1. 2 Pengumpulan Sumber Lisan Proses Bimbingan

Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 3. 3. 1. 2 Pengumpulan Sumber Lisan Sumber lisan kaitannya dengan heuristik yaitu sumber memiliki kemampuan menyikapi peristiwa masa lalu, fungsinya sebagai sumber tentu menjadikan sumber lisan sangat memberikan kontribusi yang luas dalam mencari data dan fakta yang diperlukan. Dalam menggali sumber lisan dilakukan dengan teknik wawancara, yaitu mengajukan banyak pertanyaan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji kepada pihak-pihak sebagai pelaku dan saksi. Sumber lisan diperoleh penulis dari kegiatan wawancara, dalam penelitian ini narasumber dikatagorikan menjadi dua, yaitu pelaku dan saksi. Sebutan bagi pelaku adalah mereka yang benar-benar mengalami peristiwa atau kejadian yang menjadi bahan kajian seperti para pelaksana Kesenian Tanjidor dan budayawan yang bisa disebutkan sebagai pelaku sejarah yang mengikuti jalannya Kesenian Tanjidor dari waktu ke waktu. Saksi sejarah adalah mereka yang melihat dan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi, dalam hal ini adalah masyarakat sebagai saksi serta instansi pemerintah sebagai lembaga terkait. Hal lain yang harus menjadi perhatian bahwa narasumber yang bisa diwawancarai adalah mereka yang dengan nyata dapat memberikan kesaksian peristiwa yang terjadi dengan melihat dan mengalami pada waktu yang bersangkutan. Teknik wawancara merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi secara lisan dari narasumber sebagai pelengkap dari sumber tertulis Kuntowijoyo, Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2003: 23. Kedudukan sejarah lisan semakin menjadi penting, untuk mengetahui keberadaan dan dinamika kesenian Tanjidor. Melalui wawancara, sumber-sumber lisan dapat diungkapkan dari para pelaku-pelaku sejarah. Bahkan peristiwa- peristiwa sejarah yang belum jelas persoalannya. Menurut Koentjaraningrat, teknik wawancara dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Wawancara terstruktur atau berencana yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diselidiki atau diwawancara, diajukan pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan urutan yang seragam. 2. Wawancara tidak terstruktur atau tidak terencana adalah wawancara yang tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata-kata dan tata urut yang harus dipenuhi peneliti Koentjaraningrat, 1997: 138-139. Dalam melakukan wawancara di lapangan, penulis menggunakan kedua teknik wawancara tersebut. Hal ini digunakan agar informasi yang penulis dapatkan bisa lebih lengkap dan mudah diolah. Selain itu, dengan penggabungan dua teknik wawancara tersebut, penulis menjadi tidak kaku dalam bertanya dan narasumber menjadi lebih bebas dalam mengungkapkan berbagai informasi yang disampaikannya. Sebelum wawancara dilakukan, disiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu. Daftar pertanyaan tersebut dijabarkan secara garis besar, pada pelaksananya, pertanyaan tersebut diatur dan diarahkan, sehingga pembicaraan berjalan sesuai dengan pokok permasalahannya. Apabila informasi yang diberikan oleh narasumber kurang jelas, maka penulis mengajukan kembali pertanyaan yang masih terdapat Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dalam kerangka pertanyaan besar. Pertanyaan-pertanyaan diberikan dengan tujuan untuk membantu narasumber dalam mengingat kembali peristiwa sehingga informasi menjadi lebih lengkap, teknik wawancara ini berkaitan dengan penggunaan sejarah lisan, seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo bahwa: Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal, sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah bahkan jaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan membuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individu dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan... selain sebagai metode, sejarah lisan juga dipergunakan sebagai sumber sejarah Kuntowijoyo, 2003: 26-28. Dalam pemilihan narasumber, penulis melakukan pemilihan narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang mengetahui keadaan pada saat itu dan terlibat langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa sejarah yang terjadi, mereka berasal dari berbagai kalangan, baik seniman Tanjidor, pengamat dan pemerhati seni di Kabupaten Bekasi, masyarakat umum dan pemerintah setempat. Adapun narasumber yang pertama kali penulis wawancara adalah Bapak Ir. Iswandi Ichsan 40 tahun, seorang pengusaha yang juga sebagai tokoh budayawan di Kabupaten Bekasi tepatnya sebagai Ketua DKB Dewan Kebudayaan Bekasi. Alasan mengapa penulis memilih Bapak Iswandi sebagai narasumber karena dianggap mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Narasumber selanjutnya yang penulis wawancara adalah ibu Tety Jumati 35 tahun, pegawai fungsional di Dinas Kebudayaan yang membawahi bidang kesenian, sebagai perwakilan dari instansi pemerintah setempat. Alasan penulis melakukan wawancara terhadap Ibu Tety adalah sebagai perwakilan dari instansi atau pemerintah setempat tempat Kesenian Tanjidor tumbuh dan berkembang. Setelah melakukan wawancara dengan narasumber Dinas Kebudayaan, kemudian penulis mendapatkan informasi tentang siapa saja yang selanjutnya harus penulis wawancarai guna mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan informasi dari pihak Dinas Kebudayaan kemudian penulis melakukan wawancara dengan pihak seniman Tanjidor yaitu Bapak Enjin 75 tahun, meliputi bagaimana latar belakang munculnya Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi terutama di Kampung Cisaat Desa Kertarahayu Kecamatan Setu, alat-alat musik apa saja yang digunakan dalam pertunjukan, prestasi apa saja yang pernah diraih, upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian Tanjidor dari arus globalisasi selama pimpinannya sebagai pemimpin dari Kesenian Tanjidor ini. Wawancara dengan beliau dilakukan 2 kali, yaitu setelah waktu Dzuhur, dari Bapak Enjin penulis mendapat banyak masukan mengenai Kesenian Tanjidor dan siapa saja yang layak dijadikan sebagai narasumber berikutnya. Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Wawancara yang lain dengan seniman Kesenian Tanjidor yaitu dilakukan dengan Bapak Bekong 81 tahun, beliau adalah pelaku Kesenian Tanjidor. Alasan penulis memilih beliau sebagai narasumber selain karena pelaku Tanjidor, beliau juga merupakan pemain Tanjidor Kombinasi yaitu Kesenian Tanjidor yang sudah dimodifikasi dengan alat musik gesek sebagai tambahan yaitu berupa biola dan rebab yang disebut Tanji Godot. Hal ini yang membedakan kelompok Tanjidor tersebut dengan yang lainnya. Wawancara dilakukan di rumah kediamannya setelah Ashar, pertanyaan yang diajukan penulis seputar kondisi Kesenian Tanjidor sebelum tahun kajian dan bagaimana bentuk pertunjukannya, pertanyaan yang sama juga diajukan dengan Bapak Enjin yaitu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian Tanjidor dari tantangan jaman yang semakin terbuka dengan seni-seni pertunjukan modern. Narasumber yang penulis wawancara selanjutnya adalah dari kalangan masyarakat yang berperan sebagai penikmat Kesenian Tanjidor yaitu bapak Samsudin 38 tahun, Bapak H. Karnata 48 tahun, dan Ibu Selvia Erviliani 31 tahun. Sebagai perwakilan dari generasi muda yang tidak begitu mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor penulis mewawancarai Firda Anissa 16 tahun, Muhamad Badrudin 16 tahun, dan Siti Noor Hakimah 17 tahun. Alasan penulis mewawancarai dua generasi yang berbeda adalah agar penulis bisa mengetahui Munzizen, 2013 Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu pendapat dari dua generasi tersebut terkait dengan perkembangan Kesenian Tanjidor. Hasil wawancara dengan para narasumber tersebut kemudian disalin dalam bentuk tulisan untuk memudahkan peneliti dalam proses pengkajian yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang berkenaan dengan masalah penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dilakukan penelaahan serta mengklasifikasikan terhadap sumber-sumber informasi, sehingga benar-benar dapat diperoleh sumber relevan dengan masalah penelitian yang dikaji. 3. 3. 1. 3. Pengumpulan Sumber Benda artefak