Teknik Analisis Data Uji Keabsahaan Hasil Penelitian
membutuhkan power Macht supaya ia dapat mengatasi dan mengembangkan physis
-nya dalam proses pencapaian tujuannya. Penjelasan pada paragraf ini juga memaparkan tentang Ethics of Power atau kekuatan etika. Semakin baik Ethics
seseorang maka ia semakin berpeluang untuk menjadi kehendak untuk berkuasa yang agung Levine, 2002:318-320.
Wujud kasat mata kehendak untuk berkuasa berupa potensi. Kehendak untuk berkuasa sebagai potensi yang dimiliki manusia terdapat dalam kalimat
sebuah cerita yang berjudul Von Den Verächtern Des Leibes “Der Leib ist eine groβe Vernunft, eine Vielheit mit Einem Sinn, ein
Krieg und ein Frieden, eine Herde und ein Hirt “.
“Tubuh adalah sebuah akal yang hebat, sebuah keberagaman dengan satu tujuan, sebuah perjuangan dan sebuah kedamaian, seorang tuan dan
seorang Gembala ” Nietzsche, 1994:13.
3
Pada kalimat tersebut Nietzsche mengungkapkan potensi-potensi yang ada pada Übermensch
. Potensi itu sudah alamiah ada di diri Übermensch. Seorang manusia harus dapat memanfaatkan potensi yang ada supaya impiannya terwujud
sempurna. Seorang Übermensch tidak patut mengatakan bahwa ia tidak memiliki potensi untuk kesuksesannya. Nietzsche mengungkapkan bahwa potensi manusia
terletak pada individu-individu tertingginya. Maksud Nietzsche dengan potensi terletak pada individu tertinggi bahwa karakter turut berperan menjadikannya
individu yang mulia dan berharga di mata bangsanya. Karakter Übermensch yang berasal dari kehendak yang membuat dunia terus berjalan.
Terciptanya dunia dan manusia berasal dari satu kehendak. Dan dunia ini dapat terus berjalan juga disebabkan oleh kehendak. Kehendak juga yang
menyebabkan adanya aturan dan norma moral yang berlaku pada suatu
masyarakat maupun manusia secara individu. Tetapi tidak selamanya kehendak untuk berkuasa memiliki pengertian yang negatif. Seharusnya manusia dapat
memahami kehendak untuk berkuasa sebagai motif dasar perbuatan baik. Sebab apabila tidak ada kehendak untuk berkuasa maka manusia tidak akan pernah dapat
membangun peradaban. Ketiadaan kehendak untuk berkuasa juga dapat menyebabkan manusia tidak pernah memiliki dorongan menguasai suatu ilmu.
Tapi sayangnya, rasionalisme Barat meruntuhkan motif dasar ini. Rasionalisme Barat lebih sering menekankan kepraktisan sehingga manusia masa kini
cenderung enggan untuk menguasai suatu ilmu, enggan mengatasi rintangan- rintangan yang ada, sering mengeluh terhadap rasa sakitnya dan lebih dimanjakan
oleh kepraktisan yang ditawarkan oleh modernitas. Hal ini tercermin dalam kutipan sebagai berikut
“Ihr habt den Weg vom Wurme zum Menschen gemacht, und vieles ist in euch noch Wurm. Einst wart ihr Affen, und auch jetzt noch ist der
Mensch mehr Affe, als irgend ein Affe”. “Kalian telah berubah dari cacing menjadi manusia, tapi banyak dalam
diri kalian yang masih seekor cacing. Dulu kalian adalah kera dan bahkan sekarang pun manusia lebih kera dari kera mana pu
n” Nietzsche, 1994 : 8.
4
Bukti mengenai Nietzsche yang menggolongkan manusia biasa diantara hewan terdapat dalam kutipan di bawah ini
“Der Mensch ist ein Seil, geknüpft zwischen Tier und Übermensch, - ein Seil über einem Abgrunde”.
“Manusia adalah seutas tali yang terentang antara hewan dan Adimanusia – sebuah tali di atas jurang tak berdasar” Nietzsche, 1994: 11.
5
Kita telah mengetahui bahwa dengan gagasan kehendak untuk berkuasa Nietzsche tidak bermaksud mengajukan suatu provokasi politik. Pengaruh konsep
dasar filsafat Nietzsche didapat dari pandangan Schopenhauer tentang dunia.
Gagasan Schopenhauer yang tertuang dalam bukunya The World as Will and Idea pada dasarnya merupakan salah satu bentuk adaptasi dan elaborasi pemikiran
Kant terhadap dunia. Ada 2 hal yang mempengaruhi sistem pemikiran Schopenhauer, 2 hal itu adalah pemikiran Kant tentang dunia dan pemikiran India
yang terdapat dalam buku Upanishad Sunardi, 2012:65. Dari pemikiran Kant, Schopenhauer juga mengakui adanya benda pada dirinya sendiri Das Ding an
sich . Contoh sederhana dari Das Ding an sich adalah ketika kita melihat benda
yang mempunyai banyak daun dan ranting, serta batang yang besar berwarna cokelat. Kemudian kita menyebutnya dengan sebutan “pohon”. Ketika kita
melihat hal-hal seperti itu dan kita menyebutnya dengan sebutan tertentu sesungguhnya yang kita lihat hanyalah fenomena yang dapat ditangkap oleh
indera kita, sedangkan benda pada dirinya sendiri Das Ding an sich bukanlah apa yang tertangkap oleh indera kita. Dari contoh sederhana tersebut kita
mendapat cara memandang dunia secara dualistik: dunia maya dan dunia paling nyata yang bersifat metafisik. Cara pandang ini yang terdapat dalam buku
Upanishad . Schopenhauer dan Nietzsche mengakui cara pandang ini. Bagi mereka
benda pada dirinya sendiri Das Ding an sich yang ada pada manusia bukanlah jasmani atau ruhani manusia, melainkan benda pada dirinya sendiri Das Ding an
sich yang ada pada manusia adalah Kehendak. Perbedaan antara Nietzsche dan
Schopenhauer ialah Nietzsche memakai gagasan tentang kehendak untuk berkuasa bukan sebagai prinsip untuk menjelaskan atau menafsirkan dunia, karena
Nietzsche hanya mengakui satu dunia, yaitu dunia fenomena.