Sikap Masyarakat Terhadap Perkawinan Adat Kejawen

1. Sikap Masyarakat Terhadap Perkawinan Adat Kejawen

a) Latar Belakang Terjadinya Pelanggaran Adat Perkawinan Kejawen Perkawinan adat kejawen adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan di suatu daerah yang masih menganut adat perkawinan Jawa kuno yang didasarkan pada kepercayaan warga terhadap adat tersebut. Suatu adat yang memang sudah menyatu dengan kehidupan sehari-hari sehingga warga sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan tersebut walaupun ada juga yang meninggalkan adat kejawen biasanya akan terjadi suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh warga yag melanggar atau meninggalkan adat kejawen tersebut. Di Desa Pandeyan memiliki adat atau tata cara perkawinan yang juga masih menganut adat Jawa kuno yaitu adat Kejawen.

Yang masih di yakini di Desa Pandeyan adalah

1) Perkawinan Bali Winih yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria yang menikahi seorang gadis yang berasal dari desa atau tanah kelahiran dari ayah pengantin pria atau suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh sebuah keluarga dimana calon pengantin pria menikahi seorang calon pengantin wanita yang berasal dari desa atau tanah kelahiran ayah dari pengantin pria.

2) Perkawinan Adu Cocor adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan yang memiliki tempat tinggal tidak berbatasan rumah lain atau berbatasan satu rumah antara rumah keluarga pengantin laki-laki dan perempuan.

3) Perkawinan Ngalor -Ngulon adalah perkawinan berdasarkan arah tempat tinggal dimana keluarga pengantin perempuan akan menikah dengan pengantin laki-laki yang arah perjalanan dari rumah keluarga perempuan dari arah utara kearah barat ketempat keluarga pengantin laki-laki.

Walaupun adat perkawinan tersebut diatas masih diakui memiliki kekuatan alam yang dianggap memiliki kekuatan sakral tetapi juga masih terdapat beberapa warga yang tetap menerjang atau melanggar adat kejawen tersebut.

Masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah masyarakat modern yang lebih memilih aturan-aturan perkawinan yang menggunakan aturan modern yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan perkawinan dan lebih sering mengabaikan perkataan atau nasehat dari orang tua yang masih mengaitkan segala sesuatu dengan adat kejawen termasuk mengingatkan warga apabila akan melangsungkan perkawian harus mengikuti adapt yang berlaku di Desa Pandeyan. Masyarakat merupakan suatu paguyupan atau kelompok yang terdiri atas suatu kesatuan terutama dari segi adat istiadat dan hukum adatnya. Kepercayaan terhadap suatu adat tidak dapat dilaksanakan secara setengah-setengah, apabila telah dilaksanakan dan dipercayai sejak orang-orang terdahulu maka generasi sekarang juga wajib melaksanakan apa yang telah menjadi ketentuan dimasa lalu dan harus di laksanakan pada generasi sekarang juga.

Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan suatu sutu aturan yang mengikat secara fisik yaitu dengan hukum dan sanksi yang di tentukan dan di sahkan oleh Negara dan aturang tersebut dalam bentuk tertulis jadi yang harus ditaati adalah apa yang tertulis dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan peraturan adat merupakan aturan yang telah ada dalam masyarakat yang mengikat secara batiniah maupun lahuriyah yang peraturannya tidak hanya

mengikuti peraturan yang telah tertulis tetapi juga dalam peraturan kepercayaan yang diyakini memiliki dampak bagi kehidupan warga dan peraturan tersebut hanya di ketahui oleh warga yang berada di dalam kelompok desa tertentu baik dalam hukum maupun sanksi hukumnya. Peraturan adat perkawinan yang tidak tertulis yang dipercayai oleh masyarakat dikuatkan dengan aturan-aturan tertulis yaitu aturan perundang-undangan yang telah dijelaskan apa dan bagaimana hak dan kewajiban seseorang dalam perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut oleh Negara diatur dengan kekuatan hukum yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tetapi tidak berarti hukum adat dan hukum agama dikesampingkan dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum walau tidak disahkan oleh pemerintah atau Negara hukum adat juga memiliki sanksi yang tidak dapat di tolak oleh warga yang melanggar adat perkawinan kejawen, karena adat juga memiliki sanksi yang lebih mengikat jiwa dari manusia yang berada dalam kelompok masyarakat dalam suatu desa sehingga apabila terdapat yang melanggar maka keberlakuan sanksi adat tidak dapat ditawar-tawar berbeda dengan aturan atau sanksi dalam peraturan perUndang-Undang yang masih bisa dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi dengan kata lain asal tidak ada yang mengetahui maka mereka dianggap tidak melanggar hukum ayau aturan.

Secara umum aturan adat masih dianggap mengikat pada individu dalam lingkup masyarakat apabila keyakinan tersebut masih melekat pada sanak keluarga yang masih hidup. Sehingga apabila tidak menjalankan adat yang berlaku maka sudah tidak dapat di pungkiri bahwa kita juga akan menerima sanksi dari alam yaitu sanksi adat yang dapat memberikan musibah atau hal-hal buruk akan terjadi pada kita. Di Desa Pandeyan merupakan suatu desa yang keseluruhan wargannya masih memiliki ikatan darah maka tidak dapat dihindari keberlakuan hukum adat kejawen di desa tersebut. Orang yang dianggap dituakan atau sebagai sesepuh desa merupakan orang yang dipercayai sebagai Jawa Kuno yang menganut adat kejawen, sebagian besar mereka adalah orang yang memegang aturan adat perkawinan di Desa Pandeyan.

Banyaknya masyarakat yang berpindah-pindah sehingga banyak mendatangkan banyak warga baru dengan pengetahuan yang berbeda-beda juga Banyaknya masyarakat yang berpindah-pindah sehingga banyak mendatangkan banyak warga baru dengan pengetahuan yang berbeda-beda juga

Dari aturan perkawinan adat kejawen yang selain dilengkapi oleh aturan perundang-undangan juga di tambah dengan hokum secara agama yang juga tertulis dan sanksinya ganda baik secara fisik maupun secara batiniah yang berhubungan langsung dengan Yang Maha Pencipta. Aturan dalam Undang- Undang perkawinan yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan aturan dalam hukum adat serta aturan agama sama-sama mengatur tentang tata cara pelaksanaan perkawinan dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk kemudian dapat meneruskan garis keturunan yang berikutnya dengan sah.

b) Faktor yang Menyebabkan Dilanggarnya Suatu Perkawinan Adat Kejawen Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan aturan adat kejawen dilupakan atau tidak dipercayai oleh sebagian dari masyarakat desa Pandeyan. Saudara Parmin mengungkapkan sebagian dari faktor pelanggaran adat yang dia lakukan adalah kurangnya pemahaman terhadap adat perkawinan yang berlaku di desa Pandeyan sehingga adat perkawinan tersebut dilanggarnya dan Saudara Parimin menerima dampak terhadap keluarganya karena melanggar adat perkawinan Ngalor Ngulon. Selain Parimin sendiri Waliman yang melanggar adat perkawinan Bali winih juga menambahkan apa yang menjadi factor dilanggarnya adat perkawinan di Desa Pandeyan “ Saya di Pandeyan ini adalah pendatang dari Semarang, yang menikah dengan istri saya dari Wonogiri khususnya dari Dusun

Kwangsan Desa Pandeyan yang daerah tersebut merupakan daerah tanah kelahiran ayah saya” menurut pendapat tersebut saudara Waliman dianggap tidak paham dan tidak ada penjelasan dari pihak orang tua bahwa perkawinannya itu adalah suatu kesalahan. Tetapi lain halnya yang dikatakan oleh saudara Kardo yang menganggap bahwa suatu adat istiadat merupakan aturan yang hanya diperuntukan bagi orang-orang pada jaman dahlu dan tidak berlaku untuk anak jaman sekarang, sehingga pada saat di peringati oleh orangtuanya Kardo membantah dan tetap melaksanakan perkawinan yang dia inginkan tersebut.

Selain itu saudara Karimin juga menambahkan lagi bahwa dirinya merupakan warga yang lebih percaya dengan aturan hukum pemerintahan dan tidak meyakini adanya peraturan adat istiadat, walau banyak warga yang menegur Karimin pada saat akan melaksanakan perkawinan bahwa dia melanggar adat Bali Winih, dia tetap tidak mempedulikan warga desa dan tetap melaksanakan perkawinannya.

Sering saya di dekati warga desa dan diperingati bahwa saya tidak diperkenankan untuk meneruskan perkawinan saya, sampai kedua orang tua saya mendatangkan sesepuh desa untuk menasehati saya, tetapi bagi saya apabila sudah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang kenapa tidak boleh toh saya anak yang berpendidikan dan mampu menghidupi keluarga saya.

Dari beberapa pendapat yang diungkapkan warga desa tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan dilanggarnya adat perkawinan kejawen adalah

1) Kurangnya pemahaman warga terhadap adat atau kebiasaan yang berlaku di desa pandeyan.

2) Tidak adanya rembukan atau pembicaraan dari kedua orang tua calon pengantin sehingga apa yang seharusnya tidak dilakukan menjadi dilakukan dan menimbulkan dampak pelanggaran adat perkawinan kejawen.

3) Sikap tidak peduli dengan keadaan lingkungan yang mengikat perilaku

warga denagn kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku sejak dahulu.

4) Warga pendatang yang belum lama tinggal di desa Pandeyan dan sama sekali tidak mengetahui adat yang berlaku di Desa Pandeyan. Menurut para sesepuh memang seharusnya ada rerembug terlebih dahulu

dengan warga atau orang lain yang dianggap tahu walau mereka pendatang tidak berarti dapat melanggar ketentuan adat tradisi di desa yang mereka tempati.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden mengenai kepercayaan terhadap hukum adat perkawinan kejawen adalah sebagai berikut: Berdasarkan penuturan Bapak Samsul yang juga mempercayai berlakunya hokum adat di Desa pandeyan ini mengatakan bahwa peraturan mengenai perkawinan sebaiknya disesuaikan dengan telah dipercayai warga, hal tersebut disebabkan adat merupakan suatu kebiasaan yang telah dilaksanakan sejak dahulu jadi tidak ada salahnya jika tetap dilaksanakan. Bapak Harsi Waluyo juga menambahkan bahwa adat kejawen sudah merupakan tradisi turun temurun dari orang-orang terdahulu di desa Pandeyan jadi adt kejawen tetap dilaksanakan sampai sekarang. Selainitu dari pihak pemerintahan ada juga yang sudah tidak percaya dengan adat kejawen yang berlaku di desa Pandeyan. Bapak semo dan bapak Larno yang sudah tidak percaya dan mulai meninggalkan adat kejawen.

Dari tokoh agama di desa Pandeyan hampir semua menentang berlakunya hokum adat. Hokum adat merupakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang mistik bukan percaya pada Tuhan pencipta alam dan bagi mereka hal tersebut adalah termasuk dalam syirik yaiyu menduakan Tuhan. Hal tersebut dikatakan juga oleh bapak Samono yang mengatak bahwa “percaya pada adat merupakan sesuatu yang syirik yaitu percaya pada hal-hal mistik dan tidak peercaya pada Tuhan”. Perdapat tersebut di tambahkan lagi oleh bapak Gino yang mengatakan”jika manusia mulai percaya pada hal-hal gaib selain pada Allah berarti mereka mulai meninggalkan agama dan sama halnya menduakan Allah SWT”.

Sedangkan dari pihak masyarakat sendiri juga terdapat berbagai macam pendapat mengenai adat pekawinan kejawen di desa Pandeyan. Seperti yang dikatakan oleh bapak Darmanto yang masih percaya dengan adanya aturan adat yang mengatur mengenai pekawinan di desa Pandeyan, kemudian bapak Sularmin Sedangkan dari pihak masyarakat sendiri juga terdapat berbagai macam pendapat mengenai adat pekawinan kejawen di desa Pandeyan. Seperti yang dikatakan oleh bapak Darmanto yang masih percaya dengan adanya aturan adat yang mengatur mengenai pekawinan di desa Pandeyan, kemudian bapak Sularmin

Menurut Dedy Ariyanto yangjuga melangggar adat yang awalnya tidak mengerti dan tidak percaya dengan adat kejawen tetapi setelah mengalami dampak perkawinan kejawen baru ia mempercayai dengan adanya hukum adat yang berlaku didesa Pandeyan tempat saudara Dedy tinggal bersama keluarganya. Menurut saudara Kardo yang mengatakan ” saya masih belum percaya dengan perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa saya melanggar adat dan terkena dampak dari pelanggaran adat tetapi apakah benar jika yang saya lakukan itu suatu pelanggaran bukankah yang namanya pelanggaran itu diatur dalam undang- undang bukan pada keputusan warga.” Menurut bapak Darminto yang juga merupakan warga desa yang melenggar adat kejawen yang juga percaya setelah mengalami dampak dari adat perkawinan kejawen. Menurut saudara Adi Laksono sebagai salah satu warga desa yang tidak melenggar dan taat pada adat jawa mengatakan ”walaupun saya termasuk generasi muda tetapi saya pribadi masih percaya denagan adat yang berlaku sebab adat merupakan kebudayaan yang merupakan suatu ciri dari bangsa Indonesia yang harus dilestarikan selain itu seluruh keluarga saya masih percaya pada adat sehingga saya juga harus masih percaya pada adat”.

Menurut bapak Sutarto ” aturan adat kejawen itu bagaimana juga harus tetap dijalankan baik bagi warga yang sudah asli Pandeyan maupun pendatang dan generasi mudanya sebab itu sudah merupakan kebiasaan yang sudah menjadi aturan dilingkungan masyrakat dan sebaiknya diindahkan dengan cara mentaati Menurut bapak Sutarto ” aturan adat kejawen itu bagaimana juga harus tetap dijalankan baik bagi warga yang sudah asli Pandeyan maupun pendatang dan generasi mudanya sebab itu sudah merupakan kebiasaan yang sudah menjadi aturan dilingkungan masyrakat dan sebaiknya diindahkan dengan cara mentaati

Pandeyan. No

Responden

Kepercayaan Terhadap Adat Perkawinan Kejawen

Percaya

Tidak Percaya

Pem. Desa

1 Samsul

2 Harsi Waluyo

3 Larno ü

4 Semo

Tokoh Agama

Tokoh Masyarakat

1 Darso Kasino

2 Marto Mariman

Warga Desa

4 Tarno Kasmin

5 Wahyu. P ü

6 Hardi Kustiyo

7 Waliman ü

8 Karjo

Sularmin Warsito Dedy Ariyanto Kardo Darminto Yatno Karimin Haryono Tarmin Katiyo Kurniawati Sukar Bejo Suparto Rejono Wiwik Lestari Adi Laksono Sutarto Hermawan Eko Setiyo Darmaji Untung Mulyadi Sakinem Sono Sukir Cahyo Nursiat Larsi Giyarmi Warni Sukaten Samijem Tumiyem Larno (mantan lurah) Sunar

40 Subroto ü Jumlah

Sebagian besar warga desa Pandeyan masih menggunakan adat kejawen dalam melaksanakan perkawinan terutama sebelum adanya kesepakatan sebagai syarat di setujuinya perkawinan antara kedua belah pihak. Hal tersebut dapat ditunjukkan seperti table diatas yang menunjukan ada 34 responden yang masih percaya dan tetap menggunakan adat kejawen sebagai dasar terlaksananya perkawinan dan prosesi perkawinan. Dan yang tidak setuju terdapat 17 responden dan lebih memilih perkawinan dengan cara modern yang lebih praktis tanpa memperdulikan resikonya.