VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN BERDASARKAN KAJIAN NERACA SOSIAL EKONOMI
6.1. Struktur Perekonomian
Struktur perekonomian provinsi Jambi jika diperhatikan berdasarkan komposisi nilai tambah SNSE terlihat cukup berimbang. Sebagaimana disajikan
pada Tabel 17 kontribusi sektor pertanian, pertambangan, industri dan jasa terhadap perekonomian wilayah menyebar cukup merata antara 13.69 persen
hingga 20.62 persen. Dimana andil terbesar sektor pertanian terhadap penciptaan nilai tambah provinsi Jambi didapat dari sektor perkebunan yakni sebesar 9.44
persen , sedangkan dari sektor industri, kontribusinya yang paling tinggi diberikan oleh industri pulp sebesar 6.27 persen , sementara dari sektor jasa yang terbesar
adalah sektor angkutan jalan raya yaitu sebesar 13.69 persen . Kondisi struktur ekonomi yang menyebar cukup merata menyebabkan
secara sektoral perekonomian Jambi tidak banyak mengalami kesenjangan. Hal ini menandakan pondasi perekonomian yang terbangun cukup kokoh yang ditopang
oleh beberapa sektor andalan Jambi yaitu perkebunan, industri pulp, sektor angkutan jalan raya, pertambangan dan jasa. Selain berhasil menjaga
keseimbangan struktur ekonominya provinsi Jambi juga berhasil melampaui wilayah non industri menjadi wilayah menuju industri. Sebagai indikatornya dapat
diperhatikan dari besaran proporsi sektor industri dalam perekonomian wilayah yang mencapai 16.51 persen yang melebihi batasan tertinggi dari wilayah non
industri sebesar 10 persen . Ada empat sektor industri yang paling berperan terhadap perkembangan
industri regional provinsi Jambi selama ini, yaitu industri penggergajian dan
pengolahan kayu, industri kayu lapis, industri kayu lainnya dan industri pulp. Total kontribusi keempat sektor industri tersebut terhadap perekonomian wilayah
mencapai 15.93 persen . Tabel 17. Struktur Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Sistem Neraca
Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005
No .
Sektor PDRB
juta rupiah Persentase
persen 1.
Pertanian 5 024 496.72
20.62 • Padi
873 683.59 3.58
• Tanaman Pangan Lainnya 1 149 602.68
4.72 • Perkebunan
2 301 661.12 9.44
• Peternakan 360 816.92
1.48 • Perikanan
338 732.42 1.39
2. Kehutanan
1 956 571.81 8.03
• Kayu HTI 1 435 086.91
5.89 • Kayu Rimba
350 826.01 1.44
• Hasil Hutan Lainnya 163 808.03
0.67 • Jasa Lingkungan
6 850.86 0.03
3. Pertambangan
3 589 085.17 14.73
4. Industri Kehutanan
3 937 947.16 16.16
• Industri Penggergajian dan Pengolahan Kayu 710 836.72
2.92 • Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya
717 557.46 2.94
• Industri Kayu Lainnya 926 084.29
3.80 • Industri Pulp
1 528 052.11 6.27
• Industri Kertas 55 416.59
0.23 5.
Industri Lainnya 86 281.09
0.35 6.
Listrik dan Air Minum 263 981.53
1.08 7.
Bangunan 972 163.67
3.99 8.
Perdagangan, Hotel dan Restoran 679 487.89
2.79 9.
Angkutan dan Komunikasi 4 433 361.36
18.19 • Angkutan Jalan Raya
3 336 903.93 13.69
• Angkutan Air 876 503.68
3.60 • Angkutan Lainnya dan Komunikasi
219 953.75 0.90
10. Bank, Lemb Keu non bank dan usaha bangunan 170 018.12
0.70 11. Jasa Perusahaan
174 781.02 0.72
12. Jasa-Jasa Lainnya 3 762 588.53
15.44 Total
24 371 276.20 100.00
Akan tetapi, meski peran keempatnya cukup tinggi dalam perekonomian wilayah, namun tidak serta merta dapat memberi backward effect yang lebih besar
terhadap sektor-sektor hulunya terutama pada komoditi kayu. Sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 17, terlihat jelas bahwa pencapaian nilai tambah yang
cukup tinggi di sektor-sektor industri kehutanan tersebut tidak dapat menghasilkan dorongan ke belakang yang besar terhadap pertambahan nilai
tambah untuk sektor kayu rimba dan HTI. Indikasinya dapat dilihat pada andil kedua sektor kehutanan primer tersebut di dalam menghasilkan nilai tambah
perekonomian wilayah yang sangat rendah, yaitu hanya sebesar 5.89 persen dan 1.44 persen . Kondisi ini menandakan sektor kehutanan lebih banyak menerima
tekanan ekonomi dari sektor-sektor hilirnya, sehingga bargaining power untuk memperoleh margin keuntungan yang lebih besar dari industri kayu penggergajian
masih sangatlah rendah. Tekanan itu dapat berupa harga kayu yang dibeli oleh industri sangat murah atau akibat tingginya biaya transportasi.
Struktur tenaga kerja dalam perekonomian provinsi Jambi berlangsung sangat timpang, hal ini tidak sesuai dengan struktur nilai tambahnya. Kontribusi
sektor ekonomi yang paling besar terhadap penyerapan tenaga kerja saat ini adalah sektor pertanian, yakni sebesar 52.60 persen yang didominasi pada
tanaman pangan. Sektor-sektor lainnya hanya memberi kontribusi berkisar 0.29 persen sampai dengan 14.94 persen . Selengkapnya dapat diperhatikan Tabel 18.
Banyak sektor-sektor ekonomi yang cukup besar memberi kontribusi dalam struktur nilai tambah ternyata sangat kecil kemampuannya menciptakan
lapangan kerja. Sebagai misal sektor berbasis kehutanan, pada struktur nilai tambah mampu memberi kontribusi sebanyak 24.19 persen akan tetapi untuk
tenaga kerja hanya dapat menyerap 6.92 persen . Demikian juga untuk sektor pertambangan sangat kecil andilnya dalam penyerapan tenaga kerja wilayah yakni
hanya 1.07 persen meskipun andilnya pada nilai tambah cukup besar yakni 14.73 persen . Potret ekonomi dualisme semacam ini menandakan bahwa untuk sektor-
sektor ekonomi yang mempunyai andil tinggi dalam nilai tambah tetapi rendah
untuk tenaga kerja merupakan sektor-sektor yang padat modal. Artinya penciptaan nilai tambahnya yang begitu besar dipastikan lebih banyak disebabkan adanya
pertambahan modal, bukanya upah atau gaji yang menjadi indikator terdekat untuk menggambarkan penyerapan tenaga kerja. Profil ekonomi seperti itu tidak
hanya terjadi pada sektor pertambangan dan industri saja, akan tetapi terlihat juga di sektor-sektor jasa seperti angkutan dan sektor perkebunan.
Seluruh fenomena tersebut menggambarkan bahwa pemerintah provinsi Jambi sepertinya masih belum berhasil mengatasi masalah tenaga kerja. Struktur
tenaga kerja yang terbentuk sangat timpang sehingga dapat digeneralisasikan bahwa distribusi pendapatan upah atau gaji yang diterima masyarakat juga
berjalan timpang. Kesenjangan ini perlu diatasi dengan segera karena dapat mengurangi produktifitas tenaga kerja, eksploitasi sumberdaya yang berlebihan,
kecemburuan sosial dan lain-lain. Dimana salah satu kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah daerah provinsi Jambi adalah mendorong penciptaan
lapangan kerja yang cukup merata diantara semua sektor-sektor ekonomi dengan memberikan insentif dan kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur
penunjang dan lain-lain. Menurut teori basis, bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom
dalam pengeluaran dimana semua komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan Tarigan, 2004. Berangkat dari konsep teoritis ini
maka dapat dikatakan bahwa mempelajari struktur ekspor regional sama saja dengan mempelajari struktur pendapatan regional pada suatu wilayah, oleh sebab
itu dalam Tabel 19 disajikan keadaan struktur ekspor regional provinsi Jambi yang dikaji dengan menggunakan SNSE.
Tabel 18. Struktur Tenaga Kerja Provinsi Jambi Tahun 2005
No. Sektor
Tenaga Kerja Persentase 1.
Pertanian, Perkebunan dan Perikanan 577 138
52.60
− Padi 60 505
5.51 − Tanaman Pangan Lainnya
126 312 11.51
− Perkebunan 283 173
25.81 − Peternakan
57 115 5.21
− Perikanan 50 034
4.56
2. Kehutanan
54 261 4.95
− Kayu HTI 25 866
2.36 − Kayu Rimba
14 146 1.29
− Hasil Hutan Lainnya 13 623
1.24 − Jasa Lingkungan
626 0.06
3. Pertambangan
11 737 1.07
4. Industri Kehutanan
21 642 1.97
− Industri Penggergajian Pengolahan Kayu 3 476
0.32 − Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya
6 980 0.64
− Industri Kayu Lainnya 4 112
0.37 − Industri Pulp
6 035 0.55
− Industri Kertas 1 038
0.09
5. Industri Lainnya
54 732 4.99
6. Listrik dan Air Minum
3 189 0.29
7. Bangunan
34 047 3.10
8. Perdagangan, Hotel dan Restoran
163 899 14.94
9. Angkutan dan Komunikasi
48 101 4.38
− Angkutan Jalan Raya 8 700
0.79 − Angkutan Air
5 313 0.48
− Angkutan Lainnya dan Komunikasi 34 088
3.11
10. Bank, Lem Keu Non Bank dan Usaha 4 938
0.45 11. Jasa Perusahaan
1 215 0.11
12. Jasa-Jasa Lainnya 122 308
11.15 Total
1 097 207 100.00