Desain penangkaran rusa Timor berdasarkan analisis komponen bio ekologi dan fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor

(1)

ANALISIS KOMPONEN BIO-EKOLOGI DAN FISIK

DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR

MARIANA TAKANDJANDJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen Bio-Ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Mariana Takandjandji NIM. E 351070124


(3)

MARIANA TAKANDJANDJI. Captive Breeding Design of Timor Deer According to Bio-ecological and Physical Area Analysis at Forest Research Station, Dramaga Bogor. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and AHMAD MACHMUD THOHARI.

Timor deer provides a potential value as an alternative to the conventional meat substitution. Unfortunately, the deer population in natural habitat tends to decline from time to time due to uncontrolled hunting and their habitat destruction. The captive breeding of deer has also not developed rapidly due to lack of information on managing and designing the captive program. The research on timor deer captive breeding was conducted at Forest Research (FR) Station Darmaga (57.75 ha), on December 2008 - April 2009. The research objective is to study the captive breeding design of timor deer (Rusa timorensis Blainville 1822) and analyze the forest area feasibility for deer captive breeding, and to developt alternative design of the captive breeding. This research observed the species diversity of vegetation, productivity of grass, animal wildlife diversity, bio-ecologycal and physical component, and financial analysis of the deer captive breeding. The measurement of grass productivity was cariedout within outside the captive breeding area. The research resulted that average productivity of grass within the captive breeding area was about 58.76 g/m2/day and outside the captive breeding about 178.23 g/m2/day. The carrying capacity of the area was about 22.32 individual/ha/year. The bio-ecological analysis show that the study area was able to support the captive breeding. The physical analysis of the study area, suggested that the total area could be allocated for four utilization zones, ie. captive breeding zone (7.42%), headquarter zone (6.82%), outdoor recreation zone (7.36%), and buffer zone (6.78%). Financial analysis of deer captive breeding was estimated economicly feasible.

Keywords: designing, captive breeding, timor deer, bio-ecological, financial analysis


(4)

MARIANA TAKANDJANDJI. Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen Bio-Ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan AHMAD MACHMUD THOHARI.

Rusa timor (Rusa timorensisBlainville 1822) memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dimana seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Namun populasi rusa timor pada habitat alam cenderung menurun sejalan dengan pengrusakan habitat dan perburuan liar yang tidak terkendali. Oleh karena itu, pembangunan penangkaran rusa timor merupakan salah satu alternatif yang perlu dikembangkan. Sejauh ini, penangkaran rusa timor belum berkembang secara optimal karena kurangnya informasi tentang pengelolaan dan pembuatan desain penangkaran. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan pada penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian (HP) Darmaga, Bogor mulai bulan Desember 2008 sampai dengan April 2009.

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji dan menganalisis kelayakan lokasi penangkaran, menganalisis desain penangkaran untuk perkembangbiakan rusa dan meningkatkan pemanfaatan Hutan Penelitian Dramaga, Bogor sebagai habitat rusa timor dan eko-wisata ditinjau dari komponen bio-ekologi dan fisik lokasi. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan studi literatur, wawancara, dan pengamatan langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen bio-ekologi berupa pakan dan cover cukup terpenuhi dengan nilai gizi dan palatabilitas yang memenuhi syarat, daya dukung yang terpenuhi (22,32 ekor/ha/tahun), menjadikan areal HP Dramaga, Bogor cocok dan layak untuk penangkaran rusa timor. Komponen fisik lokasi menggambarkan bahwa aksesibilitas, iklim, curah hujan, topografi, tanah, dan air pada kawasan HP Dramaga sangat mendukung pengembangan penangkaran rusa timor. Total luas kawasan HP Dramaga sebesar 55,75 ha didesain dan dialokasikan menjadi empat zona, yaitu zona pembiakan (7,42%), zona perkantoran (6,82%), zona wisata alam (7,36%), dan zona penyangga (6,78%). Analisis finansial menunjukkan bahwa penangkaran rusa timor dengan sistem intensif dari jumlah populasi bibit awal sebanyak 15 ekor terdiri dari 5 ekor jantan dan 10 ekor betina, cukup memberi keuntungan. Populasi rusa timor hingga tahun ke sepuluh sebanyak 115 ekor (67 jantan dan 48 betina). Rusa yang dimanfaatkan adalah rusa jantan sebanyak 54 ekor sehingga sisa populasi rusa di penangkaran sebanyak 61 ekor terdiri dari 13 jantan dan 48 betina dengan sex ratio sebesar 1 : 4. Analisis biaya-keuntungan (BCR) dengan basis bunga 18% diperoleh sebesar 1,43 dengan kemampuan mengembalikan modal penangkaran diperkirakan dalam 3,14 tahun.


(5)

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

ANALISIS KOMPONEN BIO-EKOLOGI DAN FISIK

DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR

MARIANA TAKANDJANDJI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Komponen Bio-Ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian

Dramaga, Bogor

Nama

: Mariana Takandjandji

NIM

: E 351070124

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Anggota

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA

NIP. 19581121 198603 1 003

NIP. 19480208 198001 1 001

Diketahui

Koordinator Mayor

Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA

Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro MS

NIP. 19480208 198001 1 001

NIP. 19560404 198011 1 002


(8)

(9)

kucintai, kukasihi dan kusayangi, yakni suami

(Harisetijono), anak-anakku (Hadi Prasetyo dan Arief

Setyo Nugroho), orangtuaku (R. Takandjandji dan Kahi

Timba), dan kakek-nenekku (Benyamin Hani dan Siti

Maimunah), semoga semuanya berbahagia dunia akhirat”.


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen Bio-ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogordapat diselesaikan.

Penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini sangat berarti bagi penulis dalam upaya menambah khasanah pengetahuan mengenai desain penangkaran rusa timor ditinjau dari aspek bio-ekologi dan fisik. Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa hormat dan penghargaan serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yth. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai Ketua Komisi dan Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA sebagai Anggota Komisi, yang telah membimbing dan memberi dorongan serta masukan kepada penulis, sejak pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yth. Bapak Prof. (R) Dr. M. Bismark, MS APU sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis atas bimbingan, dan arahannya dalam penulisan tesis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sekretariat Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program Research School di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga kepada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, yang telah mendanai penulis dalam menempuh pendidikan, dan kepada rekan-rekan di Kelompok Peneliti KSDA baik Peneliti maupun Teknisi serta rekan-rekan di penangkaran rusa Dramaga yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik materi maupun moril selama melakukan penelitian dan penulisan tesis.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Ternak di Bogor (Dr. Ir. Chalid Thalib, MS dan Prof. Dr. Ir. I Wayan Rangkuti, MSc), yang telah


(11)

penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Air, Mikrobiologi, dan Botani pada P3HKA, serta Kelompok Peneliti Kimia dan Energi pada Pusat Litbang Hasil Hutan yang telah membantu meminjamkan timbangan elektrik dan oven selama penelitian. Terima kasih disampaikan pula kepada Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atas kerjasama dan bantuannya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada suami tercinta Harisetijono, ananda Hadi Prasetyo dan Arief Setyo Nugroho yang telah memberikan perhatian, dorongan, dan doa hingga penulisan tesis berakhir. Ungkapan terima kasih disampaikan juga kepada yang tersayang ayahanda dan ibunda, yang tercinta nenek serta semua keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Terima kasih disampaikan kepada teman-teman KVT yaitu Rozza, Dewi, Glen, Paijo, Toto, Andi, Yayuk, Tedy, Aswan, Iman yang senantiasa memberikan dorongan kepada penulis agar tetap semangat, juga kepada Bapak Sofwan, Bibi Uum, Mbak Irma, Bapak Hendrianto (Bob) dari landscape yang telah banyak membantu penulis. Teman-teman Research School yakni Lincah, Rozza, Wida, Edah, Danu, Totok, Santiyo, Mody, Andianto, Fike, Yanto, Hengky, dan Suryanto terima kasih atas kebersamaannya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian dan penulisan tesis. Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikannya.

Penulis menyadari, banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, baik dari segi penyajian materi, tata bahasa, konsistensi, metode maupun analisis data. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor khususnya dan Indonesia umumnya.

Bogor, Oktober 2009 Penyusun,

Mariana Takandjandji


(12)

Penulis dilahirkan di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 08 Mei 1962 dari pasangan R. Takandjandji (ayah) dan Kahi Timba (ibu). Pendidikan penulis adalah Sekolah Dasar Masehi di Payeti II, Waingapu dan Sekolah Menengah Pertama serta Menengah Atas Negeri di Waingapu. Tahun 1981 penulis tercatat sebagai mahasiswi pada Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana Kupang dan lulus pada tahun 1986.

Penulis menikah dengan Harisetijono pada tahun 1991, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Hadi Prasetyo (16 tahun) dan Arief Setyo Nugroho (13 tahun).

Sejak tahun 1987 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang di Nusa Tenggara Timur yang menangani penangkaran rusa timor dan burung paruh bengkok. Tahun 2006, penulis pindah tugas di Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Tahun 2007, alhamdulillah penulis mendapat kesempatan dari Badan Litbang Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan melalui program Research School pada Sekolah Pascasarjana, Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Rusa Timor ... 7

2.2 Penangkaran Rusa Timor ... 12

2.3 Nilai Ekonomi ... 14

2.4 Perencanaan Tapak ... 18

2.5 Perancangan Tapak ... 20

2.6 Analisis Tapak ... 22

2.7 Zonasi... 23

2.8 Partisipasi Masyarakat ... 24

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas ... 25

3.2 Kondisi Fisik ... 26

3.3 Kondisi Biologi ... 27

3.4 Sarana dan Prasarana ... 27

4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu ... 28

4.2 Bahan dan Alat ... 28

4.3 Jenis Data yang diukur ... 28

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 29

4.5 Analisis Data ... 36

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komponen Bio-ekologi ... 40

5.2 Komponen Fisik Lokasi... 51

5.3 Desain Penangkaran Rusa ... 53

5.4 Analisis Finansial Penangkaran Rusa ... 67

5.5 Manajemen Penangkaran Rusa Timor ... 70


(14)

xiv

6.1 Kesimpulan ... 75

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(15)

Halaman

1 Spesies dan subspesies rusa di Indonesia... 8

2 Luas masing-masing lokasi berdasarkan peruntukan lahan ...…………... 25

3 Jumlah petak pengamatan analisis vegetasi di HP Dramaga ……… 32

4 Lokasi dan kondisi areal pengamatan produktivitas hijauan pakan rusa di HP Dramaga ... 33

5 Kandungan nutrisi hijauan pakan rusa di HP Dramaga ... 35

6 Jenis kelamin, dan ukuran kandang rusa yang digunakan dalam penelitian rusa timor di HP Dramaga ... 35

7 Rancangan penelitian konsumsi dan palatabilitas pakan rusa timor di HP Dramaga ... 38

8 Rataan Produktivitas hijauan pakan segar di HP Dramaga ... 42

9 Indeks Palatabilitas hijauan pakan rusa di HP Dramaga ... 48

10 Hasil perhitungan nilai gizi pakan rusa yang dikonsumsi berdasarkan bahan kering ... 49

11 Jenis mamalia yang terdapat di HP Dramaga ... 50

12 Jenis reptil di HP Dramaga ... 50

13 Hasil analisis komponen fisik lokasi penangkaran ... 52

14 Penataan zonasi dalam penangkaran ... ... 55

15 Jenis dan ukuran kandang yang terdapat dalam zona pembiakan ... 59

16 Jenis fasilitas dan ukuran perkantoran di HP Dramaga ... 63

17 Jenis dan ukuran fasilitas wisata alam ... 66


(16)

Halaman

1 Bagan alir desain penangkaran rusa timor berdasarkan analisis

komponen bio-ekologi dan fisik di HP Dramaga, Bogor ... 6

2 Lokasi pembangunan penangkaran rusa timor di HP Dramaga ... 26

3 Konsumsi hijauan pakan rusa timor di penangkaran rusa ... 47


(17)

Halaman

1 Analisis tumbuhan bawah di dalam areal penangkaran

rusa timor di HP Dramaga ……... 83

2 Analisis vegetasi pada tingkat semai di HP Dramaga ... 85

3 Analisis vegetasi pada tingkat pancang di HP Dramaga ... 87

4 Analisis vegetasi pada tingkat tiang di HP Dramaga ... 88

5 Analisis vegetasi pada tingkat pohon di HP Dramaga ... 89

6 Analisis tumbuhan bawah di luar areal penangkaran rusa timor di HP Dramaga ... 91

7 Rata-rata kadar biomassa dan berat kering hijauan pakan Di HP Dramaga ... 93

8 Konsumsi hijauan pakan rusa timor di penangkaran... 94

9 Berat badan rusa timor yang diberi pakan campuran dan prasmanan di HP Dramaga ... 95

10 Jenis aves yang terdapat di HP Dramaga ………. 96

11 Kondisi awal Hutan Penelitian Dramaga ... 97

12 Tata letak masing-masing zona di dalam areal HP Dramaga ... 98

13 Lokasi pengembangan penangkaran rusa di HP Dramaga ... 99

14 Fasilitas di dalam zona pembiakan rusa dan perkantoran ... 100

15 Bangunan pengolahan limbah di HP Dramaga ... 101

16 Sketsa pagar luar dan dalam penangkaran ... 102

17 Tata letak fasilitas pada zona wisata alam di HP Dramaga ... 103

18 Biaya investasi, tetap dan variabel di penangkaran rusa timor HP Dramaga ...…... 104

19 Jenis penerimaan di penangkaran rusa di HP Dramaga ...……… 105

20 Rincian penerimaan usaha penangkaran rusa berdasarkan tingkat suku bunga 18% ……… 106

21 Analisis finansial berdasarkan suku bunga (10,20, 40%) ..………... 107

22 Hasil analisis finansial NPV, BCR, IRR usaha penangkaran rusa timor di HP Dramaga ... 109

23 Perkiraan produksi rusa timor di penangkaran HP Dramaga ... 110


(18)

1.1 Latar Belakang

Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai Kepulauan Nusa Tenggara. Namun keberadaan populasi rusa timor pada habitat alami semakin menurun sehingga di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999, jenis ini memiliki status konservasi yang tergolong langka. Penurunan populasi disebabkan rusa sering dijadikan sebagai target buruan, karena rusa memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Potensi ekonomi yang dimiliki rusa dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kesejahteraan manusia. Nilai ekonominya tidak hanya berasal dari hasil penjualan komoditas dan hasil ikutannya seperti daging, ranggah, velvet, kulit tetapi juga potensi intrinsik yang dimiliki seperti keunikan bentuk tubuh dan tingkah lakunya dapat memberikan kepuasan psikologis. Potensi ini dapat dikembangkan sebagai bagian dari jasa lingkungan yang memiliki nilai yang tinggi sebagai objek rekreasi. Sebagai satwa yang dilindungi, bentuk pengembangan pemanfaatan yang dibenarkan oleh peraturan perundangan melalui penangkaran.

Rusa timor memiliki potensi tinggi untuk ditangkarkan karena relatif mudah beradaptasi dengan lingkungan dan mudah berkembangbiak di luar habitatnya sehingga mudah dikelola. Namun upaya penangkaran yang dilakukan di Indonesia baik oleh pemerintah, swasta, maupun secara pribadi, hasilnya belum optimal. Hal ini disebabkan pengetahuan dan keahlian tentang penangkaran rusa belum sepenuhnya dikuasai. Menangkarkan rusa tidak cukup dengan memberikan pakan dan menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan tetapi memerlukan teknik pengelolaan yang disertai dengan pengetahuan dan keahlian di bidang penangkaran, karena dengan pengelolaan yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap produksi, reproduksi, dan perilaku. Apabila pengetahuan dan keahlian tentang penangkaran kurang dipahami, akan menjadi hambatan bagi upaya penangkaran rusa dalam memperoleh hasil dan pemanfaatan yang optimal.


(19)

Salah satu kegiatan teknis yang harus dilakukan dalam merancang penangkaran rusa, adalah menata alokasi penggunaan ruang secara optimal untuk kebutuhan pengelolaannya baik secara teknis, bio-ekologis maupun fisik. Hal ini penting karena pada dasarnya setiap lokasi memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk itu diperlukan suatu desain yang optimal yang dirancang atas pertimbangan kesesuaian karakteristik komponen bio-ekologis dan fisik lokasi.

Pemahaman terhadap komponen bio-ekologis dapat memberikan gambaran kelayakan ekologis suatu kawasan untuk tujuan penangkaran, termasuk diantaranya pakan dan reproduksi sehingga dapat memprediksi faktor pertumbuhan populasi seperti angka kelahiran rusa. Oleh karena itu, daya dukung habitat yang optimal perlu dipertimbangkan agar rusa di penangkaran tetap bertambah secara bertahap dan signifikan.

Selain itu, kondisi lapangan dan faktor-faktor pendukung kegiatan penangkaran rusa perlu dipertimbangkan. Penataan ruang sangat menentukan keseimbangan antara komponen bio-ekologis dan fisik lokasi. Beberapa masalah yang sering terjadi adalah kondisi fisik lapangan kurang mendukung sehingga berpengaruh terhadap kondisi fisik bangunan. Kondisi fisik lapangan berkaitan erat dengan tapak yaitu bagian suatu areal atau lokasi atau lanskap di mana suatu kegiatan dilakukan atau suatu bangunan didirikan.

Hutan Penelitian (HP) Dramaga, Bogor merupakan salah satu asset penting sebagai sarana penelitian yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) Bogor yang ditetapkan berdasarkan SK/Agraria No. 593/321/SK 437/Ditag/1987, seluas 57,75 ha dengan status lokasi Hak Guna Usaha. Sejak tahun 2008 di dalam areal tersebut telah dibangun dan dikembangkan Pusat Penangkaran Rusa Timor, dengan tujuan untuk dapat menyediakan bibit rusa bagi penangkar dan dapat dikembangkan sebagai objek wisata. Luas areal pengembangan penangkaran rusa timor yang dialokasikan sekitar ± 7,00 ha.

Perencanaan pengembangan penangkaran rusa timor di HP Dramaga Bogor diarahkan sebagai model penangkaran rusa yang dikelola secara intensif, semi intensif dan ekstensif. Untuk mewujudkannya, maka perlu dirancang alokasi


(20)

tapak secara tepat agar tujuan pengembangannya sebagai pusat penghasil bibit rusa dan wisata dapat tercapai secara optimal. Oleh karena itu penetapan tapak dalam penangkaran, perlu disesuaikan dengan peruntukan pembangunannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan menganalisis kelayakan lokasi penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian (HP) Dramaga ditinjau dari komponen bio-ekologi dan fisik lokasi.

2. Menganalisis desain penangkaran rusa timor di HP Dramaga sesuai bio-ekologi untuk perkembangbiakan dan pembesaran rusa.

3. Meningkatkan pemanfaatan HP Dramaga sebagai habitat rusa timor dan eko-wisata.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dan acuan bagi pengelola penangkaran atau masyarakat yang berminat mengembangkan kegiatan penangkaran rusa timor secara efisien. Manfaat lainnya adalah sebagai acuan bagi masyarakat penangkar untuk mendesain lokasi, sarana dan prasarana penangkaran rusa timor sesuai kondisi bio-ekologi dan fisik lokasi.

1.4 Kerangka Pemikiran

Pembangunan penangkaran rusa perlu memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan rusa sebagai unsur utama, fisik dan lingkungan lokasi di mana penangkaran tersebut berada. Beberapa aspek yang menjadi syarat utama di dalam pembangunan penangkaran rusa yakni bio-ekologi dan fisik lokasi.

Secara alami, satwa membutuhkan habitat berupa hutan atau pohon, semak belukar, dan padang rumput yang terbuka. Adanya lingkungan yang ternaungi merupakan hal yang dibutuhkan oleh satwa rusa sebagai tempat berteduh pada


(21)

saat panas, hujan, menghindari dari predator, tempat beristirahat, tempat berkembangbiak, dan sebagai tempat rusa jantan menggesekkan ranggah. Namun demikian, rusa juga membutuhkan padang rumput yang terbuka untuk melakukan aktivitas makan, bermain, berkubang dan berjemur. Komponen tersebut merupakan komponen bio-ekologi yang dibutuhkan oleh rusa untuk dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik.

Selain itu, komponen fisik lokasi yang meliputi letak, luas, iklim, topografi, air, dan tanah merupakan komponen penting yang perlu dipertimbangkan dalam penangkaran rusa. Letak lokasi harus mudah ditempuh dan dijangkau oleh kendaraan roda dua dan roda empat baik pada musim panas maupun hujan. Di samping itu, HP Dramaga telah dikenal masyarakat umum sebagai tempat rekreasi, sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang kegiatan tersebut termasuk lokasi dan aksesibilitas yang berkaitan dengan cara untuk mencapai lokasi, dan transportasi yang akan digunakan oleh pengguna.

Iklim berkaitan dengan curah hujan, temperatur dan kelembaban karena berpengaruh terhadap pertumbuhan jenis-jenis pakan, dan ketersediaan air dalam tanah. Pertumbuhan pakan tergantung pada ketersediaan air, sehingga perlu memperhatikan sumber dan produksi air. Selain digunakan sebagai penunjang pertumbuhan pakan, air juga digunakan oleh rusa untuk kebutuhan minum dan berkubang. Pembangunan penangkaran rusa perlu pula memperhatikan masalah tanah karena dapat menunjang pertumbuhan pakan. Tanah dapat menentukan zona peruntukan penangkaran rusa dengan memperhatikan kemiringan lahan.

Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis terhadap komponen bio-ekologi dan fisik yang dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan tapak penangkaran rusa meliputi bangunan kantor, kebun pakan, dan kandang-kandang pembiakan. Apabila syarat tersebut telah terpenuhi, maka perlu dilakukan perancangan tapak berupa pewilayahan (block plan), deskripsi tapak, dan tata letak bangunan. Namun apabila syarat tersebut belum terpenuhi, maka perlu dilakukan upaya perbaikan terhadap kualitas tapak dan sarana prasarana yang dibutuhkan dalam penangkaran rusa. Setelah upaya perbaikan dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan perancangan tapak sehingga akhirnya diperoleh satu


(22)

alternatif yang paling layak untuk dikembangkan di HP Dramaga berdasarkan peruntukan, biaya, waktu, dan tenaga. Pembuatan desain penangkaran rusa timor dengan memperhatikan kondisi bio-ekologi dan fisik HP Dramaga, Bogor merupakan tahapan terakhir dari kegiatan dalam penelitian ini.

Kerangka pikir atau bagan alir penelitian tentang Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen Bio-ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor dapat dilihat pada Gambar 1.


(23)

Gambar 1 Bagan alir penelitian desain penangkaran rusa timor berdasarkan analisis komponen bio-ekologi dan fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor.

Bio-ekologi rusa timor

(perilaku, reproduksi, pakan, habitat, vegetasi)

Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen Bio-ekologi dan Fisik di Hutan Penelitian

Dramaga, Bogor

Desain Tapak (kebun hijauan pakan, sarana prasarana)

Fisik lokasi

(letak, luas, iklim, topografi, air, tanah)

Memenuhi Syarat

Tidak

Persyaratan Desain Tapak

(konstruksi, luas, bahan yang digunakan, jenis

hijauan pakan)

Ya

Perbaikan Daya Dukung Tapak Lokasi

Penangkaran

Perancangan Tapak

(zona, dan tata letak)

Analisis

Daya dukung Tapak Lokasi Penangkaran(kebun hijauan


(24)

2.1 Bio-ekologi Rusa Timor

Rusa timor merupakan salah satu dari empat spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean, dan muncak. Rusa timor di Indonesia memiliki delapan sub spesies dengan pola penyebaran seperti terlihat pada Tabel 1.

Menurut Schroder (1976) yang dikutip oleh Semiadi dan Nugraha (2004) serta Garsetiasih dan Takandjandji (2006), rusa timor termasuk termasuk spesies Cervus timorensis. Namun dalam IUCN (2008) dikatakan, nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis Blainville, 1822. Sedangkan nama yang umum dikenal adalah rusa jawa atau rusa timor dengan nama ilmiah Cervus timorensis.

Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976); Reyes (2002); Semiadi dan Nugraha (2004), mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan bulu atau rambut berwarna coklat kekuning-kuningan. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang dari cabang depan kedua, cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar. Berat badan rusa timor dapat mencapai 100 kg; 60 kg; 31,5–70,0 kg pada rusa jantan; 152 kg pada jantan dan betina 74 kg; 40–120 kg; dan 120 kg (Thohari et al. 1991, Jacoeb dan Wiryosuhanto 1994, Takandjandji dan Garsetiasih 2002, Reyes 2002, Semiadi dan Nugraha 2004 serta Illawara 2006).

Penyebaran rusa timor hampir meliputi seluruh Indonesia, kecuali Sumatera, Kalimantan, Papua dan beberapa pulau di Maluku. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004); Semiadi (2006) dan Grubb (2007), pada zaman Belanda sekitar tahun 1928-an banyak rusa timor yang dibawa ke luar habitat aslinya termasuk ke Papua. Rusa timor yang dibawa ke Papua merupakan sub spesies dari rusa timor yang berasal dari Maluku (Rusa timorensis moluccenssis Muller 1836). Pada habitat yang baru, rusa timor berkembangbiak dengan pesat bahkan menjadi hama bagi penduduk di sekitarnya. Rusa timor di Kalimantan, berasal dari anak jenis


(25)

rusa timor di Nusa Tenggara Timur yang dibawa oleh tentara dari Timor Timur pada tahun 1980-an (Semiadi 2006). Spesies dan sub spesies rusa yang menyebar di seluruh Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesies dan subspesies rusa di Indonesia

Jenis Rusa Nama

Daerah

Daerah Penyebaran

Genus: Cervus*; ** (Rusa****)

Spesies: Cervus/Rusa unicolor Kerr, 1792 Dua subspesies yang terdapat di Indonesia:

C/R. u. equinus Cuvier, 1823

C/R. u. brookei Hose, 1893

Rusa Sambar Rusa Payau Rusa Payau Sumatera*) Kalimantan*) Spesies: Cervus/Rusa timorensis Blainville 1822****

Delapan subspesies yang terdapat di Indonesia:

C/R. t. russa Muller and Schlegel, 1844

C/R. t. floresiensis Heude, 1896

C/R. t. timorensis Blainville, 1822

C/R. t. djonga Bemmel, 1949

C/R. t. moluccenssis Q & G, 1830/Muller, 1836

C/R. t. renschi Sody, 1933

C/R. t. laronesiotesBemmel, 1949

C/R. t. macassaricus Heude, 1896

Rusa Timor Rusa Jawa Rusa Timor Rusa Timor Rusa Jonga Rusa Maluku Rusa Timor Rusa Jawa Rusa Makassar

Jawa, Kal. Selatan Nusa Tenggara Pulau Timor Kep di SulTeng Kepulauan Maluku Pulau Bali

Ujung Kulon Sulawesi Genus: Axis

Spesies: Axis kuhlii Muller, 1840 *; **; ***) Rusa Bawean Pulau Bawean Spesies : Muntiacus muntjak**)

M.m. montana M.m. pleitharicus M.m. bancanus M.m. rubidus M.m. nainggolani

Spesies : Muntiacus atherodes

Muncak Pulau Jawa Pulau Sumatera Kalimantan Selatan Pulau Bangka, Belitung

Kalimantan Utara Pulau Bali dan Lombok

Kalimantan Timur Sumber: *) Schroder (1976); **) Semiadi dan Nugraha (2004); ***) Semiadi (2006); ****) IUCN

(2008).

Riney (1982) mendeskripsikan habitat terbagi atas komponen pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkungan (air, iklim, topografi, hidrologi, tanah) atau dapat dikatakan bahwa komponen habitat meliputi pakan, pelindung, air, dan ruang. Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata karena perkembangan populasi di alam maupun di penangkaran akan berhubungan erat dengan pakan yang berkualitas.

Ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim, terutama pada daerah semi arid dimana pada musim hujan pakan berlimpah dan pada musim kemarau terjadi kekurangan pakan. Oleh karena itu pakan merupakan faktor pembatas apabila terjadi kekurangan pakan dan rendahnya kualitas pakan.


(26)

Daya dukung habitat merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan. Daya dukung adalah jumlah individu satwa dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat (Bailey 1984).

Habitat yang disukai rusa timor adalah hutan yang terbuka, padang rumput, savana, semak, bahkan sering dijumpai juga pada aliran sungai (sumber air) dan daerah yang berawa (Garsetiasih 1996). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk grasser sedangkan pada areal semak dan hutan, rusa merupakan browser (Hoogerwerf 1970; Semiadi dan Nugraha 2004 serta IUCN 2008). Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai jenis rumput, herba dan buah-buahan yang jatuh di permukaan tanah. Rusa timor di SM Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat (Sutrisno 1993).

Cover merupakan komponen habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator atau kondisi yang lebih baik dan menguntungkan. Vegetasi merupakan cover penting dalam kehidupan satwa, karena bukan hanya pakan saja yang termasuk didalamnya tetapi perlindungan terhadap cuaca dan predator juga merupakan bagian dari fungsi vegetasi. Sedangkan air dibutuhkan oleh satwa untuk proses metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan satwa akan air bervariasi tergantung kondisi habitat. Sedangkan ruang digunakan untuk mendapatkan pakan, pelindung, air dan tempat berkembangbiak. Luas ruangan dalam habitat tergantung pada besarnya jenis satwa.

Pengetahuan tentang perilaku satwa sangat diperlukan untuk menentukan tindakan dalam pengelolaan populasi dan habitat. Suratmo (1979) dan Sukriyadi (2006) mendefinisikan perilaku sebagai reaksi atau ekspresi yang disebabkan oleh adanya rangsangan atau stimulus yang mempengaruhinya, antara lain rangsangan dari dalam tubuh satwa (faktor fisiologis seperti sekresi hormon dan faktor motivasi dorongan atau insentif sebagai akibat aktivitas perangsang mekanisme syaraf), rangsangan dari luar (seperti suara, pandangan, tenaga mekanis dan rangsangan kimia).


(27)

Rusa timor lebih aktif pada waktu siang hari (diurnal) daripada malam hari (Thohari et al. 1991). Walaupun rusa timor bukan merupakan satwa yang aktif pada malam hari (nocturnal), namun rusa timor dapat berubah sifat menjadi nocturnal apabila kondisinya terganggu atau diperlukan untuk adaptasi. Oleh karena itu, rusa timor merupakan salah satu jenis rusa yang mudah bereproduksi karena mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar habitat.

Perilaku makan pada rusa timor merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan satwa dibagi dalam tiga bagian yaitu menjelajah (exploring), istirahat dan ruminasi (Sukriyadi 2006). Sedangkan menurut Semiadi (2006), aktivitas mencari makan pada satwa dikategorikan ke dalam tiga bagian yakni merumput (grazing), ruminasi (ruminating), dan istirahat (resting). Menurut Wodzicka-Tomaszewka et al. (1991), perilaku makan dalam hubungannya dengan penggunaan waktu tergantung pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan dan persediaannya.

Perilaku seksual dilakukan untuk meningkatkan populasi, dan dimulai dari awal sebelum perkawinan sampai perkawinan berakhir. Sebelum perkawinan aktual terjadi, rusa jantan melakukan penciuman pada betina yang sedang estrus, terutama pada urine yang dikeluarkan dan bagian vulva. Apabila terjadi respon dari betina, barulah terjadi kopulasi. Perkawinan pada rusa timor di penangkaran NTT berlangsung cepat, yakni ± 5 detik (Takandjandji dan Sinaga 1995).

Rusa termasuk satwa yang hidup berkelompok antara 5-10 ekor sampai 20 ekor, namun apabila berada di padang penggembalaan kelompok rusa dapat mencapai 75-100 ekor atau lebih dalam setiap aktivitas. Kelompok rusa terdiri dari induk (jantan dan betina deasa), anak rusa dan remaja. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling berinteraksi antar kelompok. Hubungan sosial lebih sering terlihat pada induk dan anak terutama pada saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak.


(28)

Reproduksi merupakan kunci utama dalam penangkaran karena berhubungan erat dengan perkembangan populasi. Apabila reproduksi baik, populasi dan produksi dapat ditingkatkan dan pengaturan perkawinan dapat dilakukan dengan tepat sehingga populasi serta produktivitas menjadi lebih baik.

Rusa timor merupakan satwa yang perkawinannya bersifat poligamus yakni seekor pejantan dapat mengawini beberapa ekor betina dalam satu siklus perkawinan. Sub spesies ini mempunyai tingkat reproduksi tinggi dimana dengan pemeliharaan yang baik, persentase kelahiran anak yang dihasilkan berkisar antara 85-96,07% (Takandjandji dan Sinaga 1995; Semiadi dan Nugraha 2004).

Penangkaran rusa akan berhasil apabila pakan yang diberikan mempunyai kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang baik. Hal ini karena pakan berhubungan erat dengan perkembangbiakan rusa. Sebagai hewan ruminansia, rusa secara umum mengkonsumsi pakan yang terdiri dari rumput-rumputan, pucuk daun, tumbuhan muda dan konsentrat. Kualitas dan kuantitas pakan yang dibutuhkan bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, umur, status fisiologis, dan musim.

Menurut Takandjandji dan Garsetiasih (2002), pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran di NTT terdiri dari rumput, legum dan makanan penguat berupa dedak padi. Jenis pakan tersebut adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), king grass (Pennisetum purpuphoides), turi (Sesbania grandiflora), lamtoro (Leucaena leucocephalla), beringin (Ficus benjamina), kabesak (Acacia leucophloea), name (Pipturus argenteus), dan busi (Melochia umbellata). Pemberian pakan didasarkan pada berat badan rusa, yakni 10% x berat badan x 2. Maksud dikalikan dua adalah memperhitungkan jumlah hijauan yang tidak dimakan karena pakan telah tua, tidak palatable, kotor dan terinjak-injak, serta telah bercampur dengan faeces (kotoran) atau urine (air kencing). Sebagai perangsang nafsu makan dan untuk memenuhi kebutuhan mineral, pemberian pakan rusa di penangkaran selalu disertai dengan pemberian garam. Pakan rusa selain rumput-rumputan dan hijauan, diberikan juga pakan tambahan lain berupa konsentrat, sayur-mayur, umbi-umbian, limbah pertanian, dan limbah restoran (Semiadi dan Nugraha 2004).


(29)

2.2 Penangkaran Rusa Timor

Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakan satwaliar yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alamnya (Thohari et al. 1991). Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan untuk tujuan konservasi dan ekonomi.

Pemanfaatan rusa sebagai jenis yang dilindungi telah dilakukan berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Bentuk pemanfaatannya dapat berupa pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; dan pemeliharaan untuk kesenangan. Pengurusan ijin pemanfaatan diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Pemanfaatan dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum, koperasi, atau lembaga konservasi.

Pemanfaatan rusa sebagai jenis satwa yang memiliki nilai ekonomis, terutama dari jenis rusa timor, sudah banyak dilakukan melalui penangkaran di Indonesia. Penangkaran merupakan salah satu upaya konservasi jenis dan populasi, melalui pengembangbiakan dan pembesaran rusa dengan tetap memperhatikan kemurnian jenis sampai pada keturunan pertama (F1). Manfaat yang diperoleh, selain aspek konservasi adalah objek eko-wisata (keunikan dan keindahannya) dan objek berburu untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan lainnya (keturunan ke-2/F2 dan seterusnya). Hasil penangkaran rusa juga memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga fungsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.

Sistem penangkaran rusa umumnya terbagi atas tiga, yakni sistem terkurung (pembiakan) yang dilakukan secara intensif, semi terkurung (semi-intensif), dan bebas (ekstensif). Ketiga sistem tersebut sangat tergantung pada ketersediaan biaya dan lahan yang tersedia.


(30)

Sistem intensif atau terkurung adalah sistem pembiakan yang dilakukan dalam kandang terbatas dan seluruh kebutuhan hidup rusa termasuk kebutuhan ruangan, pakan, tempat berlindung, kesehatan, dan reproduksi diatur oleh manusia. Pakan diberikan dari luar areal penangkaran dengan cara pengaritan (cut and carry). Sistem ini disebut juga sebagai sistem farming,yang secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu sistem usaha tani yang dilakukan untuk memproduksi rusa dalam areal yang dikelilingi pagar. Sistem ini sering juga didefinisikan sebagai kegiatan memproduksi bibit rusa, kemudian melepaskan bibit ke areal yang lebih luas dan selanjutnya menangkap kembali hasilnya untuk dijual sebagai produk penangkaran.

Sistem semi terkurung atau semi intensif dilakukan dengan cara rusa dipelihara pada suatu areal yang luas dan dikelilingi pagar, dan dibiarkan merumput sendiri walaupun kadang-kadang pakan disuplai dari luar apabila pakan di dalam tidak mencukupi. Sistem ini disebut juga sebagai sistem mini ranching.

Sistem bebas adalah sistem penangkaran rusa yang dilakukan secara ekstensif dalam suatu areal yang luas dan berpagar. Rusa dibiarkan merumput secara alami tanpa ada campur tangan manusia kecuali mengontrol dan mengatur daya dukung (Sumanto 2006). Sistem ini biasa disebut dengan sistem ranching, tetapi ada juga yang menyebut sistem pembesaran. Pembesaran dalam hal ini berarti upaya pemeliharaan, pembesaran, dan penggemukkan rusa. Namun apapun sistem penangkaran yang dilakukan, semuanya tergantung pada ketersediaan biaya, luas lahan, tenaga kerja, jenis dan jumlah rusa yang ditangkar, dan tujuan penangkaran.

Sarana dan prasarana yang digunakan dalam penangkaran rusa timor, adalah bangunan (rumah jaga, pos jaga, gudang pakan dan alat), kandang sesuai status fisiologis (kandang kawin, bunting dan menyusui, anak jantan yang baru disapih, anak betina yang baru disapih, transit dan adaptasi, penelitian, dan kandang jepit), pagar (luar dan dalam), areal penanaman pakan, kelengkapan penangkaran (shelter, tempat makan, tempat minum, saluran air, menara air) dan jalan kontrol.

Menurut Thohari et al. (1991), pengelolaan penangkaran dengan cara intensif memerlukan sarana dan prasarana seperti kandang terdiri dari kandang


(31)

karantina, induk, pejantan, anakan, dan kandang terminal. Sarana pendukung yang perlu dibangun di dalam areal perkandangan adalah instalasi air, peneduh, pemagaran sepanjang batas kandang, serta jalur koridor yang menghubungkan kandang anak, induk dan pejantan.

Teknik penangkaran terdiri atas adaptasi, pengembangbiakan, seleksi bibit, kesehatan, pakan, dan paddock (Thohari et al. 1991). Sedangkan Semiadi dan Nugraha (2004) mengatakan, teknik penangkaran rusa dapat dilakukan dengan cara diikat seperti kambing, dikandangkan, atau dilepas di dalam pedok.

Reproduksi adalah suatu proses biologi yang terjadi antara jantan dan betina dengan tujuan untuk membentuk satu individu baru di dalam kehidupannya. Indikator yang digunakan untuk menilai reproduksi rusa adalah pengamatan lama dan siklus berahi, umur dewasa kelamin atau pubertas, perkawinan (umur, lama, frekuensi), umur dan periode kebuntingan, kelahiran (umur, interval, prosentase), prosentase kematian, dan lama menyusui. Apabila perkawinan dilakukan pada saat pubertas, induk akan sulit melahirkan bahkan anak yang dilahirkan cenderung lemah, kurang sehat, dan cenderung memiliki berat lahir yang rendah, pertumbuhan induk akan kerdil karena organ-organ reproduksi belum berkembang secara sempurna (Takandjandji dan Sutrisno 2006).

Hasil penelitian Takandjandji et al. (1998) pada rusa timor di penangkaran Oilsonbai, NTT melaporkan rata-rata lama berahi 2,2 hari dengan siklus 20,3 hari. Dewasa kelamin atau pubertas pada rusa jantan 8 bulan dan rusa betina 8,13 bulan. Umur perkawinan pertama pada rusa jantan 12,7 bulan dan pada betina 15,3 bulan. Umur kebuntingan pertama 17 bulan dengan lama bunting 8,4 bulan dan umur beranak pertama 25,5 bulan dengan jarak kelahiran pertama dan kedua 13,25 bulan. Lama menyusui 4 bulan dengan tingkat pertambahan anak rusa yang lahir per tahun 0,8 ekor dan ratio kelamin anak yang lahir antara jantan dan betina 1:1,3 ekor. Persentase kelahiran sebesar 96,07% dan tingkat kematian 17,25%.

2.3 Nilai Ekonomi

Rusa merupakan komoditi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, antara lain daging, kulit, velvet, ranggah, testis, dan jeroan. Daging rusa dapat dijadikan sebagai sumber protein hewani, yang banyak diminati


(32)

masyarakat karena mempunyai serat yang halus serta kandungan lemak dan kolesterol yang rendah, kadar protein daging rusa 21,1% dan kadar lemak 7% (Putri 2002) sedangkan kandungan kolesterol daging rusa sebesar 58 mg/100 gram (Semiadi dan Nugraha 2004). Kandungan gizi dalam daging rusa relatif lebih tinggi dan kolesterol lebih rendah dibandingkan dengan daging ternak konvensional lainnya. Harga daging rusa (venison) mahal dan paling banyak dicari orang karena 50–55% polyunsaturated (bukan lemak jenuh) (Anderson 1984; Semiadi 2006). Cita rasa daging rusa lebih enak dibandingkan dengan daging ternak yang biasa dikonsumsi karena seratnya halus, kandungan kolesterol rendah, lebih lezat, dan mudah dicerna. Oleh karena itu, masyarakat lebih suka mengkonsumsi daging rusa dibandingkan daging lainnya. Tingkat kesukaan masyarakat di Desa Api-api dan di daerah Balikpapan terhadap daging rusa sebesar 26% sedangkan daging sapi 62%. Oleh karena itu, masyarakat lebih senang mengkonsumsi daging rusa karena harganya lebih murah dibandingkan dengan daging sapi atau kambing (Ma’ruf et al. 2005). Berdasarkan selera atau keinginan pengunjung restoran di kota-kota besar, 84,2% pengunjung yang berkeinginan mencicipi menu hidangan rusa dan sebanyak 44,4% pernah menyantap sajian sate dan steakdaging rusa yang umumnya didatangkan dari luar negeri, seperti New Zealand (Mukhtar 1996).

Produk rusa selain daging, dapat dibedakan dalam empat kelompok yaitu kulit, jeroan, perhiasan, dan obat-obatan oriental. Kulit rusa merupakan bahan baku kerajinan kulit seperti dompet, jaket dan sepatu yang memiliki harga jual tinggi dibandingkan dengan kulit ternak lainnya karena sifatnya yang kuat dan lentur. Produk rusa berupa kulit diekspor ke Jerman dan diolah menjadi pakaian berkualitas tinggi seperti celana pendek (Ma’ruf et al. 2005).

Velvet atau ranggah yang masih muda dan ranggah keras dapat dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Velvet tumbuh dari substrat tulang rawan yang pada bagian luarnya mengandung pembuluh darah dan jaringan vaskuler, yang dapat dijadikan sebagai bahan baku obat tradisional (Ma’ruf, et al.2005). Velvet dapat dijadikan sebagai bahan tradisional pada obat-obatan oriental, tonik, dan makanan. Beberapa bangsa di Asia mengatakan, velvet mengandung bahan perangsang dan yang sering menggunakan adalah Cina dan Uni Soviet.


(33)

Penggunaan produk ini sudah sejak 2000 tahun yang lalu, yang dikenal dengan nama Traditional Chinese Medicine(TCM). Menurut para tabib tersebut dalam beberapa tulisan bahwa kemanjuran mengkonsumsi velvet adalah dapat meningkatkan metabolisme tubuh, dan telah dibuktikan secara ilmiah.

Beberapa kemanjuran dari racikan velvet oleh para tabib dari Cina antara lain adalah memperlambat proses impotensi atau sebagai obat kuat dan mempercepat proses penghilangan keletihan (Semiadi dan Nugraha 2004). Velvet mengandung mineral, antara lain kalsium, kalium, magnesium, natrium, phosphor, cobalt, cuprum, ferrous, mangan, dan selenium sehingga kapsulnya dapat dipakai sebagai obat aprodhisica yaitu perangsang libido. Velvet di Cina digunakan sebagai tonik pasca melahirkan ((Takandjandji dan Handoko 2005). Ekstrak velvet digunakan sebagai obat peluntur yang disebut “pantokrin” dan telah dipasarkan secara bebas, di Cina dan Jepang.

Cara pengolahan velvet ada tiga macam, yaitu dalam bentuk keripik, tepung, dan cairan (Semiadi dan Nugraha 2004). Bentuk keripik dilakukan dengan cara mengiris tipis velvet seperti keripik singkong, kemudian dijemur sampai kering atau dikeringkan dalam oven, dan dikonsumsi. Bentuk tepung dilakukan dengan cara velvet diiris tipis, dikeringkan, ditumbuk hingga halus seperti tepung, diayak, kemudian dimasukkan dalam kapsul dan dikonsumsi. Jumlah tepung velvet dalam kapsul 250-350 gram/kapsul. Sedangkan bentuk cairan dilakukan dengan cara mengekstrak menggunakan alkohol. Hasil ekstraksi alkohol dalam bentuk cair di Jepang, disebut Pantocrin atau Rulondin dan di Rusia disebut Rantarin. Oleh karena manfaat velvet cukup tinggi, maka nilai jualnya ikut melambung tinggi terutama bagi para tabib yang berasal dari Cina. Harga jual velvet yang sudah dikeringkan dan dijadikan emping dapat mencapai US $ 120/kg (Garsetiasih dan Takandjandji 2006).

Produk rusa berupa ranggah yang keras dalam bentuk utuh atau lengkap, dapat dijadikan souvenir yang biasa dijual di taman wisata dan kebun binatang. Ranggah rusa dapat dijadikan kancing, gagang pisau, bantalan trophy, mantel, pengikat taplak meja, gelang, jepit rambut, dan rak senjata berburu. Harga


(34)

ranggah tua yang telah dijadikan hiasan pada beberapa kota seperti di Bogor, berkisar antara Rp.250.000-Rp.750.000,-.

Produk samping yang lain dari rusa yang dapat dimanfaatkan adalah ekor, taring termasuk mata dan gigi, urat daging atau otot, hati, jantung, ginjal, penis, lidah, kaki, dan darah. Testis, dan foetus rusa yang masih berada di dalam kandungan induknya dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan atau jamu. Penis rusa dapat merampingkan tubuh dari kelebihan lemak dan daging tetapi harus dengan tulang tempat melekatnya penis lengkap dengan testis dan rambutnya. Harga penis tergantung panjang dan kebekuannya. Sedang anak rusa (foetus) yang berasal dari rusa betina bunting, merupakan produk yang paling laku di pasaran walaupun sulit ditemukan. Foetus tersebut dimasukkan dalam botol dan foetus tersebut tidak boleh rusak atau bentuknya harus utuh. Harga foetustersebut cukup bagus di Jepang, terutama dari taxidermis (mengisi kulit binatang dengan kapas sehingga nampaknya seperti binatang hidup) untuk bantalan.

Kaki rusa dapat dijadikan tongkat bilyard. Jeroan seperti hati, lidah, dan jantung di Eropa dan Scandinavia diolah menjadi makanan khusus, tulang rusa dan bagian dari daging yang kurang disukai, termasuk leher, dan tulang iga dapat digunakan untuk soup dan gulai. Tulang rusa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk fosfat (Hardjanto et al. 1991). Selanjutnya organ visceral (jeroan) rusa mempunyai prospek dalam bentuk soto babat yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Ma’ruf et al.2005).

Taring lengkap dengan gigi dan mata rusa yang tidak berlubang, warna coklat dan yang berpasangan, harganya cukup tinggi, dimana dapat dibuat perhiasan seperti jepitan dasi, anting-anting, dan bross. Biasanya dibentuk seperti buah pohon oak yang dihiasi dengan daun oak lalu diikat dengan perak.

Ekor rusa dipercaya secara umum terutama bagi wanita Cina sebagai obat setelah melahirkan yang dapat merampingkan. Bagian yang paling berkhasiat dari ekor rusa terletak pada glandulanya yang berwarna hitam. Ekor dapat dibekukan, dikemas dan dijual dalam kemasan 2 ons dan 56 gram.

Urat daging atau otot rusa diambil dari bagian bawah kaki dengan cakar yang masih tetap menempel. Urat tersebut dikeringkan dan dikemas dalam


(35)

kantong polyethere. Kepala rusa termasuk bagian atas dari pedicle, dieksport dalam bentuk beku dari New Zealand.

2.4 Perencanaan Tapak

Peruntukan tapak, desain pembangunan lokasi, dan sarana prasarana dalam tapak merupakan hal yang diperlukan dalam pengembangan penangkaran rusa. Oleh karena itu, tahapan yang perlu dilakukan antara lain persiapan berupa pra konstruksi mencakup rancangan tapak (design engeneering), pembangunan konstruksi terdiri dari kegiatan penyiapan lahan atau lokasi, dan pembangunan sarana prasarana yang diperlukan dalam penangkaran rusa, dan operasi mencakup kegiatan pemeliharaan atau pembiakan rusa, serta pemanfaatan produk atau jasa. Kegiatan dalam tahap persiapan adalah kajian kelayakan lokasi, menentukan, merumuskan, dan membuat master plan serta management plan. Luaran yang dihasilkan adalah dokumen tentang rencana pengembangan dan pengelolaan penangkaran rusa yang akan dijadikan sebagai acuan sehingga rancangan yang sistematis dan strategis sangat diperlukan oleh setiap pengelola penangkaran. Luaran yang dihasilkan dari tahapan konstruksi adalah bentuk penangkaran rusa sedangkan luaran yang dihasilkan dari tahapan operasi adalah bibit rusa, produk rusa, dan objek wisata. Perencanaan penangkaran rusa memerlukan desain atau rancangan yang sistematik, efisien, dan efektif sehingga diperoleh penangkaran rusa yang berkualitas. Kegiatan perencanaan mencakup petunjuk prosedur untuk melaksanakan kegiatan, waktu, data dan informasi yang diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data, kebutuhan tenaga, biaya dan peralatan serta gambaran hasil yang diharapkan.

Perencanaan tapak merupakan suatu seni yang mengatur lingkungan fisik untuk mendukung perilaku penghuni, yaitu dengan penataan letak suatu fasilitas dalam suatu lanskap agar menghasilkan lingkungan yang harmonis, secara fungsional berguna serta indah secara estetis (Lynch 1981). Secara umum perencanaan tapak dapat dipertimbangkan sebagai suatu kesepakatan antara penyesuaian tapak untuk dicocokkan dengan program dan adaptasi pada tapak. Dalam perencanaan tapak, persyaratan-persyaratan pada programnya dilengkapi, ditempatkan dan dihubungkan satu sama lain dengan kerusakan minimum pada


(36)

tapak, kemudian diikuti dengan imajinasi serta kepekaan terhadap implikasi-implikasi pada analisis tapak (Laurie 1990). Perencanaan tapak terbagi dalam tiga tingkatan, yakni perencanaan tata guna lahan, mencakup skala nasional, regional atau yang lebih luas; perencanaan tapak, mencakup skala wilayah yang lebih kecil dengan maksud untuk mengetahui kegunaan tapak secara fungsional; dan perancangan detail lanskap, mencakup kegiatan seleksi komponen, bahan dan jenis tanaman serta kombinasinya sebagai pemecahan masalah yang dihadapi untuk memenuhi kualitas tapak yang sesuai dengan fungsi kegunaan yang direncanakan.

Menurut Turner (1986), tujuan perencanaan tapak adalah untuk menyelamatkan dan memperbaiki lanskap secara kolektif, membantu mempertemukan berbagai penggunaan yang berkompetisi dan menggabungkan ke dalam suatu tapak tanpa tidak terjadi pengrusakan alam dan sumberdaya kultural. Perencanaan lanskap didasarkan pada prinsip mempertahankan atau menciptakan karakter tapak yang menyenangkan dengan semua elemen atau bagian tapak dalam suatu keselarasan (Simonds 1983). Dalam hal ini proses perencanaan tapak meliputi kegiatan inventarisasi, analisis, sintensis, dan master plan (Gold 1981). Akhir dari tahapan perencanaan adalah berupa konsep perencanaan tapak (site) yang didalamnya terdapat beberapa alternatif tata letak.

Pengumpulan data inventarisasi dan analisis yang sistematik merupakan dasar dari program perencanaan. Alternatif tidak dapat dikembangkan atau dipertimbangkan apabila tanpa didasarkan pada fakta yang ada yang dapat dipertanggungjawabkan. Inventarisasi pada tingkat kawasan meliputi aspek-aspek bio-fisik seperti kondisi di dalam kawasan, iklim, bentukan lahan, hidrologi, kemiringan, tanah, vegetasi dan kondisi visual. Pembuatan suatu perencanaan tapak alami perlu melibatkan budaya pula, selain komponen kawasan yang meliputi lokasi, ukuran, bentuk, topografi, tanah, hidrologi, iklim dan bentukan tanah. Komponen budaya mencakup pemanfaatan lahan sebelumnya dan sekarang, fasilitas yang sudah ada, keindahan dan atribut sejarah (Austin 1984).


(37)

2.5 Perancangan Tapak

Perancangan tapak merupakan upaya pengaturan lahan secara kualitatif dan fungsional yang dicadangkan dalam perencanaan untuk beberapa tujuan sosial yang spesifik seperti perumahan, pendidikan, dan rekreasi. Menurut Thohari et al. (1991), perancangan tapak memerlukan beberapa informasi penting yang berhubungan dengan kegiatan penangkaran yang akan dilakukan, yakni kondisi tapak, perilaku, dan habitat rusa.

Penentuan tapak dapat dilakukan sebelum atau sesudah peruntukan tapak ditetapkan. Apabila penentuan tapak ditentukan sebelum peruntukan tapak ditetapkan, maka perlu penyesuaian antara peruntukan tapak dan kondisinya namun apabila penentuan tapak ditentukan sesudah peruntukan tapak ditetapkan, maka pemilihan alternatif tapak yang paling tepat.

Analisis studio dilakukan sebelum kegiatan survei lapangan, dengan maksud untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Analisis studio memerlukan peta topografi, vegetasi, tata guna lahan, pengembangan wilayah, hidrologi, dan tanah. Peta memberikan informasi pendahuluan tentang kelerengan, jenis tanah, sumber air, penutupan vegetasi, dan aksesibilitas. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang faktor pendukung dan kendala bagi pengembangan selanjutnya, serta penentuan lokasi yang layak untuk berbagai peruntukan.

Pembuatan sketsa diperlukan untuk memahami keadaan lanskap pada lokasi penangkaran yang akan dikembangkan sehingga dapat menghemat waktu untuk kegiatan pengukuran di lapangan. Peta digunakan sebagai alat bantu dalam pembuatan sketsa. Hasil analisis studio dan pembuatan sketsa, akan diperoleh luas dan peruntukan yang layak sebagai alternatif pengembangan. Kegiatan survei lapangan meliputi persiapan bahan dan alat, pengumpulan data, dan pemahaman lanskap pada lokasi penangkaran rusa yang sesuai alternatif. Data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan, diolah dan dianalisis berdasarkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, kemudian ditentukan alternatif tapak yang paling sesuai dengan peruntukan, biaya, waktu serta tenaga.

Keberadaan desain, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dampak bagi lingkungan sekitar, minimal dampak yang menarik bagi


(38)

setiap orang yang melihatnya. Pembuatan desain memiliki etika yang berkaitan erat dengan lingkungan sekitar. Perkembangan suatu pembangunan selalu diiringi dengan permasalahan ekologi lingkungan. Oleh karena itu, dalam dunia praktek desain, perlu memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya. Desain akan menjadi tidak bermakna dan berada dalam posisi yang sangat lemah apabila tidak ditunjang oleh lingkungan yang mendukung keberadaan desain. Terutama apabila desain tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi keberadaan kehidupan lingkungan sekitar. Hal tersebut akan berpengaruh pada keberadaan tapak yang ditempati dan juga terhadap lingkungan sekitarnya. Suatu tapak dapat dinilai baik, apabila komposisi fisik (topografi, kemiringan) dapat menimbulkan kesan indah dan alamiah, serta penghuni tapak dan lingkungan sekitar dapat merasakan kenyamanan (Alinda 2008).

Desain penangkaran rusa akan mempengaruhi kehidupan rusa dalam suatu periode tertentu dan akan menjadi sebuah cerminan atau petunjuk teknis yang akan digunakan oleh orang banyak, sekarang, dan yang akan datang. Oleh karena itu, dalam pembuatan desain penangkaran harus memiliki daya kreasi yang tinggi, dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Setiap tapak yang terpilih, dibuat desain sesuai fungsi dari sarana prasarana yang diperlukan dengan mempertimbangkan luas tapak, sifat tanah, geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi, dan vegetasi terutama dalam menentukan kebutuhan ruang, tata letak, dan desain sarana prasarana (Hakim dan Utomo 2003).

Bentuk dan wujud perancangan akan timbul dari kendala-kendala dan potensi yang dimiliki tapak serta perumusan yang jelas atas masalah perancangan. Menurut MacKinnon et al. (1993), prinsip dan petunjuk dalam membuat dan mengevaluasi tapak suatu kawasan konservasi yakni (1) bangunan seminimal mungkin tidak mengganggu ekosistem alami, (2) bangunan diusahakan tersamar, tidak mendominasi alam sekitar atau mengurangi nilai alam yang intrinsik dari kawasan, (3) kesesuaian tata letak bangunan memerlukan pertimbangan fungsi, tidak cukup dengan pertimbangan aspek strategis saja, (4) sebelum bangunan didirikan, perlu memikirkan hal ketercapaian dan arus pemanfaatan. Fasilitas pengunjung perlu dipisahkan dari kawasan administratif dan kegiatan kantor lainnya apabila kedua aspek tersebut tidak mengganggu, (5) walaupun jalan dibuat


(39)

untuk membawa pengunjung sedekat mungkin dengan satwa, kawasan yang peka harus dihindari, seperti kandang penelitian dan tempat melahirkan.

2.6 Analisis Tapak

Analisis tapak dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa kondisi spesifik seperti kondisi vegetasi, tanah, geologi, air, dan ekologi sekeliling kawasan (Parker 1998).

Vegetasi berperan penting dalam mengendalikan air, erosi tanah, stabilitas kemiringan, mikro iklim, dan kebisingan. Vegetasi berpengaruh terhadap produktivitas tanah, kelerengan, erodibilitas (tingkat kemudahan terjadinya erosi), dan mikro iklim (Ndubisi 1997). Tipe, spesies, ukuran dan kepadatan vegetasi mempengaruhi perancangan. Oleh karena itu, kondisi vegetasi yang ada harus dikaji terutama jumlah spesies, ukuran, dan lokasi yang akan menunjukkan kekayaan alam kawasan (Austin 1984).

Formasi geologi dan jenis tanah sangat penting untuk menentukan perencanaan kawasan (Austin 1984) sehingga jenis tanah dan kedalaman tanah merupakan dasar yang perlu diperhatikan. Kesuburan tanah, pH, potensi erosi, kelerengan maksimum perlu juga diperhatikan (Parker 1998). Oleh karena itu, peranan formasi geologi amat penting dan berpengaruh terhadap keberadaan air tanah. Menurut Ndubisi (1997), geologi mempengaruhi ketersediaan air permukaan dan air tanah, produktivitas tanah, pemandangan, konstruksi perkerasan, bangunan ringan dan berat. Dalam merencanakan dan mengelola suatu lanskap alamiah, penting untuk menginvetarisasi kuantitas dan kualitas sumberdaya air atau yang tersedia di dalam kawasan. Hal ini penting karena hidrologi secara nyata sangat berpengaruh terhadap pengelolaan. Irigasi dapat memperbaiki vegetasi alam (Austin 1984).

Kelerengan tanah mempengaruhi pemanfaatan dan daya dukung tanah. Klasifikasi kelerengan dibagi menjadi empat kemiringan yaitu kelas A dengan kemiringan 0-8%, kelas B 8%-15%, kelas C 15%-25%, kelas D lebih 25-45%, dan Kelas E >45% (Austin 1984). Masing-masing kelas kelerengan mempunyai daya dukung tersendiri baik untuk aktivitas ataupun fasilitas yang akan dibangun.


(40)

Iklim sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan dan jumlah penutupan vegetasi kawasan. Iklim mempengaruhi bio-fisik dalam hal ketersedian air permukaan dan air tanah, produktivitas tanah, dan iklim mikro. Curah hujan dan hari hujan mempengaruhi arahan pemanfaatan lahan.

Analisis tapak merupakan suatu kegiatan perancangan yang berpusat pada kondisi-kondisi yang ada, dekat dan potensial dengan sekitar tapak. Menurut White (1985), peran utama dari analisis tapak dalam perancangan adalah memberikan informasi mengenai tapak sebelum memulai konsep-konsep perancangan sehingga pemikiran dini tentang suatu kegiatan dapat digabungkan dengan tanggapan-tanggapan yang berarti terhadap kondisi luar.

Analisis tapak dilakukan untuk menentukan kegunaan yang paling sesuai dan dilakukan di atas tapak (Laurie 1990). Dalam hal ini program yang timbul merupakan suatu cerminan langsung dari fasilitas dan potensi tapak dalam konteks regional, sosial dan ekologis yang merupakan himpunan informasi dan data yang diperoleh dari hasil survei. Program pengembangan suatu kegiatan didasarkan pada studi dari komponen penentu seperti kebutuhan dan ukuran tapak, tipe, bentuk bangunan, dan kontruksi tapak (Rubinstein 1969).

2.7 Zonasi

Berdasarkan perencanaan, perancangan, dan analisis tapak, perlu dibangun blok-blok yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi tapak. Ditinjau dari aspek teknis penangkaran rusa, dan dengan memperhatikan serta mempertimbangkan faktor pembatas dan efisiensi pengelolaan, perlu dikembangkan beberapa zona penting di dalam areal penangkaran. Zona yang paling penting adalah zona pembiakan dan zona perkantoran. Zona perkantoran bertujuan sebagai pendukung atau penunjang dalam usaha penangkaran sedangkan zona pembiakan merupakan inti dari suatu kegiatan penangkaran. Untuk mencapai tujuan penetapan zona-zona tersebut, perlu dilakukan pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan penangkaran yang tidak merubah bentang alam yang ada.

Areal HP Dramaga yang digunakan sebagai lokasi penangkaran rusa timor akan diperuntukkan sebagai kebun pakan, kandang untuk pembesaran, pembiakan, adaptasi, dan kandang jepit, bangunan pengelolaan (kantor, rumah jaga, gudang


(41)

pakan, obat-obatan, dan alat), kelengkapan penangkaran (shelter, kolam, saluran air, menara air), dan jalan patroli. Selain dimanfaatkan sebagai areal penangkaran rusa timor, HP Dramaga juga dimanfaatkan sebagai tempat penelitian lainnya seperti uji introduksi beberapa jenis pohon, kegiatan pendidikan dan latihan (dendrologi, pemuliaan pohon, ekologi hutan, dan silvikultur), penelitian persuteraan alam (budidaya murbei dan ulat sutera), dan obyek wisata (danau Setu Gede). Diharapkan melalui hutan penelitian tersebut dapat dipelajari berbagai aspek penelitian sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan pengembangan IPTEK dan pembangunan kehutanan secara berkelanjutan.

2.8 Partisipasi Masyarakat

Kegiatan pembangunan dan atau pengelolaan dapat menimbulkan dampak sosial terhadap masyarakat di sekitar lokasi pembangunan atau lingkungan yang dikelola. Elemen-elemen sosial yang perlu dikaji meliputi demografi (kependudukan), ekonomi dan budaya untuk mengetahui dampak langsung terhadap komponen sosial.

Partisipasi masyarakat adalah suatu pemberdayaan masyarakat untuk menggerakkan kemampuannya menjadi pelaku, mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan mengendalikan kegiatan yang mempengaruhi kehidupannya (Wells dan Brandon 1993). Jenis partisipasi masyarakat meliputi pengumpulan informasi, konsultasi, pengambilan keputusan, insiatif pelaksanaan dan evaluasi.

Semakin besar keterlibatan masyarakat dalam kegiatan penangkaran rusa, makin besar pula kemungkinan untuk mengajak masyarakat setempat mencapai tujuan dan kebutuhan konservasi serta pengembangan sumberdaya satwaliar. Dalam menjalankan peran dalam masyarakat, pengelola penangkaran rusa dapat menjalin hubungan kemitraan, khususnya menangani konservasi fauna setempat. Perlu diingat bahwa, ketika krisis konservasi satwaliar menjadi masalah besar, tidak satupun lembaga konservasi yang dapat menanganinya sendiri dalam skala lokal, jika tidak melibatkan masyarakat lokal.


(42)

3.1 Letak dan Luas

Secara administrasi, HP Dramaga termasuk Desa Setu Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi HP Dramaga terletak pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut. Secara geografis lokasi ini terletak pada 6033’8’’-6033’35’’ LS dan 106044’50’’-1060105’19’’ BT. Jarak dari Bogor ± 9,0 km ke arah Barat dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama ± 30 menit.

Luas keseluruhan areal HP Dramaga sekitar 57,75 ha di mana sebagian besar (41,6%) merupakan hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1954 (Tabel 2). Tabel 2 Luas masing-masing lokasi berdasarkan peruntukan lahan

No. Peruntukan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Keterangan

1. Hutan Tanaman 24,00 41,56 127 jenis pohon 2. Areal Penyangga 11,90 20,61 Tanaman obat

3. CIFOR 10,00 17,32 Kantor

4. Areal Wisata Alam 4,25 7,36 Tepi danau 5. Areal Pusat Pengelolaan 3,00 5,19 Kantor, lapangan

6. Fasilitas Umum 2,50 4,33 Perumahan dinas

7. Areal Makam 2,10 3,64 Dekat pemukiman

TOTAL 57,75 100

Luas lokasi sekitar 24,00 ha merupakan areal hutan tanaman sejumlah 102 petak, termasuk di dalamnya areal penelitian sutera alam dan penanaman murbei serta Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Areal penyangga seluas 11,90 ha merupakan lokasi yang berbatasan dengan pemukiman penduduk dimana dilakukan kegiatan konservasi eksitu dan penelitian budidaya jenis tumbuhan obat, sebanyak 60 petak. Areal seluas 10 ha digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) untuk pembangunan kantor dan fasilitas. Areal seluas 4,25 ha yang berada di tepi Danau Situ Gede merupakan areal yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wisata alam terutama pada hari-hari libur. Areal seluas 3,00 ha digunakan sebagai pusat pengelolaan yakni pembangunan perkantoran, lapangan olahraga, instalasi listrik dan air, perumahan dinas karyawan dan rencana pengembangan fasilitas hunian. Sedangkan untuk fasilitas umum seluas 2,50 ha merupakan areal bekas persemaian dan bangunan Dharma Wanita serta rencana pembangunan warung atau kios barang-barang


(43)

kebutuhan sehari-hari. Lokasi yang tersisa sekitar 2,10 ha digunakan untuk areal makam karena berdekatan dengan pemukiman penduduk. Namun dalam pengembangannya, dari luas areal wisata alam, fasilitas umum, dan sebagian kecil areal pengelolaan, digunakan sebagai lokasi penangkaran rusa seluas ± 7,0 ha (Gambar 2).

Gambar 2 Lokasi pembangunan penangkaran rusa timor di HP Dramaga, Bogor (Sumber: Setio 2008).

Fungsi HP Dramaga sejak ditetapkan adalah selain sebagai tempat penelitian, sumber plasma nutfah, sumber benih tanaman, juga sebagai sarana pendidikan dan latihan, dan tempat rekreasi. Sedangkan tujuan dari pengembangan penangkaran rusa timor di HP Dramaga adalah untuk membangun pusat teknologi penangkaran rusa, dan mengintegrasikan pemanfaatan hutan, satwaliar, serta potensi alam dalam pengembangan eko-widya wisata.

3.2 Kondisi Fisik

Berdasarkan hasil penelitian Parisy et al. (1999), lokasi HP Dramaga beriklim basah dengan tipe hujan A. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.940 mm dengan jenis tanah latosol coklat kemerahan yang pada lapisan bagian atas berwarna coklat tua kemerahan dan bagian dalam berwarna lebih cerah. Tanah bertekstur liat sampai berdebu, solum sangat dalam, dan drainase sedang dengan pH tanah 5,0-6,0. Topografi, datar sampai agak bergelombang dengan kelerengan 0-5%. Namun topografi pada areal penangkaran rusa, umumnya datar.

Setu Gede


(44)

3.3 Kondisi Biologi

Flora yang terdapat di HP Dramaga sebanyak 127 jenis tumbuhan, mencakup 88 marga dan 43 famili (Parisy et al. 1999). Jenis tumbuhan tersebut merupakan tanaman introduksi (42 jenis pohon) dan 88 jenis asli Indonesia (pohon 85 jenis, bambu satu jenis, rotan satu jenis, palmae satu jenis). Jenis tanaman introduksi terdiri dari jenis pohon berdaun jarum (Gymnospermae) tiga jenis dari marga pinus dan jenis daun lebar (Angiospermae) 39 jenis (34 marga, 18 famili) khusus marga khaya dan terminalia. Jenis pohon introduksi berasal dari negara beriklim tropis dan sub tropis.

Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di bawah tegakan pohon pada HP Dramaga, terdiri dari jukut kakawatan (Cynodon dactylon), paku kawat (Lycopodium cernuum), kirinyuh (Eupatorium pallescens), paku areuy (Gleichenia linearis), dan harendong (Melastoma polyanthum).

Jenis fauna yang terdapat dalam HP Dramaga adalah ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai atau bajing (Lariscus sp), dan musang (Paradosurus hermaphroditus). Menurut Solihati (2007), jenis burung yang terdapat di HP Dramaga sebanyak 29 jenis terdiri dari 21 suku, dua jenis diantaranya merupakan burung endemik Pulau Jawa yakni Spizaetus bartelsidan Stachyris grammiceps. 3.4 Sarana dan Prasarana

Kawasan HP Dramaga selain memiliki sarana dan parasana berupa perkantoran, bangunan dan perumahan karyawan, juga memiliki enclave kampung yakni Semplak dan kampung Jawa. Di samping itu, HP Dramaga memiliki beberapa sarana dan prasarana penting, di antaranya adalah Danau Setu Gede yang pada hari libur sering dijadikan sebagai tempat rekreasi dan banyak dikunjungi masyarakat sekitar Bogor. Danau Setu Gede memiliki pemandangan indah yang dijadikan sebagai tempat perlombaan memancing ikan, dan berperahu mengelilingi danau.


(45)

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lokasi penangkaran rusa timor yang terletak dalam

kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga, Bogor milik Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) yang dilakukan mulai bulan

Desember 2008 sampai dengan April 2009.

4.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi, kantong plastik,

tali raffia, kantong koran atau coklat, bahan pembuatan herbarium (alkohol, kertas

koran, label), buku panduan lapangan pengenalan burung, rusa timor (

Rusa

timorensis

Blainville 1822) sebanyak empat ekor terdiri atas satu ekor betina dewasa,

satu ekor betina remaja, satu ekor jantan dewasa, dan satu ekor jantan remaja, serta

hijauan pakan yang berada di sekitar HP Dramaga. Sedangkan alat yang digunakan

adalah kamera, meteran, gunting rumput, timbangan (timbangan duduk, timbangan

elektrik, timbangan rusa), oven, kompas,

Global Positioning System

(GPS), lux

meter, hygrometer, dan alat tulis menulis.

4.3 Jenis Data yang diukur

Data yang akan diamati dalam penelitian ini adalah bio-ekologi, dan fisik

lokasi. Bio-ekologi mencakup vegetasi (jenis pohon, jumlah individu, intensitas

cahaya, dan untuk jenis pohon diukur keliling batang), hijauan pakan baik rumput

maupun semak (jenis dan jumlah, biomassa, produktivitas, nilai gizi, konsumsi,

palatabilitas, daya dukung), inventarisasi jenis satwaliar (mamalia, aves dan reptil),

dan nilai ekonomi penangkaran rusa. Sedangkan fisik lokasi mencakup letak dan luas,

iklim dan curah hujan, topografi atau kelerengan, air, dan tanah (jenis, pH,

kedalaman, tektur tanah). Di samping itu, informasi dari masyarakat diperlukan

untuk mengetahui dampak dari kegiatan penangkaran rusa di HP Dramaga terhadap

lingkungan sekitar.


(46)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan meliputi studi literatur, wawancara,

dan pengamatan langsung di lapangan yang merupakan data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan dan

data sekunder diperoleh melalui studi literatur, dan wawancara dengan masyarakat

untuk mengetahui persepsinya terhadap pembangunan penangkaran rusa.

Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data dan informasi dari hasil

penelitian terdahulu yang berkaitan dengan bio-ekologi yang diarahkan pada aspek

teknis penangkaran. Informasi fisik lokasi lebih diarahkan pada karakteristik kawasan

dan sekitar. Data dan informasi dari kedua aspek tersebut umumnya merupakan data

sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan internet, dan merupakan

komponen penentu dalam pembuatan desain penangkaran rusa timor di HP Dramaga.

Pengamatan terhadap lokasi dan aksesibilitas dapat memberikan gambaran

tentang pelaksanaan pembangunan penangkaran rusa, jarak dari pusat kota, cara

untuk mencapai kawasan, dan ketinggian dari permukaan laut. Dari informasi

tersebut dapat diketahui karateristik lingkungan fisik seperti dataran rendah atau

tinggi. Data diperoleh dengan cara pengumpulan data yang berasal dari RTRW Desa

Situ Gede dan Desa Bubulak. Pengamatan dilakukan pula pada alat transportasi

untuk mengetahui jenis kendaraan umum yang digunakan untuk mencapai kawasan.

Iklim erat hubungannya dengan pertumbuhan dan jumlah penutupan vegetasi

dan hijauan pakan rusa. Iklim mempengaruhi bio-fisik dalam hal ketersedian air

permukaan dan air tanah, produktivitas tanah, iklim mikro sedangkan curah hujan dan

hari hujan mempengaruhi arahan pemanfaatan lahan. Pengumpulan data iklim

dilakukan untuk mengetahui rata-rata curah hujan (bulanan, dan harian), temperatur,

kelembaban, dan jumlah hari hujan yang digunakan untuk mengetahui tipe iklim,

kesesuaian vegetasi, kenyamanan pengunjung, serta pembangunan fasilitas. Sumber

data diperoleh dari data sekunder yang berasal dari Badan Meteorologi dan Geofisika

Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor.


(1)

Tahun IX Tahun X

Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir

27,10 - 33,76 33,76 - 41,64 41,64

8,44 - 10,01 10,01 - 11,81 11,81

10,01 - 11,81 11,81 - 13,79 13,79

45,55 - 55,58 55,58 - 67,24 67,24

46 56 56 67 67

22,45 - 26,23 26,23 - 30,69 30,69

5,56 - 6,59 6,59 - 7,77 7,77

6,59 - 7,77 7,77 - 9,07 9,07

34,60 - 40,59 40,59 - 47,52 47,52

35 41 41 48 48

20,20 23,61

20 24

4,18 5,02

4 5

80,15 96,17 96,17 114,76


(2)

-Lampiran 24 Kuota pemanfaatan hasil penangkaran rusa timor di HP Dramaga.

Jenis Kel. Status umur Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV

Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Dewasa 4,00 - 4,00 4,00 - 4,00 4,25 - 4,25 5,35 - 5,35

Jantan Remaja - - - 1,00 - 1,00 2,00 - 2,00 5,70 - 5,70

Anak 1,00 - 1,00 2,00 - 2,00 5,70 - 5,70 5,12 - 5,12

Jumlah 5,00 - 5,00 7,00 - 7,00 11,96 - 11,96 16,18 - 16,18

Pembulatan 5 5 7 7 12 12 16 16

Dewasa 2,00 - 2,00 4,00 5,00 9,00 8,25 - 8,25 8,35 - 8,35

Betina Remaja 2,00 - 2,00 - - - 1,00 - 1,00 1,65 - 1,65

Anak - - - - 1,00 1,00 1,65 - 1,65 1,41 - 1,41

Jumlah 4,00 - 4,00 4,00 6,00 10,00 10,91 - 10,91 11,41 - 11,41

Pembulatan 4 4 4 10 11 11 11 11

Kelahiran - 2,00 2,00 - 8,10 8,10 - 7,43 7,43 - 7,52 7,52

Kematian - - - - 2,26 2,26 - 2,73 2,73 - 3,16 3,16

Total Hidup 9,00 11,00 11,00 22,84 22,86 27,57 27,59 31,95


(3)

Lanjutan ...

Jenis Kel. Status umur Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII

Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Dewasa 10,01 - 10,01 13,95 - 13,95 17,74 - 17,74 21,74 - 21,74

Jantan Remaja 5,12 - 5,12 5,12 - 5,12 5,46 - 5,46 5,53 - 5,53

Anak 5,12 - 5,12 5,46 - 5,46 5,53 - 5,53 5,49 - 5,49

Jumlah 20,25 - 20,25 24,52 - 24,52 28,73 - 28,73 32,76 - 32,76

Pembulatan 20 20 25 25 29 29 33 33

Dewasa 8,96 - 8,96 9,18 - 9,18 9,21 - 9,21 9,18 - 9,18

Betina Remaja 1,41 - 1,41 1,36 - 1,36 1,42 - 1,42 1,40 - 1,40

Anak 1,36 - 1,36 1,42 - 1,42 1,40 - 1,40 1,34 - 1,34

Jumlah 11,73 - 11,73 11,96 - 11,96 12,04 - 12,04 11,92 - 11,92

Pembulatan 12 12 12 12 12 12 12 12

Kelahiran - 8,07 8,07 - 8,26 8,26 - 8,29 8,29 - 8,26 8,26

Kematian - 3,60 3,60 - 4,03 4,03 - 4,41 4,41 - 4,76 4,76

Total Hidup 31,98 36,45 36,48 40,72 40,76 44,64 44,68 48,18


(4)

Lanjutan ...

Jenis Kelamin Status umur Tahun IX Tahun X

Awal +/- Akhir Awal +/- Akhir

1 2 3 4 5 6 7 8

Dewasa 25,70 - 25,70 29,51 - 29,51

Jantan Remaja 5,49 - 5,49 5,41 - 5,41

Anak 5,41 - 5,41 5,24 - 5,24

Jumlah 36,59 - 36,59 40,16 - 40,16

Pembulatan 37 37 40 40

Dewasa 9,01 - 9,01 8,68 - 8,68

Betina Remaja 1,34 - 1,34 1,28 - 1,28

Anak 1,28 - 1,28 1,19 - 1,19

Jumlah 11,63 - 11,63 11,15 - 11,15

Pembulatan 12 12 11 11

Kelahiran - 8,11 8,11 - 7,81 7,81

Kematian - 5,07 5,07 - 5,32 5,32

Total Hidup 48,22 51,26 51,31 53,80


(5)

Catatan :

Penangkaran rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) di HP Dramaga, menggunakan beberapa pendekatan yang mengacu pada hasil penelitian terdahulu (Semiadi dan Nugraha 2004; Takandjandji dan Sutrisno 2006), yakni:

1. Pengadaan rusa sebagai bibit/induk sebanyak 15 ekor yang berumur kurang dari 5 tahun selama 2 tahun pertama (4 jantan dewasa, 1 jantan anak, 7 betina dewasa, 2 betina remaja, 1 betina anak) dengan perbandingan 1 : 5

2. Perubahan status fisiologi rusa dinilai pada awal tahun kegiatan, dimana status anak yang digunakan adalah pada rusa yang berumur kurang dari 1 tahun, dan remaja berumur 1-2 tahun

3. Perubahan jumlah karena penambahan dari luar yakni berupa kelahiran, kematian, atau pengurangan ke luar penangkaran

4. Angka kelahiran adalah 90% dari jumlah betina dewasa pada awal tahun dan penambahan betina dewasa pada tahun berjalan

5. Angka kematian adalah 6% dari populasi dimana 42.5% jantan dewasa, 42.5% betina dewasa dan 15% kelahiran pada akhir tahun

6. Jumlah jantan anak sebesar 50% kelahiran dikurangi 7.5% kematian dan ditambah penambahan jantan anak pada tahun berjalan yang dihitung pada akhir tahun

7. Jumlah betina anak sebesar 50% kelahiran dikurangi 7.5% kematian ditambah penambahan betina anak pada tahun berjalan dan dihitung pada akhir tahun

8. Jumlah jantan dewasa berdasarkan penjumlahan jantan dewasa dan jantan remaja di awal tahun dan penambahan jantan dewasa pada tahun berjalan, dikurangi 42.5% kematian, kemudian dikurangi kuota pemanfaatan yang dihitung pada akhir tahun


(6)

9. Jumlah betina dewasa berdasarkan penjumlahan betina dewasa dan betina remaja di awal tahun dan penambahan betina dewasa pada tahun berjalan, dikurangi 42.5% kematian yang dihitung pada akhir tahun

10. Jumlah jantan remaja berdasarkan jumlah jantan anak pada awal tahun sebelumnya dan penambahan jantan remaja pada tahun berjalan, dihitung pada akhir tahun

11. Jumlah betina remaja berdasarkan jumlah betina anak pada awal tahun sebelumnya dan penambahan betina remaja pada tahun berjalan, dihitung pada akhir tahun

12. Pemanfaatan rusa dilakukan pada akhir tahun ke-2 di mana pemanfaatan hanya pada jantan dewasa setelah disisakan sebanyak 25% jantan dewasa dari sex rasio antara jumlah jantan dewasa dan jumlah seluruh betina pada akhir tahun. Jumlah rusa yang hidup di penangkaran sebanyak 115 ekor terdiri dari 67 ekor jantan dan 48 ekor betina. Rusa jantan yang disisakan di dalam penangkaran sebanyak 20% x jantan seluruhnya (67,24 ekor) = 13,45 ekor. Berarti jumlah rusa jantan yang dimanfaatkan sebanyak 67,24 ekor – 13,45 ekor = 53,79 ekor atau 54 ekor. Total semua rusa yang disisakan di penangkaran setelah dimanfaatkan, adalah 115 ekor – 54 ekor = 61 ekor terdiri dari jantan 13 ekor dan betina 48 ekor atau dengan imbangan kelamin 1:4