Disain dan pengujian metering device untuk unit pemupuk butiran laju variabel (variable rate granular fertilizer applicator)
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Disain dan PengujianMetering
Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Abdul Azis S NIM F151080051
(3)
ABSTRACT
Abdul Azis S. Design and Testing of Metering Device for Variable Rate Granular Fertilizer Applicator). Supervised by RADITE P.A SETIAWAN and I DEWA MADE SUBRATA.
Uniform rate of fertilizer applicator (URA) practice is disregarding the productive potential of the various areas within the field. Thus, some area is less fertilized and other is over fertilized. It is also an important issue recently that nitrogen from fertilizers may be subjected to lost into atmosphere or enters streams through surface or subsurface drainage (leaching). The place with
over-fertilization will be a potential source of pollution in the form of ammonia (NH3),
nitrite (NO2) and nitrate (NO3) which may hazard people health. Therefore, a contemporary issue is how to give an effective dose at the accurate position and right time for optimum growth of crops while preserving the environment without causing economic losses. Variable rate of fertilizer applicator (VRA) is a solution to overcome the negative impact of URA. It can control the appropriate of fertilizer dosage and location of application in the field. The objective of this research is to design a metering device for variable rate granular fertilizer applicator. In this research, the metering device was equipped with two rotor, which could be operated as single rotor or double rotor. The dose of granular fertilizer could be controlled by the rotation of the rotor. The rotation of the rotor was controlled using digital PID algorithm. The result of variable rate fertilizer testing of the metering device using single rotor indicated that the rate of urea, SP-36 and NPK are 0.84, 0.96 and 1.2 g/rotation respectively. The testing using double rotor indicated that the rate of urea, SP-36 and NPK are 1.14, 2.22 and 2.1 g/rotation respectively. All results showed that the prototype of metering device can control fertilizer dose of urea, SP-36 and NPK fertilizer precisely.
(4)
xi RINGKASAN
ABDUL AZIS S. Disain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk
Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator).Dibimbing
oleh RADITE P. A SETIAWAN dan I DEWA MADE SUBRATA.
Teknologi perlakuan seragam atau URT (Uniform Rate Technology)
memberikan perlakuan yang sama terhadap lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi tanah baik sifat kimia maupun sifat fisik dan struktur tanah. Perlakuan seragam dalam kegiatan pemupukan meliputi perlakuan dosis, waktu dan lokasi. Perlakuan dosis pupuk seragam tidak memperhatikan produktivitas lahan. Sehingga menyebabkan respon penerimaaan dosis pupuk akan berbeda-beda. Akan terdapat tanaman yang menerima dosis pupuk kurang dari yang dibutuhkan dan terdapat pula tanaman yang akan menerima dosis melebihi dosis yang dibutuhkan.
Pemupukan yang kurang dari dosis yang dibutuhkan tanaman mengakibatkan pemenuhan kebutuhan tanaman akan unsur hara tidak tercapai sehingga pertumbuhan tanaman tidak akan optimal. Sedangkan kelebihan dosis akan berdampak buruk bagi lingkungan dan tanaman. Unsur nitrogen dari pupuk sebagian akan terlepas ke atmosfir dan sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah atau dibawah permukaan tanah sehingga lahan yang overdosis akan berpotensi menjadi sumber polusi dalam bentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) dan
nitrat (NO3) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (FAO, 2000 dalam Radite,
2001).
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menggantikan teknologi URT khususnya pada perlakuan pemupukan adalah teknologi perlakuan tidak
seragam atau VRT(Variable-Rate Technology). VRT akan mampu menghasilkan
perlakuan yang tepat berdasarkan kebutuhan tanaman. Perlakuan yang tepat mencakup tepat waktu, tepat dosis dan tepat lokasi. Perlakuan tepat dosis
memerlukan peralatan VRA (Variable Rate Applicator) yang dapat mengontrol
dosis penggunaan pupuk dan pestisida. VRA memerlukan metering device yang
dapat mengontrol dosis pupuk yang digunakan.
Tujuan penelitian adalah untuk mendisain sebuah metering device yang
dapat mengontrol jumlah penjatahan pupuk granular yang dosisnya dapat
dikontrol secara elektronik, menguji respon kontrol dari prototipemetering device
dan menguji kinerja prototipe metering device dengan menggunakan 3 jenis
pupuk pada berbagai dosis pemupukan.
Prosedur penelitian mencakup; 1) Studi pustaka, 2) Inventarisasi alat dan bahan serta pembuatan rangkaian pendukung, 3) Perancangan dan pemrograman mikrokontroller, 4) Kalibrasi motor, 5) Identifikasi sistem, 6) Pengujian dengan stair-step response, 7) Pengujian dengan pupuk granular, 8) Pengolahan data.
Hasil kalibrasi kecepatan putar motor menunjukkan hubungan antara
tegangan input motor dengan kecepatan putar motor adalah linier dengan R2 =
0.999 dengan persamaan korelasi y = 162.9x – 95.48. Semakin besar tegangan
input yang diberikan, maka semakin besar kecepatan putar motor. Nilai K, T dan
d yang diperoleh dari pengeplotan menggunakan model ( ) 1 T(t d)
K e t
(5)
xii
t > d dan g(t) = 0 untuk t < d (Radite, 2010). Hasil pengeplotan menggunakan
metode least square diperoleh nilai K = 1.82, T = 0.075 dan d = 0.03. Hasil
pengujian dengan stair-step response menunjukkan bahwa pengujian dengan
kontrol PID memberikan respon yang cukup baik, dimana kecepatan putaran
motor mendekati nilaiset-pointyang dikehendaki
Pengujianmetering devicedengan satu rotor memberikan laju aliran pupuk
urea, SP-36 dan NPK untukset-point400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturut
turut sebesar 5.546, 12.11, 17.84, 23.66 dan 29.64 g/s; 7.54, 15.2, 22.09, 28.91
dan 33.27 g/s; 8.4, 16.25, 24.62, 32.42 dan 40.5 g/s sedangkan pengujianmetering
devicedengan dua rotor memberikan laju aliran pupuk, SP-36 dan NPK untuk set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturut-turut sebesar 7.846, 15.46, 23.04, 30.76 dan 39.92 g/s; 23.33, 39.24, 54.34, 68.92 dan 82.54 g/s; 22.92, 38.48, 51.34, 66.53 dan 78.80 g/s. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa kenaikan laju keluaran pupuk proporsional dengan kenaikan putaran rotor. Dengan demikian dosisi pupuk dapat dikontrol melalui pengontrolan putaran
rotor. Prototipe sistem Metering device yang dihasilkan dapat mengontrol
keluaran pupuk urea, SP-36 dan NPK secara presisi dengan variasi kecepatan motor antara 400 sampai 2000 rpm.
(6)
xiii
DISAIN DAN PENGUJIAN
METERING DEVICE
UNTUK UNIT
PEMUPUK BUTIRAN LAJU VARIABEL
(VARIABLE RATE
GRANULAR FERTILIZER APPLICATOR)
ABDUL AZIS S
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(7)
xiv
(8)
xv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Desain dan Pengujian Metering Device
untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer
Applicator) berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan November 2010 di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB, Bogor. Penelitian ini dibiayai dari program IM-HERE 2010.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Radite P.A Setiawan, M.Agr selaku pembimbing pertama atas segala bimbingan, arahan dan masukannya selama proses penelitian berlangsung hingga penulisan tesis ini selesai dan Bapak Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr selaku pembimbing kedua atas segala koreksi, bimbingan dan arahannya dalam menyusun tesis ini serta Bapak Dr. Ir. I Wayan Astika, MS sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Radite P.A Setiawan, M.Agr selaku ketua peneliti pada Program IM-HERE tahun 2010 atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis menjadi bagian dalam penelitian. Teman-teman TMP 2008 atas dukungan dan semangatnya. Staf, laboran dan teknisi laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Fateta IPB. Kedua orang tua Bapak H. Samaila HS dan Ibu Hj. Yasseng atas segala pengorbanan yang tak ternilai yang diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
(9)
xvi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pangkep pada tanggal 09 Desember 1982. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara, putra dari pasangan H. Samaila HS dan Hj. Yasseng.
Penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMU Negeri 1 Pangkep dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin (UNHAS) melalui jalus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknik Pertanian dan lulus sebagai Sarjana Teknik Pertanian pada tahun 2006.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten berbagai mata kuliah, diantaranya: tahun 2003/2004 menjadi asisten Biologi Dasar, 2004/2005 menjadi asisten mata kuliah elektronika, ekonomi teknik dan teknik kontrol dan instrumentasi dan 2005/2006 menjadi asisten teknik kontrol dan instrumentasi, Pertengahan Agustus 2008 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, program studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB.
(10)
xvii DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... xvii
DAFTAR GAMBAR... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xxii
I. PENDAHULUAN...1
1.1 Latar belakang...1
1.2 Rumusan Masalah...3
1.3 Tujuan dan Kegunaan...3
1.3.1 Tujuan...3
1.3.2 Kegunaan...4
II. TINJAUAN PUSTAKA...5
2.1 Pupuk dan Pemupukan...5
2.1.1 Sifat Fisik dan Mekanis Pupuk Granular...5
2.1.2 Aplikasi Pupuk Granular...6
2.2 Pertanian presisi(Precision farming)...9
2.3Metering DevicedanHopper...11
2.4 Motor DC dan Motor Servo...14
2.5Rotary Encoder...16
2.6MikrokontrollerdanSmart Peripheral Controller(SPC)...16
2.7 EMS 30AH-Bridge...19
2.8 Pengendalian Kecepatan Motor...21
2.9 Proporsional Integral Derivatif (PID)...22
2.9.1 Kontrol Proporsional(Proportional Control)...22
2.9.2 Kontrol Proporsional Integral(Proportional Integral Control)...23
2.9.3 Kontrol PID(Proportional Integral Derivative Control)...24
III.METODOLOGI PENELITIAN...26
3.1 Waktu dan Tempat...26
3.2 Alat dan Bahan...26
3.3 Tahapan Penelitian...26
3.3.1 Studi Pustaka...27
(11)
xviii
3.3.3 Pendekatan Disain Fungsional...28
3.3.4 Pendekatan Disain Struktural...29
3.3.5 Perancangan dan Pemrograman Mikrokontroller...32
3.3.6 Kalibrasi Kecepatan Motor dengan PWM...33
3.3.7 Pengujian denganLoopTerbuka...33
3.3.8 Pengujian denganStair-Step Response...35
3.3.9 Pengujian dengan Pupuk Granular...36
3.4 Persamaan-Persamaan Kontrol...37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...39
4.1 Hasil RancanganMetering Device...39
4.1.1 Rotor...39
4.1.2 Casing Rotor...40
4.1.3 Hopper...41
4.2 Kalibrasi Motor DC Servo...42
4.3 Pengujian Karakteristik Pupuk Granular...44
4.4 Identifikasi Sistem...44
4.5 Pengujian denganStair-Step Response...45
4.5.1 PengujianStair-Step Responsetanpa Kontrol PID...45
4.5.2 PenalaanStair-Step Responsedengan Kontrol PID...46
4.6 Pengujian dengan Pupuk Granular...49
4.6.1 Pengujian dengan Kontrol PID...50
4.6.2 Pengujian Tanpa Kontrol...56
4.6.3 Dosis Pemupukan...60
V. KESIMPULAN DAN SARAN...61
5.1 Kesimpulan...61
5.2 Saran...61
DAFTAR PUSTAKA...62
(12)
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 (a)Metering devicetipeaugerdan (b). Mekanisme penyaluran bahan...12
Gambar 2 Metering devicetipeedge-cell ...12
Gambar 3 Metering devicetipebelt...12
Gambar 4 Metering devicetipepositif feed fluted roll...13
Gambar 5 Bentuk dari sebuahmetering device...14
Gambar 6 Prinsip kerjarotary encoder...16
Gambar 7 SPCmotor controlllerdan mikrokontroller DT-51minimum system...19
Gambar 8 EMS 30AH-Bridge...20
Gambar 9 Bentuk tegangan PWM dan tegangan ekivalen liniernya...22
Gambar 10 Diagram blok kontrol proporsional (kontrol P)...22
Gambar 11 Diagram blok kontrol Integral (kontrol I)...23
Gambar 12 Diagram blok kontrol proporsional-integral (P-I)...24
Gambar 13 Diagram blok konrol PID...24
Gambar 14 Bagan alir tahapan penelitian...27
Gambar 15 Gambarmetering deviceakhir...30
Gambar 16 Dimensi dan ukuranhopper...31
Gambar 17 Sistem pengendalian motor DC dengan loop terbuka...34
Gambar 18 Grafik penentuan nilai K, T dan d...34
Gambar 19 Diagram skematik pengontrolan motor DC dengan control PID...36
Gambar 20 Hasil rancanganrotor...39
Gambar 21 Hasil rancanganmetering device...40
Gambar 22 Hasil rancangancasing rotor...40
Gambar 23 Lubang masukan pupuk kerotor...41
Gambar 24 Pemasanganrotorpadacasing rotor...41
Gambar 25 Hasil rancanganhopper...42
Gambar 26 Metering devicedanhopper...42
Gambar 27 Grafik hubungan antara tegangan input motor (volt) dengan kecepatan putar (RPM)...43
Gambar 28 Grafik hubungan nilai PWM dengan tegangan input motor (volt)...43
Gambar 29 Grafik pengujian identifikasi sistem...45
Gambar 30 Grafik pengujianstair-step responsetanpa kontrol PID...46
Gambar 31 Grafik penalaanStair-step responsedengan konstantaZeigler-Nichols...46
Gambar 32 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 800; 10,000 dan 30,000...48
Gambar 33 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 400; 5,000 dan 15,000...48
Gambar 34 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 500; 5,000 dan 30,000...48
(13)
xx
Gambar 35 Grafik hasil penalaan konstanta PID masing-masing 500; 15,000 dan 20,000 ...49 Gambar 36 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk (kanan)...51 Gambar 37 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan)...52 Gambar 38 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)...53 Gambar 39 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea(kanan)...55 Gambar 40 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan)...55 Gambar 41 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)...55 Gambar 42 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan)...57 Gambar 43 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan)...57 Gambar 44 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)...58 Gambar 45 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan
putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan)...59 Gambar 46 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik
hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan)...59 Gambar 47 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan
(14)
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4)...5
Tabel 2 Karakteristik fisik pupuk NPK...6
Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP...6
Tabel 4 Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi sawah...7
Tabel 5 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah...7
Tabel 6 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah...8
Tabel 7 Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk tunggal...9
Tabel 8 Tabel kebenaran dari modulH-Bridge...21
Tabel 9 Kriteria Zeighler dan Nichols...34
(15)
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Perhitungan volumemetering deviceteoritis...64
Lampiran 2 Perhitungan dosis pemupukan urea...66
Lampiran 3 Perhitungan dosis pemupukan SP-36...67
Lampiran 4 Perhitungan dosis pemupukan NPK...68
Lampiran 5 Bagan alir sistem pengontrolan...69
Lampiran 6 Tabel hasil kalibrasi kecepatan motor DC...71
Lampiran 7 Tabel kombinasi konstanta P, I dan D untuk penalaan PID...72
Lampiran 8 Tabel hasil pengujian distribusi ukuran pupuk NPK , SP-36 dan urea...73
Lampiran 9 Tabel hasil pengukuran massa dan volume pupuk granular...74
Lampiran 10 Tabel hasil identifikasi sistem...75
Lampiran 11 Tabel hasil pengujianmetering devicedengan saturotor....77
Lampiran 12 Tabel hasil pengujianmetering devicedengan duarotor....78
Lampiran 13 Bahasa program kontrol dengan PID...79
(16)
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sistem pertanian di Indonesia masih menerapkan teknologi perlakuan
seragam atau URT (Uniform Rate Technology). Teknologi ini memberikan
perlakuan yang sama terhadap lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi tanah baik sifat kimia seperti kandungan hara/nutrisi dan pH tanah maupun sifat fisik seperti tekstur dan struktur tanah. Perlakuan budidaya pertanian meliputi pengolahan tanah, penanaman dan pemeliharaan (pemupukan dan pengendalian hama). Teknologi ini banyak digunakan karena murah dan mudah dilakukan bahkan relatif tidak memerlukan aplikasi peralatan tertentu. Teknologi perlakuan seragam dalam kegiatan pemupukan meliputi dosis, waktu dan lokasi. Perlakuan dosis pupuk seragam tidak memperhatikan produktivitas lahan. Sehingga menyebabkan respon penerimaaan dosis pupuk akan berbeda-beda. Akan terdapat tanaman yang menerima dosis pupuk kurang dari yang dibutuhkan dan terdapat pula tanaman yang akan menerima dosis melebihi dosis yang dibutuhkan.
Pemupukan yang kurang dari dosis yang dibutuhkan tanaman mengakibatkan pemenuhan kebutuhan tanaman akan unsur hara tidak tercapai sehingga pertumbuhan tanaman tidak akan optimal. Perlakuan ini tentunya tidak akan berhasil untuk mencapai tingkat produksi yang optimal. Sedangkan kelebihan dosis akan berdampak buruk bagi lingkungan dan tanaman. Unsur nitrogen dari pupuk sebagian akan terlepas ke atmosfir dan sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah atau dibawah permukaan tanah sehingga lahan yang overdosis akan berpotensi menjadi sumber polusi dalam bentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (FAO, 2000 dalam Radite, 2001).
Menurut Reijntjes at al.(1992) penggunaan pupuk kimia yang berlebihan
dapat menggangu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik sehingga menyebabakan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panen. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral Nitrogen yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan pH tanah. Selain itu,
(17)
2
penggunaan pupuk buatan di negara maju dan negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan nitrogen oksida pada atmosfer dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfer, N2O akan menipiskan lapisan ozon dengan menyerap gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca) dan mengganggu kestabilan iklim.
Menurut Sutedjo (2008), akibat yang dapat ditimbulkan dari pemupukan dengan dosis yang berlebihan antara lain kematian tanaman yang dibudidayakan, timbulnya gejala-gejala penyakit pada tanaman yang masih muda, kerusakan fisik tanah dan tidak ekonomis. Sedangkan menurut Tan Kim (1994), penggunaan unsur P yang berlebihan akan sangat berbahaya bagi tanah dan lingkungan, karena sebagian besar akan terlarut ke dalam sungai atau danau. Jika akumulasi unsur P dan ion nitrat sangat besar pada danau akan menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang tidak diinginkan menjadi tidak terkendali. Proses ini sering disebut
dengan proseseutrophication.
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menggantikan teknologi
URT adalah teknologi perlakuan tidak seragam atau VRT (Variable Rate
Technology). Teknologi ini merupakan salah satu bagian dari sistem pertanian
presisi (precision farming) yang sekarang ini menjadi sistem pertanian yang
banyak dikembangkan di negara maju. Tekonolgi VRT akan mampu menghasilkan perlakuan yang tepat berdasarkan kebutuhan tanaman. Perlakuan yang tepat mencakup tiga hal penting, yaitu memberikan aplikasi yang tepat waktu, tepat dosis dan tepat lokasi. Aplikasi tepat waktu memerlukan analisi tanah dan tanaman dalam menentukan jenis dan kadar unsur hara yang terkandung dalam tanaman serta jenis dan kadar unsur hara yang terkandung dalam tanah yang masih mampu diserap oleh tanaman sehingga kedua data ini dapat menjadi dasar penentuan dosis yang harus diberikan. Aplikasi tepat lokasi memerlukan
teknologi DGPS (Differential Global Position System) dan GIS (Geographic
Information Sistem) yang berfungsi sebagai navigator dalam menentukan posisi mesin saat bekerja di atas lahan dan memetakan lahan berdasarkan hasil uji
kandungan hara. Sedangkan tepat dosis memerlukan peralatan VRA (Variable
(18)
3
Dalam penelitian ini, teknologi VRT akan diterapkan dalam kasus pemupukan dan akan didesain untuk aplikasi pengontrolan dosis pupuk granular (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator). Untuk itu, diperlukan sebuah metering device yang dapat digunakan untuk mengatur keluaran pupuk granular yang digunakan.
1.2 Rumusan Masalah
Penggunaan sistem pertanian URT terutama dalam pemupukan tidak mampu memberikan aplikasi pemupukan yang tepat berdasarkan waktu, dosis dan lokasi sehingga hasil pemupukan tidak akan memberikan hasil yang optimal dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tanaman, lingkungan dan manusia. Pemupukan dengan dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air tanah, meracuni mikroorganisme tanah, dan
memberikan andil pada resiko pemanasan global (global warming) yang muncul
dari pelepasan nitrogen oksida pada atmosfer dan lapisan di atasnya. Selain itu, menyebabkan pemupukan tidak efektif dan efisien.
Sistem VRT merupakan salah satu pilihan teknologi untuk menggantikan sistem URT. Teknologi VRT dalam aplikasi pemupukan harus dilengkapi dengan DGPS dan VRA. VRA memerlukan komponen yang dapat mengontrol dosis pupuk yang digunakan. salah satu komponen yang dapat digunakan adalah metering device. Oleh karena itu. Penelitian ini penting dilakukan untuk
memperoleh sebuah metering device yang dapat dikontrol secara elektronik dan
dapat diaplikasikan untuk mengontrol dosis pupuk granular.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
1.3.1 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mendesain sebuahmetering device yang dapat mengontrol jumlah penjatahan
pupuk granular yang dosisnya dapat dikontrol secara elektronik
2. Menguji respon kontrol dari prototipemetering device
3. Menguji kinerja prototipe metering device dengan menggunakan 3 jenis
(19)
4 1.3.2 Kegunaan
Metering device ini dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Variable Rate Granular Applicatorsetelah dilengkapi peralatan pendeteksi posisi di lahan (DGPS) dan sensor pendeteksi kandungan unsur hara tanah dan tanaman serta
merupakan peralatan yang penting bagi aplikasi pertanian presisi (Precision
(20)
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pupuk dan Pemupukan
2.1.1 Sifat Fisik dan Mekanis Pupuk Granular
2.1.1.1 Pupuk Urea
Pupuk urea terbuat dari gas amoniak dan gas asam arang. Persenyawaan kedua zat ini melahirkan pupuk urea dengan kandungan N hingga mencapai 46%. Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu menarik uap air dari udara. Oleh karena itu, urea mudah larut dalam air dan mudah diserap oleh tanaman. Kalau diberikan ke tanah, pupuk ini akan mudah berubah menjadi amoniak dan karbondioksida. Padahal kedua zat ini berupa gas yang mudah menguap. Sifat lainnya ialah mudah tercuci oleh air dan mudah terbakar oleh sinar matahari (Marsono dan Pinus Lingga, 2008).
Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4) menurut Honeywell
International Inc (2008) seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4)
Kandungan kimia %
Nitrogen Sulfur
Asam bebas (H2SO4)
Kadar air
21 min 24 min 0.1 max 1.0 max
Rumus kimia (NH4)2SO4
Berat molekul 132.14
Angle of repose 35o
2.1.1.2 Pupuk NPK
Pupuk NPK merupakan salah satu pupuk majemuk yang mengandung unsur Nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K) dengan kadar yang beragam. Jenis dan kadar unsur yang dikandungnya berdasarkan negara asalnya. Seperti amafoska I (12-24-12) dari Amerika Serikat, nitrofoska I (17.5-13-22) dari Jerman, compound fertilizer (14-12-9) dari Jepang dan NPK Holland (15-15-15)
(21)
6
dari Belanda (Lingga Pinus dan Marsono, 2008). Beberapa sifat fisik dari pupuk NPK seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik fisik pupuk NPK Karakteristik fisik
Bulk density Kg/m3 850 - 1000
Angle of repose Degree 32o
color Red/pink
Sumber :Zakłady Chemiczne „Police” SA
2.1.1.3 Pupuk TSP
Pupuk TSP (triplesuperfosfat) merupakan pengganti DS saat hubungan
Indonesia dengan Belanda kurang baik. TSP didatangkan dari Amerika Serikat.
Kadar P2O546–48% dan umumnya berwarna abu-abu. Bentuknya berupa butiran
(granulated) dan memiliki sifat larut dalam air serta reaksi fisiologinya netral (Lingga Pinus dan Marsono, 2008). Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP
Sifat kimia %
Phospat (P2O5) H2O
Sulfur Besi (Fe2O3)
Aluminium (Al2O3) Magnesium (MgO) pH
Asam sitrat
48.1 1.0 3.2 1.7 1.6 0.9 2.7 2.0
Bulk density 1100 kg/m3
Indeks keseragaman 55
Angle of repose 31o–33o
2.1.2 Aplikasi Pupuk Granular
Perhitungan kebutuhan pupuk urea seperti ditunjukkan pada Tabel 4 didasarkan pada tingkat produktivitas padi sawah. Pada tingkat produktivitas rendah (<5 t/ha) dibutuhkan urea 200 kg/ha. Pada tingkat produktivitas sedang (5-6 t/ha) dibutuhkan urea 250-300 kg/ha. Sedangkan pada tingkat produktivitas tinggi (>6 t/ha) dibutuhkan urea 300-400 kg/ha. Pada daerah yang memiliki data
(22)
7
produktivitas padi dengan perlakuan tanpa pemupukan N, kebutuhan pupuk urea dapat dihitung dengan menggunakan Tabel 1. Misalnya, apabila tanaman padi di suatu lokasi menghasilkan gabah sebanyak 3 t/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target hasil adalah 6 t/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar 325 kg tanpa penggunaan bagan warna daun (BWD) dan 250 kg dengan BWD (Deptan, 2007).
Status P dan K tanah dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan rekomendasi pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl). Tabel 5 dan 6 memuat rekomendasi umum pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah (Deptan, 2007).
Tabel 4 Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi sawah
Target kenaikan rekomendasi (kg/ha)produksi dari tanpa
pupuk N Teknologi yang digunakan Rekomendasi (kg/ha) N Urea 2,5 t/ha
Konvensional 125 275
Menggunakan BWD 90 200
Menggunakan BWD +
2 t pupuk kandang/ha 75 175
3,0 t/ha
Konvensional 145 325
Menggunakan BWD 112 250
Menggunakan BWD +
2 t pupuk kandang/ha 100 225
3,5 t/ha
Konvensional 170 375
Menggunakan BWD 135 300
Menggunakan BWD +
2 t pupuk kandang/ha 125 275
Tabel 5 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah
Kelas status hara P tanah
Kadar hara P tanah terekstrak HCl 25% (mg P2O5/100 g)
Takaran rekomendasi (kg SP-36/ha) Rendah Sedang Tinggi < 20
20–40
> 40
100 75 50
(23)
8
Tabel 6 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah
Kelas status hara K tanah
Kadar hara K tanah terekstrak HCl 25%
(mg K2O/100 g)
Takaran rekomendasi pemupukan K (kg
KCl/ha)
Rendah Sedang Tinggi
< 20
10–20
> 20
100 50 50
Hasil penelitian dari PT Pusri menunjukkan bahwa tanah dengan tanaman padi yang kadar hara fosfatnya (P) rendah harus dipupuk 100 kg SP-36 per ha, yang kadar hara P-nya sedang dipupuk 75 kg SP-36 per ha dan yang P-nya tinggi dipupuk dengan 50 kg SP-36 per ha. jadi dosis SP-36 untuk lahan sawah berbeda-beda, tergantung kandungan hara P dalam tanah. Tanah yang kadar hara kaliumnya (K) rendah, dipupuk 100 kg KCl per ha, sedang kadar K-nya sedang sampai tinggi, cukup dipupuk 50 kg KCl per ha.
Table 7 menunjukkan dosis anjuran pupuk SP-36 dan KCl untuk padi sawah berdasarkan status hara fosfat (P) dan kalium (K) pada lahan sawah. Untuk hara N tidak dilakukan pembuatan peta status hara N karena umumnya kadar N tanah di Indonesian rendah, sehingga secara umum harus dipupuk 250-300 kg urea per ha.
Hara N, P dan K yang ditambahkan ke dalam tanah harus dalam jumlah yang tepat. Jenis tanah, tingkat ketersediaan hara dalam tanah, kondisi iklim, varietas padi sawah yang ditanam dan cara pemberian pupuk akan sangat menentukan ketetapan jenis dan dosis pupuk yang harus ditambahkan. Untuk menghasilkan padi sawah sebanyak 3 t/ha, dibutuhkan hara sekitar 54 kg N, 60 kg
P2O5 dan 55 kg K2O/ha/musim (Djaenuddin et al. 2000 dalam BPPT-Sulbar,
2009). Sebagai pembanding, hasil penelitian Idris et al. (2002) dalam
BPPT-Sulbar (2009) menunjukkan bahwa pemupukan 90 kg N, 72 kg P2O5 dan 50 kg K2O/ha/musim menghasilkan gabah kering giling (GKG) 5.4 t/ha/musim. Kelebihan atau kekurangan hara tersebut akan mempengaruhi efisiensi hara akibat terganggunya absorbsi hara dalam tanah dan metabolisme tanaman
(24)
9
Tabel 7 Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk tunggal.
Kelas status hara tanah Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi
P K Urea SP-36 KCl
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah sedang Tinggi Rendah sedang Tinggi 250 250 250 250 250 250 250 250 250 100 100 100 75 75 75 50 50 50 100 50 50 100 50 50 100 50 50
2.2 Pertanian presisi(Precision farming)
Menurut Searcy (1997) pertanian presisi (precision farming) merupakan
salah satu cara penggunaan informasi lahan untuk mengatur input produksi secara tepat. Cara ini digunakan untuk mengetahui karakteristik tanah dan tanaman dan untuk mengoptimalkan input produksi sampai pada porsi yang terkecil. Filosopi dari pertanian presisi adalah bahwa input produksi seperti pupuk, pestisida dan lainnya harus diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sesuai dengan
lokasi yang membutuhkan. Menurut Arnholt,et al.(2001) bahwa pertanian presisi
merupakan sistem pertanian yang didesain untuk memberikan data dan informasi bagi petani sehingga dapat membantu dalam membuat suatu keputusan-keputusan pengolahan tanah berdasarkan lokasi. Dengan informasi ini, pertanian dapat menjadi lebih efisien, memungkinkan penggunaan biaya yang lebih kecil dan lebih menguntungkan.
Terdapat dua metode untuk mengaplikasikan pertanian presisi atau
pertanian yang berorientasi lokasi (site-specific farming). Masing-masing metode
mempunyai kelebihan dan dapat digunakan untuk saling melengkapi atau dapat
dikombinasikan (Morgan, 1999 dalam Radite, 2001). Metode pertama,map-based
mencakup beberapa tahap: pembuatan grid sampling sebuah lahan, analisis
laboratorium terhadap sampel tanah, penentuan peta berdasarkan lokasi pada peralatan dan terakhir penggunaan peta yang telah dibuat untuk mengontrol variable-rate applicator. Pembuatan sampel dan penentuan posisi menggunakan DGPS (differential global positioning system). DGPS ini digunakan untuk
(25)
10
menentukan lokasi pemupukan. Metode kedua adalahsensor-based. Sensor yang
digunakan adalah yang bersifat real-time dan menggunakan kontrol berumpan
balik untuk mengukur kandungan hara. Signal kandungan hara tanah atau
karaktristik pemanenan digunakan untuk mengontrol variable-rate aplicator.
Metode kedua tidak memerlukan sebuah GPS.
Pertanian presisi telah mejadi perhatian akhir-akhir ini karena berpotensi untuk meningkatkan hasil panen dan mengurangi input produksi. Pengurangan input seperti nitrat tidak hanya mengurangi biaya produksi tetapi juga meminimalisir pengaruh buruk terhadap lingkungan seperti kandungan nitrat
dalam air tanah (Ehsani et al. 1999). Tetapi, pertanian presisi memerlukan data
tentang tanah dan hasil panen sangat banyak sehingga memerlukan biaya yang mahal, waktu yang lama dan membosankan. Kenyataannya, dengan menggunakan sensor, data tanah dan tanaman secara cepat dan murah dapat diperoleh dan pengetahuan tentang hubungan antara parameter jenis tanah, tanaman, lingkungan dan panen yang menjadi faktor utama di dalam penerapan teknik pertanian presisi.
Ehsani et al. (1999) dan Upadyaya (1993) menyimpulkan bahwa teknik
optik adalah sangat mungkin untuk menentukan kandungan nitrat dalam tanah
dengan cepat. Penelitian Ehsani et al. (1999) mempelajari kemungkinan
penggunaan spektrum near-infrared untuk menentukan kandungan nitrat dalam
tanah. Pengujian dilakukan di laboratorium dan di lahan menggunakan dua jenis tanah untuk mendemonstrasikan spectrum NIR yang sesuai untuk mengukur kandungan nitrat dalam tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran kandungan nitrat tanah bisa dilakukan dengan menggunakan spektrum NIR pada
selang 1800–2300 nm, tetapi kalibrasisite-specificdiperlukan untuk memetakan
variasi nitrat pada daerah yang luas.
Variable-rate technology (VRT) dan sistem aplikasi yang terintegrasi memberikan pengertian bahwa aplikasi pemupukan diberikan hanya dalam jumlah atau dosis tertentu berdasarkan lokasi yang membutuhkan. Secara argonomi,
sistemvariable-rate memberikan pengertian bahwa terget pemupukan didasarkan
atas hasil pengujian tanah dan berhubungan dengan sistem informasi kandungan
hara tanah. Secara ekonomi, sistemvariable rateberhubungan dengan biaya yang
(26)
11
lingkungan, sistem varible-rate membantu untuk mencegah pemupukan yang
berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya masalah lingkungan
(Wollenhaupt,et al,1993 dalam Radite, 2001)
Menurut survei yang dilakukan oleh Arnholt, et al. (2001) di Ohio
menunjukkan bahwa penerapan pertanian presisi (precision farming) merupakan
faktor yang sangat penting untuk meningkatkan keuntungan petani. Komponen
sistem pertanian presisi yang banyak diterapkan adalah grid soil sampling dan
VRT. Aplikasi VRT untuk pupuk Phospor (P) dan Potasium (K) digunakan lebih dari 60% kelompok tani, sedangkan hanya sekitar 15% kelompok tani yang menggunakan VRT untuk pupuk Nitrogen (N) dan hanya sedikit petani yang menggunakannya untuk pupuk mikro. Tidak ada petani yang menggunakan VRT untuk pestisida dan penanaman biji-bijian.
2.3 Metering DevicedanHopper
Terdapat banyak jenis metering device yang telah dikembangkan untuk
memperoleh aksi pengukuran (metering) yang konsisten dan seragam. Alat-alat
tersebut umumnya dijalankan oleh ground wheel. Metering akan berhenti ketika
ground wheel berhenti atau terangkat dari permukaan tanah. Metering device
secara umum digolongkan kedalam dua jenis, yaitu aliran positif (positive flow)
dan aliran grafitasi(gravity flow).
Auger-type metering deviceseperti pada Gambar 1a memiliki sebuah pipa close-fitting auger danauger(ulir) memiliki perpindahan per putaran yang relatif
besar. Loose-fitting atau floating-auger seperti ditunjukkan pada Gambar 1b
secara luas digunakan dalam penanganan hasil pertanian. Diameter dalam dari tabung adalah sekitar 12.5 mm lebih besar dibandingkan dengan diameter ulir (auger). Daerah diantara dua ulir digunakan untuk memindahkan bahan ke ujung hopper, dimana ujunghopperberada pada ujung tabung atau menjatuhkan melalui
pembukaoutlet.
Edge-cell metering deviceditunjukkan pada Gambar 2 . Jarak pemasangan roda metering diharapkan berada disepanjang hopper dan digerakkan dengan
sebuah poros. Lebar rotor berkisar antara 6 mm – 32 mm dan bekerja dengan
kisaran kecepatan berbeda. Laju pengeluaran dari rotor dikendalikan dengan merubah kecepatan rotor.
(27)
(28)
(29)
(30)
15
Berdasarkan cara merangkainya, motor DC dengan koil medan dapat
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu jenis seri, jenisshuntdan jenis gabungan. Motor
DC jenis seri yang terbuat dari sedikit lilitan kawat besar yang dihubungkan seri dengan jangkar. Jenis motor DC ini mempunyai karakteristik torsi awal dan variasi kecepatan yang tinggi. Ini berarti bahwa motor dapat memulai menggerakkan beban yang sangat berat, tetapi kecepatan akan bertambah bila beban turun. Motor DC dapat membangkit torsi awal yang besar karena arus yang sama melewati jangkar juga melewati medan. Jadi jangkar membutuhkan arus yang lebih banyak (untuk membangkitkan torsi lebih besar) dan arus ini juga melewati medan (untuk menambah kekuatan medan). Oleh karena itu motor DC berputar cepat dengan beban ringan dan berputar lambat pada saat beban ditambahkan. Sifat istimewa dari motor DC seri adalah kemampuannya untuk memulai pergerakan pada beban yang berat.
Motor DC jenis shunt, kumparan medan shunt dibuat dengan banyak
lilitan kawat kecil, sehingga akan memiliki tahanan yang tinggi. Motor shunt
memiliki rangkaian jangkar dan medan yang dihubungkan secara paralel yang akan memberikan kekuatan medan dan kecepatan motor yang sangat konstan.
Motorshuntdigunakan pada suatu sistem yang memerlukan pengaturan kecepatan
yang baik (konstan). Dengan menambah rheostat yang dipasang seri dengan
rangkaian medan shunt, kecepatan motor dapat dikontrol di atas kecepatan dasar.
Kecepatan motor akan berbanding terbalik dengan arus medan. Ini berarti motor shunt akan berputar cepat dengan arus medan rendah, dan bertambah pada saat arus ditambahkan.
Motor DC jenis gabungan(compound)menggunakan lilitan seri dan lilitan
shunt yang umumnya dihubungkan dengan medan-medannya. Hubungan dua
lilitan ini menghasilkan karakteristik pada motor medan shunt dan motor medan
seri. Kecepatan motor tersebut bervariasi lebih sedikit dibandingakn motorshunt,
tetapi tidak sebanyak motor seri. Motor seri jenis gabungan juga mempunyai torsi
yang agak besar, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan motor shunt, tetapi
sedikit lebih kecil dibandingkan dengan motor seri. Keistimewaan dari cara penggabungan ini membuat motor jenis ini akan memberikan variasi penggunaan yang luas (Joni dan Budi, 2006)
(31)
2.5 Rotary Encoder
Untuk pengukuran rotary/shaft encoder. Sec ilustrasikan seperti pada G Channel B/ B) pendeteksi menentukan arah gerakan,
arah jarum jam(counter cl
B) dapat dihitung (mengg ditempuh. Dengan demikia olehrotary encoder(Pitow
G
Biasanya encoder i
box, sendi atau bagian be
berlubang (hollow shaft
langsung ke poros obyek y
2.6 MikrokontrollerdanS
DT-51 merupakan d yaitu perangkat keras dan DT51 ialah mikrokontrole MCS-51 Intel dan telah mikrokontroler, DT51 dil DT51 bekerja dalam mode komponen-komponen terse lain : timer, counter, RS (PPI), serta LCD port. Pera Debugger DT51D. Downl PC (Portable Computer)
16
an posisi putaran yang lebih presisi dapat men
Secara umum prinsip kerja rotay encoder
a Gambar 6. Dua buah sensor optis (Channel
ksi “hitam dan putih” digunakan sebagai acu
an, searah jarum jam (clock-wise, CW) atau be
r clock-wise, CCW).Sedangkan jumlah pulsa (ba
ggunakan prinsip counter) sebagai banyak lang
kian arah gerakan dan posisi dapat dideteksi de owarno Endra, 2006).
Gambar 6 Prinsip kerjarotary encoder
er ini dipasang segaris dengan poros (shaft) mo
berputar lainnya. Bebarapa tipe encoder memi
aft encoder) yang didesain untuk sistem sa yang dideteksi.
nSmart Peripheral Controller(SPC)
n development tools yang terdiri dari 2 bagian te an perangkat lunak. Komponen utama perang oler 89C51 yang merupakan salah satu turunan ah menjadi salah satu standar industri duni dilengkapi pula dengan EEPROM yang memu mode stand-alone (bekerja sendiri tanpa kompute rsebut masih banyak fungsi-fungsi lain pada DT
RS-232 serial port, Programmable peripheral
erangkat lunak DT51 terdiri dari Downloader DT nloader berfungsi untuk mentransfer user prog r) ke DT51, sedangkan debugger akan memb
menggunakan
er dapat di
el A/Ā dan acuan untuk berlawanan (baik A atau ngkah yang dengan baik
motor. Gear
miliki poros sambungan
terintegrasi ngkat keras an keluarga unia. Selain mungkinkan uter). Selain T51, antara ral interface DT-51L dan rogram dari mbantu user
(32)
17
untuk melacak kesalahan program. Mikrokontroler 89C51 adalah komponen utama dari DT51. Instruksi dan pin out 89C51 kompatibel dengan standar industri MCS-51. 89C51 mempunyai spesifikasi standar sebagai berikut :
o CPU 8 bit yang dioptimasi untuk aplikasi kontrol
o 4 Kbytesflash programmableanderasable read only memory(PEROM)
o 128 bytes internal RAM
o 2 buah 16 bit Timer / Counter
o Serial Port yang dapat diprogram
o 5 sumber interupt dengan 2 level prioritas
o On-chip oscillator
o 32 jalur input output yang dapat diprogram
o 64K program memori
o 64K data memori
Smart peripheral motor controller / SPC motor controller merupakan sebuah modul pengendali motor DC dan motor stepper yang mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 buah motor DC atau 2 buah
motor stepper. Modul ini dilengkapi dengan pengendali PID (proportional
integral differential) untuk kendali motor DC yang bisa diatur (tuning) sendiri
oleh pengguna. Selain itu modul SPCmotor controllerini juga dilengkapi dengan
kemampuan microstepping untuk motor stepper sehingga gerakan motor stepper
dapat lebih mulus dan tidak patah-patah tanpa mengurangi kemampuan torsi motor stepper.
Spesifikasi SPCmotor controllersebagai berikut :
o Daya diperoleh dari sumber catu daya dengan tegangan 9–12 Volt.
o Mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 motor
DC atau 2 buah motor stepper.
o Umpan balikspeed encoder(frekuensi maksimum 10 kHz).
o Mampu mendeteksi perubahan kecepatan dengan ketelitian hingga 0,1RPS
(rotation per second) atau 6 RPM (rotation per minute).
o Kendali motor DC dapat dilakukan secaraclose loopPID maupunopen loop.
(33)
18
o Mendukung tipe step (untuk motor stepper): fullstep, halfstep, microstep4, microstep8, microstep16, dan microstep32.
o Kecepatan motor stepper sampai dengan 255 PPS (pulse per second).
o Gerak motor stepper dengan ketelitian sampai dengan 0,1º (tergantung tipe
stepdan ketelitian motor stepper).
o Tersedia antarmuka UART RS232/TTL, I2C, dan Lebar Pulsa.
o Pin input/output kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS.
o Kompatibel dengan modul-modul EMS H-Bridge.
o Terdapat 4 set output PWM (pulse width modulation) 8-bit dengan frekuensi
600 Hz.
o Terdapat 4 kanal ADC 8-bit dengan tegangan referensi 5 Volt dan sampling
ratemaksimum 25 kHz.
o Terdapat 4 pingeneral purpose input/output(GP I/O).
Jika modul SPC motor controller digunakan untuk mengendalikan motor
DC, selain antarmuka UART dan IC, terdapat antarmuka lebar pulsa yang dapat digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran motor DC. Pada
modul SPC motor controller terdapat 4 jalur input lebar pulsa, dimana tiap jalur
dapat mengendalikan 1 motor DC. Tiap jalur dapat menerima pulsa (pulsa positif /
logika High) dengan lebar 2 ms – 22 ms, dengan frekuensi maksimum 40 Hz.
Motor akan berhenti jika pulsa yang diberikan memiliki lebar 12 ms. Jika pulsa yang diberikan (misal: pada jalur 1) memiliki lebar 2 ms, maka motor DC (yang terhubung pada output ke-1) akan dikendalikan agar berputar pada kecepatan maksimumnya searah dengan jarum jam (dengan kendali PID). Sebaliknya, jika pulsa yang diberikan memiliki lebar 22 ms, maka motor DC (yang terhubung pada output ke-1) akan dikendalikan agar berputar pada kecepatan maksimumnya berlawanan arah dengan jarum jam.
Mulai lebar pulsa 2 ms sampai dengan 12 ms, setpoint kecepatan akan
berubah secara linier mulai dari kecepatan maksimum sampai dengan berhenti
total. Demikian juga, mulai lebar pulsa 12 ms sampai dengan 22 ms, setpoint
kecepatan akan berubah secara linier mulai dari berhenti total sampai dengan kecepatan maksimum, tetapi pada arah putaran motor sebaliknya. Kecepatan maksimum putaran motor diatur melalui parameter <maxspeed> melalui
(34)
(35)
(36)
(37)
Gambar 9 Bentuk t Terdapat banyak mengontrol kecepatan mo modulasi lebar pulsa (P digunakan dengan berba gelombang persegi denga
divariasi antara 0–100%. (
2.9 Proporsional Integra
2.9.1 Kontrol Proporsion
Kontrol proporsi
membandingkan nilai k
proporsional. Artinya, el menerima sebuah sinyal ya (Bolton W, 2004)
Gambar 10 Di Gambar 10 menunj sinyal keluaran kontroller
sebagai gain (penguat) sa
kontroler. Jika dinyatakan d e
K
u P …………
r + e
-22
k tegangan PWM dan tegangan ekivalen linierny k jenis driver/kontrol yang dapat digunaka
motor DC seperti resistive type, transistor
(PWM) dan sebagainya. Tetapi PWM lebih rbagai alasan. Driver PWM bekerja men ngan variabel rasio on/off dan rata-rata wak
. (Radite, 2001)
ral Derivatif (PID)
sional(Proportional Control)
rsional merupakan metode pengontrolan ya
keluaran kontrol dengan nilai kesalahan
elemen pengoreksi dari sebuah sistem kon yang proporsional dengan nilai koreksi yang dik
Diagram blok kontrol proporsional (kontrol P)
unjukkan bahwa r adalah input, e adalah error,
ller dan Kp adalah konstanta proporsional. Kp
) saja tanpa memberian efek dinamik kepad n dalam suatu persamaan, maka diperoleh:
………
Kp u H(s) y
rnya
akan untuk stor copper, bih banyak menggunakan aktu dapat
yang dapat han secara ontrol akan dikehendaki
)
rror, u adalah
Kp berlaku
ada kinerja
(38)
23
Menurut Pitowarno Endra (2006), penggunaan kontrol P memiliki berbagai keterbatasan karena sifat kontrol yang tidak dinamik. Walaupun dalam aplikasi dasar sederhana, kontrol P mampu untuk mencapai konvergensi meskipun
error keadaan tenangnya(steady-state error)relatif besar.
2.9.2 Kontrol Proporsional Integral(Proportional Integral Control)
Menurut Bolton W (2004), kontrol integral merupakan kecepatan
perubahan keluaran kontrol I yang proporsional dengan kesalahan masukan dari
sinyale.menurut Pitowarno Endra (2006) bahwa kontrol integral berfungsi untuk
menurunkan steady-state error yang dihasilkan oleh kontrol proporsional,
sehingga kontrolIselalu dikombinasikan dengan kontrolP.
( ) = ∫ ( ) …......(4)
Kiadalah konstanta Integral, sehingga,
( ) = ………...(5)
Jika e(T) mendekati konstan maka u(t) akan menjadi sangat besar sehingga
diharapkan dapat memperbaiki kesalahan, jika e(t) mendekati nol maka efek
kontrol I semakin kecil.
Kontrol I dapat memperbaiki respon steady-state, namun pemilihan Ki
yang tidak tepat dapat menyeabkan respon transien yang tinggi sehingga dapat
menyebabkan ketidakstabilan sistem. Pemilihan Ki yang sangat tinggi dapat
menyebabkan keluaran akan berosilasi (Pitowarno Endra, 2006)
Gambar 11 Diagram blok kontrol Integral (kontrol I)
Dengan sifat dasar kontrol P yang cenderung konvergen dan I yang dapat
memperbaiki respon steady-state maka kombinasi P-I dapat memberikan hasil
yang lebih baik. Dalam diagram blok dapat dinyatakan seperti pada Gambar 12, Sehingga persamaan keluaran ontrolnya dapat dinyatakan dalam,
= . ( ) + ∫ ………(6)
Ki/s H(s)
r + e
(39)
24
Gambar 12 Diagram blok kontrol proporsional-integral (P-I)
2.9.3 Kontrol PID(Proportional Integral Derivative Control)
Menurut Pitowarno Endra (2006), kontrol PID merupakan kombinasi dari
kontrolproporsional (P), integral (I) dan Derivative (D)sehingga akan diperoleh
kontrol yang dapat menghasilkan respon yang terbaik.
Gambar 13 Diagram blok konrol PID
Sistem umpan balik (feedback) didesain untuk menghasilkan sebuah
kemampuan untuk melakukan koreksi terhadap proses yang dikontrol sehingga
diperoleh sebuah variable proses (output)yang terukur (c) mendekati sebuah nilai
yang diinginkan (r) atau nilaiset-point seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.
Hampir semua keluaran kontrol berumpan balik ditentukan oleh nilaierrorantara
set-point dan nilai variabel proses yang terukur. Error terjadi ketika terjadi
perubahan pada set-point secara sengaja atau ketika terjadi perubahan variabel
proses akibat terjadinya perubahan beban proses secara tiba-tiba.
Error e(t) adalah perbedaan antara set-point SP(t) dan hasil pengkuran PV(t) dan dapat dituliskane(t) = SP(t) – PV(t). Algoritma PID digunakan untuk sistem kontrol loop tertutup dan juga menjadi dasar untuk banyak algoritma kontrol tingkat lanjut. PID di dalam kontroller digunakan untuk mengatur
beberapa variabel proses sehingga mendekati nilaiset-point. Secara teori, keluaran
kontrolC(t)dapat ditulis sebagai berikut:
( ) = ( ) + ∫ ( ) + ( )+ ………(7)
Kp
Ki/s
H(s) r + e
-+ +
u y
Kp
Ki/s
H(s) r + e(t)
-+ +
u c
(40)
25
Bentuk khusus algoritma PID dikenel dengan istilah ‘posisional’ PID kontrol
karena signal kontrol dihitung berdasarkan referensi dari data sebelumnya (Co).
jika variabel proses berubah-ubah secara cepat terhadap waktu seperti yang sering
terjadi pada metering granular fertilizer, persamaan 7 tidak dapat digunakan
karena derivative error (de(t)/dt) akan menjadi variabel yang kacau dan
menyebabkan performa sistem menjadi buruk. Oleh karena itu, dalam aplikasi
biasanya lebih sering menggunakan penurunan variabel proses PV(t) daripada
error e(t),sehingga dapat dituliskan dalam persamaan
( ) = ( ) + ∫ ( ) − ( )+ ………..(8)
Dalam persamaan 8 melibatkan tiga konstanta yang dapat diatur nilainya dan
ditambahkan secara bersamaan untuk menghasilkan keluaran kontrol C(t). dalam
persamaan ini,Kpadalah konstanta proporsional,KI adalah konstanta integral dan
KD adalah konstanta derivative. Jika error yang dihasilkan besar atau error
berubah-ubah secara cepat maka kontroller akan berusaha untuk membuat koreksi dengan menghasilkan sebuah nilai keluaran yang besar. Sebaliknya jika variabel
proses sudah sama dengan set-point untuk beberapa waktu maka kontroller akan
berhenti dengan sendirinya. JikaTSadalah interval sampel, maka persamaan PID
untuk kecepatan kontrol dapat di tulis dalam bentuk persamaan 9 (Tham, 1999 dalam Radite P.A.S, 2001):
(41)
26
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai November 2010 di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan antara lain: 1. Hardware :
o laptop
o DT-51minimum system
o Smart Peripheral Motor Controller(SPCmotor controller)
o EMC 30 AH-Bridge
o Motor DC servo
o Optic rotary encoder
o Kabel USB to RS232
o Timbangan digital
2. Software: o MicroC-51
o DT-51windows downloader
3. Prototipe:
o Metering device o Hopper
4. Alat bantu:
o Wadah
o Rangkaian elektronika pendukung
o Stop watch
3.3 Tahapan Penelitian
Secara umum, prosedur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu pemrograman mikrokontroller, pengujian awal, desain hopperdan pengujian akhir, seperti ditunjukkan pada Gambar 15.
(42)
27
Gambar 14 Bagan alir tahapan penelitian
3.3.1 Studi Pustaka
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan berbagai informasi baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan lingkup penelitian yang akan dilakukan, seperti:
Karakteristik pupuk granular dan cara pengaplikasiannya
Jenis dan mekanisme sistemmetering devicedanhopper
Jenis dan komponen-komponen sistem pengendalian
Studi pustaka Inventarisasi peralatan dan pembuatan rangkaian pendukung
Perancangan dan pemrograman mikrokontrol
Pengujian tanpa beban: 1. Pengujian dengan loop tertutup
2. Tuning:Kp, Ki, Kd
3. Pengujian denganstair-step
response
Identifikasi sistem: K, T, d
Pengujian dengan beban:
1. Pengujian modul padametering device
2. Pengujian dengan pupuk granular tanpa kontrol dan dengan kontrol
Pengujian dengan loop terbuka
Menentukan konstanta PID Kp, Ki, Kd
Disainmetering devicedan
hopper
Pengolahan data
Mulai
(43)
28
3.3.2 Inventarisasi Peralatan dan Pembuatan Rangkaian Pendukung
Peralatan yang akan digunakan terdiri dari peralatan utama dan peralatan
pendukung. Peralatan utama seperti modul SPC motor controller, modul DT-51
minimum system, modul EMS 30A H-Bridge. Sedangkan peralatan pendukung
seperti power supply dan peralatan bengkel. Pembuatan rangkaian pendukung
antara lain rangkaianoptic rotary encoderdan sistem pensaklaran.
3.3.3 Pendekatan Disain Fungsional
Pengembangan perancangan sistem pengendalian pemupukan diawali dengan melakukan pendekatan disain fungsional. Prototipe alat yang akan dibuat diharapkan mampu melakukan pengendalian keluaran pupuk sesuai yang dikehendaki dan harus dapat diaplikasikan untuk pupuk granular seperti urea, SP-36 dan NPK.
Untuk memperoleh sistem yang dapat melakukan kerja seperti di atas, maka diperlukan tiga unit komponen utama, yaitu 1) Unit penjatah pupuk granular, 2) Unit pengendalian dan 3) Unit pemrosesan data
Unit penjatah pupuk granular.Unit penjatah pupuk granular berfungsi untuk menjatah pupuk granular sesuai dengan kebutuhan. Komponen-komponen yang digunakan antara lain:
Motor DC jenis servo berfungsi untuk menggerakkanmetering device
Metering device berfungsi untuk mengatur penjatahan pupuk granular sesuai dengan kebutuhan. Fungsi ini diperoleh dengan mengatur kecepatan putaran motor DC
Hopper berfungsi untuk menampung pupuk granular sebelum masuk ke metering device
Unit pengendalian. Unit pengendalian berfungsi untuk mengendalikan sistem sesuai dengan tujuan pengendalian yang dikehendaki, unit ini terdiri dari:
DT-51 minimum system merupakan development tools yang terdiri dari 2
bagian terintegrasi yaitu perangkat keras dan perangkat lunak yang berfungsi untuk mengontrol arah dan putaran motor DC
Modul SPCmotor controller merupakan sebuah modul pengendali motor DC
(44)
29
dan arah putaran 4 buah motor DC atau 2 buah motor stepper. Modul ini
dilengkapi dengan pengendali PID (Proportional Integral Differential) untuk
kendali motor DC yang bisa diatur (tuning) sendiri oleh pengguna
EMS 30A H-Bridge merupakan driver H-Bridge berbasis VNH3SP30 yang
berfungsi sebagaidrivermotor DC.
RangkaianRotary encoderberfungsi untuk mengukur kecepatan putar (RPM)
motor DC
Unit pemrosesan data. Unit pemrosesan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah laptop yang berfungsi untuk mengirim program ke
modul microkontroller DT-51 minsys, menerima, memproses dan menampilkan
data kecepatan putar motor dari hasil pengujian.
3.3.4 Pendekatan Disain Struktural
Pendekatan disain struktural digunakan untuk menentukan bentuk dan
dimensi dari metering device dan hopper yang akan dibuat. Metering device dan
hopperharus terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah berkarat karena akan diaplikasikan dengan pupuk granular yang memiliki keasaman yang tinggi. Oleh
karena itu, bahan yang digunakan untuk membuat metering device dan hopper
adalah akrilik.
3.3.3.1 Rotor
Rotordirancang dengan menggunakan bahan akrilik setebal 5 mm. Panjangrotor
yang dirancang adalah 20 mm yang diperoleh dari empat susunan akrilik. Rotor
memiliki 6 alur pupuk. Dimensi dan ukuran rancangan rotor ditunjukkan pada
Gambar 15. Ukuran diameter luarrotor5.8 cm dan diameter dalam 3.26 cm.rotor
yang dirancang sebanyak dua buah dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kedua rotor tidak dipasang dalam satu garis tetapi bergeser sekitar setengah dari sudut rotor, sehingga mempunyai fase tunda sekitar 30o. Hal ini bertujuan untuk mengurangi puncak torsi dari motor dan fluktuasi keluaran pupuk ketika kedua rotor dioperasikan bersamaan. Dalam pengujian dapat dilakukan dengan
menggunakan satu rotor dan dua rotor sekaligus dengan cara menutup atau
(45)
N ) D W S (10 = Q
m S
(46)
(47)
32
prioritas, On-chip oscillator, 32 jalur input output yang dapat diprogram, 64K
memori program, 64K memori data.
SPC motor controller memiliki spesifikasi Mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 motor DC atau 2 buah motor
stepper, umpan balik speed encoder (frekuensi maksimum 10 kHz), mampu
mendeteksi perubahan kecepatan dengan ketelitian hingga 0,1 RPS (rotation per
second) atau 6 RPM (rotation per minute), kendali motor DC dapat dilakukan
secaraclose loopPID maupunopen loop, parameter PID, toleransi kesalahan, dan
waktu sampling dapat diatur, tersedia antarmuka UART RS232/TTL, I2C, dan
lebar pulsa, pin Input/Output kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS, kompatibel dengan modul-modul EMS H-Bridge, terdapat 4 set output PWM (Pulse Width Modulation) 8-bit dengan frekuensi 600 Hz, terdapat 4 kanal ADC
8-bit dengan tegangan referensi 5 Volt dan sampling rate maksimum 25 kHz,
terdapat 4 pinGeneral Purpose Input/Output(GP I/O).
Spesifikasi dari EMS 30 A H-Bridge adalah terdiri dari 1 driver full
H-Bridge, mampu melewatkan arus kontinyu 30 A, range tegangan output untuk beban: 5,5 V sampai 36 V (IC VNH2SP30 hanya sampai 16 V), input kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS, jalur catu daya input (VCC) terpisah dari jalur catu daya untuk beban (V Mot), frekuensi PWM sampai dengan 20 KHz,
kompatibel dengan SPC Gamepad Interface serta mendukung sistem
mikrokontroler.
3.3.5 Perancangan dan Pemrograman Mikrokontroller
Perancangan dan pemrograman mikrokontroller meliputi pemilihan
bahasa pemrograman, penulisan, kompilasi dan proses download program ke
modul mikrokontroller. Bahasa pemrograman yang akan digunakan adalah bahasa C. Pemilihan bahasa C didasarkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki,
diantaranya merupakan bahasa yang powerful, fleksibel dan portable sehingga
dapat dijalankan dibeberapa sistem operasi yang berbeda (Joni I. M dan Raharjo. B, 2006). Algoritma program seperti ditunjukkan pada lampiran 5. Kode-kode
bahasa C ditulis dalam sebuah editor dalam program notepad. Program yang
dihasilkan pada tahap ini masih berekstensi .c. dan dinamakan source code.
(48)
33
object codedengan ekstensi.obj. Hasil kerjacompilerakan dilanjutkan ke sebuah linker dan menghasilkan file dengan ekstensi .binatau .hex. Kedua file ini yang
selanjutnya dapat didownloadkan ke modul mikrokontroller.
3.3.6 Kalibrasi Kecepatan Motor dengan PWM
Kalibrasi kecepatan motor dilakukan tanpa beban untuk melihat hubungan antara nilai PWM dengan putaran motor dan hubungan antara tegangan input motor dengan putaran motor. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan perintah PWM. Nilai PWM yang digunakan berkisar antara 0% sampai 100% atau PWM 0 sampai 255 dengan interval 10 satuan PWM. Tegangan catu daya yang digunakan adalah 14.64 volt. Tegangan input motor adalah tegangan yang keluar
dari pin V-mot EMS 30A H-Bridge. Mula-mula motor dijalankan dengan PWM
10, kemudian tegangan V-mot dari EMS 30 H-Bridge diukur dengan
menggunakan voltmeter digital sedangkan putaran motor diukur dengan
menggunakan tachometer. Prosedur ini dilakukan untuk nilai PWM 20 sampai
PWM 255. Hasil kalibrasi kemudian diplotkan kedalam suatu grafik hubungan antara PWM dengan putaran motor dan tegangan input motor dengan putaran motor. Kemudian dilakukan analisis regresi.
3.3.7 Pengujian denganLoopTerbuka
Setelah pembuatan program selesai, kemudian dilakukan pengujian sistem kontrol dengan menggunakan motor DC. Pengujian awal dilakukan tanpa beban untuk menguji kinerja sistem kontrol yang telah dibuat. Pengujian awal dilakukan dengan menggunakan pengendalian sistem loop terbuka, skema sistem pengendalian dengan loop terbuka ditunjukkan pada Gambar 17. Kecepatan
putaran motor DC dikendalikan dengan menggunakan set-point PWM (Pulse
Width Modulation). Nilai PWM yang digunakan adalah 50, 100, 150, 200 dan 250. Hasil pengujian merupakan sebuah sinyal tangga dengan ukuran yang dinyatakan sebagai persentase perubahan K. Selanjutnya diamati respon keluaran yang dikontrol yaitu kecepatan putaran motor, sebagai persentase terhadap jangkauan skala penuh terhadap masukan. Grafik yang menggambarkan relasi antara variabel terhadap waktu diplotkan seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Garis tangen digambarkan untuk mendapatkan gradien maksimum dari grafik
(49)
34
yang diGambarkan. Waktu antara titik mulainya sinyal uji dan titik dimana garis tangen ini memotong sumbu waktu disebut sebagai jeda/ketertinggalan (d). Nilai dari gradien maksimum adalah T, yang dinyatakan sebagai persentase perubahan nilai variabel yang ditentukan per menit. Data pengujian yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan atau mengidentifikasi
parameter-parameter sistem yaitu gain (K), time constant (T) dan dead time (d). ketiga
parameter ini selanjutnya digunakan untuk menentukan konstanta PID awal yang akan digunakan.
Gambar 17 Sistem pengendalian motor DC dengan loop terbuka
Gambar 18 Grafik penentuan nilai K, T dan d
Penentuan nilai konstanta PID awal dilakukan dengan menggunakan
metode Zeighler dan Nichols. Nilai konstanta K, T dan d yang diperoleh dari
pengujian loop terbuka akan digunakan untuk menentukan nilai Kp, Ki dan Kd dengan memasukkan kepersamaan Zeighler dan Nichols pada tabel 6.
Tabel 9 Kriteria Zeighler dan Nichols
Tipe pengontrol Kp Ki Kd
P PI PID
K/dT 0.9K/dT 1.2K/dT
3.3T
2T 0.5T
Sumber: Bolton W, 2004
keluaran
DT-51 SPC motor
kontroller Motor DC
Set-point
EMS 30A H-bridge
Nilai akhir
Nilai awal 63 %
T d
N
il
ai
ter
u
k
u
r
(K
(50)
35 3.3.8 Pengujian denganStair-Step Response
Pengujian dengan stair-step response dilakukan untuk melihat performa
dan respon sistem dalam mengikuti step set-point yang diberikan, baik step naik
maupun turun. Pengujianstair-step responsedilakukan tanpa menggunakan beban
pupuk. Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua perlakuan, yaitu pengujian tanpa kontrol PID dan pengujian dengan kontrol PID.
3.3.8.1 Pengujian tanpa Kontrol PID
Pengujian tanpa kontrol PID dilakukan dengan menggunakan kontrol
loop terbuka (open loop control). Artinya tidak ada umpan balik (feedback)
keluaran terhadap masukan sehingga tidak ada koreksi terhadap kesalahan(error)
yang terjadi. Pengujian dialakukan dengan menggunakan set-point kecepatan
putar motor, yaitu; 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600, 1200, 800, 400 dan
0 rpm. Putaran motor diukur oleh optic speed encoder yang selanjutnya dibaca
oleh SPCmotor controller. Hasil pembacaan putaran motor kemudian dikirim ke
laptop melalui jalur komunikasi serial RS232 kemudian ditampilkan melalui
programhyperterminal,
3.3.8.2 Pengujian dengan Kontrol PID
Pengujian dengan kontrol PID dilakukan sebagai proses penalaan (tuning.) Penalaan digunakan untuk menggambarkan metode-metode yang digunakan serta untuk memilih pengaturan pengontrol terbaik untuk mendapatkan unjuk kerja tertentu (Bolton, W. 2004). Penalaan dilakukan melalui pengujian sistem dengan loop tertutup seperti pada Gambar 20, periode sampling diatur 60 ms dan frekuensi sampling 16.7 Hz. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
11 nilai set-point masing-masing 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600,
1200, 800, 400 rpm, kemudian dilakukan pengujian sistem dengan beberapa kombinasi nilai P, I dan D tiap kombinasi PID dilakukan pengulangan sebanyak
tiga kali. Kecepatan putar motor diukur dengan menggunakanoptic speed encoder
kemudian dibaca oleh SPC motor kontroller hasil pembacaan putaran motor
ditampilkan menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial
(51)
36
konstanta PID yang digunakan untuk pengontrolan sistem adalah yang
menghasilkan keluaran paling mendekati nilaiset-poin.
Gambar 19 Diagram skematik pengontrolan motor DC dengan control PID
3.3.9 Pengujian dengan Pupuk Granular
3.3.9.1 Pengujian dengan Kontrol PID
Pengujian dengan kontrol PID dibagi dalam dua kali pengujian, yaitu
pengujianmetering devicedengan menggunakan satu rotor dan menggunakan dua
rotor. Kedua pengujian ini dilakukan pada masing-masing pupuk granular. Nilai konstanta PID yang digunakan adalah berturut-turut 500; 15,000 dan 20,000,
sedangkan periode sampling diatur sebesar 60 ms. Nilaiset-point yang digunakan
adalah 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm. Masing-masing nilai set-point
dijalankan selama 5, 10, 15, 20 dan 25 menit dan dilakukan pengulangan
sebanyak tiga kali untuk masing-masing nilai set-point dan waktu pengujian.
Pupuk yang keluar dari metering deviceditampung dalam suatu wadah dan berat
pupuk yang keluar ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kecepatan
putar motor untuk masing-masing perlakuan diukur dengan menggunakan optic
speed encoder kemudian ditampilkan menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial RS232.
3.3.8.2 Pengujian tanpa Kontrol PID
Pengujian dengan tanpa kontrol PID mengunakan dua perlakuan, yaitu
pengujianmetering devicedengan menggunakan satu rotor dan menggunakan dua
rotor. Kedua pengujian ini dilakukan pada masing-masing pupuk granular. Pengujian tanpa kontrol dilakukan dengan menggunakan kontrol loop terbuka
Σ
.
Σ
( )motor kontrol PWM
GP(S)
+
-+
(52)
37
(open loop control). Artinya tidak melibatkan rutin-rutin PID dan tidak ada umpan
balik (feedback) keluaran terhadap masukan. Nilai set-point yang digunakan
dalam pengujian tanpa kontrol adalah PWM 50, 100, 150, 200 dan 250. Nilai ini setara dengan 751, 1637, 1947, 2139 dan 2203 rpm. Sedangkan periode sampling
diatur sebesar 60 ms. Masing-masing nilai set-point dijalankan selama 5, 10, 15,
20 dan 25 menit dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk
masing-masing nilai set-point dan waktu pengujian. Pupuk yang keluar dari metering
device ditampung dalam suatu wadah dan berat pupuk yang keluar ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kecepatan putar motor untuk
masing-masing perlakuan diukur dengan menggunakan optic speed encoder kemudian
ditampilkan menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial
RS232 antara mikrokontroller DT-51minsysdengan laptop.
3.4 Persamaan-Persamaan Kontrol 3.4.1 Perhitungan nilai PWM
Kecepatan maksimum putaran motor diatur melalui parameter <maxspeed> melalui antarmuka yang lain. Untuk lebar pulsa antara 2 ms sampai
dengan 12 ms,setpointkecepatan yang diberikan ke kendali motor sebesar:
= − ∗ ………(12)
Untuk lebar pulsa antara 12 ms sampai dengan 22 ms,setpointkecepatan
yang diberikan ke kendali motor sebesar :
= − ∗ ………..(13)
3.4.2 Perhitungan KetelitianOptic Speed Encoder
Ketelitian encoder minimum yang diperlukan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
hole =
∗( )………(14)
hole pada persamaan di atas merupakan ketelitian encoder minimum yang diperlukan.MinSpeedadalah kecepatan minimum (dalam satuan RPS) yang ingin dibaca
(53)
38 3.4.3 Persamaan Kontrol PID
e(t) = SP(t) − PV(t) C( t)
dt = K e( t) + K e( t) dt + K
de( t) dt d( C( t) )
dt = K
d( e( t))
dt + K e( t) + K
d e( t) dt C( t) − C( t − 1)
dt = K
e( t) − e( t − 1)
dt + K e( t) + K
d ( SP( t) − PV( t) ) dt
C(t) − C(t − 1)
dt = K
e(t) − e(t − 1)
dt + K e(t) + K
[− PV(t) + 2PV(t − 1) − PV(t − 2)] dt
C(t) = C(t − 1) + K [e(t) − e(t − 1)] + K Te(t) − K PV(t) − 2PV(t − 1) + PV(t − 2)
dt
C( t) = C( t − 1) + Kp [e( t) − e( t − 1) ] + K_I Te( t) − K_D/ T [PV( t) − 2PV( t −
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
y = 162.9x - 95.48 R² = 0.999
0 500 1000 1500 2000 2500
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
K
e
cep
a
ta
n
(
RP
M)
Tegangan (volt)
y = 0.0002x3- 0.1407x2+ 31.9236x - 264.7055
R² = 0.9878
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
0 50 100 150 200 250 300
K
e
cep
a
ta
n
p
u
ta
r
(
RP
M)
(59)
44
4.3 Pengujian Karakteristik Pupuk Granular
Pengujian karakteristik pupuk granular dilakukan untuk mengetahui sebaran ukuran pupuk urea, SP-36 dan NPK serta untuk mengetahui massa jenis pupuk tersebut. Karakteristik pupuk granuler hasil pengujian ditunjukkan pada
tabel 10. Ketiga jenis pupuk ini memiliki nilaibulk density masing-masing 0.635
g/cm3, 1.009 g/cm3 dan 0.908 g/cm3. Demikian juga distribusi keseragaman
ukuran berbeda-beda dimana urea memiliki distribusi ukuran paling seragam
sebesar 75.7% dengan ukuran 1.4 – 2.36 mm, sedangkan pupuk SP-36 dan NPK
memiliki distribusi ukuran masing-masing 22.27% dan 57.40% dengan ukuran
masing-masing 2.36–4.6 mm dan 1.4–2.36 mm.
Tabel 10 Distribusi ukuran dan massa jenis pupuk urea, SP-36 dan NPK Jenis
pupuk
Distribusi ukuran partikel pupuk (%) Massa jenis
(g/cm3)
>4.76 mm 4.76–2.36 mm 2.36–1.4 mm <1.4mm
Urea SP-36 NPK -9.2 2.81 3.13 55.27 39.7 75.7 35.53 57.40 21.13 -0.635 1.009 0.908
4.4 Identifikasi Sistem
Perancangan sebuah pengontrol untuk suatu aplikasi tertentu meliputi langkah-langkah pemilihan mode kontrol yang akan digunakan serta pengaturan mode control. Ini berarti penentuan apakah control proporsional, proporsional plus derivatif, proporsional plus integral atau proporsional plus integral plus derivatif
yang akan digunakan, dan pemilihan nilai KP, KI, dan KD yang bersesuain.
Langkah ini akan menentukan bagaimana sistem akan bereaksi terhadap sebuah gangguan atau perubahan nilai pengaturan, seberapa cepat sistem menanggapi perubahan yang terjadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untk mencapai keadaan tunak setelah terajadi gangguan atau perubahan nilai pengaturan, serta apakan terdapat error keadaan tunak atau tidak (Bolton, W. 2004)
Metode yang digunakan untuk menentukan konstanta proporsional (P),
Integral (I) dan diferensial (D) adalah metode Ziegler-Nichols. Metode ini
berdasarkan pada pengujian sistem dengan loop terbuka sehingga tidak ada aksi
kontrol. Pengujian sistem dilakukan menggunakan perintah PWM dengan lima kali step yaitu PWM 50, 100, 150, 200 dan 250 dengan periode sampling 60 ms
(60)
) (
1 )
( T t d
K e t
g
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
0 0.5 1 1.5 2
G
a
in
Waktu (s)
PWM 50 PWM 100 PWM 150 PWM 200 PWM 250 Model
T td
K
-e -1
g(t) t>d
0 ) (t
(61)
0 400 800 1200 1600 2000 2400
0 20 40 60 80 100
P
u
ta
r
a
n
m
o
to
r
(
r
p
m
)
Waktu (s)
Pengukuran Diharapkan
(62)
47
Gambar 31 menunjukkan bahwa terdapat kesalahan keadaan tunak(steady
state error)yang cukup besar yang disebabkan oleh konstanta proporsional yang
digunakan terlalu kecil. Menurut Pitowarno Endra (2006) bahwa semakin kecilKp
maka offset atau steady state error semakin besar. Putaran motor 400, 800 dan
1200 rpm masih mampu mencapai nilai set-point yang digunakan. Akan tetapi
pada putaran tinggi yaitu 1600 rpm dan 2000 rpm, putaran motor berosilasi di atas
nilaiset-point. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konstantaZeigler-Nichols
tidak cukup presisi dalam mengontrol putaran motor, sehingga perlu dilakukan penalaan dengan beberapa kombinasi PID.
Penalaan dengan beberapa kombinasi nilai P, I dan D seperti pada tabel lampiran 7. Terdapat 28 kombinasi PID yang digunakan, tiap kombinasi PID dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Gambar 32 menunjukkan grafik hasil penalaan dengan nilai PID berturut-turut sebesar 800; 10,000 dan 30,000. Grafik
tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat steady state error yang cukub besar
yang disebabkan oleh konstantan Kp yang masih kecil. Selain itu, pada set-point
2000 rpm, putaran motor berosilasi di atasset-point.
Grafik hasil penalaan dengan konstanta PID berturut-turut 400; 5,000 dan 15,000 ditunjukkan pada Gambar 33. Grafik tersebut memperlihatkan respon
sistem yang cukup baik dalam mengikuti step set-point. Namun terjadi osilasi
yang cukup besar pada saat mulai. Hal ini disebabkan oleh nilai konstanta Kp
yang besar, seperti yang dikemukakan oleh Pitowarno Endra (2006) bahwa
penggunaan nilai Kp yang terlalu besar akan menyebabkan osilasi pada saat
mulai. Selain itu, osilasi pada saat mulai juga dapat disebabkan oleh pemilihanKi
yang yang terlalu besar juga dapat menyebabkan terjadinya osilasi pada saat mulai.
Gambar 34 memperlihatkan hasil penalaan konstanta PID masing-masing 500; 5,000 dan 30,000. Grafik tersebut menunjukkan bahwa pemilihan konstanta P sebesar 500 mampu memberikan respon yang cukup baik dan mengurangi osilasi yang terjadi. Namun terjadi respon yang kurang baik pada kecepatan
tinggi, yaitu pada set-point 2000 rpm. Dimana pada set-point ini terjadi steady
state erroryang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh pemilihan konstanta I dan P yang belum tepat.
(63)
0 400 800 1200 1600 2000 2400
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96
P u ta r a n m o to r ( r p m ) Waktu (s) Pengukuran Diharapkan 0 400 800 1200 1600 2000 2400
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96
P u ta r a n m o to r ( r p m ) Waktu (s) Pengukuran Diharapkan 0 400 800 1200 1600 2000 2400
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96
P u ta r a n m o to r ( r p m ) Waktu (s) Pengukuran Diharapkan
(1)
void disp_clear(void) { #asm
mov A,#0x01 lcall CommandLCD #endasm
_wait_ms(50); }
void Posisi_Awal(void){ unsigned char i; #asm
mov A,#Cursor_home lcall CommandLCD #endasm;
for (i=0;i<10;i++) _wait_ms(50); }
void GeserCursor_Kanan(void){ unsigned char i;
#asm
mov A,#CurShRight lcall CommandLCD #endasm;
for (i=0;i<5;i++) _wait_ms(50); }
void GeserCursor_Kiri(void){ #asm
mov A,#CurShLeft lcall CommandLCD #endasm;
_wait_ms(5); }
void tulis_data(unsigned int v1, unsigned int v2) { ACC = v1;
#asm
lcall SetDDRAM #endasm;
ACC = v2; #asm
(2)
lcall WriteLCD #endasm; _wait_ms(5); }
void Baris2(void){ #asm
mov A,#40H lcall CommandLCD #endasm;
_wait_ms(5); }
void LCD_senddata(unsigned char var){ #asm
lcall WriteLCD #endasm
_wait_ms(50); }
void LCD_sendstring(unsigned char *var){ while(*var) //till string ends
LCD_senddata(*var++); //send characters one by one }
void disp_off(void) { #asm
mov A,#0x08 lcall CommandLCD #endasm
_wait_ms(50); }
void init232(void){
TMOD=(TMOD&0x0F)|0x20; //Timer 1 Mode 2 (Auto reload)
SCON=0x52; //Serial Mode 1 (8-bit UART), REN=1 (Receiver Enable) // TI=1 (Transmit buffer empty)
PCON=PCON&0x7F; //SMOD=0 (Double baud rate disable) TH1=0xFD; //9600 bps (11,059 MHz)
ET1=0; //Disable Timer 1 interrupt TR1=1; //Timer 1 Run
(3)
}
void init_counter(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD;
TMOD = TMOD & 0xF0 | 0x05; TH0 = 255;
TL0 = 156; TR0 = 1; }
void init_timer(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD;
TMOD = TMOD & 0x0F | 0x10; TH1 = 0xED;
TL1 = 0xFF; TR1 = 1; TF1 = 0; // while (!TF0); // TR1 = 0;
TMOD = Temp; }
void delay5ms(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD; TMOD = 0x21; TH0 = 0xED; TL0 = 0xFF; TR0 = 1; TF0 = 0; while (!TF0); TR0 = 0;
TMOD = Temp; }
void cek_ack(void){
unsigned char tempa,tempb; do{
i2c_sendmulait(); // Mulait Condition
(4)
tempa=i2c_receiveack(); //tempa= i2c_receivebyte(); //i2c_sendack();
i2c_sendstop(); }
while(tempa!=0x00); }
void SetGateTime (unsigned char addr, unsigned char GT) {
i2c_sendmulait();
i2c_setbyte(addr&0xFE);
i2c_setbyte(0x10); //Command GateTime i2c_setbyte(GT); //GateTime
i2c_sendstop(); }
void SetControl (unsigned char addr, unsigned char DCCtrl) {
i2c_sendmulait();
i2c_setbyte(addr&0xFE);
i2c_setbyte(0x40); //Command Control i2c_setbyte(DCCtrl); //DC Control i2c_sendstop();
_wait_ms(1); }
unsigned int GetInput1 (unsigned char addr) {
unsigned int input, input1, input2; i2c_sendmulait();
i2c_setbyte(addr&0xFE);
i2c_setbyte(0x50); //Command Input i2c_setbyte(0x00); //In2put 1
i2c_sendstop(); i2c_sendmulait();
i2c_setbyte(addr|0x01); //address SPC DC MOTOR (I2C Read) input = i2c_getbytew(); //Ambil InputL1 + kirim Ack
(5)
i2c_sendstop();
// input= input2*256+input1; return input;
}
void main(void){ unsigned int il; unsigned int Input1;
// unsigned int temp1,temp2,temp3, nilaih,nilaiL; // unsigned int rps;
// unsigned char pwm=0, nilai=0; // ppi_init = 0x80;
// _wait_ms(100); // initlcd();
init232();
DCControl=0x40; //DCControl= 42H; Motor DC 1: Run, CCW, Input aktif SetControl(ADDR_SPCDC,DCControl);
_wait_ms(10);
GateTime=0x02; //GateTime= 02H; Time= 1000ms, 02h= 31,25ms SetGateTime(ADDR_SPCDC, GateTime);
_wait_ms(5);
ppi_init = 0x83; _wait_ms(10); while((portb<<4)!=0x80); printf("%x\n", portb<<4);
printf("*** mulai pengukuran ***\n"); for(il=0;il<250;il++){
Input1= GetInput1(ADDR_SPCDC); printf("%u \n", Input1*2);
_wait_ms(91); }
printf("*** akhir pengukuran ***\n"); portb=0x00; _wait_ms(1000);
(6)