Dampak revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi : Pendekatan sistem neraca sosial ekonomi
DAMPAK REVITALISASI
SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN
DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI :
PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
DISERTASI
Oleh :
AGUS WAHYUDI
A 5460142314
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
i
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul ”DAMPAK REVITALISASI SEKTOR
BERBASIS KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI:
PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI” merupakan gagasan
atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing,
kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan
tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2010
Agus Wahyudi A5460142314
(3)
ii
ABSTRACT
AGUS WAHYUDI. Revitalization Impact of Forestry Based Sector on Jambi
Province Economy : A Social Accounting Matrix (SAM) Approach. (D.S.
PRIYARSONO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and MANGARA
TAMBUNAN as Members of Advisory Committee)
Economic contribution of forestry based sectors at national and Jambi regional levels in the last decade has decreased. The forest degradation and deforestation are two of several causes of the decreasing of forestry economic contribution. Meanwhile, forestry based sectors are supported by land resources which is more than 40% of Jambi land territory. Government has issued a policy called five priority programs on forestry development. One of these programs is forestry revitalization which is addressed to regenerate contribution of forestry sector to national economy. The objectives of the study are to analyze the contribution of forestry based sectors and the impact of the revitalization policy in the forestry based sectors on the households income distribution, disparity and employment opportunity in Jambi province. A Social Accounting Matrix (SAM) is used as an approach to calculate contribution, economic structure and economic multipliers. Economic multipliers are used to calculate the impact of new or additional investment as an implementation of revitalization of forestry based sectors policy in Jambi Regional economy.
Generally it was found that (1) economic structure of Jambi Province was supported by several economic sector which evenly contributed, including forest based sector; (2) export for forestry based sector dominated more than 60% from total export of Jambi province, then export for mining and farming sector respectively; (3) agriculture sector accommodated more than 50% direct employment, while forestry based sector accommodated approximately 6%; (4) the revitalization of forestry based sector would increase the rural households income and decreasing of income disparity between rural households and urban households, between forestry base households and other households, between primary forestry households and forest industry households as well, meanwhile it has not yet succeeded to decrease income disparity between employer households and laborer households (5) Moreover, forestry based sector would be potential to create job opportunity in Jambi province.
Key words : forestry sectors , income distribution, regional economy, social accounting matrix.
(4)
iii
ABSTRAK
AGUS WAHYUDI. Dampak Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan Dalam
Perekonomian Provinsi Jambi: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. (D.S.
PRIYARSONO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan MANGARA
TAMBUNAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Peran sektor kehutanan dalam perekonomian baik pada tingkat regional provinsi Jambi maupun tingkat nasional, dalam sepuluh tahun terakhir terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya deforestasi dan degradasi hutan. Di lain pihak sektor kehutanan di provinsi Jambi didukung dengan alokasi sumberdaya lahan berupa kawasan hutan dengan luas lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang disebut sebagai lima program prioritas sektor kehutanan tahun 2004-2009. Salah satu program diantaranya adalah program revitalisasi sektor kehutanan, sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor-sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi serta menganalisis dampak revitalisasi kehutanan terhadap distribusi pendapatan dan kesenjangan pendapatan antarrumahtangga serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi. Dalam penelitian ini sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor baik di sektor primer (penghasil bahan baku) maupun sektor hilir (industri pengolahan hasil hutan). Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk menghitung kontribusi, struktur dan multiplier ekonomi. Multiplier ekonomi digunakan untuk menghitung dampak investasi baru atau perluasan dalam pembangunan kehutanan sebagai implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi.
Secara umum ditemukan bahwa (1) struktur perekonomian Jambi didukung oleh beberapa sektor ekonomi termasuk di antaranya sektor berbasis kehutanan dengan kontribusi yang merata, (2) ekspor sektor kehutanan mendominasi ekspor provinsi Jambi disusul ekspor sektor pertambangan dan perkebunan, (3) sektor pertanian menampung tenaga kerja langsung lebih dari 50% pekerja sementara sektor berbasis kehutanan hanya 6%, (4) revitalisasi kehutanan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan, menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga perdesaan dan rumahtangga kota, antara rumahtangga kehutanan primer dan rumahtangga industri kehutanan, antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lain, tetapi belum berhasil menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha, dan (5) investasi pada sektor berbasis kehutanan dapat diandalkan untuk menciptakan kesempatan kerja di provinsi Jambi.
(5)
iv
RINGKASAN
Sektor kehutanan pernah menjadi sektor andalan dan penggerak dalam perekonomian nasional, namun dalam sepuluh tahun terakhir perannya dalam perekonomian terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan baik yang direncanakan maupun akibat perambahan, kebakaran hutan dan lain-lain. Kemerosotan tersebut telah mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan (Dephut, 2005).
Mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam mendukung kehidupan manusia dan untuk mengembalikan peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang disebut revitalissi sektor kehutanan. Program tersebut dilaksanakan antara lain melalui restrukturisasi industri kehutanan, pengelolaan hutan lestari, pembangunan hutan tanaman dengan tujuan untuk menciptakan industri kehutanan yang tangguh dan berdaya saing global, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari.
Demikian pula halnya yang terjadi level regional, peran sektor kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi juga telah merosot. Bahkan banyak pihak yang tidak paham dan tidak mengetahui peran atau kontribusi sektor kehutanan dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penciptaan devisa, penyediaan infrastruktur di provinsi Jambi. Dilain pihak sektor kehutanan tersebut didukung alokasi lahan lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi.
Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengangkat permasalahan (1) seberapa besar peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga?, (2) seberapa besar dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dalam bentuk investasi untuk pembangunan hutan tanaman, industri pulp, industri kertas, dan industri MDF baik secara parsial maupun terintegrasi terhadap perekonomian provinsi Jambi khususnya dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, distribusi
(6)
v
pendapatan rumahtangga, kesenjangan antar rumahtangga, distribusi pendapatan sektoral serta pilihan investasi mana yang paling efisien?
Untuk melakukan penelitian tersebut digunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Oleh karena belum ada SNSE sebelumnya, maka telah disusun SNSE provinsi Jambi tahun 2005, dengan tekanan pada sektor berbasis kehutanan. Sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor yaitu (1) sektor kehutanan primer, terdiri dari sektor kayu HTI, kayu rimba, hasil hutan lain dan jasa lingkungan, serta (2) sektor industri kehutanan yang terdiri dari sektor industri penggergajian dan pengolahan kayu, industri kayu lapis dan sejenisnya, industri kayu lainnya, industri pulp dan industri kertas. Sementara institusi rumahtangga didisagregasi menjadi 16 kelompok yang dibedakan atas rumhtangga desa dan kota, kemudian dibedakan menjadi rumahtangga kehutanan, industri kehutanan, pertanian bukan kehutanan dan rumahtangga lainnya. Kemudian dibedakan lagi atas rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha.
Metode analisis yang digunakan antara lain analisis pengganda (multiplier), dekomposisi pengganda, analisis jalur struktural, analisis rasio kesenjangan dengan metode rasio maksimum-minimum dan pemilihan investasi yang efisien.
Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
(1) Dalam struktur perekonomian provinsi Jambi terbukti sektor berbasis kehutanan memiliki kontribusi cukup signifikan yakni kontribusi sebesar 24.19 % dari total nilai tambah, 60.11% total ekspor, namun hanya menyerap 6.92% dari total tenaga kerja di provinsi Jambi.
(2) Sektor berbasis kehutanan memberikan kontribusi lebih besar kepada pertumbuhan regional daripada distribusi pendapatan rumahtangga.
(3) Sektor HTI, industri pulp dan industri kertas mempunyai dampak paling tinggi terhadap nilai tambah perekonomian wilayah Jambi. Sektor HTI memberikan prosentase pertambahan pendapatan rumahtangga yang paling tinggi dibandingkan sektor berbasis kehutanan lainnya. Selanjutnya sektor berbasis kehutanan yang dapat memberi tambahan pendapatan produksi regional dan menciptakan lapangan kerja yang lebih besar adalah industri kertas. Berdasarkan seluruh peranan sektor produksi ini, maka dapat dikatakan bahwa sektor kehutanan berbasis kertas yang meliputi kayu HTI, industri pulp
(7)
vi
dan industri kertas mempunyai peranan yang besar dalam perekonomian provinsi Jambi.
(4) Pembangunan sektor berbasis kehutanan mendistribusikan dampak investasi kepada pendapatan rumahtangga pengusaha lebih besar daripada rumahtangga buruh. Sektor berbasis kehutanan belum berhasil menurunkan kesenjangan antara rumahtangga pengusaha dan rumahtangga buruh.
(5) Secara umum sektor berbasis kehutanan dapat menurunkan kesenjangan antara rumahtangga kehutanan dan industry serta antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lainnya. Sektor kehutanan primer dimana banyak mempekerjakan tenaga buruh dan operator dapat menurunkan kesenjangan rumahtangga kota dan rumahtangga desa.
(6) Pembangunan kehutanan berbasis kertas yang mencakup perluasan tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas paling efisien dibanding pilihan alternatif invetasi lainnya yang dapat diterapkan di provinsi Jambi untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan.
Upaya pembangunan sektor berbasis kehutanan tersebut secara konkrit diwujudkan antara lain dengan langkah sebagai berikut: (1) Untuk menaikkan pendapatan rumahtangga kehutanan yang umumnya rumahtangga buruh di pedesaan dengan pendekatan peningkatan produksi dan kewirausahaan bagi msyarakat perdesaan dan kemitraan., (2) Mendorong pengembangan klaster-klaster industri kehutanan berbasis kertas yang merupakan suatu kawasan pembangunan industri yang terdiri dari usaha tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas didukung usaha-usaha kecil-menengah yang berkembang dari masyarakat pedesaan.
Saran penelitian lanjutan antara lain: (1) Mengkaji dampak perubahan pasar internasional produk-produk hasil hutan terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi, dan (2) Melakukan penelitian mengenai dampak pemanfaatan bahan baku industri kehutanan dari luar provinsi Jambi terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi dengan pendekatan SNSE antarregion.
hammad Musyaffak Fauzi
A5460141514
(8)
vii
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
(9)
viii
DAMPAK REVITALISASI
SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN
DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI :
PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
AGUS WAHYUDI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(10)
ix
Judul Disertasi : DAMPAK REVITALISASI SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI: PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE)
Nama Mahasiswa : Agus Wahyudi Nomor Pokok : A5460142314
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS.
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar , MEc.
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc.
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
(11)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
N a m a : Agus Wahyudi
Tempat/Tanggal Lahir : Trenggalek, 31 Agustus 1961
Alamat : Giriloka 3 Blok Y-19, Bumi Serpong Damai Serpong, Tangerang Selatan , Banten
Telepon : 021 5371421, 0811870040
Email : awgiriloka@yahoo.com
PENDIDIKAN
1. Lulus SD Negeri Karangan II, Trenggalek tahun 1973
2. Lulus SMP Gotong Royong Karangan, Trenggalek tahun 1976 3. Lulus SMA Negeri Trenggalek tahun 1980
4. Lulus Sarjana Teknologi Pertanian , Institut Pertanian Bogor tahun 1984 5. Lulus Magister Manajemen, STIE Institut Bisnis Indonesia (IBII) tahun 2000 6. Lulus Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2010
PEKERJAAN
1. Land Clearing Engineer, Trans Asia Engineering Ass, Inc. (1985-1986) 2. Analis, PT Agriconsult International (1987-1990)
3. 1991 – Sekarang Sinarmas Group
(12)
1995 – 1998 Manager PT Wirakarya Sakti
1998 – 2002 Vice General Manager PT Wirakarya Sakti 2002 – 2005 General Manager PT Wirakarya Sakti 2005 – 2009 Vice Director PT Wirakarya Sakti 2010 - Sekarang Director PT Wirakarya Sakti
2006 - Sekarang Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas 2006 - Sekarang Direktur PT Mitra Hutani Jaya
2007 - Sekarang Direktur Utama PT Wanakerta Ekalestari 2009 - Sekarang Direktur Utama PT Sumalindo Hutani Jaya
ORGANISASI
1. Bidang Lingkungan Hidup, PWM Banten (2005-sekarang)
2. Ketua Kelompok Kerja Gerakan Cinta Pohon , Bakti Keluarga BSD (2004-sekarang)
3. Ketua Bidang Pembinaan Pemuda, Kerukunan Keluarga Muslim BSD (2008 – sekarang)
4. Ketua Bidang Pembinaan Remaja , Dewan Kesejahteraan Masjid Asy Syarif , Al Azhar BSD (2008 – sekarang)
5. Perwakilan Ikatan Keluarga Asal Trenggalek (IKAT) Daerah Tangerang-Banten (2002 – sekarang)
6. Tim Tata Ruang dan Gambut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI (2009-2010)
7. Tim Pengkajian Harga Kayu HTI, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI (2006 -2007)
8. Seksi Hubungan Kelembagaan , Pawarta Jatim (2002 – 2006) 9. Perwakilan IKAT di Pawarta Jatim (1998 – 2006)
10.Aktiv di berbagai kepanitiaan – kegiatan Forum Masjid dan Mushala BSD dan Sekitarnya /FMMB (2008 – Sekarang)
(13)
KELUARGA
1. Isteri : Mei Idawati (Swasta, Jakarta)
2. Anak : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati (Mahasiswa, Jerman) Shabrina Wahyu Wijayanti (SMA Islam , Al Azhar BSD) Duhita Wahyu Maulida (SD Islam , Al Azhar BSD) Hafizhah Wahyu Pratiwi (SD Islam , Al Azhar BSD)
(14)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Dampak Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi : Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak implementasi kebijakan Pemerintah dalam revitalisasi sektor-sektor berbasis kehutanan yang diwujudkan dalam investasi perluasan dan pembangunan hutan tanaman (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), industri pulp, industri kertas tulis cetak, industri kertas tisu dan industri kayu lapis/partikel dalam bentuk Medium Density Fibreboard (MDF) terhadap perekonomian Jambi khususnya dalam distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kesenjangan antar kelompok rumahtangga. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian juga diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi, implikasi kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan sektor kehutanan di provinsi Jambi.
Seiring dengan selesainya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr.Ir. D.S. Priyarsono MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan MSc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh staf pengajar Program Studi EPN yang telah memberi dorongan dan dukungan bagi kelancaran studi dan penyelesaian penulisan disertasi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Basuki Somawinata, Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto dan Ibu Dr. Ir. Setyo Pertiwi, yang telah memberikan rekomendasi sehingga penulis
(15)
xi
diterima menjadi mahasiswa Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
4. Bapak Muktar Widjaja, Vice Chairman Sinar Mas yang telah memberikan kesempatan, izin dan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Bapak Robin Mailoa ,CEO Sinarmas Forestry, Bapak Soebardjo Head of Sinarmas Forestry License Division, Bapak Aris Adhianto Direktur PT Wirakarya Sakti, serta rekan-rekan pimpinan dan karyawan Sinarmas Forestry Division Kantor Pusat Jakarta atas dukungan dan pengertian selama penulis menempuh kuliah, penelitian dan penyusunan disertasi ini.
6. Bapak Usman Tzai FOD SMF Jambi Region, Bapak Eddy Makhmud VP-LPR Jambi dan para staf kantor perwakilan SMF Jambi, atas bantuan dan dukungan dalam penelitian, pengumpulan data-data dan penyusunan disertasi ini.
7. Rekan-rekan EPN-K1 atas kerjasama, kekompakan ketika bersama-sama menempuh kuliah dan dalam penyelesaian disertasi.
8. Sdri Yani dan Ruby di sekretariat EPN Dramaga dan Sdr Iwan di Sekretariat Pasca di Baranangsiang, atas segala dukungan, perhatian dan bantuannya.
9. Serta kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini dan tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Penulis sangat menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, disertasi ini jauh dari sempurna. Namun demikian penulis tetap berharap disertasi ini dapat bermanfaat dan dipakai sebagai salah satu acuan dan pertimbangan dalam pembangunan provinsi Jambi dan untuk penelitian-penelitian lanjutan dan penelitian lain yang berguna bagi masyarakat Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Bogor, Juli 2010
(16)
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tangal 31 Agustus 1961 di Trenggalek, Jawa
Timur, sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Supardi dan Siti
Rukayah.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar Negeri Karangan II di Trengalek tahun
1973, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Gotong Royong Karangan di
Trenggalek dan lulus tahun 1976, kemudian lulus Sekolah Menengah Negeri I
Trenggalek di Trenggalek pada tahun 1980. Penulis kemudian melanjutkan ke
Institut Pertanian Bogor di Bogor dan lulus sebagai sarjana dari Fakultas
Teknologi Pertanian pada tahun 1984. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan ke
Program Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII di Jakarta dan
lulus pada tahun 2000. Dengan dukungan dan beasiswa dari PT Wirakarya Sakti,
pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor.
Tahun 1985-1986 penulis bekerja pada Trans Asia Engineering Ass. Inc.
Jakarta dan ditempatkan di proyek penyiapan lahan transmigrasi di Kabupaten
Sarolangun Bangko Jambi. Pada tahun 1987-1990 penulis bekerja pada PT
Agriconsult International di Jakarta. Sejak tahun 1991 sampai saat ini penulis
bekerja pada PT Wirakarya Sakti (kelompok usaha Sinar Mas) di Jakarta. Sejak
tahun 2004 penulis ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas.
Penulis menikah dengan Mei Idawati dan dikaruniai empat orang puteri
yaitu : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati, Shabrina Wahyu Wijayanti, Duhita
(17)
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10
1.5. Kegunaan Penelitian ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan ………13
2.2 Konsep dan Teori Pembangunan ... 25
2.2.1. Pembangunan Ekonomi ... 25
2.2.2. Pembangunan Wilayah ... 38
2.2.3. Investasi ……….40
2.3. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 42
2.3.1. Bentuk dan Arti Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43
2.3.2. Kegunaan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43
2.3.2.1. Kinerja Pembangunan Ekonomi ... 44
2.3.2.2. Distribusi Pendapatan Faktorial ... 45
2.3.2.3. Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 45
2.3.2.4. Pola Pengeluaran Rumahtangga ... 46
2.3.2.5. Ketenagakerjaan ... 46
2.3.2.6. Pemodelan Ekonomi ... 47
2.4. Penelitian Terdahulu ... 47
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 67
(18)
xiv
3.2. Hipotesis ... 70
IV. KEADAAN UMUM PROVINSI JAMBI ... 72
4.1. Keadaan Umum ... 72
4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja ... 73
4.3. Perkembangan Ekonomi Provinsi Jambi ... 75
4.3.1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto ... 75
4.3.2. Struktur Ekonomi ... 79
4.3.3. Pertumbuhan Ekonomi ... 82
4.3.4. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita dan Pendapatan Per Kapita ... 90
4.4. Kondisi Hutan ... 93
4.5. Perkembangan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi ... 96
V. METODE PENELITIAN ... 104
5.1. Lokasi Penelitian ... 104
5.2. Jenis dan Sumber Data ... 104
5.3. Pemilihan Metode dan Penyusunan Model ………105
5.4. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 107
5.4.1. Analisis Pengganda Neraca ... 110
5.4.2. Dekomposisi Pengganda ... 112
5.4.2.1. Pengganda Transfer ... 113
5.4.2.2. Pengganda Open Loop ... 115
5.4.2.3. Pengganda Closed Loop ... 117
5.4.2.4. Analisis Pengganda ………118
5.4.3. Metode Analisis Jalur Struktural ………...120
5.5. Analisis Dampak Investasi ... 126
5.6. Simulasi Kebijakan ... 127
5.7. Asumsi Analisis ... 129
VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN BERDASARKAN KAJIAN NERACA SOSIAL EKONOMI ... 131
6.1. Struktur Perekonomian ... 131
(19)
xv
6.3. Distribusi Dampak Multiplier Rumahtangga dan Produksi ... 152
6.4. Dekomposisi Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Jambi ... 157
6.5. Analisis Jalur Dasar Sektor Berbasis Kehutanan ... 169
VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI ………. 183
7.1. Distribusi Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 186
7.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Institusi Lainnya ... 200
7.3. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 205
7.4. Distribusi Pendapatan Sektoral ... 217
7.5. Pilihan Alternatif Investasi ... 224
VIII. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN ………. 228
8.1. Simpulan ... 228
8.2. Implikasi Kebijakan ... 231
8.1. Saran Penelitian Lanjutan ... 234
DAFTAR PUSTAKA ... 235
(20)
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Provinsi Jambi ... 74
2. Status Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Tahun 2005 ... 75
3. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2005 ... 75
4. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 1995-1999 ... 76
5. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Tahun Usaha 2000-2005 ... 76
6. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 menurut Lapangan Usaha ... 77
7. Poduk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha ... 78
8. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2000-2005 ... 80
9. Hubungan Peranan Sektor dengan Laju Pertumbuhan Tahun 2005 ... 82
10. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 1996-2005 ... 83
11. Produk Domestik Regional Bruto dan Pendapatan Regional Perkapita Provinsi Jambi Tahun 2002-2003 ... 91
12. Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Provinsi Jambi ... 93
13. Perkembangan HPH di Provinsi Jambi ... 97
14. Perkembangan Produksi Komoditi Kehutanan Provinsi Jambi ... 98
15. Perkembangan Jumlah HTI di Provinsi Jambi ... 99
16. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi dan Kontribusi Sektor Kehutanan (harga konstan 1993) ... 101
17. Struktur Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005 ... 132
(21)
xvii
18. Struktur Tenaga Kerja Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 135
19. Struktur Ekspor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial
Ekonmi Tahun 2005 ... 136
20. Struktur Impor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial
Ekonomi Tahun 2005 ... 138
21. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainnya yang Terkait di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 142
22. Peranan Sektor Berbasis Kehutanan dan Non Kehutanan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 150
23. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap
Institusi Rumahtangga di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 154
24. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap
Sektor-Sektor Produksi di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 158
25. Dekomposisi Multiplier Sektor Berbasis Kehutanan Provinsi Jambi ... 159
26. Konstribusi Own, Open Loop dan Closed Loop Effect terhadap
Gross Output Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan ... 166
27. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu HTI ke Rumahtangga ... 170
28. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total Pendapatan Faktor-Faktor Produksi di Provinsi Jambi ... 191
29. Persentase Penambahan Pendapatan Faktor Produksi Terhadap Total
Injeksi ... 194
30. Jumlah Pertambahan Tenaga Kerja menurut Simulasi Kebijakan dan
Berdasarkan Kelompok Lapangan Usaha Utama ... 197
31. Efisiensi Penciptaan Lapangan Kerja Atas Dasar Nilai Investasi Menurut Simulasi Kebijakan dan Kelompok Lapangan
Usaha Utama ... 198
32. Kesenjangan Pendapatan Faktor Produksi Tenaga Kerja dan Modal ... 199
33. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total
Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 203
(22)
xviii
Investasi Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 204
35. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 207
36. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kahutanan Terhadap
Pendapatan Sektor-sektor Produksi di Provinsi Jambi ... 219
37. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan Terhadap Pertambahan Pendapatan Sektor-sektor Produksi per Satuan
Investasi ... 221
(23)
xix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pohon Industri Pulp dan Kertas ... 26
2. Pohon Industri Hasil Hutan... 27
3. The Keynesian Cross ... 31 4. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus
Tabungan terhadap Investasi ... 36
5. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus
Tabungan Masyarakat yang Meningkat ... 36
6. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Jumlah
Angkatan Kerja Berkurang ... 37
7. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 44
8. Kerangka Pemikiran ... 71 9. Peta Provinsi Jambi ... 72
10. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Dengan Migas ... 79
11. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Tanpa Migas ... 79 12. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2004 ... 81
13. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Tahun 1996-2004 ... 84
14. Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian Tahun 1996-2004 ... 86
15. Laju Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas
dan Air Bersih, Sektor Bangunan Tahun 1996-2004 ... 88
16. Laju Pertumbuhan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor
Pengankutan dan Komunikasi Tahun 1996-2004 ... 89
17. Laju Pertumbuhan Sektor Keuangan dan Jasa-jasa Tahun 1996-2004 ... 90
18. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku ... 91
(24)
xx
19. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan 1993 ... 92
20. Peta Tata Guna Hutan (TGHK) Provinsi Jambi ... 93
21. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Jambi ... 94
22. Peta Vegetasi Provinsi Jambi (1998) ... 95 23. Peta Penyebaran Industri Primer di Jambi ... 102
24. Transaksi Antarblok dalam SNSE ... 109
25. Struktur Pengganda ... 117 26. Jalur Dasar ... 123
27. Sirkuit ... 123
28. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan
Sektor-Sektor Lainnya yang Terkait ... 143
29. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Buruh
Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 173
30. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Pengusaha Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 174
31. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Buruh Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 175
32. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga
Pengusaha Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 176
33. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga
Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 177
34. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga
Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 179
35. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga di Jambi Berdasarkan Jalur Dasar yang Mempunyai Pengaruh Total
(25)
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 246
2. Matrik Koefisien Input Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 248
3. Matrik Angka Pengganda SNSE Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 249
4. Simulasi Kebijakan Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan ... 250
5. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu Rimba ke Rumahtangga ... 251
6. Analisis Jalur Struktural Sektor Hasil Hutan Lainnya ke
Rumahtangga ... 254
7. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri Penggergajian
dan Pengolahan Kayu ke Rumahtangga ... 257
8. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lapis dan
Sejenisnya ke Rumahtangga ... 260
9. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lainnya
ke Rumahtangga ... 262
10. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Pulp
(26)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor kehutanan selama hampir tiga dekade (1970-an sampai awal
2000-an) menjadi salah satu sektor andalan dalam perekonomian nasional. Dalam kurun
waktu tersebut kontribusi sektor kehutanan dalam Produk Domestik Bruto dan
ekspor sangat signifikan bahkan menjadi motor penggerak pembangunan nasional
terutama dalam membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah
terpencil di luar Jawa. Sektor kehutanan didukung oleh kawasan hutan dengan
luas 120.35 juta hektar terdiri dari Hutan Konservasi (TN, HSAW) 23.24 juta
hektar, Hutan Lindung (HL) 29.10 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT)
16.21 juta hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 27.74 hektar dan Hutan Produksi
yang dapat Dikonversi (HPK) 13.67 juta hektar (Dephut, 2005).
Dalam satu dekade terakhir kontribusi sektor kehutanan tersebut terus
merosot. Pada tahun 1993 kontribusi sektor kehutanan masih sebesar US$ 16.0
milyar atau 3.5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2003 tinggal US$
13.24 milyar atau 2.4 persen PDB. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh
pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan
non kehutanan baik legal (direncanakan dan berijin) maupun ilegal (perambahan
kawasan hutan), kebakaran hutan dll. Akibat kondisi tersebut timbul berbagai
masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan
(Dephut, 2005).
Mengantisipasi kondisi di atas Departemen Kehutanan (2005) telah
(27)
2
peluang sektor kehutanan nasional sebagai salah satu dasar menentukan kebijakan
pembangunan kehutanan.
Kelemahan sektor kehutanan antara lain kelembagaan dan kemampuan
mengelola hutan sebagian besar masih lemah, sebagian besar industri kehutanan
belum kompetitif dengan arah pengembangan yang belum jelas, distribusi manfaat
kehutanan kurang berkeadilan, IPTEK kurang selaras, pemanfaatan SDM
profesional belum optimal, terbatasnya sarana prasarana pembangunan kehutanan,
peran serta masyarakat masih rendah.
Ancaman terhadap sektor kehutanan antara lain pencurian dan
perdagangan liar hasil hutan (kayu dan non kayu), kebakaran hutan, kemantapan
kawasan hutan belum tuntas, masyarakat sekitar hutan pada umumnya miskin,
kebutuhan lahan non kehutanan tinggi dan terus berkembang, kebijakan investasi
di sektor kehutanan kurang menarik.
Peluang sektor kehutanan antara lain potensi pemanfaatan sumberdaya
hutan besar, permintaan pasar terhadap hasil hutan, ketergantungan terhadap
sumberdaya hutan tinggi, dukungan internasional untuk pengelolaan sumberdaya
hutan lestari, komitmen dalam negeri untuk penyelenggaraan kehutanan.
Sedangkan kekuatan sektor kehutanan antara lain peraturan
perundang-undangan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya hutan (UU No. 41/1999,
UU No. 32/2004, PP No. 6 tahun 2007 dan lain-lain), ketersediaan SDM dan
sumberdaya hutan, hasil pembangunan kehutanan selama ini untuk modal
pembangunan kehutanan ke depan.
Disamping itu, di masyarakat umum termasuk Non-Government
(28)
3
pengolahan hasil hutan dan pembangunan HTI dengan alasan mengancam hutan
produksi alam. NGO dan masyarakat tertentu menghendaki hutan alam Indonesia
dipertahankan tetap sebagai hutan alam bahkan mengusulkan mengubah status
hutan produksi menjadi hutan lindung atau hutan konservasi. Padahal sesuai
fungsinya hutan telah ditetapkan dengan undang-undang apakah sebagai hutan
produksi (budidaya) atau untuk hutan lindung atau hutan konservasi.
Dilain pihak, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kebutuhan global atas
produk-produk kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian, moulding, furniture
dan bubur kertas terus meningkat. Pada tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu
berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari
tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi
permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006).
Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000
mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun
(Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan
Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang
sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26
kg/kapita/tahun dibandingkan Malaysia yang sudah diatas 100 kg/kapita/tahun
(APKI, 2009). Apabila konsumsi kertas domestik tumbuh 10 persen per tahun dan
dengan penduduk hampir 250 juta jiwa, maka untuk memenuhi tambahan
konsumsi setiap tahun harus didirikan pabrik kertas baru dengan kapasitas 500
ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka akan ditangkap
produsen lain dan Indonesia kemudian untuk selamanya akan menjadi importir
(29)
4
Untuk itu, mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam
mendukung kehidupan manusia dan sesuai amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, serta dengan memperhatikan potensi pasar produk-produk hasil hutan
di pasar dunia dan domestik, maka pemerintah telah membuat kebijakan
penyelenggaraan kehutanan untuk menjamin kelestarian hutan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Program pemerintah di sektor kehutanan tahun 2004-2009
antara lain dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.456/Menhut-VIII/2004 tentang Lima Program Prioritas Bidang Kehutanan dan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis
Kementerian Negara atau Lembaga Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.
Salah satu dari lima program prioritas tersebut adalah revitalisasi sektor kehutanan
khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali peran ekonomi
kehutanan.
Untuk lebih menjamin percepatan pembangunan kehutanan khususnya
pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari program revitalisasi sektor
kehutanan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun
2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan yang kemudian dijabarkan dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 3 Tahun 2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman.
Pada level regional provinsi Jambi dalam kurun yang sama bahkan dapat
dikatakan hampir empat dasawarsa terakhir, hutan dan hasil hutan telah dijadikan
(30)
5
kehutanan telah dijadikan sektor andalan dalam perekonomian provinsi Jambi.
Namun demikian, walaupun menjadi sektor andalan, tetapi dalam 10 tahun
terakhir kontribusi sektor kehutanan menunjukkan kecenderungan terus merosot.
Pada tahun 1997 sektor kehutanan memberikan kontribusi sebesar 19.11 persen
dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Jambi masing-masing
5.06 persen dari sub sektor hutan dan 14.05 persen dari sub sektor industri
pengolahan hasil hutan. Kontribusi tersebut kemudian menurun menjadi 15.88
persen pada tahun 2000 dan terus merosot menjadi 10.02 persen pada tahun 2005
(Jambi Dalam Angka tahun 1997, 2000 dan 2005).
Dilain pihak sektor kehutanan provinsi Jambi merupakan sektor yang
ternyata didukung sumberdaya yang relatif sangat besar, antara lain berupa
kawasan hutan seluas 2 148 950 hektar (terdiri dari hutan produksi 1 278 700
hektar, hutan lindung 191 130 hektar dan hutan suaka dan wisata 679 120 hektar)
yang merupakan 40.21 persen luas wilayah daratan provinsi Jambi. Dari Jambi
Dalam Angka, dapat diketahui bahwa industri hasil hutan provinsi Jambi yang
terdiri atas lebih dari 82 perusahaan (tahun 2001) merupakan 63.07 persen jumlah
perusahaan kelompok industri besar dan menengah yang ada di provinsi Jambi.
Industri hasil hutan tersebut mempekerjakan secara langsung tidak kurang dari 23
297 orang atau 74.5 persen total tenaga kerja pada industri besar dan menengah
yang ada. Sementara itu 45 unit industri kehutanan mempekerjakan 15 514 orang
atau 65.35 persen tenaga kerja industri di provinsi Jambi tahun 2005.
Kemerosotan kontribusi sektor kehutanan tersebut antara lain dipicu oleh
menurunnya kemampuan hutan menghasilkan kayu bulat yang merupakan antara
(31)
6
melebihi kuota, penebangan liar dan lain-lain), (2) pengalihan penggunaan lahan
hutan untuk kegiatan non kehutanan yang telah direncanakan seperti: perkebunan,
transmigrasi, pertambangan, dan (3) maraknya perambahan dan pengalihan
fungsi areal hutan (kawasan hutan) oleh masyarakat untuk mendapat manfaat
ekonomi langsung yang lebih besar. Pendudukan dan pengalihan fungsi areal
hutan banyak terjadi setelah (1) pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) membangun jaringan jalan
dalam rangka pemanfaatan hasil hutan, (2) ketika pemerintah membangun
jaringan infrastruktur atau jalan yang membelah kawasan hutan dalam rangka
membuka isolasi daerah, dan (3) ketika izin HPH berakhir dan pemerintah belum
dapat menunjuk pengelola definitif bekas areal kerja HPH tersebut. Dengan
menduduki kawasan hutan dan mengalihkan menjadi areal perkebunan atau
budidaya pertanian lainnya. masyarakat dapat menguasai lahan dan mengharap
dapat memetik manfaat yang lebih besar daripada ketika areal tersebut berupa
hutan dengan status kawasan hutan.
Sementara itu, dalam banyak hal sektor kehutanan menghadapi banyak
masalah menyangkut informasi termasuk diantaranya informasi mengenai
kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian daerah maupun nasional. Dalam
statistik provinsi Jambi yang diketahui oleh publik hanyalah kontribusi sektor
kehutanan (hasil hutan) pada PDRB Jambi yang kebetulan makin lama makin
merosot tidak saja dalam nilainya tetapi juga merosot dalam volume yang
dihasilkan. Publik tidak pernah melihat bagaimana kontribusi sektor kehutanan
dalam menyediakan infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan listrik, penyedian
(32)
7
penyediaan pelabuhan dan pasar-pasar tradisional di pelosok-pelosok yang belum
terjangkau fasilitas publik yang dibangun pemerintah dan kegiatan sektor lain.
Sektor kehutanan juga menyediakan kesempatan kerja baik langsung maupun
tidak langsung dan kesempatan berusaha bagi masyarakat di pelosok-pelosok
dimana sektor lain belum masuk. Tidak juga bisa diabaikan bagaimana sektor
kehutanan provinsi Jambi mendorong atau menyediakan input untuk kegiatan
sektor lain atau industri di provinsi lain. Kendala dan keterbatasan informasi ini
telah dan terus akan menciptakan pandangan yang kurang tepat terhadap sektor
kehutanan (sumberdaya hutan), sehingga baik masyarakat dunia usaha dan
pemerintah bisa saja salah dalam memperlakukan sumberdaya hutan.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor berbasis kehutanan (hutan dan industri pengolahan hasil hutan) di
provinsi Jambi sebagaimana sektor kehutanan pada tingkat nasional pernah
menjadi sektor andalan dalam perekonomian nasional dan kemudian mengalami
kemerosotan akibat kerusakan hutan (deforestasi), degradasi hutan, kebakaran
hutan dan lahan, industri pengolahan hasil hutan yang tidak efisien dan lain-lain.
Dengan luas kawasan hutan yang lebih dari 40 persen luas wilayah provinsi
Jambi dan dengan informasi kontribusi standar sebagaimana dilansir secara
periodik oleh Badan Pusat Statistik, yang kebetulan nilainya terus merosot
bahkan dilaporkan kurang 15 persen dalam perekonomian provinsi Jambi,
masyarakat akan menganggap hutan dan kawasan hutan tidak penting dan akan
mengalihkan kawasan hutan untuk kepentingan lain secara serampangan untuk
penggunaan lain. Padahal eksistensi hutan dan kawasannya sangat diperlukan oleh
(33)
8
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis dan pengungkapan yang lebih detil
dan fokus dengan metode yang lebih komprehensif dan lengkap yang mampu
menunjukkan apa saja, seberapa besar dan kepada siapa peran sektor kehutanan
provinsi Jambi dapat diberikan dan dapat ditingkatkan.
Untuk mengembalikan peran dan kontribusi sektor kehutanan propvinsi
Jambi, sesuai program prioritas sektor kehutanan nasional ditempuh dengan
mengimplementasikan program revitalisasi sektor kehutanan. Program revitalisasi
sektor kehutanan akan dilaksanakan dalam bentuk investasi untuk: 1).
Membangun atau memperluas Hutan Tanaman (HTI) termasuk di dalamnya
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dimana HTI adalah hutan tanaman yang hak atau
izinnya diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha seperti perusahaan swasta,
BUMN dan koperasi, sedangkan HTR adalah hutan tanaman yang hak/izinnya
diberikan pemerintah kepada masyarakat perdesaan secara perorangan. 2).
Perluasan atau pembangunan industri pulp untuk mengolah hasil hutan kayu dari
HTI maupun HTR agar diperoleh nilai tambah yang lebih besar, 3). Perluasan atau
pembangunan industri kertas tulis cetak dan atau kertas tisu yang mampu
mengolah sebagian pulp yang dihasilkan untuk memperoleh nilai tambah,
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat, d). perluasan atau
pembangunan industri pengolahan kayu lapis dan sejenisnya seperti MDF
(Medium Density Fibreboard) yang mampu memproduksi produk dengan lebih
efisien.
Tambunan (2005) menyampaikan bahwa industri kehutanan khususnya
industri kayu lapis (yang mengandalkan bahan baku kayu dari hutan alam di luar
(34)
9
Sumbangan sektor kehutanan yang cukup tinggi secara agregat di daerah, ternyata
belum berhasil mengangkat masyarakat penduduk sekitar hutan dari kemiskinan.
Oleh sebab itu upaya revitalisasi sektor kehutanan yang berusaha
membangkitkan peran sektor kehutanan dalam perekonomian dengan membangun
dan membangkitkan industri hasil hutan yang berbasis HTI (termasuk HTR),
dimana HTI memerlukan pengelolaan yang lebih intensif dan padat karya,
sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kelemahan industri
kehutanan berbasis hutan alam di masa sebelum ini.
Pembangunan HTI dan industri hilirnya tentu perlu alokasi sumberdaya
yang besar baik finansial maupun lahannya, Sementara itu secara ekonomis
ketersediaan sumberdaya finansial dan lahan tersebut terbatas. Oleh karena itu
pemilihan kombinasi pembangunan yang mampu memberikan manfaat maksimal
dan efisien menjadi sangat penting.
Dari uraian diatas, secara ringkas permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1). Seberapa besar peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian
provinsi Jambi, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah, penyerapan
tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga?
2). Seberapa besar dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan
dalam bentuk investasi untuk pembangunan HTI, industri pulp, industri
kertas, industri MDF baik secara parsial maupun terintegrasi terhadap
perekonomian provinsi Jambi khususnya dalam hal peningkatan nilai
(35)
10
kesenjangan antar rumahtangga serta pilihan investasi mana yang paling
efisien?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan sebagai berikut:
1). Menganalisis peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian
provinsi Jambi, khususnya terhadap kenaikan nilai tambah, penyerapan
tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga.
2). Menganalisis dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis
kehutanan yang diwujudkan dalam investasi untuk pembangunan atau
perluasan hutan tanaman, industri pulp serta industri kertas dan industri
MDF baik secara terpisah maupun terintegrasi dalam perekonomian
provinsi Jambi terutama dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan
tenaga kerja, distribusi pendapatan rumahtangga dan kesenjangan antar
rumahtangga serta menganalisis pilihan kombinasi investasi yang
manfaatnya paling besar dan efisien.
3). Merumuskan implikasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam upaya merevitalisasi sektor
berbasis kehutanan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kebijakan pemerintah di bidang
kehutanan khususnya dalam pelaksanaan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan
dan dampaknya pada perekonomian provinsi Jambi seperti perubahan nilai
(36)
11
provinsi Jambi, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lain.
Analisis ini tidak menjangkau bagaimana teknis usaha tersebut dilakukan, tetapi
hanya dibatasi pada pengaruh atau dampak kegiatan revitalisasi sektor kehutanan
terhadap perubahan nilai tambah, kesempatan kerja, pertambahan pendapatan
masyarakat, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lainnya
di provinsi Jambi.
Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) perekonomian provinsi Jambi.
Semua besaran variabel yang terkait analisis ditransformasikan ke dalam nilai
uang dalam hal ini rupiah dengan patokan harga yang berlaku di tingkat produsen.
1.5. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang distribusi
pendapatan masyarakat dengan adanya kebijakan baru dalam sektor kehutanan
khususnya revitalisasi sektor berbasis kehutanan. Selain itu penelitian ini juga
akan memberikan pilihan skenario kebijakan guna mempertahankan dan
meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada perekonomian provinsi Jambi,
serta kesejahteraan masyarakat dengan tetap melestarikan dan mempertahankan
fungsi dan keberadaan hutan di provinsi Jambi.
Penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui model Input-Output (I-O)
provinsi Jambi tahun 1998 dengan melakukan agregasi pada sektor-sektor non
kehutanan dan mendisagregasi sektor-sektor kehutanan serta menyusun SNSE
provinsi Jambi berdasarkan data terbaru yang memungkinkan (2005) yang
nantinya akan bermanfaat bagi berbagai pihak dalam membangun perekonomian
(37)
12
Berdasarkan berbagai kesimpulan hasil simulasi yang dibuat, akan disusun
rekomendasi implikasi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
(38)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan
Selama dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, kehutanan Indonesia
hanya melayani kebutuhan kayu untuk konstruksi, mebel dan kayu bakar. Pada
tahun 1967 ketika dibuka kesempatan investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam berbagai sektor termasuk
sektor kehutanan produksi kayu log dilaporkan sekitar 3.3 juta m3. Pada tahun
1979 pembangunan industri pengolahan kayu oleh para pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) telah mencapai 1 011 unit sawmill (penggergajian
kayu) dengan produksi 1.71 juta m3 Kayu Gergajian (KGG), 11 unit plywood mill
(industri kayu lapis) dengan produksi 42 000 m3 kayu lapis, satu unit pabrik
fibreboard dengan produksi 1 000 ton serta industri wood working dengan
produksi 180 ribu m3
Pada tahun 1988 produksi kayu bulat mencapai 32 juta m
. Pada tahun 1980-an industri pengolahan kayu mengalami
kemajuan yang sangat pesat, seiring larangan ekspor kayu bulat yang secara
penuh diberlakukan pada tahun 1985. Pada tahun 1987 tercatat industri kayu lapis,
industri kayu gergajian, industri pulp dan kertas berturut-turut menyumbangkan
perolehan devisa sebesar 56 persen, 21 persen dan 10 persen dari total devisa
ekpor hasil hutan. Devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1989
mencapai US$ 4 juta. (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).
3
(naik dari 2 juta
m3 pada tahun 1962) dengan 96 persen diantaranya berasal dari hutan alam (luar
pulau Jawa). Pada saat yang sama tercatat jumlah pabrik pengolahan hasil hutan
(39)
14
m3 per tahun, 110 unit industri kayu lapis dengan kapasitas 7 juta m3 per tahun, 54
unit industri block board dengan kapasitas 0.7 juta m3 per tahun, 7 unit industri
particle board dengan kapasitas 0.3 juta m3 per tahun, 38 unit industri pulp
dengan kapasitas 1.4 juta ton pulp per tahun serta 8 ribu unit industri kayu
sekunder. Kapasitas produksi industri-industri tersebut adalah 9.8 juta m3 KGG,
8.2 juta m3
Pada tahun 1999-2000 industri pengolahan hasil hutan kayu meliputi 4 400
unit industri penggergajian kayu, 120 unit industri kayu lapis, 39 unit industri
particle board, 102 unit industri block board, 13 unit industri serpih kayu, 2 unit
MDF, 82 unit industri pulp dan kertas, serta sejumlah besar industri pengolahan
kayu sekunder. Kapasitas industri tersebut mencapai masing-masing 19 juta m panel kayu, 936 ribu ton kertas.
3
per tahun KGG, 11.1 juta m3
Departemen Kehutanan dan ITTO (2001) menyatakan kemampuan pasokan
bahan baku kayu sekitar 50 juta m
per tahun kayu lapis, 5.23 juta ton pulp per tahun
dan 9.12 juta ton kertas per tahun. Nilai total aset industri pengolahan kayu hasil
hutan tersebut pada tahun 2001 diperkirakan mencapai US$ 27.8 milyar dengan
tidak kurang dari 4 juta orang tenaga kerja dan mendukung kehidupan 16 juta
orang (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).
3
per tahun, dilain pihak kebutuhan industri
diperkirakan mencapai 72 juta m3 per tahun dengan rincian: industri
penggergajian kayu yang memiliki izin 22 juta m3 per tahun, industri
penggergajian kayu tanpa izin 8 juta m3 per tahun, industri kayu lapis 18 juta m3
per tahun dan industri pulp 24 juta m3. Dengan demikian terjadi kesenjangan
antara kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku yang mengakibatkan
(40)
15
Departemen Kehutanan (2006) menyampaikan kondisi umum Kehutanan
sampai dengan tahun 2004. Kondisi sumberdaya hutan antara lain disebutkan (1)
Indonesia termasuk kedalam negara ynag memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi dalam flora dan fauna. Terdapat 515 jenis mamalia (12 persen mamalia
dunia), 511 jenis reptil (7.3 persen reptil dunia), 1 531 jenis burung (17 persen
burung dunia), 38 ribu jenis tumbuhan dan lain-lain. Namun populasi dan
distribusi kekayaan hayati tersebut terus merosot bahkan sebagian diantaranya
terancam punah akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang kurang bijaksana,
perubahan peruntukan kawasan hutan, bencana alam, kebakaran hutan, degradasi
hutan dan lain-lain, (2) secara sosial pada tahun 2003 di dalam dan di sekitar
hutan berdiam 48.8 juta jiwa dan 10.2 juta diantaranya miskin. Ada sekitar 6 juta
jiwa bermata pencaharian langsung dari hutan, 3.4 juta diantaranya bekerja di
sektor swasta kehutanan. Masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan
tersebut pada umumnya rendah pendidikannya, rendah fasilitas kesehatannya,
terbatas infrastruktur perhubungan, komunikasi, listrik maupun air bersihnya, dan
(3) secara ekonomi kontribusi sektor kehutanan sejak tahun 1993 terus merosot.
Pada tahun 1993 mencapai 3.5 persen PDB, maka tahun 2003 merosot menjadi
2.4 persen PDB. Produk ekspor kehutanan telah bergeser dari dominan kayu lapis
kepada pulp dan kertas. Disamping penyusutan jumlah HPH dan produksi kayu
hutan alam berganti dengan pembangunan dan produksi kayu hutan tanaman.
Sektor kehutanan menghadapi kondisi lingkungan strategis sebagai berikut :
(1) Desentralisasi kehutanan, sesuai UU No. 32 tahun 1999 tentang otonomi
daerah, sebagian besar urusan kehutanan kecuali antara lain mengenai
(41)
16
pemerintah kabupaten/kota. Dilain pihak masih ada kendala SDM di daerah untuk
melaksanakan dengan optimal desentralisasi tersebut. Ada kendala komunikasi
antara pusat dan daerah dalam implementasi program sektor, (2) Desentralisasi
fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk berkreasi dalam
memperoleh tambahan dana dengan menentukan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang bersumber dari berbagai pungutan hasil pembangunan sektoral termasuk
kehutanan. Daerah yang memandang hutan sebagai sumberdaya pembangunan
akan mendorong pemanfaatan hutan sebesar-besarnya untuk meningkatan PAD,
DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) yang mengancam
kelestarian sumberdaya hutan, (3) Deregulasi kehutanan yang harus mendukung
tercapainya tiga strategi pembangunan kabinet Indonesia bersatu yaitu
pertumbuhan ekonomi 6.6 persen pertahun, pembangunan sektor riil dan
revitalisasi sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Banyak peraturan dan
perundang-undangan yang dinilai birokratif dan menghambat harus
disederhanakan, dan (4) komitmen global yang mengharuskan pembangunan
sektor kehutanan tidak bisa melepaskan diri dari perhatian, komitmen dan peran
serta pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional. Indonesia harus
mematuhi prinsip pembangunan kehutanan (Forest Principles) yang disepakati
pada KTT Bumi 1992, konvensi keanekaragaman hayati, konvensi tentang
degradasi lahan, Protokol Kyoto, konvensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar
(CITES) dan lain-lain.
Sektor kehutanan juga menghadapi isu strategis sebagai berikut: (1)
Ketataprajaan yang baik, yakni pembangunan kehutanan harus dilakukan dengan
(42)
17
program dan konsisten dalam melaksanakan kebijakan, (2) Isu tenurial yang
memunculkan konflik mengenai hak lahan kawasan hutan. UU No. 41 tahun 1999
mengamanatkan agar kawasan ditunjuk dan ditetapkan pemerintah yang hak dan
pengelolaannya berada ditangan negara dalam hal ini Departemen Kehutanan.
Namun demikian undang-undang tersebut juga memberikan dan menjamin
hak-hak masyarakat adat yang berada di kawasan hutan dan diakui keberadaannya
sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Sementara sebagian besar masyarakat adat tidak memiliki data memadai untuk
menyelesaikan kasus tenurial seperti ini, (3) Tataruang sering menjadi masalah
karena pembangunan nasional memerlukan dukungan pemenuhan kebutuhan
lahan untuk ekspansi pembangunan pertanian, perkotaan, pemukiman,
perhubungan, pertambangan dan lain-lain, yang seringkali dilakukan dengan
mengkonversi kawasan hutan. Ketidakpastian tata ruang di kabupaten dan
provinsi berimplikasi pada kepastian alokasi lahan dan menghambat upaya
pemerintah untuk optimalisasi fungsi hutan. Pemekaran daerah dalam banyak
kasus sering mempersulit penetapan tata ruang, (4) Pengelolaan hutan telah
dimulai sejak zaman Belanda dengan prinsip pengelolaan hutan lestari melalui
berbagai sistem yang beberapa kali disempurnakan seperti TPI (Tebang Pilih
Indonesia), TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Namun demikian sistem
tersebut tidak secara utuh diterapkan oleh para pelaksana, sehingga secara
perlahan telah menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan
ekosistemnya. Oleh karena itu pada akhir tahun 1980-an diperkenalkan sistem
pengelolaan hutan dengan pola hutan tanaman yang lebih dikenal dengan hutan
(43)
18
didorong dan dipercepat pembangunannya, (5) Industri kehutanan yang
berkembang pesat sejak tahun 1980 dalam bentuk industri kayu gergajian, kayu
lapis dan panel yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam. Industri ini
mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1990-an dan kemudian sejalan
merosotnya pasokan kayu hutan alam ketiga jenis industri tersebut menurun dan
secara bertahap diganti perannya oleh industri bubur kertas, kertas, paper board,
panel, kayu gergajian yang menggunakan bahan baku dari hutan tanaman, (6)
Terdapat kawasan hutan seluas lebih 59 juta hektar terdegradasi akibat berbagai
sebab. Oleh karena itu program rehabilitasi melalui HTI dan atau reboisasi
diharapkan menjadi salah satu solusi dan (7) Isu kemiskinan menjadi salah satu
beban sektor kehutanan. Degradasi hutan dan ekosistemnya berdampak kepada
kemampuan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi semakin
miskin. Apalagi pemerintah juga menghadapi keterbatasan kemampuan untuk
menjangkau wilayah tersebut untuk membangun infrastrukur kesehatan, sekolah,
perhubungan, pasar dan lain-lain.
Sektor kehutanan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai berikut
(1) Indonesia memiliki kawasan hutan yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan
lingkungan dengan luas 120.35 juta hektar terdiri dari 23.24 juta hektar Hutan
Konservasi (TN, HSAW), 29.10 juta hektar Hutan Lindung (HL), 16.21 juta
hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 27.74 juta hektar Hutan Produksi Tetap
(HP) dan 13.67 juta hektar Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK) yang
berpotensi diberdayakan, dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya
masing-masing, (2) Kekayaan sumberdaya alam hayati yang begitu besar
(44)
19
komersial, sedangkan sisanya harus dikembangkan secara komersial dengan
memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, (3) Perkembangan permintaan
produk-produk hasil hutan sangat menjanjikan. Tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu
berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari
tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi
permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006).
Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000
mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun
(Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan
Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang
sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26
kg/kapita/tahun dibandingkan Singapura yang sudah diatas 100 kg/kapita/th
(APKI, 2008). Apabila konsumsi kertas tumbuh 10 persen per tahun dan dengan
penduduk hampir 250 juta jiwa, maka setiap tahun harus mendirikan pabrik kertas
dengan kapasitas 500 ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka
akan ditangkap produsen lain dan untuk kemudian untuk selamanya akan menjadi
importir kertas, (4) Clean Development Mechanism (CDM) dapat dijadikan
sebagai salah satu sumber pendanaan bagi rehabilitasi kawasan hutan seluas 59.17
juta hektar yang terdegradasi, (5) Jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu,
masih banyak sekali yang belum dimanfaatkan secara komersial. Ke depan
pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat
perdesaan akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan
(45)
20
Tambunan (2005) menyatakan bahwa kebijakan sektor kehutanan dapat
dibedakan menjadi empat episode. Pada akhir tahun 1960-an, episode pertama
dimulai dan ditandai dengan terbitnya UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 6 tahun
1968 dan merupakan awal ekploitasi hutan Indonesia didukung penanaman modal
dalam negeri maupun penanaman modal asing dalam pengusahaan hutan dan
pergeseran eksploitasi hutan dari pulau Jawa (hutan tanaman) ke luar Jawa (hutan
alam). Episode ke dua dimulai tahun 1970-an ditandai dengan penataan sistem
dan mekanisme eksploitasi hutan melalui penerapan tata cara pemanenan,
penetapan kawasan hutan, rencana karya pengusahaan hutan, sistem silvikultur,
yang dari sisi kebijakan terlihat adanya arah pemanfaatan hutan diselaraskan
dengan arah perlindungan hutan menuju pemanfaatan hutan yang lestari.
Episode ke tiga dimulai tahun 1980-an merupakan episode industrialisasi
hutan dan pengendalian rente hasil hutan, episode ini ditandai dengan introduksi
Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemungutan Dana Reboisasi (DR) dan Dana
Jaminan Reboisasi Pengelolaan Hutan (DJRPH), pajak ekspor kayu serta Iuran
Hasil Hutan (IHH). Episode ke empat dimulai tahun 1990-an dan dikenal sebagai
episode integrasi baik dari sisi industri, pembangunan daerah dan pelibatan
masyarakat lokal. Episode ini ditandai dengan pengenalan keterkaitan industri
kehutanan hulu-hilir, penyertaan modal pemerintah, kerjasama operasi swasta dan
pemerintah, HTI-Trans, alokasi pemasaran kayu untuk pasar lokal dan pelibatan
masyarakat lokal dalam bentuk HPH Bina Desa.
Dengan kontribusi yang menurun dan kondisi sumberdaya hutan yang
terancam serta mengacu studi yang dilakukan Departemen Kehutanan bersama
(46)
21
telah menetapkan lima program prioritas yaitu : (1) Pemberantasan penebangan
liar (illegal logging), (2) Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, (3)
Rehabilitasi hutan dan lahan, (4) Restrukturisasi industri kehutanan, dan (5)
Penguatan desentralisasi bidang kehutanan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu,
program prioritas tersebut diteruskan dengan sedikit perubahan dengan 5 target
sukses untuk program kerja lima tahun kedepan (2004-2009) yang meliputi : (1)
Penanggulangan penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal, (2) Revitalisasi
sektor kehutanan khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali
peran ekonomi kehutanan, (3) Rehabilitas dan konservasi sumberdaya hutan, (4)
Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, (5) Pemantapan kawasan hutan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VIII/2004
tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program
Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu dan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian
Negara atau Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.
Kebijakan Revitalisasi Kehutanan khususnya Industri Kehutanan adalah kebijakan
yang dimaksudkan untuk (1) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh serta
terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan
lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global,
(2) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) Meningkatkan pendapatan
masyarakat dan negara, dan (4) Pengelolaan hutan lestari yang mendukung
pengembangan industri kehutanan.
Implementasi program revitalisasi tersebut dilakukan dengan (1)
(47)
22
pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH), (3) Mengupayakan peningkatan
produksi hasil hutan bukan kayu, (4) Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan
Pajak termasuk Dana Reboisasi, (5) Memfasilitasi pembangunan HTI minimal 5
juta hektar, dan (6) Memfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar.
Secara lebih khusus dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintah tersebut
adalah untuk mewujudkan kondisi ekonomi jangka menengah dimana (1)
Kontribusi sektor kehutanan dalam PDB baik dari kayu ataupun bukan kayu dan
jasa lingkungan meningkat secara proporsional dan bertahap, (2) Penyerapan
tenaga kerja dibidang pemanfaatan hutan, pembangunan HTI, pengolahan hasil
hutan, konservasi dan jasa lingkungan meningkat, (3) Pendapatan riil masyarakat
yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan di
sekitar kawasan hutan meningkat, (4) Sektor kehutanan berperan nyata dalam
pembangunan dan pengembangan wilayah, (5) Beraneka usaha kehutanan
berskala kecil dan menengah mulai dari pemenuhan bahan baku sampai
pemasaran dapat berjalan dan terjamin keberlanjutannya, dan (6) Industri
kehutanan berskala besar, mulai dari pemanfaatan sampai pengolahan hasil hutan
berkembang secara efisien, berkelanjutan dan berdayasaing tinggi yang didorong
iklim usaha yang kondusif.
Ditjen Bina Produksi Kehutanan (2008) menjelaskan bahwa kebijakan
revitalisasi sektor kehutanan secara nasional terkait dengan 3 agenda Triple Track
Strategi Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu agenda pertumbuhan ekonomi,
penyediaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan. Agenda pertumbuhan
(48)
23
hasil hutan dan investasi baru kehutanan secara proporsional antara pengusaha
besar, menengah dan kecil di sektor hulu maupun hilir. Agenda penyediaan
lapangan kerja (pro-job) dimaksudkan untuk menggerakkan ekonomi di perkotaan
(sektor riil) berupa industri perkayuan dalam rangka menyerap tenaga kerja.
Adapun agenda penghapusan atau pengentasan kemiskinan (pro-poor) diarahkan
pada pemberian akses dan pengakuan legal atas usaha pemanfaatan Hutan
Produksi melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk mengurangi kemiskinan
dan pengangguran di perdesaan sekitar hutan. Dalam implementasinya kerangka
kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan mencakup sub sektor hulu (terkait bahan
baku), sub sektor hilir (terkait industri) dan kebijakan penunjang.
Kebijakan sub sektor hulu kehutanan mencakup usaha pemanfaatan Hutan
Produksi (dalam hal ini HPH pada hutan alam dan HTI untuk hutan tanaman)
sebagai usaha pengembangan sumber bahan baku. Pemerintah mempercepat
pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk HPH,
HTI dan HTR pada areal-areal yang saat ini tidak ada pengelolaan atau
pemanfaatan (open acces) seluas sekitar 20 juta hektar, termasuk di dalamnya
bagi usaha restorasi ekosistem hutan produksi. Untuk jaminan berusaha diberikan
selama 65 tahun sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun
untuk hutan tanaman, Penanaman Modal Asing (PMA) berbadan hukum
Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha. Kebijakan sub sektor
hilir kehutanan diarahkan pada pemanfaatan tanaman dari hutan rakyat, HTI,
peremajaan kebun dalam rangka outsourcing bahan baku sehingga ekonomi
rakyat bergerak. Kebijakan pendukung untuk menunjang kelancaran kedua sub
(49)
24
pelayanan, penguatan kelembagaan pelaku usaha kehutanan dan fasilitas ke pasar
hasil hutan.
Dalam revitalisasi sektor kehutanan pemerintah bermaksud (1) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh dengan struktur industri pengolahan kayu yang efisien, berwawasan lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan
berdayasaing global, (2) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, dan (4) Mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk mendukung pengembangan industri kehutanan.
Maksud tersebut antara lain akan diwujudkan dengan program : (1) peningkatan kinerja industri kehutanan, (2) pengelolaan hutan lestari untuk 200 unit HPH dan HTI, (3) peningkatan produksi hasil hutan non kayu, (4) optimalisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) termasuk PSDH dan DR, (5) pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas minimal 5 juta hektar, dan (f) pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 2 juta hektar (Dephut, 2005).
Pembangunan suatu industri di suatu wilayah bagaimanapun tidak dapat
dipisahkan dari upaya untuk pembangunan perekonomian suatu wilayah.
Keberadaan industri kehutanan bersama industri-industri lain di provinsi Jambi
telah memberikan andil kepada pertumbuhan perekonomian provinsi Jambi.
Disamping itu pengalaman pembangunan selama hampir empat dasawarsa
menyadarkan kita bahwa pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan
ekonomi membawa dampak pada tumbuhnya kesenjangan, baik antarsektor
perekonomian, antarwilayah maupun kesenjangan pendapatan antargolongan
masyarakat. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah antara lain bisa diukur
dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta
(50)
25
dengan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi. Pernyataan tersebut tidak salah
apabila hasil pertumbuhan ekonomi tersebut dinikmati secara adil dan merata oleh
seluruh lapisan masyarakat. Fakta yang sering dihadapi adalah pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pendistribusian hasil pembangunan
secara baik dan merata. Mekanisme trickle down effect yang diharapkan sering
tidak dapat bekerja.
Dilain pihak, ketika masyarakat di suatu wilayah tidak menikmati manfaat
sumberdaya alam dan lahan yang ada disekitar mereka, sementara tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup mereka terus berkembang dan dengan tingkat
penegakan hukum yang ada seperti dewasa ini, maka masyarakat akan mengambil
alih penguasaan sumberdaya tersebut dan mengalihkan kepada pemanfaatan oleh
masyarakat yang mereka yakini akan memberikan manfaat ekonomi.
Dari pohon industri hasil hutan (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 2000) sebagaimana tertera pada Gambar 1 dan Gambar 2, dapat
diketahui bahwa sesungguhnya masih terdapat industri hilir kehutanan yang
masih mungkin dikembangkan dan memberikan nilai tambah lebih besar pada
provinsi Jambi. Industri hilir tersebut antara lain adalah industri pulp, kertas dan
MDF.
2.2. Konsep dan Teori Pembangunan 2.2.1. Pembangunan Ekonomi
Todaro (2000) menyatakan dewasa ini terdapat lima teori pendekatan
pembangunan ekonomi. Empat teori atau pemikiran pertama telah saling bersaing
dan mendominasi kepustakaan pembangunan ekonomi dunia pasca Perang Dunia
(51)
26
(52)
27
(53)
28
(2) kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change
theories and patterns), (3) revolusi ketergantungan international (international
dependence revolution), dan (4) kontrarevolusi pasar bebas neoklasik
(neoclassical free market counterrevolution). Disamping itu dalam beberapa tahun
terakhir ini muncul pemikiran baru yang kemudian berkembang menjadi
pendekatan kelima. Pendekatan kelima tersebut populer dengan sebutan teori
pertumbuhan ekonomi baru atau endogen (new or endogenous theory of economic
growth).
Teori pertama yang menganggap pembangunan ekonomi adalah
serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan dan akan dialami oleh
setiap negara yang menjalankan pembangunan, sangat populer pada era tahun
1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1970-an teori pertama terdesak oleh teori kedua
dan ketiga yang lebih berbau ideologis daripada ekonomis. Teori ketiga ini
menekankan pada pentingnya kebijakan baru yang menghapuskan kemiskinan
secara total, kesempatan kerja yang lebih bervariasi dan mengurangi kesenjangan
distribusi pendapatan.
Pada tahun 1980-an pembangunan banyak dipengaruhi pemikiran
kontrarevolusi neoklasik (neoliberal) yang menekankan pentingnya peranan pasar
bebas, perekonomian terbuka, swastanisasi perusahaan pemerintah atau negara.
Dasar dari pemikiran ini adalah keterbelakangan negara-negara berkembang dan
akibat banyaknya campur tangan dan regulasi pemerintah dalam perekonomian
nasional. Pemikiran baru dalam pembangunan ekonomi muncul lagi di akhir
(54)
29
Konsep ekonomi neoklasik berhasil ketika diterapkan untuk percepatan
pembangunan di negara Jerman dan Israel, sebaliknya ternyata gagal untuk
mendorong percepatan pembangunan di negara-negara sedang berkembang
seperti: India, Philipina, Indonesia dan Srilanka. Marshal Plan sebagai wujud
konsep ekonomi neoklasik yakni konsep pembangunan dengan mendorong
pertumbuhan ekonomi dengan investasi kapital ternyata menghasilkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun diikuti dengan memburuknya tingkat
distribusi pendapatan, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati
hasil pembangunan. Oleh karena itu, kemudian disadari bahwa persoalan
pembangunan di negara yang sedang berkembang tidak hanya menyangkut
perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki
untuk mendorong pertumbuhan, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi
dan pemerataan hasil pembangunan (Hadi, 2001).
Djojohadikusumo (1994) menyatakan bahwa secara mendasar
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda.
Pertumbuhan ekonomi berhubungan dengan proses peningkatan produksi atas
barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan
ekonomi memiliki pengertian yang lebih luas. Peningkatan produksi merupakan
salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan ekonomi disamping ciri-ciri lain
seperti perubahan pada komposisi produksi, perubahan tentang alokasi dan pola
penggunaan sumberdaya produksi dalam sektor-sektor ekonomi, perubahan pola
distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi
(1)
Akita et al. (1999) telah melakukan penelitian tentang distribusi pendapatan rumahtangga di Indonesia dengan menggunakan analisis dekomposisi Theil dan Indeks Gini, berdasarkan data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993. Akita menemukan bahwa dalam jangka waktu tahun 1987–1993 tersebut : (1) kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perkotaan lebih besar dari kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perdesaan, (2) kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perkotaan cenderung meningkat, (3) sebaliknya kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perdesaan cenderung menurun, dan (4) selama enam tahun tersebut telah terjadi kenaikan indeks kemiskinan dari 0.241 menjadi 0.257
Sementara itu Etharina (2005) dalam penelitiannya tentang disparitas pendapatan antardaerah dengan menggunakan data PDB tanpa migas dan dengan migas untuk kurun waktu dari tahun 1983 sampai 2001, menemukan bahwa distribusi pendapatan tanpa migas lebih merata dibanding distribusi pendapatan dengan migas.
Sementara Hafizrianda (2006) dalam penelitian dampak pembangunan ekonomi berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di provinsi Papua menyimpulkan bahwa : (1) sektor berbasis pertanian yang paling besar perananya dalam distribusi pendapatan faktor produksi tenaga kerja adalah sektor pertanian primer perkebunan dan kehutanan, (2) sektor perkebunan dan kehutanan sangat menonjol dalam menciptakan kenaikan pendapatan rumahtangga, terutama untuk rumahtangga berpendapatan tinggi, (3) sektor industri makanan dan minuman mempunyai peranan besar dalam kenaikan pendapatan sektoral terutama untuk pertanian tanaman pangan, (4) sektor-sektor pertanian primer (tanaman pangan,
(2)
perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan) dan industri pengolahan kayu secara global lebih kuat memancarkan efeknya ke rumahtangga melalui jalur dasar yang melibatkan variabel antara tenaga kerja serta modal, dan (5) secara umum pembangunan ekonomi berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di provinsi Papua dimana kebijakan tersebut mampu mengurangi kesenjangan pendapatan yang terjadi dalam perekonomian Papua.
Astuti (2005) telah melakukan penelitian tentang dampak investasi sektor pertanian berupa infrastruktur yang dibangun swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan SNSE dan indikator kemiskinan diluar SNSE berupa FGT poverty index. Dengan metode tersebut dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumahtangga miskin di Indonesia yang terkena dampak perubahan pendapatan.
Penelitian lain antara lain dilakukan Susanti (2003) tentang dampak perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia, yang menggunakan aplikasi model ekonomi keseimbangan umum. Dalam penelitian tersebut antara lain disimpulkan bahwa peningkatan investasi sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan PDB, penurunan laju inflasi, peningkatan ekspor, peningkatan konsumsi agregat, dan penyerapan tenaga kerja agregat.
Menurut Torkamani dan Bakhshoodeh (2006), perkembangan investasi publik pada sektor pertanian dapat mendorong kegiatan investasi swasta dalam sektor tersebut. Pemerintah harus memperhatikan proyek infrastruktur tersebut dan memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk memperoleh keuntungan.
(3)
Arndt et al. (1998) mengkaji studi mengenai perekonomian Mozambiq yang didasarkan pada data SNSE terbaru tahun 1995, mengemukakan bahwa sektor pertanian memiliki pengganda yang besar dan pada umumnya lebih efektif dalam penggunaan modal yang kecil dibandingkan dengan sektor industri dan sektor jasa. Komoditi pertanian tersebut diantaranya tanaman pangan, peternakan dan hasilnya serta kehutanan.
Penelitian lain dilakukan oleh Sipayung (2000) tentang pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Indonesia, menjelaskan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan pada sektor pertanian meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Akibatnya, stok kapital total sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen, sementara kapital stok sektor non pertanian turun sebesar 2 persen.
Peningkatan dan penurunan stok kapital total pertanian dan non pertanian melalui proses produksi mempengaruhi produksi kedua sektor tersebut, dimana produksi sektor pertanian meningkat sebesar 0.30 persen dan sektor non pertanian turun sebesar 0.04 persen. Penurunan produksi sektor non pertanian ini disebabkan oleh penurunan stok kapital yang tidak mampu diimbangi oleh peningkatan produksi sektor non pertanian yang diakibatkan peningkatan produksi sektor pertanian melalui keterkaitan kedua sektor tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2001), salah satu tujuannya untuk mempelajari dampak perubahan kebijakan pembangunan (investasi dalam bentuk
(4)
pengeluaran pembangunan pemerintah dan adanya desentralisasi pengelolaan dari pusat ke daerah serta peningkatan investasi swasta terhadap pemerataan pembangunan wilayah) terhadap disparitas ekonomi Kawasan Indonesia Timur. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antar regional Kawasan Indonesia Timur dan Barat sebagai kerangka kerja dan analisis.
Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain adalah kebijakan pengembangan investasi dalam sektor industri manufaktur dan perdagangan internasional yang terpusat di Kawasan Indonesia Barat. Analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai tambah dari adanya injeksi ekonomi di masing-masing wilayah berjalan tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai pengganda antar wilayah Kawasan Indonesia Barat hampir dua kali lipat besar nilai pengganda antar wilayah Kawasan Indonesia Timur. Hal ini berarti apabila terdapat injeksi ke dalam perekonomian (investasi) di Indonesia Timur, maka nilai tambah yang mengalir ke Indonesia Barat akan dua kali lebih besar daripada bila sebaliknya terjadi. Hadi (2001) juga menemukan bahwa investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul oleh pihak swasta mengakibatkan pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur meningkat rata-rata sebesar 31.92 persen dan produksi meningkat rata-rata sebesar 45.4 persen. Sedangkan di Kawasan Indonesia Barat pendapatan golongan masyarakat meningkat rata-rata sebesar 6.37 persen dan produksi meningkat rata-rata sebesar 3.69 persen.
Ketertarikan tentang disparitas antar negara dimulai dari penelitian yang dilakukan oleh Kuznet (1955) yang mengembangkan hipotesis bahwa pada
(5)
awalnya disparitas akan meningkat dan selanjutnya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pada pertumbuhan pada awal pembangunan, akan terkonsentrasikan di wilayah-wilayah yang sudah modern. Atau dengan kata lain pertumbuhan di wilayah yang sudah modern akan lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain. Pada negera-negara berkembang dimana sektor pertanian masih mendominasi, tingkat disparitas sangat kecil. Ketika kemudian pada awal pembangunan terjadi industrialisasi, menyebabkan tingkat disparitas akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Karvis (1960) dan Oshima (1962) dalam Todaro (2000) mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuznet (1955). Karvis dan Oshima menyajikan data yang mendukung hipotesis Kuznet bahwa pada awalnya pertumbuhan meningkatkan tingkat disparitas, dan alasannya adalah bahwa perubahan struktur ekonomi menyebabkan peningkatan dalam tingkat disparitas. Dalam penelitiannya juga ditemukan bukti bahwa ekonomi dengan distribusi pendapatan yang tidak merata pembangunannya mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan dengan pemerataan pendapatan yang relatif baik.
Manaf (2000), dalam penelitian mengenai pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani, menggunakan pendekatan SNSE dan Structural Path Analysis (SPA). SNSE yang digunakan adalah SNSE Indonesia tahun 1995. Pendekatan SPA digunakan untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan.
Dalam penelitian tersebut Manaf (2000) menemukan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan.
(6)
Sedangkan pengaruh paling kecil diterima oleh rumahtangga petani pemilik lahan 0.5-1 hektar setelah melalui faktor produksi modal.