Pengertian Salah Tangkap Sebab Terjadinya Salah Tangkap

SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK

A. Pengertian Salah Tangkap

Salah tangkap terdiri dari dua kata “salah” dan “tangkap” menurut kamus lengkap bahasa Indonesia “salah” adalah, tidak benar atau tidak mengenai sasaran. 108 Sedangkan kata “tangkap” adalah, memegang atau mendapati. 109 Jadi yang dimaksud dengan “salah tangkap” adalah, tidak mengenai sasaran. “salah tangkap” di sini lebih cocok diartikan dengan, salah menetapkan tersangka dalam suatu kasus. 110 Ketika berkas-berkas perkara berita acara, alat bukti, barang bukti ini adalah pekerjaan kepolisian dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh kejaksaan, maka kejaksaan menyiapkan penuntutan untuk mengajukan tersangka ke depan pengadilan menjadi terdakwa. Apabila hakim merasa sudah tersedia cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan tersebut, keluarlah vonis hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya, maka tahapan-tahapan tersebut saling tergantung satu sama lain. Apabia terjadi kesalahan atau kekeliruan di tingkat kepolisian, kemudian tetap diproses lebih lanjut, maka vonis yang diberikan pun bisa salah, terdakwapun dipenjara akibat perbuatan yang tidak pernah dilakukan.

B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap

108 . Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: tth, hal. 978. 109 . Dep Dik Nas, Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Cet- 3, h. 1139. 110 . http:www.pikiran-rakyat.comprprint.php?mib=beritadetailid=41587 Ada beberapa sebab timbulnya salah tangkap dalam penegakan hukum. Salah satunya adalah pelaksanaan hukum acara pidana Indonesia KUHAP yang kurang diiringi dengan semangat satu sistem terpadu oleh para penegak hukum. Meskipun secara prinsip terdapat pembagian fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing penegak hukum, dalam pelaksanaannya mensyaratkan secara mutlak adanya keserasian dan koordinasi antar instansi penegak hukum. Syarat mutlak tersebut tertuang dalam konsepsi integrated criminal justice system yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan, sejak penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, hingga pada penyelesaian di tingkat lembaga pemasyarakatan. Belakangan ini sistem tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan sehingga yang terlihat adalah hubungan yang kurang memperlihatkan rangkaian kesatuan sehingga kurang menjamin kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana. Terlihat pada saat terjadi dugaan salah tangkap error in persona, terdapat kecenderungan tanggung jawab tertumpah hanya pada aparat penyidik sebagai penanggung jawab awal dalam proses pidana. Padahal, kegiatan penyidikan sebagai suatu subsistem berjalan dalam satu proses terkait dengan subsistem lain dalam bentuk koordinasi sinkronisasi instansional dan fungsional. Awal dari suatu proses pidana adalah penyidikan yang menempatkan Polri sebagai penanggung jawab utama terutama di bidang tindak pidana umum. Penyidikan yang diawali dan didahului dengan langkah teknis penyelidikan menyeleksi secara cermat, apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sebagai suatu sistem yang mengutamakan hak asasi manusia dan kesamaan kedudukan dalam hukum, maka peningkatan penyelidikan ke proses penyidikan harus juga selalu mempertimbangkan hal tersebut. Sebagai hasil penyelidikan yang ditingkatkan ke penyidikan, maka begitu masuk ke tingkat penyidikan dibuatlah laporan dimulainya penyidikan ditujukan kepada penuntut umum atau kejaksaan. Dengan adanya laporan tersebut, kejaksaan secara awal telah mengetahui adanya proses penyidikan di kepolisian. Meskipun penyidikan adalah tanggung jawab kepolisian, dengan laporan dimulainya penyidikan tersebut tanggung jawab proses dalam satu sistem mulai berlangsung, meski dengan tingkat tanggung jawab formal yang berbeda. Dengan laporan tersebut, penuntut umum mulai mengetahui kegiatan penyidikan termasuk identitas tersangka meskipun belum secara fisik. 111 Tidak kalah penting adalah hubungan penyidik dengan penasehat hukum. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang penasehat hukum atau lebih. Bantuan hukum ini diberikan pada setiap tingkat pemeriksaan yang dilakukan sejak berlangsungnya penyidikan. Bahkan pada perkara dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih, pidana mati wajib didampingi oleh penasehat hukum. Termasuk yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan ternyata tidak mempunyai penasehat hukum, dapat ditunjuk penasihat hukum dengan biaya 111 . http:www.pikiran-rakyat.comprprint.php?mib=beritadetailid=41587 cuma-cuma. Dari kordinasi dan sinkronisasi tersebut makin jelas bahwa dengan satu sistem terpadu, maka informasi tentang data tersangka dan perbuatan pidana yang disangkakan tidak semata menjadi milik penyidik. Meskipun hubungan tersebut berlangsung baru dalam bentuk administratif, hubungan tersebut telah melahirkan secara moral dan hukum keikutsertaan dalam tanggung jawab, minimal yang terkait dengan seseorang yang terkena upaya paksa dan terancam dengan suatu hukuman. Hubungan administratif antara penyidik dan penuntut umum tersebut pada saatnya akan menjadi lebih nyata di saat penyidik menyerahkan berkas perkara tahap kedua yang disertai tersangka dan alat buktinya. Hukum acara pidana telah memungkinkan dan memberi jalan antara lain dengan adanya ketentuan pemeriksaan tambahan berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum. Mondar-mandirnya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang selama ini dinilai sebagai suatu hambatan dan kekurangan, namun dari segi mengemban tanggung jawab satu sistem dapat dipahami, sepanjang berlangsung tidak berlebihan dan merugikan. Pada penyerahan berkas perkara tahap kedua, tersangka akan dihadapkan bersama alat bukti kepada penuntut umum. Meskipun identitas dan data perbuatan tersangka telah diketahui penuntut umum namun pengenalan secara fisik baru saat itu. Seharusnya, bila terjadi kesalahan dalam penetapan tersangka, saat itu dapat diketahui. Pengenalan secara jelas identitas dan data perbuatan tersangka oleh penasehat hukum berlangsung lebih awal, yaitu pada saat mendampingi sebagai penasehat hukum pada tingkat penyidikan. Bila ternyata ada dugaan kesalahan dalam penetapan tersangka, dapat pula segera diketahui dan segera dilakukan langkah koreksi. Meskipun tahap-tahap proses pidana tersebut telah jelas diatur dalam hukum acara pidana KUHAP, bila pelaksanaannya berlangsung tanpa disertai niat bersama untuk terpadu dalam satu sistem, maka apa yang terlihat dan terjadi semata hubungan instansional yang cenderung hanya mengutamakan keberhasilan masing-masing dan bukan keberhasilan bersama dalam satu sistem. Oleh karena itu, hukum acara pidana memberi dasar yang fundamental untuk penyidikan yang berbeda dengan hukum acara terdahulu HIR antara lain perlindungan hak asasi manusia, perlakuan yang layak disertai kewajiban memberi perlidungan dan pengayoman kepada tersangka dan pengetatan pengawasan. Dasar yang fundamental tersebut bukan saja menjadi pedoman petugas penyidik, tetapi juga seluruh aparat penegak hukum. Melihat ketergantungan dan perluasan tanggung jawab tersebut rasanya sulit terjadi kesalahan penetapan tersangka dalam suatu kasus pada tingkat penyidikan yang selanjutnya membias pada tingkat berikutnya. Kejadiannya, bila benar terjadi pada saat penyidikan, dapat dicegah dan penyidikan dapat diberhentikan, dan itu hanya mungkin bila hubungan terutama dengan penuntut umum dan penasehat hukum koordinasi dan sinkronisasinya berlangsung efektif. Sebaliknya, bila setelah proses berlangsung ternyata terjadi kesalahan dalam penentuan tersangka atau terdakwa, maka tidaklah berlebihan bila dipertanyakan sampai di mana semua petugas bersama penyidik berperan waktu itu sesuai dengan tanggung jawabnya dalam pelaksanaan satu proses pidana yang terpadu. Dari segi perlindungan hak asasi individu, baik terhadap korban maupun terhadap si pelanggar, maka peristiwa salah penentuan tersangka adalah hal yang sangat fatal dan sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat mengarah pada keraguan masyarakat luas terhadap kemampuan profesional, integritas moral, dan kesungguhan penegakan hukum. Tanpa usaha nyata untuk mengatasinya, dapat mengancam goyahnya kepastian hukum serta merosotnya wibawa hukum. 112 Banyaknya kasus salah tangkap, peradilan sesat yang terjadi di Indonesia tidak dapat dipungkiri terjadi karena minimnya profesional dan kinerja aparat hukum sebagai akibat antara lain: 1. Lemahnya pengawasan dan SDM di lingkungan aparat hukum di Indonesia. 2. Keterlambatan proses revisi legislasi yang memproteksi hak asasi manusia dalam prosedur acara pidana KUHAP dan KUHP; dan 3. Tidak diimplementasikannya secara efektif konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998 turut berkontribusi pada maraknya kasus-kasus salah tangkap. 113 112 . Ibid. 113 . http:www.wikimu.comNewsPrint.aspx?id=10783

C. Akibat Salah Tangkap