lii indikator kuantitatif yang memperhatikan apakah kesenjangan gender telah
berkurang. 3
Menyusun rencana aksi dan sasaran kebijakan KKG. Rencana aksi disertai dengan
indikator keberhasilan
untuk mengukur
kinerja dan
pengimplementasian rencana aksi. 4.
Melakukan pemantauan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan yang responsif gender.
e. Partisipasi Perempuan
Budaya patriarki yang kental telah menempatkan perempuan pada ranah domestik saja. Tidak bisa dipungkiri penempatan perempuan dalam wilayah domestik
membuat partisipasi mereka di ruang publik juga menjadi terpinggirkan, termasuk partisipasi politik mereka baik dalam lingkup luas maupun dalam lingkup sempit.
Partisipasi politik perempuan dapat diartikan bukan hanya partisipasi dalam ruang politik formal, tetapi juga dalam realita keterwakilan suara perempuan terhadap
penentuan pengalokasian dan pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat.
Jika kita bicara mengenai pemberdayaan atas partisipasi perempuan, maka sedikitnya ada dua faktor utama sebagaimana diajukan oleh Center for Asia Pasifik
Women in Politics Nur Iman Subono, 2003:21 yang menjadi hambatan utama. Dua faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-
laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat
liii partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau
keputusan 2.
Kendala-kendala kelembagaan institusional yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial
politik.
Ditambahkannya lagi
masalah yang
paling menjadi
penghambat pemberdayaan atau partisipasi politik perempuan adalah stereotype gender.
Stereotype ini memiliki dua kategori yakni 1.
Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dunia politik dan lebih khusus lagi duduk dalam posisi kepemimpinan politik
2. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan
otoritas harus mampu segalanya. Stereotype tipe yang muncul di masyarakat seringkali menempatkan
perempuan sebagai pengikut dan bukan pemimpin, stereotype ini muncul dalam kehidupan sehari-hari yang beberapanya tampil dalam faktor-faktor yang saling
berkaitan berikut ini: 1.
Prioritas perempuan adalah keluarga Pembagian peran selama ini didasarkan keyakinan bahwa perempuan
bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anak dan mengelola rumah. Kegiatan di luar rumah dilihat sebagai tanggung jawab sekunder.
2. Perempuan tidak memenuhi syarat dalam posisi kepemimpinan
Ketika perempuan lebih difokuskan pada urusan keluarga, mereka banyak kehilangan kesempatan ikut serta dalam berbagai pelatihan yang berkaitan
dengan teknik-teknik kepemimpinan. Sosialisasi yang mereka terima dalam
liv keluarga pada umumnya lebih mengajarkan soal kepatuhan, mengabdi, atau
tidak membantah. 3.
Ranah publik adalah dunianya laki-laki Secara tradisi yang merupakan hasil konstruksi sosial atau buatan manusia,
ranah publik adalah dunianya laki-laki, seangkan ranah privat adalah dunianya perempuan. Nadezhda Shvedova seorang peneliti pada Institute of the USA
and Canada Studies, berpendapat laki-laki mendominasi secara luas dunia publik, sangat dominan dalam memformulasikan aturan-aturan permainan
politik, dan mendefinisikan standar untuk evaluasi. Lebih jauh, masih menurutnya kehidupan politik masih sering diatur dengan norma-norma dan
nilai-nilai laki-laki. 4.
Posisi-posisi stereotipe yang terbuka bagi perempuan Keterlibatan perempuan dalam ruang publik hanya dianggap sebagai
perluasan dari peran dan posisi mereka di ranah privat. Karenanya tidak banyak yang mempersoalkan jika pekerjaan perempuan yang dianggap khas
atau sesuai dengan mereka adalah sekretaris, bendahara, hubungan masyarakat, atau hanya sebagai penggembira politik.
Selain kendala-kendala di atas perempuan juga menghadapi kendala bersifat kelembagaan yang menghambat partisipasi mereka dalam berkecimpung di ranah
publik. Kendala-kendala tersebut dibagi dalam faktor-faktor yang berkaitan sebagai berikut:
1. Kurangnya kehendak politik
lv Keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi kepemimpinan masih sangat
terbatas pada tingkat otoritas menengah dan bawah. Untuk itu diperlukan kehendak politik yang kuat dari pemerintah, parpol, dan organisasi lainnya
untuk menciptakan sebuah lingkungan politik yang kondusif bagi partisipasi dan pemberdayaan perempuan.
2. Kurangnya “critical mass” massa kritis perempuan dalam dunia politik. Keterlibatan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan kadang kala
tidak berarti, karena posisi mereka sebagai minoritas. Kaum mayoritas dalam hal ini laki-laki, akan sangat mudah untuk mengabaikan atau bahkan
menyerang balik ide mereka. 3.
Keberadaan dan kuatnya “Jaringan Laki-laki semua” all boys club Struktur politik yang didominasi laki-laki pada dasarnya telah menciptakan
sebuah budaya yang mengeluarkan perempuan. Hal ini akan diperparah bila dikombinasikan dengan senioritas dan budaya machismo.
4. Akses yang berbeda terhadap sumber-sumber politik
Proses dan peraturan pemilihan politik selama ini lebih banyak mendapat dukungan partai politik dan bisnis besar yang didominasi laki-laki. Nur Iman
Subono, 2003:22-28 Yang perlu mendapat perhatian adalah partisipasi perempuan dalam ranah
politik ini tidak bisa hanya dipandang sebagai isu nasional saja, menurut Sylvia Walby 2008:25-26 dalam Gender, globalisation, and democracy
lvi “Women’s political struggles have been a significant factor in gaining the
vote and representation for women in most places. However, the rise in women’s parliamentary representation is linked, not only to specific national
struggles, but to regional and global political alliances. Democratisation is a political movement which is not confined to nation-states, but one which
draws strength from regional and global political linkage”
Politik perjuangan wanita memiliki faktor yang signifikan dalam mengumpulkan dukungan dan representasi untuk wanita di berbagai
tempat.Bagaimanapun juga kemunculan wanita dalam parlemen dihubungkan tidak haya sebagai perjuangan nasional yang spesifik tetapi lebih ke daerah
dan aliansi politik global. Demokrasi merupakan pergerakan politik yang tidak hanya memberi batas untuk Negara, tetapi lebih menggambarkan
tentang kekuatan dari daerah dan hubungan politik global. Jadi bisa disimpulkan politik dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Tetapi
yang perlu dicermati adalah parameter dan arah perjuangan dari hal tersebut. Keterwakilan perempuan dalam dewan perwakilan bukanlah satu-satunya tolak ukur
partisipasi perempuan. Partisipasi perempuan di ranah politik harus dilihat dari segi pandang yang beragam. Di samping itu arah perjuangan partisipasi perempuan harus
lebih luas lagi. Skala yang diambil sudah mencapai pada isu global, dan menjadi salah satu agenda penting di berbagai belahan bumi. Namun untuk menjangkau
lapisan masyarakat bawah aspirasi ini harus juga didengung-dengungkan pada level bawah atau regional.
F. Kerangka Berfikir