49 shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang.
Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168.
E. Operasional Variabel Penelitian
Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan
untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat ditetapkan indikatornya.
Tabel. 3.1 Operasionalisasi Variabel
Variabel Skala
Satuan
Kurs Ratio
Numeric Jumlah Uang Beredar
Ratio Numeric
Suku Bunga SBI Ratio
Numeric Inflasi
Ratio Numeric
Dalam penelitian ini dibutuhkan suatu definisi konseptual untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi
konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah: 1. Inflasi
Inflation is a rise in the general level of prices. McConnell Brue, 2002: 146. Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan
rumus berikut Asfia Murni, 2006: 41:
50 Laju Inflasi
100
1 1
× −
=
− −
t t
t
IHK IHK
IHK
di mana:
t
IHK = Indeks Harga Konsumen tahun t
1 −
t
IHK = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya t-1
2. Kurs Kurs exchange rate adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut, dalam hal ini adalah US Dollar dengan Rupiah. Kurs tengah
adalah nilai rata-rata dari kurs jual dan kurs beli.
3. Jumlah Uang Beredar Jumlah uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di
dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. Sadono Sukirno,
2008: 281. Jumlah uang beredar M2 merupakan penjumlahan dari jumlah uang beredar M1 uang kartal dan uang giral dengan deposito berjangka
time-deposit, tabungan saving-deposit, dan rekening tabungan valuta asing milik swasta domestik.
51 4. Suku Bunga SBI
Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek dengan sistem diskontobunga.
52
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Inflasi Inflasi sebagai objek penelitian merupakan hal yang paling
diperhatikan dalam perkembangan moneter Indonesia. Perkembangan inflasi pada tahun 2001 – 2010 dapat dilihat pada Gambar. 4.1.
Gambar. 4.1 Grafik Inflasi Tahun 2001 - 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.1, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 kuartal 3 tingkat inflasi sebesar 8,41 melonjak tinggi menjadi 17,79
53 pada tahun 2005 kuartal 4. Lonjakan inflasi pada kuartal akhir tahun 2005
terutama dipengaruhi oleh dampak signifikan kenaikan harga BBM baik melalui dampak langsung first round maupun dampak lanjutan second
round. Kenaikan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005, khususnya kenaikan kedua pada tanggal 1 Oktober 2005, mengakibatkan inflasi
melonjak menjadi dua digit. Selain itu, beberapa kebijakan administered prices lainnya seperti harga rokok, tarif tol, dan PAM juga turut
mendorong kenaikan harga-harga. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006: 83.
Tingginya tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM Oktober 2005 menuntut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-
langkah kebijakan untuk mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi. Dalam perkembangannya, berbagai langkah kebijakan yang diambil Bank
Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumber-sumber utama tekanan inflasi. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 97. Oleh karena
itu terjadi penurunan inflasi yang semula pada kuartal 3 tahun 2006 sebesar 14,87 menjadi 6,05 pada akhir tahun 2006. Inflasi IHK tahun 2006
terutama disumbang oleh kelompok bahan makanan. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 98.
Secara keseluruhan, tekanan inflasi pada tahun 2008 cukup tinggi. Inflasi IHK pada tahun 2008 meningkat tajam bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sumber tekanan inflasi terutama berasal dari tingginya lonjakan harga komoditas global terutama harga komoditas minyak dan
54 pangan. Selain berdampak pada imported inflation yang tinggi, lonjakan
harga minyak dunia juga berdampak pada kenaikan inflasi administered seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM
bersubsidi. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 25. Oleh karena itu, tingkat inflasi tinggi pada pertengahan tahun 2008 yang pada kahirnya
turun pada awal tahun 2009. Inflasi pada tahun 2009 yang minimal tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan
kepercayaan pasar sehingga nilai tukar Rupiah yang berada dalam tren menguat. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung membaiknya
ekspektasi inflasi. Perbaikan ekspektasi inflasi juga cukup besar dipengaruhi penurunan inflasi kelompok barang administered dan inflasi
kelompok volatile food. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 35.
2. Nilai Tukar Kurs Nilai tukar juga merupakan faktor yang penting dalam
mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju nilai tukar dapat dilihat pada Gambar. 4.2.
55 Gambar. 4.2
Grafik Nilai Tukar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.2, nilai tukar Rupiah sudah berada pada tingkat yang tinggi pada tahun 2001. Perkembangan nilai tukar
Rupiah pada tahun 2001 masih mengalami tekanan depresiasi yang tinggi disertai dengan volatilitas yang meningkat walaupun sempat menguat pada
pertengahan tahun. Secara umum melemahnya nilai tukar disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-
struktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing. Laporan Tahunan Bank Indonesia,
2002: 8. Pada tahun 2001, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 10.000. Secara umum, nilai tukar Rupiah selama tahun 2002 mengalami
apresiasi disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangan ini selain ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor
sentimen, juga tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia BI dalam
56 menjaga agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental,
apresiasi nilai tukar Rupiah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar,
menguatnya nilai tukar Rupiah juga ditunjang oleh menguatnya sentimen positif pasar yang didorong oleh keberhasilan penjadwalan utang,
persetujuan pencairan pinjaman IMF International Monetary Fund. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 8. Pada tahun 2002, nilai tukar
berfluktuatif pada level Rp 9.000. Nilai tukar Rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi
ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh
kondisi sektor eksternal dan
internal yang
kurang menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental
terhadap nilai tukar Rupiah. Di sisi eksternal,melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat
AS telah memberikan tekanan depresiasi terhadap Rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi
kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri merupakan faktor utama pemicu tekanan terhadap Rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan
domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas Rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi
depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat terhadap nilai tukar Rupiah, sebelum pada
akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat seiring dengan
57 kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Koordinasi
kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil memulihkan kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya ekspektasi
depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006: 68. Pada tahun 2005,
nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.500. Sepanjang 2006 nilai tukar Rupiah secara umum mengalami
penguatan terhadap US Dollar disertai pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh
kondisi fundamental makro ekonomi yang membaik, daya tarik investasi keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi
global yang relatif lebih kondusif. Dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati, nilai tukar Rupiah dapat
bergerak stabil meskipun menghadapi harga minyak dan suku bunga global yang masih terus meningkat selama paruh pertama 2006, serta
munculnya tekanan regional pada penghujung 2006. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 83. Pada tahun 2006, nilai tukar Rupiah
berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.100. Secara umum, nilai tukar Rupiah dapat bergerak stabil sampai
dengan pertengahan September 2008. Hal tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan dan kebijakan makro ekonomi yang cukup prudent.
Namun, intensifikasi krisis keuangan global yang memicu risk aversion dan anjloknya harga komoditas menekan Rupiah, sehingga nilai tukar
58 Rupiah terdepresiasi disertai dengan peningkatan volatilitas pada kuartal 4
tahun 2008. Anjloknya harga komoditas berdampak buruk terhadap kinerja ekspor dan menurunkan pasokan valas yang bersumber dari devisa
hasil ekspor. Di lain pihak, impor yang meningkat akibat kuatnya permintaan domestik membutuhkan valas yang semakin besar. Tekanan
permintaan valas semakin bertambah seiring dengan adanya aliran dana portofolio asing ke luar akibat adanya sentimen negatif sebagai imbas
krisis finansial global yang memburuk. Turunnya pasokan valas yang disertai tingginya permintaan valas menyebabkan tingginya tekanan
depresiasi nilai tukar. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 23. Pada tahun 2008, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.200.
Pada awal tahun 2009, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sampai pada level Rp 11.600 samapi pada akhirnya terus terapresiasi
sampai pada level Rp 9.400. Nilai tukar Rupiah mulai kembali menguat sejak kuartal 2 2009 ditopang perbaikan persepsi risiko terhadap emerging
market dan kondisi fundamental domestik yang tetap terjaga. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2010: 26. Pada tahun 2009, nilai tukar Rupiah
berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.900.
3. Jumlah Uang Beredar Jumlah Uang Beredar JUB merupakan salah satu faktor yang
penting dalam mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju jumlah uang beredar dapat dilihat pada Gambar. 4.3.
59 Gambar. 4.3
Grafik Jumlah Uang Beredar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.3, perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan pada periode 2001 – 2010. Penyebab
dari hal ini merupakan semakin bertambahnya pencetakan uang yang diimbangi dengan tingkat inflasi dan tingginya tingkat konsumsi dan
tabungan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2001 kuartal 3 sempat terjadi penurunan volume
jumlah uang beredar dari kuartal sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh dilakukannya instrumen moneter Operasi Pasar Terbuka OPT oleh Bank
Indonesia, khususnya melalui mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan maupun 3 bulan. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun
2002 kuartal 2. Ekses likuiditas perbankan yang terus meningkat telah mewarnai
60 pelaksanaan kebijakan moneter selama 2003. Di tengah kebutuhan
likuiditas perbankan yang masih rendah akibat fungsi intermediasi yang belum berjalan optimal, suplai likuiditas selama 2003 justru meningkat
tajam, terutama yang bersumber dari ekspansi rekening pemerintah di Bank Indonesia dan pembayaran bunga Operasi Pasar Terbuka OPT.
Kondisi ini mengakibatkan sistem perbankan secara keseluruhan semakin kelebihan likuiditas. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2004: 11. Hal ini
yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang beredar pada tahun 2003. Perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan
pada periode 2005 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan efek dari sentimen global, di mana masyrakat lebih cenderung untuk memegang
uangnya sendiri atau menyimpannya di bank. Bank sudah menjadi perantara keuangan yang semakin aktif karena semakin bertumbuhnya
perekonomian di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang dilakukan melalui bank, baik itu berupa transfer antar rekening maupun
transfer antar bank.
4. Suku Bunga SBI Suku Bunga SBI merupakan salah satu faktor yang penting dalam
mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju suku bunga SBI dapat dilihat pada Gambar. 4.4.
61 Gambar. 4.4
Grafik Suku Bunga SBI Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.4, peningkatan suku bunga SBI selama 2001 masih belum secara langsung berpengaruh pada peningkatan
suku bunga deposito secara signifikan, terutama akibat masih tingginya likuiditas perbankan sebagai akibat masih tingginya ketergantungan
perbankan pada SBI sebagai alternatif penempatan utama, dengan memanfaatkan selisih antara suku bunga SBI dan deposito di tengah
kondisi fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Pada tahun 2002, penurunan suku bunga SBI disebabkan oleh
penurunan suku bunga FASBI. Penurunan suku bunga SBI tersebut juga didorong oleh kondisi perbankan yang mengalami kelebihan likuiditas
sebagai akibat dari belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan secara lebih optimal. Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 75. Hal
ini juga terjadi pada tahun 2003 sampai 2004 kuartal 2.
62 Pada tahun 2004 kuartal 3, suku bunga SBI mengalami kenaikan
yang merupakan suatu cara untuk menaikkan suku bunga deposito. Hal ini juga terjadi pada tahun 2005 pada kuartal 3 dan 4. Pada tahun 2006, terjadi
penurunan suku bunga SBI setelah kuartal 1. Hal ini disebabkan untuk menambah jumlah uang di masyarakat. Pada tahun 2007 kuartal 3 terjadi
kenaikan suku bunga SBI yang merupakan suatu intensitas dalam rangka penyerapan likuiditas.
Pada tahun 2008, suku bunga SBI selalu naik. Hal ini merupakan suatu cara untuk tetap menumbuhkan rasa aman kepada para investor
akibat krisis global yang terjadi. Tingginya suku bunga SBI akan berdampak positif pada tingkat bunga deposito yang akan mendorong para
investor untuk berinvestasi.
B. Analisis Uji Ekonometrik