Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokrawi

(1)

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK :

KASUS HUTAN PENELITIAN BENAKAT, SUMATERA SELATAN

EDWIN MARTIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis ―Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan‖ merupakan karya saya dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Edwin Martin


(3)

ABSTRACT

EDWIN MARTIN. 2008. Application of Soft Systems Methodology for Close-to-Conflict State Forestland Management: The Case of Benakat Research Forest, South Sumatra. Under the supervision of HERRY PURNOMO and NURHENI WIJAYANTO.

There are plenty of Indonesian forest areas lied in condition of not govern and neglected so that initially perceived as conflicting area. It is could be happened due to government vagueness to dealing with other stakeholder preferences on appropriate land-use for those resources. One well-known approach to systems design that focuses on explicating different perspectives is Soft Systems Methodology (SSM), which has been used widely and succesfully in many messy problem situations.

The main objective of research is to develop understanding on divergence of opinion of stakeholder toward achieving desirable and feasible forest area management plan, by application of SSM. Research was situated on one of neglected management-block within Benakat Research Forest at South Sumatra, namely ―Agroforestry Block‖.

The result showed that intervention phase of SSM which driven by reflective facilitation could enhance social learning among contrary actors, so that offered new pathway to the future of Agroforestry Block. But this learning process has not significantly change the attitude of involved participants yet.

Key words: Conflict, facilitation, research forest management, Soft Systems Methodology


(4)

RINGKASAN

EDWIN MARTIN. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan NURHENI WIJAYANTO.

Indonesia saat ini memiliki 50 taman nasional dan 32 hutan penelitian sebagai unit manajemen kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit dari kawasan atau bagian kawasan tersebut berada dalam kondisi ―tidak terkelola‖. Ini terlihat dari berubahnya tata guna lahan menjadi bukan hutan, maraknya pencurian kayu, dan kebakaran hutan berulang. Keadaan ini cenderung dibiarkan dan tidak tertangani jika berada dalam situasi yang dianggap rawan konflik.

Peter Checkland, seorang pengajar di Universitas Lancaster Inggris pada awal dekade 1980an mengemas konsep penelitian aksi dan berpikir sistem (lunak) menjadi Metodologi Sistem Lunak (Soft Systems Methodology-SSM) Metodologi ini dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik.

Informasi keberhasilan aplikasi Metodologi Sistem Lunak (MSL) dalam di berbagai bidang dapat menjadi pijakan untuk mengadaptasikan pendekatan berorientasi perubahan ini bagi pengelolaan kembali kawasan-kawasan hutan ―tidak terkelola‖ di Indonesia. Keterbatasan dana merupakan situasi masalah yang umum dihadapi institusi-institusi pemerintah. Untuk itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan ―Apakah aplikasi MSL melalui fasilitasi reflektif, sebuah cara-cara fasilitasi yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang yang terlibat dalam situasi masalah itu sendiri, dapat menghasilkan langkah pengelolaan bagi kawasan hutan yang dianggap rawan konflik dan mengubah sikap aktor-aktor yang terlibat dalam proses penelitian‖. Penelitian mengambil contoh kasus ―tidak terkelolanya‖ Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat, di Sumatera Selatan.

Proses utama penelitian ini menggunakan modus operandi penelitian aksi yang diarahkan untuk mendukung berlangsungnya fase MSL melalui media fasilitasi reflektif Konteks penelitian ini adalah upaya pengelolaan kembali kawasan hutan yang dianggap rawan konflik, sehingga proses penelitian diawali dengan mengobservasi atau memahami situasi masalah, merefleksi pemahaman situasi masalah melalui pemodelan sistem, menetapkan rencana aksi, hingga tercapainya aksi. Tahapan observasi diawali dengan aktivitas penentuan stakeholder dan pendefinisian isu, guna memasuki situasi sistem sosial kompleks. Peneliti menyebut tahapan awal ini sebagai pra-observasi. Tahap ini berkaitan dengan upaya untuk mendorong para pihak bersedia bertemu dalam satu forum agar dialog tatap muka dapat dimulai. Menetapkan masalah mensyaratkan identifikasi para pihak dan saling menyadari atas isu-isu bersama. Wawancara kelompok (focus group interviews-FGIs) yang dilakukan pada setiap kelompok para pihak merupakan alat utama dalam tahap ini.

Dalam penelitian ini para pihak utama adalah mereka yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan Palembang (pengelola), Desa Benakat Minyak (pemanfaat), dan Desa Semangus (pemanfaat). Wawancara kelompok fokus terhadap para pihak utama dijalankan melalui strategi fasilitasi minimal, dimana peneliti bertindak sebagai fasilitator pertemuan agar masing-masing kelompok dapat merumuskan jawaban kelompoknya atas pertanyaan yang diajukan, namun fasilitator tidak terlibat dalam proses menemukan jawaban tersebut. Selain itu, setiap kelompok diminta untuk memilih individu-individu sebagai wakil


(5)

kelompoknya dalam proses pelaksanaan penelitian lanjutan. Peneliti membantu cara pemilihan wakil kelompok berdasarkan kriteria ―who really counts‖ yang dikembangkan oleh Mitchell et al., yaitu kekuatan (power), kepentingan (urgency), dan keabsahan (legitimacy). Individu yang terpilih disebut sebagai aktor (who own the problems). Mereka adalah subjek utama dalam proses penelitian aksi ini.

Penetapan masalah dilengkapi dengan pengumpulan informasi mengenai sejarah dan situasi terkini pemanfaatan areal Blok Agroforestri, melalui pengumpulan data sekunder, wawancara rumah tangga dan observasi lapangan partisipatif. Kegiatan wawancara rumah tangga dibantu aktor-aktor lokal guna memudahkan penentuan responden dan proses wawancara. Pra-observasi dilaksanakan oleh peneliti dengan cara tinggal di Desa Benakat Minyak dan Semangus selama beberapa waktu.

Hasil dari proses pra-observasi dijadikan pijakan untuk memulai tahapan Metodologi Sistem Lunak melalui forum lokakarya (search conference). Lokakarya dilaksanakan selama 2 hari, tanggal 14 sampai dengan 15 November 2007 bertempat di Wisma Mawar Pertamina Pendopo, Kecamatan Talang Ubi Muara Enim.

Analisis perubahan sikap dinilai dari perubahan kekuatan keyakinan (belief strength) dan evaluasi manfaat (outcome evaluation) yang diukur pada saat awal dan akhir penelitian. Signifikansi perubahan sikap para pihak dianalisis melalui tes McNemar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan dalam Metodologi Sistem Lunak merupakan proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan hasil ekspresi situasi masalah. Jadi, meskipun pada situasi sebenarnya tidak terbangun hubungan yang positif di antara para pihak utama, namun terjadi dalam dunia sistem (model konseptual). Perbandingan antara kejadian di dunia sistem dengan situasi yang berlangsung ternyata mampu mendorong orang untuk menyusun langkah taktis menuju perubahan yang diinginkan masing-masing pihak.

Prinsip-prinsip MSL yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan, menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat yang semula ―tidak terkelola‖. Fase intervensi dalam tahapan MSL ini tidak secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada.

Model konseptual sebagai representasi hubungan beragam aktivitas bertujuan dalam masa depan dapat dijadikan pedoman interaksi para pihak pada saat melaksanakan aksi menuju perubahan situasi masalah. Resolusi konflik dapat berwujud memperbaiki model konseptual yang ada sebagai refleksi sistem aktivitas yang lebih layak dan diterima. MSL dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk mengintervensi kawasan-kawasan hutan yang dianggap rawan konflik di Indonesia. Aplikasi metodologi ini dalam konteks pengelolaan kawasan hutan yang lebih kompleks (isu lebih luas, para pihak lebih banyak) sebaiknya dikombinasikan dengan metodologi lainnya (multi metodologi).

Kata kunci: Konflik, fasilitasi, pengelolaan hutan penelitian, Metodologi Sistem Lunak


(6)

@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

APLIKASI METODOLOGI SISTEM LUNAK UNTUK

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK :

KASUS HUTAN PENELITIAN BENAKAT, SUMATERA SELATAN

EDWIN MARTIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Judul Tesis : Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan

Nama : Edwin Martin

NIM : E051060361

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui: Komisi Pembimbing:

(Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp) (Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS)

Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS) (Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS)


(9)

(10)

PRAKATA

Penulis bersyukur kehadirat Allah Subhanahu Wata‘alah, atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul ―APLIKASI METODOLOGI SISTEM LUNAK UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan‖ ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dalam periode Juli 2007 sampai dengan April 2008, berlokasi di Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Penelitian dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis terhadap terbengkalainya Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat, sebagai areal penelitian agroforestry yang menjadi kebanggaan rimbawan di Sumatera Selatan, khususnya counterpart Proyek ATA-186 dan seluruh karyawan Balai Teknologi Reboisasi pada era tahun 1980-an. Sebagai rimbawan muda, penulis terpanggil untuk berbuat sesuatu, meskipun pada awalnya tidak mengerti apa yang harus dilakukan di tengah makin kompleksnya permasalahan pengelolaan kawasan hutan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. selaku pembimbing utama yang telah mengenalkan kepada penulis Ilmu Sistem dan Pemodelan, khususnya Metodologi Sistem Lunak sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini dan memberikan saran berharga dalam pelaksanaan maupun penulisan tesis. Demikian pula untuk Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku pembimbing pendamping yang secara kebetulan dalam tugas kuliah agroforestry yang beliau asuh, dalam ulasan ―Diagnosis and Design‖ sebuah pendekatan pengenalan dan penguatan teknik agroforestry, mengingatkan kembali penulis untuk kembali ke gelanggang Hutan Penelitian Benakat, karena selama ini yang banyak dikerjakan oleh litbang kehutanan umumnya hanya pada taraf diagnosis saja dan ragu untuk membuat design apalagi delivery, terima kasih atas arahan dan bimbingannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada sdr. Bondan Winarno, Bambang T. Premono, dan Mas Yanto Candra atas pengumpulan data dan informasi awal mengenai situasi terkini Blok Agroforestry, sebagai pijakan awal dilaksanakan intervensi dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada seluruh aktor yang terlibat dalam penelitian ini, yang membantu kelancaran proses penelitian. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan untuk kedua orang tua (alm) Kgs. M. Saleh dan Ibu Maria atas perhatian, doa dan kasih sayangnya. Kepada istri penulis Suswinarni, anak-anak Hasna Amalliya dan Izzan Muhammad Nuha, terima kasih atas pengorbanan dan cinta tulus kalian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008 Edwin Martin


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Maret 1976 dari Bapak (Alm) Kgs. M. Saleh dan Ibu Maria. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dari Program Studi Budidaya Hutan, Universitas Bengkulu. Pada tahun 2006, penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk menempuh studi tingkat magister di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja pada Departemen Kehutanan dan ditugaskan sebagai peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Palembang, sejak tahun 2000. Dalam periode tahun 2000 sampai 2002, penulis merupakan peneliti bidang silvikultur dengan konsentrasi minat pada reklamasi lahan bekas tambang dan ujicoba beragam tanaman rehabilitasi. Ketidakberlanjutan kegiatan dan fungsi plot-plot ujicoba penanaman yang disebabkan oleh faktor-faktor ‖non-teknis‖ seperti vandalisme dan kebakaran lahan, mendorong penulis untuk mendalami dan bertanggungjawab pada bidang penelitian sosial ekonomi kehutanan. Ini dilakukan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Ketertarikan pada aspek ‖Trees and People” sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pengalaman penulis yang pernah berperan sebagai community-organizer (CO) untuk program pemberdayaan masyarakat rawan pangan di Bengkulu, pada tahun 1999.


(12)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Memahami Konflik ... 4

2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial ... 10

2.3. Berpikir sistem (lunak) dalam mengelola kawasan hutan ... 13

III. METODE PENELITIAN ... 22

3.1. Konteks Penelitian ... 22

3.2. Rancangan aplikasi Metodologi Sistem Lunak... 23

3.3. Analisis Perubahan Sikap ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Sejarah Pengelolaan Blok Agroforestry ... 29

4.2. Desa-desa pemanfaat lahan Blok Agroforestry... 33

4.3. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat ... 36

4.4. Intervensi melalui aplikasi Metodologi Sistem Lunak ... 42

4.5. Perubahan Sikap Partisipan Penelitian ... 68

4.6. Pelajaran dari Proses Penelitian ... 70

4.7. Implikasi Kebijakan ... 80

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 91


(13)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tipologi metodologi pemecahan masalah berbasis sistem menurut

Flood dan Jackson (1991)……… 16 2 Tata waktu proses kegiatan lokakarya... 27 3 Tabel segi empat untuk menguji signifikansi perubahan sikap partisipan

sebelum dan setelah mengikuti proses penelitian berbasis Metodologi

Sistem Lunak………. 28

4 Kalender musim pertanian masyarakat Desa Benakat

Minyak………. 40

5 Deskripsi penguasaan kebun karet di Blok Agroforestry Hutan

Penelitian Benakat……… 42

6 Aktor-aktor sebagai wakil para pihak………. 42 7 Hasil analisis elemen yang diinginkan untuk berubah guna mencapai

situasi masa depan Blok Agroforestry yang diidamkan para pihak…….. 47 8 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk

sub sistem ―Hukum dan Aturan‖………. 62 9 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk

sub sistem ―Program penelitian‖………. 63 10 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk

sub sistem ―Pola usahatani‖……… 64 11 Pilihan skenario menuju masa depan pengelolaan Blok Agroforestry

KHDTK Benakat……… 66

12 Rangkuman hasil analisis tabel segi empat untuk pengujian signifikansi perubahan sikap aktor-aktor terhadap tata guna lahan Bok Agroforestry sebelum-setelah mengikuti proses penelitian. ……….. 69


(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Lima Gaya Manajemen Konflik………. 7 2 Hutan Penelitian Benakat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan 22 3 Tahapan penelitian dalam kerangkakerja Metodologi Sistem Lunak

(Langkah 1a sampai 7)……… 24 4 Rancangan ujicoba pengembangan agroforestry di Benakat tahun

1982-1992……….. 30

5 Kondisi jalan dan pemukiman masyarakat Benakat Minyak……….. 34 6 Pasar tradisional (kalangan) setiap Hari Kamis di Desa Benakat Minyak 34 7 Pola umum pengusahaan lahan oleh masyarakat di Blok Agroforestry

Hutan Penelitian Benakat sejak tahun 1994 hingga sekarang……… 37 8 Pemanfaatan areal kawasan hutan untuk pertanian tanaman semusim.. 38 9 Hamparan kebun karet masyarakat di Blok Agroforestry……… 38 10 Gambar situasi permasalahan eksistensi Blok Agroforestry Hutan

Penelitian Benakat dari sudut pandang pihak-pihak utama……… 44 11 Ilustrasi perubahan yang diinginkan oleh para pihak terhadap masa

depan Blok Agroforestry KHDTK Benakat………. 46 12 Ice breaker untuk mendinginkan suasana tegang antaraktor dalam

lokakarya……… 49

13 Aktor dari masyarakat menjelaskan model konseptual Hukum dan Aturan yang disusun komisinya……… 49 14 Model konseptual untuk perubahan ―hukum dan aturan‖ dalam

pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat……… 50 15 Model konseptual untuk perubahan ―Program Penelitian‖ dalam

pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat………... 51 16 Model konseptual untuk perubahan ―Pola Usahatani‖ masyarakat di

Blok Agroforestry KHDTK Benakat……… 53 17 Model konseptual sistem pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK

Benakat……… 54

18 Perubahan penghasilan pemanfaat Blok Agroforestry yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor…………. 56 19 Perubahan kualitas ketenangan dan kenyamanan berusahatani

pemanfaat Blok Agroforestry yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor……….. 57


(15)

vii ……Lanjutan Daftar Gambar

Halaman 20 Perubahan kualitas hubungan masyarakat dengan pihak kehutanan

yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat

aktor-aktor……….. 58

21 Kecenderungan perubahan jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestry yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat

aktor-aktor……… 59

22 Realisasi rencana penelitian di Blok Agroforestry yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor…………. 60 23 Strategi intervensi yang dikembangkan untuk memecahkan kebuntuan

tindakan manajemen atas Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat... 71 24 Metodologi Sistem Lunak dikuatkan oleh Metodologi Sistem Keras……. 78


(16)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Manifestasi konflik antara masyarakat Desa Semangus dan Benakat

Minyak dengan PT. Musi Hutan Persada………... 92 2 Rumusan ―Harapan dan Masalah‖ para pihak utama Blok Agroforestry.. 93 3 Kamus istilah (glossary)……… 96


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia saat ini memiliki 50 taman nasional dan 32 hutan penelitian sebagai unit manajemen kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tidak semua kawasan hutan ini berkinerja baik. Luasnya tata guna lahan yang tidak berhutan, semakin rusaknya areal yang berhutan, pencurian kayu, kebakaran hutan, dan konflik terbuka dengan masyarakat merupakan fenomena yang mudah ditemui di kawasan-kawasan hutan tersebut (Kadir 2005; Suharti 2005; Wiati 2005; Golar 2007).

Kawasan hutan yang secara legal formal dikelola lembaga-lembaga pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum tetapi ―tidak terkelola‖ seolah-olah menunjukkan bahwa pihak pengelola tidak melakukan tindakan manajemen apapun terhadap kawasan yang dimandatkan kepadanya. Rimbawanto (2004) dalam evaluasinya terhadap kinerja Hutan Penelitian Benakat menyebut bahwa persoalan yang dihadapi pengelola sebenarnya bukan semata-mata karena kurangnya dana, tetapi lebih karena kelemahan dalam merancang program yang relevan dengan kondisi dan situasi yang ada. Pengelola tidak mampu merancang program yang tepat karena menghadapi persoalan di lapangan yang sukar diidentifikasi dan tidak terstruktur.

Masalah yang sulit untuk diidentifikasi dan tidak terstruktur yang dihadapi pengelola kawasan hutan muncul karena terdapat para pengguna kawasan lainnya yang memiliki kepentingan berbeda dan dianggap dapat menghambat pencapaian tujuan pihak pengelola. Robbins (2006) menyebut situasi seperti itu sebagai konflik. Dalam pandangan tradisional, semakin banyak pihak yang berpotensi dalam konflik dengan ragam latar belakang kepentingannya akan menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Karenanya, para pengelola cenderung mengambil sikap menghindari (avoiding) konflik dengan tidak mengambil tindakan manajemen apapun.

Peter Checkland, seorang pengajar di Universitas Lancaster Inggris pada awal dekade 1980an mengemas konsep penelitian aksi dan berpikir sistem (lunak) menjadi Metodologi Sistem Lunak (Soft Systems Methodology-SSM) (Baskerville 1999; Mingers 2000; Chapman 2004). Metodologi ini dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik.


(18)

Metodologi Sistem Lunak (MSL) merupakan kerangkakerja (framework) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Sinn 1998). Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005). Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti (Chapman 2004). MSL berparadigma interpretive (Sinn 1998; Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan pengguna.

Beragam publikasi ilmiah telah menyajikan keberhasilan MSL dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Holwell (2000) mencatat lebih dari 250 referensi internasional bidang manajemen dalam bentuk makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran MSL. Sayangnya, pendekatan ini masih jarang digunakan di Indonesia (Eriyatno, 2003). Penelitian ini difokuskan kepada penggunaan Metodologi Sistem Lunak (MSL) sebagai upaya pengelolaan kembali kawasan hutan ―tidak terkelola‖ yang disebabkan oleh anggapan adanya kerawanan konflik. Penelitian mengambil contoh kasus pengelolaan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat di Sumatera Selatan.

Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat yang terletak di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan adalah salah satu contoh kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah (dalam hal ini Balai Penelitian Kehutanan-―BPK‖- Palembang) tetapi ―tidak terkelola‖. Areal seluas 400 Ha tersebut pada mulanya diperuntukkan sebagai tapak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan aspek Agroforestri. Kini, sebagian besar arealnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar menjadi perkebunan karet dan pemukiman. Tekanan dan preferensi tata guna lahan masyarakat tersebut dianggap sebagai masalah sosial yang rumit untuk ditangani karena dikhawatirkan akan memicu konflik terbuka. Ini menjadi alasan pembenar ketiadaan tindakan pengelolaan atas Blok Agroforestri.


(19)

1.2. Perumusan Masalah

Proses-proses multipihak, seperti penerapan MSL ini, secara ideal difasilitasi oleh pihak-pihak yang dianggap netral (tidak memiliki kepentingan dalam sistem). Namun pelibatan fasilitator netral memiliki konsekuensi proses penanganan masalah yang relatif lama dan dukungan ketersediaan dana. Padahal, keterbatasan dana merupakan situasi masalah yang umum dihadapi institusi-institusi pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengaplikasikan MSL melalui fasilitasi reflektif, sebuah cara-cara fasilitasi yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang yang terlibat dalam situasi masalah (sistem) itu sendiri. Penelitian mengambil contoh kasus ―tidak terkelolanya‖ Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat, di Sumatera Selatan. Penelitian hendak menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Dapatkah proses penelitian dengan pendekatan MSL melalui fasilitasi reflektif membantu mengharmoniskan para pihak yang berbeda kepentingan?, (2) Dapatkah proses penelitian dengan pendekatan MSL melalui fasilitasi reflektif menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestri?, (3) Apakah proses penelitian dengan pendekatan MSL mampu mengubah sikap para pihak terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Mengetahui apakah proses penelitian berbasis MSL melalui fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik menjadi media pembelajaran bersama sehingga menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat.

b. Mengetahui apakah proses penelitian berbasis MSL dapat mengubah sikap para pihak terhadap tata guna lahan di Blok Agroforestri.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan alternatif metode penanganan masalah ketidakharmonisan

hubungan antara masyarakat lokal dengan pemerintah sebagai pengelola kawasan hutan.

b. Memberikan gambaran penerapan kerangkakerja Metodologi Sistem Lunak dalam konteks manajemen kawasan hutan rawan konflik.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Memahami Konflik

2.1.1. Definisi, Penyebab dan Jenisnya

Konflik seringkali diidentikkan dengan pertentangan antara dua pihak atau lebih dan berkonotasi negatif. Dalam pengantar buku ―Bagaimana Memahami Konflik‖, Hendricks (2004) menyebut konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan, umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Ini berarti konflik akrab dengan kehidupan manusia. Fisher et al. (2000) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Robbins (2006) memberi definisi lebih luwes, yaitu sebagai proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan segera memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Dari dua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik bukan sekedar perseteruan, meski situasi ini menjadi bagian dari konflik (Pickering 2001). Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait; ada atau tidak adanya konflik merupakan masalah persepsi (Robbins 2006). Kesamaan lain dari definisi konflik tersebut adalah adanya ketidakcocokan antarpihak terhadap sesuatu.

Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi (Fisher et al. 2000). Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik disebabkan perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya.

Lebih dalam, Fisher et al. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik yaitu:

1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.


(21)

3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.

4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.

5. Teori kesepahaman antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.

Jika demikian, maka sumber utama konflik adalah perbedaan, sebagaimana dikemukakan oleh Tadjudin (2000). Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meskipun secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada berbagai tataran (Tadjudin 2000), misalnya: perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, akuan hak ―kepemilikan‖.

Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: (1) Konflik tertutup (latent), dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub konflik seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun; (2) konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya belum berkembang; (3) konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu. Sedangkan menurut taraf permasalahannya, terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang


(22)

berbedai, sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.

Fisher (2000) menyebutkan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui hubungan berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik, yaitu:

1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.

2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak.

2.1.2. Mengelola Konflik

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari; bahwa konflik menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pandangan tersebut disebut Robbins (2006) sebagai pandangan tradisional. Masih menurut Robbins, terdapat pandangan yang mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Pandangan ini disebut sebagai pandangan hubungan manusia. Perspektif ketiga, dan paling baru, mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok tetapi juga mutlak diperlukan agar kelompok dapat berkinerja secara efektif. Aliran ketiga ini dinamakan pandangan interaksionis.

Berbeda dengan pandangan tradisional, pandangan interaksionis menganggap tidak semua konflik itu buruk (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan sistem yang ada (Pickering 2001), serta dapat menghasilkan


(23)

kesepakatan-kesepakatan inovatif (Daniels dan Walkers 1997). Di Uganda, konflik merupakan insentif bagi adopsi beragam teknologi pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dan mendorong terjadinya perubahan sosial (Sanginga et al. 2006).

Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik (Robbins 2006). Mereka menyatakan bahwa beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerjanya; inilah ragam konflik fungsional yaitu bentuk konflik yang konstruktif. Di samping itu, ada konflik yang merintangi kinerja kelompok; ini adalah ragam konflik yang disfungsional atau destruktif.

Konflik yang fungsional dapat tercipta apabila para pihak yang bertentangan dapat menghargai perbedaan pendapat (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan juga bagi sistem yang ada (Pickering 2001), misalnya mampu meningkatkan motivasi, identifikasi masalah meningkat, ikatan kelompok menguat, penyesuaian diri pada kenyataan, pengetahuan meningkat, kreativitas meningkat, membantu upaya mencapai tujuan, mendorong pertumbuhan. Semua manfaat ini tidak akan terwujud, jika konflik dibiarkan saja atau dicoba diatasi dengan cara-cara yang tidak tepat; karena konflik akan menjadi disfungsional.

Penyelesaian konflik terbaik adalah pada saat konflik itu hanya melibatkan segmen kelompok yang paling kecil (Hendricks 2004). Terdapat lima pendekatan pada manajemen konflik yang telah umum diterima (Gambar 1) (Pickering 2001; Hendricks 2004). Tidak ada satupun pendekatan yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.

Tinggi

Kerelaan Kolaborasi membantu

Peduli orang lain

Menghindari Mendominasi

Mementingkan diri sendiri Tinggi

Gambar 1 Lima Gaya Manajemen Konflik (Pickering 2001; Hendricks 2004) Kompromi


(24)

Kolaborasi (Kerjasama) adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk persoalan yang kompleks (Pickering 2001; Hendricks 2004).

Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar.

Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan orang lain. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi sangat membantu jika kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Strategi ini paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa.

Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding) tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan.

Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising) adalah orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi salah. Kompromi adalah efektif sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah.

2.1.3. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia

Kurang lebih 30% belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan merupakan sumber pangan, pemenuhan energi dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga. Kompetisi dalam menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hutan menjadi wilayah konflik, misalnya karena dalam wilayah sengketa, didiami


(25)

oleh beragam kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompok-kelompok yang berbeda secara simultan (OECD 2005).

Secara khusus, Wulan et al. (2004) melakukan analisis konflik sektor kehutanan di Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam periode tersebut tercatat 359 peristiwa konflik, 39% diantaranya terjadi di areal Hutan Tanaman Industri, 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34% di kawasan konservasi. Faktor penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan.

Menurut Sardjono (2004) penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan dapat dikelompokkan secara umum menjadi penyebab yang sifatnya obyektif dan penyebab yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antarkelompok pengguna hutan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula. Pihak pengelola kawasan hutan mendasarkan setiap tindakan yang dilakukan didasarkan pada aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan pihak masyarakat lokal lebih melihat pada aspek kesejarahan dan keadilan.

Davis et al. (2001) menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti memanfaatkan hutan untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak (negara). Karenanya, jika tujuan pokok tersebut tidak tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan tidak terkelola. Kinerja buruk kawasan hutan yang tidak terkelola menurut Kartodihardjo (2003) hanyalah merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah dan birokrasinya belum tertata

Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan tertentu. Namun demikian, menurut Baron et al. (2004) konflik juga bisa menciptakan perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup tidak bisa dilihat dari konflik saja namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) apabila transformasi sosial masyarakat mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka masyarakat itu akan mampu mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke arah yang lebih baik. Pertanyaan


(26)

atas pernyataan tersebut adalah ―Bagaimana menciptakan transformasi sosial yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?‖.

2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial

2.2.1. Mengapa harus partisipasi

Menurut Putra (1999) diacu dalam Sardjono (2004), politik sentralisasi merupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah menutup peluang bagi para pihak kehutanan yang lain, terutama masyarakat lokal di lapisan bawah untuk turut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek yang erat dengan kehidupan dan masa depan mereka. Konflik kehutanan yang banyak mencuat setelah era reformasi (Wulan et al. 2004) merupakan salah satu ―buah‖ politik rezim orde baru yang sentralistik (Sardjono 2004). Menyadari akan hal ini, terminologi partisipasi banyak dimunculkan berbagai pihak dan menjadi ikon wajib program-program pembangunan.

Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu ( pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Arstein (1996) sebagaimana diacu dalam Mitchell et al. (2003) membagi partisipasi berdasarkan tingkatan pembagian kekuasan, yaitu (1) tidak ada partisipasi; (2) tokenism; dan (3) tingkatan kekuasan masyarakat. Syahyuti (2006) merujuk pendapat beberapa ahli yang menyebut ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yaitu (1) partisipasi pasif; (2) partisipasi informatif; (3) partisipasi konsultatif; (4) partisipasi insentif; (5) partisipasi fungsional; (6) partisipasi interaktif; dan (7) Mandiri.

Beragam penggolongan partisipasi yang dilakukan oleh beberapa ahli tersebut pada prinsipnya tidak berbeda, yakni dari tingkatan partisipasi paling rendah ke tahapan ideal. Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat


(27)

pemberdayaan. Dengan demikian, sebuah lokakarya yang diselenggarakan dengan cara membagi wewenang dalam pengambilan keputusan merupakan upaya membangun partisipasi menuju pemberdayaan (Sayogyo 2002).

Upaya membangun partisipasi dalam pembangunan sangat berhubungan erat dengan modal sosial, karena bentuk pendekatan partisipasi juga berarti membangun modal sosial. Menurut Putnam (1993) dalam Rustiadi (2007), adanya modal sosial dalam kehidupan sosial akan terwujud berupa terbentuknya keputusan dan tindakan bersama para pihak yang lebih efektif di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah lokal (pemegang otoritas legal) harus berbagi peran dengan masyarakatnya, dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator (Rustiadi et al. 2007).

Menurut Fisher et al. (2000) salah satu alasan mengapa suatu kelompok atau organisasi yang dikelola dengan baik berhasil dalam jangka panjang adalah karena semua orang yang terlibat merasa menjadi bagian dan sesuatu yang dikerjakan: didalamnya ada rasa saling memiliki. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap teman sejawat dan percaya untuk bekerja bersama demi masa depan bersama. Inilah wujud konsep modal sosial. Dengan demikian, maka partisipasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang dicita-citakan menuju transformasi sosial atau perubahan sosial sebuah institusi yang semula memiliki kohesi sosial lemah menuju kohesi sosial lebih kuat.

Apabila bentuk aktifitas proses yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut berupa identifikasi sebuah masalah, pengumpulan dan analisis informasi, dan bertindak sesuai masalah guna menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik, maka Selener (1997) menyebutnya sebagai penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari penyelesaiannya. Disebut proses pendidikan karena peneliti dan partisipan bersama-sama menganalisis dan mempelajari apa yang menjadi penyebab dan solusi apa yang mungkin untuk suatu masalah. Dikatakan aksi karena temuan-temuan diimplementasikan dalam bentuk solusi praktis.


(28)

Pada tataran praksis, berkaitan dengan masyarakat lokal sekitar hutan yang memiliki persepsi kehidupan sederhana dan selama ini terbiasa dikendalikan dengan segala program dari luar dan dari atas, mengharapkannya terlibat aktif menuju pada penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang lestari atas dasar sukarela atau inisiatif sendiri tentu saja sangat berlebihan (Sardjono 2004). Dengan kata lain, diperlukan fasilitasi pihak luar yang dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan kemudian secara perlahan dapat meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Intenvensi pihak luar tersebut dapat dikatakan partisipatif apabila melibatkan para pihak yang relevan dalam proses perubahan (Pretty et al. 1995 dalam Groot dan Maarleveld 2000).

2.2.2. Fasilitasi dan Negosiasi

Fasilitasi secara sederhana diartikan sebagai proses sadar yang dilakukan untuk membantu pihak lain atau kelompok guna mencapai transformasi sosial dan politik. Orang yang melakukan fasilitasi disebut fasilitator. Menurut Rölling yang disampaikan oleh Groot dan Maarleveld (2000) fasilitasi secara ideal seharusnya dapat mengubah arena perjuangan individu-individu menjadi sebuah forum pembelajaran sosial aktif menuju aksi yang efektif.

Pembelajaran terjadi saat umpan balik informasi mempengaruhi keputusan berikutnya (Purnomo 2005). Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus. Jika pengambil keputusan secara sadar mempelajari akibat dari keputusan-keputusan sebelumnya, dan mencoba memperbaiki keputusan yang akan diambil maka proses pembelajaran terjadi.

Lup-lup pembelajaran (learning loops) adalah konsep yang sangat berguna untuk memahami pembelajaran (Argyris dan Schön 1996 diacu dalam Groot dan Maarleveld 2000). Pembelajaran lup tunggal terjadi ketika fasilitasi membawa perubahan kebiasaan orang-orang tanpa secara nyata merubah visinya, norma atau nilai-nilai. Perubahan perilaku hanya pada taraf kurang lebih sama, tetapi lebih baik. Pembelajaran lup ganda merubah tidak hanya kebiasaan tetapi juga pandangan dan prinsip-prinsip dasar. Pembelajaran lup tiga adalah pembelajaran bagaimana belajar, termasuk di dalamnya mempertanyakan bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang tetap atau berubah dalam pembelajaran lup tunggal dan ganda.


(29)

Fasilitasi, jika dihubungkan dengan pengelolaan konflik, sangat berperan dalam negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan (Engel dan Korf 2005). Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran, penyesuaian-penyesuaian dan pembangunan hubungan-hubungan (Malik et al. 2003). Tidak sempurnanya kesepakatan dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta adanya kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu negosiasi harus dapat memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaian-penyesuaian dan kesepakatan-kesepakatan tentang topik-topik lain.

2.3. Berpikir Sistem (lunak) dalam Mengelola Kawasan Hutan

Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit dikompromikan antarpihak-pihak pengguna kawasan hutan, karena dianggap mengganggu atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi proses-proses yang kompleks dan dinamis adalah dengan berpikir sistem lunak (soft system thinking) (Groot dan Maarleveld 2000).

2.3.1. Pemikiran Sistem

Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus berpikir sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem, maka pengelolaan sumberdaya alam haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem. Secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003).

Checkland and Scholes (1990 dalam Lucket et al. 2001) mengartikan berpikir sistem lebih sederhana lagi. Menurut mereka berpikir sistem adalah suatu cara memandang dan memahami dunia. Sistem didefinisikan sebagai suatu kumpulan ―benda‖ dan beragam aktivitas yang saling berhubungan kemudian membentuk keseluruhan yang adaptif, untuk mencapai satu tujuan. Ini


(30)

berarti sistem tidak mengacu kepada sekumpulan benda dan aktivitas saja namun ada saling keterkaitan antara elemen-elemen itu.

Satu cara untuk memahami berpikir sistem adalah dengan membandingkannya dengan pendekatan reduksionis dalam menangani kompleksitas (Chapman 2004). Aspek penting pendekatan reduksionis adalah bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa sehingga cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau komponen-komponen. Cara ini memiliki potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada hubungan antarkomponen. Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi antarkomponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas.

Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan. Ketika orang berbicara tentang organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individu-individu atau kelompok. Organisasi berada pada taraf abstraksi yang lebih tinggi dari individu-individu di dalamnya. Namun, interkoneksi antarkomponen tetap dipertahankan meski taraf abstraksinya meningkat. Abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan didefinisikan sebagai model (Purnomo 2005).

Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit (Chapman 2004). Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan atas sebuah masalah dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana memperbaiki masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit maka ia adalah aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah bagian dari masalah tersebut.


(31)

Metode reduksionis (analisis) sangat tepat dalam menangani masalah yang sulit, tetapi kurang ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit. Berpikir sistem dengan pendekatan sistem lunak menyediakan kerangkakerja yang terbukti berhasil menangani masalah rumit (Chapman 2004). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan sistem berkontradiksi dengan pendekatan analitik. Pemikiran sistem tidak menyisikan pemikiran analitis, justru ia suplemen bagi pemikiran analitis (Winardi 2005). Winardi (2005) mengutip karya Blaise Pascal yang menyebutkan bahwa adalah aneh untuk mengira bahwa kita akan memahami keseluruhan tanpa secara khusus mengenal bagian-bagiannya.

Aplikasi berpikir sistem dalam manajemen organisasi telah menghasilkan beberapa metodologi, seperti perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, dan manajemen sibernetik. Kumpulan metodologi ini dikenal sebagai pemikiran sistem keras.

Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) membedakan antara sistem keras (hard system) dengan sistem lunak (soft system) sebagai upaya menggunakan konsep sistem dalam memecahkan masalah. Berpikir sistem keras diidentifikasi dalam perekayasaan sistem dan analisis sistem. Ini dimulai dari masalah-masalah yang terstruktur dan tujuan sistem tersebut dapat dibatasi dan konsisten. Berpikir sistem lunak dimulai dari masalah-masalah tidak terstruktur di dalam sistem-sistem aktifitas sosial yang dirasakan sebagai situasi masalah yang tidak jelas. Checkland menyebut berpikir sistem keras sebagai ‗paradigma optimisasi‘ dan berpikir sistem lunak sebagai ‗paradigma pembelajaran‘.

Pemikiran sistem yang dibedahkan menjadi sistem keras dan sistem lunak dianalogikan oleh Flood (2001) sebagai pemikiran sistem (systems thinking) dan pemikiran sistemik (systemic thinking). Pemikiran sistem mengacu kepada cara berpikir tentang sistem sosial riil karena memang sistem tersebut ada. Sementara pemikiran sistemik muncul dari anggapan bahwa konstruksi sosial itu bersifat sistemik. Pemikiran sistem didasarkan pada prinsip objektif, sementara pemikiran sistemik mengandalkan posisi subjektifitas.

Pemikiran sistem lunak adalah bentuk pemikiran sistemik yang memahami realitas sebagai konstruksi kreatif umat manusia (Jackson 1991 diacu dalam Flood 2001). Pemikiran ini melihat realitas sosial sebagai konstruksi dari penafsiran orang-orang terhadap pengalamannya. Ini berarti, cara ini berhubungan erat dengan teori interpretatif (interpretative theory). Oleh karena


(32)

itu pemikiran sistem lunak dihasilkan dan dijalankan dengan melibatkan sudut pandang dan maksud orang-orang.

Menurut Sinn (1998) keragaman metodologi dalam ilmu sistem sebetulnya tidak saling berkompetisi, namun menempati relung kontekstual yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, sistem metodologi-metodologi sistem adalah berupa matriks 2 x 3 yang menggambarkan konteks masalah yang dibentuk oleh dimensi kompleksitas teknis dan keragaman sudut pandang partisipan. Metode-metode pemecahan masalah dikategorikan ke dalam enam sel. Misalnya, Metodologi Sistem Lunak adalah paling cocok untuk menangani masalah pada sistem kompleks dimana situasi masalah melibatkan banyak pihak. Sementara, apabila situasi masalah dianggap kompleks namun tidak melibatkan interaksi manusia maka Teori Sistem Umum layak digunakan.

Tabel 1 Tipologi metodologi pemecahan masalah berbasis sistem menurut Flood dan Jackson (1991)

Kompleksitas sistem

Keragaman perspektif diantara partisipan potensial

Seragam Jamak Saling memaksakan

Sederhana Riset operasi Analisis sistem Perekayasaan sistem Dinamika sistem

Desain sistem sosial Pengujian dan Penyingkapan Asumsi strategis

Sistem kritis Heuristik

Kompleks Model sistem aktif Teori sistem umum Sistem sosioteknis Teori kontingensi

Perencanaan interaktif

Metodologi sistem lunak

?

Sumber : dalam Sinn (1998)

Interaksi manusia dengan manusia jika memiliki sasaran yang sama akan membentuk sistem aktivitas manusia (Human Activity System). Aktivitas manusia yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang terbatas seringkali menciptakan situasi masalah yang kompleks. Pada saat keragaman perspektif manusia dan kompleksitas situasi masalah menempati ruang yang sama maka Metodologi Sistem Lunak merupakan pilihan pendekatan analisis berbasis sistem yang kini diakui dan digunakan secara luas.

2.3.2. Metodologi Sistem Lunak (MSL)

Metodologi Sistem Lunak dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya dari Universitas Lancaster. Pendekatan MSL


(33)

muncul sebagai hasil ―pergerakan sistem‖ yang dipandang oleh Checkland sebagai usaha untuk memberi pendekatan yang holistik terhadap masalah, dimana secara tradisional pendekatan reduksionis gagal untuk menyelesaikannya.

MSL dikembangkan dari program riset aksi yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi masalah dunia nyata yang tidak terstruktur. Riset aksi atau penelitian partisipatif adalah proses dimana anggota kelompok atau masyarakat melakukan identifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi, dan melakukan tindakan atas masalah tersebut dengan maksud untuk menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik (Selener 1997). Proses seperti tersebut akan mampu mengatasi kendala bounded rationality yang dihadapi para pengelola ketika berhadapan masalah yang tidak terstruktur. Sebuah masalah yang tidak terstruktur atau situasi masalah kompleks adalah situasi dimana orang-orang merasa dapat memperbaikinya, tetapi mereka tidak tahu apa masalah sebenarnya (Checkland, 2000 dalam Holst dan Nidhall 2001).

Masalah yang tidak terstruktur dan sukar untuk didefinisikan dianalisis melalui metode kualitatif, yaitu dengan memodelkan perspektif para pihak, tanpa mereka harus mencapai konsensus terhadap perbedaan pandangan tersebut. Semua asumsi yang mendasari pandangan orang-orang harus disampaikan secara eksplisit agar analisis ini berguna. Asumsi-asumsi tersebut merupakan ―cara pandang‖ (Dalam bahasa Jerman: Weltanschauung) yang seringkali diabaikan. Pendekatan holistik yang disokong oleh MSL berusaha untuk mendorong pencarian skenario masa depan melalui penyesuaian antara ―sistem baru‖ dengan kebutuhan aktual. Checkland (1999) menegaskan tentang analisis sistem dalam MSL sebagai berikut:

So this takes the view that conflict deriving from different world views is endemic in human affair but these systems ideas based on the concept of a purposeful activity system as a device for structuring debate, can lead you into learning process for finding the accomodations which enable action to be taken to improve things. And that is the fundamental nature of the learning cycle which is SSM

Inti Metodologi Sistem Lunak adalah membangun model dari sistem-sistem yang berkaitan dengan situasi masalah. Model-model ini digunakan sebagai


(34)

media diskusi guna membawa perubahan situasi aktual. Proses diskusi membolehkan partisipan untuk berdebat dan saling bertanya sedemikian rupa sehingga keragaman perspektif dapat terungkapkan. Metodologi Sistem Lunak dilaksanakan secara klasik melalui 7 (tujuh) tahap, sebagai suatu proses (Checkland 1981 dalam berbagai referensi yang relevan).

Tahap 1 Memahami situasi masalah dalam kerangka pikir faktual dan aktual Ini adalah langkah untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan (sejarah, budaya, struktur sosial, jenis dan jumlah para pihak, pandangan dan asumsi para pihak). Tujuan tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah, tetapi untuk memperoleh sejumlah pemikiran yang sedang berkembang, sehingga rentang pilihan-pilihan keputusan yang mungkin menjadi terbuka.

Tahap 2 Mengekspresikan situasi masalah

Hasil tahap sebelumnya digunakan untuk membangun gambar situasi (rich picture) masalah yang sedang diperiksa. Gambar ini harus dapat melukiskan proses aktivitas dari setiap institusi yang terlibat dalam situasi masalah. Relasi antara aktivitas dan institusi seyogyanya mengilustrasikan masalah, peran-peran, dan elemen lingkungan yang mudah dipahami. Ini adalah basis bagi diskusi lebih lanjut.

Tahap 3 Mendefinisikan akar sistem yang berkaitan dalam situasi masalah Sistem aktivitas manusia diekspresikan dalam definisi akar, dalam bentuk kalimat kalimat terstruktur yang menyatakan tujuan mendasar setiap sistem yang muncul dari perbedaan persepsi partisipan. Pada tahap ini kita meninggalkan situasi masalah sebenarnya. Ini merupakan proses yang paling sulit. Definisi akar dari sistem sebaiknya dikonstruksi menggunakan mnemonic CATWOE.

C = costumer : Siapa yang mendapat manfaat dari aktivitas bertujuan? A = actor : Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?

T = tranformation : Apa yang harus berubah agar input menjadi output W = World-view : Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti O = owner : Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas E = environment : Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem


(35)

Inti dari definisi akar sistem ini adalah proses transformasi, yang mengubah input menjadi output. Input-output sebaiknya menggunakan kata benda, bukan kata kerja. Sehingga perubahan akan diisi oleh aktivitas-aktivitas untuk mengubah keadaan ―kebendaan‖ tersebut. Definisi akar ini semestinya merefleksikan keragaman cara pandang partisipan. Ide-ide aktivitas untuk memperbaiki keadaan bersifat akomodatif. Jadi, meskipun satu pihak tidak sepakat dengan sistem yang diinginkan pihak lain tapi dia dimungkinkan untuk menuangkan ide aktivitas sistem itu berdasarkan perspektif dirinya.

Tahap 4 Mengkonstruksi model-model konseptual

Setiap definisi akar yang dihasilkan dalam tahap 3 akan diwujudkan dalam model konseptual dalam tahap 4. Model konseptual secara sederhana merupakan suatu kumpulan aktivitas yang terstruktur secara logis dalam sebuah sistem gagasan yang telah dibatasi oleh definisi akar. Model konseptual tidak bermaksud menggambarkan situasi masalah, namun merupakan sebuah upaya untuk memahami aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna mencapai suatu perubahan. Selain itu, model konseptual juga bermaksud merancang sebuah sistem yang merepresentasikan perspektif para pihak tentang sistem yang diinginkan dalam aktivitas interaksi mereka. Tahap ini membantu partisipan untuk berdiskusi mengenai langkah apa yang dapat diambil dalam situasi masalah sebenarnya.

Model konseptual merupakan penyajian definisi akar sistem, dengan memakai kata kerja (verb) sebagai bahasa pemodelan agar model merepresentasikan apa yang sistem harus lakukan, sebagaimana telah terdefinisi dalam tahap sebelumnya. Model konseptual tidak melukiskan kejadian di dunia nyata (fakta), namun berupa struktur beragam aktivitas untuk mencapai transformasi yang dimodelkan dalam sekuen saling bergantung secara logis. Jadi, dalam sebuah model, sebuah panah dari aktivitas x ke aktivitas y menunjukkan bahwa y tergantung kepada x.

Tahap 5 Membanding model konseptual dengan situasi masalah

Model konseptual yang dirancang dalam tahap 4 menyediakan struktur untuk terjadinya perdebatan mengenai situasi masalah. Ini menyisakan sejumlah pertanyaan. Ini juga menandai perbedaan antara situasi aktual dengan realitas yang dirasakan. Pembahasan mengenai model memberi kesempatan bagi


(36)

partisipan untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi mereka. Ini membolehkan mereka membahas perubahan yang dapat memperbaiki situasi masalah.

Checkland menggambarkan perbandingan ini sebagai sebuah konfrontasi antara ―apakah‖ dan ―bagaimana‖. Model sistem yang dihasilkan tahap 4 adalah deskripsi abstrak dan gambaran beragam aktivitas yang secara logis mesti ditunjukkan dalam sistem (apakah), sementara aktivitas dalam dunia nyata selalu menunjuk satu cara untuk melakukan sesuatu (bagaimana). ―Bagaimana‖ biasanya disampaikan lebih implisit, dibanding ―apakah‖. Tujuan model-model tersebut adalah untuk mempertanyakan apakah beragam aktivitas dalam model dalam diwujudkan dalam dunia nyata, bagaimana kinerjanya selama ini, atau cara alternatif apakah yang bisa diambil guna mewujudkan aktivitas tersebut. Tahap 6 Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan

Tujuan langkah ini untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara sistemik dan layak menurut budaya. Perubahan ini dapat saja terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap orang-orang. Struktur disini menyangkut organisasi kelompok pihak, atau struktur tanggungjawab fungsional. Perubahan prosedur meliputi semua aktivitas yang dilakukan organisasi, seperti tindakan-tindakan operasional. Perubahan sikap mengacu kepada perubahan dalam cara pandang mengenai sasaran dalam situasi masalah sehingga orang-orang akan memahami bagaimana seharusnya berperilaku dalam hubungan antarmereka.

Tahap 7. Membuat perubahan untuk memperbaiki keadaan

Ini merupakan langkah implementasi. Siapa yang akan melaksanakan? Bentuk tindakan apa yang diambil? Dimana? Kapan? adalah penting dalam tahap ini. Perubahan sikap dan perilaku sebaiknya dipertimbangkan sebagai dimensi untuk menggerakkan sistem baru. Perubahan yang menggoyakan perubahan sebaiknya dihindari. Tahap ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab aktor –aktor untuk mewujudkan rencana aksi.

Metodologi Sistem Lunak merupakan proses berlanjut, namun menurut Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) tidak seharusnya pendekatan ini diperlakukan sebagai teknik atau metode, tetapi sebagai sebuah metodologi. Karenanya, tahapan-tahapan ini tidak bersifat kaku sebagaimana metode, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi khusus tertentu.


(37)

2.3.3. Beragam pengunaan Metodologi Sistem Lunak

Metodologi Sistem Lunak sejak diperkenalkan oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya di Universitas Lancester Inggris pada awal dekade 1980-an, telah diadopsi secara luas dan dianggap berhasil menangani beragam masalah di berbagai bidang (Mingers 2000; Holwell 2000; Jackson 2001; Pala et al. 2003). Misalnya, di Cina, MSL digunakan untuk mengidentifikasi tantangan dan kelemahan yang mungkin dalam sistem logistik daur ulang baterai (Li et al. 2007). Di Vietnam, MSL dipakai untuk menginvestigasi persyaratan dan potensi kemajuan pengembangan industri (Braver et al. 2007). Di Australia, ia dipakai untuk mengembangkan kemampuan sistem informasi militer Departemen Pertahanan (Staker 1999) dan pengelolaan sektor kesehatan (Braithwaite 2002). Di Inggris MSL telah digunakan secara luas dalam banyak bidang, misalnya untuk perbaikan kinerja dan perubahan organisasi Pelayanan Kesehatan Nasional (Jacobs 2004), eksplorasi pengembangan perawat khusus bagi orang jompo (Reed et al. 2007), pengelolaan objek data digital (Chilvers 2000), memperbaiki komunikasi antar unit pengelola dalam pusat rehabilitasi orang cacat (Brenton, 2007), memahami bagaimana terjadinya tragedi antar pendukung sepakbola di Stadion Hillsborough (Lea et al. 1998). Di Amerika Serikat, MSL menghasilkan langkah-langkah menuju perubahan sistem program makan siang di sekolah-sekolah umum sebagai upaya mengatasi obesitas pada anak dan remaja (Suarez-Balcazar et al. 2007), dipakai pula sebagai pendekatan untuk menstrukturkan masalah dalam manajemen proyek (Reed et al. 2006), dan sistem informasi bagi konsultan teknologi (Hogan et al. 2003).

Beragamnya bidang pemanfaatan Metodologi Sistem Lunak menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Dalam bidang manajemen saja, Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran Metodologi Sistem Lunak. MSL juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumberdaya alam dan lingkungan Dalam bidang ini, Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan pendekatan MSL untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch (2002) mampu membuat rekomendasi pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999) menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Namun, MSL masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia (Eriyatno 2003; Eriyatno dan Sofyar 2007).


(38)

Di Indonesia, Purnomo et al. (2003) dalam penelitian pengelolaan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, telah membuktikan bahwa pendekatan Metodologi Sistem Lunak dapat mengharmoniskan para pihak yang berbeda kepentingan, menguatkan pembelajaran bersama, dan mendorong mereka membuat formulasi rencana aksi kolaboratif. Konteks dan hasil penelitian ini relevan dengan permasalahan pengelolaan kawasan hutan ―tidak terkelola‖ yang banyak terjadi pada taman nasional dan hutan penelitian.


(39)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Konteks Penelitian

Hutan Penelitian Benakat merupakan salah satu kawasan hutan produksi yang ditetapkan pemerintah sebagai areal bagi penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang), melalui pemberian status Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 111 tanggal 24 April 2004. Pengelolaan kawasan ini dimandatkan kepada Balai Penelitian Kehutanan Palembang sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Hutan Penelitian Benakat secara administratif berada di Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Areal hutan produksi ini terletak 180 km dari Kota Palembang, Ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Luas total kawasan kurang lebih 4000 Ha, terdiri dari lima blok pengelolaan yang posisinya terpisah (Gambar 2). Kawasan hutan produksi di luar hutan penelitian merupakan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Musi Hutan Persada (MHP).

Gambar 2 Hutan Penelitian Benakat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.


(40)

Kawasan Hutan Penelitian Benakat berbatasan langsung dengan tiga desa dimana masyarakatnya telah lama bermukim dan memanfaatkan keberadaan lahan. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang paling intensif terjadi pada Blok Agroforestri, salah satu areal penelitian yang pada awalnya diperuntukkan bagi kegiatan penelitian bidang agroforestri. Penelitian bidang agroforestri dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik tanaman penghasil kayu pertukangan dan tanaman semusim yang mampu menghasilkan produktivitas tinggi dan menyejahterakan petani. Fakta lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan seluas 400 hektar tersebut telah menjadi perkebunan karet masyarakat, areal penggembalaan sapi, dan pemukiman penduduk. Ini membuat pihak pengelola berada dalam posisi sulit untuk membuat tindakan manajemen terhadap kawasan tersebut.

Upaya pengelolaan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat tidak hanya dipengaruhi masalah kekinian fakta tata guna lahan namun juga oleh kerawanan konflik terbuka dengan 2 (dua) desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan. Desa Benakat Minyak dan Desa Semangus memiliki sejarah konflik terbuka dengan PT. Musi Hutan Persada akibat tindakan manajemen perusahaan yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat, terutama menyangkut aspek tata guna lahan (Fatmawati 2004; Martin et al. 2003). Situasi ini dijadikan alasan oleh pengelola untuk tidak melakukan tindakan manajemen apapun.

Aplikasi Metodologi Sistem Lunak ini dilakukan dalam rangka mendapatkan peta jalan guna mengatasi kebuntuan tindakan manajemen atas Blok Agroforestri, sedemikian rupa sehingga pengelola dapat menjalankan fungsi penyelenggaraan kegiatan litbang di tengah beragam kepentingan masyarakat atas kawasan tersebut.

3.2. Rancangan Aplikasi Metodologi Sistem Lunak

Proses utama penelitian ini menggunakan modus operandi penelitian aksi (McNiff 1992; Chambers 1996; Selener 1997) yang diarahkan untuk mendukung berlangsungnya fase Metodologi Sistem Lunak (Checkland 1981 dalam Simonsen 1994 dan Williams 2005) melalui media fasilitasi reflektif (Groot dan Maarleveld 2000; Selener 1997). Menurut Wilson (1984 dalam Rose 1999) upaya melakukan perubahan dari situasi yang dianggap sebagai masalah adalah aksi, sementara pembelajaran dari proses untuk memperoleh perubahan itu merupakan penelitian.


(1)

APA MASALAH YANG KAMI HADAPI

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG TIDAK MELAKUKAN PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY / TUMPANGSARI DENGAN BAIK SETELAH SELESAINYA KERJASAMA “JICA”

KEBIJAKAN BALAI MENGENAI PENGELOLAAN KAWASAN BELUM JELAS

BALAI KURANG PEDULI/MAKSIMAL DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA SARANA PENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN AKTIVITAS PENGELOLAAN TERHADAP BLOK AGROFORESTRY

KURANG DIPERHATIKAN

BELUM ADA KEINGINAN KUAT DARI BALAI UNTUK MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA KESERIUSAN SEMUA PIHAK DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA ATURAN DAN KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT MENGENAI PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY

KEGIATAN BALAI PASCAKERJASAMA JICA TIDAK DIARAHKAN KE BLOK AGROFORESTRY.

LAHAN DI BLOK AGROFORESTRY SEBAGIAN BESAR TELAH DIGUNAKAN MASYARAKAT UNTUK BERKEBUN

MASYARAKAT SECARA DOMINAN TELAH MELAKUKAN KEGIATAN PENGGUNAAN LAHAN SEHINGGA PENGELOLAAN KAWASAN SULIT DILAKUKAN

KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN SANGAT TINGGI DI BLOK AGROFORESTRY

KEGIATAN MASYARAKAT DI BLOK AGROFORESTRY SULIT DICEGAH KARENA BERHUBUNGAN DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MASYARAKAT


(2)

Lampiran 3 Kamus istilah (Glossary)

Aktor : Individu yang memiliki kepedulian terhadap situasi masalah. Ia dapat melaksanakan satu atau lebih aktivitas dalam sistem atau

menghentikannya.

Berpikir sistem : System thinking; adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.

Debat : Mendiskusikan atau memeriksa sebuah pertanyaan melalui penyampaian dan pertimbangan argumentatif oleh beberapa pihak.

Dialog : Sebuah percakapan antara dua atau lebih orang-orang; pertukaran gagasan dan pendapat.

Diskusi : Proses mempetimbangkan sebuah pertanyaan secara terbuka dan biasanya dalam debat informal.

Fasilitasi : Proses sadar dan sepenuh hati membantu kelompok mencapai tujuannya / mencipta pilihan-pilihan terbaik dengan cara taat pada nilai-nilai dasar partisipasi agar kelompok benar-benar berfungsi sebagai kelompok Fasilitasi reflektif : Gaya fasilitasi yang dilakukan oleh salah

seorang atau sekelompok orang yang berperan pula sebagai aktor dalam proses, melalui pelibatan praktik pemikiran sistem. Rasionalitas gaya fasilitasi ini adalah

komunikasi. Ini memungkinkan fasilitator untuk segera mengubah sikap dan perilaku dirinya dan atau kelompoknya setelah mendapat informasi baru.

Gambar situasi : Rich picture; Sketsa situasi masalah melalui

media gambar yang melukiskan cara pandang para pihak dan interaksinya. Metode ini

sebagai alat untuk membangkitkan diskusi antarpihak.

Hutan penelitian : Adalah kawasan hutan yang difungsikan sebagai areal bagi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, terutama untuk sektor kehutanan.

Ice breaking : Kegiatan yang dirancang untuk membuat proses belajar dan atau interaksi lebih

menyenangkan. Ini berfungsi untuk membantu orang untuk saling mengenal dan rileks. Isu : Topik yang menarik untuk didiskusikan karena

menjadi perhatian semua orang. Isu dapat berbentuk pernyataan kebijakan yang belum menjadi kebijakan saat ini. Isu dapat pula


(3)

berarti harapan masa depan yang berpotensi untuk diwujudkan.

Kawasan hutan : Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Keabsahan : Legitimacy; Atribut yang merujuk kepada

perilaku yang diterima dan diharapkan secara sosial.

Kekuatan : Power; Atribut yang mengacu kepada

kemampuan dalam mengontrol sumberdaya Kepentingan : Interest; Atribut yang berarti terdapat

―sesuatu‖ yang harus menjadi perhatian. Kognitif : Proses mental untuk mengingat, memikirkan,

memahami, mempersepsikan atau menilai sesuatu.

Konflik : Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik tidak identik dengan perseteruan atau bentrokan fisik, meski itu adalah salah satu wujud konflik.

Konsensus : Kesepakatan umum; kebulatan suara Lokakarya : Search conference; Pertemuan multipihak

yang diselenggarakan untuk memahami suatu masalah kemudian bersama-sama mencari solusi atas masalah tersebut dengan melihat berbagai alternatif dan kemungkinan yang terjadi dalam masa depan tertentu (timeline).

Masalah : Kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan dengan fakta saat ini.

Metaplan : Lembaran (biasanya berupa kertas) tempat

menuangkan satu gagasan pikiran. Metodologi : Ilmu atau prinsip-prinsip tentang metode. Metodologi Sistem Keras

(MSK) :

Hard Systems Methodology; Pendekatan

penelitian berbasis sistem yang meyakini bahwa obyek yang dikaji memiliki struktur hubungan dan tujuan yang dapat dibatasi. Kumpulan metodologi ini misalnya

perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, and manajemen sibernetik. Sistem yang didefinisikan oleh metodologi ini bertujuan untuk optimisasi.

Metodologi Sistem Lunak

(MSL) :

Soft Systems Methodology; merupakan

kerangkakerja (framework) pemecahan

masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan. Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan


(4)

sesuai fenomena yang dihadapi. Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti. Proses penyelidikan mengenai kerumitan suatu masalah bagi MSL akan menciptakan pembelajaran.

Model : Abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku

keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan.

Model konseptual : Model yang dihasilkan dari kognitif orang. Model ini bersifat hipotetik. Dalam MSL model konseptualnya berupa interaksi kumpulan aktivitas bertujuan (purposeful activity model)

dengan kata kerja + frase kata benda sebagai bahasa model.

Negosiasi : sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan

Para pihak : Stakeholders; Istilah stakeholders muncul pertama kali dalam referensi ilmiah pada tahun 1963. Pada saat itu ia mengacu kepada orang-orang yang tanpa dukungan mereka sebuah organisasi akan runtuh. Istilah

stakeholders menjadi terkenal setelah Freeman pada tahun 1984 mempublikasikan buku “Strategic Management, a Stakeholders approach”. Freeman mendefiniskan para pihak sebagai individu atau kelompok yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh

pencapaian tujuan organisasi. Definisi yang lebih terbaru dibuat oleh Mitroff dan Linstone (1993) yaitu ―setiap individu, kelompok, organisasi, atau institusi yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh individu, kelompok, organisasi, atau institusi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Rolling dan Wagemaker mendefinisikan para pihak sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya alam. Pada realitasnya, muncul istilah para pihak utama, sekunder, tertier, pendukung dan sebagainya. Ini mengacu pada derajat kepentingan mereka terhadap sumberdaya atau pencapaian tujuan organisasi.


(5)

mempunyai pengaruh dan membagi

wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas

sumberdaya.

Pembelajaran : Learning; terjadi saat umpan balik informasi

memengaruhi keputusan berikutnya. Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus.

Pembelajaran adalah sebuah proses sadar yang disengaja atau dilembagakan, tanpa adanya kesadaran ini maka pembelajaran tidak akan efektif. Pembelajaran adalah konsep proaktif, artinya si pembelajar itu sendiri yang harus aktif untuk belajar, bukan orang lain yang mengajari si pembelajar. Pemodelan : Modelling; cara untuk meningkatkan

pembelajaran (learning) dalam sistem

kompleks. Pemodelan adalah metode untuk mengembangkan model-model simulasi atau tiruan untuk membantu memahami

kompleksitas dari sistem, memahami sumber-sumber masalah dan merancang solusi atas masalah tersebut.

Prasangka : Prejudice: Dugaan terhadap ―sesuatu‖ sebagai

hasil olah kognitif. Prasangka bermakna negatif apabila berhubungan dengan stereotif yang keliru terhadap ―sesuatu‖.

Proses : Kemajuan; sesuatu yang terus berlangsung; sebuah fenomena alami yang ditandai oleh perubahan bertahap menuju sebuah hasil yang khusus.

Proses multipihak : Proses yang bertujuan untuk membawa semua pihak utama dalam bentuk baru komunikasi dan pencarian keputusan (dan mungkin pembuatan keputusan) dalam isu tertentu

Sikap : Respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan

Simulasi : Eksekusi sebuah model

Sistem : Suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk

mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan

Sistem Aktivitas Bertujuan : Purposeful Activity Sistems; Sekumpulan

gagasan aktivitas untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sistem ini terkoneksi antaraktivitas yang menunjukkan hubungan bergantung. Jika aktivitas A menunjuk B, maka berarti B dapat dilakukan jika A telah


(6)

dilaksanakan.

Sistem Lunak : Soft system; sistem yang hanya ada jika

manusia-manusia didalamnya menyusun sistem sepakat untuk memperlakukan interaksi diantara mereka serta dengan lingkungannya sebagai sebuah sistem. Situasi masalah : Semua elemen yang memengaruhi terjadinya

masalah. Situasi masalah lebih luas dari masalah. Situasi masalah tidak hanya

berhubungan obyek masalah namun mengapa orang-orang menyatakan ―sesuatu‖ tersebut sebagai masalah (subyektif).

Skenario : Pemikiran yang leluasa dan terkadang liar tentang masa depan dengan

mempertimbangkan alternatif-alternatif yang bisa terjadi. Skenario berguna untuk

mempertimbangkan dan melihat beragam kemungkinan masa depan. Skenario adalah cara berpikir yang longgar tentang masa depan, tidak rigid dan tidak perlu menganut pola-pola peramalan yang ilmiah

Stereotif : Sebuah kumpulan keyakinan-keyakinan tentang atribut personal dari sekelompok orang-orang. Patut diperhatikan bahwa stereotif bukan ―kebiasan buruk‖; ia melekat dalam proses kognitif kita. Ia membuat persepsi kita tentang sesuatu menjadi lebih cepat. Misalnya, jika kita melihat seseorang yang telah berumur tua, maka pikiran kita langsung mempersepsikan bahwa orang tersebut geraknya lambat.

Transformasi : Proses perubahan suatu keadaan menjadi keadaan lainnya. Dalam MSL transformasi mengubah satu wordview menuju worldview

yang lebih diinginkan

Wawancara kelompok fokus : Metode penelitian kualitatif untuk

mendapatkan jawaban atas satu atau lebih pertanyaan (masalah) dari satu kelompok atau komunitas tertentu. Ini berbeda dengan diskusi yang identik dengan debat dan kontestasi gagasan. Metode ini memungkinkan peneliti mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif dalam suatu kelompok.

Worldview : Cara pandang; cara mempersepsikan obyek

yang diperhatikan. Ini dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan, status pengetahuan, pengalaman masing-masing orang.