Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, dengan total penduduk 136 juta jiwa atau 60 persen dari total penduduk Indonesia Wikipedia.com. Pulau Jawa adalah daerah yang subur karena memiliki sejumlah besar gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang tidak aktif. Di pulau Jawa terdapat bukit-bukit kapur yang umumnya berbentuk rata dan dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung berapi ke lembah-lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus yang mengandung kesuburan untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Karena itu pulau Jawa dikenal dengan kesuburan tanahnya yang menghasilkan hasil pertanian. Namun kesuburan tanah pulau Jawa juga banyak di pengaruhi oleh iklimnya. Penduduk pulau Jawa dikenal secara umum dengan sebutan orang Jawa, menurut Yana 2010 orang Jawa adalah semua orang yang lahir dan hidup di pulau Jawa, walaupun di pulau Jawa juga terdapat suku lain seperti suku Sunda, suku Betawi dan suku Madura, namun mayoritas penduduk pulau jawa adalah suku Jawa yang berpusat sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur Wikipedia.com. Keberadaan hidup orang Jawa, tak luput dari kehidupan sosial dan budaya orang Jawa yang memiliki corak dan ragam. Sedang kehidupan sosial dan budaya orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada masa lampau, mulai dari zaman Kerajaan Hindu-Budha hingga zaman berdirinya kerajaan Islam sehingga menjadi sistem nilai budaya yang khas di bandingkan dengan budaya suku lain. Sistem nilai budaya menurut Koentjoroningrat 1999 adalah serangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai yang dianggap penting dan berharga dalam hidupnya, sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan dan ditemukan dalam norma- norma yang berfungsi sebagai pengatur dan pendorong kelakuan manusia. Kebudayaan menurut Kuntowijoyo 2003 berasal dari kata Buddayah yang berarti budi atau akal, sehingga budaya merupakan hasil dari akal atau pemikiran dan berpijak pada daya budi yang bersifat cipta, rasa dan karsa. Orang jawa terkenal dengan kearifan lokal yang sampai saat ini masih berusaha dilestarikan. Nuansa kebudayaan Jawa masih sangat kental ketika mengunjungi sejumlah daerah di Pulau Jawa, terutama di kota Yogyakarta dan kota Surakarta yang merupakan sentral kerajaan Mataram yang akhirnya terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Di kota Surakarta terdapat dua keraton, yaitu Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Dua keraton itu merupakan simbol sejarah dan bukti budaya lokal Jawa yang masih dilestrikan sampai sekarang. selain itu upacara- upacara adat seperti Perayaan Sekaten dan Gunungan yang diselenggarakan keraton tiap tahun juga merupakan salah satu bukti kekayaan budaya Jawa. Selain itu ciri khas orang Jawa adalah selalu memakai bahasa Jawa dalam kesehariannya, Bahasa Jawa sendiri memiliki tingkatan, seperti bahasa Jawa Kromo ditujukan ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang tidak kita kenal dengan baik. Sedangkan bahasa Jawa ngoko digunakan ketika kita bebicara dengan orang yang lebih muda dari kita atau dengan orang yang sudah kita kenal dengan baik. Adanya pengelompokan tatanan dalam berinteraksi tersebut mengharuskan orang Jawa untuk bebicara dengan melihat posisi, peran serta kedudukan dirinya dan posisi lawan Yana, 2010. Selain dengan bahasa, orang Jawa juga memiliki kearifan dalam berperilaku yang orang Jawa menyebut sebagai unggah-ungguh seperti melepas alas kaki ketika masuk rumah, ketika kita lewat atau diantara kerumunan orang ngesuk-suk kita harus mengucap kata nyuwun sewu atau permisi. Ketika makan kita tidak boleh ngecap atau mengunyah terlalu keras sehingga berbunyi, tidak boleh berbicara saat mengunyah, dan yang lebih muda tidak boleh mendahului yang lebih tua untuk makan. Saat berjabat tangan, yang lebih muda harus mendahului mengajak berjabat tangan dan ketika lewat didepan orang yang lebih tua, orang Jawa akan menundukkan badan sambil berjalan. Budaya Jawa sangat menghargai posisi atau tingkat umur seseorang, bagaimana orang yang lebih muda harus bersikap menunduk pada orang yang lebih tua dengan bahasa yang tingkatanya lebih tinggi maupun dalam gerakan- gerakan yang merupakan simbol penghormatan kepada yang lebih tua. Hal tersebut juga menjadi cerminan stereotip yang melekat pada orang Jawa yaitu tidak menonjolkan diri dan cenderung mengalah untuk keselarasan hidup. Pada masa modern seperti sekarang, kebudayaan Jawa semakin luntur dan di tinggalkan oleh orang Jawa. Anggapan bahwa berbahasa jawa itu kuno dan diganti dengan bahasa gaul, anak-anak lebih suka bermain playstation daripada bermain jelungan, dakon atau gobak sodor, remaja lebih suka bermain musik modern dan bermimpi suatu saat akan menjadi pemain Band terkenal daripada bermain gamelan dan belajar memainkan wayang mungkin menjadi suatu fenomena yang terjadi di kalangan anak–anak dan remaja. Saling bantu membantu yang tercermin dalam kegiatan yang bersifat gotong royong mulai hilang karena acuhnya masyarakat modern yang mementingkan diri sendiri. Upacara-upacara adat seperi bancakan, upacara perkawinan dan upacara peringatan kematian perlahan mulai menghilang dari tengah-tengah orang Jawa. Itulah sekelumit bukti mulai menghilangnya nilai-nilai dalam budaya Jawa yang di sebabkan oleh modernisasi dan pengaruh budaya luar yang tidak tersaring sehingga membuat kearifan lokal menjadi terdesak dan mungkin hanya bisa di rasakan di kampung, desa atau lingkungan keraton. Efek lain dari lunturnya kebudayaan adalah semakin maraknya tindak kriminal yang dilakukan anak, tercatat pada tahun 2009 jumlah kasus kriminal anak di Indonesia mencapai 1.258 kasus, naik 25 persen dari tahun 2008, Komnas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong adalah faktor lingkungan Tempointeraktif.com, 2010. Dari berita tersebut dapat digambarkan budaya Jawa sebagai budaya terbesar di Indonesia yang terkenal halus dan mengutamakan sopan santun seakan-akan menghilang bahkan pada anak-anak yang notabene adalah penerus warisan kebudayaan. Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil juga memiliki peran dalam kelestarian budaya. Bagaimana sebuah keluarga Jawa menjalankan budayanya, dan anak sebagai penerus dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Walaupun di sekolah juga diajarkan kebudayaan lokal tetapi agaknya keluarga di rumahlah yang memiliki porsi paling besar dalam pembelajaran anak. Bagaimana ketika anak lahir, mereka memiliki pilihan untuk memberikan nama anak mereka Bambang atau David. Hal tersebut sangat di pengaruhi seberapa dalam kebudayaan jawa ada dalam diri orang tua mereka yang merupakan cerminan latar belakang sosial dari orang tua tersebut. Lalu ketika anak mulai tumbuh, orang tua kembali memiliki pilihan, apakah ulang tahun anak akan diadakan dengan pesta kue berlilin atau mengadakan syukuran dengan bancakan. Dari hal tersebut dapat kita perkirakan bagaimana orang tua akan mendidik anak, apakah dengan menggunakan nilai-nilai budaya jawa atau dengan nilai-nilai modern. Tetapi keluarga Jawa tetaplah terdiri dari orang-orang Jawa yang memiliki budaya Jawa. Walaupun tidak mengadakan ritual dan upacara-upacara adat tetapi secara sederhana dapat terlihat budaya Jawanya seperti di atas ada unggah ungguh, dari cara menghormati orang yang lebih tua, perilaku pekewuh khas orang Jawa dan tentu dari bicaranya. Karena secara abstrak juga bahwa norma seperti merunduk ke orang yang lebih tua dan norma-norma lain terikat dengan semacam sanksi sosial jika tidak di lakukan, seperti tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak sopan saru dan tabu. Nilai-nilai budaya Jawa tersebut secara tidak langsung akan terlihat di Keluarga Jawa. Seperti peribahasa Jawa “Mikul dhuwur mendhem jero” menghargai orang tua setinggi-tingginya, “anak polah bapak kepradah” jika anak berbuat kesalahan maka orang tua juga akan mendapatkan akibatnya, merupakan gambaran bagaimana orang tua dalam keluarga Jawa mengharapkan anaknya untuk selalu menghargai orang tua dan menghindari berbuat kesalahan yang akan berakibat juga pada orang tua. Menurut Baron, dkk 1990 moral adalah hal-hal yang menyangkut tentang larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar, Sehingga dapat disimpulkan dari pengertian moral tersebut bahwa orangtua menginginkan anak menjadi anak yang bermoral agar menghindari kesalahan yang tidak diinginkan orang tua. Pada pandangan orang tua Jawa tentang gambaran umum anak yang bermoral tentu akan di pengaruhi oleh kebudayaan dan norma Jawa dan masih bersifat abstrak pula, karena dari observasi penulis, belum ada rumusan konsep yang jelas tentang anak yang bermoral dalam budaya Jawa, masih terbatas sekedar peribahasa atau kiasan. Dalam survey yang dilakukan penulis terhadap lima belas ibu yang memiliki anak umur SD dan mengaku sebagai orang Jawa, diberikan pertanyaan, “Menurut Ibu, apakah anak Ibu adalah anak yang baik?”, seluruh responden menyatakan bahwa anaknya adalah anak yang baik. Dari hasil data tersebut, tentu belum mewakili jawaban dari seluruh Ibu-ibu Jawa tetapi data tersebut mengungkapkan ada kecenderungan orangtua untuk menilai postif kepada anak mereka. Jika pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan pertanyaan “Menurut Ibu, seperti apakah anak yang baik itu?”, tentu jawaban akan beragam tergantung dari persepsi dan skala orangtua dalam memahami anak. Perbedaan persepsi mengenai gambaran anak yang baik dilihat dari persamaan budaya, tentunya akan ada konsep-konsep umum orangtua Jawa yang akan terlihat khas dalam memandang apakah anaknya baik atau tidak baik sesuai dengan nilai-nilai Jawa, sebagai dasar dalam mendidik dan merawat anak sesuai dengan harapan orangtua. Berdasar pada gambaran tentang harapan orang tua Jawa terhadap moral anak tersebut dan masih abstraknya nilai-nilai kebudayaan dalam keluarga Jawa dalam menggambarkan seperti apa konsep anak Jawa yang baik atau bermoral, penulis menemukan tema yang cukup menarik untuk diteliti, bagaimanakah konsep-konsep atau nilai-nilai adat budaya Jawa menjadi landasan orang tua mendidik anak dan gambaran sejauh mana budaya Jawa mempengaruhi orang tua dalam membuat konsep untuk memandang anak. Dari pertanyaan tersebut penulis ingin membuat sebuah penelitian yang berjudul “Konsep Anak Baik Dalam Keluarga Jawa”

B. Tujuan Penelitian