15
yang dihabiskan meningkatkan hasil setidaknya kenaikan dolar dalam kekayaan pemegang saham.
Prinsipal menginginkan return yang besar dan cepat atas investasi mereka dan menilai prestasi manajer berdasarkan kemampuannya untuk memperbesar
laba yang akan dialokasikan pada pembagian dividen. Untuk memenuhi tuntutan prinsipal dan mendapat insentif yang tinggi, manajer akan memainkan beberapa
kondisi perusahaan sedemikian rupa agar seolah-olah target tercapai bila tidak ada pengawasan yang memadai dalam kinerja manajer.
2.1.2 Manajemen Laba
Manajemen laba adalah hal yang sangat kontroversial di dunia akuntan. Pernyataan umum mengenai apakah manajemen laba baik atau buruk sulit dibuat.
Kebanyakan bergantung pada langkah-langkah yang dilakukan dan motivasi yang mendasari dilakukannya manajemen laba Mulford dan Comiskey, 2010.
Manajemen laba sekilas tampak berhubungan dengan tingkat perolehan laba atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini terjadi karena ukuran laba sering dijadikan
ukuran keberhasilan manajemen memimpin perusahaan dan suatu hal yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima manajer bergantung pada besar
kecilnya laba yang mampu dihasilkan perusahaan tersebut Gumanti, 2000. Dalam kamus akuntansi, Earnings Management disebut dalam berbagai istilah :
seperti “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau income smoothing untuk
mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor. Semua istilah tersebut
Universitas Sumatera Utara
16
berkonotasi negative karena ingin menciptakan laba yang disortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan
informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan dalam Harahap 2011. Scott 2003,
mendefinisikan earnings management sebagai ”the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective”
yang kurang lebih memiliki arti : pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan
akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Berbicara mengenai manajemen laba tidak terlepas dari Teori Akuntansi
Positif dan Teori Keagenan. Belkaoui 2007 mengemukakan bahwa, teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham,
dan aparat pengaturpolitisi adalah rasional dan bahwa mereka berusaha memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan
kompensasi mereka dan kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif
biaya dan manfaat dari prosedur-prosedur akuntansi alternatif dengan cara demikian untuk memaksimalkan keuntungan mereka.
Astika 2000 menjelaskan terjadinya manajemen laba lewat Teori Akuntansi Positif dan Teori Keagenan ditinjau dari sisi teori akuntansi positif,
manajemen laba yang dilakukan eksekutif dapat dijelaskan melalui teori kontrak. Proses kontrak tersebut menghasilkan hubungan keagenan. Hubungan keagenan
muncul ketika principal mengontrak pihak lain agent untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh principal. Dengan kontrak tersebut principal
Universitas Sumatera Utara
17
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Ternyata hubungan tersebut konflik karena, baik principal maupun agen, keduanya
merupakan pihak yang mempunyai sifat, yaitu memaksimumkan kesejahteraannya utility maximiser
. Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menempatkan keyakinan bahwa agen akan selalu bertindak untuk kepentingan
principal . Masalah keagenen muncul karena perilaku oportunis agen. Agen
cenderung memaksimumkan setiap peluang yang ada untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Scott
2000 membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua: 1. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs opportunistic earnings management.
2. Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
efficient earnings management, dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan
perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian,
manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba income smoothing dan
pertumbuhan laba sepanjang waktu. Menurut Scott 2003 beberapa motivasi yang mendorong manajemen
melakukan manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat memaksimalkan bonusnya.
2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami technical default. 3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan,
khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak.
4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan.
5. Pergantian CEO Chief Executive Officer, banyak motivasi yang timbul berkaitan dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan
meningkatkan bonusnya, CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO baru untuk menunjukkan kesalahan
dari CEO sebelumnya. 6. Penawaran saham perdana IPO, manajer perusahaan yang going public
melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan mendapatkan respon pasar yang positif terhadap
peramalan laba sebagai sinyal dari nilai perusahaan. 7. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang
dimiliki perusahaan kepada investor dan kreditor.
Universitas Sumatera Utara
19
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen laba 2.1.3.1 Good Corporate Governance