Peningkatan populasi dan keragaman fauna tanah melalui pengelolaan hayati tanah pada budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

(1)

PENINGKATAN POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA

TANAH MELALUI PENGELOLAAN HAYATI TANAH PADA

BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)

DI KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

DITA DAMAYANTI

A14060839

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

DITA DAMAYANTI. Peningkatan Populasi dan Keragaman Fauna Tanah melalui Pengelolaan Hayati Tanah pada Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RAHAYU WIDYASTUTI dan ISWANDI ANAS.

Fauna tanah merupakan bagian penting dari suatu ekosistem di dalam tanah, seperti peranannya dalam proses dekomposisi, memperbaiki aerasi dan meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah. Perbedaan dalam penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi dari fauna tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan cara pengelolaan lahan dalam rangka melestarikan ekosistem yang nantinya mampu meningkatkan populasi fauna tanah mengingat pentingnya peran dari fauna tanah. Salah satu caranya adalah pengelolaan hayati tanah yaitu dengan memperbaiki lingkungan (habitat) fauna tanah seperti memodifikasi jarak pematang pada lahan sawah. Pada penelitian ini, ingin diketahui jarak pematang sawah yang lebih efisien dalam meningkatkan jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah pada lahan sawah.

S.R.I. adalah teknik budidaya padi inovatif untuk meningkatkan produksi

padi. Prinsip dasar dari metode S.R.I. antara lain penggunakan bibit muda (8-12 hari), jarak tanam lebih lebar, pengairan macak-macak, dan penanaman bibit

tunggal. Kombinasi kedua cara tersebut dapat dijadikan upaya dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya padi sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, sebab diharapkan populasi fauna tanah meningkat, begitu juga dengan produksi padi sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan.

Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Kecamatan Cibungbulang, Bogor dan di Laboratoriun Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan perlakuan jarak antara pematang dengan dua level serta dilakukan empat ulangan. Dua level tersebut adalah budidaya padi pada petak dengan jarak pematang sempit (4 m) dan budidaya padi pada petak dengan jarak pematang lebar (8 m).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dan biomassa fauna tanah pada petak berjarak pematang 4 m adalah masing-masing sebesar 26259 individu/m2 dan 11.7 g/m2, pada petak berjarak pematang 8 m masing-masing sebesar 8402 individu/m2 dan 2.3 g/m2, pada pematang sawah 4 m, masing-masing sebesar 25343 individu/m2 dan 10.8 g/m2, dan pada pematang 8 m, masing-masing sebesar 19611 individu/m2 dan 6.4 g/m2. Penanaman kedelai pada pematang sebagai naungan terbukti dapat meningkatkan jumlah fauna tanah pada pematang, dapat dilihat dari jumlahnya yang semakin meningkat dari H-0 sampai H-90. Indeks keragaman pada perlakuan dengan dua level ini adalah rendah (<1.5). Taksa dengan jumlah individu sangat dominan pada kedua lahan sawah adalah Collembola sementara pada kedua pematang adalah Hymenoptera. Produktivitas tanaman pada petak sawah berjarak pematang 4 m yang dilihat dari tiga komponen hasil yaitu hasil panen (ton/ha), persentase gabah isi dan hampa, serta bobot gabah 1000 butir (g) menunjukkan hasil cenderung lebih baik dibanding petak sawah berjarak pematang 8 m. Masing-masing sebesar 5.08 ton/ha, 82.64 % dan 17.36 % serta 26.87 gram untuk


(3)

petak sawah berjarak pematang 4 m. Sementara untuk petak sawah berjarak pematang 8 m masing-masing 4.96 ton/ha, 76.39 % dan 23.61 % serta 26.29 gram.

Kata Kunci : Populasi Fauna Tanah, Keragaman Fauna Tanah, Biomassa Fauna Tanah, S.R.I. (System of Rice Intensification)


(4)

SUMMARY

DITA DAMAYANTI

. The Increase of Soil Fauna Population and Diversity

Through Soil Biological Management in System of Rice Intensification (S.R.I.) Cultivation at Cibungbulang Subdistrict, Regency of Bogor. Under Supervision of

RAHAYU WIDYASTUTI and ISWANDI ANAS.

Soil fauna is important component in the soil ecosystem. They play a very important role in organic matter decomposition, nutrient cycling, nutrient availability and uptake, soil physical properties, prevention of nutrient leaching, and maintain plant health through natural predation and parasitism of plant pathogens and pest. Land management practice can affect soil fauna population and diversity, therefore land management should be environmental frindly, in order to preserve the ecosystem and consequently improve diversity of the soil fauna. In the rice field ecosystem, modification of bund distance is one of managements to improve population and diversity of soil fauna. This research aimed to evaluate the effect of different bund distance (4m and 8m) on soil fauna population and diversity in System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. is an innovative cultivation technique to increase yields. The basic principles of S.R.I.

method are the use of young seedling of 8-12 days old, wide spacing of 30 cm x 30 cm, maintain unflooded soil condition and planting with a single seed.

The research was conducted in Cibungbulang sub district of Bogor regency and Laboratory of Soil Biotechnology of Soil Science and Land Resource Department, Bogor Agricultural University. The research used a treatment of bund distance with two levels (4m and 8m) and four replications.

The result showed that the abundance and biomass of soil fauna in plot with 4m bund distance (4m plots) were 26259 individual/m2 and 11.7 g/m2, respectively, and plot with 8m bund distance (8m plots) were 8402 individual/m2 and 2.3 g/m2, respectively. Abundance and biomass of soil fauna in 4m bunds were 25343 individu/m2 dan 10.8 g/m2, respectively, meanwhile in 8m bunds were 19611 individu/m2 and 6.4 g/m2, respectively. The cultivation of soybean in the bund was proven to be able to increase soil fauna population in the bund, that can be seen from 0 day to 90th days. Diversity Index calculated according to Shannon Diversity Index showed the low value (< 1.5) in both 4m plots and 8m plots. The most dominant animals in 4m and 8m plots was Collembola, meanwhile in the bunds was Hymenoptera. The rice productivity determined by the parameters of yield (ton/Ha), filled and empty grain percentage (%), and weight of 1000 grains (g) showed a higher value in 4m plots, as compared to 8m plots. The results in 4m plots based on parameters above were 5.08 ton/ha, 82.64 % 17.36 % and 26.87 g, respectively, meanwhile in 8m plots were 4.96 ton/ha, 76.39 %, 23.61 % and 26.29 g, respectively.

Keywords : Population of Soil Fauna, Diversity of Soil Fauna, Biomass of Soil Fauna, S.R.I. (System of Rice Intensification)


(5)

PENINGKATAN POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA

TANAH MELALUI PENGELOLAAN HAYATI TANAH PADA

BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)

DI KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA PERTANIAN

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DITA DAMAYANTI

A14060839

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Penelitian :Peningkatan Populasi dan Keragaman Fauna Tanah Melalui Pengelolaan Hayati Tanah pada Budidaya

System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

Nama Mahasiswa : Dita Damayanti NRP : A14060839

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen pembimbing II,

Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc NIP. 19610607 199002 2 001 NIP. 19500509 197703 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan,

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 30 Oktober 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Apdih dan Ibu Tumiyatun.

Pendidikan formal penulis dimulai di TK Aisyiyah, Jakarta dan lulus pada tahun 1994. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri 09 Bintaro, Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 178 Jakarta. Selama menjalankan studinya di tingkat menengah pertama, penulis mengikuti ekstrakulikuler Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) dan basket. Setelah lulus dari tingkat menengah pertama, penulis melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah akhir di SMU Negeri 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Selama menjalankan studinya di tingkat menengah akhir, penulis mengikuti ekstrakulikuler Perisai Diri (PD) dan pernah menjadi juara III Wiralaga kelas D putri (42-45 kg) saat mengikuti kejuaraan antar pelajar se-DKI Jakarta yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno pada tanggal 2 Mei 2004. Pada tahun tahun yang sama (2006), penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah menyelesaikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis di terima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalankan studinya di IPB, penulis pernah menjadi panitia sebagai seksi dekorasi pada Seminar Nasional dengan tema ”Soil and Mining (Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Berazazkan Kelestarian Lingkungan)” pada tahun 2008 dan ”Soil and Palm Oil (Potensi Pengembangan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia : Tinjauan Aspek Lahan)” pada tahun 2009, serta pernah menjadi asisten praktikum Biologi Tanah (2009/2010) dan Bioteknologi Tanah (2010/2011).


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa menganugerahkan nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai tugas akhir menjalankan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB). Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kebaikan kita, nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umat pengikutnya sampai hari kiamat. Skripsi yang berjudul Peningkatan Populasi dan Keragaman Fauna Tanah melalui Pengelolaan Hayati Tanah pada Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Atas selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc serta Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas,

M.Sc selaku pembimbing skripsi pertama dan kedua atas bimbingan, saran, bantuan, kesabaran, dan motivasinya sejak awal penelitian sampai tersusunnya skripsi ini.

2. Ir. Fahrizal Hazra, M.Sc selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang sudah membimbing penulis dalam menjalani akademiknya.

4. Kedua orang tua tercinta (Bapak, Mama) serta kedua adik (Dina, Dimas) dan seluruh Keluarga Besar yang selalu memberikan kasih sayang, dorongan, dan do’a yang tulus tanpa batas kepada penulis.

5. Bapak Jatnika sebagai pemilik lahan percobaan NOSC di Kecamatan Cibungbulang, Bogor yang telah memberikan izin menggunakan lahannya untuk penelitian ini.

6. Bapak Opik, Bapak Sukar, dan Bapak Ahdi yang telah sepenuhnya membantu jalannya penelitian di lapang serta memberikan dukungan dan do’a.


(9)

7. Seluruh staf Laboratorium Bioteknologi Tanah : Ibu Asih Karyati, Ibu Juleha, Bapak Sarjito, dan Ibu Yeti atas bantuan dan motivasinya selama penelitian.

8. Seluruh teman seperjuangan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, terima kasih atas motivasi, dukungan, dan do’anya.

8. Teman-teman seperjuangan MSL ’43 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas motivasi, dukungan, dan do’anya.

9. Mba Hesty selaku Staf Tata Usaha yang dengan kesabarannya telah membantu kelancaran segala macam proses yang telah dijalani penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen ITSL, Fakultas Pertanian, IPB.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Desember 2010

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Fauna Tanah Sebagai Suatu Komunitas ... 4

2.1.1. Lingkungan Hidup Fauna Tanah ... 4

2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah ... 6

2.1.2.1. Ukuran Tubuh ... 6

2.1.2.2. Habitat ... 7

2.1.2.3. Pola Makan ... 7

2.1.2.4. Kehadirannya Dalam Tanah ... 8

2.1.3. Ekstraksi Fauna Tanah ... 8

2.1.3.1. Alat Ekstraksi Kering ... 9

2.1.3.2. Alat Ekstraksi Basah ... 9

2.1.4. Beberapa Contoh Fauna Tanah ... 10

2.2. Peranan Fauna Tanah ... 11

2.3. Tanah Sawah ... 13

2.4. S.R.I. (System of Rice intensification) ... 13

2.4.1. Sejarah S.R.I. ... 13

2.4.2. Prinsip Budidaya Padi Metode S.R.I. ... 14

2.4.3. Keunggulan Metode S.R.I. ... 14

2.4.4. Manfaat Metode S.R.I. ... 15

III. BAHAN DAN METODE ... 16

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

3.2. Bahan dan Alat ... 16

3.3. Metode Penelitian... 17


(11)

3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah... 18

3.3.3. Pelaksanaan Penelitian di Lapang ... 19

3.3.3.1. Persiapan Lahan dan Penyemaian Benih ... 19

3.3.3.2. Penanaman Padi dan Kedelai ... 20

3.3.3.3. Pemupukan, Pemeliharaan Tanaman, dan Pemanenan 20 3.3.4. Pengamatan Komponen Hasil ... 21

3.3.5. Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium ... 22

3.3.5.1. Ekstraksi Fauna Tanah ... 22

3.3.5.2. Perhitungan dan Identifikasi Fauna Tanah ... 23

3.3.6. Analisis Tanah ... 24

3.3.7. Analisis Data... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Fauna Tanah ... 25

4.1.1. Populasi Total Fauna Tanah ... 25

4.1.2. Keragaman Fauna Tanah ... 28

4.1.3. Biomassa Fauna Tanah ... 31

4.2. Produktivitas Padi ... 34

4.3. Hama Tanaman Padi ... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1. Kesimpulan ... 38

5.2. Saran ... 38


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Jumlah total fauna tanah (individu/m2) di petak sawah dengan jarak pematang

4 m dan 8 m pada hari ke-0, 30, 60, dan 90... 27

2. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada budidaya padi di petak sawah dan pematangnya... 29

3. Taksa fauna tanah dominan (N1) di petak sawah dan pematangnya... 30

4. Taksa fauna tanah yang sangat dominan (N2) di petak sawah dan pematangnya………. 31

Lampiran 1. Sifat kimia dan fisik tanah pada lokasi penelitian………. 44

2. Hasil analisis pupuk Urea, SP-36, dan KCl... 45

3. Referensi biomassa fauna tanah... 45

4. Jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) pada budidaya padi di petak sawah berjarak pematang sempit (4 m) dan lebar (8m)………... 46

5. Jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) pada budidaya padi di pematang 4 m dan 8 m... 47

6. Taksa fauna tanah yang dominan (N1) dan sangat dominan (N2) menurut waktu... 48

7. Biomassa fauna tanah di petak sawah berjarak pematang sempit... 49

8. Biomassa fauna tanah di petak sawah berjarak pematang lebar... 49

9. Biomassa fauna tanah di pematang sawah sempit... 50


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Alat ”Berlese Funnel Extractor”……….. 17

2. Tata letak petakan percobaan di lapang... 18

3. Populasi total fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) di petak dan pematang sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m... 25

4. Populasi total fauna tanah di petak dan pematang sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m : (a) kelompok mesofauna, (b) kelompok makrofauna... 28

5. Total biomassa fauna tanah di petak dan pematang sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m... 32

6. Beberapa contoh fauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian... 33

7. Produktivitas padi (ton/ha) pada petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m... 34

8. Rata-rata gabah isi dan hampa (%) pada petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m... 35

9. Bobot gabah 1000 butir di petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m.... 36

Lampiran 1. Persiapan lahan penelitian………... 51

2. Penyemaian benih padi Ciherang... 51

3. Padi umur 26 hari………. 52

4. Padi umur 35 hari... 52

5. Padi umur 42 hari... 52

6. Padi umur 71 hari………. 53

7. Padi umur 83 hari………. 53

8. Padi siap panen... 53

9. Kegiatan dan kondisi saat panen... 54

10. Tanaman kedelai yang ditanam pada pematang sawah………... 55

11. Pengambilan contoh tanah... 55


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kebutuhan nasional akan pangan khususnya beras sebagai bahan makanan pokok penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahun seiring dengan pesatnya pertambahan penduduk. Penyebabnya adalah rendahnya produktivitas pertanian Indonesia saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan telah menghasilkan berbagai sistem pertanian padi untuk meningkatkan produksi padi, antara lain S.R.I. (System of Rice Intensification).

S.R.I. merupakan salah satu pendekatan dalam budidaya padi yang menekankan pada pengelolaan tanah, tanaman, dan air. Prinsip S.R.I. adalah menggunakan bibit padi yang masih muda (umur 8-12 hari), menanam satu bibit per titik tanam, pemberian air secara macak-macak (lembab namun tidak tergenang), jarak tanam yang lebih lebar (misal 30 cm x 30 cm atau lebih). Keunggulan dari S.R.I. yaitu tanaman hemat air, hemat biaya karena kebutuhan input berkurang, hemat tenaga, hemat waktu (tanam bibit muda, panen dapat lebih awal), dan produksi meningkat (Suryanata, 2007).

Organisme tanah cukup baik sebagai bioindikator tanah karena memiliki respon yang sensitif terhadap praktek pengelolaan lahan, berkorelasi baik terhadap sifat tanah yang menguntungkan dan fungsi ekologis seperti penyimpanan air, dekomposisi dan siklus hara, netralisasi bahan beracun dan penekanan organisme patogen berbahaya. Organisme tanah sangat berperan terhadap perbaikan sifat biologi, fisik, dan kimia. Secara biologi organisme tanah mampu memberikan kondisi lingkungan yang mendukung bagi kehidupan organisme lain. Secara fisik, organisme tanah berperan dalam proses penghancuran bahan organik atau yang lebih dikenal dengan dekomposisi bahan organik. Secara kimia, organisme tanah berperan dalam ketersediaan unsur hara di dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman.

Fauna tanah merupakan bagian penting dari suatu ekosistem di dalam tanah. Beberapa peranan dari fauna tanah antara lain dalam perbaikan kesuburan tanah dengan menghancurkan fisik, pemecahan bahan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, dan membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah.


(15)

Selain itu fauna tanah berperan juga pada aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994).

Perbedaan dalam penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi fauna tanah. Akan terjadi penurunan secara nyata terhadap biodiversitas makrofauna tanah jika pengolahan tanah dilakukan secara intensif, pemupukan, dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992). Oleh karena itu, dibutuhkan cara pengelolaan lahan dalam rangka melestarikan ekosistem yang nantinya mampu meningkatkan biodiversitas (populasi) fauna tanah, sebab mengingat pentingnya peran dari fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah melalui pengelolaan hayati tanah dengan memperbaiki lingkungan fisik fauna tanah seperti memodifikasi jarak pematang pada lahan sawah. Umumnya saat tanah tergenang (kondisi anaerob) fauna tanah banyak yang bermigrasi ke lingkungan yang lebih kering seperti pematang sawah. Hal demikian terjadi karena pematang sawah merupakan lingkungan yang lebih disukai oleh fauna tanah karena kondisi yang lebih aerob dibanding lahan yang tergenang.

Usaha lainnya adalah dengan menerapkan sistem budidaya padi metode S.R.I.. Pada budidaya S.R.I. tanaman padi akan mendapatkan suplai hara berlebih karena jarak tanam yang longgar sehingga meminimalkan terjadinya persaingan dalam memperebutkan hara. Sehingga tanaman padi akan tumbuh dengan baik yaitu jumlah anakan akan lebih banyak dan akar yang rimbun. Kondisi yang seperti ini memungkinkan keberadaan fauna tanah berlimpah akibat suplai bahan organik yang tinggi. Selain itu, kondisi lahan yang macak-macak juga akan disukai oleh fauna tanah karena aerasi dalam tanah pun akan lebih baik (O2

tercukupi). Kombinasi kedua cara tersebut dapat dijadikan upaya dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya padi sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, sebab diharapkan populasi fauna tanah meningkat, begitu juga dengan produksi padi yang diharapkan akan maksimal sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan.

Menurut penelitian Widyastuti (2002), petak sawah dengan jarak pematang sempit (4 m) mempunyai jumlah fauna tanah yang lebih tinggi dari petak sawah berjarak pematang lebar (8 m), namun penelitian tersebut tidak


(16)

dilaksanakan dengan budidaya padi metode S.R.I.. Pada penelitian ini, ingin diketahui jarak pematang sawah yang lebih efisien dalam meningkatkan jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah pada lahan sawah padi dengan metode S.R.I. di petak sawah dan pematang sawah karena belum banyak penelitian mengenai hal ini.

1.2.Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh jarak pematang sawah 4 m dan 8 m terhadap jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah pada budidaya S.R.I. (System of Rice Intensification) di petak sawah dan pematangnya.

1.3.Hipotesis

Jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah di lahan sawah pada petak dengan jarak pematang 4 m akan lebih tinggi dari pematang yang berjarak 8 m.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fauna Tanah Sebagai Suatu Komunitas

Fauna tanah merupakan organisme yang seluruh atau sebagian besar daur hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah juga permukaan tanah yang berperan dalam membantu mendekomposisi bahan organik (Suin, 2006). Menurut Rahmawaty (2004), fauna tanah adalah bagian dari organisme tanah yang merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah. Fauna tanah yang tergolong dalam kelompok heterotrof ini mendapatkan energi dari substrat organik dalam tanah. Selain itu terdapat pula kelompok autotrof yang tidak memerlukan energi dari substrat organik (Singer dan Munns, 2006).

2.1.1. Lingkungan Hidup Fauna Tanah

Tanah didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1986). Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup. Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994).

Menurut Burges dan Raw (1967), sifat biologi tanah merupakan kisaran luas dari organisme hidup yang tinggal di dalam tanah dan mendukung secara langsung produktivitas serta kelestarian dari ekosistem terestrial. Adapun komponen sifat biologi tanah itu terdiri dari fauna tanah, bakteri, fungi, akar tanaman, dan biji-bijian. Fauna tanah termasuk ke dalam salah satu komponen sifat biologi tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan


(18)

kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah, faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 2006).

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.

Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (2006) menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen.

Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo et al., 1996). Menurut Soepardi (1983), dibandingkan dengan area yang masih utuh, lahan yang diusahakan umumnya mempunyai jumlah dan biomassa fauna tanah lebih sedikit, sedangkan penggunaan lahan dengan praktek pengelolaan lahan seperti penggunaan pupuk organik, pengelolaan lahan dengan mempraktekan teknik konservasi tanah dan air dapat meningkatkan jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah.


(19)

2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah

Fauna tanah merupakan komponen dari komunitas dalam tanah yang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori tergantung dari tujuannya, yaitu: ukuran tubuh, habitat, pola makan, dan kehadiran dalam tanah.

2.1.2.1. Ukuran Tubuh

Van der Drift (1951) membagi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Kelompok mikrofauna yang memiliki ukuran tubuh < 0.2 mm. 2. Kelompok mesofauna yang memiliki ukuran tubuh 0.2 - 2.0 mm. 3. Kelompok makrofauna yang memilki ukuran tubuh 2.0 - 20.0 mm. 4. Kelompok megafauna yang memilki ukuran tubuh > 20.0 mm.

Menurut Wallwork (1970), berdasarkan ukuran tubuhnya fauna tanah dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Kelompok mikrofauna yang memilki ukuran tubuh 20 µm - 200 µm, seperti: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada. 2. Kelompok mesofauna yang memiliki ukuran tubuh 200 µm - 1 cm,

seperti: Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida (Spiders), Isopoda, Diplura, Protura, Mollusca, Diplopoda, dan larva Coleoptera. 3. Kelompok makrofauna yang memiliki ukuran tubuh > 1 cm, seperti:

Coleoptera, vertebrata kecil, dan Chilopoda.

Wild (1993) mengelompokkan fauna tanah menurut ukuran tubuh menjadi 3 kelompok, yakni mikrofauna (<0.1 mm), mesofauna (0.1-10 mm), dan makrofauna (>10 mm). Sedangkan Suhardjono dan Adisoemarto (1997) mengelompokkannya menjadi: (1) mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadium pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2) Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 – 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking, (3) Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh > 10.5 mm, seperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.


(20)

2.1.2.2. Habitat

Sistem klasifikasi tanah berdasarkan habitatnya dibagi menjadi epigeon, hemiedafon, dan eudafon. Epigeon merupakan fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuhan di permukaan tanah. Hemiedafon merupakan fauna tanah yang hidup pada lapisan bahan organik tanah, sedangkan Eudafon hidup pada lapisan tanah mineral (Suin, 2006).

Menurut Van der Drift (1951) dalam Szujecki (1987) membedakan fauna tanah berdasarkan habitatnya menjadi 3 kelompok yaitu endogeic (fauna yang hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam), epigeic (fauna yang hidup pada serasah dan lapisan yang lebih dangkal), dan anecic (fauna yang hidup pada permukaan tanah, namun terkadang dapat ditemui pada tanah yang lebih dangkal). Sedangkan Goombridge (1992) mengklasifikasikannya menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Hemiedaphon adalah binatang tanah yang mendiami lapisan serasah yang membusuk, contoh: kutu kayu dan kaki seribu.

2. Epedaphon adalah binatang tanah yang mendiami permukaan tanah, contoh: kumbang dan kalajengking.

3. Eudaphon adalah binatang tanah yang mendiami tanah mineral, contoh: cacing tanah dan kutu.

2.1.2.3 Pola Makan

Berdasarkan kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungifora dan perdator (Suin, 2006). Sedangkan Wallwork (1970) mengklasifikasikannya menjadi:

1. Carnivore yaitu predator dan binatang parasit, antara lain beberapa anggota Coleoptera dari famili Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae, Staphylinidae, tungau Mesostigmatid dan Prostigmatid, Opiliones, Chelonitida, Scorpion, Centipedes, Mollusca, Ichneumonidae, Diptera, parasit dan beberapa Nematoda.

2. Phytophagus, terdiri dari pemakan tumbuhan (larva Lepidoptera dan Mollusca), pemakan akar (Nematoda parasit tumbuhan, Symphyla, beberapa larva Diptera, Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan Orthoptera pelubang).


(21)

3. Saprophagus yaitu fauna pemakan tumbuhan mati atau bahan organik yang busuk, diantaranya Lumbricida, Enchytraeidae, Isopoda, Milipedes, dan beberapa tungau Hemiedaphic, Collembola, dan Coleoptera.

4. Microphytic-feeders yaitu pemakan jamur dan spora ; algae ; lichen dan bakteri, diantaranya tungau Saprophagus, Collembola, serangga pemakan jamur (semut, rayap, Nematoda, Mollusca, Protozoa)

5. Miscellaneus-feeders yaitu pemakan tumbuhan dan hewan segar atau busuk ; kayu atau herba, diantaranya Nematoda, tungau Cryptostigmata, Collembola, larva Diptera, dan Coleoptera.

2.1.2.4. Kehadirannya Dalam Tanah

Berdasarkan kehadirannya, Coleman et al. (2004) membagi fauna tanah menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Transient yaitu fauna tanah yang saat fase tidur (istirahat) berada di dalam tanah, pada saat musim dingin sebaliknya hidup dan beraktivitas pada lapisan tanaman, seperti ”Ladybird beetle”.

2. Temporary residents yaitu fauna tanah yang pada fase telur hingga ”juvenile” berada di dalam tanah sedangkan pada fase dewasa hidup di atas permukaan tanah, seperti Tipula spp.

3. Periodic residents yaitu fauna tanah yang menghabiskan hidupnya di dalam tanah. Fase dewasa terkadang hidup di atas permukaan tanah, seperti Forticula spp.

4. Permanent residents yaitu fauna tanah yang secara permanen menetap di dalm tanah dan mampu beradaptasi pada berbagai kedalaman tanah, seperti Collembola.

2.1.3. Ekstraksi Fauna Tanah

Menurut Suin (2006), ekstraksi contoh fauna tanah pada prinsipnya dibagi menjadi dua metode, yaitu metode dinamik dan metode mekanik. Pada metode dinamik fauna tanah dirangsang untuk berkumpul pada bejana koleksi dan kemudian diambil. Sedangkan pada metode mekanik fauna tanah yang hidup dan


(22)

berada pada contoh tanah diperlakukan sedemikian rupa sehingga secara pasif fauna tersebut akan terkumpul pada bejana koleksi.

Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam metode dinamik, fauna yang nantinya akan terkumpul hanyalah fauna yang hidup dan aktif sehingga mampu mencapai bejana koleksi. Melihat kondisi tersebut, maka fauna yang lemah tidak akan dapat terambil karena tidak mampu mencapai bejana koleksi. Kelemahan ini menyebabkan contoh yang didapat akan lebih rendah dari kenyataan yang sebenarnya. Selain itu, pupa dan telur tidak akan didapat. Terjadi sebaliknya pada metode mekanik, akan didapat contoh yang melebihi kenyataan yang sebenarnya karena hewan yang telah mati pun dapat terkumpul. Namun dengan metode ini hewan yang terambil sering tidak dalam kondisi utuh.

2.1.3.1. Alat Ekstraksi Kering

Ekstraktor kering seperti pada alat corong Berlese Tullgren menggunakan panas untuk memaksa fauna tanah menuju bejana koleksi. Beberapa alat yang termasuk dalam ekstraktor kering antara lain corong Berlese (Berlese Funnel), ekstraktor horizontal (Horisontal Extractor), ekstraktor canister (Multiple Canister Extractor), dan ekstraktor bejana Kempson (Kempton Bowl Extractor).

2.1.3.2. Alat Ekstraksi Basah

Perlakuan ekstraksi basah yang sederhana adalah dengan memakai alat corong Baerman. Pada alat ini, tanah tetap dalam keadaan basah atau dijenuhkan dengan air. Terdapat sumber panas berupa lampu bohlam. Pemanasan yang diberikan tersebut akan menyebabkan fauna tanah yang ada dalam contoh tanah keluar dan menuju bejana koleksi.

Alat ekstraksi corong Baerman dapat digunakan untuk mengekstraksi nematoda dan Enchytraeidae. Banyak juga modifikasi dari corong Baerman yang telah dibuat oleh para peneliti antara lain yang dibuat oleh Nielsen tahun 1952 yang baik sekali digunakan untuk mengekstraksi cacing Enchytraeidae dari tanah.


(23)

2.1.4. Beberapa Contoh Fauna Tanah 1. Acari

Kelompok Acari yang sering dijumpai di tanah yaitu Oribatida, Prostigmata, Mesostigmata, dan Astigmata. Oribatida merupakan kelompok saprophagus. Sedangkan Mesostigmata merupakan kelompok Acari yang hampir seluruh anggotanya merupakan predator bagi fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil (Coleman et al., 2004).

Acari memiliki panjang tubuh antara 0.1 mm sampai 2 mm. Warna tubuh Acari mulai dari coklat muda hingga hitam dengan bentuk tubuh yang bervariasi. Ukuran tubuh Acari akan semakin mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya. Acari berperan dalam menghancurkan bahan organik ke ukuran yang kebih kecil, mengaduk bahan organik, dan berpengaruh pada dinamika populasi fungi (Gobat et al., 2004).

2. Collembola

Collembola merupakan salah satu kelompok mikroarthropoda yang memiliki distribusi menyebar pada berbagai jenis tanah di dunia. Warna tubuh Collembola bervariasi dari pucat hingga mencolok, yaitu putih, abu-abu, biru tua, hitam sampai merah merona. Ukuran tubuh Colembolla berkisar antara 0.25 mm sampai 8.0 mm (Coleman et al., 2004).

Collembola umumnya ditemukan pada lapisan teratas serasah daun, terutama dari jenis Entomobrydae. Jenis Collembola yang hidup pada atau dekat dengan permukaan tanah umumnya memiliki tubuh dengan warna yang lebih mencolok, indera yang berkembang dengan baik, serta memiliki antena dan furkula. Jenis lain yang berukuran lebih kecil lebih banyak ditemukan pada bagian tanah yang lebih dalam dengan karakteristik sebaliknya, yaitu warna yang pucat, indera yang kurang berkembang dengan baik, dan tanpa furkula. Bahan organik yang biasa dicerna mencakup hifa dan spora fungi, sisa-sisa tanaman, dan ganggang hijau uniseluler (Wallwork, 1976). Collembola berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa dan spora fungi (Gobat et al., 2004).


(24)

3. Hymenoptera

Hymenoptera merupakan salah satu ordo serangga yang terbesar dan memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama dengan cacing tanah dan rayap. Kelompok fauna tanah ini termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya membentuk koloni. Hymenoptera, terutama yang berasal dari kelompok Formicidae memiliki pengaruh besar terhadap struktur tanah, terutama di lingkungan gurun di mana cacing tanah memiliki kepadatan yang rendah (Coleman et al., 2004).

Hymenoptera umumnya merupakan phytophagus dan dalam habitatnya akan berperan sebagai predator utama fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil, seperti Acari dan Collembola. Tingginya kepadatan populasi Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al., 2004).

4. Isoptera

Rayap (Isoptera) merupakan serangga sosial seperti Hymenoptera. Isoptera dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan makanannya, yaitu pemakan kayu (selulosa), pemakan humus atau perombak bahan organik, dan pemakan fungi (Richards, 1974). Menurut Borror et al. (1989) umumnya Isoptera mampu hidup pada habitat yang lembab ( di dalam tanah) dan kering (di atas tanah).

2.2. Peranan Fauna Tanah

Keanekaragaman organisme tanah menciptakan keragaman fungsi dan proses dalam tanah. Setiap komunitas organisme menjalankan fungsi yang berbeda, antara lain sebagai penambat nitrogen, pelarut fosfat, perombak bahan organik, penghasil fitohormon dan antibiotik, dan dapat dipandang sebagai arsitek ekosistem tanah. Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Beberapa peranan dari fauna tanah antara lain dalam perbaikan kesuburan tanah dengan menghancurkan fisik, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah, memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air, penyebaran mikroba,


(25)

pencampuran partikel tanah, serta dekomposisi bahan organik. Selain itu berperan juga pada aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994).

Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara : (1) Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur; (2) Melakukan pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin; (3) Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus; (4) Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas; dan (5) Membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes et al., 1997). Walaupun pengaruhnya terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam tanah.

Secara garis besar terdapat tiga kelompok invertebrata yang hidup di tanah, yaitu mikrofauna (protozoa dan nematoda), mesofauna, dan makrofauna. Mikrofauna memacu dekomposisi bahan organik dengan memperkecil ukuran dengan ezim selulase yang kemudian dimanfaatkan oleh mikroba dekomposer lainnya. Mesofauna dan makrofauna selain memperkecil ukuran sisa organik, aktivitas metabolismenya menghasilkan feses yang mengandung berbagai hara tersedia bagi tanaman maupun mikroba tanah. Beberapa makrofauna tanah seperti cacing tanah dan rayap memiliki peran penting dalam mempengaruhi kesehatan dan produktivitas tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang/liang dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, meningkatkan aerasi, penetrasi akar, dan infiltrasi air. Kotoran cacing, yang merupakan campuran tanah dan sisa organik yang telah tercerna, mengandung berbagai hara yang tersedia bagi tanaman. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik.


(26)

2.3. Tanah Sawah

Tanah sawah dapat terbentuk dari tanah kering dan tanah basah atau tanah rawa sehingga karakterisasi sawah-sawah tersebut akan sangat dipengaruhi oleh bahan pembentuk tanahnya. Tanah sawah dari tanah kering umumnya terdapat di daerah dataran rendah, dataran tinggi volkan atau nonvolkan yang pada awalnya merupakan tanah kering yang tidak pernah jenuh air, sehingga morfologinya akan sangat berbeda dengan tanah sawah dari tanah rawa yang pada awalnya memang sudah jenuh air.

Pengelolaan tanah sawah (padi) mempunyai ciri khas bila dibandingkan dengan pengelolaan tanah untuk budidaya tanaman lain. Hal yang membedakannya adalah karena tanah tersebut mengalami proses penggenangan dan pelumpuran. Proses pelumpuran dapat didefinisikan sebagai penghancuran agregat tanah menjadi lumpur yang sama rata, yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan mekanis terhadap tanah pada kadar kelengasan tinggi (Sanchez, 1976). Profil tanah yang tergenang tidak seluruhnya tereduksi, zona oksidasi dijumpai pada lapisan tipis di permukaan dan pada rhizosfer. Oksidasi pada rhizosfer disebabkan karena kemampuan tanaman padi mensuplai oksigen oleh aerenkima ke daerah perakaran (Yoshida, 1981).

2.4. S.R.I. (System of Rice Intensification) 2.4.1. Sejarah S.R.I.

S.R.I. kependekan dari System of Rice Intensification, namun awalnya S.R.I. adalah kependekan dari "Systeme de Riziculture Intensive". S.R.I. merupakan salah satu metode budidaya padi yang dikembangkan sejak tahun 1980-an oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang ditugaskan di Madagaskar sejak 1961. Saat itu, penyebaran metode S.R.I. ini terbatas dan hanya diketahui oleh beberapa petani setempat. Akhirnya, metode S.R.I. mulai mendunia sejak tahun 1990-an sebagai hasil dari usaha Prof. Norman Uphoff (mantan direktur Cornel International Institute for Food, Agriculture and Development) yang tidak pantang menyerah. Sejak tahun 1999, untuk pertama kalinya S.R.I. diuji di luar Madagaskar yakni di Indonesia dan China. Selanjutnya,


(27)

metode S.R.I. pun diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen lebih dari 8 ton dan bahkan ada yang mencapai hasil panen 20 ton/ha.

2.4.2. Prinsip Budidaya Padi Metode S.R.I.

Terdapat beberapa prinsip dalam penerapan metode S.R.I., yakni: a.) Transplantasi bibit ke lapangan dilakukan lebih awal (bibit muda). b.) Penanaman bibit tidak dilakukan secara berumpun melainkan satu-satu c.) Penanaman dengan jarak tanam yang lebar.

d.) Pengairannya dilakukan dengan sistem irigasi berselang (kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air).

e.) Dilakukan penyiangan sebanyak 2-3 kali untuk membersihkan gulma dan memperbaiki struktur dan aerasi tanah.

2.4.3. Keunggulan Metode S.R.I.

Metode S.R.I. mempunyai beberapa keunggulan diantaranya:

a.) Tanaman padi dengan metode S.R.I. merupakan tanaman hemat air, sebab selama pertumbuhan mulai dari tanam sampai panen maksimum pemberian air adalah setinggi 2 cm dan paling baik dalam kondisi macak-macak setinggi 5 mm serta terdapat sistem irigasi terputus yakni periode pengeringan sampai tanah retak.

b.) Hemat waktu, sebab bibit di taman ke lahan setelah 5-12 hari dari penyemaian (bibit muda) sehingga waktu panen dapat dilakukan lebih awal.

c.) Cenderung lebih hemat biaya, tidak diperlukannya biaya untuk pancabutan bibit, biaya pindah bibit, dan lainnya.

d.) Produksinya meningkat, pada beberapa tempat bisa mencapai 11 ton/ha. e.) Metode S.R.I. merupakan metode yang ramah lingkungan, lebih cenderung

untuk menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos, dan MOL (Mikro-Organisme Lokal). Begitu juga untuk penggunaan pestisida organik akan lebih diprioritaskan.


(28)

2.4.4. Manfaat Metode S.R.I.

Secara umum manfaat dari penanaman padi dengan metode S.R.I. adalah sebagai berikut:

a.) Penggunaan air untuk sistem irigasinya lebih hemat 70 – 80 % dibanding dengan penanaman konvensional, sebab metode S.R.I. tidak menghendaki penggenangan air yang berlebihan (macak-macak).

b.) Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang, sebab metode S.R.I. terbukti mampu memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah serta mampu menciptakan keseimbangan ekologi tanah.

c.) Membuka lapangan pekerjaan di pedesaan sehingga mampu mengurangi jumlah pengangguran serta meningkatkan penghasilan keluarga petani. d.) Menghasilkan produksi beras yang terbebas dari residu kimia sehingga

kesehatan para konsumen pun terjamin.

e.) Mampu membentuk petani mandiri yang dapat meneliti serta menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak bergantung pada pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.


(29)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan April sampai bulan Agustus 2010. Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I.

Center) di Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan di Laboratoriun Bioteknolgi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya

Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lahan percobaan NOSC untuk penanaman padi dan pengambilan contoh tanah sedangkan Laboratorium Bioteknologi Tanah untuk pengamatan lebih lanjut contoh tanah yang diambil dalam mengetahui jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman padi (varietas Ciherang), benih kedelai (varietas Wilis), pupuk organik (kompos), pupuk anorganik (Urea dengan kadar N-Total 46.77%, SP-36 dengan kadar P 36.84 %, KCl dengan kadar K 60.73 %), etilen glikol, alkohol 70 %, dan pestisida nabati. Alkohol 70 % dan etilen glikol merupakan bahan kimia utama yang digunakan untuk mengekstraksi dan mengidentifikasi fauna tanah. Bahan-bahan yang digunakan sebagai campuran untuk membuat pestisida nabati yaitu daun mindi, daun sirsak, lengkuas, dan tembakau batangan.

Sementara alat yang digunakan Berlese Funnel Extractor, Stereomikroskop, termometer, alat penyaring berukuran 2 mm, alat pemukul (palu kayu besar), alat penjepit (pinset), arit, sabit, dan landakan (alat untuk membalik tanah). Berlese Funnel Extractor (Gambar 1) merupakan serangkaian alat yang digunakan untuk mengekstrak dan mengumpulkan fauna tanah. Alat ini terdiri dari pipa paralon berdiameter 20 cm, corong plastik berukuran besar, kain kasa berukuran 2 mm, kain penutup, lampu, dan botol penampung dengan diameter 6 cm.


(30)

Gambar 1. Alat ”Berlese Funnel Extractor”

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan perlakuan jarak pematang dengan dua level serta dilakukan empat ulangan. Dua level tersebut adalah:

(a) Jarak pematang sempit (petak sawah dengan jarak pematang 4 m) (b) Jarak pematang lebar (petak sawah dengan jarak pematang 8 m)

Lampu sebagai sumber panas

Corong plastik

Wadah penampung berisi etilen glikol

Paralon berisi contoh tanah

Kain kasa berukuran 2 mm sebagai penyaring fauna tanah


(31)

Keterangan:

= petakan percobaan (pematang 4 m)

= petakan percobaan (pematang 8 m)

= inlet = outlet

Gambar 2. Tata letak petakan percobaan di lapang

3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan sebanyak 4 waktu yaitu pada hari ke-0, ke-30, ke-60, dan ke-90. Pada setiap waktu pengambilan contoh tanah tersebut akan didapatkan 16 contoh tanah, yaitu 4 contoh tanah dari petak ulangan berjarak pematang 4 m, 4 contoh tanah dari petak ulangan berjarak pematang 8 m, 4 contoh tanah dari pematang di sekitar petak ulangan berjarak pematang 4 m, dan 4 contoh tanah dari pematang di sekitar petak ulangan berjarak pematang 8 m. Contoh tanah tersebut diambil dengan menggunakan soil corer (pipa paralon besar) berdiameter 20 cm pada kedalaman tanah 20 cm. Contoh tanah diambil pada titik yang berbeda-beda (secara acak) di setiap waktu pengambilan contoh tanah. Selanjutnya contoh tanah dibawa ke Laboratorium untuk diekstraksi dengan Berlese Funnel Extractor.


(32)

3.3.3. Pelaksanaan Penelitian di Lapang

Kegiatan penelitian di lapang diawali dengan pelaksanaan di lapang yang terdiri dari persiapan lahan penelitian, penyemaian benih, penanaman bibit, pemupukkan, pengairan, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan.

3.3.3.1. Persiapan Lahan dan Penyemaian Benih

Persiapan lahan dilakukan untuk pengolahan tanah, pelumpuran, dan pembuatan petak percobaan. Pengolahan tanah dilakukan 1 minggu sebelum penanaman dengan pembajakan dan pembalikan tanah serta pelumpuran tanah. Petakan percobaan dibuat sebanyak 8 petak untuk yang berukuran 4 m x 5 m dan 4 petak untuk yang berukuran 8 m x 5 m. Setiap petakan tersebut dibuat dengan sistem pengairan yang terorganisir yakni memiliki saluran air masuk (inlet) dan keluar (outlet) yang terpisah satu sama lain. Setelah itu petak diberi kode sesuai dengan perlakuan masing-masing serta ulangan-ulangannya.

Benih padi yang akan ditanam, dilakukan penyemaian terlebih dahulu dan sebelum penyemaian dilakukan seleksi benih. Benih diseleksi dengan cara dimasukkan ke dalam larutan garam pada sebuah wadah. Benih yang dipilih adalah yang tenggelam pada dasar wadah. Lalu benih yang tenggelam tersebut dicuci dan direndam satu malam dengan air bersih. Tujuan dari perendaman tersebut adalah agar benih mengalami imbibisi. Perlakuan berikutnya adalah benih diperam selama dua hari sampai benih padi mulai berkecambah. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah tersebut disemai pada wadah nampan yang berisi campuran tanah dan kompos (1:1) dan diletakkan pada tempat yang optimal terkena sinar matahari, namun terhindar dari hujan agar dapat tumbuh dengan baik, (Gambar Lampiran 2). Benih yang telah disemai tersebut dirawat dengan menyiraminya setiap hari sampai benih menjadi bibit muda siap tanam saat sudah berdaun 2 helai ( umur 8-12 hari).

Sementara untuk benih kedelai varietas Wilis yang akan ditanam, dilakukan perendaman terlebih dahulu dengan air hangat selama ± 3 jam. Hal ini bertujuan agar benih kedelai lebih mudah berkecambah saat ditanam. Selanjutnya benih tersebut dijemur agar kering dengan cara dikeringudarakan, setelah itu benih kedelai pun siap untuk ditanam.


(33)

3.3.3.2. Penanaman Padi dan Kedelai

Bibit padi muda hasil penyemaian ditanam pada petak sawah yang sudah disiapkan. Bibit padi ditanam pada kedalaman ± 1-1.5 cm dengan posisi akar horizontal (membentuk huruf L) sebanyak 1 bibit per titik tanam dengan jarak 30 cm x 30 cm. Pengairan pada lahan tanam diatur sampai kondisinya macak-macak (lembab tetapi tidak tergenang).

Pada penelitian ini, setiap pematang yang mengelilingi petak sawah ditanami tanaman kedelai dengan jarak 30 cm antar tanaman kedelai. Benih kedelai ditanam sebanyak 2 sampai 3 butir pada setiap lubang tanam. Lubang tanam kedelai dibuat dengan menggunakan alat tugal dari kayu. Tujuan penanaman kedelai tersebut adalah agar tanah menjadi lebih subur sehingga dapat merangsang peningkatan jumlah fauna tanah pada pematang, agar lahan tidak terlihat gersang, serta dapat meningkatkan penghasilan petani selain padi sebagai hasil utama.

3.3.3.3. Pemupukan, Pemeliharaan Tanaman, dan Pemanenan

Aplikasi pupuk pada kedua tanaman diberikan dengan dosis 250 kg urea/Ha, 100 kg SP-36/Ha, dan 100 kg KCl/Ha. Pada petak berjarak

pematang sempit, dosis pupuk yang diberikan sebanyak 500 g Urea/petak, 200 g SP-36/petak, dan 200 g KCl/petak. Sementara pada petak berjarak

pematang lebar dosis pupuk yang diberikan sebanyak 1000 g urea/petak, 400 g SP-36/petak, dan 400 g KCl/petak.

Sifat pupuk Urea adalah mudah hilang baik karena menguap ataupun terbawa (tercuci) oleh air irigasi maka pemberiannya pun dilakukan sebanyak dua tahap, yaitu minggu pertama (1 hari setelah tanam) dan minggu ke-7 setelah tanam, masing-masing diberikan 50 % dari dosis total. Jadi dosis pupuk Urea yang diberikan pada petak berjarak pematang sempit dan lebar masing-masing sebanyak 250 g/petak dan 500 g/petak pada kedua tahap tersebut. Penggenangan lahan (sistem irigasi) setiap kali melakukan pemupukan harus sangat dihindari agar tidak terjadi pencucian hara, jadi air yang ada di dalam petak harus dikurangi. Dalam menunjang pertumbuhannya, tanaman kedelai juga diberikan pupuk pada 3 MST (Minggu Setelah Tanam) saat tanaman kedelai sudah tumbuh, yakni dengan dosis secara keseluruhan sebagai berikut : a.) pada petak berjarak antara pematang


(34)

sempit yaitu 408.75 g Urea, 327 g SP-36, dan 327 g KCl; b.) pada petak berjarak antara pematang lebar yaitu 333.75 g Urea, 267 g SP-36, dan 267 g KCl.

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiangan gulma baik yang ada di dalam petakan maupun pematang serta aplikasi pestisida nabati. Penyiangan gulma dilakukan dengan mengunakan alat (landak, arit) dan secara manual. Landak dipakai untuk penyiangan gulma di dalam petakan sedangkan arit untuk penyiangan gulma pada pematang. Penyiangan gulma di dalam petakan dengan alat hanya dilakukan pada awal penanaman saja karena bila dilakukan terus-menerus dapat menggangu pertumbuhan tanaman padi seperti merusak daun atau akarnya, sehingga penyiangan dilanjutkan dengan cara manual menggunakan tangan yang dilengkapi dengan sarung tangan. Penyiangan tersebut dilakukan sejak awal sekitar umur 10 hari dan dilakukan setiap dua minggu sekali. Sedangkan penyiangan gulma pada pematang dilakukan dengan menggunakan arit ataupun secara manual setiap dua minggu sekali yang bertujuan agar gulma tidak mengganggu pertumbuhan tanaman kedelai.

Budidaya padi pada penelitian ini merupakan budidaya padi semiorganik karena untuk mengendalikan hama selama pemeliharaan menggunakan pestisida nabati. Aplikasi pestisida nabati (pesnab) dilakukan pada masa-masa awal tanam (< 4 MST) saat padi masih sangat muda dan rentan mengalami kematian akibat serangan hama belalang dan keong mas serta dilakukan hampir setiap minggu sampai serangan hama-hama tersebut mulai berkurang. Pemanenan padi dilakukan dengan kriteria terdapat 90 – 95 % bulir yang menguning. Pemanenan dilakukan secara potong bawah dengan menggunakan sabit (Gambar Lampiran 9).

3.3.4. Pengamatan Komponen Hasil

Pengamatan komponen hasil yang dilakukan adalah menghitung hasil panen dengan membuat ubinan seluas 2.5 m x 2.5 m pada tiap petakan ulangan. Adapun parameter yang diamati dari ubinan seluas 2.5 m x 2.5 m tersebut adalah : a.) Bobot gabah kering panen ubinan (kg) diperoleh pada saat panen dengan

menghitung bobot gabah kering panen ubinan.

b.) Bobot gabah kering giling ubinan (kg) diperoleh dengan menghitung bobot gabah kering panen ubinan yang telah dijemur dan siap untuk digiling.


(35)

c.) Dugaan hasil (ton/Ha) dihitung dari hasil gabah ubinan dan dikonversi ke Ha sehingga diperoleh hasil gabah ton/Ha

d.) Bobot 1000 butir gabah. Bobot ini diperoleh dengan menghitung 1000 butir gabah isi dari setiap petak ubinan 2.5 m x 2.5 m pada setiap perlakuan dan tiap ulangan kemudian ditimbang lalu dirata-ratakan.

e.) Jumlah gabah isi dan hampa

3.3.5. Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium 3.3.5.1. Ekstraksi Fauna Tanah

Contoh tanah yang telah diambil diekstraksi dengan Berlese Funnel Extractor selama + 7-10 hari dengan suhu tidak lebih dari 60o C (≤ 60o C ) karena bila suhunya lebih 60o C, fauna tanah akan sangat rentan mengalami kematian. Setelah proses ekstraksi selesai, fauna tanah hasil ekstraksi tersebut disimpan dalam wadah berisi alkohol 70 % sebanyak + 30 ml. Alkohol berfungsi sebagai pengawet agar tubuh fauna tidak hancur dan lebih mudah nantinya untuk diamati di bawah stereomikroskop. Sementara pengambilan fauna tanah berukuran besar dilakukan dengan metode handsorting, yaitu pengambilan fauna tanah yang berada pada titik pengambilan sampel tanah dengan bantuan pinset atau secara langsung dengan tangan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70 % (+ 30 ml).

Berlese Funnel Extractor disusun seperti cara di bawah ini :

- Pipa yang berisi contoh tanah diletakkan di atas sebuah corong plastik berukuran besar. Sebelumnya letakkan kain kasa berukuran 2 mm di atas corong, sehingga kain kasa tersebut akan berada di antara corong dan pipa. Kain kasa tersebut berfungsi untuk menyaring fauna tanah sekaligus untuk menahan tanah.

- Lampu bohlam kecil (40 watt) dipasang ± 10 cm di atas pipa. Fungsinya adalah sebagai sumber panas agar fauna tanah turun sebagai reaksi dari panas yang diberikan tersebut, sehingga akhirnya fauna tanah akan tertampung pada wadah koleksi yang berisi etilen glikol (sebanyak 25-30 ml). Etilen glikol berfungsi sebagai pengawet sementara bagi fauna tanah.


(36)

3.3.5.2. Perhitungan dan Identifikasi Fauna Tanah

Fauna tanah hasil ekstraksi dengan Berlese Funnel Extractor selanjutnya diamati dengan menggunakan stereomikroskop, untuk diketahui jumlah dan panjang tubuhnya. Identifikasi fauna tanah mengacu kepada Borror et al. (1989) dan Chu (1949).

Jumlah fauna tanah ditetapkan dengan rumus (Meyer, 1996) : I = IS

A

Dimana: IS : rata-rata jumlah individu contoh tanah A : luas area paralon (cm2) *)

I : jumlah individu/cm2

*) Luas area paralon = r2π = (10 cm)2 x 3.14 = 314 cm2 = 0.0314 m2

Keragaman fauna tanah yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat dihitung berdasarkan rumus Shannon’s Diversity Index (Ludwig dan Reynolds, 1988) yaitu :

s

H’ =

-

Σ [(ni/n) ln (ni/n)]

i=1 Dimana: H’ = Shannon’s Diversity Index ni = jumlah individu fauna tertentu

n = jumlah total individu fauna dalam contoh tanah Nilai H’ menurut Magurran (1987) berkisar antara :

< 1.5 = keragaman rendah 1.5 - 3.5 = keragaman sedang > 3.5 = keragaman tinggi


(37)

Kelompok fauna tanah dengan jumlah individu dominan dan sangat dominan dihitung dengan menggunakan rumus Hill’s Diversity number (Ludwig dan Reynolds, 1988) yaitu :

N1 = e H’

Dimana: N1 = kelompok dengan jumlah individu dominan dalam contoh tanah

H’ = Shannon’s Diversity Index

N2 = 1/λ

s λ = Σ (ni/n) i=1

Dimana: N2 = kelompok dengan jumlah individu sangat dominan dalam contoh

tanah

λ = Simpson’s Diversity

3.3.6. Analisis Tanah

Analasis tanah yang dilakukan adalah analisis tanah awal, meliputi sifat kimia dan sifat fisika. Sifat kimia yang dianalisis tersebut antara lain pH, C-organik, N-Total, kadar unsur hara (P, Ca, Mg, K, Na, Al, Fe, Cu, Zn, Mn), KTK, dan KB. Sifat fisika tanah yang dianalisis berupa tekstur tanah (pasir, debu, liat).

3.3.7. Analisis Data

Pada penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007.


(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Fauna Tanah

4.1.1. Populasi Total Fauna Tanah

Secara umum populasi total fauna tanah yaitu mesofauna dan makrofauna tanah pada petak dengan jarak pematang sempit (4 m) memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan petak berjarak pematang lebar (8 m), baik itu pada tanah sawah ataupun pada tanah pematang (Gambar 3).

Gambar 3. Populasi total fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) di petak dan pematang sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m.

Hasil tersebut disebabkan karena saat petakan sawah berada dalam kondisi tergenang fauna tanah akan bermigrasi ke pematang dan pada saat kondisinya kering fauna tanah cenderung untuk kembali ke petakan sawah. Petak berjarak pematang sempit mempermudah fauna tanah untuk berpindah dari petakan ke pematang dan sebaliknya, sedangkan fauna tanah pada petak berjarak pematang lebar akan mendapatkan kesulitan untuk bermigrasi karena jarak tempuh yang lebih panjang. Kondisi yang tidak nyaman ini membuat populasi fauna tanah menjadi berkurang pada petak berjarak pematang lebar.


(39)

Hasil yang disajikan pada Gambar 3, menunjukkan bahwa total fauna tanah banyak terdapat pada pematang sawah. Hal demikian terjadi karena pematang sawah menjadi lingkungan yang lebih disukai oleh fauna tanah karena kondisinya yang lebih aerob dibanding lahan yang tergenang sehingga banyak fauna tanah yang bermigrasi ke lingkungan yang lebih kering seperti pematang sawah tersebut. Saat kondisi tergenang mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen dalam tanah (anaerob) yang dapat membatasi keberadaan dan pergerakkan fauna tanah dalam lingkungan tersebut. Kandungan oksigen dapat mempengaruhi pergerakkan fauna tanah secara horizontal maupun vertikal (Szujecki, 1987 dalam Lantifah, 2002). Hal ini pun sesuai dengan pernyataan Widyastuti (2002) bahwa pada kondisi yang tidak tergenang (aerob) akan memiliki jumlah fauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang tergenang (anaerob).

Dalam penelitian ini, tanaman kedelai yang ditanam pada setiap pematang di sekitar petakan berperan dalam memberikan naungan bagi fauna tanah. Kondisi ini berpengaruh dalam meningkatkan jumlah fauna tanah karena tanaman kedelai terutama akarnya merupakan sumber bahan organik bagi fauna tanah, sehingga banyak fauna tanah yang berada di pematang tersebut. Alasan lain adalah karena permukaan tanah dengan penutupan yang baik berupa vegetasi (seperti tanaman kedelai pada penelitian ini) memberikan efek positif pada peningkatan kandungan hara tanah sehingga tanah akan lebih produktif, memperbaiki dan menstabilkan struktur tanah, mempertahankan kondisi tanah dan air serta menyediakan cadangan air tanah sehingga cara tersebut mampu meningkatkan jumlah fauna tanah pada pematang. Selain itu, penutupan permukaan tanah pada pematang dengan tanaman kedelai mampu menambah penghasilan petani selain padi sebagai hasil utama sehinga mampu memperbaiki ekonomi petani.

Total fauna tanah pada kedua level perlakuan tersebut cenderung mengalami peningkatan dari waktu satu ke waktu lainnya, yaitu hari ke-0 (H-0), hari ke-30 (H-30), hari ke-60 (H-60), dan hari ke-90 (H-90), (Tabel 1). Total fauna tanah pada petak sawah pematang 8 m, pematang sawah 4 m, dan pematang sawah 8 m memiliki jumlah yang semakin meningkat dari H-0 sampai H-90. Namun, total fauna tanah pada petak sawah pematang 4 m tidak seperti yang lain


(40)

301 individu/m2, H-30 sebesar 2241 individu/m2, pada H-60 sebesar 16206 individu/m2, namun pada H-90 jumlahnya turun menjadi 7511 individu/m2

(Tabel 1). Hal tersebut mungkin disebabkan karena sifat dari fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) yang dinamis yang mampu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan tidak selamanya kelompok fauna tanah tertentu hanya terkonsentrasi pada satu tempat (titik).

Tabel 1. Jumlah total fauna tanah (individu/m2) di petak sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m pada hari ke-0, 30, 60, dan 90.

Lokasi Jarak Pematang (m) Waktu Pengamatan (hari)

0 30 60 90

Petakan Sawah 4 301 2241 16206 7511

8 344 1636 2371 4051

Pematang Sawah 4 431 862 5344 18706

8 431 2198 6164 10818

Pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa jumlah fauna tanah tertinggi terdapat pada pematang sawah di sekitar petak 4 m pada periode H-90 yaitu sebesar 18706 individu/m2. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan karena fauna tanah lebih menyukai kondisi tanah yang lebih aerob dibandingkan anaerob, selain itu disebabkan juga karena pematang ditumbuhi oleh tanaman kedelai dimana tanaman ini dapat memberikan naungan bagi fauna tanah sehingga jumlahnya akan lebih berlimpah.

Kelompok mesofauna dan makrofauna yang didapat pada penelitian ini memiliki hasil yang berbeda-beda pada setiap perlakuan. Kelompok mesofauna pada petak berjarak pematang sempit sebesar 10215 individu/m2, nilai tersebut lebih tinggi dari petak berjarak pematang lebar, yaitu sebesar 4052 individu/m2. Namun, kelompok mesofauna pada pematang sawah 4 m memiliki nilai yang lebih rendah dari pematang sawah 8 m, dimana masing-masing bernilai 5086 individu/m2 dan 8061 individu/m2.

Berbeda dengan kelompok mesofauna, kelompok makrofauna memiliki hasil yang seragam untuk kedua level perlakuan. Petak berjarak pematang lebar (8 m) memiliki total makrofauna tanah yang lebih rendah dari petak berjarak pematang sempit (4 m), baik pada petak sawah ataupun pematang di sekitar petak


(41)

sawah tersebut. Kelompok makrofauna tanah pada petak berjarak pematang 4 m

sebesar 16044 individu/m2, sedangkan petak berjarak pematang 8 m sebesar 4350 individu/m2. Sementara kelompok makrofauna tanah pada pematang sawah

4 m sebesar 20257 individu/m2, dan pematang sawah 8 m memiliki total makrofauna tanah sebesar 11550 individu/m2.

Secara keseluruhan kelompok makrofauna tanah pada kedua level perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok mesofauna, baik pada petak sawah ataupun pematang sawah (Gambar 4). Makrofauna tanah tersebut didominasi oleh kelompok fauna tanah dengan ordo Hymenoptera dan Coleoptera. Rendahnya jumlah total mesofauna dan makrofauna tanah pada petak sawah berjarak pematang 8 m, diduga disebabkan karena fauna tanah sedang bermigrasi ke pematang sawah. Hal tersebut dapat dibuktikan dari tingginya jumlah total mesofauna dan makrofauna tanah pada pematang sawah 8 m (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4. Populasi total fauna tanah di petak dan pematang sawah dengan jarak pematang 4 m dan 8 m : (a) kelompok mesofauna, (b) kelompok makrofauna.

4.1.2. Keragaman Fauna Tanah

Penelitian ini mendapatkan 25 kelompok fauna tanah yaitu Acari, Collembola, Symphyla, Hymenoptera, Coleoptera, larva Coleoptera, Psocoptera, Pauropoda, Diptera, larva Diptera, Diplura, Araneae, Apaincridhum, Plecoptera, Lepidoptera, Odonata, Zoraptera, Ceratopogonidae, Pseudoscorpione, Scorpiones, Hemiptera, Shiponaptera, Trichoptora, Orthoptera, dan Oligochaeta.


(42)

Secara keseluruhan nilai indeks keragaman pada masing-masing level perlakuan yang dihitung dengan Shannon’s Diversity Index yang menggambarkan banyaknya taksa/kelompok dalam suatu habitat, memiliki nilai keragaman rendah (<1.5) menurut Magurran (1987). Petak sawah berjarak pematang 8 m memiliki nilai indeks keragaman tertinggi (1.34) dan pematang sawah 4 m memiliki nilai indeks keragaman terendah (1.07), (Tabel 2). Rendahnya nilai indeks keragaman fauna tanah yang didapat pada penelitian ini, diduga disebabkan karena rendahnya variasi jenis bahan organik yang tersedia sehingga jenis fauna tanah yang ditemukan menjadi kurang beragam. Selain itu, Wallwork (1976) menyatakan bahwa pertanian monokultur akan menyebabkan menurunnya keragaman fauna tanah pada lahan tersebut.

Tabel 2. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada budidaya padi di petak sawah dan pematangnya

Lokasi Jarak Pematang (m) Indeks Keragaman (H’)

Petak Sawah 4 1.33

8 1.34

Pematang Sawah 4 1.07

8 1.15

Pada Gambar 3 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa populasi fauna tanah pada petak sawah berjarak pematang 4 m paling tinggi (26259 individu/m2) namun memilki indeks keragaman yang lebih rendah (1.33) dibandingkan petak sawah berjarak pematang 8 m(1.34) dengan populasi hanya sebesar 8402 individu/m2. Begitu juga dengan indeks keragaman fauna tanah pada pematang sawah 4 m yang memiliki nilai paling kecil (1.07) padahal populasinya jelas lebih tinggi (25343 individu/m2) dari petak sawah berjarak pematang lebar, sama halnya dengan indeks keragaman pematang sawah 8 m (1.15) yang lebih rendah dengan populasi sebesar 19611 individu/m2. Hal tersebut (populasi tinggi namun indeks keragaman rendah) dapat disebabkan oleh adanya dominasi fauna tanah tertentu dalam suatu habitat. Menurut Cover and Thomas (1991), nilai indeks keragaman akan maksimal ketika semua individu yang ada dalam suatu habitat terwakili secara merata. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diperkirakan bahwa individu fauna tanah pada petak sawah berjarak pematang 8 m tersebar secara merata di


(43)

habitatnya, sehingga indeks keragamannya pun menjadi yang paling besar dibanding yang lainnya.

Pada penelitian ini didapatkan juga hasil taksa dengan individu fauna tanah yang dominan (N1) dan sangat dominan (N2) yang dihitung dengan Hill’s

Diversity number. Taksa dengan individu fauna tanah yang dominan (N1) tertinggi

terdapat pada petak sawah berjarak pematang 4 m yaitu sebanyak 4 taksa dan terendah terdapat pada pematang sawah 4 m yaitu sebanyak 2 taksa (Tabel 3).

Tabel 3. Taksa fauna tanah dominan (N1) di petak sawah dan pematangnya

Lokasi Jarak

Pematang (m) Taksa

Petak Sawah

4 Collembola, larva Diptera, Hymenoptera, Coleoptera 8 Collembola, Acari, larva Coleoptera

Pematang Sawah

4 Hymenoptera, Acari

8 Hymenoptera, Acari, Collembola

Sementara untuk taksa dengan jumlah individu sangat dominan (N2)

didapat hasil yang berbeda antara petak sawah dan pematangnya. Pada kedua petak sawah, taksa yang sangat dominan adalah Collembola dengan populasinya masing-masing 9957 individu/m2 (petak sawah dengan pematang sempit) dan 3103 individu/m2 (petak sawah dengan pematang lebar), (Tabel 4). Wallwork (1976) menyebutkan bahwa pada areal pertanian akan ada beberapa jenis fauna tanah yang menghilang dan terjadi reduksi pada jumlah Acari dan Collembola. Fauna tanah yang menghilang pada lahan pertanian akan mempengaruhi rantai dan jaringan makanan pada lingkungan tanah. Makrofauna tanah yang ditemukan didominasi oleh fauna tanah yang bersifat predator meskipun ada juga yang merupakan pemakan serasah, fungi, dan humus.

Sedangkan pada kedua pematang sawah, taksa yang sangat dominan adalah Hymenoptera dengan populasinya masing-masing 17802 individu/m2 (pematang sawah 4 m) dan 7112 individu/m2 (pematang sawah 8 m), (Tabel 4). Hymenoptera merupakan makrofauna tanah yang muncul pada hampir setiap sampel dan termasuk predator bagi fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil (Coleman et al., 2004). Dominannya makrofauna tanah yang berperan sebagai predator dapat disebabkan oleh adanya perakaran tanaman yang berkembang


(44)

dengan baik, dimana perakaran yang baik menjadi sumber bahan organik bagi mikrob yang pada akhirnya akan merangsang perkembangan fauna tanah yang bersifat predator.

Tabel 4. Taksa fauna tanah yang sangat dominan (N2) di petak sawah dan

pematangya

Lokasi Jarak Pematang (m) Taksa Jumlah (individu/m2)

Petak Sawah 4 Collembola 9957

8 Collembola 3103

Pematang Sawah

4 Hymenoptera 17802

8 Hymenoptera 7112

Taksa Oligochaeta sangat jarang ditemui pada penelitian ini. Padahal menurut Richards (1974), cacing tanah (Oligochaeta) termasuk fauna tanah yang menyukai habitat yang basah. Tidak ditemukannya baik cacing tanah (Oligochaeta) pada lahan penelitian diduga disebabkan oleh jenis bahan organik yang tersedia kurang disukai oleh jenis fauna tanah tersebut. Selain itu, bisa disebabkan juga oleh sifat dari Oligochaeta yang sangat dinamis dalam tanah dan sangat peka oleh adanya sedikit pergerakkan di tempat mereka berada. Menurut Wulandini (1997) dalam Lantifah (2002), hakikatnya masing-masing fauna tanah memiliki karakteristik lingkungan hidup yang berbeda-beda satu sama lain sehingga mempengaruhi kelimpahannya di dalam tanah. Berdasarkan pendapat tersebut, mungkin kelimpahan Oligochaeta pada lahan penelitian ini memang sedikit karena karakteristik lingkungan di dalam tanah yang kurang sesuai sebagai habitat mereka.

4.1.3. Biomassa Fauna Tanah

Biomassa adalah ukuran berat (massa) seluruh organisme (materi hidup) di suatu habitat pada waktu tertentu yang diukur dalam satuan gram (g). Biasanya hanya diambil sedikit sampel dengan tujuan menghindari kerusakan habitat, selanjutnya sampel tersebut diukur, kemudian dihitung total seluruh biomassa. Biomassa total fauna tanah yang didapat dari penelitian ini berurut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu pada petak sawah berjarak pematang sempit (4 m) sebesar 11.7 g, pematang sawah 4 m sebesar 10.8 g, pematang sawah 8 msebesar 6.4 g, dan petak sawah berjarak pematang lebar (8 m) sebesar 2.3 g (Gambar 5).


(45)

Petak sawah berjarak pematang 4 m mempunyai nilai biomassa yang paling besar, ini sesuai karena populasi totalnya (mesofauna dan makrofauna tanah) juga yang paling besar diantara perlakuan yang lain. Biomassa fauna tanah akan semakin besar jika jumlah fauna tanahnya pun semakin banyak.

Gambar 5. Total biomassa fauna tanah di petak dan pematang sawah dengan jarak


(46)

(i) (ii) (iii)

(iv) (v) (vi)

(vii) (viii) (ix)

Gambar 6. Beberapa contoh fauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian : (i) Araneae (Spiders); (ii) Symphyla; (iii) Symphyla dengan berbagai ukuran; (iv) Collembola (Entomobryidae); (v) larva Coleoptera; (vi) Diplura; (vii) Acari; (viii) Collembola (Neelidae); dan (ix) Coleoptera.


(47)

4.2. Produktivitas Padi

Produktivitas tanaman dapat diukur dari beberapa komponen diantaranya hasil panen (ton/ha), persentase gabah isi dan hampa, dan bobot gabah 1000 butir. Secara umum hasil produksi padi pada penelitian ini adalah 5.08 ton/ha untuk petak sawah berjarak pematang 4 m dan 4.96 ton/ha untuk petak sawah berjarak pematang 8 m. Bila dilihat perbandingan hasil kedua perlakuan tersebut memang tidak terlalu berbeda jauh namun pengaruh modifikasi jarak pematang sawah yang dibuat terhadap hasil yang didapat cukup berpengaruh karena hasil pada petak sawah berjarak pematang sempit terbukti lebih tinggi dibandingkan petak sawah berjarak pematang lebar (Gambar 7).

Gambar 7. Produktivitas padi (ton/ha) pada petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m.

Produktivitas tanaman dapat juga dilihat dari persentase gabah isi dan hampa serta bobot dari 1000 butir gabah. Persentase gabah isi pada petak sawah berjarak pematang 4 m sebesar 82.64%, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan petak sawah berjarak pematang 8 m yaitu sebesar 76.39 %. Sebaliknya, persentase gabah hampa pada petak sawah berjarak pematang 8 m lebih tinggi dibandingkan petak sawah berjarak pematang 4 m yaitu masing-masing sebesar 23.61 % dan 17.36% (Gambar 8). Tingginya jumlah gabah hampa dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Siregar (1981), kekurangan air pada waktu tanaman padi mulai berbulir bisa menimbulkan matinya primordia ataupun jika primordia


(48)

tidak mati, bakal bulir gabah akan banyak mengalami kekurangan zat hara sebagai sumber makanan yang menyebabkan bulir gabah menjadi hampa. Selain itu, tingginya jumlah gabah hampa dapat juga disebabkan oleh serangan hama walang sangit pada lahan penelitian saat fase keluar malai sampai matang susu.

Sementara untuk bobot dari 1000 butir gabah pada petak sawah berjarak pematang 4 m lebih tinggi dari petak sawah berjarak pematang 8 m yaitu masing-masing sebesar 26.87 gram dan 26.29 gram (Gambar 9). Suplai hara N, P, dan K bagi tanaman padi dapat mempengaruhi bobot 1000 butir gabah yang dihasilkannya. Unsur N pada pertanaman dibutuhkan untuk menaikkan jumlah bulir tiap malai dan meningkatkan bobot gabah, sedangkan unsur P berperan dalam suplai dan transfer energi seluruh proses biokimia tanaman padi, salah satunya yaitu mempercepat proses pemasakan dan mendorong perkembangan gabah sehingga memberi nilai yang tinggi terhadap kualitas dan bobot gabah (De Datta, 1981). Sementara unsur K dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan sel, pembentukkan gula, zat tepung, dan protein sehingga akan dihasilkan bobot 1000 butir gabah yang lebih tinggi apabila unsur tersebut tersedia secara berimbang pada tanaman (Taslim et al., 1993). Hasil yang telah dipaparkan tersebut, dapat membuktikan kembali bahwa produktivitas hasil produksi pada petak dengan jarak pematang 4 m lebih baik dibandingkan petak dengan jarak pematang 8 m.

Gambar 8. Rata-rata gabah isi dan hampa (%) pada petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m.


(49)

Gambar 9. Bobot gabah 1000 butir di petak sawah berjarak pematang 4 m dan 8 m.

4.3. Hama Tanaman Padi

Hasil produksi tanaman padi pada penelitian ini tergolong kurang maksimal, karena GKG (gabah Kering Giling) yang dihasilkan kurang dari rata-rata hasil varietas Ciherang yaitu sebesar 6.0 ton/Ha. Selain itu, bobot gabah 1000 butir yang diperoleh pada peneitian ini lebih rendah dari bobot 1000 butir varietas Ciherang yang sebesar 28 gram. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya hama pada lahan penelitian. Hama-hama tersebut antara lain belalang, keong emas, penggerek batang, dan walang sangit. Belalang menyerang tanaman padi saat umur tanaman relatif masih muda, pada saat itu tanaman sangat rentan akan serangan hama belalang. Belalang merusak tanaman padi pada bagian daunnya dan berdampak pada terganggunya proses fotosintesis. Akibatnya daun tanaman menjadi rusak dan batang tanaman banyak yang mati sehingga pertumbuhan tanaman pun menjadi sangat terhambat. Kondisi ini dikendalikan dengan aplikasi pestisida nabati secara berkala dan mengambilnya satu per satu secara manual. Pemberian pestisida nabati ini mampu mengurangi jumlah hama belalang yang menyerang pada lahan tanam.

Keong mas merupakan hama yang menyerang tanaman padi sejak awal tanam yaitu saat tanaman baru dipindahkan dari persemaian ke petak percobaan sampai dengan umur tanaman 3 MST, saat itu batang padi masih sangat muda.


(50)

Setelah itu serangan keong mas mulai menurun. Keong mas bersifat aktif pada air yang mengggenang. Hama ini memakan pangkal batang padi dengan cara memotongnya, sehingga menyebabkan tanaman rusak dan hilangnya bibit yang sudah ditanam. Kondisi ini dikendalikan dengan cara manual, yaitu dengan mengambil keong mas dan menghancurkan telur-telurnya yang berwarna merah muda dan suka menempel pada batang tanaman padi.

Hama penggerek batang adalah hama yang ulatnya hidup di dalam batang padi. Sistem kerja hama ini adalah dengan memutuskan organ batang padi dari dalam sehingga aliran hara dari tanah berhenti dan tidak sampai ke pucuk daun. Ini menyebabkan batang padi yang terinfeksi tersebut menjadi mati. Hama ini menyerang tanaman padi pada semua fase. Pada fase vegetatif berakibat pada anakan padi yang menjadi coklat dan kemudian mati. Sedangkan pada fase generatif mengakibatkan malai menjadi kosong dan berwarna putih. Namun serangan hama ini cukup sedikit. Kondisi lahan pada padi budidaya S.R.I. yang tidak tergenang air menyebabkan hama ini dapat hidup dengan baik pada batang padi yang dekat dengan tanah. Kondisi ini dikendalikan dengan penggenangan lahan selama beberapa saat untuk mematikan ulat hama penggerek batang.

Walang sangit menyerang tanaman padi dengan cara menghisap cairan bulir padi yang masih masak susu. Hal ini berakibat bulir padi menjadi hampa dan berwarna coklat. Pengendalian dilakukan dengan cara manual yaitu mengambilnya satu per satu. Serangan hama-hama tersebut berakibat terhadap kurang sesuainya hasil produksi yang diharapkan karena mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.


(1)

Coleoptera (larva) 0 0 0 129 129 0.9894 127.63

Diptera (larva) 0 0 0 43 43 0.8 34.4

Symphyla 0 0 474 431 905 0.08 72.4

Aranae 0 43 86 259 388 0.5724 222.09

Diplura 43 43 0 43 129 0.02 2.58

Hemiptera 0 0 0 43 43 0.336 14.45

Orthoptera 0 0 0 43 43 0.01 0.43

Oligochaeta 0 43 0 0 43 21 903

Total Biomassa (mg) 10815.92 Total Biomassa (g) 10.82

Tabel Lampiran 10. Biomassa fauna tanah di pematang sawah lebar

Taksa H-0 H-30 H-60 H-90 Jumlah Total (individu/m2)

Berat kering Individu (mg)

Biomassa (mg)

Acari 216 0 1078 3707 5000 0.0011 5.5

Collembola 0 0 129 2931 3060 0.0044 13.45

Hymenoptera 43 43 3966 3060 7112 0.5 3556

Coleoptera 86 0 129 345 560 0.8689 560.87

Coleoptera (larva) 0 0 86 172 258 0.9894 255.27

Psocoptera 0 0 216 0 216 0.2777 59.98

Diptera 0 0 86 43 129 0.449 57.92

Diptera (larva) 0 1897 43 172 2112 0.8 1689.6

Symphyla 0 0 216 216 432 0.08 34.56

Aranae 0 129 43 43 215 0.5724 123.07

Diplura 43 43 86 86 258 0.02 5.16

Hemiptera 0 0 43 43 86 0.336 28.9

Trichoptera 43 0 0 0 43 0.22 9.46

Orthoptera 0 86 0 0 86 0.01 0.86

Total Biomassa (mg) 6400.6 Total Biomassa (g) 6.4


(2)

Gambar Lampiran 1. Persiapan lahan

Gambar Lampiran 2. Penyemaian benih padi Ciherang

Umur 3 Hari Umur 5 Hari

Umur 8 Hari dan Siap Tanam


(3)

Gambar Lampiran 3. Padi umur 26 hari

Gambar Lampiran 4. Padi umur 35 hari

Gambar Lampiran 5. Padi umur 42 hari

Petak Sawah 4 m

Petak Sawah 4 m

Petak Sawah 4 m Petak Sawah 8 m

Petak Sawah 8 m


(4)

Gambar Lampiran 6. Padi umur 71 hari

Gambar Lampiran 7. Padi umur 83 hari

Gambar Lampiran 8. Padi siap panen

Petak Sawah 4 m

Petak Sawah 4 m

Petak Sawah 8 m Petak Sawah 8 m


(5)

Gambar Lampiran 9. Kegiatan dan kondisi saat panen

Memanen padi dengan teknik potong

bawah menggunakan sabit Merontokkan gabah menggunakan ani-ani


(6)

Gambar Lampiran 10. Tanaman kedelai yang ditanam pada pematang sawah

Gambar Lampiran 11. Pengambilan contoh tanah

Gambar Lampiran 12. Pemeliharaan tanaman

Pada Petak Sawah

Pada Pematang Sawah