Perkembangan Taqri>r Jama‘i> dalam Bah}th al-Masa>’il

2. Perkembangan Taqri>r Jama‘i> dalam Bah}th al-Masa>’il

Petunjuk operasional tentang pemilihan qawl atau wajh atau prosedur taqri>r jama‘i>, pertama kali diputuskan pada Muktamar NU I di Surabaya tahun 1926. Muktamar memutuskan, bahwa jika terjadi perbedaan pendapat di antara fuqaha>’, maka hirarkhi pemilihannya, sebagai berikut:

a. Memilih pendapat yang disepakati oleh al-Shaykha>ni> (al-Nawa>wi> dan al-Ra>i’i>).

b. Memilih pendapat yang dipilih Imam al-Nawa>wi> saja.

c. Pendapat yang dipilih oleh Imam al-Ra>i’i> saja.

d. Pendapat yang disokong oleh mayoritas ‘ulama>’.

e. Pendapat ‘ulama>’ yang terpandai.

f. Pendapat ‘ulama>’ yang paling wira’i>. 7 .

Prosedur taqri>r jama‘i> hasil Muktamar NU I di atas dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Ulama NU

Fikih Mazhab

al-Masa>'il

al-S<hāi'i>

al-Di>niyyah

T<aqri> Jama'i> 1. Memilih pendapat yang disepakati al-Nawa>wi>

dan al-Ra>i’i> 2. Memilih pendapat al-Nawa>wi> 3. Memilih pendapat al-Ra>i’i>

4. Dst.

7. LTN PBNU, Ah}ka>m al-Fuqaha>‘: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Surabaya: Khalista, 2011), 3.

Taqri>r Jama‘i>: Model Tarji>h} Kontekstual Nahdlatul Ulama Prosedur taqri>r jama‘i> di atas kemudian disempurnakan pada Munas

Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992, dengan rumusan sebagai berikut:

Jika dalam satu masalah yang sama terdapat beberapa qawl atau wajh, maka dalam melakukan taqri>r jama’i> dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengambil pendapat yang lebih mas}lah}ah dan atau yang lebih kuat.

2. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-I bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:

a. Pendapat yang disepakati oleh al-Shaykha>ni> (al-Nawa>wi> dan al-Ra>i’i>).

b. Pendapat yang dipegangi al-Nawa>wi> saja.

c. Pendapat yang dipegangi al-Ra>i’i> saja.

d. Pendapat yang diukung oleh mayoritas ‘ulama>’.

e. Pendapat ‘ulama>’ yang terpandai.

f. Pendapat ‘ulama>’ yang paling wira’i>. 8 Jika dicermati rumusan di atas, tidak jauh berbeda dengan rumusan

prosedur taqri>r jama‘i> hasil Muktamar NU I tahun 1926. Hanya saja, dalam rumusan Munas Alim Bandar Lampung ada tambahan pada poin pertama ”mengambil pendapat yang lebih mas}lah}ah dan atau yang lebih kuat”. Meskipun hanya ada tambahan satu poin, tapi dampaknya luar biasa, dilihat dari dua sisi.

Pertama, dengan dicantumkannya kata ”pendapat yang lebih mas} lah}ah”, menunjukkan terjadinya reorientasi di dalam bermazhab qawli> dari yang semula cenderung skriptualis-tekstualis menuju substansialis- kontekstualis. Perubahan tersebut tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pra Munas dan peran Kiai Sahal yang sering mengkampanyekan urgensi mempertimbangkan mas}lah}ah dalam memberikan fatwa hukum. Pada tahun 1988, para intelektual muda NU menyelenggarakan seminar dengan tema ”Telaah Kitab secara Kontekstual” di Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan Magelang yang antara lain menghasilkan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1) Teks kitab harus dipahami sesuai dengan konteks sosial historisnya. 2) Perlu dikembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab. 3) Perlu dilaksanakan studi komperatif (muqa>balah) mengenai masalah-masalah yang mukhtalaf ’anh (debatable) dengan kitab

8. Ibid., 460.

Membaca dan Menggagas NU ke Depan: lain. 4) Perlu dilakukan kajian lintas disiplin ilmu terkait dengan materi

yang tercantum dalam kitab. 5) Menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif. 9

Sementara peran Kiai Sahal dalam mengkampanyekan pentingnya mempertimbangkan mas}lah}ah dalam memberikan fatwa hukum dapat dilihat dari gagasannya tentang ikih sosial. Menurutnya, seorang kiai dalam mengemban misi warathat al-anbiya>’ harus faqi>h ‘an mas}a>lih} al-khalq i al-dunya>. Artinya, seorang kiai harus mampu menangkap ”pesan zaman” demi kemaslahatan umat. Konsekuensinya, sebelum para kiai mengeluarkan fatwa hukum, ia harus mempunyai wawasan keagamaan sekaligus wawasan sosial yang memadai, untuk menentukan ukuran-ukuran mas}lah}ah yang mu’tabar, berhubungan dengan masalah di>ni>yah maupun dunya>wi>yah yang

tidak menyimpang dari al-kulliya>t al-khams. 10 Kiai Sahal memberikan contoh, jika kiai ingin berfatwa dalam permasalahan pajak, maka terlebih dahulu, kiai harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pajak, bagaimana prosesnya, untuk apa uang pajak tersebut digunakan, sehingga fatwa yang dikeluarkannya memiliki pijakan yang kuat, tapi lentur, tidak menutup mata terhadap realitas yang plural, tetapi sekaligus tidak silau

terhadap berbagai bentuk inovasi dan modernitas yang semakin canggih. 11 Gagasan kiai Sahal tersebut, pada gilirannya menjadi inspirasi lahirnya butir ketiga dari sistem pengambilan keputusan hukum dalam bah}th al-masa>’il di lingkungan NU, tentang pentingnya mempergunakan kerangka analisis masalah, analisis dampak, analisis hukum dan analisis tindakan dalam

memberikan fatwa hukum. 12

9. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogjakarta: LkiS, 2004), 128.

10. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta, LkiS, 1994), 171-172. 11. Ibid., 173. 12. Bunyi lengkap ketentuan kerangka analisis masalah, hasil Munas Bandar Lampung

sebagai berikut: “Kerangka Analisis Masalah. Dalam memecahkan masalah sosial, bah}th al-masa>’il hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan sebagai berikut: a) Analisa masalah. Masalah yang akan dipecahkan, dianalisa terlebih dahulu dari berbagai aspek meliputi aspek ekonomi, budaya, politik, sosial dan lainnya. b) Analisa dampak (pengaruh). Masalah yang akan dipecahkan, terlebih dahulu harus dilihat dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya baik dari aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosial-politik dan seterusnya. c) Analisa Hukum. Keputusan hukum diupayakan tidak sekedar iqh oriented, tetapi juga memperhatikan pertimbangan prinsip-prinsip Islam secara umum dan hukum positif, meliputi: status hukum (al-ah}ka>m al-khamsah atau sah-batal), dasar dari

Taqri>r Jama‘i>: Model Tarji>h} Kontekstual Nahdlatul Ulama Kedua, tambahan kalimat ”dan atau pendapat yang lebih kuat” dalam

rumusan Munas Bandar Lampung tentang taqri>r jama‘i> memberikan isyarat perubahan paradigma pemilihan pendapat (tarji>h}) dari yang semula tarji>h} yang bersifat personal-sha>i‘i>yah oriented, tarji>h} karena faktor kehebatan dan popularitas tokoh, seperti memilih pendapat al-Nawa>wi> dan al-Ra>i‘i> menuju tarji>h} kontekstual yang mengacu pada validitas dan autentisitas dalil yang dipakai seorang mujtahid dalam lingkup mazhab Sha>i‘i>.

Prosedur taqri>r jama‘i> hasil Munas Alim Ulama tahun 1992 di atas dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Ulama NU

Fikih Mazhab

al-Masa>'il

al-S<hāi'i>

al-Di>niyyah

T<aqri> Jama'i> 1. Memilih pendapat yang lebih mas}lah}ah dan atau

yang lebih kuat 2. Memilih pendapat yang disepakati al-Nawa>wi>

dan al-Ra>i’i> 2. Memilih pendapat al-Nawa>wi> 3. Memilih pendapat al-Ra>i’i>

4. Dst.

Pada perkembangan berikutnya, prosedur taqri>r jama‘i> hasil rumusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tersebut, disempurnakan lagi pada Muktamar NU XXXI di Donohudan Solo Jawa Tengah dengan rumusan sebagai berikut:

Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘iba>rat kitab, dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama‘i

ajaran ahl al-sunnah wa al-jamaah dan hukum positif. d) Analisa Tindakan, Peran dan Pengawasan. Ketika keputusan hukum telah ditetapkan, maka harus dipertimbangkan siapa saja yang melakukan, bagaimana, kapan dan dimana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai rencana. Untuk itu, bisa dilakukan melalui: jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan Negara dengan sasaran mempengaruhi kebijakan pemerintah), jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain), jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat) dan jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan dan seterusnya). LTN PBNU, Ah}ka>m al-Fuqaha>’, 471-472.

Membaca dan Menggagas NU ke Depan:

untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut:

a Dengan mengambil pendapat yang lebih mas}lah}ah dan/atau yang lebih kuat.

b. Khusus dalam mazhab Sha>i‘i>, sesuai dengan keputusan Muktamar NU I (1926), perbedaan dapat diselesaikan dengan cara memilih:

1) Pendapat yang disepakati oleh al-Shaykha>ni> (al-Nawa>wi> dan al-Ra>i’i>). 2) Pendapat yang dipegangi al-Nawa>wi> saja. 3) Pendapat yang dipegangi al-Ra>i’i> saja. 4) Pendapat yang diukung oleh mayoritas ‘ulama>’.

5) Pendapat ‘ulama>’ yang terpandai. 6) Pendapat ‘ulama>’ yang paling wira’i>.

c Untuk mazhab selain Sha>i‘i> berlaku ketentuan-ketentuan menurut mazhab yang bersangkutan. 13

Sepintas, rumusan prosedur taqri>r jama‘i> di atas, sama dengan rumusan Munas Alim Ulama Bandar Lampung. Yang membedakan, hanya ada tambahan poin c yaitu ” Untuk mazhab selain Sha>i‘i> berlaku ketentuan- ketentuan menurut mazhab yang bersangkutan.” Hal ini menunjukkan, bahwa sejak Muktamar XXXI Donohudan, dalam melakukan taqri>r

jama‘i>, para kiai NU, secara eksplisit, 14 menegaskan tidak hanya berpijak pada tarji>h} di antara pendapat-pendapat yang berkembang dalam mazhab Sha>i‘i>, melainkan merambah pada mazhab lainnya dengan memperhatikan ketentuan tarji>h{ mazhab yang bersangkutan.

Prosedur taqri>r jama‘i> rumusan Muktamar NU XXXI di Donohudan Solo Jawa Tengah tahun 2004 tersebut, disempurnakan lagi pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya tahun 2006 dengan rumusan sebagai berikut:

Taqri>r Jama‘i> 1. Deinisi. Taqri>r jama‘i> adalah upaya kolektif untuk menetapkan pilihan

terhadap satu di antara beberapa pendapat.

13. LTN PBNU, Ah}ka>m al-Fuqaha>’, 847-848. 14. Penulis perlu menambahkan kata “eksplisit”, mengingat sebenarnya rumusan

prosedur taqri>r jama‘i> hasil Munas Alim Ulama Bandar Lampung sudah mengisyaratkan (implisit) kemauan untuk melakukan tarji>h} lintas mazhab.

Taqri>r Jama‘i>: Model Tarji>h} Kontekstual Nahdlatul Ulama 2. Prosedur

a. Mengidentiikasi pendapat-pendapat ulama tentang suatu masalah yang dibahas. b. Memilih pendapat yang unggul dengan kriteria sebagai berikut: 1) Pendapat yang paling kuat dalilnya. 2) Pendapat yang paling mas}lah}ah (as}lah}). 3) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama

(jumhu>r). 4) Pendapat ulama>’ yang paling ‘a>lim. 5) Pendapat ulama>’ yang paling wara‘.

c. Memperhatikan ketentuan dari masing-masing mazhab atas pendapat yang diunggulkan di kalangan mereka dengan uraian sebagai berikut:

1) Mazhab H{anai> 2) Mazhab Ma>liki> 3) Mazhab Sha>i‘i>

a) Pendapat shaykha>n (al-Nawa>wi> dan al-Ra>i‘i>) menjadi suatu keniscayaan yang harus diambil jika sesuai dengan konteks permasalahannya. Tetapi jika tidak sesuai dengan konteksnya, maka dapat dipakai ulama lain dalam lingkup mazhab Sha>i‘i> yang lebih sesuai.

b) Untuk mengukur kepandaian seorang ulama selain shaykha>n, bisa dilakukan dengan menggunakan persaksian ulama-ulama yang hidup semasa atau sesudahnya (murid-muridnya), dan atau bisa juga dilakukan dengan melihat karya-karyanya dilihat dari segi metodologi dan pemikiran yang tertuang di dalamnya.

4) Mazhab H{anbali>. 15 Jika dicermati, rumusan prosedur taqri>r jama‘i> di atas, merupakan

rumusan yang paling sempurna, lengkap, rinci dibanding dengan rumusan- rumusan sebelumnya, dilihat dari:

Pertama, prosedur taqri>r jama‘i> poin a ” Mengidentiikasi pendapat- pendapat ulama>’ tentang suatu masalah yang dibahas”, menghendaki bahwa forum bah}th al-masa>’il harus melakukan proses inventarisasi terlebih dahulu terhadap kemungkinan ditemukannya beberapa pendapat tentang masalah yang dibahas, tidak hanya dalam mazhab Sha>i‘i> melainkan juga mazhab lain.

15. LTN PBNU, Ah}ka>m al-Fuqaha>’, 861-862.

Membaca dan Menggagas NU ke Depan: Kedua, dari beberapa pendapat yang ada, kemudian dilakukan taqri>r

jama‘i> untuk memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya, lebih mas}lah}ah, didukung mayoritas ulama dan seterusnya, sebagaimana dimaksud poin

b. Ketiga, poin c ”Memperhatikan ketentuan dari masing-masing mazhab atas pendapat yang diunggulkan di kalangan mereka”, memberikan pengertian bahwa ketika dalam suatu masalah yang dihadapi, jawaban ditemukan dalam mazhab H{anai> misalnya, maka tidak serta merta pendapat tersebut langsung diambil, melainkan harus dilakukan veriikasi terlebih dahulu, apakah pendapat tersebut merupakan pendapat yang terkuat dalam mazhab H{anai> atau tidak. Adapun ketentuan peringkat pendapat atau kitab standar dalam masing-masing mazhab, dapat dilihat keputusan Munas Alim

Ulama Sukolilo tentang al-kutub al-mu‘tabarah. 16 Prosedur taqri>r jama‘i> hasil Muktamar NU XXXI Donohudan dan Munas Alim Ulama Sukolilo di atas dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Ulama NU

Fikih Mazhab

al-Masa>'il

Empat

al-Di>niyyah

T<aqri> Jama'i> 1. Memilih pendapat yang lebih mas}lah}ah dan atau yang lebih kuat dalam mazhab empat. 2. Memilih pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan ketentuan masing-masing mazhab.