MENINGKATKAN KREATIFITAS MEMBUAT TOPENG DARI BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA MELALUI PENDEKATAN CTL DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA DI KELAS V SD NEGERI 3 SRIKANDANG BANGSRI JEPARA

(1)

MENINGKATKAN KREATIFITAS MEMBUAT TOPENG

DARI BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA

MELALUI PENDEKATAN CTL DALAM PEMBELAJARAN

SENI RUPA DI KELAS V SD NEGERI 3 SRIKANDANG

BANGSRI JEPARA

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana S1 PGSD Universitas Negeri Semarang

Oleh WIDIYANTO

140207124

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa hal yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Hal yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2011

Yang membuat Pernyataan,

WIDIYANTO


(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Meningkatkan Kreatifitas Membuat Topeng Dari Bahan Alam Dan Bahan Sisa Melalui Pendekatan CTL Dalam Pembelajaran Seni Rupa Di Kelas V SD Negeri 3 Srikandang Bangsri Jepara” ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes pada:

hari : Kamis tanggal : 15 Juli 2011

Semarang, Juli 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Masitah, S. Pd, M. Pd Drs. Sutaryono, M. Pd

NIP.195905111987031001 NIP.195708251983031015

Diketahui oleh: Ketua Jurusan PGSD

Drs. A. Zaenal Abidin, M.Pd NIP. 195605121982031003


(4)

iv

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang pada:

hari : Kamis tanggal : 15 Juli 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Drs. Hardjono, M.Pd Drs. Jaino, M.Pd

NIP. 19510801 197903 1 007 NIP. 19540815 198003 1 004

Penguji Utama

Dr. Sri Sulistyorini, M. Pd NIP.19551005 198012 2 001

Penguji 2 Penguji 3

Masitah, S. Pd, M. Pd Drs. Sutaryono, M. Pd NIP.19590511 198703 1 001 NIP.19570825 198303 1 015


(5)

v

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Moto : 8 hal yang penting dalam hidup: Belajar memberi dan menghargai

Belajar menerima kebahagiaan dan kesedihan Belajar saling berbagi dan memaafkan

Belajar mempercayai dan menyayangi

Persembahan : Karya tulis ini penulis persembahkan kepada orang-orang tercinta yaitu:

™ Ayah, Ibu dan keluarga besarku yang selalu mendukung, memberikan perhatian dan kasih sayangnya.

™ Istriku tercinta Susanti yang selalu ada dalam setiap suka dan duka.

™ Sahabat-sahabatku yang banyak menghibur dalam mengisi hari-hari sehingga menjadi lebih

menyenangkan.

™ Kakakku Askan, Mawan, Yuni, Arum, Wiko, Wino, Jidatun, Sholekhah yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam menyusun karya ini.

™ Seluruh pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak telah memberikan doa dan dukungannya.


(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T karena berkat rakhmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian tindakan kelas.

Dengan penuh rasa tanggung jawab maka penulis menyusun skripsi ini berdasarkan hasil PTK di Sekolah Dasar Negeri 3 Srikandang Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Penulisan laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan program sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karana itu penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih kepada:

1. Drs. Hardjono, M.Pd. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam melaksanakan penelitian

2. Drs. Zaenal Abidin, M. Pd, Ketua Jurusan Pendidikan GurunSekolah Dasar yang telah memberikan petunjuk dalam melaksanakan penelitian. 3. Masitah, S.Pd, M.Pd. Dosen pembimbing I, yang telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan terhadap penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. Sutaryono, M.Pd. Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan bantuan terhadap penulis pada saat menulis skripsi ini. 5. Barda’i, S.Pd. Kepala Sekolah SD Negeri 3 rikandang, yang telah

memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di SD Negeri 3 Srikandang

6. Kepada seluruh guru SD N 3 Srikandang yang telah memberikan dukungan pada saat pelaksanaan penelitian dan menyelesaikan laporan ini.

7. Rekan-rekan yang telah memberi dorongan dan berbagi pengalaman pada proses penyusunan laporan ini.


(7)

vii

Teriring doa semoga segala bantuan yang telah diberikan, sebagai amal sholeh senantiasa mendapat Ridho Allah SWT. Sehingga pada akhirnya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu serta kemampuan profesional tenaga kependidikan guru sekolah dasar pada khususnya.

Jepara, Juni 2011


(8)

viii ABSTRAK

Widiyanto. 2011. Meningkatkan Kreatifitas Membuat Topeng Dari Bahan alam Dan Bahan Sisa Melalui Pendekatan CTL Dalam Pembelajaran seni Rupa Di Kelas V SD Negeri 3 Srikandang Bangsri Jepara.. Skripsi. Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Masitah, S.Pd, M.Pd., Pembimbing II: Drs. Sutaryono, M.Pd. 141 halaman.

Kata kunci: Meningkatkan Kreativitas membuat Topeng melalui Pendekatan CTL

Dalam kurikulum 2004, pendidikan seni di Sekolah Dasar dilaksanakan melalui mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertangkes) mempunyai tujuan: (1) mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa melalui penelaahan jenis, sifat, fungsi, alat, bahan, proses dan teknik dalam membuat berbagai produk teknologi serta seni yang berguna bagi kehidupan manusia, (2) mengembangkan kemampuan intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan kreatif, keterampilan dan mengapresiasi terhadap hasil karya seni dan keterampilan dari berbagai wilayah Nusantara dan mancanegara, dan (3) menumbuhkembangkan sikap profesional, kooperatif, toleransi kepemimpinan, kekaryaan, dan kewirausahaan.

Hasil survey di SDN 3 Srikandang bersumber dari data lapangan, siswa serta guru-guru dan kepala sekolah, diketahui bahwa pembelajaran seni rupa sebagai bagian dari pembelajaran seni budaya dan keterampilan belum dilaksanakan secara maksimal, hal ini dapat dilihat khususnya pada kelas V dengan rendahnya nilai siswa di tahun 2007 dengan rata-rata nilai 6, di tahun 2008 dengan rata-rata 6,5 dan di tahun 2009 dengan rata-rata 6 dan hasil karya siswa yang dipajang di kelas menggunakan bahan-bahan yang dibeli dari toko bangunan atau toko-toko peralatan sekolah dan hasil karyanya itu kurang baik. Padahal pembelajaran seni rupa tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli bahan-bahan untuk menghasilkan karya seni artistik dan kreatifitas. Penyebab kurangnya kemampuan, kecakapan guru dan model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran konvensional (tradisional).

Penulis lebih memusatkan pembelajaran yang berpusat pada anak, dengan memanfaatkan bahan-bahan alam maupun bahan-bahan sisa untuk membuat topeng dari bahan-bahan tersebut mudah didapat, tidak memerlukan biaya banyak dan lebih penting dapat diterima siswa, baik dari sisi edukatif, sosila budaya, moral dan dapat membawa siswa ke arah pengembangan diri secara optimal sebagaimana yang diamanatka oleh tujuan kurikulum pendidikan seni rupa dan pendidikan seni. Dengan membuat topeng melaui figure atau motif manusia. Hal ini mengingat periode perkembangan anak usia SD khusunya kelas V adalah masa permulaan Realisme (9-11 tahun). Periode dimana anak mulai berkeinginan mengekspresikan karakter-karakter figure manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, non figuratif atau figur-figur khayali seniman itu sendiri.

Hasil penelitian dari observasi aktivitas belajar siswa kelas V pada pembelajaran seni rupa dalam meningkatkan kreativitas membuat topeng dari bahan alam dan bahan sisa melalui pendekatan CTL menunjukkan bahwa : Hasil penelitian yang dilaksanakan pada Siklus I dengan indikator atau tingkat keberhasilan siswa adalah 84,31% yang menunjukkan kategori tingkatannya yaitu hasil belajar baik. Hasil penelitian yang dilaksanakan pada Siklus II dengan indikator atau tingkat keberhasilan siswa adalah 85,28% yang menunjukkan kategori tingkatannya yaitu hasil belajar baik. Hasil penelitian yang dilaksanakan pada Siklus III dengan indikator atau tingkat keberhasilan siswa adalah 87,15% yang menunjukkan kategori tingkatannya yaitu hasil belajar baik sekali. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan dari Siklus I (84,31%), Siklus II (85,28) dan Siklus III (87,15%).


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

PERNYATAAN KEASLIAN ………. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ….………. ix

MOTO DAN PERSEMBAHAN ………. . v

PRAKATA ………... vi

ABSTRAK ……….. viii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ………...………. xi

DAFTAR DIAGRAM ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……….………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ………..……… xiv

BAB I. PENDAHULUAN ……….... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah ……….……….. 5

C. Tujuan Penelitian ……….……….... 6

D. Manfaat Penelitian ……….………...… 6

BAB. II KAJIAN PUSTAKA ………... 7

A. Kerangka Teori ………... 7

B. Kajian Empiris ……… 39

C. Kerangka Berpikir ………. 43

D. Hipotesis Tindakan ………. 46

BAB. III METODE PENELITIAN ……… 47

A. Rancangan Penelitian ………. 47

B. Perencanaan Tahap Penelitian ……..………. 49

C. Subyek Penelitian ………..…. 52

D. Tempat Penelitian ……….….. 52


(10)

x

F. Teknik Analisis Data ……….……….……… 54

G. Indikator Keberhasilan ………...………..…. 55

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….... 58

A. Hasil Penelitian ……….………… 58

B. Pembahasan ………...………...… 90

BAB V. PENUTUP ……….………... 94

A. Simpulan ………... 94

B. Saran ……….……… 95

DAFTAR PUSTAKA ……….…. 96


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi Kategori Tingkatan Dan Persentase Tabel 1.2 Nilai Hasil Pengamatan Proses

Tabel 1.3 Kriteria

Tabel 1.4 Klasifikasi Kategori Tingkatan Dan Persentase Tabel 1.5 Nilai Hasil Karya Siswa

Tabel 1.6 Nilai Akhir Kreativitas Siswa

Tabel 1.7 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus I Tabel 1.8 Kriteria Siklus I

Tabel 1.9 Lembar Nilai Hasil Karya Siswa Siklus I Tabel 1.10 Kriteria Siklus I

Tabel 2.1 Lembar Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus I

Tabel 2.2 Klasifikasi Kategori Tingkatan dan Persentase Siklus I Tabel 2.4 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus II

Tabel 2.5 Kriteria Siklus II

Tabel 2.6 Lembar Nilai Hasil Karya Siswa Siklus II Tabel 2.7 Kriteria Siklus II

Tabel 2.8 Lembar Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus II

Tabel 2.9 Klasifikasi Kategori Tingkatan dan Persentase Siklus II Tabel 3.1 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus III

Tabel 3.2 Kriteria Siklus III

Tabel 3.3 Lembar Nilai Hasil Karya Siswa Siklus III Tabel 3.4 Kriteria Siklus III

Tabel 3.5 Lembar Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus III


(12)

xii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Perbandingan Hasil Belajar Siswa Siklus I

Diagram 4.2 Perbandingan Hasil Belajar Siswa Siklus I, siklus II


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Hasil Karya Membuat Topeng Siklus I Gambar 2 Hasil Karya Membuat Topeng Siklus II Gambar 3 Hasil Karya Membuat Topeng Siklus III

Gambar 4 Perbedaan Peningkatan Kreativitas Siswa Siklus I, Siklus II, Siklus III Berdasarkan Karya Siswa

Gambar 5 Foto-foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus I Gambar 6 Foto-foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus II Gambar 7 Foto-foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus III


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I Lampiran 2 Lembar Penilaian Perencanaan Siklus I Lampiran 3 Lembar Penilaian Pelaksanaan Siklus I

Lampiran 4 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus I Lampiran 5 Lembar Penilaian Hasil Karya Siswa Siklus I

Lampiran 6 Lembar Penilaian Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus I Lampiran 7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II

Lampiran 8 Lembar Penilaian Perencanaan Siklus II Lampiran 9 Lembar Penilaian Pelaksanaan Siklus II Lampiran 10 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus II Lampiran 11 Lembar Penilaian Hasil Karya Siswa Siklus II

Lampiran 12 Lembar Penilaian Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus II Lampiran 13 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus III

Lampiran 14 Lembar Penilaian Perencanaan Siklus III Lampiran 15 Lembar Penilaian Pelaksanaan Siklus III Lampiran 16 Lembar Pengamatan Penilaian Proses Siklus III Lampiran 17 Lembar Penilaian Hasil Karya Siswa Siklus III

Lampiran 18 Lembar Penilaian Hasil Akhir Kreativitas Siswa Siklus III Lampiran 19 Foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus I

Lampiran 20 Foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus II Lampiran 21 Foto Kegiatan Siswa Membuat Topeng Siklus III Lampiran 22 Surat Permohonan Izin Penelitian


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Secara umum Sekolah Dasar diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan menengah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan, sangat penting dalam proses pembelajaran. Program di sekolah dilaksanakan secara teratur dan sistematis, dengan sarana dan prasarana yang memadai serta peran guru sebagai pembimbing akan menghasilkan pemahaman yang cepat bagi siswa. Meskipun, dalam kenyataannya, banyak sarana dan prasarana yang masih kurang memadai terutama di Sekolah Dasar. Keberhasilan tentunya juga sangat ditentukan oleh berbagai faktor salah satunya harus ada keterkaitan antar komponen pembelajaran yaitu: tujuan, metode, media, materi, dan evaluasi pembelajaran. Dengan adanya pendidikan seni di Sekolah Dasar anak dapat mengembangkan keterampilan berkarya serta cita rasa keindahan dan kemampuan menghargai seni.


(16)

Dalam kurikulum 2004, pendidikan seni di Sekolah Dasar dilaksanakan melalui mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertangkes) mempunyai tujuan: (1) mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa melalui penelaahan jenis, sifat, fungsi, alat, bahan, proses dan teknik dalam membuat berbagai produk teknologi serta seni yang berguna bagi kehidupan manusia, (2) mengembangkan kemampuan intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan kreatif, keterampilan dan mengapresiasi terhadap hasil karya seni dan keterampilan dari berbagai wilayah Nusantara dan mancanegara, dan (3) menumbuhkembangkan sikap profesional, kooperatif, toleransi kepemimpinan, kekaryaan, dan kewirausahaan.

Pendidikan seni sebagai bagian dari mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan untuk membentuk manusia berkwalitas, khususnya dalam menggambar merupakan pendekatan yang ideal dengan tujuan merangsang daya imajinasi dan kreativitas dalam berfikir serta membentuk jiwa melalui pengalaman emosi, imajinatif, dan ungkapan kreatif. Seperti apa yang dikatakan John Dewey (dalam Salam, 2001:17) bahwa kegiatan seni rupa sebagai kegiatan pengalaman estetis mampu menimbulkan kegairahan dan menimbulkan kesadaran akan sesuatu pengalaman yang khas dalam kehidupan. Pada akhirnya akan menjadikan manusia yang utuh, mandiri, dan bertanggung jawab.

Pengajaran seni rupa dewasa ini sudah menjadi bagian dari program pendidikan umum di sekolah-sekolah. Dasar dan sasaran pengajaran melalui kegiatan seni rupa adalah membantu siswa untuk dapat mengungkapkan gagasan,


(17)

sikap, perasaan, nilai dan imajinatif yang melibatkan pertumbuhan pribadinya. Selain itu dalam perkembangannya siswa dapat memperolah pemahaman mengenai warisan budaya dan peranan seniman serta perajin. Manfaat pendidikan seni rupa bagi kehidupan pribadi maupun bermasyarakat adalah membantu anak untuk dapat menggunakan kecerdasan dalam bernilai karya seni, mencerap lingkungan hidupnya dan dapat mengekspresikan diri dengan bantuan keterampilan yang didapat dalam pendidikan, sehingga bentuk karya yang sesuai dengan bakat yang dimilikinya dapat disumbangkan bagi kesejahteraan hidup.

Berdasarkan hasil survey awal di SDN 3 Srikandang, baik bersumber dari data dari lapangan, siswa serta guru-guru dan kepala sekolah, diketahui bahwa pembelajaran seni rupa sebagai bagian dari pembelajaran seni budaya dan keterampilan belum dilaksanakan secara maksimal, hal ini dapat dilihat khususnya pada kelas V dengan rendahnya nilai siswa di tahun 2007 dengan rata-rata nilai 6, di tahun 2008 dengan rata-rata 6,5 dan di tahun 2009 dengan rata-rata 6 dan hasil karya siswa yang dipajang di kelas menggunakan bahan-bahan yang dibeli dari toko bangunan atau toko-toko peralatan sekolah seperti triplek, sterofoam, kertas warna, spidol ataupun penggunaan cat warna dan hasil karyanya itu kurang baik. Padahal pembelajaran seni rupa tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli bahan-bahan untuk menghasilkan karya seni artistik dan kreativitas. Faktor penyebabnya adalah kurangnya kemampuan dan kecakapan guru dan model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran konvensional (tradisional). Pembelajaran seni dalam kegiatan ekstra kulikuler juga tidak berjalan dengan baik karena dibimbing oleh instruktur yang tidak memiliki latar


(18)

belakang pendidikan seni rupa atau bidang seni. Padahal dilingkungan siswa tersebut banyak bahan-bahan alam dan bahan sisa yang kurang digunakan.

Penulis lebih memusatkan pembelajaran yang berpusat pada anak, dengan memanfaatkan bahan-bahan alam maupun bahan-bahan sisa untuk membuat topeng dari bahan-bahan tersebut mudah didapat, tidak memerlukan biaya banyak dan lebih penting dapat diterima siswa, baik dari sisi edukatif, sosila budaya, moral dan dapat membawa siswa ke arah pengembangan diri secara optimal sebagaimana yang diamanatka oleh tujuan kurikulum pendidikan seni rupa dan pendidikan seni. Dengan membuat topeng melaui figure atau motif manusia. Hal ini mengingat periode perkembangan anak usia SD khusunya kelas V adalah masa permulaan Realisme (9-11 tahun). Periode dimana anak mulai berkeinginan mengekspresikan karakter-karakter figure manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, non figuratif atau figur-figur khayali seniman itu sendiri (Salam, 2001:15)

Pendekatan CTL merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang mana pendidik memposisikan para siswa sebagai subjek, bukan sebagai objek pembelajaran. Dengan kata lain, pendidik sebagai fasilitator. Pembelajaran CTL di kelas melibatkan tujuh komponen utama. Hal ini sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Dirjen Dikdasmen Depdiknas (2003:10-17), yaitu: 1) konstruktivime, 2) menemukan (inquiry), 3) bertanya (questioning), 4) masyarakat belajar (learning community), 5) pemodelan (modelling), 6) refleksi (reflection), 7) penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Berdasarkan komponen tersebut, pendekatan CTL diharapkan dapat membantu siswa lebih aktif dan kreatif khususnya dalam hal membuat topeng dari bahan alam dan bahan sisa.


(19)

Dalam buku Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s here to stay, (Bowling Green, OH: Bowling Green State University, 20 Mei 1999, http://www.bgsu.edu/CTL). dalam pembelajaran seni rupa pembuatan kerajinan lebih menggunakan bahan alam maupun bahan sisa. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran seni rupa pada pembuatan topeng. Penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Contextual Teaching and Learning adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dan dalam sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.

B. Perumusan Masalah dan Pemecahan Masalah

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :


(20)

1. Apakah pendekatan Contextual Teaching & Learning (CTL) dapat meningkatkan kreatifitas siswa kelas V SD Negeri 3 Srikandang pada pembelajaran seni rupa ?

2. Pemecahan Masalah

Sesuai dengan perumusan masalah, maka untuk memecahkan masalah tersebut peneliti menerapkan pendekatan CTL adalah sebagai berikut : 1. Merencanakan pelaksanan pembelajaran dengan pendekatan CTL

2. Menyiapkan bahan-bahan alam dan bahan-bahan sisa yang sebelumnya sudah diberitahukan kepada siswa

3. Guru memberikan beberapa contoh model-model karya topeng dari bahan alam dan bahan sisa yang akan dikerjakan yang sebelumnya juga sudah diberitahukan pada siswa.

4. Setiap siswa mengerjakannya sesuai dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan dan pilihan karya topeng yang dinginkan.

5. Evaluasi

C. Tujuan Penelitian

Bedasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

Menigkatkan kreativitas membuat topeng dari bahan alam maupun bahan sisa melalui pendekatan CTL dalam pembelajaran seni rupa.di kelas V SD Negeri 3 Srikandang.


(21)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut : a. Bagi Siswa

1) Meningkatkan kreativitas siswa dalam membuat topeng b. Bagi guru

1) Meningkatkan kemampuan mengelola pembelajaran seni rupa membuat topeng dari bahan alam dan bahan sisa dengan menggunakan pendekatan CTL

2) Mengetahui benar-benar penerapan metode CTL pada siswa c. Bagi Sekolah

1) Memberikan pengetahuan baru bagi guru-guru Sekolah Dasar 2) Upaya pengadaan tentang model-model pendekatan pembelajaran

3) Sebagai bahan kajian untuk mengembangkan proses pendekatan pembelajaran


(22)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Di dalam mata pelajaran Pendidikan Seni memiliki fungsi mengembangkan kepekaan rasa, kreativitas, dan cita rasa estetis siswa dalam berkesenian, mengembangkan etika, kesadaran sosial, dan kesadaran kultural siswa dalam kehidupan bermasyarakat, serta rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia.

Mata pelajaran Pendidikan Seni meliputi bidang seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Setiap bidang seni ini memiliki substansi, ciri-ciri pembelajaran, dan materinya sendiri. Masing-masing bidang seni memberikan sumbangan sendiri bagi pembelajaran siswa.

Pembelajaran setiap bidang seni harus mewujudkan suatu keutuhan sebagai bidang pelajaran tersendiri. Pembelajaran seni merupakan semua bentuk aktivitas fisik, sosial, psikologis dan cita rasa keindahan. Aktivitas dan cita rasa keindahan tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi. Keterampilan berkarya serta apresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat. Pada karya kerajinan dan tekhnologi selain hal-hal tersebut diatas juga memperhatikan tentang jenis, bentuk, fungsi dan aspek tema (subject matter).

Pembelajaran Pendidikan Seni terkait dengan pembelajaran bidang studi lainnya dalam kurikulum. Sebagai contoh, oleh raga senam berkaitan dengan tari,


(23)

teater berkaitan erat dengan sastra, dan desain berkaitan dengan teknologi. Keterkaitan pembelajaran antar bidang pelajaran ini memungkinkan pembelajaran secara kolaboratif. Pembelajaran Pendidikan Seni perlu dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pembelajaran seni perlu memperkenalkan keanekaragaman budaya Indonesia. Berkaitan dengan itu, maka perlu digunakan strategi pembelajaran Pendidikan Seni yang dapat mendukung pelestarian budaya tradisi di seluruh wilayah Indonesia.

Pembelajaran Pendidikan Seni juga perlu mengembangkan kesadaran ekonomi siswa, yaitu dengan memperkenalkan siswa terhadap berbagai profesi seni. Oleh karena itu, perlu dilakukan kunjungan ke galeri, museum, pasar seni, indusri kerajinan, pusat seni pertunjukan, serta pusat-pusat seni rupa tradisional dan modern.

Pembelajaran Pendidikan Seni dalam bentuk berkreasi atau berkarya seni harus mempertimbangkan moral dan etika. Di samping aspek artistik, estetik, dan kreatif, siswa juga perlu diperkenalkan tentang aspek hukum, seperti hak cipta, kepemilikan karya seni pemalsuan karya seni, dan penjiplakan karya seni, (Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen. Dikdasmen, Depdiknas 2 Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Seni).

Pembelajaran Pendidikan Seni mencakup seni di berbagai kebudayaan, baik kebudayaan Indonesia maupun kebudayaan manca negara. Pembelajaran Pendidikan Seni di Indonesia harus memfokuskan pada kesenian Indonesia. Pembelajaran sejarah kesenian di manca negara difokuskan pada berbagai


(24)

kebudayaan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kesenian di Indonesia. Dengan mempelajari sejarah kesenian di Indonesia khususnya, siswa dapat memahami dan menghargai peranan kesenian dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik.

1. Pengertian Kreativitas

Kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda. Sedemikian beragam definisi itu, sehingga pengertian kreativitas tergantung pada bagaimana orang mendefinisikanya “Creativity is Matter of Definition”. Tidak ada satu definisi yang dianggap mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas (Supriadi, 1997:6). Hal ini disebabkan oleh dua alasan. Pertama, sebagai suatu “konstrak hipotesis” kreativitas merupakan ranah psikologis yang komlpleks dan multi demensial, yang mengandung berbagai tafsiran yang beragam . Kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan-tekanan yang berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan sang pembuat definisi.

Guilford dalam Supriyadi (1997) mengemukakan, ada lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berfikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), penguraian (elaboration), keluwesan (flexibility), keaslian (originality) dan perumusan kembali (redifinition).

Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan ermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Originalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak


(25)

klise. Elaborasi adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan persspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.

Hasil penelitian University of Shouthern California dalam Muhadjir (1987:155) mengemukakan ada hipotesa yang mengatakan bahwa fluency of thinking merupakan aspek penting dalam kreatifitas. Dalam laporan penelitiannya terungkap aspek adanya empat factor fluency, yakni (1) word fluency, (2) associational fluency, (3) expressional fluency, (4) ideational fluency

Menurut Mareno dalam Slameto (1995:146) yang penting dalam kreativitas bukanlah penemuan sesuatu yang belum pernah diketahi orang sebelumnya, melainkan bahwa produk kreativitas itu merupakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain atau dunia.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan, karya nyata yang relative berbeda dengan apa yang telah ada.

2. Topeng

Topeng pada mulanya digunakan untuk ritual kepercayaan atau sebagai sarana upacara. Adanya perkembangan zaman, topeng tidak hanya digunakan sebagai sarana upacara akan tetapi dijadikan koleksi, hiasan atau mainan. Topeng yang semula menjadi barang dikeramatkan, kini menjadi banyak


(26)

diperdagangkan. Berkembangnya fungsi topeng membuat para pengrajin topeng semakin kreatif.

Bentuk topeng bermacam-macam. Ada topeng yang berbentuk wajah orang, hewan, maupun robot. Berbagai topeng dibuat para seniman dengan karakter yang berbeda-beda dan menarik. Ada topeng yang sedang tertawa, berpikir, tidur, bernyannyi, marah, sedih dan ketakutan. Bahan untuk membuat topeng pun mudah didapat. Tidak semua topeng sulit dibuat. Ada topeng yang mudah dibuat. Bahan tersebut bisa diambil dari bahan alam dan bahan-bahan sisa. Misalnya bahan-bahan-bahan-bahan untuk membuat topeng dari bahan-bahan alam yaitu batok kelapa, blukang (dahan kelapa), bambu, tanah, kayu ataupun bahan-bahan dari alam lainnya. Bahan-bahan dari bahan sisa yaitu kertas-kertas bekas, gabus (sterofoam) dari sisa bungkus alat-alat elektronik ataupun dari limbah pabrik.

Beberapa macam-macam bentuk topeng dari bahan alam dan dari bahan sisa.

a. Topeng dari bubur kertas

Topeng ini dibuat dari kertas-kertas bekas yang di rendam dengan air panas dan diaduk sampai berbentuk seperti bubur, kemudian dibentuk menjadi topeng.


(27)

b. Topeng dari kelapa dan dahan kelapa

Topeng ini dibuat dari bahan kelapa dan dahan kelapa. Bahan tersebut dipahat sehingga membentuk seperti topeng.

c. Topeng dari bambu

Topeng ini dibuat dari bahan bambu. Bambu dipotong dan dibelah menjadi 2. Unntuk membentuk topengnya bisa dipahat atau dari potongan-potongan bambu yang ditempel membentuk topeng.

d. Topeng dari sterofoam atau gabus

Topeng ini dibuat dari bahan sterofoam atau gabus bekas. Bisa dari bekas bungkus alat-alat elektronik sepeti kulkas, TV, komputer dan lain-lain. Gabus tersebut dibentuk pola wajah, kemudian dipahat membentuk topeng.


(28)

e. Topeng dari semen dan tanah liat

Topeng ini dibuat dari bahan tanah dan semen. Tanah atau semen dicampur dengan air dan dibentuk menjadi topeng.

f. Topeng dari bahan bekas plastik (tutup ember dan toples)

Topeng ini dibuat dari bahan toples atau ember bekas. Potongan-potongan dari bahan tutup toples, tutup botol dan bahan bekas plastik yang ditempel membentuk topeng.

3. Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Pengertian

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.


(29)

CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.

Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi yang akan mereka pelajari dengan menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, system tersebut meliputi delapan komponen berikut : membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan nilai autentik.

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001), (Tagged: Contextual Teaching and Learning, by Doantara yasa, 2008 Mei 13)


(30)

Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menhadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapinya.

Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat hubungan-hubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk menghubungkan tugas-tugas sekolah dengan kenyataan saat ini, dengan situasi pribadi, sosial dan budaya mereka saat ini, dengan konteks kehidupan keseharian mereka, akan mampu memasangkan makna pada amteri akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat apa yang mereka pelajari. Jika kehilangan makna, otak mereka akan membuang materi akademik yang mereka terima (Claine&Caine, 1994; Carter, 1998; Davis 1997; Kotulak, 1997; Sousa, 1995; Sylwester, 1995).

Ilmu saraf dan psikologi dengan jelas menunjukkan betapa pentingnya pengaruh makna terhadap pembelajaran dan kemampuan mengingat. Kedua ilmu ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami bahwa tujuan CTL adalah membantu para siswa dengan cara yang tepat untuk mengaitkan makna pada pelajaran-pelajaran akademik mereka. CTL membuat siswa mampu menghubungkan dari subjek-subjek akademik dengan kehidupan keseharian mereka untuk menemukan makna. Hal itu memperluas konteks pribadi mereka. Kemudian, dengan memberikan pengalaman-pengalaman


(31)

baru yang merangsang otak untuk membuat hubungan-hubungan baru, kita membantu mereka menemukan makna baru.

Tiga prinsip Ilmiah dalam CTL

Berbagai pengamatan ilmiah yang teliti dan akurat menunjukkan keseluruhan alam semesta ditopang dan diatur oleh tiga prinsip, yaitu kesaling-bergantungan, diferensiasi dan pengaturan diri sendiri (Capra, 1996; Johnson&Broms, 2000; Margulis&Sagan, 1995; Swimme&Berry, 1992).

Ilmu fisika kuantum modern, kosmologi dan biologi telah menemukan tiga prinsip yang memberikan pandangan baru pada kita. Prinsip-prinsip tersebut adalah kesaling-bergantungan, diferensiasi dan pengorganisasian diri, yang menunjukkan bahwa alam semesta sama sekali tidak diam dan mati, tetapi hidup dan dinamis.

CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling-tergantungan mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan dan ketika kemitraan menggabyngkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas. CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang


(32)

berbeda dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.

CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukankemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaatdari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka benyanyi.

CTL membantu para siswa menemukan makna dalam pelajaran mereka dengan cara menghubungkan materi akacemik dengan konteks kehidupan keseharian mereka. Mereka membuat hubungan-hubungan penting yang menghasilkan makna dengan melaksanakan pembelajaran yang diatur sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar tinggi dan berperan serta dalam tugas-tugas penilaian autentik.

Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual: 1) Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. 2) Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks 3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri. 4) Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri. 5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda. 6) Menggunakan penilaian autentik

Pendekatan kontekstual sudah lama dikembangkan oleh John Dewey pada tahun 1916,yaitu sebagai filosofi belajar yang menekankan pada


(33)

pengembangan minat dan pengalaman siswa. Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning, yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat melalui Direktorat PLP Depdiknas.

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Sebab, pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Inilah yang terjadi pada kelas-kelas di sekolah Indonesia dewasa ini. Hal ini terjadi karena masih tertanam pemikiran bahwa pengetahuan dipandang sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal, kelas berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, akibatnya ceramah merupakan pilihan utama strategi mengajar. Karena itu, diperlukan

1) sebuah pendekatan belajar yang lebih memberdayakan siswa

2) kesadaran bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima, melainkan sesuatu yang harus dikonstruksi sendiri oleh siswa


(34)

3) kesadaran pada diri siswa tentang pengertian makna belajar bagi mereka, apa manfaatnya, bagaimana mencapainya, dan apa yang mereka pelajari adalah berguna bagi hidupnya.

4) posisi guru yang lebih berperan pada urusan strategi bagaimana belajar daripada pemberi informasi.

b. Pendekatan Pembelajaran CTL di Kelas

Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa . 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya

Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism),


(35)

menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut: • Konstruktivisme (constructivism)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.

• Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).

• Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah


(36)

diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

• Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar

• Pemodelan (Modeling)

Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.

• Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.

• Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)

Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran


(37)

berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil

Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).

Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.

Mengalami. Merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.

Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.

Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara


(38)

kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.

Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.

c. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual (CTL) dengan Pembelajaran Konvensioanl

TABEL 3.1: PERBEDAAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL DENGAN KONTEKSTUAL (CTL)

Pembelajaran Kontekstual (CTL) Pembelajaran Konvensional 1. Siswa secara langsung terlibat

dalam pembelajaran

2. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan 3. Keterampilan dikembangkan atas

dasar pengembangan

4. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki

5. Siswa mampu menggunakan kemampuan menggunakan

1. Siswa penerima informasi secara pasif

2. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

3. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan

4. Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan

5. Siswa secara pasif menerima kaidah pembelajaran tanpa


(39)

kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam

mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan ikut bertanggung jawab 6. Siswa diminta bertanggung

jawab memonitor dan

mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing

7. Pembelajaran terjadi diberbagai tempat, konteks dan setting 8. Pengetahuan yang dimiliki

manusia dikembangkan oleh manisia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya

9. Dalam pembuatan karya seni lebih kreatif dan imajinatif 10.Berekspresi secara bebas

11.Pembelajaran lebih

memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran

6. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran

7. Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas

8. Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep atau hokum yang berada diluar diri manusia

9. Dalam pembuatan karya seni kurang kreatif dan imajinatif 10.Berekspresi sesuai ketentuan guru


(40)

menyenangkan

12.Aktivitas siswa lebih tinggi 13.Menerapkan penilaian autentik

(proses dan hasil) melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah

12.Aktivitas siswa biasa saja 13.Penilaian hasil belajar hanya

melalui kegiatan akademik berupa ujian atau ulangan

(KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Mansur Muclis, 2007 :25-27)

4. Pengertian Seni

Kata "seni" adalah kata yang semua orang di pastikan mengenal, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Kata seni berasal dari kata "SANI" yang artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Seni atau kesenian secara umum dikenal sebagai rasa keindahan umumnya, rasa keharuan khususnya, yang melengkapi kesejahteraan hidup. Rasa disusun dan dinyatakan melalui pikiran, menjadi bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki oleh setiap orang.

Dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistik


(41)

Arti seni menurut beberapa ahli : 1.Ki Hajar Dewantara

Seni merupakan segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia.

2.Prof. Drs. Suwaji Bastomi

Seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman estetik yang dinyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya membangkitkan rasa takjub dan haru.

3.Drs. Sudarmadji

Seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media bidang, garis, warna, tekstur, volume dan gelap terang.

5.Schopenhauer (Bertolak dari seni musik)

Seni adalah segala usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Menurutnya tiap orang tentu senang dengan seni musik meskipun seni musik asalah seni yang paling abstrak.

6.Eric Ariyanto

Seni adalah kegiatan rohani atau aktivitas batin yang direfleksikan dalam bentuk karya yang dapat membangkitkan perasaan orang lain yang melihat atau mendengarkannya


(42)

7. M. Jazuli

Seni adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan sikap dan tingkah laku sebagai hasil pengalaman berkesenian dan berinteraksi dengan budaya lingkungan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari beberapa arti seni diatas dapat disimpulkan bahwa seni adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu keindahan karya yang dapat membangkitkan perasaan didalam jiwa seseorang maupun dirinya sendiri.

2. Pendidikan Seni Rupa

Pendidikan seni rupa adalah upaya untuk mengembangkan kepribadian seseorang dalam rangka mempersiapkan menjadi warga masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab melalui kegiatan yang bersangkut paut dengan pernyataan perasaan keindahan lewat media garis, warna, tekstur, bidang, volume, dan ruang atau dengan perkataan lain melalui kegiatan pembelajaran dalam bidang lukis/gambar, seni cetak, seni patung, seni kerajinan desain dan seni bangunan/desain lingkungan (Salam, 2001: 15).

Pendidikan seni rupa yang terlaksana dalam bentuk kegiatan pembelajaran pada dasarnya meliputi pembelajaran teori, apresiasi, dan keterampilan seni rupa (Salam, 2001: 15). Pembelajaran teori seni rupa berfokus pada pembinaan aspek kognitif (pengetahuan) kesenirupaan. Materi seni rupa ini berisi kajian seperti tinjauan seni rupa, sejarah seni,


(43)

persoalan estetika dan cara untuk menilai sebuah karya seni baik secara konsep maupun komposisi.

Pembelajaran keterampilan seni rupa berfokus pada pembinaan praktik pengalaman studio. Untuk melatih keterampilan berkarya, siswa didik diharapkan dapat menggali dari budaya dan alam di sekitarnya sehingga secara tidak langsung mereka akan menjadi lebih inovatif untuk berkarya. Pada akhirnya tercipta siswa didik yang mampu mengoptimalkan berbagai sumber yang tersedia untuk menjadi produk karya seni yang berkualitas. Pada siswa Sekolah Dasar, jenis pembelajaran keterampilan banyak ragamnya mulai dari menggambar, melukis, mematung, maupun juga bisa diarahkan untuk membuat kerajinan.

Namun, dalam pelaksanaanya setiap materi dalam aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif adalah materi yang bertingkat sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi siswa didik.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Seni

Lingkup materi pembelajaran seni meliputi seni rupa, music, tari, kerajinan dan teknologi. Rancangan kompetensi dasar dilakukan secara sistematik dan seimbang antara ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, dalam jabaran aspek-aspek apresiasi dan kreasi sesuai dengan kemampuan siswa, meliputi:

1. Kemampuan perceptual yaitu kepekaan inderawi terhadap rupa, bunyi, gerak dan perpaduannya serta kerajinan dan tekhnologi.


(44)

3. Apresiasi mencangkup kepekaan rasa estetika, kesesuaian fungsi dan bentuk, artistic serta memiliki sikap menghargai dan menghayati 4. Produksi mencangkup kreativitas dalam berkarya dan berimajinasi. 4. Cabang Seni

a.Seni musik atau seni suara

Seni musik atau seni suara adalah karya seni yang sampaikan melalui media suara.

b.Seni tari atau seni gerak

Gerakyang dimaksud adalah gerak yang ritmis dan indah. Irama, gerak, pembawaan, serta penghayatan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Seni Atari sendiri merupakan suatu perwujudan segala tekanan emosi yang dituangkan dalam bentuk gerak seluruh anggota tubuh secara teratur dan berirama sesuai dengan musik pengiringnya. c.Seni drama

Seni drama mempunyai persamaan dengan seni tari, yakni mempunyai unsure gerak.Gerak pada seni drama merupakan gerak makna atau gerak acting. Salah satu jenis drama , yaitu pantomime, merupakan gerak dari ucapan dalam serangkaian seni drama.

d.Seni rupa

Seni rupa merupakan seni yang ada wujudnya, artinya karya seni tersebut dapat sicerap dengan menggunakan indra penglihatan. Lengkapnya Seni rupa adalah segala manifestasi batin dan pengalaman


(45)

sestetis dengan media garis, bidang, warna, tekstur, volume, dan gelap-terang. Contohnya, yaitu lukisan, Puisi, Cerpen, Patung, dll.

5. Pembelajaran Seni Rupa 1. Konsep Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung serentetan perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Kegiatan pembelajaran dapatlah berjalan di sekolah apabila terjadi usaha menciptakan sistem kondisi dan lingkungan yang mampu memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran terdapat sejumlah tujuan yang hendak dicapai. Pembelajaran dalam hal ini merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari komponen-komponen pembelajaran yang saling berinteraksi, berintegrasi satu sama lainnya. Oleh karenanya jika salah satu komponen tidak dapat terinteraksi, maka proses dalam pembelajaran akan menghadapi banyak kendala yang mengaburkan pencapaian tujuan pembelajaran.

Dengan demikian proses pembelajaran terjadi timbal-balik antara guru dan murid, guru memberi materi atau bahan sedangkan murid yang menerima. Bisa dikatakan dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara murid belajar dan guru mengajar. Sementara itu, Darsono (2000: 14) mengemukakan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada individu berkat adanya interaksi antara individu dengan yang lain, di antara individu dengan lingkungannya. Faktor lingkungan sangat


(46)

mempengaruhi dalam proses belajar. Perubahan tingkah laku seseorang terjadi akibat interaksi dengan orang lain. Proses belajar pada anak sangat dipengaruhi dari pihak keluarga, pergaulan sekolah, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Baik dan buruknya tingkah laku yang terjadi di keluarga akan membawa dampak dalam tingkah laku pergaulan sekolah dan lingkungan sekitarnya. Begitu pula sebaliknya, tingkah laku pergaulan sekolah dan lingkungan masyarakat sekitarnya akan terbawa di kehidupan keluarganya.

Menurut Sujana (1988: 21) belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.

Tingkah laku baru ini misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Adanya perubahan baru dalam sikap, kebiasaan-kebiasaan, keterampilan, kesungguhan menghargai, perkembangan sifat sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani. Sifat ingin tahu seseorang sangat besar, sehingga mendorong untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya. Cara-cara mempelajari diawali dengan menirukan sesuatu yang dilakukan dengan kebiasaan atau cara lain yang berbeda-beda, tergantung pada hal-hal yang menguntungkan dan mampu dilakukan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa belajar mampu membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan melainkan juga dalam


(47)

bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri, pendeknya mengenai segala pribadi seseorang. Karena itu seseorang yang sedang belajar tidak sama lagi dibandingkan dengan saat sebelumnya karena lebih sanggup menghadapi kesulitan memecahkan masalah atau menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia tidak hanya menambah pengetahuan saja, akan tetapi dapat menerapkan pengetahuannya itu dalam situasi hidupnya.

Adapun pengertian belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, masih ada beberapa pendapat tentang pengertian belajar antara lain “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan” (Ibrahim dan Syaodih, 1996 :3).

Seseorang yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ialah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), di mana proses mental dan emosional terjadi. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar dikelompokkan ke dalam tiga ranah, yaitu: pengetahuan (kognitif), keterampilan motorik (psikomotorik), dan penguasaan nilai-nilai atau sikap (afektif). Belajar merupakan proses pertumbuhan yang dihasilkan oleh perhubungan berkondisi antara stimulus dan respon. Belajar adalah menghubungkan sebuah respon


(48)

tertentu kemudian diperketat ikatannya melalui berjenis-jenis cara yang berkondisi.

Hakikat belajar adalah penemuan hubungan tingkah laku dari yang tidak tahu, dari tidak biasa menjadi biasa tergantung dari proses yang ditempuh guna mendapat respon lebih cepat atau lambat dari hasil pembelajaran itu juga biasa diakibatkan oleh besar atau tidaknya motivasi yang dimiliki masing-masing individu. Motivasi yang sehat perlu ditumbuhkan secara integral, dengan bantuan dan pengarahan guru yang berpengalaman dengan menggunakan berbagai metode yang terprogram akan mencapai hasil yang maksimal.

Bertolak dari berbagai pendapat itu penulis katakan pengertian belajar secara umum adalah suatu usaha dengan proses yang aktif untuk mendapat suatu pengetahuan atau pengalaman yang dapat mengubah tingkah laku pada waktu seseorang menghadapi situasi tertentu untuk dapat mengembangkan dirinya ke arah kemajuan yang lebih baik.

Belajar dan mengajar adalah dua proses yang mempunyai hubungan sangat erat dalam dunia pengajaran. Belajar biasanya dikhususkan kepada siswa dan mengajar kepada guru. Keduanya baik guru maupun siswa biasa melakukan kedua hal itu, baik belajar maupun mengajar atau dalam perkataan saling belajar dan saling mengajar. Belajar dan mengajar terjadi baik di sekolah maupun di luar sekolah. Di sekolah dalam arti formal, sedangkan di luar sekolah biasa berupa bimbingan lanjutan dari sekolah atau terlepas dari sekolah.


(49)

2. Pembelajaran Seni Rupa dalam Konteks Kurikulum

Dalam kurikulum 2004, pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar dilaksanakan melalui mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertangkes). Kertangkes pada Sekolah Dasar meliputi : seni rupa, seni musik, seni tari. Kerajinan Tangan dan Kesenian bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan rasa keindahan (estetika) dan artistik sehingga membentuk sikap kreatif, apresiatif dan kritis. Muara dari tujuan tersebut adalah usaha ke arah pengembangan budaya bangsa. Pendidikan seni rupa pada Sekolah Dasar lebih diutamakan pada pembentukan kesadaran estetis terhadap diri dan lingkungannya melalui kegiatan seni yang ekspresif kreatif.

Dalam kurikulum 2004, pendidikan seni rupa memiliki kompetensi standar sebagai berikut:

1. siswa mampu menggunakan kepekaan inderawi dan intelektual dalam 2. memahami, mempresentasi tentang keragaman gagasan, teknik, materi

dan keahlian berkarya seni rupa dua dimensi (berukuran bidang) dan tiga dimensi (berukuran ruang/isi) baik karya seni Nusantara maupun mancanegara.

3. siswa mampu menggunakan rasa estetika dalam mempersepsi, memahami, menanggapi, merefleksi, menganalisis, dan mengevaluasi karya seni rupa Nusantara dan mancanegara sesuai dengan konteks sosial dan budaya.


(50)

4. siswa mampu berekspresi karya seni rupa dengan beragam teknik dan media seni rupa Nusantara dan mancanegara.

5. siswa mampu mengkomunikasikan gagasan, teknik, materi, dan keahlian berkarya seni rupa Nusantara dan mancanegara melalui kegiatan pameran dan pagelaran.

Dalam pelaksanaannya kurikulum pendidikan seni rupa masih adanya keterbatasan-keterbatasan dalam pelaksanaannya, baik menyangkut kemampuan guru maupun kebijaksanaan sekolah dalam melaksanakan mata pelajaran KTK. Meskipun secara jelas dinyatakan bahwa pembelajaran seni rupa menyangkut tiga aspek namun dalam pelaksanaannya sangat menekankan kepada aspek psikomotorik yaitu dengan lebih banyak kompetensi berkarya.

3. Tujuan Pendidikan Seni Rupa di SD

Tujuan pendidikan seni rupa di sekolah dasar di Indonesia tercantum pada GBPP, yaitu siswa memiliki pengetahuan, pengalaman dan kemauan keras berkarya dan berolah seni, serta kepekaan artistik sebagai dasar berekspresi pada budaya bangsa. Tujuan tersebut pada dasarnya adalah menyiapkan anak untuk berpengetahuan, berkecakapan dan berkemampuan dalam tingkat dasar agar kelak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bila tidak dapat melanjutkan mereka harus mampu terjun ke masyarakat dengan keterampilan yang telah diperolenya dari sekolah


(51)

4. Pembelajaran Seni Rupa di SD

Setiap siswa yang kita hadapi, selain merupakan individu, juga suatu totalitas yang kompleks. Pada diri siswa dapat dikenali sejumlah kecakapan, yang biasanya terwujud dalam bentuk kekurangan ataupun kelebihannya. Dalam kegiatan pembelajaran, kecakapan-kecakapan inilah yang harus dilatih. Bagi siswa yang lemah perlu dicermati, yang memiliki kelebihan perlu diarahkan dan dikembangkan. Kecakapan-kecakapan tersebut antara lain : (a). kecakapan nalar, (b). kecakapan yang bersifat indrawi, (c). kecakapan afektif, (d). kecakapn sosial, dan (e). kecakapan religius. Seluruh kecakapan tersebut mewakili aspek personal kehidupan manusia (a-c), dan sejajar dengan apa yang disajikan karya sastra pada umumnya (a-e) (Sumardi, 1992:200)

Pada pembelajaran seni rupa, pengembangan kecakapan-kecakapan dilaksanakan secara terpadu melaui sebuah proses penggarapan rupa dari awal pelatihan hingga sebuah cerita seni rupa dipentaskan. Kecakapan-kecakapan tersebut hendaknya dikembangkan dengan pertimbangan berbagai aspek sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Peran guru tidak semata sebagai orang yang serba tahu, melainkan sebagai mediator dalam memberikan arahan pemeranan terhadap siswa.

Efektivitas pembelajaran seni rupa, terutama ditentukan oleh corak jalinan komunikasi antara guru dan siswanya. Jika upaya untuk menjalin komunikasi tersebut berhasil (positif), maka terbukalah kepercayaan siswa terhadap guru, yang selanjutnya siswa akan membuka diri secara lugas. Inilah yang dapat dipakai sebagai model berharga dalam pembelajaran seni rupa.


(52)

Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.

Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah:

1. Memiliki kemampuan intelektual yang memadai 2. Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan

3. Keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau metodelogi pembelajaran 4. Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan 5. Kemampuan mengorganisir dan problem solving

6. Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik Beberapa ciri-ciri guru profesional, yaitu : 1. Selalu punya energi untuk siswanya

Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.


(53)

2. Punya tujuan jelas untuk pelajaran

Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.

3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif

Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.

4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik

Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif, membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas

5. Bisa berkomunikasi dengan baik orang tua

Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.

6. Punya harapan yang tinggi pada siswanya

Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.


(54)

7. Pengetahuan tentang Kurikulum

Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu. 8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan

Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.

9. Selalu memberikan yang terbaik untuk Anak-anak dan proses Pengajaran

Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.

10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa

Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.


(55)

Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.

Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.

Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas lima, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.

Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibriun)


(56)

atau proses pengaturan sendiri (self-regulation ) Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar.

Piaget mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.

Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.

Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.


(57)

Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak.

5. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan CTL dan PAKEM 1. Kelebihan CTL (Contextual Teaching and Learning).

• Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.

• Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami”bukan”menghafal”.

2. Kelemahan CTL (Contextual Teaching and Learning).

• Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah


(58)

mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. • Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau

menerapkan sendiri ide – ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi – strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.

3. Kelebihan Pakem (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).

• Pembelajaran lebih menarik/rekreatif. Dengan kata lain, pembelajaran dengan menggunakan metode PAKEM dirasa lebih menyenangkan. Penggunaan beberapa media dan sumber pembelajaran yang beragam dalam metode PAKEM sangat membantu siswa untuk mempermudah proses belajarnya. Dalam metode pembelajaran ini, siswa juga diberi kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa memiliki kesempatan untuk mengungkapkan


(59)

gagasan-gagasannya dan mengembangkan keterampilannya. Kemampuan berpikir siswa dan karya-karyanya sangat dihargai sehingga sangat memotivasi siwa untuk belajar dengan lebih baik lagi.

• Pembelajaran lebih variatif. Dengan kata lain, metode pakem ini memberikan kesempatan kepada guru dan siswa untuk menciptakan suasana pembelajaran dengan menggunakan beberapa metode pembelajaran, tidak monoton dengan satu metode pembelajaran. Dan dalam beberapa hal pula, seseorang siswa dapat melakukan kegiatan melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara kemudian mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri.

4. Kelemahan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan)

Dalam pembelajaran Model Pakem, seorang guru mau tidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Hal ini jelas sekali dapat menjadi sebuah boomerang bagi guru, ketika seorang guru tidak memiliki kemampuan untuk memanajemen dan menguasai hal-hal yang harus ada untuk melakukan metode pembelajaran pakem. Guru yang tidak memiliki daya kreasi yang tinggi tidak akan mampu melakukan metode pembelajaran Pakem dengan baik di dalam kelas.


(60)

5. Saran agar tercipta situasi pembelajaran yang efektif : • CTL (Contextual Teaching and Learning)

Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru harus memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar tehadap gaya belajar siswa. Jika hal ini dapat dilakukan oleh guru maka pembelajaran dengan metode CTL dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sebelumnya. Karena yang perlu ditekankan disini adalah metode ini menganut aliran konstruktivis, dimana siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Selain itu, siswa bukan lagi dipandang sebagai wadah kosong yang pasif melainkan suatu individu yang juga memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan tentunya dibarengi dengan bimbingan karena siswa masih berada dalam tahap perkembangan.

• PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) Dalam metode ini hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh guru adalah merubah cara pikirnya bahwasanya pembelajaran tidak hanya membutuhkan penguasaan terhadap materi secara verbal namun membutuhkan daya kreativitas yang tinggi untuk mempermudah belajar siswa dan merubah pandangan bahwa belajar hanyalah ritual yang membosankan. Karena Pelaksanaan Pakem juga memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya.


(61)

Proses pembelajaran akan berlangsung seperti yang diharapkan dalam Pakem jika peran guru dalam berinteraksi dengan siswanya selalu memberikan motivasi, dan memfasilitasinya tanpa mendominasi, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, membantu dan mengarahkan siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka melalui proses pembelajaran yang terencana. Perlu dicatat bahwa tugas dan tanggung jawab utama para guru dalam paradigma baru pendidikan ”bukan membuat siswa belajar” tetapi ”membuat siswa mau belajar”, dan juga ”bukan mengajarkan mata pelajaran” tetapi ”mengajarkan cara bagaimana mempelajari mata pelajaran ”. Prinsip pembelajaran yang perlu dilakukan: ”Jangan meminta siswa Anda hanya untuk mendengarkan, karena mereka akan lupa. Jangan membuat siswa Anda memperhatikan saja, karena mereka hanya bisa mengingat. Tetapi yakinkan siswa Anda untuk melakukannya, pasti mereka akan mengerti”.

(Dikutip dari http://andiborneo.blogspot.com)D o

B. Kajian Empiris

Penelitian yang berjudul Implementasi Pendekatan CTL Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Di Sekolah Dasar menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa kelas V SD 3 Sambangan meningkat. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan skor rata-rata kelas dari 6,29 pada siklus I menjadi 7,45 pada siklus II. Meskipun ketuntasan belajar belum


(62)

memenuhi tuntutan kurikulum yaitu minimal 85% tetapi ketuntasan belajar siswa juga meningkat dari 52,94% pada siklus I menjadi 79,41% pada siklus II. Rerata tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang diterapkan adalah 43,29 yang tergolong sangat positif.

Penelitian yang berjudul Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Sd Negeri Wates Pada Pokok Bahasan Bangun Datar Sebagai Implementasi Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) menunjukkan bahwa pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Wates pada pokok bahasan bangun datar. Nilai rata-rata yang dicapai siswa adalah 7,2 dengan ketuntasan belajar adalah 78,5%.

Penelitian yang berjudul Penerapan Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Keterampilan Mendeskripsi Secara Tertulis Pada Siswa Kelas Ii Sd Negeri 3 Banjaran menunjukkan bahwa nilai yang diperoleh siswa dalam menulis deskripsi menunjukkan hasil baik pada lembar penilaian. Dengan demikian, setiap siswa dapat mencapai nilai 70 sebagai kriteria ketuntasan minimal (KKM) mata pelajaran Bahasa Indonesia aspek menulis untuk kelas II semester II SD N 3 Banjaran tahun ajaran 2007/2008.

Penelitian yang berjudul Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Pelestarian Hewan Dan Tumbuhan Di Kelas Vi menunjukkan bahwa hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai pada saat pretes sebesar 48,06 dan meningkat menjadi 69,35 pada siklus I kemudian pada hasil tes siklus II meningkat menjadi 79,68. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, tingkat ketuntasan belajar mencapai 61,29% dan tingkat


(63)

ketercapaian tes hasil belajar sebesar 60%yang berarti secara keseluruhan siswa belum mencapai standar ketuntasan belajar. Pada siklus II diperoleh tingkat ketuntasan belajar siswa sebesar 93,55% dan tingkat ketercapaian tes hasil belajar mencapai 90% atau dengan kata lain setelah dilakukan siklus II siswa secara keseluruhan telah mencapaistandar ketuntasan belajar diatas 70%

Penelitian yang berjudul Upaya Peningkatan Penguasaan Konsep Bangun Ruang Matematika Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) (PTK Pembelajaran Matematika di Kelas V SD Negeri 02 Kayen, Pati) menunjukkan bahwa : (1) tingkat keaktifan siswa meliputi: a) keaktifan siswa mengerjakan soal-soal meningkat dari (21,9%) menjadi (73,2%), b) menjawab pertanyaan guru/mengerjakan soal ke depan meningkat dari (9,76%) menjadi (46,3%), c) keaktifan siswa yang maju ke depan kelas untuk menjelaskan pada siswa lain meningkat dari (7,32%) menjadi (24,4%), d) Siswa yang aktif memberikan tanggapan tentang jawaban siswa lain meningkat dari (7,32%) menjadi (14,6%), e) keaktifan siswa mengajukan ide/tanggapan pada guru meningkat dari (7,32%) menjadi (12,2%), f) Siswa yang aktif membuat kesimpulan materi baik secara kelompok atau mandiri meningkat dari (9,76%) menjadi (21,2%), g) aktif memanfaatkan sumber belajar yang ada di sekitar meningkat dari (17,1%) menjadi (48,8%), (2) hasil belajar siswa yang mendapatkan nilai ≥60 meningkat dari (29,3%) menjadi (41,5%).Kesimpulan penelitian ini adalah penguasaan konsep matematika siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika dapat ditingkatkan melalui penerapan pendekatan contexstual teaching and learning (CTL).


(64)

Penelitian yang berjudul Implementasi Pendekatan CTL Untuk Meningkatkan Kemampuan Kreativitas Siswa menunjukkan bahwa dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi. Hal ini terlihat dari hasil observasi pada presentasi-penampilan dalam setiap pertemuan dengan aspek kemampuan kreativitas dalam presentasi puisi, yaitu kepercayaan diri, kekuatan penjiwaan, kejelasan lafal kata-kalimat, intonasi, ekspresi, apresiasi, gerak fisik, mimik muka, pengendalian diri, dan penggunaan media menunjukkan nilai rerata yang makin meningkat. Hal ini terlihat dari hasil angket yang diisi oleh siswa, dengan pengolahan data menggunakan skala Likert, mempunyai nilai rerata 4,6 jadi mendekati nilai sangat baik (5) 11.

Penelitian yang berjudul PenerapanPembelajaranKontekstual (Contextual Teaching And Learning) Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Pembagian Siswa Kelas II SDN Puspo V Kabupaten Pasuruan menunjukkan bahwa : (1) pembelajaran konvensional dengan metode ceramah dalam pembelajaran tentang penguasaan konsep pembagian belum memperoleh hasil yang maksimal dari 18 siswa dan ketuntasan individu 60%, 6 siswa dikategorikan tuntas, 12 siswa dikategorikan belum tuntas, sedangkan untuk ketuntasan kelas 70% dengan nilai rata-rata 58,1, nilai tertinggi 81, dan nilai terendah 41, (2)penerapan pembelajaran kontekstual menjadikan siswa aktif dan siswa memperoleh pengalaman belajar dengan mengalami sendiri, (3)penerapan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan penguasaan konsep pembagian siswa kelas II SDN Puspo V. Dengan demikian penerapan pembelajaran kontekstual bisa diterapkan oleh guru dalam pembelajaran matematika pada materi pembagian.


(65)

Penelitian yang berjudul Upaya Peningkatan Aktivitas Belajar Melalui Pendekatan Kontekstual Pada Pembelajaran Matematika Di Kelas II Madrasah Ibtidaiyah (Mi) Wahid Hasyim menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa kelas II MI Wahid Hasyim mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata persentase aktivitas belajar siswa siklus II sebesar 8,75% yakni dari 71,25% pada siklus I menjadi 80% pada siklus II askor rata-rata sebesar 47 dengan kategori amat baik.

Penelitian yang berjudul Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Siswa Melalui Penerapan Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VI di SD Negeri Malang. Menunjukkan bahwa pada siklus I siswa mengalami ketuntasan belajar 65,68 % dan motivasi belajar 70,42 %. Pada siklus II, ketuntasan belajar 85,85 % dan motivasi belajar 81,69 %.

Penelitian yang berjudul Penerapan Metode CTL Pada Mata Pelajaran PKn Sebagai Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Kelas IV SDN 2 Kelet Keling Jepara. Menunjukkan bahwa hasil penilitian pada siklus I diperoleh rata-rata 65,6 dengan ketuntasan belajar 40%. Pada siklus II diperoleh nilai rata-rata 76,5 dengan ketuntasan belajar 75%, sedangkan pada siklus III diperoleh nilai rata-rata 88 dengan ketuntasan belajar 90%.

Penelitian yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran CTL Untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn Pada Siswa Kelas II SDN Kalipucang Wetan Welahan Jepara. Menunjukkan bahwa prosentase aktivitas siswa dari sepuluh aktivitas pada siklus I masih rendah yaitu 58% dengan kategori cukup, pada siklus


(66)

II rata-rata dari sepuluh aktivitas naik mencapai 80% dengan kategori baik. Hasil belajar siklus I rata-rata 66,29 dan hasil siklus II rata-ratanya mencapai 84,81%.

Penelitian yang berjudul Implementasi Pendekatan CTL Unrtuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Laporan Pengamatan Pada Siswa Kelas V SD Negeri Tinggarjaya. Menunjukkan bahwa adanya peningkatan rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 70,38 dan pada siklus II sebesar 92,31. Aktivitas siswa dalam pembelajaran menunjukkan skor rata-rata siklus I sebesar 64 dengan kategori baik dan siklus II sebesar 86 dengan kategori sangat baik.

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan latar belakang masalah dapat diketahui bahwa kurangnya kemampuan dan kecakapan guru dalam pembelajaran seni rupa umumnya tidak berjalan secara maksimal dan kurang memanfaatkan bahan dari alam maupu bahan sisa, tetapi lebih menekankan dengan menggunakan bahan yang dibeli dari toko dengan harga mahal, melainkan dengan memanfaatkan bahan alam dan bahan sisa yang ada dilingkungan sekitar siswa khususnya kelas V. Disamping tidak memerlukan biaya yang banyak dan lebih mudah mendapatkan bahan-bahan tersebut, juga nilai karya seni yang dihasilkan lebih mempunyai nilai artistik yang tinggi dan lebih bisa meningkatkan kreativitas siswa. Dengan pembuatan karya seni yang berupa pembuatan topeng dari bahan-bahan alam maupun bahan-bahan sisa tersebut dan yang lebih penting dapat diterima siswa, baik dari sisi edukatif, sosila budaya, moral dan dapat membawa siswa ke arah pengembangan diri secara optimal sebagaimana yang diamanatka oleh tujuan kurikulum pendidikan seni rupa dan pendidikan seni.


(67)

Dengan membuat topeng melaui figure atau motif manusia, yaitu khususnya bentuk-bentuk ekspresi wajah manusia, mulai dari mulut, bibir, gigi, lidah, hidung, pipi, mata, alis, dahi, dagu, telinga, jenggot, dan rambut.

Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.

Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.

Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation ) Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar.

Piaget mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6


(1)

(2)

(3)

(4)

Hal : Permohonan Izin Penelitian

Kepada

Yth. Kepala Sekolah

SD Negeri 3 Srikandang

Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara

Dengan hormat,

Dalam rangka penyusunan skripsi bagi mahasiswa S-1 PGSD FIP UNNES, maka diperlukan data-data penilitian.

Untuk itu kepada Kepala Sekolah dimohon dapat membantu merealisasi tujuan tersebut diatas dengan mengijinkan mahasiswa untuk melakukan observasi dan pengambilan data pada instansi atau sekolah yang bapak pimpin, mulai tanggal 18 Januari 2010 sampai dengan 12 April 2010.

Adapun mahasiswa dimaksud adalah :

Nama : WIDIYANTO NIM : 1402907124

Jurusan : S-1 PGSD FIP UNNES

Judul Skripsi : Meningkatkan Kreativitas Membuat Topeng Dari Bahan Alam dan Bahan Sisa Melalui Pendekatan CTL Dalam Pembelajaran Seni Rupa Di Kelas V SD Negeri 3 Srikandang Bangsri Jepara Demikian surat ini dibuat, atas kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.

Jepara, 12 Januari


(5)

Drs. Zaenal Abidin, M. Pd

NIP. 131106346 Lampiran 23

PEMERINTAH KABUPATEN JEPARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

KECAMATAN BANGSRI

SD NEGERI 3 SRIKANDANG

Alamat : Jl. Tugu Srikandang Bangsri Jepara Kode Pos. 59453

SURAT KETERANGAN MELAKSANAKAN PENELITIAN

No.

Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Sekolah SD Negeri 3 Srikandang Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara, menerangkan bahwa :

Nama : WIDIYANTO

NIM : 1402907124

Jurusan/Prodi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar S-1 Fakultas : FIP UNNES

Telah melaksanakan penelitian yang berjudul “ Meningkatkan Kreativitas Membuat Topeng Dari Bahan Alam dan Bahan Sisa Melalui Pendekatan CTL di Kelas V SD N 3 Srikandang Bangsri Jepara “.

Demikian surat keterangan ini saya buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.


(6)

BARDA’I, S. Pd

NIP. 19651006 199103 1006