan strategis pertahanannya yang lebih gencar dalam mengadaptasi lingkungan eksternal atas dorongan AS.

Dapat disimpulkan bahwa peningkatan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, peningkatan anggaran militer sejak Kementerian Pertahanan berdiri, perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin militer, merupakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang telah dilakukan Jepang atas dorongan mitra aliansinya Amerika Serikat (Wang 2008). Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ini mencerminkan adanya keinginan AS agar Jepang memainkan peran lebih besar dalam mengatasi ancaman keamanan di kawasan (Deming 2004).

Akan dijelaskan pada bab - bab selanjutnya bagaimana bentuk kerjasama keamanan Jepang-AS yang lebih intensif terjadi pasca Jepang mendirikan Kementerian Pertahanan.Pasca Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri, revisi aliansi Jepang-AS terjadi dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian oleh kedua pihak yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Alliance Transformation: Advancing United States-Japan Security and Defense Cooperation. Kesepakatan ini untuk memperkuat aliansi AS-Jepang khususnya


(20)

untuk menghadapi ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara dengan peninjauan kembali beberapa kesepakatan lama yang dinilai tidak efektif (Japan Ministry of Defense 2007).

Hal penting lainnya pada penelitian ini adalah apa yang menjadi kepentingan AS dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, serta kerjasama aliansi bilateral keamanan kedua negara ini. Tahun 2007 dipilih sebagai awal periode dalam penelitian ini karena pada tahun ini merupakan awal momentum Jepang dalam proses modernisasi militer negaranya karena dorongan AS dalam merespon perkembangan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Pada tahun ini atas dorongan dari AS Badan Pertahanan secara resmi berubah menjadi bentuk kementerian, anggaran belanja militer mulai naik signifikan, teknologi militer mulai berkembang dan terjadinya perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer. Akhir periode dalam penelitian ini adalah tahun 2012 karena tahun tersebut merupakan tahun paling akhir dari revisi kesepakatan aliansi AS-Jepang.

1.2

Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitan sebagai berikut: “Mengapa Amerika Serikat Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang pada periode 2006-2012 ?”

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang 2006 - 2012


(21)

2. Untuk menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan dengan menggunakan konsep kepentingan nasional dan aliansi.

3. Diharapkan tulisan ini menjadi rujukan bagi penelitian serupa di masa mendatang, khususnya tentang kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.

1.4

Tinjauan Pustaka

Tulisan yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini yaitu skripsi yang berjudul “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap Kerjasama Bilateral AS – Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan periode 2001-2006” yang ditulis oleh Faris Bimantara. Faris Bimantara adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta tahun 2007. Faris Bimantara (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Amerika Serikat membuat pangkalan militer di Okinawa yang bertujuan agar AS tetap dapat mengontrol keamanan di Asia Pasifik lebih efektif dan efisien. Pangkalan militer AS di Okinawa mempunyai nilai strategis karena letak kepulauan Okinawa di Jepang sangat menguntungkan bagi kegiatan basis militer AS. Tujuan membendung pengaruh komunis dan konflik di Asia Timur adalah bagian dari upaya mencegah masuknya kekuatan-kekuatan komunis di wilayah Asia Pasifik. Dalam hal ini, Okinawa (Jepang) dinilai sebagai daerah yang tepat bagi tentara AS untuk kepentingan tersebut (Bimantara, 2012).

Tulisan Faris Bimantara ini membahas tema kerjasama militer AS-Jepang yang merupakan tema yang sama dengan analisa penelitian yang akan dilakukan


(22)

pada skripsi ini. Perbedaan skripsi tulisan Faris Bimantara dan penelitian skripsi ini terletak pada fokus analisa penelitiannya. Penelitian Faris Bimantara menganalisa secara detail tentang pengaruh Pangkalan Militer di Okinawa terhadap hubungan bilateral keamanan AS-Jepang. Sedangkan skripsi ini menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Kerangka pemikiran yang dipakai pada skripsi Faris Bimantara yaitu konsep aliansi, kepentingan nasional dan power, perbedaan dengan penelitian skripsi ini hanya pada konsep power yang tidak digunakan dalam skripsi ini.

Skripsi kedua yang menjadi tinjauan pustaka pada penulisan skripsi ini adalah skripsi oleh Satria Satya Nugraha (2014) mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013". Skripsi ini fokus utamanya pada konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan Tiongkok. Pada skripsi ini dijelaskan beberapa dampak yang membuat semakin tegang hubungan Jepang – Tiongkok pasca tindakan Jepang melakukan nasionalisasi Kepulauan Senkaku secara sepihak. Pada tulisan ini dijelaskan faktor utama Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku adalah karena strategisnya wilayah Senkaku bagi militer Jepang dan kepentingan Jepang untuk menguasai sumber daya alam di Kepulauan Senkaku (Nugraha 2014).

Persamaan skripsi Satria Satya Nugraha dengan tulisan skripsi ini adalah analisa hubungan Jepang – Tiongkok atas konflik Kepulauan Senkaku. Perbedaan antara skripsi Satria Satya Nugraha dan skripsi ini terdapat pada skripsi Satria


(23)

Satya Nugraha yang melihat kepentingan Jepang pada Kepulauan Senkaku, sedangkan penelitan pada skripsi ini melihat kepentingan AS pada transfomasi militer Jepang, di mana konflik Kepulauan Senkaku hanya sebagai faktor pendorong Jepang melakukan transformasi militer. Skripsi Satya Nugraha juga menggunakan konsep kepentingan nasional seperti dengan penelitian skripsi ini. Perbedaan kerangka pemikiran yang digunakan penulisan skripsi ini dengan Satya Nugraha pada penggunaan konsep Sengketa Internasional.

Kemudian skripsi dari Mahasiswi FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia tahun 2008 yang bernama Rosy Handayani, dengan judul “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Skripsi Rosy Handayani ini merupakan bentuk penelitian dengan tema yang lebih detail membahas masalah perubahan pertahanan dan keamanan Jepang dengan periodisasi yang cukup panjang, yaitu pasca Perang Dingin sampai era modern Jepang tahun 2007. Dalam penelitian ini Rosy Handayani melihat kebijakan strategis Jepang pasca Perang Dingin (1990-2007) sebagai bentuk adaptasi Jepang terhadap tuntutan internal dan eksternal negaranya. Rosy Handayani juga menyatakan bahwa Jepang memandang adanya indikasi dari negara-negara di sekitar untuk mengembangkan pertahanan negara mereka. Dalam mempertimbangkan masalah keamanan Jepang perlu juga mempertimbangkan kondisi Jepang yang ada, termasuk di dalamnya keterbatasan Jepang dalam masalah strategi militer (Handayani 2008).

Terdapat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Rosy Handayani, yaitu penelitian pada skripsi ini lebih fokus pada


(24)

kepentingan nasional Amerika Serikat dibalik perubahan signifikan Jepang dalam bidang pertahanan. Momentumnya saat Jepang mengeluarkan kebijakan perubahan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, serta saat white paper Jepang pada tahun 2010 yang mengeluarkan kebijakan berupa The National Defense Program Guidelines (NDPG) yang tentu pada penelitian Rosy Handayani belum tercantum. Berbeda dengan skripsi ini, Rosy Handayani menggunakan konsep Security Dilemma dan Deterrence dalam penulian skripsinya.

Selanjutnya tulisan oleh Robyn Lim (2002) yang berjudul “Limits of U.S.-Japan alliance” dalam jurnal Far Eastern Economic Review Volume 165, dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana aliansi militer AS-Jepang memiliki kelemahan karena Jepang masih bersandar pada Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk terlibat dalam aktivitas menggunakan militer. Dalam tulisan ini juga dijelaskan bahwa AS harus melakukan strategi deterrence terhadap Tiongkok dan Korea Utara walaupun aliansi militer bersama Jepang dinilai masih kurang dari beberapa segi, seperti unit senjata militer, doktrin militer dan perjanjian militer yang masih lemah. Lim mengatakan masih perlu adanya perbaikan dalam kerjasama militer AS-Jepang dalam merespon Tiongkok dan Korea Utara (Lim 2002).

Perbedaan rujukan ini dengan skripsi Rosy Handayani terdapat pada periode penelitian, di mana tulisan ini meniliti pada tahun 2002 yang memang belum terjadinya revisi Security Consultative Commitee atau SCC antara AS-Jepang. Sedangkan penelitan skripsi ini pada periode 2006-2012, aliansi militer AS-Jepang telah merevisi Joint Statement aliansi pada 2005, 2006, 2012. Revisi


(25)

tersebut memperbaiki perjanjian sebelumnya dengan mengadakan unit senjata militer yang lebih banyak, doktrin militer yang lebih dinamis serta beberapa penambahan pangkalan militer aliansi.

Kemudian, tulisan dari Young June Park (2010) yang berjudul Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 dalam The East Asia Institute Journal Vol. 56, menjelaskan jika Jepang telah mengubah doktrin militer dengan mengeluarkan white papar dalam National Defense Program Guidelines atau NDPG pada tahun 2010. Park mengatakan Jepang secara tidak langsung telah mengabaikan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang mana mengatur Jepang agar tidak terlibat dalam penggunaan kekuatan militer. NDPG 2010 berisi bahwa doktrin militer Jepang berubah dari “Basic Defense Force Concept”menjadi “Dynamic Defense Force”, yang berarti Jepang harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen, pengawasan dan pengintaian. Militer Jepang dituntut lebih aktif dengan menjalankan serangkaian operasi militer agar lebih siap dalam menghadapi ancaaman baik ancaman tradisional maun non-tradisional (Park 2010).

Tulisan Park (2010) lebih berfokus pada perubahan doktrin militer Jepang, walaupun terdapat analisa mengenai dampak perubahan tersebut pada kawasan Asia Timur. Young June Park juga tidak banyak menjelaskan mengenai kesepakatan aliansi militer AS-Jepang pada tahun 2010. Sementara skripsi ini lebih melihat bagaimana kepentingan AS pada kawasan Asia Timur dalam mendorong perubahan kebijakan militer Jepang, termasuk juga doktrin militernya. Terdapat juga penjelasan mengenai perbuahan doktrin militer Jepang yang dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. Menurut


(26)

penelitan skripsi ini AS sangat besar dalam mempengaruhi perubahan doktrin militer Jepang sehingga pada tahun 2010 dikeluarkan NDPG baru.

Rujukan yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Namzariga Adamy seorang pengamat kawasan Asia Timur, tulisannya yang berjudul “Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin.” Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan re-orientasi terhadap kebijakan politik luar negerinya dengan mengirim pasukan untuk berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke luar negeri sejak Perang Dunia II. Menurut Azami, penting menekankan agenda keamanan nasional (national security) suatu negara, kemampuan milliter (military capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen utama dalam memelihara stabilitas politik internasional (Adamy 2004).

Tulisan Adamy secara detail menjelaskan bagaimana peran militer Jepang pada level internasional. Perbedaan karya Adamy dengan skripsi ini terdapat pada fokus utama di mana karya Adamy hanya pada periode Jepang mengirim Pasukan Perdamaian Internasional ke Kamboja, sedangkan skripsi ini menggambarkan secara umum transformasi militer yang dilakukan Jepang dan kepentingan AS sebagai mitra aliansi Jepang. Kerangka pemikiran karya Adamy menggunakan konsep Ballance of Power yang berbeda dengan skripsi ini, tetapi persamaannya Adamy dan penelitain skripsi ini sama-sama menggunakan konsep kepentingan nasional.


(27)

1.5

Kerangka Pemikiran

1.5.1 Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional sangat penting dalam menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar dalam menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Art & Jervis 2007). Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara secara khas atau berbeda dengan negara lain. Selain itu, kepentingan nasional merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara paling vital seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi (Art & Jervis 2007).

Dalam menjelaskan konsep kepentingan nasional seperti yang dikatakan oleh Daniel S. Papp dalam bukunya Contemporary International Relations (1997) dapat digunakan beberapa kriteria antara lain kriteria ekonomi, ideologi, dan militer. Pertama, kriteria ekonomi dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan kepentingan nasional. Artinya setiap kebijakan yang memperkuat perekonomian suatu negara dapat dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Meningkatkan neraca perdagangan suatu negara, memperkuat industri, minyak dan gas dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Kedua, ideologi di mana kebanyakan negara baik secara formal maupun non formal menggunakan ideologi untuk memberikan legitimasi kepada kebijakan mereka. Bagi beberapa negara, faktor ideologi mempengaruhi kepentingan nasional. Ketiga, faktor militer, bahwa tanggung jawab utama dari sebuah negara adalah memberikan keamanan kepada warga


(28)

negaranya. Sehingga militer menjadi penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan sebuah negara (Papp 1997).

Berdasarkan pernyataan diatas, kepentingan nasional dapat mempengaruhi power dan militer sebuah negara sehingga dapat menjadi lebih kuat dan besar. Oleh karena itu, Waltz (1979) menunjuk kepentingan nasional berdasarkan definisi power, artinya bahwa posisi power yang harus dimiliki negara merupakan pertimbangan utama yang memberikan bentuk kepada kepentingan nasional. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah bahwa suatu tujuan nasional harus diukur menggunakan tolak ukur posisi power negara. Lebih lanjut dalam pemikiran Waltz, dijelaskan bahwa kepentingan nasional merupakan produk- politik (perilaku atau kebijakan negara), dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Semua yang terjadi dalam politik internasional dalam kerangka Neorealism harus dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam sistem (Burchil 1996).

Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan kepentingan (Burchil 1996, h.106). Kepentingan dan ideologis menjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi untuk membuat suatu kebijakan. Kepentingan nasional selalu berkaitan erat dengan keamanan, kesejahteraan, dan juga power (Steans & Pettiford 2001, h.20). Kepentingan nasional adalah kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh sebuah negara untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan keamanan yang dihadapkan pada suatu politik


(29)

internasional (sebagai arena persaingan), serta untuk mencapai pertumbuhan kekayaan, ekonomi dan kekuasaan suatu negara (Stean & Pettiford 2001).

Dari berbagai definisi tentang konsep kepentingan nasional, dalam skripsi ini akan dilihat bagaimana kepentingan nasional Amerika Serikat pada Jepang dalam cakupan kawasan Asia Timur. Amerika Serikat memiliki kepentingan terhadap kawasan ini, maka dari itu Jepang merupakan kunci utama bagi AS untuk tetap menjadi hegemon di kawasan Asia Timur. Apalagi dengan kebangkitan militer Tiongkok yang berideologi berbeda dengan AS, menjadikan AS semakin gencar melakukan aliansi militer dengan Jepang. Jadi dalam penulisan skripsi ini pertanyaan utama yang akan dijawab pada bab - bab berikutnya adalah mengenai kepentingan nasional AS dalam mendorong Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan sebagai respon terhadap peningkatan kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan nuklir Korea Utara.

1.5.2 Konsep Aliansi

Menurut Stephen M. Walt (1985) dalam tulisan Alliance Formation and the Ballance of World Power dengan teori terkenalnya ballance of threat, aliansi merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk menangkal ancaman bersama. Strategi yang aman yaitu bergabung dengan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap ancaman bersama. Walt memberikan istilah balancing yaitu upaya menyatukan kapabilitas kekuatan dengan pihak lain untuk mengimbangi ancaman bersama. Ada alasan utama bagi negara untuk melakukan balancing yaitu jika negara tidak melakukan balancing, maka negara tersebut


(30)

mempunyai resiko untuk menerima dampak dari ancaman negara yang dianggap dapat mengancam. (Walt 1985). Dalam skripsi ini dibahas mengenai AS dan Jepang melakukan aliansi karena menganggap kekuatan Tiongkok dan Korea Utara sebagai ancaman bersama. Aliansi AS dan Jepang digunakan untuk melakukan balancing atau mengimbangi kekuatan terhadap ancaman militer dari kedua negara tersebut.

Semakin kuatnya hubungan aliansi militer AS-Jepang dikarenakan keadaan security dilemma di kawasanyang dibuat oleh Tiongkok dan Korea Utara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Robert Jervis (1978) dalam tulisan Cooperation under the Security Dilemma, semakin besar peningkatan militer suatu negara dapat menimbulkan kekhawatiran yaitu rasa tidak aman yang besar juga pada negara di sekitarnya. Strategi offense-defense dari Robert Jervis (1978) menjelaskan dalam keadaan security dilemma negara yang merasa terancam memiliki dua pilihan untuk merespon negara yang mengeluarkan ancaman, yaitu dengan bertindak menyerang langsung (offense) atau bertahan (defense) dengan memperkuat militernya (Jervis 1978).

Pada penelitian skripsi ini, AS yang merasakan kekhawatiran terhadap perkembangan militer Korea Utara dan Tiongkok dan memilih merespon dengan cara bertahan (defense) dengan menggunakan strategi extended deterrence. Extended deterrence menurut Justin V. Anderson dan Jefrey A. Larsen (2013) dalam tulisan “Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy”, merupakan sebuah strategi militer suatu negera, yaitu dengan membangun kekuatan militer pihak ketiga yang merupakan


(31)

mitra aliansi. Kekuatan dibangun untuk melindungi pihak ketiga dari ancaman sekaligus kekuatan militer yang dibangun digunakan sebagai alat provokasi pada pihak lawan (Anderson & Larsen 2013, h.5).

Pada skripsi ini AS memberikan perlindungan Jepang pada hubungan aliansi militer AS-Jepang dari ancaman militer Tiongkok dan nuklir Korea Utara. Kekuatan aliansi militer AS-Jepang yang semakin juga digunakan sebagai alat untuk menghalangi (to deter) kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Strategi extended deterrence yang dipilih AS karena kawasan ini berjarak jauh dengan wilayah teritori AS. Meningkatkan kekuatan aliansi militer bersama Jepang merupakan pilihan yang tepat bagi AS untuk mengamankan kepentingan AS pada kawasan ini.

1.5.3 Kebijakan Luar Negeri

Menurut Kenneth Waltz (1967) dalam tulisannya “Foreign Policy and Democratic Politics: The American and British Experience”, tidak ada tempat bagi pembuat kebijakan luar negeri dalam pandangan Waltz yang bebas dari struktur sistem. Sistem internasional membentuk cara negara berprilaku dan berinteraksi, termasuk dalam membuat kebijakan luar negeri. Bagi Waltz, bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus bergerak. Pemimpin negara akan secara otomatis mengambil Kebijakan Luar Negeri berdasarkan kepentingan nasional yang dipengaruhi sistem (Waltz 1967). Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka


(32)

dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi, seperti ditekankan pada perkataan Waltz berikut:

“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural pada sistem menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya” (Waltz 1979).

Kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs) termasuk didalamnya adalah kehidupan internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa (Yani 2007).

Pada penelitian skripsi ini, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Kebijakan AS dalam membentuk hubungan aliansi militer bersama Jepang merupakan bentuk kebijakan luar negeri AS terhadap lingkungan eksternal (Jepang). Kebijakan luar negeri AS terkait dengan bentuk kerjasama aliansi bersama Jepang


(33)

tersebut, merupakan dalam rangka merespon persepsi ancaman kekuatan Tiongkok dan Korea Utara (pengaruh sistem internasional). Termasuk juga dengan kebijakan luar negeri AS yaitu “the Pivot to Asia” yang dipengaruhi oleh kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Perkembangan pesat militer Tiongkok dan Korea Utara mempengaruhi stabilitas kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran AS dan Jepang.

1.5.4 Teori Defensive Structural Realism

Menurut John J. Mearsheimer (2007), teori structural realism menjelaskan bahwa untuk memperoleh kekuasaan adalah hal yang terpenting bagi teori ini dalam sistem politik internasional. Hal yang membedakan antara realisme klasik dengan structural realism disini adalah jika realisme klasik akan memandang itu sebagai kebutuhan dasar manusia yang pada hakekatnya selalu haus akan kekuasaan. Namun structural realism disini berpendapat bahwa sifat manusia tidak ada hubungannya dengan mengapa negara ingin berkuasa. Bahwa ini hanyalah sebuah strukturisasi dalam sistem internasional lah yang akhirnya memaksa suatu negara untuk memperoleh kekuasaan itu sendiri. Serta mempertahankan diri dengan membangun kekuatan pertahanan yang kuat merupakan pilihan yang penting bagi suatu negara untk bertahan (defense) dari pengaruh sistem internasional. Istilah “defensive structural realism” inilah yang menjelaskan perilaku negara yang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun pertahanan yang kuat atau menciptakan hubungan aliansi militer yang banyak (Mearsheimer 2007).

Teori defensive structural realism juga menjelaskan bahwa mengejar hegemoni yang berlebihan itu hanyalah merupakan suatu bentuk ekspansi yang berlebihan. Negara dalam mempertahankan hidupnya tidak harus mengejar


(34)

kekuasaan, namun sebaliknya yaitu dengan mencapai jumlah kekuasaan yang sesuai. Tujuan utama dari setiap negara menurut teori ini adalah untuk tetap survive atau bertahan (defense) sebagai sebuah negara. Sebagaimanapun banyaknya tujuan-tujuan baik secara politik, sosial, ekonomi, keamanan dan pertahanan sebuah negara tetap tujuan utamanya adalah untuk bertahan hidup. Teori ini percaya bahwa dengan membatasi diri adalah solusi yang sesuai. Defensive structural realism percaya jika ada satu negara yang terlalu memaksimalkan power dan hegemoninya, hal ini justru akan memicu negara-negara lain untuk beraliansi dan berusaha untuk menandingi hegemoni yang dicapai negara tersebut (Mearsheimer 2007).

Pada penelitian skripsi ini, Tiongkok dan Korea Utara memaksimalkan power dengan menjadi ancaman di kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran aliansi AS-Jepang. Skripsi ini berfokus pada level analisis sistem, dimana sistem internasional telah memaksa aliansi AS-Jepang memperkuat kekuatan militernya dan pada akhirnya AS mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Sebagaimana yang telah dijelaskan teori defensive structural realism, pada skripsi ini aliansi AS-Jepang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun sistem pertahanan yang kuat dalam rangka untuk merespon perkembangan militer Tiongkok dan senjata rudal nuklir Korea Utara.

1.6

Metode Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut John W. Creswell (1994) dalam buku yang berjudul Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, penelitian kualitatif adalah


(35)

suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia, merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan kualitatif untuk menunjang fakta yang terjadi dan dengan teori dapat menganalisa fenomena tersebut (Creswell 1994).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisa berbagai situasi yang menjadi bagian dari permasalahan yang ingin diteliti secara sistematis.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghubungkan teori dengan data-data yang didapatkan melalui riset perpustakaan (library research), yaitu dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta serta perpustakaan Universitas Indonesia. Data-data tersebut didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar dan sumber lainnya (document analysis). Selain itu, dalm skripsi ini juga menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah terkumpul data–data dianalisis dengan teori dan konsep yang digunakan sehingga menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini.

1.7

Sistematika Penulisan

Dalam penelitan ini skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab, yang mana pada tiap bab memiliki inti penjelasan tersendiri. Berikut jabaran dari tiap bab pada penelitian ini:


(36)

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Pertanyaan Penelitian

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4 Tinjauan Pustaka

1.5 Kerangka Pemikiran 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan

BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 - 2012 BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN

KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012

3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang

3.1.2 Teknologi Militer Jepang

3.1.3 Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer

BAB IV : KEPENTINGAN AS DALAMMENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG

4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS 4.2 Faktor Penyebab AS Mendorong Perubahan Kebijakan

Pertahanan dan Keamanan Jepang

4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara

4.3Kepentingan Amerika Serikat terhadap Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang

4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur

4.3.2Extended Deterrence terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara

4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan di Kawasan Asia Timur BAB V : KESIMPULAN


(37)

24

Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa Amerika Serikat berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama politik internasional, dikarenakan Amerika Serikat menempatkan kawasan Asia Timur sebagai prioritas utama dalam kepentingan nasional mereka pada kawasan Asia Timur. Bab sebelumnya juga menjelaskan secara singkat latar belakang dari perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah dan bentuk kerjasama keamanan Amerika Serikat dan Jepang. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian, pertama sejarah singkat kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa awal pasca Perang Dunia II sampai tahun 2005, dan kedua kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa dari awal Jepang melakukan modernisasi militer sampai revisi terakhir aliansi militer AS-Jepang (2006-2012).

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan AS - Jepang

Kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia II memaksa Jepang menandatangani perjanjian kesepakatan yang berisi bahwa Jepang dikuasai Amerika Serikat untuk sementara waktu. Perjanjian ini berdampak pada campur tangan AS untuk kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu pasal 9 Konstitusi 1947 (Irsan 2005).


(38)

Di bawah Konstitusi 1947, AS memaksa Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer dan memulai suatu pola yang secara jelas membagi ekonomi dan politik (Maswood 1990). Menurut Hikmahanto Juwana (1993) dalam tulisan yang berjudul Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, masalah pertahanan dan keamanan Jepang bersandar pada Amerika Serikat. Amerika menempatkan sejumlah pasukannya di Jepang untuk memelihara tatanan dan mempertahankan Jepang dari serangan luar. Jepang lebih fokus pada pembangunan ekonomi domestik negara daripada kebijakan pertahanannya. Jepang menyerahkan masalah pemeliharaan keamanannya kepada Amerika Serikat dalam sebuah perjanjian keamanan Jepang - Amerika Serikat tahun 1951 di San Francisco (Juwana 1993).

Perjanjian San Francisco tahun 1951 mengakhiri konsekuensi dan segala urusan pada Perang Dunia II, serta adanya pembicaraan langkah awal mengenai aliansi militer AS dan Jepang. Sekitar 10 tahun kemudian U.S – Japan Mutual Security Treaty ditandatangani. Pada tahun 1960 perjanjian ini direvisi sehingga berubah nama menjadi Treaty of Mutual Cooperation and Security (Japan Ministry of Defense 2007). Perjanjian militer ini memberikan hak untuk AS mendirikan pangkalan militer di wilayah Okinawa sebagai komitmen dalam memenuhi janji AS menjaga pertahanan Jepang. Di bawah ini peta dari pangkalan militer AS di Okinawa.


(39)

`Gambar 1: Pangkalan Militer AS di Okinawa pada Treaty of Mutual Cooperation and Security 1960

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp

diakses pada 15 Juli 2014

Pangkalan AS di Pulau Okinawa terletak tepat di tengah-tengah wilayah yang sangat padat. Misalnya, Kota Kadena telah dipakai untuk Air Base Military (Pangkalan Militer Angkatan Udara). Pangkalan militer AS di kota ini telah mengambil 83% dari lahan Kota Kadena, dan menyisakan 17 % untuk warga di kota itu. Adapun daerah di Okinawa yang dijadikan tempat bagi pangkalan militer AS adalah Futenma Air Station, Kadena Air Base, Camp Hansen, Camp Schwab, Henoko, Stasiun Komunikasi Tori (Kodansha Encyclopedy of Japan 1983).

Pada masa Perang Dingin strategi AS untuk terus membendung kekuatan komunis Uni Soviet adalah dengan sebanyak banyaknya membentuk aliansi. Jepang dijadikan sekutu aliansi oleh AS karena untuk membantu menangkal


(40)

kekuatan Soviet. Pada awal aliansi AS-Jepang terbentuk, 50.000 anggota angkatan perang AS ditempatkan di Jepang termasuk 2.600 personil Angkatan Darat, 21.000 Marinir (dengan wing udara dan kapal amphibi), dan 230 pesawat tempur Angkatan Udara ditempatkan pada pangkalan militer di Okinawa (Karismaya 2013).

Kapabilitas teknologi dan perindustrian canggih yang dimiliki Jepang merupakan hasil dari pemanfaatan teknologi militer yang diperoleh dari AS sejak 1960-an. Pertukaran teknologi dengan AS bagi Jepang merupakan suatu upaya untuk mendapatkan keuntungan lain dari bentuk aliansi militer. Jepang berhasil menyerap teknologi militer melalui lisensi produk persenjataan AS, yang dilandasi the Mutual Defence Assistance Agreement tahun 1954 (Rosa 2008). Sejak itu, Amerika Serikat dan Jepang semakin menjalin hubungan militer yang kuat.

Pada tahun 1970 kerjasama militer AS-Jepang mengalami peninjauan kembali, hal yang terpenting dari revisi perjanjian ini adalah diberlakukannya anggaran militer Jepang sebesar 1% dari APBN. Sebelumnya, Jepang hanya diperbolehkan mengeluarkan anggaran militer di bawah 1% dari APBN. Hal ini menandakan bahwa AS mulai meminta Jepang untuk mengubah kebijakan pertahanan agar lebih mandiri dan tidak secara berlebihan berlindung pada payung militer AS (Akaha 1990).

Ketika Perang Dingin berakhir pada awal 1990an, Perjanjian Keamanan Jepang-AS mulai melemah, hal ini memunculkan gagasan untuk mencari bentuk baru dari perjanjian Jepang-AS. Pada 17 April 1996 akhirnya Jepang dan AS


(41)

memperbaharui perjanjian keamanannya dengan menandatangani Japan-US Joint Declaration on Security—Alliance for the Twenty-First Century. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, kedua negara setuju untuk meninjau kembali Guidelines for Japan-US Defense Cooperation yang pernah disepakati pada tahun 1978 (Japan Ministry of Defense 2007).

Adanya Joint Statement pada tahun 1997, menciptakan landasan yang solid untuk kerjasama Jepang-AS baik dalam keadaan keamanan Asia Timur yang normal maupun tidak menentu. Ada tiga prinsip dasar yang dihasilkan dari Joint Statement ini, yaitu: pertama, hak dan kewajiban dalam The Japan-U.S Treaty of Mutual Cooperation and Security dan perjanjian-perjanjian lainnya tidak akan berubah; kedua, kerangka dasar kerjasama aliansi Jepang-AS tidak akan berubah; ketiga Jepang akan bertindak sesuai dengan batasan dalam konstitusinya (East Asia Strategic Review 2000).

Pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan masalah-masalah penting, seperti kerjasama pertahanan Jepang-AS, peningkatan militer Tiongkok, dan masalah nuklir Korea Utara. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global (Morrison 2003, h.49).

Pada tanggal 29 Oktober 2005, AS-Jepang dalam Security Consultative Committee (SCC) menyetujui rekomendasi untuk penataan kembali pasukan AS di Jepang. AS dan Jepang bersama meningkatkan keamanan nasional negaranya


(42)

berdasarkan Joint Statement tahun 1997, yang secara bersama menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dan menghalau segala kemungkinan terjadinya penyerangan terhadap AS (Irsan 2007). Berikut gambaran kekuatan persenjataan aliansi AS-Jepang yang mengalami perubahan dari tahun 1996 yaitu awal pemasukan senjata sampai dengan tahun 2005.

Tabel 1: Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005

Kekuatan Militer

Tahun

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tank 25 56 52 52 56 30 26 20 50 100

Artillery Piece - 68 61 49 49 50 67 67 80 90

Armored Personel

35 45 61 60 71 73 9 13 300 400

SSM - 6 16 16 16 16 8 8 4 4

Anti Tank Helicopter

- 8 8 8 8 9 8 6 4 6

Transport Helicopter

- 4 5 5 5 3 3 3 3 3

Surface to air quided missile

- 1 1 1 2 2 3 3 4 5

Destroyer - 3 2 1 3 2 3 3 6 7

Submarine - 1 1 1 1 1 2 3 17 17

Fixed wing anti-submarine

patrol aircraft (P-3c)

10 10 9 9 10 8 7 9 14 15

Anti Submarine 16 13 17 12 12 11 5 7 6 6

Minessweeping Helicopter

2 4 4 2 4 4 1 4 5 7

Fighter Interceptor

(F-15)

10 12 12 12 11 5 7 7 12 27

Transport Helicopter

(CH-47 J)

3 3 2 3 4 5 6 6 12 23

Transport Aircraft


(43)

Sumber: Japan Ministry of Defense diakses pada 2 November 2014 dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy

Dari data diatas dapat ditarik beberapa kenyataan bahwa aliansi AS-Jepang tiap tahun mengalami kenaikan persenjataan dan armada tempur, guna menghadapi serangan musuh. AS dalam hal ini mengakomodasi dan memodernisasi alat-alat tempur Jepang yang telah dikontrol oleh AS, guna menjaga keberlanjutan kerjasama AS-Jepang di Asia Pasifik (Sinaga 2007). Kekuatan militer Jepang memang tidak sekuat negara-negara lain di Asia Timur. Akan tetapi keberadaan Amerika Serikat di Okinawa sebagai payung militer, membuat kekuatan Jepang disegani dan ditakuti oleh banyak negara pasca Perang Dingin (Irsan 2007).

Pasca SCC 2005 hubungan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat, dengan ditandai banyak masuknya persenjataan militer. Realisasi dari kesepakatan aliansi militer AS-Jepang terlihat pada periode ini. Berawal pada tahun 1996 senjata militer banyak didatangkan, hingga pada tahun 2005 senjata militer konsisten bertambah untuk kepentingan aliansi militer. Walaupun beberapa tahun terjadi penurunan jumlah unit persenjataan pada hubungan aliansi militer Jepang, tetapi periode ini merupakan awal dari masa efektifnya aliansi militer AS-Jepang. Tahun 2006, Aliansi Keamanan AS-Jepang memasuki periode baru ditandai dengan transformasi militer yang dilakukan Jepang pada tahun 2006-2007.


(44)

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat – Jepang Periode 2006 – 2012 Percobaan senjata nuklir Korea Utara di tahun 2006, membuat terjadi adanya pembicaraan pada aliansi AS-Jepang. Pemerintahan Bush memasukkan Korea Utara ke dalam daftar hitam negara – negara yang dinilai dapat mengancam kestabilan sistem internasional. Amerika Serikat meminta Jepang untuk membantu terlibat kembali dalam Deklarasi Pyongyang (Avery & Rinehart 2013). Provokasi peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi salah satu faktor pendorong bagi Jepang dalam mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan negara, salah satunya dengan dibentuknya Kementerian Pertahanan pada tahun 2007 (Xu 2014).

Kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke White House disambut baik oleh Presiden George W. Bush pada 29 Juni 2006. Kunjungan ini dalam rangka merayakan ikatan persahabatan AS-Jepang. Dalam pertemuan ini, kedua pihak juga mengingat dan mengevaluasi pencapaian yang didapat dari aliansi AS-Jepang ini, serta kemungkinan adanya perluasan dan penambahan bentuk kerjasama lain (Japan Ministry of Defense 2007). Pada pertemuan ini kedua pihak sepakat untuk terus berkomitmen dalam aliansi berdasarkan nilai – nilai keamanan universal dan kepentingan bersama.

Jepang dan Amerika Serikat kemudian menyepakati Initial Actions for the Implementation of the Joint Statement pada 13 februari 2007 dan difokuskan kepada masalah Korea Utara. Terdapat lima hal penting dari tujuan strategis bersama yang disepakati kedua pihak, yaitu: (Sinaga 2007)


(45)

Pertama mencapai denuklirisasi Korea Utara melalui Six-Party Talks dan memperhatikan normalisasi hubungan Korea Utara, Amerika Serikat dan Jepang. Menyadari kontribusi Tiongkok dalam keamanan regional dan global serta mendorong Tiongkok untuk meningkatkan transparansi dalam anggaran militernya. Kedua meningkatkan kerjasama untuk memperkuat kerjasama dalam APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran penting dalam mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan. Ketiga mendukung usaha ASEAN dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang baik, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar di Asia Tenggara, serta membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. Keempat memperkuat kerjasama trilateral antara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia termasuk dalam hal keamanan dan pertahanan berdasarkan nilai-nilai demokrasi. Kelima, mencapai kerjasama yang lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian dan keamanan serta tujuan strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat.

Kemudian penerapan dari Joint Statement 2007 yaitu proses relokasi militer dari Okinawa ke Guam baru ditandatangani pada tahun 2009, di mana 8000 pasukan marinir AS tersebut akan dipindah dari pangkalannya di Futenma, Pulau Okinawa, Jepang, ke Guam, yang masih merupakan teritori AS (Kompas 2009). Keputusan tersebut memperlancar kesepakatan untuk mengorganisir kembali hampir 50.000 pasukan Amerika Serikat yang berdiam di Jepang. Relokasi pasukan di Jepang merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk


(46)

mentransformasikan pasukan militernya menjadi lebih modern (Moore 2008). Relokasi akan mengurangi jumlah pasukan marinir Amerika Serikat di Okinawa, sebuah wilayah paling miskin di Jepang, menjadi sekitar 7.000 dari 18.000 marinir yang ada saat ini. Target pada 2014 relokasi militer ini sepenuhnya selesai. (Japan Ministry of Defense 2007)

Faktor penyebab utama pengurangan pasukan AS di Okinawa karena di dalam negeri Jepang terjadi penolakan kehadiran pasukan Amerika Serikat. Keberadaan pasukan Amerika Serikat di kepulauan Okinawa sudah lama menjadi masalah kontroversial di dalam negeri. Warga lokal di Okinawa mengatakan keberadaan Futenma sebagai pangkalan militer yang dekat dengan kota sangat berbahaya dan bising. Warga ingin agar pangkalan tersebut dipindahkan ke pulau lain. Selain membahayakan, di kawasan ini kerap terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat, termasuk kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga anggota militer Amerika Serikat terhadap seorang gadis berusia 12 tahun pada 27 April 2009 (Tempo, 21 Agusutus 2009).

Warga Okinawa menginginkan semua fasilitas militer tersebut dipindahkan keluar dari pulaunya. Bahkan Gubernur Okinawa mendesak Tokyo merevisi Kesepakatan Status Pasukan (Status of Forces Agreement) yang memberikan keleluasaan bagi pasukan AS dalam masalah-masalah hukum (Kompas 2009). Faktor domestik Amerika Serikat juga mendorong pasukan militer AS segera dipindahkan. Parlemen Amerika Serikat menekan Pemerintah AS untuk segera merelokasi pasukan dari Okinawa atas nama HAM masyarakat Okinawa (Moore 2008).


(47)

Pada awal 2009 sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS ada upaya pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Pasifik (Khairunissa 2013). Istilah rebalance policy yang menggambarkan AS di Asia Pasifik yang baru, atau dikenal sebagai “The Pivot to Asia” merupakan perubahan prioritas AS terhadap negara-negara di Asia. Hal tersebut terlihat dari upaya AS menambah pasukan di kawasan Asia Pasifik dan memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia. Tidak hanya itu, AS juga mendorong negara-negara aliansinya untuk mengadopsi kebijakan yang sama (The Foregin Policy Initiative 2014).

Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 kembali mengeluarkan Joint Statement of the U.S.-Japan Security Committee. Dalam pertemuan ini masalah – masalah yang telah dibicarakan pada Joint Statement SCC 2007 kembali dibahas, seperti masalah relokasi militer dari Okinawa ke Guam, mengkonstruksi ulang fasilitas militer di Henoko Saki, lebih memikirkan dampak lingkungan dan dampak terhadap penduduk setempat (SCC Joint Statement Document 2010).

Pada 21 Juni 2011 kembali dikeluarkan kesepakatan SCC yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Toward a Deeper and Broader U.S.-Japan Alliance: Building on 50 Years of Partnership. Masalah yang dibahas pada pertemuan dalam rangka setengah abad aliansi AS-Jepang ini berkaitan dengan bencana alam yang terjadi pada Jepang yaitu pada 11 Maret 2011, gempa bumi dan tsunami, serta keadaan darurat reaktor nuklir Fukushima. Kerja sama ini melibatkan operasi gabungan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Pasukan


(48)

Pertahanan Bela Diri Jepang (SDF) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Hal ini telah memberikan keyakinan baru kepada aliansi ini untuk saling membantu bila salah satu pihak tertimpa bencana (Japan Ministry of Defense 2007).

Usaha pembentukan Joint Force dalam aliansi kemudian direncanakan akan dibicarakan pada pertemuan SCC berikutnya. Selanjutnya 27 April 2012 pertemuan SCC dilakukan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dari AS, serta Jepang diwakili Menteri Pertahanan Naoki Tanaka dan Menteri Luar Negeri Koichiro Genba. Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement of the Security Consultative Committee yang intinya memperkuat aliansi bersama serta beberapa revisi terhadap kesepakatan sebelumnya. Revisi tersebut diantaranya mengkomposisi ulang unit militer di Okinawa, Guam, dan daerah luar Jepang lainnya, mengkonsolidasikan pangkalan militer kembali ke Okinawa, membangun fasilitas militer kembali di Futenma, dan mengembalikan pangkalan udara Kadena Selatan (SCC Joint Statement Document 2012).

Kesepakatan bersama SCC pada tahun 2012 ini kemudian menghasilkan beberapa pengaturan ulang terhadap kesepakatan SCC United States-Japan Roadmap for RealignmentI Implementation yang pernah disepakati pada tahun 2006, untuk penempatan fasilitas militer di provinsi Okinawa dan beberapa tempat di dalam negeri dan luar negara Jepang (Dupuy 2012). Beberapa penempatan ulang unit militer pada provinsi Okinawa diantaranya: Marine Corps Air Station (MCAS) di Futenma, Pelabuhan Naha, Markas Kuwae, Markas


(49)

Zukeran di Futenma Barat, Daerah Perbaikan Makiminato, dan Pangkalan Udara di Kadena Selatan. Selain itu revisi kesepakatan SCC ini juga berisi tentang penambahan senjata dan unit militer seperti, penambahan armored vehicle, missiles, mortar,rifle, grenade, howitzer, helicopter, Recon UAV, aircraft dan sebagainya. Penambahan senjata ini dikarenakan beberapa pangkalan militer yang baru dikembalikan di Okinawa membutuhkan fasilitas baru (SCC Joint Statement Document 2012).

Berikut tabel penambahan senjata militer untuk aliansi setelah kesepakatan SCC tahun 2012 dan peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan, Provinsi Okinawa dalam SCCJoint Statement 2012.

Tabel 2: Daftar Penambahan Peralatan Militer setelah SCCJoint Statement 2012

Nama Alat Jumlah Unit

Sebelum Kesepakatan SCC 2012 Jumlah Unit Sebelum Kesepakatan SCC 2012

Type 10 Main Battle Tank 10 53

Type 89 Infantry Fighting Vehicle 9 68

Maneuvr Combat Vehicle 4 103

Type 73 Armored Personnel Carrier 24 338

FH-70 Towed Howitzer 200 310

Chemical Reconnaussance Vehicle 5 47

Type 92 Mine Clearance Vehicle - 5

Bushmaster Protected Mobility Vehicle - 4

LR-2 Super King Aircraft - 7

Lr-1 MU-2 aircraft - 2

Bell Ah-1 Cobra 10 88

OH-6D Scout Helicopter 50 106

RT 120mm Heavy Mortar 50 430


(50)

Sumber: Japan Ministry of Defense dan International Military And Defence Encyclopedia

oleh Trevor N. Dupuy

Dapat disimpulkan dari tabel di atas, aliansi militer AS-Jepang pada kesepakatan SCC 2012 menghasilkan kebijakan aliansi untuk menambah jumlah persenjataan yang ada dan menghasilkan pengadaan jenis senjata yang baru. Selain itu Kesepakatan SCC 2012 juga menghasilkan beberapa keputusan untuk mengembalikan beberapa markas militer yang sebelumnya pada 2009 telah dihentikan sementara. Di bawah ini peta dari pangkalan udara AS di Kadena Selatan.

Gambar 2: Peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCCJoint Statement 2012

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 20 September 2014


(51)

Gambar diatas menjelaskan peta Kadena Selatan berdasarkan daerah mana yang paling memenuhi syarat untuk dikembalikan fasilitas militernya setelah perjanjian Futenma Replacement Facility atau FRF dan Joint Statement SCC 2012. Pengembalian wilayah pangkalan militer ini telah disetujui oleh Parlemen Jepang. Dengan pengembalian wilayah ini membuktikan Okinawa siap kembali menjadi tuan rumah dalam pangkalan militer aliansi (Japan Ministry of Defense 2012).

Dapat disimpulkan sejak Jepang melakukan tranformasi militer hingga tahun 2012, hubungan militer AS-Jepang mengalami banyak sekali perubahan dan revisi kesepakatan bersama. Pada tahun 2006 provokasi yang dilakukan Korea Utara dalam meluncurkan senjata nuklir serta perkembangang pesat kekuatan militer Tiongkok berdampak pada revisi yang banyak pada kesepakatan bersama aliansi, di mana beberapa pertemuan SCC menghasilkan keputusan untuk terus memperbaiki kinerja dari aliansi militer ini. Hubungan aliansi mulai mendapat pertentangan dari internal Jepang saat munculnya isu perlakuan asusila dan kriminalitas yang dilakukan para tentara AS di Okinawa. Hal ini berdampak pada wacana pengurangan pasukan militer Amerika Serikat di Jepang bahkan adanya wacana mengusir penuh.

Akan tetapi hubungan buruk ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2009 melalui “The Pivot to Asia”, Presiden Obama memfokuskan Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Timur. Hal ini kemudian direalisasikan pada tahun 2012 dengan mengeluarkan dokumen resmi Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Hal ini menjadikan


(1)

x

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adamy, Namzariga. Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja : Suatu TinjauanTerhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin, Jakarta : UI, 2004.

Akaha, Tsuneo. Japan Security After US Hegemony , The International Relation of Japan, Kathlen Newland : London Publishing Group, 1990.

Anderson, Justin V & Jeffrey A. Larsen. Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy,Colorado: USAF Institute for National Security Studies, September 2013.

Anggoro, Kusnanto. Makalah Pembanding Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII: Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum, Jakarta: CSIS, 2003.

Art, Robert J & Robert Jervis Robert.International Politics Enduring Concepts and Contemporary Issues, New York : Pearson Longman, 2007.

Ashley J.T., & Janice Bially. Measuring National Power in the Postindustrial Age. New York: Rand, 2000.

Avery Emma & Rinehart Ian E. U.S – Japan Alliance. Congressional Research Service: December 2013.

Beck, Paul Allen dan Frank J.Sorauf. (1992). Party Politics in America. USA : HarperCollins Publisher

Betts, Richard K. Conflict After the Cold Arguments on Cause of War and Peace, Mac Millan Publishing Company, 1994.

Burchill, Scott. Theoris of International Relation, New York : Palgrave, 1996. Biddle, Stephen. Military Power: Explaining Victory and Defeat In Modern Battle.

New Jersey: Princeton University Press, 2004.

Bishop, Chris (eds) The Encyclopedia of Weapons of World War II. Barnes & Nobel. 1998.

Buzan, Barry.“An Introductionto Strategic Studies: Military Technology and International Relations” dalam ikrar Nusa Bakti, “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik”..Jurnal Ilmu Politik, No.10 1997.

Buzan, Barry & Eric Herring, The Arms Dynamic in World Politics, (London:Lynne Rienner Publisher, 1998)

Dupuy, Trevor N.International military and defence Encylopedia : vol : 1-6 Brassery’s (US) NY : 2012

Cossa, R A. The U.S Asia-Pacific Secuirity Strategy for the Twenty-First Century, pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.

Creswell, John W. 1994. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : SAGE Publications,IncCharles,William Maynes. The perils of (and for) an Imperial America, foreign Policy, Summer, 1998.


(2)

xi

Dosch, John. 2004. “The United States in the Asia Pacific”, pp. 17-34 in Michael K Connors, Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the Asia-Pacific.

Kim, Suk Hi, Terence Roehrig adn Bernhard Seliger. The Survival of North Korea.USA: McFarland & Company, Inc. Publishers, 2011.

Kodansha Encyclopedy of Japan. Tokyo: Kodansha.1983.

Gray, Colin. “The Arm Race Phenomenon”, dalam Bilveer Singh, The Chalenge of Conventional Arms Proliferation In East Asia , CSIS, Jakarta:1995.

Gill, Stephen & David Law. Perspective, Problems and Policies, Baltimore: The Hopkins University Press, 1998.

Griffiths, M. Fifty Key Thinkers in International Relations. New York: Routledge. 2001.

Goldstein, Joshua S. International Relations. Longman, 2004.

Halloran, Richard. “Japan’s Military Force: Return of The Samurai”. Parameters, No. 25, Winter, 1995.

Herz, John. Political Realism and Political Idealism : A Study in Theories and Realities, Chicago : Chicago University Press, 1951.

Hughes, Christopher W. Japan’s Remilitarisation. New York: Routledge. 2009. Irsan, Abdul. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta : Grafindo, 2007. Irsan, Abdul. Jepang: Politik Domestik, Global, dan Regional. Makassar:

Hasanuddin University Press, 2005.

Jackson, R. & Sorensen, G. Introduction to International Relations, Oxford University Press. 1999.

Lilley, James. “Foreword” in Military Modernization.1996. London: TJ Press. Maswood, Javed S. Japanese Defence : The Search for Political Power, Singapura:

ISEAS, 1990.

Murata, Koji. “Japan Military Cooperation and Alliances in the Asia-Pacific Region”pada pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.

Morrison, Charles E.,2003. 200. Asia Pacific Security Outlook, Tokyo: Japan Center for International Exchange, Inc.

Papp, Daniel S. Contemproray International Relations: Framework for Understanding, US: Maemilan College, 1997.

Prabhakar, Lawrence W, Joshua H. Ho, and Sam Bateman. The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia Pacific. Singapore: Institute of Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2006.

Reinard, John C. Communication Research Statistics, SAGE, 2006.

Shambaugh, David & Yahuda Michael. International Relations of Asia (Asia in World Politics). New York: Rowman & Littlefields Publisher, Inc, 2009. Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. Hubungan Internasional : Perpektif dan Tema.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Sutter, R. G. China’s Rise in Asia: Promises and Perils. Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005.

___________. The United States in Asia: Challenged but Durable Leadership Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005.


(3)

xii

Tjeng, Lie Tek. Percaturan politik di kawasan Asia Pasifik. Jakarta: PT karya universe, 1983.

Waltz, Kenneth N. Foreign Policy and Democratic Politics: The American and British Experience. Little, Brown and Company. New York: 1967.

Waltz, Kenneth N. Theory of Internasional Politics, Addison-Wesley Publishing Company, Philippines, 1979

Wang, Ke. Japan’s “Defense” Policy: Strengthening Conventional Offensive Capability, University of Pennsylvania, 2008.

Wardani, Wahyu. Realm Asia Timur. Malang: Universitas Negeri Malang, 2009.

Jurnal :

Deming, Rust, 2004. “Japan’s Contitution and Defense Policy: Entering New Era” . Jurnal Strategi Forum 213 Nov.

East Asian Strategic Review 2000, “A New Legal Framework for Japan-U.S. Defense Cooperation”, Vol. XI, No. 12, Tokyo: The National Institue for Defense Studies, 2000.

Hughes, C. W. (2009). "Super-sizing" the DPRK threat: Japan's evolving military posture and north korea. Asian Survey, Vol 49(2), 291-311.

Jervis, R. "Cooperation under the Security Dilemma," World Politics vol. 30, no.2, January 1978.

Juwana, Hikmahanto. Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, The Indonesian Quarterly, Vol XXI, No. 4, Fourth Quarter. 1993.

Karismaya, Hesti. Manajemen Konflik Jepang-Cina dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku. Journal ilmu hubungan internasional, Mei Vol 127, Universitas Mulawarman, 2013

Khairunissa. Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Volume 1 No.3 589-604, 2013.

Lim, Robyn. (2002). Limits of U.S.-japan alliance. Far Eastern Economic Review, Vol 165 (17), p.20.

Mergel, S., & Dueck, C. (2012). Hard line: The republican party and U.S. foreign policy since world war II. Journal of American Studies, volume 46(2), 517-518

Monica, Sandra. Strategi Jepang Menghadapi Rusia Terhadap Sengketa Kepulauan Kuril Tahun 2008-2012, Universitas Riau, 2013.

Moore, Gregory J., 2008. “How North Korea Threatens China’s Interests: Understanding Chinese duplicity’ on the North Korean Nuclear Issue”, International Relations of the Asia Pacific, Volume 8,

Nakanishi, Hiroshi. Toward a New Foreign Policy Doctrine. Vol. 44, No 23. Japan Inst. of International Affairs, 2003

Park, Young June. Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 and Its Implication to South Korean Security Policies, Republic of Korea: The East Asia Institute Journal Vol. 56, 2010.


(4)

xiii

Prajuli, Wendy A. Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang: Mungkinkah Berhasil Dilakukan?.Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008. Rosa, Rizki. Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional

AS. Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008.

Sinaga, Obasatar. Aliansi Jepang-Amerika Serikat dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Utara. Jurnal Hubungan Internasional II Volume II No. 1 Februari 2007.

Sukma, Rizal. Kebangkitan dan Peran Strategis Cina dalam Kerja Sama Asia Timur: Perspektif Indonesia. Analisis CSIS Vol. 38 No. 3 September 2009.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Kebijakan Pertahanan Jepang. Jurnal Studi Jepang Volume 1, Jakarta:Universitas Indonesia, 1999.

Shoji, Tomotoka “Japan’s Security Outlook: Security Chalange and the New National Defense Program Guidelines”, dalam Security Outlook of the Asia-Pasific Countries and Its Implications for the Defense Sector. NIDS Joint Research Series No. 6, 2011.

Walt. Stephen M. Spring. 1985. Alliance Formation and the Balance of World Power. International Security Vol 9 No. 4. MIT Press. Hal 4

Skripsi :

Bimantara, Faris. “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap Kerjasama Bilateral AS-Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Periode 2001-2006”.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

Handayani, Rosy. “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Universitas Indonesia: Jurusan Hubungan Internasional, 2008. Nugraha, Satya. “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan

Jepang – Cina 2012-2013”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, 2014.

Dokumen Resmi :

Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. US Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC 2003

_______________________. Document of Army Strategic Planning Guidance 2012 ______________________. Document of Sustaining US Global Leadership:

Priorities for 21st Century Defense 2012

Kementerian Pertahanan Jepang. National Defense Program Guidelines 2004 ________________________. National Defense Program Guidelines 2010 ________________________. National Defense Program Guidelines 2012 Security Consultative Committee U.S-Japan. Joint Statement Document 2010 ___________________________________. Joint Statement Document 2012 Konstitusi Jepang. Diakses dari

http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution _e.html pada 20 Desember 2014

Koran dan Media Online:

Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal.7 Harian Kompas 5 Maret 2007, Hal.8


(5)

xiv Harian Republika 30 Agustus 2006, Hal 12. Harian Tempo 21 Agustus 2006, Hal.5

ABC News. Diakses dari http://abcnews.go.com/ pada 9 Desember 2014

Antara News, http://www.antaranews.com/berita/364372/as-akan-lanjutkan-kebijakan-penyeimbangan-kembali-di-asia-pasifik diakses pada 3 Desember 2014

BBC News, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6036491.stm diakses pada 5 Oktober 2014

China Daily, 19 Desember 2003. Diakses dari

http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/257710001?pq-origsite=summon pada 24 Desember 2014

Deutsche Welle News http://www.dw.de/alliance+U.S=Japan diakses pada 16 November 2014

The Diplomat Magazine, http://thediplomat.com/2014/12/the-okinawa-reality/ diakses pada 15 November 2014

KBS News. Pada 24 Desember 2014 dan diakses dari

http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm

New York Times http://www.nytimes.com/2014/05/09/opinion/japans-pacifist-constitution.html diakses pada 13 November 2014

The Straits Times. www.straitstimes.com diakses pada 30 Desember 2014

Tempo Online http://www.tempo.co/read/news/2012/04/27/116400174/Amerika-Serikat-Tarik-Marinirnya-dari-Okinawa diakses pada 10 November 2012 Website:

Bibby, John F. Political Parties in the United States, 2005. diakses dari https://www15.uta.fi/FAST/US4/REF/pparties.html pada 25 Desember 2014 Geographic, 2014. Dikases dari http://www.geographic.org pada 20 November 2014 Global Security http://www.globalsecurity.org pada 5 November 2014

Halloran, Richard. Real Clear Politics: January 08, 2007 diakses dari http://www.realclearpolitics.com/articles/2007/01/japans_defense_chang_sy mbolic pada 6 Juni 2014

The Foregin Policy Initiative, “The Pivot to Asia”

http://www.foreignpolicyi.org/content/obama-administrations-pivot-asia diakses pada 6 Desember 2014

Jakarta International Defence Dialogue, 2012. Diakses dari http://www.apsdex.com/jidd-2014/

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. http://www.state.gov diakses pada 20 November 2014

Kementerian Luar Negeri Jepang http://www.mofa.go.jp diakses pada 19 Juni 2014.

Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. http://www.defense.gov diakses pada 19 November 2014


(6)

xv

Nikkei Asian Review http://asia.nikkei.com/japan+constitution+1947 diakses pada 18 Oktober 2014

Military Ballance. https://www.iiss.org pada 8 Oktober 2014

Politics Stacks Exchange http://politics.stackexchange.com/questions/817/does-the-us-republican-party-have-a-demographics-problem diakses pada 14 Desember 2014

Project 2049 Institute, U.S.-Japan Exchange Program Capstone Report. http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014.

Toki, Masako. “Japan's Defense Guidelines”: New Conventional Strategy, Same Old Nuclear Dilemma. 2011. http://www.nti.org/analysis/articles/japans-defense-guidelines/ diakses pada 21 April 2013

United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA). diakses dari http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/NPT.shtm pada 1 November 2014

US Census Bureau 2012. Diakses dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c0016.html pada 15 Desember 2014

World Bank. Dari http://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS pada 25 September 2014

Xu, Beina. “The U.S.-Japan Security Alliance”. Council on Foreign Relations: diakses dari http://www.cfr.org/japan/us-japan-security-alliance/p31437 pada 24 September 2014

Yani, Yanyan Mochammad. Politik Luar Negeri. Universitas Padjajaran Bandung: 2007 diakses melalui

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pd f pada 4 Februari 2015


Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

4 102 81

Analisis Komparasi Pendapatan Petani Sistem Tanam SRI (System of Rice Intensification) Dengan Petani Sistem Tanaman Legowo (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

2 84 123

Studi Pelaksanaan Program SRI (System of Rice Intensification) Petani Pemula dan Petani Berpengalaman(Studi Kasus: Desa Aras, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara)

0 40 81

ENGARUH PERBEDAAN SISTEM TANAM KONVENSIONAL DENGAN SRI (System of Rice Intensification ) TERHADAP DOMINANSI GULMA DAN HASIL TANAMAN PADI

3 31 15

Motivasi petani dalam menerapkan metode SRI (System of Rice Intensification): studi kasus di Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya

0 10 118

KARAKTER MORFOLOGI PADI PADA PERTANAMAN DENGAN PENDEKATAN SRI (System of Rice Intensification) Morphological characters of rice under System of Rice Intensification

0 0 11

Kajian Peran Serta Petani Terhadap Penyesuaian Manajemen Irigasi untuk Usaha Tani Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) di Petak Tersier Daerah Irigasi Cirasea, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

0 1 16

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 10

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 17

Analisis Komparasi Pendapatan Petani Sistem Tanam SRI (System of Rice Intensification) Dengan Petani Sistem Tanaman Legowo (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 46