Pembangunan Daerah TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pembangunan Daerah

Pembangunan sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumberdaya. Meskipun pembangunan harus berkeadilan,namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicara dalam studi pembangunan. Sebuah model yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth RWG dikembangkan berdarakan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 Chenery, et.al. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian sehingga produsen yang berpendapatan rendah yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan. Dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs BHN Streeten, et al., 1981. Strategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan perumahan. Walaupun RWG dan BHN mempunyai tujuan yang sama, tetapi dalam hal kebijaksanaan yang diambil terdapat perbedaan. RWG menekankan pada peningkatan produktifitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jaminan bagi masyarakat miskinm untuk memperoleh pelayanan tersebut. Masalah pengangguran juga makin mendapat perhatian dalam rangka pembangunan ekonomi yang menghendaki pemerataan. Todaro 1985 mengemukakan, terdapat kaitan yang erat antara pembangunan, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Pada umumnya mereka yang tidak memperoleh pekerjaan secara teratur termasuk ke dalam kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh pekerjaan secara terus- menerus adalah yang berpendapatan menengah dan tinggi. Dengan demikian, memecahkan masalah pengangguran dapat memecahkan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa ahli berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja Seers, 1970. Menurut teori ini, barang- barang yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibanding dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Studi kasus yang dilakukan oleh Montgomery et al. 2002 yang terfokus pada sektor pertanian, yakni sektor dimana sebagian besar orang miskin di Indonesia bekerja, memberikan pelajaran berharga mengenai bagaimana praktek tata kelola pemerintahan yang buruk merugikan kaum miskin di era sebelum krisis. Gambaran singkat kemiskinan di sektor pertanian menunjukkan bahwa secara nasional sektor ini mempunyai angka kemiskinan per sektor tertinggi, juga memiliki jumlah orang miskin terbanyak data per Pebruari 1999. Tingkat kemiskinan menurut head count di sektor ini berjumlah 39,7 persen, dan lebih dari 58,4 persen jumlah total penduduk miskin menyebutkan pertanian sebagai sumber utama pendapatan mereka Pradhan et al,2000. Meskipun sektor pertanian sarat dengan jumlah pendududk miskin, tetapi sektor ini ternyata menjadi satu-satunya sektor yang mampu menampung sejumlah besar penganggur baru selama krisis ekonomi berlangsung. Pada saat kesempatan kerja di sektor lain berkurang tajam, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian justru naik 13 persen atau 4,6 juta orang dalam waktu setahun, yakni dari 34,8 juta orang pada tahun 1997, meningkat menjadi 39,4 juta pada tahun 1998. Jasmina, et.al 2001:424 dalam Rusdarti Sebayang 2013 mengungkapkan bahwa berbagai strategi, kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang sudah dicanangkan pemerintah daerah pada akhirnya tergantung pada ketersediaan dan mekanisme penggunaan anggaran yang dimiliki daerah.

2.3. Kebijakan Anggaran