Dampak revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi Pendekatan sistem neraca sosial ekonomi

(1)

DAMPAK REVITALISASI

SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN

DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI :

PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

DISERTASI

Oleh :

AGUS WAHYUDI

A 5460142314

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

i

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul ”DAMPAK REVITALISASI SEKTOR

BERBASIS KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI:

PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI” merupakan gagasan

atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing,

kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum

pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan

tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2010

Agus Wahyudi A5460142314


(3)

ii

ABSTRACT

AGUS WAHYUDI. Revitalization Impact of Forestry Based Sector on Jambi

Province Economy : A Social Accounting Matrix (SAM) Approach. (D.S.

PRIYARSONO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and MANGARA

TAMBUNAN as Members of Advisory Committee)

Economic contribution of forestry based sectors at national and Jambi regional levels in the last decade has decreased. The forest degradation and deforestation are two of several causes of the decreasing of forestry economic contribution. Meanwhile, forestry based sectors are supported by land resources which is more than 40% of Jambi land territory. Government has issued a policy called five priority programs on forestry development. One of these programs is forestry revitalization which is addressed to regenerate contribution of forestry sector to national economy. The objectives of the study are to analyze the contribution of forestry based sectors and the impact of the revitalization policy in the forestry based sectors on the households income distribution, disparity and employment opportunity in Jambi province. A Social Accounting Matrix (SAM) is used as an approach to calculate contribution, economic structure and economic multipliers. Economic multipliers are used to calculate the impact of new or additional investment as an implementation of revitalization of forestry based sectors policy in Jambi Regional economy.

Generally it was found that (1) economic structure of Jambi Province was supported by several economic sector which evenly contributed, including forest based sector; (2) export for forestry based sector dominated more than 60% from total export of Jambi province, then export for mining and farming sector respectively; (3) agriculture sector accommodated more than 50% direct employment, while forestry based sector accommodated approximately 6%; (4) the revitalization of forestry based sector would increase the rural households income and decreasing of income disparity between rural households and urban households, between forestry base households and other households, between primary forestry households and forest industry households as well, meanwhile it has not yet succeeded to decrease income disparity between employer households and laborer households (5) Moreover, forestry based sector would be potential to create job opportunity in Jambi province.

Key words : forestry sectors , income distribution, regional economy, social accounting matrix.


(4)

iii

ABSTRAK

AGUS WAHYUDI. Dampak Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan Dalam

Perekonomian Provinsi Jambi: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. (D.S.

PRIYARSONO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan MANGARA

TAMBUNAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Peran sektor kehutanan dalam perekonomian baik pada tingkat regional provinsi Jambi maupun tingkat nasional, dalam sepuluh tahun terakhir terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya deforestasi dan degradasi hutan. Di lain pihak sektor kehutanan di provinsi Jambi didukung dengan alokasi sumberdaya lahan berupa kawasan hutan dengan luas lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang disebut sebagai lima program prioritas sektor kehutanan tahun 2004-2009. Salah satu program diantaranya adalah program revitalisasi sektor kehutanan, sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor-sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi serta menganalisis dampak revitalisasi kehutanan terhadap distribusi pendapatan dan kesenjangan pendapatan antarrumahtangga serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi. Dalam penelitian ini sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor baik di sektor primer (penghasil bahan baku) maupun sektor hilir (industri pengolahan hasil hutan). Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk menghitung kontribusi, struktur dan multiplier ekonomi. Multiplier ekonomi digunakan untuk menghitung dampak investasi baru atau perluasan dalam pembangunan kehutanan sebagai implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi.

Secara umum ditemukan bahwa (1) struktur perekonomian Jambi didukung oleh beberapa sektor ekonomi termasuk di antaranya sektor berbasis kehutanan dengan kontribusi yang merata, (2) ekspor sektor kehutanan mendominasi ekspor provinsi Jambi disusul ekspor sektor pertambangan dan perkebunan, (3) sektor pertanian menampung tenaga kerja langsung lebih dari 50% pekerja sementara sektor berbasis kehutanan hanya 6%, (4) revitalisasi kehutanan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan, menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga perdesaan dan rumahtangga kota, antara rumahtangga kehutanan primer dan rumahtangga industri kehutanan, antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lain, tetapi belum berhasil menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha, dan (5) investasi pada sektor berbasis kehutanan dapat diandalkan untuk menciptakan kesempatan kerja di provinsi Jambi.


(5)

iv

RINGKASAN

Sektor kehutanan pernah menjadi sektor andalan dan penggerak dalam perekonomian nasional, namun dalam sepuluh tahun terakhir perannya dalam perekonomian terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan baik yang direncanakan maupun akibat perambahan, kebakaran hutan dan lain-lain. Kemerosotan tersebut telah mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan (Dephut, 2005).

Mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam mendukung kehidupan manusia dan untuk mengembalikan peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang disebut revitalissi sektor kehutanan. Program tersebut dilaksanakan antara lain melalui restrukturisasi industri kehutanan, pengelolaan hutan lestari, pembangunan hutan tanaman dengan tujuan untuk menciptakan industri kehutanan yang tangguh dan berdaya saing global, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Demikian pula halnya yang terjadi level regional, peran sektor kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi juga telah merosot. Bahkan banyak pihak yang tidak paham dan tidak mengetahui peran atau kontribusi sektor kehutanan dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penciptaan devisa, penyediaan infrastruktur di provinsi Jambi. Dilain pihak sektor kehutanan tersebut didukung alokasi lahan lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi.

Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengangkat permasalahan (1) seberapa besar peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga?, (2) seberapa besar dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dalam bentuk investasi untuk pembangunan hutan tanaman, industri pulp, industri kertas, dan industri MDF baik secara parsial maupun terintegrasi terhadap perekonomian provinsi Jambi khususnya dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, distribusi


(6)

v

pendapatan rumahtangga, kesenjangan antar rumahtangga, distribusi pendapatan sektoral serta pilihan investasi mana yang paling efisien?

Untuk melakukan penelitian tersebut digunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Oleh karena belum ada SNSE sebelumnya, maka telah disusun SNSE provinsi Jambi tahun 2005, dengan tekanan pada sektor berbasis kehutanan. Sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor yaitu (1) sektor kehutanan primer, terdiri dari sektor kayu HTI, kayu rimba, hasil hutan lain dan jasa lingkungan, serta (2) sektor industri kehutanan yang terdiri dari sektor industri penggergajian dan pengolahan kayu, industri kayu lapis dan sejenisnya, industri kayu lainnya, industri pulp dan industri kertas. Sementara institusi rumahtangga didisagregasi menjadi 16 kelompok yang dibedakan atas rumhtangga desa dan kota, kemudian dibedakan menjadi rumahtangga kehutanan, industri kehutanan, pertanian bukan kehutanan dan rumahtangga lainnya. Kemudian dibedakan lagi atas rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha.

Metode analisis yang digunakan antara lain analisis pengganda (multiplier), dekomposisi pengganda, analisis jalur struktural, analisis rasio kesenjangan dengan metode rasio maksimum-minimum dan pemilihan investasi yang efisien.

Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

(1) Dalam struktur perekonomian provinsi Jambi terbukti sektor berbasis kehutanan memiliki kontribusi cukup signifikan yakni kontribusi sebesar 24.19 % dari total nilai tambah, 60.11% total ekspor, namun hanya menyerap 6.92% dari total tenaga kerja di provinsi Jambi.

(2) Sektor berbasis kehutanan memberikan kontribusi lebih besar kepada pertumbuhan regional daripada distribusi pendapatan rumahtangga.

(3) Sektor HTI, industri pulp dan industri kertas mempunyai dampak paling tinggi terhadap nilai tambah perekonomian wilayah Jambi. Sektor HTI memberikan prosentase pertambahan pendapatan rumahtangga yang paling tinggi dibandingkan sektor berbasis kehutanan lainnya. Selanjutnya sektor berbasis kehutanan yang dapat memberi tambahan pendapatan produksi regional dan menciptakan lapangan kerja yang lebih besar adalah industri kertas. Berdasarkan seluruh peranan sektor produksi ini, maka dapat dikatakan bahwa sektor kehutanan berbasis kertas yang meliputi kayu HTI, industri pulp


(7)

vi

dan industri kertas mempunyai peranan yang besar dalam perekonomian provinsi Jambi.

(4) Pembangunan sektor berbasis kehutanan mendistribusikan dampak investasi kepada pendapatan rumahtangga pengusaha lebih besar daripada rumahtangga buruh. Sektor berbasis kehutanan belum berhasil menurunkan kesenjangan antara rumahtangga pengusaha dan rumahtangga buruh.

(5) Secara umum sektor berbasis kehutanan dapat menurunkan kesenjangan antara rumahtangga kehutanan dan industry serta antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lainnya. Sektor kehutanan primer dimana banyak mempekerjakan tenaga buruh dan operator dapat menurunkan kesenjangan rumahtangga kota dan rumahtangga desa.

(6) Pembangunan kehutanan berbasis kertas yang mencakup perluasan tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas paling efisien dibanding pilihan alternatif invetasi lainnya yang dapat diterapkan di provinsi Jambi untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Upaya pembangunan sektor berbasis kehutanan tersebut secara konkrit diwujudkan antara lain dengan langkah sebagai berikut: (1) Untuk menaikkan pendapatan rumahtangga kehutanan yang umumnya rumahtangga buruh di pedesaan dengan pendekatan peningkatan produksi dan kewirausahaan bagi msyarakat perdesaan dan kemitraan., (2) Mendorong pengembangan klaster-klaster industri kehutanan berbasis kertas yang merupakan suatu kawasan pembangunan industri yang terdiri dari usaha tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas didukung usaha-usaha kecil-menengah yang berkembang dari masyarakat pedesaan.

Saran penelitian lanjutan antara lain: (1) Mengkaji dampak perubahan pasar internasional produk-produk hasil hutan terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi, dan (2) Melakukan penelitian mengenai dampak pemanfaatan bahan baku industri kehutanan dari luar provinsi Jambi terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi dengan pendekatan SNSE antarregion.

hammad Musyaffak Fauzi

A5460141514


(8)

vii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(9)

viii

DAMPAK REVITALISASI

SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN

DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI :

PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

AGUS WAHYUDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(10)

ix

Judul Disertasi : DAMPAK REVITALISASI SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI: PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE)

Nama Mahasiswa : Agus Wahyudi Nomor Pokok : A5460142314

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS.

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar , MEc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc.

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

N a m a : Agus Wahyudi

Tempat/Tanggal Lahir : Trenggalek, 31 Agustus 1961

Alamat : Giriloka 3 Blok Y-19, Bumi Serpong Damai Serpong, Tangerang Selatan , Banten

Telepon : 021 5371421, 0811870040

Email : awgiriloka@yahoo.com

PENDIDIKAN

1. Lulus SD Negeri Karangan II, Trenggalek tahun 1973

2. Lulus SMP Gotong Royong Karangan, Trenggalek tahun 1976 3. Lulus SMA Negeri Trenggalek tahun 1980

4. Lulus Sarjana Teknologi Pertanian , Institut Pertanian Bogor tahun 1984 5. Lulus Magister Manajemen, STIE Institut Bisnis Indonesia (IBII) tahun 2000 6. Lulus Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2010

PEKERJAAN

1. Land Clearing Engineer, Trans Asia Engineering Ass, Inc. (1985-1986) 2. Analis, PT Agriconsult International (1987-1990)

3. 1991 – Sekarang Sinarmas Group


(12)

1995 – 1998 Manager PT Wirakarya Sakti

1998 – 2002 Vice General Manager PT Wirakarya Sakti 2002 – 2005 General Manager PT Wirakarya Sakti 2005 – 2009 Vice Director PT Wirakarya Sakti 2010 - Sekarang Director PT Wirakarya Sakti

2006 - Sekarang Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas 2006 - Sekarang Direktur PT Mitra Hutani Jaya

2007 - Sekarang Direktur Utama PT Wanakerta Ekalestari 2009 - Sekarang Direktur Utama PT Sumalindo Hutani Jaya

ORGANISASI

1. Bidang Lingkungan Hidup, PWM Banten (2005-sekarang)

2. Ketua Kelompok Kerja Gerakan Cinta Pohon , Bakti Keluarga BSD (2004-sekarang)

3. Ketua Bidang Pembinaan Pemuda, Kerukunan Keluarga Muslim BSD (2008 – sekarang)

4. Ketua Bidang Pembinaan Remaja , Dewan Kesejahteraan Masjid Asy Syarif , Al Azhar BSD (2008 – sekarang)

5. Perwakilan Ikatan Keluarga Asal Trenggalek (IKAT) Daerah Tangerang-Banten (2002 – sekarang)

6. Tim Tata Ruang dan Gambut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI (2009-2010)

7. Tim Pengkajian Harga Kayu HTI, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI (2006 -2007)

8. Seksi Hubungan Kelembagaan , Pawarta Jatim (2002 – 2006) 9. Perwakilan IKAT di Pawarta Jatim (1998 – 2006)

10.Aktiv di berbagai kepanitiaan – kegiatan Forum Masjid dan Mushala BSD dan Sekitarnya /FMMB (2008 – Sekarang)


(13)

KELUARGA

1. Isteri : Mei Idawati (Swasta, Jakarta)

2. Anak : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati (Mahasiswa, Jerman) Shabrina Wahyu Wijayanti (SMA Islam , Al Azhar BSD) Duhita Wahyu Maulida (SD Islam , Al Azhar BSD) Hafizhah Wahyu Pratiwi (SD Islam , Al Azhar BSD)


(14)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Dampak Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi : Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak implementasi kebijakan Pemerintah dalam revitalisasi sektor-sektor berbasis kehutanan yang diwujudkan dalam investasi perluasan dan pembangunan hutan tanaman (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), industri pulp, industri kertas tulis cetak, industri kertas tisu dan industri kayu lapis/partikel dalam bentuk Medium Density Fibreboard (MDF) terhadap perekonomian Jambi khususnya dalam distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kesenjangan antar kelompok rumahtangga. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian juga diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi, implikasi kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan sektor kehutanan di provinsi Jambi.

Seiring dengan selesainya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr.Ir. D.S. Priyarsono MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan MSc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh staf pengajar Program Studi EPN yang telah memberi dorongan dan dukungan bagi kelancaran studi dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Basuki Somawinata, Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto dan Ibu Dr. Ir. Setyo Pertiwi, yang telah memberikan rekomendasi sehingga penulis


(15)

xi

diterima menjadi mahasiswa Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak Muktar Widjaja, Vice Chairman Sinar Mas yang telah memberikan kesempatan, izin dan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak Robin Mailoa ,CEO Sinarmas Forestry, Bapak Soebardjo Head of Sinarmas Forestry License Division, Bapak Aris Adhianto Direktur PT Wirakarya Sakti, serta rekan-rekan pimpinan dan karyawan Sinarmas Forestry Division Kantor Pusat Jakarta atas dukungan dan pengertian selama penulis menempuh kuliah, penelitian dan penyusunan disertasi ini.

6. Bapak Usman Tzai FOD SMF Jambi Region, Bapak Eddy Makhmud VP-LPR Jambi dan para staf kantor perwakilan SMF Jambi, atas bantuan dan dukungan dalam penelitian, pengumpulan data-data dan penyusunan disertasi ini.

7. Rekan-rekan EPN-K1 atas kerjasama, kekompakan ketika bersama-sama menempuh kuliah dan dalam penyelesaian disertasi.

8. Sdri Yani dan Ruby di sekretariat EPN Dramaga dan Sdr Iwan di Sekretariat Pasca di Baranangsiang, atas segala dukungan, perhatian dan bantuannya.

9. Serta kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini dan tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Penulis sangat menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, disertasi ini jauh dari sempurna. Namun demikian penulis tetap berharap disertasi ini dapat bermanfaat dan dipakai sebagai salah satu acuan dan pertimbangan dalam pembangunan provinsi Jambi dan untuk penelitian-penelitian lanjutan dan penelitian lain yang berguna bagi masyarakat Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Bogor, Juli 2010


(16)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tangal 31 Agustus 1961 di Trenggalek, Jawa

Timur, sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Supardi dan Siti

Rukayah.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar Negeri Karangan II di Trengalek tahun

1973, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Gotong Royong Karangan di

Trenggalek dan lulus tahun 1976, kemudian lulus Sekolah Menengah Negeri I

Trenggalek di Trenggalek pada tahun 1980. Penulis kemudian melanjutkan ke

Institut Pertanian Bogor di Bogor dan lulus sebagai sarjana dari Fakultas

Teknologi Pertanian pada tahun 1984. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan ke

Program Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII di Jakarta dan

lulus pada tahun 2000. Dengan dukungan dan beasiswa dari PT Wirakarya Sakti,

pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor.

Tahun 1985-1986 penulis bekerja pada Trans Asia Engineering Ass. Inc.

Jakarta dan ditempatkan di proyek penyiapan lahan transmigrasi di Kabupaten

Sarolangun Bangko Jambi. Pada tahun 1987-1990 penulis bekerja pada PT

Agriconsult International di Jakarta. Sejak tahun 1991 sampai saat ini penulis

bekerja pada PT Wirakarya Sakti (kelompok usaha Sinar Mas) di Jakarta. Sejak

tahun 2004 penulis ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas.

Penulis menikah dengan Mei Idawati dan dikaruniai empat orang puteri

yaitu : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati, Shabrina Wahyu Wijayanti, Duhita


(17)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

1.5. Kegunaan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan ………13

2.2 Konsep dan Teori Pembangunan ... 25

2.2.1. Pembangunan Ekonomi ... 25

2.2.2. Pembangunan Wilayah ... 38

2.2.3. Investasi ……….40

2.3. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 42

2.3.1. Bentuk dan Arti Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43

2.3.2. Kegunaan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43

2.3.2.1. Kinerja Pembangunan Ekonomi ... 44

2.3.2.2. Distribusi Pendapatan Faktorial ... 45

2.3.2.3. Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 45

2.3.2.4. Pola Pengeluaran Rumahtangga ... 46

2.3.2.5. Ketenagakerjaan ... 46

2.3.2.6. Pemodelan Ekonomi ... 47

2.4. Penelitian Terdahulu ... 47

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 67


(18)

xiv

3.2. Hipotesis ... 70

IV. KEADAAN UMUM PROVINSI JAMBI ... 72

4.1. Keadaan Umum ... 72

4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja ... 73

4.3. Perkembangan Ekonomi Provinsi Jambi ... 75

4.3.1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto ... 75

4.3.2. Struktur Ekonomi ... 79

4.3.3. Pertumbuhan Ekonomi ... 82

4.3.4. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita dan Pendapatan Per Kapita ... 90

4.4. Kondisi Hutan ... 93

4.5. Perkembangan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi ... 96

V. METODE PENELITIAN ... 104

5.1. Lokasi Penelitian ... 104

5.2. Jenis dan Sumber Data ... 104

5.3. Pemilihan Metode dan Penyusunan Model ………105

5.4. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 107

5.4.1. Analisis Pengganda Neraca ... 110

5.4.2. Dekomposisi Pengganda ... 112

5.4.2.1. Pengganda Transfer ... 113

5.4.2.2. Pengganda Open Loop ... 115

5.4.2.3. Pengganda Closed Loop ... 117

5.4.2.4. Analisis Pengganda ………118

5.4.3. Metode Analisis Jalur Struktural ………...120

5.5. Analisis Dampak Investasi ... 126

5.6. Simulasi Kebijakan ... 127

5.7. Asumsi Analisis ... 129

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN BERDASARKAN KAJIAN NERACA SOSIAL EKONOMI ... 131

6.1. Struktur Perekonomian ... 131


(19)

xv

6.3. Distribusi Dampak Multiplier Rumahtangga dan Produksi ... 152

6.4. Dekomposisi Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Jambi ... 157

6.5. Analisis Jalur Dasar Sektor Berbasis Kehutanan ... 169

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI ………. 183

7.1. Distribusi Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 186

7.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Institusi Lainnya ... 200

7.3. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 205

7.4. Distribusi Pendapatan Sektoral ... 217

7.5. Pilihan Alternatif Investasi ... 224

VIII. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN ………. 228

8.1. Simpulan ... 228

8.2. Implikasi Kebijakan ... 231

8.1. Saran Penelitian Lanjutan ... 234

DAFTAR PUSTAKA ... 235


(20)

xvi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Provinsi Jambi ... 74

2. Status Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Tahun 2005 ... 75

3. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2005 ... 75

4. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 1995-1999 ... 76

5. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Tahun Usaha 2000-2005 ... 76

6. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 menurut Lapangan Usaha ... 77

7. Poduk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha ... 78

8. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2000-2005 ... 80

9. Hubungan Peranan Sektor dengan Laju Pertumbuhan Tahun 2005 ... 82

10. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 1996-2005 ... 83

11. Produk Domestik Regional Bruto dan Pendapatan Regional Perkapita Provinsi Jambi Tahun 2002-2003 ... 91

12. Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Provinsi Jambi ... 93

13. Perkembangan HPH di Provinsi Jambi ... 97

14. Perkembangan Produksi Komoditi Kehutanan Provinsi Jambi ... 98

15. Perkembangan Jumlah HTI di Provinsi Jambi ... 99

16. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi dan Kontribusi Sektor Kehutanan (harga konstan 1993) ... 101

17. Struktur Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005 ... 132


(21)

xvii

18. Struktur Tenaga Kerja Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 135

19. Struktur Ekspor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial

Ekonmi Tahun 2005 ... 136

20. Struktur Impor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial

Ekonomi Tahun 2005 ... 138

21. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainnya yang Terkait di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 142

22. Peranan Sektor Berbasis Kehutanan dan Non Kehutanan terhadap

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 150

23. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap

Institusi Rumahtangga di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 154

24. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap

Sektor-Sektor Produksi di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 158

25. Dekomposisi Multiplier Sektor Berbasis Kehutanan Provinsi Jambi ... 159

26. Konstribusi Own, Open Loop dan Closed Loop Effect terhadap

Gross Output Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan ... 166

27. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu HTI ke Rumahtangga ... 170

28. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total Pendapatan Faktor-Faktor Produksi di Provinsi Jambi ... 191

29. Persentase Penambahan Pendapatan Faktor Produksi Terhadap Total

Injeksi ... 194

30. Jumlah Pertambahan Tenaga Kerja menurut Simulasi Kebijakan dan

Berdasarkan Kelompok Lapangan Usaha Utama ... 197

31. Efisiensi Penciptaan Lapangan Kerja Atas Dasar Nilai Investasi Menurut Simulasi Kebijakan dan Kelompok Lapangan

Usaha Utama ... 198

32. Kesenjangan Pendapatan Faktor Produksi Tenaga Kerja dan Modal ... 199

33. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total

Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 203


(22)

xviii

Investasi Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 204

35. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 207

36. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kahutanan Terhadap

Pendapatan Sektor-sektor Produksi di Provinsi Jambi ... 219

37. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan Terhadap Pertambahan Pendapatan Sektor-sektor Produksi per Satuan

Investasi ... 221


(23)

xix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pohon Industri Pulp dan Kertas ... 26

2. Pohon Industri Hasil Hutan... 27

3. The Keynesian Cross ... 31 4. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus

Tabungan terhadap Investasi ... 36

5. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus

Tabungan Masyarakat yang Meningkat ... 36

6. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Jumlah

Angkatan Kerja Berkurang ... 37

7. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 44

8. Kerangka Pemikiran ... 71 9. Peta Provinsi Jambi ... 72

10. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Dengan Migas ... 79

11. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Tanpa Migas ... 79 12. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2004 ... 81

13. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Tahun 1996-2004 ... 84

14. Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian Tahun 1996-2004 ... 86

15. Laju Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas

dan Air Bersih, Sektor Bangunan Tahun 1996-2004 ... 88

16. Laju Pertumbuhan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor

Pengankutan dan Komunikasi Tahun 1996-2004 ... 89

17. Laju Pertumbuhan Sektor Keuangan dan Jasa-jasa Tahun 1996-2004 ... 90

18. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku ... 91


(24)

xx

19. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan 1993 ... 92

20. Peta Tata Guna Hutan (TGHK) Provinsi Jambi ... 93

21. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Jambi ... 94

22. Peta Vegetasi Provinsi Jambi (1998) ... 95 23. Peta Penyebaran Industri Primer di Jambi ... 102

24. Transaksi Antarblok dalam SNSE ... 109

25. Struktur Pengganda ... 117 26. Jalur Dasar ... 123

27. Sirkuit ... 123

28. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan

Sektor-Sektor Lainnya yang Terkait ... 143

29. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Buruh

Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 173

30. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Pengusaha Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 174

31. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Buruh Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 175

32. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 176

33. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 177

34. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 179

35. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga di Jambi Berdasarkan Jalur Dasar yang Mempunyai Pengaruh Total


(25)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 246

2. Matrik Koefisien Input Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 248

3. Matrik Angka Pengganda SNSE Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 249

4. Simulasi Kebijakan Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan ... 250

5. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu Rimba ke Rumahtangga ... 251

6. Analisis Jalur Struktural Sektor Hasil Hutan Lainnya ke

Rumahtangga ... 254

7. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri Penggergajian

dan Pengolahan Kayu ke Rumahtangga ... 257

8. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lapis dan

Sejenisnya ke Rumahtangga ... 260

9. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lainnya

ke Rumahtangga ... 262

10. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Pulp


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor kehutanan selama hampir tiga dekade (1970-an sampai awal 2000-an) menjadi salah satu sektor andalan dalam perekonomian nasional. Dalam kurun waktu tersebut kontribusi sektor kehutanan dalam Produk Domestik Bruto dan ekspor sangat signifikan bahkan menjadi motor penggerak pembangunan nasional terutama dalam membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah terpencil di luar Jawa. Sektor kehutanan didukung oleh kawasan hutan dengan luas 120.35 juta hektar terdiri dari Hutan Konservasi (TN, HSAW) 23.24 juta hektar, Hutan Lindung (HL) 29.10 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 16.21 juta hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 27.74 hektar dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) 13.67 juta hektar (Dephut, 2005).

Dalam satu dekade terakhir kontribusi sektor kehutanan tersebut terus merosot. Pada tahun 1993 kontribusi sektor kehutanan masih sebesar US$ 16.0 milyar atau 3.5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2003 tinggal US$ 13.24 milyar atau 2.4 persen PDB. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan baik legal (direncanakan dan berijin) maupun ilegal (perambahan kawasan hutan), kebakaran hutan dll. Akibat kondisi tersebut timbul berbagai masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan (Dephut, 2005).

Mengantisipasi kondisi di atas Departemen Kehutanan (2005) telah melakukan penelitian dan inventarisasi kelemahan, ancaman, kekuatan dan


(27)

2

peluang sektor kehutanan nasional sebagai salah satu dasar menentukan kebijakan pembangunan kehutanan.

Kelemahan sektor kehutanan antara lain kelembagaan dan kemampuan mengelola hutan sebagian besar masih lemah, sebagian besar industri kehutanan belum kompetitif dengan arah pengembangan yang belum jelas, distribusi manfaat kehutanan kurang berkeadilan, IPTEK kurang selaras, pemanfaatan SDM profesional belum optimal, terbatasnya sarana prasarana pembangunan kehutanan, peran serta masyarakat masih rendah.

Ancaman terhadap sektor kehutanan antara lain pencurian dan perdagangan liar hasil hutan (kayu dan non kayu), kebakaran hutan, kemantapan kawasan hutan belum tuntas, masyarakat sekitar hutan pada umumnya miskin, kebutuhan lahan non kehutanan tinggi dan terus berkembang, kebijakan investasi di sektor kehutanan kurang menarik.

Peluang sektor kehutanan antara lain potensi pemanfaatan sumberdaya hutan besar, permintaan pasar terhadap hasil hutan, ketergantungan terhadap sumberdaya hutan tinggi, dukungan internasional untuk pengelolaan sumberdaya hutan lestari, komitmen dalam negeri untuk penyelenggaraan kehutanan.

Sedangkan kekuatan sektor kehutanan antara lain peraturan perundang-undangan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya hutan (UU No. 41/1999, UU No. 32/2004, PP No. 6 tahun 2007 dan lain-lain), ketersediaan SDM dan sumberdaya hutan, hasil pembangunan kehutanan selama ini untuk modal pembangunan kehutanan ke depan.

Disamping itu, di masyarakat umum termasuk Non-Government


(28)

3

pengolahan hasil hutan dan pembangunan HTI dengan alasan mengancam hutan produksi alam. NGO dan masyarakat tertentu menghendaki hutan alam Indonesia dipertahankan tetap sebagai hutan alam bahkan mengusulkan mengubah status hutan produksi menjadi hutan lindung atau hutan konservasi. Padahal sesuai fungsinya hutan telah ditetapkan dengan undang-undang apakah sebagai hutan produksi (budidaya) atau untuk hutan lindung atau hutan konservasi.

Dilain pihak, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kebutuhan global atas produk-produk kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian, moulding, furniture dan bubur kertas terus meningkat. Pada tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari

tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006). Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000 mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun (Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26 kg/kapita/tahun dibandingkan Malaysia yang sudah diatas 100 kg/kapita/tahun (APKI, 2009). Apabila konsumsi kertas domestik tumbuh 10 persen per tahun dan dengan penduduk hampir 250 juta jiwa, maka untuk memenuhi tambahan konsumsi setiap tahun harus didirikan pabrik kertas baru dengan kapasitas 500 ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka akan ditangkap produsen lain dan Indonesia kemudian untuk selamanya akan menjadi importir kertas.


(29)

4

Untuk itu, mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam mendukung kehidupan manusia dan sesuai amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta dengan memperhatikan potensi pasar produk-produk hasil hutan di pasar dunia dan domestik, maka pemerintah telah membuat kebijakan penyelenggaraan kehutanan untuk menjamin kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Program pemerintah di sektor kehutanan tahun 2004-2009 antara lain dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VIII/2004 tentang Lima Program Prioritas Bidang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara atau Lembaga Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Salah satu dari lima program prioritas tersebut adalah revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali peran ekonomi kehutanan.

Untuk lebih menjamin percepatan pembangunan kehutanan khususnya pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari program revitalisasi sektor kehutanan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang kemudian dijabarkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 3 Tahun 2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman.

Pada level regional provinsi Jambi dalam kurun yang sama bahkan dapat dikatakan hampir empat dasawarsa terakhir, hutan dan hasil hutan telah dijadikan sumber penggerak pembangunan provinsi Jambi. Dengan kata lain sektor


(30)

5

kehutanan telah dijadikan sektor andalan dalam perekonomian provinsi Jambi. Namun demikian, walaupun menjadi sektor andalan, tetapi dalam 10 tahun terakhir kontribusi sektor kehutanan menunjukkan kecenderungan terus merosot. Pada tahun 1997 sektor kehutanan memberikan kontribusi sebesar 19.11 persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Jambi masing-masing 5.06 persen dari sub sektor hutan dan 14.05 persen dari sub sektor industri pengolahan hasil hutan. Kontribusi tersebut kemudian menurun menjadi 15.88 persen pada tahun 2000 dan terus merosot menjadi 10.02 persen pada tahun 2005 (Jambi Dalam Angka tahun 1997, 2000 dan 2005).

Dilain pihak sektor kehutanan provinsi Jambi merupakan sektor yang ternyata didukung sumberdaya yang relatif sangat besar, antara lain berupa kawasan hutan seluas 2 148 950 hektar (terdiri dari hutan produksi 1 278 700 hektar, hutan lindung 191 130 hektar dan hutan suaka dan wisata 679 120 hektar) yang merupakan 40.21 persen luas wilayah daratan provinsi Jambi. Dari Jambi Dalam Angka, dapat diketahui bahwa industri hasil hutan provinsi Jambi yang terdiri atas lebih dari 82 perusahaan (tahun 2001) merupakan 63.07 persen jumlah perusahaan kelompok industri besar dan menengah yang ada di provinsi Jambi. Industri hasil hutan tersebut mempekerjakan secara langsung tidak kurang dari 23 297 orang atau 74.5 persen total tenaga kerja pada industri besar dan menengah yang ada. Sementara itu 45 unit industri kehutanan mempekerjakan 15 514 orang atau 65.35 persen tenaga kerja industri di provinsi Jambi tahun 2005.

Kemerosotan kontribusi sektor kehutanan tersebut antara lain dipicu oleh menurunnya kemampuan hutan menghasilkan kayu bulat yang merupakan antara lain akibat : (1) tidak terkendalinya pemanfaatan hasil hutan kayu (penebangan


(31)

6

melebihi kuota, penebangan liar dan lain-lain), (2) pengalihan penggunaan lahan hutan untuk kegiatan non kehutanan yang telah direncanakan seperti: perkebunan, transmigrasi, pertambangan, dan (3) maraknya perambahan dan pengalihan fungsi areal hutan (kawasan hutan) oleh masyarakat untuk mendapat manfaat ekonomi langsung yang lebih besar. Pendudukan dan pengalihan fungsi areal hutan banyak terjadi setelah (1) pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) membangun jaringan jalan dalam rangka pemanfaatan hasil hutan, (2) ketika pemerintah membangun jaringan infrastruktur atau jalan yang membelah kawasan hutan dalam rangka membuka isolasi daerah, dan (3) ketika izin HPH berakhir dan pemerintah belum dapat menunjuk pengelola definitif bekas areal kerja HPH tersebut. Dengan menduduki kawasan hutan dan mengalihkan menjadi areal perkebunan atau budidaya pertanian lainnya. masyarakat dapat menguasai lahan dan mengharap dapat memetik manfaat yang lebih besar daripada ketika areal tersebut berupa hutan dengan status kawasan hutan.

Sementara itu, dalam banyak hal sektor kehutanan menghadapi banyak masalah menyangkut informasi termasuk diantaranya informasi mengenai kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian daerah maupun nasional. Dalam statistik provinsi Jambi yang diketahui oleh publik hanyalah kontribusi sektor kehutanan (hasil hutan) pada PDRB Jambi yang kebetulan makin lama makin merosot tidak saja dalam nilainya tetapi juga merosot dalam volume yang dihasilkan. Publik tidak pernah melihat bagaimana kontribusi sektor kehutanan dalam menyediakan infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan listrik, penyedian sarana-prasarana air bersih, penyediaan bangunan sekolah, sarana ibadah,


(32)

7

penyediaan pelabuhan dan pasar-pasar tradisional di pelosok-pelosok yang belum terjangkau fasilitas publik yang dibangun pemerintah dan kegiatan sektor lain. Sektor kehutanan juga menyediakan kesempatan kerja baik langsung maupun tidak langsung dan kesempatan berusaha bagi masyarakat di pelosok-pelosok dimana sektor lain belum masuk. Tidak juga bisa diabaikan bagaimana sektor kehutanan provinsi Jambi mendorong atau menyediakan input untuk kegiatan sektor lain atau industri di provinsi lain. Kendala dan keterbatasan informasi ini telah dan terus akan menciptakan pandangan yang kurang tepat terhadap sektor kehutanan (sumberdaya hutan), sehingga baik masyarakat dunia usaha dan pemerintah bisa saja salah dalam memperlakukan sumberdaya hutan.

1.2. Perumusan Masalah

Sektor berbasis kehutanan (hutan dan industri pengolahan hasil hutan) di provinsi Jambi sebagaimana sektor kehutanan pada tingkat nasional pernah menjadi sektor andalan dalam perekonomian nasional dan kemudian mengalami kemerosotan akibat kerusakan hutan (deforestasi), degradasi hutan, kebakaran hutan dan lahan, industri pengolahan hasil hutan yang tidak efisien dan lain-lain.

Dengan luas kawasan hutan yang lebih dari 40 persen luas wilayah provinsi Jambi dan dengan informasi kontribusi standar sebagaimana dilansir secara periodik oleh Badan Pusat Statistik, yang kebetulan nilainya terus merosot bahkan dilaporkan kurang 15 persen dalam perekonomian provinsi Jambi, masyarakat akan menganggap hutan dan kawasan hutan tidak penting dan akan mengalihkan kawasan hutan untuk kepentingan lain secara serampangan untuk penggunaan lain. Padahal eksistensi hutan dan kawasannya sangat diperlukan oleh masyarakat, sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan.


(33)

8

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis dan pengungkapan yang lebih detil dan fokus dengan metode yang lebih komprehensif dan lengkap yang mampu menunjukkan apa saja, seberapa besar dan kepada siapa peran sektor kehutanan provinsi Jambi dapat diberikan dan dapat ditingkatkan.

Untuk mengembalikan peran dan kontribusi sektor kehutanan propvinsi Jambi, sesuai program prioritas sektor kehutanan nasional ditempuh dengan mengimplementasikan program revitalisasi sektor kehutanan. Program revitalisasi sektor kehutanan akan dilaksanakan dalam bentuk investasi untuk: 1). Membangun atau memperluas Hutan Tanaman (HTI) termasuk di dalamnya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dimana HTI adalah hutan tanaman yang hak atau izinnya diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha seperti perusahaan swasta, BUMN dan koperasi, sedangkan HTR adalah hutan tanaman yang hak/izinnya diberikan pemerintah kepada masyarakat perdesaan secara perorangan. 2). Perluasan atau pembangunan industri pulp untuk mengolah hasil hutan kayu dari HTI maupun HTR agar diperoleh nilai tambah yang lebih besar, 3). Perluasan atau pembangunan industri kertas tulis cetak dan atau kertas tisu yang mampu mengolah sebagian pulp yang dihasilkan untuk memperoleh nilai tambah, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat, d). perluasan atau pembangunan industri pengolahan kayu lapis dan sejenisnya seperti MDF

(Medium Density Fibreboard) yang mampu memproduksi produk dengan lebih

efisien.

Tambunan (2005) menyampaikan bahwa industri kehutanan khususnya industri kayu lapis (yang mengandalkan bahan baku kayu dari hutan alam di luar pulau Jawa) tidak mengakar dan tidak mampu menghidupkan ekonomi lokal.


(34)

9

Sumbangan sektor kehutanan yang cukup tinggi secara agregat di daerah, ternyata belum berhasil mengangkat masyarakat penduduk sekitar hutan dari kemiskinan.

Oleh sebab itu upaya revitalisasi sektor kehutanan yang berusaha membangkitkan peran sektor kehutanan dalam perekonomian dengan membangun dan membangkitkan industri hasil hutan yang berbasis HTI (termasuk HTR), dimana HTI memerlukan pengelolaan yang lebih intensif dan padat karya, sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kelemahan industri kehutanan berbasis hutan alam di masa sebelum ini.

Pembangunan HTI dan industri hilirnya tentu perlu alokasi sumberdaya yang besar baik finansial maupun lahannya, Sementara itu secara ekonomis ketersediaan sumberdaya finansial dan lahan tersebut terbatas. Oleh karena itu pemilihan kombinasi pembangunan yang mampu memberikan manfaat maksimal dan efisien menjadi sangat penting.

Dari uraian diatas, secara ringkas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1). Seberapa besar peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga?

2). Seberapa besar dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dalam bentuk investasi untuk pembangunan HTI, industri pulp, industri kertas, industri MDF baik secara parsial maupun terintegrasi terhadap perekonomian provinsi Jambi khususnya dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan rumahtangga,


(35)

10

kesenjangan antar rumahtangga serta pilihan investasi mana yang paling efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1). Menganalisis peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi, khususnya terhadap kenaikan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga.

2). Menganalisis dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis kehutanan yang diwujudkan dalam investasi untuk pembangunan atau perluasan hutan tanaman, industri pulp serta industri kertas dan industri MDF baik secara terpisah maupun terintegrasi dalam perekonomian provinsi Jambi terutama dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan rumahtangga dan kesenjangan antar rumahtangga serta menganalisis pilihan kombinasi investasi yang manfaatnya paling besar dan efisien.

3). Merumuskan implikasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam upaya merevitalisasi sektor berbasis kehutanan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kebijakan pemerintah di bidang kehutanan khususnya dalam pelaksanaan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dan dampaknya pada perekonomian provinsi Jambi seperti perubahan nilai tambah, kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan di


(36)

11

provinsi Jambi, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lain. Analisis ini tidak menjangkau bagaimana teknis usaha tersebut dilakukan, tetapi hanya dibatasi pada pengaruh atau dampak kegiatan revitalisasi sektor kehutanan terhadap perubahan nilai tambah, kesempatan kerja, pertambahan pendapatan masyarakat, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lainnya di provinsi Jambi.

Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) perekonomian provinsi Jambi. Semua besaran variabel yang terkait analisis ditransformasikan ke dalam nilai uang dalam hal ini rupiah dengan patokan harga yang berlaku di tingkat produsen.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan masyarakat dengan adanya kebijakan baru dalam sektor kehutanan khususnya revitalisasi sektor berbasis kehutanan. Selain itu penelitian ini juga akan memberikan pilihan skenario kebijakan guna mempertahankan dan meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada perekonomian provinsi Jambi, serta kesejahteraan masyarakat dengan tetap melestarikan dan mempertahankan fungsi dan keberadaan hutan di provinsi Jambi.

Penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui model Input-Output (I-O) provinsi Jambi tahun 1998 dengan melakukan agregasi pada sektor-sektor non kehutanan dan mendisagregasi sektor-sektor kehutanan serta menyusun SNSE provinsi Jambi berdasarkan data terbaru yang memungkinkan (2005) yang nantinya akan bermanfaat bagi berbagai pihak dalam membangun perekonomian regional provinsi Jambi.


(37)

12

Berdasarkan berbagai kesimpulan hasil simulasi yang dibuat, akan disusun rekomendasi implikasi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan mendorong industri kehutanan serta industri lain yang terkait.


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan

Selama dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, kehutanan Indonesia hanya melayani kebutuhan kayu untuk konstruksi, mebel dan kayu bakar. Pada tahun 1967 ketika dibuka kesempatan investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam berbagai sektor termasuk sektor kehutanan produksi kayu log dilaporkan sekitar 3.3 juta m3. Pada tahun

1979 pembangunan industri pengolahan kayu oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) telah mencapai 1 011 unit sawmill (penggergajian kayu) dengan produksi 1.71 juta m3 Kayu Gergajian (KGG), 11 unit plywood mill

(industri kayu lapis) dengan produksi 42 000 m3 kayu lapis, satu unit pabrik

fibreboard dengan produksi 1 000 ton serta industri wood working dengan produksi 180 ribu m3

Pada tahun 1988 produksi kayu bulat mencapai 32 juta m

. Pada tahun 1980-an industri pengolahan kayu mengalami kemajuan yang sangat pesat, seiring larangan ekspor kayu bulat yang secara penuh diberlakukan pada tahun 1985. Pada tahun 1987 tercatat industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan kertas berturut-turut menyumbangkan perolehan devisa sebesar 56 persen, 21 persen dan 10 persen dari total devisa ekpor hasil hutan. Devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1989 mencapai US$ 4 juta. (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).

3

(naik dari 2 juta m3 pada tahun 1962) dengan 96 persen diantaranya berasal dari hutan alam (luar

pulau Jawa). Pada saat yang sama tercatat jumlah pabrik pengolahan hasil hutan sebagai berikut 2 700 unit industri penggergajian kayu dengan kapasitas 17 juta


(39)

14

m3 per tahun, 110 unit industri kayu lapis dengan kapasitas 7 juta m3 per tahun, 54

unit industri block board dengan kapasitas 0.7 juta m3 per tahun, 7 unit industri

particle board dengan kapasitas 0.3 juta m3 per tahun, 38 unit industri pulp

dengan kapasitas 1.4 juta ton pulp per tahun serta 8 ribu unit industri kayu sekunder. Kapasitas produksi industri-industri tersebut adalah 9.8 juta m3 KGG,

8.2 juta m3

Pada tahun 1999-2000 industri pengolahan hasil hutan kayu meliputi 4 400 unit industri penggergajian kayu, 120 unit industri kayu lapis, 39 unit industri particle board, 102 unit industri block board, 13 unit industri serpih kayu, 2 unit MDF, 82 unit industri pulp dan kertas, serta sejumlah besar industri pengolahan kayu sekunder. Kapasitas industri tersebut mencapai masing-masing 19 juta m

panel kayu, 936 ribu ton kertas.

3

per tahun KGG, 11.1 juta m3

Departemen Kehutanan dan ITTO (2001) menyatakan kemampuan pasokan bahan baku kayu sekitar 50 juta m

per tahun kayu lapis, 5.23 juta ton pulp per tahun dan 9.12 juta ton kertas per tahun. Nilai total aset industri pengolahan kayu hasil hutan tersebut pada tahun 2001 diperkirakan mencapai US$ 27.8 milyar dengan tidak kurang dari 4 juta orang tenaga kerja dan mendukung kehidupan 16 juta orang (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).

3

per tahun, dilain pihak kebutuhan industri diperkirakan mencapai 72 juta m3 per tahun dengan rincian: industri

penggergajian kayu yang memiliki izin 22 juta m3 per tahun, industri

penggergajian kayu tanpa izin 8 juta m3 per tahun, industri kayu lapis 18 juta m3

per tahun dan industri pulp 24 juta m3. Dengan demikian terjadi kesenjangan

antara kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku yang mengakibatkan tekanan kepada hutan sebagai sumber penghasil kayu.


(40)

15

Departemen Kehutanan (2006) menyampaikan kondisi umum Kehutanan sampai dengan tahun 2004. Kondisi sumberdaya hutan antara lain disebutkan (1) Indonesia termasuk kedalam negara ynag memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dalam flora dan fauna. Terdapat 515 jenis mamalia (12 persen mamalia dunia), 511 jenis reptil (7.3 persen reptil dunia), 1 531 jenis burung (17 persen burung dunia), 38 ribu jenis tumbuhan dan lain-lain. Namun populasi dan distribusi kekayaan hayati tersebut terus merosot bahkan sebagian diantaranya terancam punah akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang kurang bijaksana, perubahan peruntukan kawasan hutan, bencana alam, kebakaran hutan, degradasi hutan dan lain-lain, (2) secara sosial pada tahun 2003 di dalam dan di sekitar hutan berdiam 48.8 juta jiwa dan 10.2 juta diantaranya miskin. Ada sekitar 6 juta jiwa bermata pencaharian langsung dari hutan, 3.4 juta diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan tersebut pada umumnya rendah pendidikannya, rendah fasilitas kesehatannya, terbatas infrastruktur perhubungan, komunikasi, listrik maupun air bersihnya, dan (3) secara ekonomi kontribusi sektor kehutanan sejak tahun 1993 terus merosot. Pada tahun 1993 mencapai 3.5 persen PDB, maka tahun 2003 merosot menjadi 2.4 persen PDB. Produk ekspor kehutanan telah bergeser dari dominan kayu lapis kepada pulp dan kertas. Disamping penyusutan jumlah HPH dan produksi kayu hutan alam berganti dengan pembangunan dan produksi kayu hutan tanaman.

Sektor kehutanan menghadapi kondisi lingkungan strategis sebagai berikut : (1) Desentralisasi kehutanan, sesuai UU No. 32 tahun 1999 tentang otonomi daerah, sebagian besar urusan kehutanan kecuali antara lain mengenai penunjukkan dan pengaturan kawasan hutan telah didesentralisasikan ke


(41)

16

pemerintah kabupaten/kota. Dilain pihak masih ada kendala SDM di daerah untuk melaksanakan dengan optimal desentralisasi tersebut. Ada kendala komunikasi antara pusat dan daerah dalam implementasi program sektor, (2) Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk berkreasi dalam memperoleh tambahan dana dengan menentukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari berbagai pungutan hasil pembangunan sektoral termasuk kehutanan. Daerah yang memandang hutan sebagai sumberdaya pembangunan akan mendorong pemanfaatan hutan sebesar-besarnya untuk meningkatan PAD, DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan, (3) Deregulasi kehutanan yang harus mendukung tercapainya tiga strategi pembangunan kabinet Indonesia bersatu yaitu pertumbuhan ekonomi 6.6 persen pertahun, pembangunan sektor riil dan revitalisasi sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Banyak peraturan dan perundang-undangan yang dinilai birokratif dan menghambat harus disederhanakan, dan (4) komitmen global yang mengharuskan pembangunan sektor kehutanan tidak bisa melepaskan diri dari perhatian, komitmen dan peran serta pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional. Indonesia harus mematuhi prinsip pembangunan kehutanan (Forest Principles) yang disepakati pada KTT Bumi 1992, konvensi keanekaragaman hayati, konvensi tentang degradasi lahan, Protokol Kyoto, konvensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar (CITES) dan lain-lain.

Sektor kehutanan juga menghadapi isu strategis sebagai berikut: (1) Ketataprajaan yang baik, yakni pembangunan kehutanan harus dilakukan dengan baik bebas dari korupsi tetapi efisien, transparan dan partisipatif dalam membuat


(42)

17

program dan konsisten dalam melaksanakan kebijakan, (2) Isu tenurial yang memunculkan konflik mengenai hak lahan kawasan hutan. UU No. 41 tahun 1999 mengamanatkan agar kawasan ditunjuk dan ditetapkan pemerintah yang hak dan pengelolaannya berada ditangan negara dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun demikian undang-undang tersebut juga memberikan dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di kawasan hutan dan diakui keberadaannya sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Sementara sebagian besar masyarakat adat tidak memiliki data memadai untuk menyelesaikan kasus tenurial seperti ini, (3) Tataruang sering menjadi masalah karena pembangunan nasional memerlukan dukungan pemenuhan kebutuhan lahan untuk ekspansi pembangunan pertanian, perkotaan, pemukiman, perhubungan, pertambangan dan lain-lain, yang seringkali dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan. Ketidakpastian tata ruang di kabupaten dan provinsi berimplikasi pada kepastian alokasi lahan dan menghambat upaya pemerintah untuk optimalisasi fungsi hutan. Pemekaran daerah dalam banyak kasus sering mempersulit penetapan tata ruang, (4) Pengelolaan hutan telah dimulai sejak zaman Belanda dengan prinsip pengelolaan hutan lestari melalui berbagai sistem yang beberapa kali disempurnakan seperti TPI (Tebang Pilih Indonesia), TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Namun demikian sistem tersebut tidak secara utuh diterapkan oleh para pelaksana, sehingga secara perlahan telah menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Oleh karena itu pada akhir tahun 1980-an diperkenalkan sistem pengelolaan hutan dengan pola hutan tanaman yang lebih dikenal dengan hutan tanamn industri (HTI). Produksi kayu hutan alam terus merosot dan HTI terus


(43)

18

didorong dan dipercepat pembangunannya, (5) Industri kehutanan yang berkembang pesat sejak tahun 1980 dalam bentuk industri kayu gergajian, kayu lapis dan panel yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam. Industri ini mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1990-an dan kemudian sejalan merosotnya pasokan kayu hutan alam ketiga jenis industri tersebut menurun dan secara bertahap diganti perannya oleh industri bubur kertas, kertas, paper board, panel, kayu gergajian yang menggunakan bahan baku dari hutan tanaman, (6) Terdapat kawasan hutan seluas lebih 59 juta hektar terdegradasi akibat berbagai sebab. Oleh karena itu program rehabilitasi melalui HTI dan atau reboisasi diharapkan menjadi salah satu solusi dan (7) Isu kemiskinan menjadi salah satu beban sektor kehutanan. Degradasi hutan dan ekosistemnya berdampak kepada kemampuan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi semakin miskin. Apalagi pemerintah juga menghadapi keterbatasan kemampuan untuk menjangkau wilayah tersebut untuk membangun infrastrukur kesehatan, sekolah, perhubungan, pasar dan lain-lain.

Sektor kehutanan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai berikut (1) Indonesia memiliki kawasan hutan yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan dengan luas 120.35 juta hektar terdiri dari 23.24 juta hektar Hutan Konservasi (TN, HSAW), 29.10 juta hektar Hutan Lindung (HL), 16.21 juta hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 27.74 juta hektar Hutan Produksi Tetap (HP) dan 13.67 juta hektar Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK) yang berpotensi diberdayakan, dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing, (2) Kekayaan sumberdaya alam hayati yang begitu besar sehingga saat ini baru sebagian kecil yang sudah dapat dimanfaatkan secara


(44)

19

komersial, sedangkan sisanya harus dikembangkan secara komersial dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, (3) Perkembangan permintaan produk-produk hasil hutan sangat menjanjikan. Tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari

tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006). Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000 mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun (Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26 kg/kapita/tahun dibandingkan Singapura yang sudah diatas 100 kg/kapita/th (APKI, 2008). Apabila konsumsi kertas tumbuh 10 persen per tahun dan dengan penduduk hampir 250 juta jiwa, maka setiap tahun harus mendirikan pabrik kertas dengan kapasitas 500 ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka akan ditangkap produsen lain dan untuk kemudian untuk selamanya akan menjadi importir kertas, (4) Clean Development Mechanism (CDM) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan bagi rehabilitasi kawasan hutan seluas 59.17 juta hektar yang terdegradasi, (5) Jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu, masih banyak sekali yang belum dimanfaatkan secara komersial. Ke depan pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat perdesaan akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sekaligus memberdayakan dan mensejahterakan mereka secara ekonomi.


(45)

20

Tambunan (2005) menyatakan bahwa kebijakan sektor kehutanan dapat dibedakan menjadi empat episode. Pada akhir tahun 1960-an, episode pertama dimulai dan ditandai dengan terbitnya UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 6 tahun 1968 dan merupakan awal ekploitasi hutan Indonesia didukung penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing dalam pengusahaan hutan dan pergeseran eksploitasi hutan dari pulau Jawa (hutan tanaman) ke luar Jawa (hutan alam). Episode ke dua dimulai tahun 1970-an ditandai dengan penataan sistem dan mekanisme eksploitasi hutan melalui penerapan tata cara pemanenan, penetapan kawasan hutan, rencana karya pengusahaan hutan, sistem silvikultur, yang dari sisi kebijakan terlihat adanya arah pemanfaatan hutan diselaraskan dengan arah perlindungan hutan menuju pemanfaatan hutan yang lestari.

Episode ke tiga dimulai tahun 1980-an merupakan episode industrialisasi hutan dan pengendalian rente hasil hutan, episode ini ditandai dengan introduksi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemungutan Dana Reboisasi (DR) dan Dana Jaminan Reboisasi Pengelolaan Hutan (DJRPH), pajak ekspor kayu serta Iuran Hasil Hutan (IHH). Episode ke empat dimulai tahun 1990-an dan dikenal sebagai episode integrasi baik dari sisi industri, pembangunan daerah dan pelibatan masyarakat lokal. Episode ini ditandai dengan pengenalan keterkaitan industri kehutanan hulu-hilir, penyertaan modal pemerintah, kerjasama operasi swasta dan pemerintah, HTI-Trans, alokasi pemasaran kayu untuk pasar lokal dan pelibatan masyarakat lokal dalam bentuk HPH Bina Desa.

Dengan kontribusi yang menurun dan kondisi sumberdaya hutan yang terancam serta mengacu studi yang dilakukan Departemen Kehutanan bersama ITTO (2001a,b,c,d,e), Departemen Kehutanan dalam Kabinet Gotong Royong


(46)

21

telah menetapkan lima program prioritas yaitu : (1) Pemberantasan penebangan liar (illegal logging), (2) Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, (3) Rehabilitasi hutan dan lahan, (4) Restrukturisasi industri kehutanan, dan (5) Penguatan desentralisasi bidang kehutanan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, program prioritas tersebut diteruskan dengan sedikit perubahan dengan 5 target sukses untuk program kerja lima tahun kedepan (2004-2009) yang meliputi : (1) Penanggulangan penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal, (2) Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali peran ekonomi kehutanan, (3) Rehabilitas dan konservasi sumberdaya hutan, (4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, (5) Pemantapan kawasan hutan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VIII/2004 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara atau Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Kebijakan Revitalisasi Kehutanan khususnya Industri Kehutanan adalah kebijakan yang dimaksudkan untuk (1) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh serta terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global, (2) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) Meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, dan (4) Pengelolaan hutan lestari yang mendukung pengembangan industri kehutanan.

Implementasi program revitalisasi tersebut dilakukan dengan (1) Memfasilitasi peningkatan kinerja industri kehutanan, (2) Mengupayakan


(47)

22

pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH), (3) Mengupayakan peningkatan produksi hasil hutan bukan kayu, (4) Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak termasuk Dana Reboisasi, (5) Memfasilitasi pembangunan HTI minimal 5 juta hektar, dan (6) Memfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar.

Secara lebih khusus dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintah tersebut adalah untuk mewujudkan kondisi ekonomi jangka menengah dimana (1) Kontribusi sektor kehutanan dalam PDB baik dari kayu ataupun bukan kayu dan jasa lingkungan meningkat secara proporsional dan bertahap, (2) Penyerapan tenaga kerja dibidang pemanfaatan hutan, pembangunan HTI, pengolahan hasil hutan, konservasi dan jasa lingkungan meningkat, (3) Pendapatan riil masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan meningkat, (4) Sektor kehutanan berperan nyata dalam pembangunan dan pengembangan wilayah, (5) Beraneka usaha kehutanan berskala kecil dan menengah mulai dari pemenuhan bahan baku sampai pemasaran dapat berjalan dan terjamin keberlanjutannya, dan (6) Industri kehutanan berskala besar, mulai dari pemanfaatan sampai pengolahan hasil hutan berkembang secara efisien, berkelanjutan dan berdayasaing tinggi yang didorong iklim usaha yang kondusif.

Ditjen Bina Produksi Kehutanan (2008) menjelaskan bahwa kebijakan revitalisasi sektor kehutanan secara nasional terkait dengan 3 agenda Triple Track Strategi Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu agenda pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan. Agenda pertumbuhan ekonomi (pro-growth) di bidang kehutanan ditujukan pada peningkatan ekspor


(48)

23

hasil hutan dan investasi baru kehutanan secara proporsional antara pengusaha besar, menengah dan kecil di sektor hulu maupun hilir. Agenda penyediaan lapangan kerja (pro-job) dimaksudkan untuk menggerakkan ekonomi di perkotaan (sektor riil) berupa industri perkayuan dalam rangka menyerap tenaga kerja. Adapun agenda penghapusan atau pengentasan kemiskinan (pro-poor) diarahkan pada pemberian akses dan pengakuan legal atas usaha pemanfaatan Hutan Produksi melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan sekitar hutan. Dalam implementasinya kerangka kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan mencakup sub sektor hulu (terkait bahan baku), sub sektor hilir (terkait industri) dan kebijakan penunjang.

Kebijakan sub sektor hulu kehutanan mencakup usaha pemanfaatan Hutan Produksi (dalam hal ini HPH pada hutan alam dan HTI untuk hutan tanaman) sebagai usaha pengembangan sumber bahan baku. Pemerintah mempercepat pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk HPH, HTI dan HTR pada areal-areal yang saat ini tidak ada pengelolaan atau pemanfaatan (open acces) seluas sekitar 20 juta hektar, termasuk di dalamnya bagi usaha restorasi ekosistem hutan produksi. Untuk jaminan berusaha diberikan selama 65 tahun sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun untuk hutan tanaman, Penanaman Modal Asing (PMA) berbadan hukum Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha. Kebijakan sub sektor hilir kehutanan diarahkan pada pemanfaatan tanaman dari hutan rakyat, HTI, peremajaan kebun dalam rangka outsourcing bahan baku sehingga ekonomi rakyat bergerak. Kebijakan pendukung untuk menunjang kelancaran kedua sub sektor (hulu dan hilir) mencakup fasilitas pembiayaan, peningkatan mutu


(49)

24

pelayanan, penguatan kelembagaan pelaku usaha kehutanan dan fasilitas ke pasar hasil hutan.

Dalam revitalisasi sektor kehutanan pemerintah bermaksud (1) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh dengan struktur industri pengolahan kayu yang efisien, berwawasan lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global, (2) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, dan (4) Mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk mendukung pengembangan industri kehutanan. Maksud tersebut antara lain akan diwujudkan dengan program : (1) peningkatan kinerja industri kehutanan, (2) pengelolaan hutan lestari untuk 200 unit HPH dan HTI, (3) peningkatan produksi hasil hutan non kayu, (4) optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) termasuk PSDH dan DR, (5) pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas minimal 5 juta hektar, dan (f) pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 2 juta hektar (Dephut, 2005).

Pembangunan suatu industri di suatu wilayah bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk pembangunan perekonomian suatu wilayah. Keberadaan industri kehutanan bersama industri-industri lain di provinsi Jambi telah memberikan andil kepada pertumbuhan perekonomian provinsi Jambi. Disamping itu pengalaman pembangunan selama hampir empat dasawarsa menyadarkan kita bahwa pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan ekonomi membawa dampak pada tumbuhnya kesenjangan, baik antarsektor perekonomian, antarwilayah maupun kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah antara lain bisa diukur dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta pendapatan per kapitannya. Semakin tinggi pertumbuhan sering diinterpretasikan


(50)

25

dengan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi. Pernyataan tersebut tidak salah apabila hasil pertumbuhan ekonomi tersebut dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Fakta yang sering dihadapi adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pendistribusian hasil pembangunan secara baik dan merata. Mekanisme trickle down effect yang diharapkan sering tidak dapat bekerja.

Dilain pihak, ketika masyarakat di suatu wilayah tidak menikmati manfaat sumberdaya alam dan lahan yang ada disekitar mereka, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mereka terus berkembang dan dengan tingkat penegakan hukum yang ada seperti dewasa ini, maka masyarakat akan mengambil alih penguasaan sumberdaya tersebut dan mengalihkan kepada pemanfaatan oleh masyarakat yang mereka yakini akan memberikan manfaat ekonomi.

Dari pohon industri hasil hutan (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2000) sebagaimana tertera pada Gambar 1 dan Gambar 2, dapat diketahui bahwa sesungguhnya masih terdapat industri hilir kehutanan yang masih mungkin dikembangkan dan memberikan nilai tambah lebih besar pada provinsi Jambi. Industri hilir tersebut antara lain adalah industri pulp, kertas dan MDF.

2.2. Konsep dan Teori Pembangunan 2.2.1. Pembangunan Ekonomi

Todaro (2000) menyatakan dewasa ini terdapat lima teori pendekatan pembangunan ekonomi. Empat teori atau pemikiran pertama telah saling bersaing dan mendominasi kepustakaan pembangunan ekonomi dunia pasca Perang Dunia II yakni (1) model pertumbuhan bertahap linier (linear stages of growth models),


(51)

26


(52)

27


(53)

28

(2) kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change theories and patterns), (3) revolusi ketergantungan international (international

dependence revolution), dan (4) kontrarevolusi pasar bebas neoklasik

(neoclassical free market counterrevolution). Disamping itu dalam beberapa tahun terakhir ini muncul pemikiran baru yang kemudian berkembang menjadi pendekatan kelima. Pendekatan kelima tersebut populer dengan sebutan teori pertumbuhan ekonomi baru atau endogen (new or endogenous theory of economic growth).

Teori pertama yang menganggap pembangunan ekonomi adalah serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan dan akan dialami oleh setiap negara yang menjalankan pembangunan, sangat populer pada era tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1970-an teori pertama terdesak oleh teori kedua dan ketiga yang lebih berbau ideologis daripada ekonomis. Teori ketiga ini menekankan pada pentingnya kebijakan baru yang menghapuskan kemiskinan secara total, kesempatan kerja yang lebih bervariasi dan mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan.

Pada tahun 1980-an pembangunan banyak dipengaruhi pemikiran kontrarevolusi neoklasik (neoliberal) yang menekankan pentingnya peranan pasar bebas, perekonomian terbuka, swastanisasi perusahaan pemerintah atau negara. Dasar dari pemikiran ini adalah keterbelakangan negara-negara berkembang dan akibat banyaknya campur tangan dan regulasi pemerintah dalam perekonomian nasional. Pemikiran baru dalam pembangunan ekonomi muncul lagi di akhir 1980-an dan awal 1990-an.


(54)

29

Konsep ekonomi neoklasik berhasil ketika diterapkan untuk percepatan pembangunan di negara Jerman dan Israel, sebaliknya ternyata gagal untuk mendorong percepatan pembangunan di negara-negara sedang berkembang seperti: India, Philipina, Indonesia dan Srilanka. Marshal Plan sebagai wujud konsep ekonomi neoklasik yakni konsep pembangunan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan investasi kapital ternyata menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun diikuti dengan memburuknya tingkat distribusi pendapatan, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati hasil pembangunan. Oleh karena itu, kemudian disadari bahwa persoalan pembangunan di negara yang sedang berkembang tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendorong pertumbuhan, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan (Hadi, 2001).

Djojohadikusumo (1994) menyatakan bahwa secara mendasar pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi berhubungan dengan proses peningkatan produksi atas barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang lebih luas. Peningkatan produksi merupakan salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan ekonomi disamping ciri-ciri lain seperti perubahan pada komposisi produksi, perubahan tentang alokasi dan pola penggunaan sumberdaya produksi dalam sektor-sektor ekonomi, perubahan pola distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi dan perubahan dalam kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara


(55)

30

menyeluruh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam arti terbatas dapat berlangsung tanpa pembangunan ekonomi.

Teori pertumbuhan ekonomi terbagi dalam dua kubu yaitu kubu Neo Keynes yang dikenal dengan Teori Pertumbuhan Harrold-Domar dan kubu Neo Klasik, selanjutnya kedua kubu tersebut saling memperkaya teori pertumbuhan itu sendiri. Teori pertumbuhan Harrod-Domar mensyaratkan adanya intervensi pemerintah atau kebijakan untuk mencapai keseimbangan. Sedang Teori Neoklasik yang diwakili oleh Model Solow mensyaratkan tidak ada intervensi dan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar (pasar persaingan sempurna).

Pertumbuhan ekonomi paling tidak dipengaruhi oleh empat hal berikut: (1) investasi, (2) belanja pemerintah, (3) konsumsi rumahtangga, dan (4) perkembangan ekspor-impor. Dalam konteks makroekonomi keempat komponen tersebut dalam model ekonomi makro Keynes tidak saja akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga akan meningkatkan penawaran agregat melalui peningkatan kapasitas produksi. The General Theory of Keynes. Mankiw (2000) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, output atau income dalam suatu ekonomi ditentukan oleh pengeluaran konsumsi rumahtangga, perusahaan, pemerintah dan luar negeri yang kemudian disebut sebagai planned expenditure

(PE).

PE = Y = C + I + G + ( X – M ) ... (1) dimana:

Y = income, output

C = pengeluaran konsumsi rumahtangga I = investasi

G = pengeluaran konsumsi pemerintah X – M = ekspor – impor (net ekspor)


(1)

37, 47, 5, 18 0.003 1.479 0.005 7.5 15.7

37, 5, 19 0.126 0.002 1.370 0.003 2.2 2.2

37, 26, 5, 19 0.001 1.507 0.002 1.7 3.9

37, 27, 5, 19 0.004 1.372 0.006 4.8 8.7

37, 36, 5, 19 0.002 1.386 0.002 1.9 10.6

37, 38, 5, 19 0.001 1.373 0.001 1.1 11.7

37, 46, 5, 19 0.002 1.467 0.002 1.9 13.6

37, 47, 3, 19 0.002 1.458 0.003 2.6 16.3

37, 47, 5, 19 0.008 1.535 0.012 9.3 25.6

37, 47, 3, 20 0.085 0.004 1.439 0.006 6.8 6.8

37, 47, 5, 20 0.002 1.531 0.002 2.9 9.6

37, 5, 21 0.308 0.009 1.415 0.013 4.2 4.2

37, 26, 2, 21 0.001 1.450 0.001 0.5 4.7

37, 26, 5, 21 0.007 1.557 0.010 3.4 8.1

37, 27, 5, 21 0.020 1.417 0.028 9.2 17.3

37, 36, 5, 21 0.008 1.431 0.012 3.8 21.1

37, 38, 5, 21 0.005 1.418 0.007 2.2 23.3

37, 46, 2, 21 0.001 1.429 0.002 0.5 23.8

37, 46, 5, 21 0.008 1.515 0.011 3.7 27.5

37, 47, 2, 21 0.001 1.505 0.002 0.6 28.0

37, 47, 3, 21 0.014 1.513 0.021 6.9 34.9

37, 47, 5, 21 0.035 1.584 0.055 18.0 53.0


(2)

Lampiran 9. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-Industri Kayu Lainnya ke Rumahtangga

Path Global

Effect Direct Effect Path Mult Total Effect Global (%) Cum %

38, 5, 8 0.049 0.011 1.150 0.013 26.3 26.3

38, 5, 19, 8 0.002 1.315 0.002 4.4 30.6

38, 5, 21, 8 0.002 1.359 0.002 4.2 34.8

38, 36, 5, 8 0.001 1.163 0.002 3.2 38.0

38, 5, 9 0.165 0.050 1.374 0.068 41.3 41.3

38, 5, 13, 9 0.003 1.643 0.005 3.0 44.3

38, 5, 19, 9 0.006 1.516 0.009 5.7 50.0

38, 5, 21, 9 0.008 1.608 0.013 8.0 58.0

38, 36, 5, 9 0.006 1.390 0.008 5.0 63.0

38, 5, 10 0.084 0.011 1.322 0.014 17.0 17.0

38, 5, 9, 10 0.004 1.568 0.006 6.9 23.9

38, 5, 12, 10 0.001 1.515 0.002 2.3 26.1

38, 5, 13, 10 0.001 1.584 0.002 2.1 28.2

38, 5, 18, 10 0.001 1.437 0.002 1.8 30.1

38, 5, 19, 10 0.001 1.479 0.002 2.5 32.5

38, 5, 21, 10 0.003 1.551 0.005 6.3 38.9

38, 5, 24, 10 0.001 1.538 0.002 1.8 40.7

38, 36, 5, 10 0.001 1.337 0.002 2.0 42.7

38, 2, 11 0.106 0.002 1.140 0.002 2.0 2.0

38, 5, 11 0.017 1.250 0.021 19.9 21.8

38, 5, 9, 11 0.003 1.492 0.005 4.4 26.2

38, 5, 10, 11 0.001 1.431 0.002 1.6 27.8

38, 5, 12, 11 0.001 1.439 0.002 1.9 29.7

38, 5, 13, 11 0.003 1.495 0.004 4.1 33.8

38, 5, 18, 11 0.002 1.362 0.002 2.0 35.8

38, 5, 19, 11 0.001 1.414 0.002 1.7 37.5

38, 5, 21, 11 0.006 1.465 0.008 7.7 45.2

38, 36, 5, 11 0.002 1.264 0.003 2.4 47.6

38, 5, 12 0.106 0.014 1.330 0.019 17.8 17.8

38, 5, 9, 12 0.003 1.578 0.005 4.9 22.7

38, 5, 13, 12 0.004 1.588 0.006 6.1 28.8

38, 5, 19, 12 0.001 1.488 0.002 1.8 30.7

38, 5, 21, 12 0.009 1.554 0.014 13.4 44.0

38, 36, 5, 12 0.002 1.345 0.002 2.1 46.2


(3)

38, 5, 13 0.067 1.368 0.091 53.5 54.4

38, 5, 9, 13 0.001 1.643 0.002 1.1 55.5

38, 5, 21, 13 0.010 1.576 0.016 9.1 64.7

38, 5, 24, 13 0.002 1.573 0.003 2.0 66.7

38, 36, 5, 13 0.008 1.384 0.011 6.4 73.1

38, 5, 16 0.012 0.003 1.137 0.004 30.5 30.5

38, 5, 17 0.025 0.003 1.140 0.003 13.9 13.9

38, 5, 9, 17 0.001 1.379 0.002 6.9 20.8

38, 5, 13, 17 0.001 1.373 0.001 5.9 26.8

38, 5, 21, 17 0.001 1.348 0.002 7.1 33.8

38, 5, 18 0.082 0.018 1.251 0.022 27.4 27.4

38, 5, 9, 18 0.003 1.495 0.004 5.1 32.4

38, 5, 13, 18 0.002 1.500 0.003 3.9 36.3

38, 5, 19, 18 0.001 1.411 0.001 1.8 38.1

38, 5, 21, 18 0.003 1.472 0.004 4.6 42.7

38, 36, 5, 18 0.002 1.265 0.003 3.3 46.0

38, 5, 19 0.162 0.041 1.301 0.053 32.8 32.8

38, 5, 9, 19 0.004 1.516 0.006 3.9 36.7

38, 5, 10, 19 0.002 1.479 0.002 1.5 38.2

38, 5, 12, 19 0.002 1.488 0.003 1.8 39.9

38, 5, 13, 19 0.004 1.553 0.006 3.5 43.4

38, 5, 18, 19 0.002 1.411 0.003 1.9 45.3

38, 5, 21, 19 0.008 1.520 0.011 7.1 52.4

38, 36, 5, 19 0.005 1.315 0.006 3.9 56.3

38, 2, 20 0.099 0.001 1.180 0.002 1.6 1.6

38, 5, 20 0.008 1.297 0.011 11.0 12.6

38, 5, 9, 20 0.004 1.546 0.006 5.7 18.3

38, 5, 12, 20 0.001 1.491 0.002 1.8 20.1

38, 5, 13, 20 0.002 1.554 0.002 2.4 22.5

38, 5, 18, 20 0.001 1.412 0.001 1.5 24.0

38, 5, 19, 20 0.001 1.457 0.002 2.1 26.1

38, 5, 21, 20 0.010 1.518 0.015 15.6 41.7

38, 2, 21 0.401 0.004 1.253 0.005 1.3 1.3

38, 5, 21 0.186 1.344 0.250 62.4 63.8

38, 5, 9, 21 0.002 1.608 0.003 0.8 64.5

38, 5, 13, 21 0.014 1.576 0.022 5.5 70.0

38, 5, 24, 21 0.003 1.534 0.004 1.1 71.1


(4)

38, 36, 2, 21 0.001 1.268 0.002 0.4 71.9

38, 36, 5, 21 0.022 1.359 0.030 7.5 79.4

38, 46, 5, 21 0.003 1.438 0.004 0.9 80.3

38, 47, 5, 21 0.002 1.504 0.004 0.9 81.2


(5)

Lampiran 10. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-Industri Pulp ke Rumahtangga

Path Global

Effect

Direct Effect

Path Mult

Total Effect

Global (%)

Cum %

39, 5, 8 0.080 0.003 1.172 0.004 4.5 4.5

39, 25, 1, 8 0.030 1.060 0.032 39.4 43.9

39, 25, 2, 8 0.001 1.066 0.001 1.5 45.4

39, 5, 9 0.158 0.014 1.400 0.019 12.0 12.0

39, 5, 19, 9 0.002 1.544 0.003 1.6 13.7

39, 5, 21, 9 0.002 1.638 0.004 2.3 16.0

39, 25, 1, 9 0.014 1.297 0.019 11.9 27.8

39, 25, 5, 9 0.003 1.406 0.004 2.5 30.3

39, 47, 5, 9 0.001 1.569 0.002 1.4 31.7

39, 5, 10 0.099 0.003 1.347 0.004 4.0 4.0

39, 5, 9, 10 0.001 1.598 0.002 1.6 5.6

39, 25, 1, 10 0.017 1.226 0.021 21.5 27.1

39, 5, 11 0.112 0.005 1.273 0.006 5.3 5.3

39, 5, 21, 11 0.002 1.492 0.002 2.0 7.3

39, 25, 1, 11 0.004 1.164 0.005 4.1 11.4

39, 25, 2, 11 0.004 1.165 0.004 3.7 15.1

39, 25, 3, 11 0.001 1.185 0.002 1.4 16.5

39, 5, 12 0.113 0.004 1.355 0.005 4.7 4.7

39, 5, 13, 12 0.001 1.617 0.002 1.6 6.3

39, 5, 21, 12 0.002 1.583 0.004 3.5 9.8

39, 25, 1, 12 0.007 1.240 0.009 8.0 17.8

39, 25, 2, 12 0.001 1.244 0.002 1.4 19.2

39, 25, 3, 12 0.002 1.263 0.002 1.9 21.1

39, 5, 13 0.151 0.018 1.394 0.025 16.8 16.8

39, 5, 21, 13 0.003 1.606 0.004 2.9 19.7

39, 25, 1, 13 0.006 1.280 0.008 5.0 24.7

39, 25, 2, 13 0.002 1.283 0.003 2.1 26.8

39, 25, 3, 13 0.001 1.306 0.002 1.3 28.0

39, 25, 5, 13 0.004 1.400 0.005 3.5 31.5

39, 46, 5, 13 0.001 1.494 0.002 1.2 32.7


(6)

39, 25, 1, 16 0.014 0.003 1.040 0.003 21.1 21.1

39, 25, 1, 17 0.026 0.002 1.042 0.003 9.6 9.6

39, 5, 18 0.079 0.005 1.275 0.006 7.9 7.9

39, 25, 2, 18 0.002 1.163 0.002 2.5 10.4

39, 5, 19 0.150 0.011 1.325 0.015 9.9 9.9

39, 5, 9, 19 0.001 1.544 0.002 1.2 11.0

39, 5, 21, 19 0.002 1.548 0.003 2.1 13.2

39, 25, 2, 19 0.002 1.230 0.002 1.4 14.5

39, 25, 5, 19 0.002 1.331 0.003 2.0 16.6

39, 47, 5, 19 0.001 1.484 0.002 1.2 17.7

39, 5, 20 0.103 0.002 1.321 0.003 3.0 3.0

39, 5, 9, 20 0.001 1.575 0.002 1.5 4.5

39, 5, 21, 20 0.003 1.546 0.004 4.2 8.7

39, 25, 1, 20 0.001 1.205 0.001 1.3 10.0

39, 25, 2, 20 0.003 1.207 0.003 3.0 13.1

39, 25, 3, 20 0.002 1.227 0.002 1.9 15.0

39, 5, 21 0.347 0.051 1.369 0.070 20.2 20.2

39, 5, 13, 21 0.004 1.606 0.006 1.8 21.9

39, 25, 2, 21 0.008 1.281 0.011 3.1 25.0

39, 25, 3, 21 0.006 1.299 0.007 2.1 27.1

39, 25, 5, 21 0.010 1.374 0.014 4.1 31.3

39, 28, 5, 21 0.002 1.369 0.003 0.9 32.2

39, 40, 5, 21 0.002 1.449 0.003 0.8 32.9

39, 41, 5, 21 0.003 1.450 0.004 1.1 34.0

39, 46, 5, 21 0.003 1.465 0.005 1.4 35.5

39, 47, 3, 21 0.002 1.463 0.003 0.9 36.4

39, 47, 5, 21 0.005 1.531 0.008 2.4 38.7