Pencemaran nama baik akibat salah tangkap (kajian hukum Islam dan hukum pidana positif)

(1)

PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)

Oleh: FAHRURROZI NIM. 104045101547

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Atas rahmat dan karunia dari Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di warnai dengan ujian, emosi, kesabaran, dan kekuatan. dan juga salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi M.Ag dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.

3. Kepada para dosen yang telah memberi ilmu, tenaga, dan waktu yang luar biasa bagi penulis selama ini.

4. Kepada pegawai perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah membantu penulis mencari buku dalam pembuatan skripsi ini.


(3)

5. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak H. Zubir Laini, SH, dan Bapak Dr. Nurul Irfan, Yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang luar biasa bagi proses skripsi ini.

6. Kepada Kedua Orang tua tercinta, Ayahnda H. Abdul Rammat dan Ibunda Halimah yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan do’a yang tidak pernah putus juga telah memberikan kepercayaan yang besar bagi Anakmu (penulis).

7. Kepada adikku yang masih belum beranjak dewasa, Ahmad Maulana rizqi. Terima kasih telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di rumah. Semoga skripsi ini dapat memberikan inspirasi untuk kamu agar dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.

8. Kepada teman-teman alumni Pon Pes Darussalam Bogor khususnya alumni ke IX Al-Adiyaat.

9. Kepada teman-teman sekelas : Amin, Epi, Zaelani, Hijrah, Finalto, Devison, Komson, Azis, Rifa’i, Riko, Husni, Agus, Hilmi, Johan, Nandez, Iwek, Irna, Puti, Zulfa, Novi, dan Reva.

10.Kepada seluruh dosen yang memberi dorongan dan semangat penulis dalam pembuatan skripsi ini.

11.Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas jasa-jasa para guru selama ini.

12.Kepada rental Elok dan rental Cemara khususnya buat Bang Nanang yang membantu penulis dalam pengetikan dari awal hingga selesai.


(4)

13.Kepada Fitriyani terima kasih telah memberikan masukan-masukan yang berharga bagi penulis. Smoga apa yang penulis cita-citakan tercapai. Amin...

Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Jakarta, 10 Januari 2010 M 25 Muharram 1431 H


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 5

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Manfaat dan Tujuan ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika penulisan... 10

BAB II TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana... 12

B. Tujuan Pemidanaan... 21

C. Sanksi Dalam Hukum Pidana Jenis dan Macam-Macamnya ... 25 D. Pencemaran Nama Baik dan Sanksinya Menurut Hukum Positif 29


(6)

BAB III PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jinayah dan Jarimah... 39

B. Macam-macam dan Jenis-Jenis Jarimah ... 42

C. Uqubah Macam dan Tujuannya Dalam Hukum Islam... 55

D. Pencemaran Nama Baik dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam... 62

E. Kasus Hadis Al-Ifki dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik ... 65

BAB IV SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK A. Pengertian Salah Tangkap ... 77

B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap ... 78

C. Akibat Salah Tangkap ... 83

D. Macam-Macam Perlindungan Hak Korban... 84

E. Kasus Salah Tangkap ... 86

F. Analisis Pebandingan ... 91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 91

B. Saran-saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia yang memiliki serta kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lainnya telah mendorong untuk mencari jalan yang lurus dan terang agar kehidupan mereka senantiasa dipenuhi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu dibuatlah suatu rumusan yang dikenal dengan istilah Hukum, yakni kumpulan dan aturan-aturan hidup dan kehidupan.

Akan tetapi semenjak terjadinya krisis moneter pada masa orde baru tahun 1998 menyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil sehingga ada sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindak pidana seperi pencurian, pembunuhan , perampokan dan lain-lain. Maka dari karena itu, tugas penertiban hukum pada masa yang akan datang tidak terlepas dari penggunaan metode dan cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum. Baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, Polisi (aparat hukum) pada masa yang akan datang tidak terlepas dari tugas yang paling utama yaitu menjaga ketertiban.1

Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan nasional yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran serta secara aktif dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari aparat pemerintah dalam

1

Siswanto Sunarso. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. (Bandung, PT Citra Aditia Bakti. 2005). Cet ke 1. hal. 162


(8)

kerangka penegakan hukum. Dengan kata lain pembangunan nasional dapat terwujud, salah satunya melalui, proses pengintegrasian antara upaya penegakan hukum dengan keseluruhan kebijaksanaan sosial.2 Setiap anggota masyarakat tentu memiliki berbagi kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat menimbulkan bentrokan satu sama lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka masyarakat menjadi guncang. Keguncangan ini sebeberapa mungkin harus dihindarkan. Untuk ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam masyarakat.

Hubungan-hubungan ini di antara orang-orang perorangan, atau antara berbagai kelompok orang-orang. Atau antara suatu kelompok dan seorang oknum tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak. Dalam mengatur suatu hubungan ini, hukum bertujuan menyeimbangkan di antara berbagai kepentingan. Imbangan ini tidak terutama terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah Masyarakat (Magisch evecuscht). Janganlah sampai suatu kepentingan telantar di samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya, hanya kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan ada keselamatan dan kebahagiaan di dalam masyarakat yang bermanfaat. Kelurusan neraca masyarakat ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar.3

2

Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 18

3

Wirjono Projodikro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Rafika Aditama) hal. 15-16


(9)

Pelanggaran dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.4 Dalam hubungan ini, kesalahan merupakan faktor bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan, terutama penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya dapat dipidana.5

Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan Hakim yang menyatakan pelaku bersalah.

Tujuan diberikannya perlindungan hukum kepada si pelaku kejahatan adalah untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya, tidak terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku serta menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku menjalani hukuman, maka perlindungan terhadap pelaku dianggap sudah selesai.6

Seiring dengan meluasnya pernyataan Internasional tentang hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat), dan bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat)

4

Moeljetno. Asas-Asas Hulum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,) hal. 130

5

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta, Pranada Media, 2006,) hal. 19

6

Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 20


(10)

memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negara untuk menjalankan aktivitas sehari-hari jaminan terhadap hak asasi ini tercantum dalam Undang-undang dasar 1945 dan dalam batang tubuh Undang-Undang-undang 1945.

Jaminan tentang hak asasi bukan hanya diberikan kepada masyarakat yang bebas saja, tetapi terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, yang pada hakikatnya, merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, dibatasi wewenang oleh undang. Jaminan mengenai hak asasi tersangka tertuang dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1970 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.7

Tetapi salah atau tidaknya tersangka, hukum lebih mengutamakan pada pengakuannya, untuk pembuktian aparat penegak hukum mengambil jalan pintas dengan melakukan penganiayaan terhadap tersangka. Tersangka dipaksa mengaku bahwa ia melakukan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka tidak mengakui perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Akhirnya tersangka lebih baik mengakui secara terpaksa karena di dalam penjara mereka akan mendapat siksaan kembali.

Namun demikian, perlu dimaklumi bahwa para penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Tindakan penangkapan dan penanahan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang

7


(11)

mereka memberi perlakuan seseorang yang belum jelas kesalahannya, sehingga tersangka menderita, baik secara fisik maupun mental.8

Sering sekali profesionalisme Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan aparat hukum lainnya yang terlibat dalam penyelesaian perkara hukum semakin ramai dibahas oleh media massa, selain soal korupsi juga soal salah tangkap yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya perbincangan di kalangan para elit, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat. Terdapat kerisauan harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.

Kasus salah tangkap semakin ramai dibahas seiring dengan pengakuan Riyan si jagal dari Jombang yang telah membunuh Ashrory, sebenarnya kematian Ashrori telah membawa tiga orang pelaku yang di antaranya bernama Maman, Imam Hambal, dan David, tersangka telah divonis 17 dan 12 tahun penjara oleh hakim pengadilan negeri Jombang. Peristiwa tersebut mengungkap suatu catatan bahwa aparat kepolisian (Polres Jombang) telah melakukan salah tangkap atas pembunuhan Asrori pada bulan Mei 2007.

Ternyata, kasus salah tangkap dan menghukum mereka yang sama sekali tidak bersalah sudah merupakan rahasia umum di negeri ini. Berbagai kasus sebelumnya juga pernah santer diperbincangkan, kisah sedih dialami. Sengkon dan Karta Tahun 1974 yang dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh

8

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil,2001) Cet ke 2, Hal 128.


(12)

merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di desa Bojong, Bekasi. Hal serupa terjadi pada Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002 yang dipaksa mengaku oleh oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri.9

Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas terhadap oknum polisi yang bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan terhadap yang korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh pendapat kontra hukuman mati (obolisionis) alangkah berbahaya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum Negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti saat ini.

Oleh karena itu para korban salah tangkap dan salah hukum berhak mengajukan upaya hukum, seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada mahkamah agung dengan mengerahkan bukti baru (Novum) serta gugatan ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur didalam KUHAP. Para korban yang tidak bersalah sebaiknya mendapatkan ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu ganti rugi tersebut dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat dalam peradilan sesat atas diri korban.10

9

http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin 25 mei 2009

10


(13)

Adanya kasus salah tangkap dan salah menghukum ini telah sampai ke tengah-tengah pers dan telah disampaikan kepada masyarakat luas setelah diketahui bahwa ternyata tersangka tidak bersalah akan tetapi nama tersangka telah tersebar luas atau telah tercemar.

Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengajukan skripsi yang berjudul. “Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap” (Kajian Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif) karena pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk kejahatan yang dapat membunuh karakter seseorang. sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat batasan permasalahan, yaitu kasus salah tangkap yang terjadi di Kota Bekasi pada tahun 1947 dan tahun 2002.

Untuk memudahkan pembahasan proposal ini maka penulis mencoba merumuskan masalah ini sebagai berikut

1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik ? 2. Apa yang dimaksud salah tangkap ?

3. Bagaimana perlindungan hak-hak korban dalam kasus salah tangkap ?

4. Apa perbedaan dan persamaan dari hukum Islam dan hukum positif tentang “pencemaran dan salah tangkap” ?


(14)

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan di atas maka dapat diakui bahwa tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi pencemaran nama baik 2. Untuk mengetahui definisi salah tangkap

3. Untuk mengetahui perlindungan hah-hak korban dalam salah tangkap

4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari hukum islam dan hukum positif tentang “Pencemaran dan Salah Tangkap”.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar para aparat lebih hati-hati dalam melakukan penyidikan, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak-hak korban yang dilakukan oleh pemerintah serta sangsi yang akan dikenakan kepada Aparat Kepolisian serta untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam dan hukum pidana positif

D. Kajian Pustaka

Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang berkaitan dengan tema yang dipilih oleh penulis dan materi atau karya-karya tersebut adalah skripsi-skripsi yang berjudul pencemaran nama baik oleh media massa (pers), karangan Hidayatullah, 2004. yang paling utama yang dikaji adalah perlindungan terhadap pekerjaan pers serta adanya kebebasan pers, dan skripsi yang berjudul


(15)

perlindungan hukum Bagi tersangka kekerasan oleh aparat, karangan Handriyo Akbarullah, 2006. yang paling utama dikaji adalah bahwa pentingnya perlindungan bagi hak-hak setiap manusia terutama pada tersangka yang sering adanya kekerasan dalam penyidikan baik secara fisik dan mental.

Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa belum ada yang membahas mengenai pencemaran nama baik akibat salah tangkap, kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang kemudian dianalisakan dan diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek permasalahan yaitu dengan cara mengambil buku-buku, pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang kedua-duanya berbentuk kitab-kitab dan buku-buku baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Yang di maksud data primer adalah Al-tasyri’ Al-jina’i Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i, karangan Abdul Qadir Al-Audah, KUHP karangan


(16)

Moeljatno, KUHAP, Urgensi perlindunagn kejahatan antara norma dan realita, karangan Dikdik M.arief Mansur dkk, dan Pencemaran Nama Baik

dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, karangan Tjiptro

Lesman. Adapun yang dimaksud data sekunder adalah kitab-kitab, buku-buku, serta literature yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan baik primer atau sekunder yang sebagian besar data yang diperoleh melalui kitab-kitab, buku-buku, pendapat-pendapat para ahli hukum, dokumen-dokumen dan sebagainya yang ada relevansinya dengan masalah pokok yang terdapat dalam masalah ini.

Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan, maka pembahasan skripsi “pencemaran nama baik akibat salah tangkap” ini akan disusun dalam lima bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.


(17)

BAB II : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana positif. BAB III : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana Islam. BAB IV : Berisi tentang pengertian salah tangkap, sebab-sebab terjadinya

salah tangkap serta akibat yang akan dirasakan akibat dari salah tangkap,

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari permasalahan skripsi dan saran, dan di mana pada akhir terdapat pustaka dan lampiran-lampiran.


(18)

BAB II

TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF

A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Hukuman merupakan istilah umum untuk segala macam sanksi, baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.11

Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus. Maka, perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana: 1. Menurut Profesor Sudarto. yang dimaksud dengan hukum pidana adalah,

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2. Menurut Profesor Ruslan Soleh, Pidana adalah reaksi atas delik. Dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.12

11

. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994). Cet. Ke-2, h. 27.

12

. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005). H. 2


(19)

3. Dan menurut Profesor Van Hemel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah, suatu yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.13 Jadi, pidana merupakan suatu bentuk penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh kekuasaan yang berwenang kepada pelanggar peraturan.

Pada kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata yakni “tindak” dan “pidana”.dalam kamus bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti: perbuatan.14 Sedangkan kata “pidana” mempunyai arti: kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya).15

Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, Terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Ternyata “straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kalimat “baar” diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata “feit” diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.16 Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

13

. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Amrico, 1994), Cet. Ke- 4, h. 49.

14

. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 984.

15

. Ibid, h. 681.

16

. Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. 69.


(20)

1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum. 2. Peristiwa pidana.

3. Perbuatan pidana. 4. Tindak pidana. 5. Delik.17

Perumusan Simon yang dikutip oleh S.R. Sianturi dalam bukunya, merumuskan bahwa : “Een Strafbare Feit” adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.18

Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, memakai istilah tindak pidana, karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handling) dan atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handling).19

Dalam hal ini dapat diambil suatu kesimpulan tentang rumusan tindak pidana (delik) :

1. Suatu perbuatan manusia (menselijke handelingen) hendelingen bisa bersifat een doen ( perbuatan ) dan een nalaten ( mengabaikan ).

17

. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, (Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996,), Cet. Ke-4, h. 200.

18

. Ibid, h. 201.

19

. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Lektur Mahasiswa, Tth), h. 70.


(21)

2. Perbuatan (handelingen) yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3. Perbuatan (handelingen) itu harus dilakukan oleh orang ( seseorang ) yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dikumukakan oleh para pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa Strafbaar Feit sama dengan delik, sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya. Namun dari segi materi Strafbaar Feit terdapat 2 (dua) pendapat yakni: ada pendapat yang menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam satu golongan dan pendapat lain yang memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam 2 (dua) golongan, atau dengan kata lain ada beda pandangan mengenai materi Strafbaar Feit sehingga ada garis pemisah antara 2 (dua) aliran, yaitu20:

1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur perbuatan (lazim disebut unsur objekif) yaitu unsur melawan hukum dan

20

. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1997 ), Cet. Ke-1, h.18.


(22)

unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.

2. Aliran Dualisme antara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim disebut golongan subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan pembenar, dan dari si pembuat, (lazim disebut golongan subjektif) meliputi unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan unsur tidak ada alasan pemaaf.


(23)

Kedua aliran itu ada kesamaan pendapat, bahwa delik harus mencocoki perumusan Undang-undang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu skema, sebagai berikut21:

Aliran Monisme Aliran Dualisme

Dalam pandangan dualisme, Karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur objektif, maka bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti unsur subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku dipidana. Jadi hal itu, apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum, namun jika si pelaku tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus dilepaskan dari tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum akan tetapi si

21

. Ibid., h. 19. 1. Melawan hukum

2. Mampu bertanggung jawab 3. Kesalahan ; sengaja atau alpa 4. Tidak ada alasan pembenar 5. Tidak ada alasan pemaaf

1. Golongan obyektif a. Melawan hukum

b. Tidak ada alasan pembenar 2. Golongan subyektif

a. Mampu bertanggung jawab b. Kesalahan ; sengaja atau alpa c. Tidak ada alasan pemaaf

Syarat pemberian pidana


(24)

pelaku misalnya sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), karena itu ia tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal ini Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, telah menjelaskan unsur-unsur delik pada dua bagian:22

1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari manusia, yaitu berupa :

a. Suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan. b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg). c. Keadaan ( omstendungheid ).

Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

a. Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242. Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektif dan yang dilarang dan diancam dengan hukuman adalah : memberikan keterangan palsu dalam sumpah. Memalsukan Surat, pasal 263 (unsur objektif, pemalsuan). Pencurian, pasal 362 unsur objektif, mengambil (wegnemen).

b. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, seperti di antaranya : pembunuhan pasal 338, didalam

22

. Satochid Kartanegara. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Literatur Mahasiswa, Tth), h. 73-75


(25)

perbuatan ini yang merupakan unsur objektif adalah akibat (gevolg) perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal 351, yang dimaksud dengan perbuatan ini adalah : yang mengakibatkan sakit pada badan atau cidera pada orang lain, unsur objektifnya : mengakibatkan sakit dan cidera orang lain.

c. Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undang-undang, misalnya : menghasut pasal 160, unsur objektifnya adalah dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar kesusilaan umum pasal 281, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum.

2. Unsur-unsur yang subjektif, yakni berupa diantaranya

a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan) b. Schuld (kesalahan)23.

Dari penjelasan semua di atas dapat diambil secara ringkas tentang unsur-unsur-unsur tindak pidana yakni :

1. Subyek 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang atau perundang-undang-undang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.

23


(26)

5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur-unsur obyektif lainnya)24.

Oleh karena itu penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “dualisme”, sedangkan penggunaan istilah “tindak pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “monisme”.

Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadikan suatu dasar atau pedoman bahwa :

1. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang.

2. Tiada pidana, tanpa kesalahan.

3. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut). 4. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petunjuk yang ditentukan). 5. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.

Jadi apabila dari salah satu dari berbagai unsur-unsur tindak pidana itu tidak ada atau hilang atau kurang maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Tetapi apabila suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu delik, dalam hal ini unsur-unsur dari delik tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah cocok maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) dipertanggung jawabkan pidananya kepada subjeknya.

24

. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapanya, (Jakarta: Alumni ahaem petehaem, 1996), Cet. Ke-4, h.2007.


(27)

B. Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidnaan, yaitu:25

1. Untuk memperbaiki pribadi penjahatnya itu sendiri.

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan. 3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain yang sudah tidak diperbaiki lagi.

Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana dapat disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu adalah reformation, yang berati memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat, restraint, maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat dan restrtribution ialah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan satu D ialah deterence yang terdiri individual deterence dan generale deterence (pencegahan khusus dan pencegahan umum) yang berarti menjera atau mencegah. Sehingga, baik terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.26

25

. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h.52.

26

. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressido, 1983), Cet. Ke-1 h. 19.


(28)

Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu:27

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna.

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.28

Kerangka di atas menimbulkan beberapa teori yang berupa pertanyaan, yakni apa hakekat dan tujuan pemidanaan?. Di antara para penulis barat yang menganut pelbagai teori hukum pidana atau strafrechts theorien mendasarkan pikirannya pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana ada hubungan erat dengan subjectief strafrecht (jus paniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.29

27

. Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Cet. Ke-1h. 70.

28

. Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005), h. 13.

29

. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. h. 24-26.


(29)

1. Teori Absolut Atau Mutlak (tujuan)

Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.30 Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana, sehingga terhadap pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan pembalasan terhadap tindakan tersebut.31 Penjatuhan hukum itu berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri yang mengakibatkan hukum itu.32 Namun terdapat perbedaan dalam hal mencegah kejahatan yakni

1) ada yang berpendapat agar pencegahan di tujuan kepada umum yang disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.Ada yang 2) Berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan

kejahatan itu sendiri.

Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah kejahatan, di antaranya dengan cara:

1) menakut-nauti yang ditujukan terhadap umum

30

. Ibid, h. 25.

31

. R.S. Sianturi dan Mopang L Panggabean Hukum Penitensia di Indonesia,(Jakarta: Almni Ahaem-Petehaem, 1996) Cet. Ke-1, h. 40.

32


(30)

2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau tidak mengulangi perbuatannya

3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup. Kemudian muncul teori relatif modern yang antara lain di utarakan oleh Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk mengatur hubugan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram, untuk itu negara menjamin agar peraturan- peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat dengan memberi hukuman pada pelanggarnya.

2. Teori-teori Felatif atau Nisbi (balasan)

Teori ini mengatakan bahwa dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.

Para pakar penganut teori ini anatara lain: 1) Immanuel Kant

Immanual kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu


(31)

merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di sini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis.

2) Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatau kenyataan kemerdrkaan. Olehnkarena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi balasan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding. 3) Herbart

Menurut Herbart, kejahatan menimbulkan perasaan tidakenak pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas. 4) Stahl

Menurut Sthal bahwa hukum adalah suatau yang diciptakan oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan, untuk menindaknya negara diberi kekuasaan sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku kejahatan.

5) Jean Jackues Rousseau

Pokok pangkal pemikran Rossseau adalah bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki hak dankemerdrkaan penuh. Akan tetapi, manusia di dalam hidupnya memerlukan pergaulan. Di dalam pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan kemerdekaannya secara penuh, akan timbul kekacauan. Untuk


(32)

menghindarkan kekacauan itu, setiap orang dibatasi hak dan kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari hak dan kebebasannya kepada negara. Dengan diperolehnya hak-hak itu, negara harus dapat mengancam setiap arang yang melanggar peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui oleh semua orang termasuk pelaku kejahatan.33

3. Teori Gabungan

Teori ini merupakan penggabungan dari dua teori, yakni teori mutlak atau pembalasan dan teori relatif atau pencegahan. Teori ini yang dianut di Indonesia.34 dengan menelaah teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah

1) menjerakan penjahat

2) membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat 3) memperbaiki pribadi si penjahat

Pada hakikatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar di adakannya sanksi pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi masalah perdebatan para pakar. Sebagian negara memang telah

33

. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jkarta: Sinar Grafika, 2002) h. 105.

34


(33)

menghapuskan hukaman mati, tetapi sebaian lagi masih dapat menerapkannya.35

Adapun tujuan hukuman dalam hukum positif, menurut A. Hanafi, tujuan hukuman adalah:36

1. Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee atau al-Intiqomul-fardi) 2. Fase Balasan Tuhan (Vengeance Divine atau al-Intiqomul Ilahi) 3. Fase kemanusiaan (Humanitaire atau al-‘ashrul-Insani)

4. Fase keilmuan (scientifique atau al-‘asrul-‘ilmi)

Dari sekian pendapat yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat tujuan penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah agar pelaku tindak kejahatan menjadi jera (sadar) dan supaya orang lain yang belum pernah merasakannya bisa mengambil pelajaran penting bahwa setiap tindak pidana yang melanggar peraturan hukum akan dikenakan sanksi. Hal ini lebih dipertimbangkan demi ketertiban sosial dan keharmonisan bersama dalam pranata sosial.

C. Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jenis Dan Macam-Macamnya

Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang tercantum dalam KUHP Pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:37

35

. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. H. 107.

36

. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-5 h. 4.


(34)

1. Pidana pokok a. Hukuman mati b. Hukuman penjara c. Hukuman kurungan d. Hukuman denda e. Hukuman tutupan 2. Pidana tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim

Hukuman Pokok 1. Hukuman mati

Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan dengan mengambil jiwanya pelaku yang melanggar undang-undang pidana. Hukuman mati biasanya digelar di lapangan yang luas dan dapat dilihat oleh masyarakat dari berbagai tempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang melihat hukuman mati tidak melakukan perbuatan kejam yang akan mengakibatkan dijatuhkannya hukuman mati. Mengutip pendapat Mr. JE Jonkers, Wirdjono Prodjodikoro mengemukakan ada empat golongan kejahatan dalam KUHP diancam dengan hukuman mati, yaitu:

37

. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bumi Aksara, Jakarta 1999), Cet. Ke-20, h.5-6.


(35)

a. Kejahatan berat terhadap kemanan negara (Pasal 130, 105, 111 ayat 2, 124 ayat 3, 129

b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).

c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (Pasal 365 ayat 4, dan Pasal 368 ayat 2).

d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi laut, dalam air surut, dan perampokan di sungai, dilakukan dalam keadaan tersebut (Pasal 444).

Pelaksanaan (eksekusi) hukuman mati sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 KUHP berbunyi: “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.

2. Hukuman penjara

Kedua hukuman ini sama-sama menghilangkan kemerdekaan seseorang untuk sementara waktu atau seumur hidup. Perbedaan yang sangat jelas adalah hukuman penjara dijatuhkan karena tindak pidana berat, sedangkan hukuman kurungan dijatuhkan pada tindak pidana ringan. Perbedaan-perbedaan pokok hukuman penjara dan kurungan adalah sebagai berikut:38

38

. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989, Cet. Ke-6. 169.


(36)

a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun, maksimum lima belas tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak pidana, recidive, atau dalam berlakunya Pasal 52 KUHP (Pasal 12 ayat 3). Menurut Pasal 18 ayat 1 KUHP, lamanya hukuman kurungan (hectenis) adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dengan kemungkinan maksimum satu tahun empat bulan dengan aturan-aturan yang sama (Pasal 18 ayat 2).

b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan diberi pekerjaan ringan.

c. Menurut Pasal 21 KUHP, orang hukuman kurungan harus dijalani dalam daerah propinsi (gewest) tempat si terhukum berdiam.

d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang.

Sedangkan persamaan dari hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah sebagai berikut:39

a. Menurut Pasal 20 KUHP dalam putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara atau kurungan selama tidak lebih dari satu bulan, dapat ditentukan bahwa kepada mereka oleh jaksa dapat diizinkan, di luar jam-jam bekerja pulang ke rumah masing-masing.

39


(37)

b. Tidak boleh bekerja di luar tembok rumah-rumah penjara, yang sekarang dinamakan rumah-rumah pemasyarakatan, yaitu:

1) Orang-orang yang dipenjara seumur hidup 2) Orang perempuan

3) Orang yang mendapat sertifikat dokter

c. Menurut Pasal 26 KUHP, apabila menurut hakim alasan berdasarkan atas keadaan pribadi atau keadaan kemasyarakatan, maka dapat ditentukan bahwa kepada seorang hukuman penjara atau kurungan tidak diberi pekerjaan di luar tembok rumah-rumah pemasyarakatan.

3. Hukuman tambahan

Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah dari hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahan. Misalnya seorang yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputuskan dengan hukuman penjara dan dicabut hak pilih maupun hak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum berpendapat sub-sub sistem hukuman di atas sederhana. Sifat kesederhanaan ini terletak pada gagasan, bahwa berat ringannya hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu tindak pidana.

Mengenai sistem hukum ini Wirdjono Prodjodikoro berpendapat dalam menentukan suatu hukuman harus berhati-hati dalam menyesuikan system hukuman di Indonesia yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman,


(38)

selama belum ada system yang baik dan benar sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia, kiranya dipertahankan system seperti ini.40

D. Pencemaran Nama Baik Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif

Di Amerika dan di Ingris dikenal istilah “defarmation” (dari kata kerja to defame yang artinya Menghina, menista) to defame bisa diartikan (merusak atau menodai reputasi seseorang ataupun sekelompok orang dengan cara-cara yang tidak baik seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta).41

Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis).42

Dalam pebuatan defarmation, suatu pernyataan dipermasalahkan karena di pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik seseorang.

Masalah libel sebenarnya mempunyai sejarah ribuan tahun, tepatnya pada kerjaan romawi. Tatkala itu dikenal dalam bahasa latin yang disebut libelli famosi yang berarti publikasi yang bersifat menghina dengan tujuan merusak pribadi seseorang. Pada awal era republik Roma, penguasa membuat suatu peraturan perundang-undangan yang disebut “Twelve Table”. Dengan undang-undang ini,

40

. Wirdjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 163.

41

. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, (Jakarta: Rika Pres, 2005), h.27.

42


(39)

siapa saja yang terbukti membuat tulisan yang bersifat menghina dapat dikenakan hukuman sangat berat ketentuan ini, menurut sejarawan kenamaan Romawi, Tacitus, tidak dijalankan lagi pada tahun-tahun akhir republik Roma.baru masa kekaisaran Agustus (63 SM), peradilan terhadap pelaku libelli famosi dilakksanakan lagi.43

Setelah mendapatkan bisikan dan sejumlah pembantu dekatnya tentang adanya undang-undang anti penghinaan, Kaisar Agustus segera memerintahkan supaya semua barang cetakan yang bersifat menghina dibakar dan sebagian pengarangnya diadili. Salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut, menyatakan pengarang Libellus FamosiI harus dikutuk (intestabillis). Hukuman mati bukan saja dikenal kepada pembuatnya, tapi juga mereka yang terbukti telah menyimpannya, atau mereka yang tidak segera memusnahkannya setelah mendapatkannya.44

Raja-raja yang berkuasa di Eropa, khususnya Jerman, setelah kerajaan Romawi runtuh, juga mengikuti tradisi kaisar Romawi, yaitu menjatuhkan hukuman keras terhadap mereka yang tidak percaya pada Tuhan, atau menganjurkan pandangan yang bertentangan dengan pendapat penguasa, atau menghasut rakyat untuk memberontak. Raja Konstantinus Agung, misalnya, mengeluarkan titah yang melarang beredarnya tulisan tulisan Porphiry dan Anus. Raja Accadius memerangi buku-buku Eunomian (tahun 398) dan Raja

43

. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik…, OP. Cit, h. 27.

44


(40)

Theodosius memberangus kaum Nestorian (tahun 435). Raja Justinian malah memimpin langsung gerakan penghancuran atas karya-karya tulisan yang bernada menghina terhadap kekuasaan. Para paus di Roma juga bertindak sama. Mereka mengklaim mempunyai kewenangan untuk mengawasi publikasi yang berisikan ajaran agama Kristen. Kewenangan itu malah menambah ke universitas-universitas. Paus Leo I membakar buku-buku Manichaean (tahun 446)

Semua itu terkait dengan isu penghinaan dan fitnah. Artinya, buku-buku itu tulisan yang dilarang, kemudian dimusnahkan, dinilai oleh penguasa berisikan ajaran-ajaran sesat yang meracuni penduduk.45

Sedangkan di Indonesia istilahlah pencemaran nama baik menurut KUHP “menyerang kehormatan orang lain” istilah ini baru muncul sekitar pertengahan tahun 70-an.

Jika kita simak rekaman delik-delik pers yang terjadi pada dekade tahun 50-an, misalnya , istilah yang paling sering dipakai adalah”menghina”, disusul dengan istilah “memfitnah”. Misalnya, Menteri tenaga kerja dan pekerjaan umum pada pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Ir H. Loah, pernah menggugat Ny. Fuhri Mierop (Pemimpi redaksi Nieve Courant di Surabaya).46Menteri menggugat suatu berita yang dipublikasi di Koran yang dianggap menghina martabatnya. Pengadilan Surabaya mengabulkan gugatan Ir.

45

. Ibid, h. 28.

46


(41)

Laoh. Ny. Mierop dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 171 ayat (2) KUHP dan dihukum denda sebesar Rp. 200,- subsider kurungan badan 3 minggu.

Pasal 171 ayat (2) KUHP dicabut pada tahun 1946, diganti dengan UU no. 1 tahun 1946 yang dalam pasal XIV berbunyi:

Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pembertahuan itu adalah bohong, dihukum penjara selama 3 tahun.

Di Banjarmasin, pada triwulan ketiga 1953, para anggota redaksi dua surat kabar ditangkap karena artikel-artikel yang dianggap menghina para pejabat setempat.47 Asnawi Musa, pemimpin redaksi Tekad dipenjara selama beberapa hari, sementara menunggu sidang pengadilan. Pemimpin redaksi yang lain, A. Djohansjah dari Tugas, dikenai hukuman kerja keras bersama para narapidana biasa. Namun, Djohansjah kemudian dibebaskan setelah timbul protes dari kalangan pers.

Baru-baru ini kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh dua anggota ICW (Indonesia Corruption Watch) yakni Lilian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Keduanya dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap pejabat negara Kejaksaan Agung. Kasus itu bermula saat peringatan Hari

47

. Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers, 1990), h. 140-141.


(42)

Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember 2008. Kejaksaan Agung mengklaim telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 8 triliun dan 18 juta dolar Amerika Serikat dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam rentang waktu 2004-2008.

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ICW merilis data tandingan bahwa uang yang diselamatkan instansi kejaksaan hanya Rp. 382,67 juta, sedangkan sisa dari jumlah yang diklaim Kejaksaan belum dikembalikan ke kas negara. Oleh karena itu, KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi di Jateng yang tergabung dalam Cintai Indonesia Cintai KPK Jawa Tengah meminta agar Kapolri segera mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) atas kasus tersebut.

Jika mengacu pada Pasal 311 KUHP Tentang Pencemaran Nama Baik, tidak bisa dikenakan dalam kasus ini, sebab unsur dalam pasal tersebut mengacu pada Pasal 310 KUHP. Di mana unsur Pasal 310, 311-316 KUHP hanya bisa dikenakan terhadap seseorang atau individu bukan institusi atau organisasi.48 Dan pada akhirnya kasus tersebut ditutup.

Delik penghinaan, secara khusus, diatur dalam Bab XVI kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 310 sampai Pasal 312. Tindak kejahatan “penghinaan”, menurut R. Soesilo adalah

48

.http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_ Pengalihan_ Isu


(43)

“menyerang kehormatan nama baik seseorang”. Akibatnya , yang diserang merasa malu “kehormatan” yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan “kehormatan dalam lapangan seksual” atau kehormatan yang dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang dalam bidang seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk pada kejahatan “kesopanan” atau kejahatan “kesusilaan” yang diatur dalam Pasal 281 sampai Pasal 303 KUHP.49

Soesilo membagi kejahatan penghinaan dalam 6 kategori: 1. Menista Dengan lisan (Pasal 310):

Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

2. Menista dengan tulisan (Pasal 310):

a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan di tempat umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara

49

. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, (Bogor: poleteia, 1990), h.225


(44)

lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHP 134 s, 142 s, 207,311 s, 319 s, 483, 488)

3. Memfitnah (Pasal 311):

a. Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 35 No.1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488).

4. Penghinaan ringan (Pasal315):

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan seseorang baik di tempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitu pun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau


(45)

denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (KUHP 134 s, 142 s, 310, 316, 319, 488)

5. Mengadu dengan memfitnah (Pasal 317):

a. Barang siapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam (Pasal 35, No. 1-3 KUHP 72 220, 310, 488).

6. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318):

a. Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan suatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada Pasal 35 No 1-3 (KUHP 319, 488).50

Unsur-unsur kejahatan menista seperti diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) adalah:

1. Menuduh seseorang.

2. Melakukan perbuatan tertentu.

50


(46)

3. Dengan maksud.

4. Tuduhan itu tersiar untuk diketahui banyak orang.

Sedangkan unsur-unsur kejahatan menghina seperti diatur dalam Pasal 310 ayat 2 (dua) adalah semua unsur yang terdapat pada tindak kejahatan menista ditambah satu unsur lagi, yaitu “tuduhan itu diketahuinya tidak Benar” Artinya , ada kesengajaan menista.51

Dari yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat bahwa salah satu kunci perbuatan mencemarkan nama baik adalah reputation. Menghina atau merusak, menodai reputasi, atau nama baik atau nama baik seseorang atau sekelompok orang dengan tidak Fair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Yang ada dalam masyarakat terhadap seseorang reputasi atau nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang. Maka jika kepribadian seseorang yang positif dihadapkan dengan stigma buruk, ia akan merasa malu dan tersinggung.

Reputasi seseorang bisa baik bisa buruk, yang menentukan baik-buruknya reputasi seseorang adalah masyarakat. Maka setelah nama baik seseorang tercemar si pembuat dikenai hukuman pidana yang tertera dalam KUHP BAB XVI Tentang Penghinaan.

51


(47)

BAB III

PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jinayah dan Jarimah

Dalam kaidah hukum Islam, pengertian pidana termuat dalam Fiqh Jinayah. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, Negara, tatanan hidup dan lingkungan hudup. Di sinilah letaknya agama Islam sangat menghomati dan mengakui keberadaan manusia dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.

Dalam mempelajari fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dulu harus dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu, keduanya berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru.

Abdu Qodir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-jinai Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i menjelaskan arti kata jinayah sebagai berukut:52

52

. Abdul Qodir Audah, At- Tasyri Al-jinai Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i, (kairo mesir, 1968), Juz 1 h. 67


(48)

ﻥ !" #$ %&

' "

( ) #$

*

+ ,

-Artinya: “jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu pebuatan yang diharamkan syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, atau sebagainya.”

Pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau dosa. Maka jarimah adalah:53

. /'0)

1)ﺏ 3 " 4 ﺝ6 "

*

7$ﺕ

Artinya: “larangan –larangan syara (yang apabila dikerjakan) diancam Allah SWT. Dengan hukuman Had atau Ta’zir.”

Dalam hukum pidana Islam, apa yang mendorong untuk menganggap sesuatu sebagai jarimah ialah kerena perbuatan itu dapat merugikan tata aturan masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan anggota-anggota masyarakat bendanya atau nama baiknya atau perasaan-perasaannya atau ketimbang lain yang harus dihormati dan dipelihara.

Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam, dibagi menjadi tiga yaitu:54

1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat menghukuminya (rukun syar’i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini disebut juga dengan unsur formil.

53

. Ibid, h. 66

54

. Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, (bandung: Penerbit Angkasa, 1993), Cet. Ke-2. h. 81.


(49)

Adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya sesuai dengan kaidah ushul fiqh:55

9

9 : #

)ﺕ !" # 1 (';

ﺏ<

Artinya: “Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya.”

=ﻥ ﺏ ﺏ';"<

ﺝ <

Artinya: “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan)”

2. Melakukan pebuatan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan pebuatan atau tidak melakukan pebuatan (rukun madi). Dalam perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.

3. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertnggung jawab atas tindakan pidana itu. (rukun adabi). Dalam perundang-undangan kita disebut dengan unsur moril.

Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Di samping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak tedapat pada jarimah yang lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.56

55

. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h. 52.

56


(50)

B. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Jarimah

Pidana itu dapat dikatagorikan menjadai beberapa macam tergantung kepada sudut pandang kita terhadapnya. Tapi penulis mencoba menjelaskan pidana berdasarkan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan pembuat . berikut penjelasannya:

1. Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud. Ada beberapa poin penting di dalam menegakkan pemidanaan dalam jarimah hudud, yaitu:

a. Asas legalitas, di mana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash yang melarangnya. Ini disebabkan agar ketika seseorang pembuat perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya di masa lalu yang ditetapkan sebagai jarimah di kemudian hari.

b. Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh kehati-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keragu-raguan (syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Di sini berlaku kaidah “Adlaruuatu Tubiihu Al-Mahdzuraat” (keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang), di mana terjadi delimatis akibat dari kergu-raguan timbul.

c. Prinsif pembuktian yang akurat, prisif ini menjamin bahwa penjatuhan atas pidana hudud benar-benar tepat sasaran, yakni memang mengenai


(51)

orang yang memang layak maendapatkannya. Pembuktian merupakan aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil ketika si pembuat dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas perbuatan yang dilakukan.57

Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud:

a. pidana Zina

1) Unsur-Unsur Zina

a) persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat diukur, apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji (pagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalang perasaan dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu tetap dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang bukan miliknya atau bukan pasangannya yang sah.

b) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini

terpanuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) pedahal ia mengetahui bahwa wanita yang di setubuhi adalah wanita yang haram baginya.58

2) Bentuk Pidana Zina

57

. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008), h. 123-125.

58


(52)

a) Pidana dera, pidana dera sebanyak sertus kali diancam atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ghair muhsan (belum kawin). Ketentuan ini didasarkan pada firman allah SWT dalam surat An-nur Ayat 2:

!"

#$

%

$

&'(

)*

+

,

- . 

 1

2

3 4

5

657

8

9:

;

<

!= >?

(;@? $!

9:

+

BC@

D

EFGHI

J 8D

1

K (

2 KLM:

N

HO

#$

(5P

?

$!  D

>

/'

/

?@

A

@

B

Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu berman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman.” (Q.S.An-nur/ 24 : 4)

b) Pidana pengasingan (tagrib), hukuman pengasingan ini dikenakan

selama satu tahun selain nukuman jilid kepada pembuat zina ghair muhsan (belum kawin).

c) Pidana rajam, pidana rajam adalah pidana mati dengan jalan dilempari dengan batu. Dan yang dikenakan adalah pembuat zina


(53)

muhsan (telah menikah), baik laki-laki maupun perempuan. Apabila perbuatan zina antara laki-laki yang muhsan (telah menikah) dengan perempuan yang ghair muhsan (belum kawin). Maka bila laki-laki berlaku pidana rajam. Sedangkan untuk perempuan berlaku pidana dera. Demikian pula bila terjadi sebaliknya.59

b. Pidana Qazaf (menuduh orang berzina)

Pidana qazaf dikenakan hukuman dera sebanyak 80 kali, dan tidak diterima persaksian pembuatnya (hukuman tambahan). Hukuman tersebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan, akan tetapi jika berisi kebenaran maka qazaf dapat di buktikan, dengan cara-cara sebagai berikut:

1) Dengan saksi, saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qazaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina. Yaitu: balig, berakal, dapat berbicara, adil, Islam, dan tidak terhalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi kurang lebih empat orang.

2) Dengan pengakuan, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa dia telah menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.

59

.Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam. (Bandung: Bulan Bintang, 2005), h. 197-199.


(54)

3) Dengan sumpah, menurut imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apanila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah: orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan.60

c. Pidana Syurbul Khamr (minum-minuman keras)

Jarimah khamr dijatuhkan pidana 80 kali dera. Namun pendapat imam Syafi’i, hukuman jarimah khamr adalah 40 dera sebagai hukuman had, sedang 40 kali dera lainnya tidak termasuk pidana had, melainkan sebagai pidana takzir. Di mana hukuman tersebut baru dijatuhkan bila dipandang perlu oleh hakim atau penguasa.

d. Pidana Sariqah (Pencurian)

Pencurian diancam potong tangan (dan kaki), sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 38. dan unsur-unsur dalam jarimah pencurian, adalah:

1) Pengambilan secara diam-diam 2) Barang yang diambil itu berupa harta 3) Harta tersebut milik orang lain 4) Adanya niat melawan hukum

e. Pidana Hirabah (perampokan)

60


(55)

Ada empat macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jarimah hirabah, yaitu:

1) Pidana mati, pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan

(pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Pidana tersebut adalah pidana had.

2) Pidana mati disalib, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan disertai dengan merampas harta benda. Jadi pidana tersebut dijatuhkan atas perbuatan membunuh dan mecuri secara bersama-sama.

3) Pidana pemotongan anggota badan, pidana ini dijatuhkan atas

pengganggu keamanan jika ia mengambil harta tetapi ia tidak melakukan pembunuhan. Pemotongan disini dilakukan dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri si pembuat secara sekaligus (selang-seling)

4) Pidana pengasingan, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu

keamanan hanya menkut-nkuti orang yang melintas tapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Mengenai cara lamanya pengasingan, menurut pendapat fuqaha sama dengan pengasingan dalam jarimah zina.


(56)

f. Pidana Riddah (murtad)

Hukuman bagi oarng yang melakukan Riddah ada tiga macam , Yaitu: 1) Pidana Pokok, pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati.

Ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.:61

C & " 4 DE/ F " ﺏG "

A

4 C' / C :

!

!" 4 D!

H

I'! & :

J C1ﺏ

>

I /

K/ L

B

Artinya: “dari ibnu ‘abbas ra berkata: bersabda Rosulullah SAW, barang siapa menukar agamanya, maka kamu bunuhlah dia”. (H. R. Al-Bukhari).62

Bahwasanya pidana mati adalah berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun prempuan, tua maupun muda. Akan tetapi sebelum melaksanakan pidana tersebut diberikan kesempatan bagi terdakwa untuk bertaubat ada tiga hari tiga malam.63 Dan taubatnya cukup dengan mengucapkan “dua kali syahadat”

2) pidana pengganti, pidana pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan, yaitu:

a) Apabila pidana pokok gugur akibat taubat, maka hakim mengganti dengan pidana Takzir yang sesuai dengan keadaan pelaku

61

. Ibid.

62

. Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Kitab Sahih Bukhori, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.th), Jilid 8. h 50.

63


(57)

perbuatan tersebut. Seperti: cambuk, penjara, denda, atau dipermalukan di depan umum.

b) Apabila pidana pokok gugur akibat syubhat, karena menurut pendapat Imam Abu Hanifah, seorang wanita dan anak-anakyang murtad tidak dihukum mati. Akan tetapi dipenjara dengan hukuman yang tidak terbatas dan keduanya kembali kepada agama Islam.64

3) Pidana Tambahan, pidana tambahan bagi orang murtad dengan cara penyitaan dan perampasan harta. Menurut Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i apabila seorang murtad meninggal atau dibunuh, maka hartanya menjadi milik bersama dan tidak boleh diwarisi oleh siapapun. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta tersebut boleh diwarisi yang beragama Islam.

g. Pidana Bughat (pemberontakan)

Jarimah pemberontakan dikenakan pidana mati, hukuman ini bersumber dari firman Allah SWT dalam surat Al-hujurat ayat 49. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena jika tidak demikian ditakutkan terjadi fitnah, kekacauan serta ketegangan yang akhirnya menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat.65

64

. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 130.

65


(58)

2. Pidana Kisas - Diyat. Yaitu pidana yang ditetapkan untuk jarimah kisas-diat yang oleh syariat Islam ada lima macam:

a. Kisas. Merupakan pidana bagi pembunuhan sengaja dan pencideraan

sengaja. Di mana cara pemidanaannya disamakan atau seperti seperti perbuatan jahat yang dilakukan oleh pembuatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah ayat 178-179 dan surat Al-maidah ayat 45. Sebagai contoh, jika sipelaku pembunuh maka pidana dibunuh dan bila ia mencederakan orang lain mak ia akan dicederakan.

Kisas merupakan bentuk pidana yang menawarkan keadilan sejati, di mana pembuat jarimah diberi balasan yang sesuai ataupun setimpal dengan perbuatan jahatnya. Ancaman pidana yang diterapkan pada qisas berupa pembalasan (prevention) sebagai ciri khasnya, memberikan daya cegah (prevention) dan efek jera (deterrent effect) yang luar biasa. Ada tiga sebab yang menggugurkan qisas, yaitu:

1) Hilangnya tempat atau objek qisas, yang dimaksud objek qisas di sini adalah jiwa pelaku (pembunuh) atau anggota badan pelaku yang sama dengan objek telah hilang. Di mana kehilangan tersebut dapat disebabkan berbagai sebab, seperti, sakit, musibah, hukuman. Apabila objek qisas tidak ada maka dengan sendirinya qisas gugur. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah wali korban atau korban mendapat diat. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, jika qisas gugur maka korban tidak mendapat diat, karena hak korban dalam qisas adalah bersifat asli. Sedang Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal berpendapat


(59)

bahwa jika hilangnya objek qisas maka korban berhak mendapat atau memilih diat, jika apapun sebab hilangnya objek qisas.66

2) pengampunan, korban atau walinya diberi wewenang atau hak untuk mengampuni pidana qisas. Maka ia memaafkan si pelaku maka gugurlah qisas tersebut. Pemberian apapun di sini bisa dengan Cuma-Cuma atau dengan membayar diat kepada korban atau walinya. Jika kondisi pada apapun dengan membayarkan diat, menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, bukan marupakan ampunan, melainkan akad damai karena ampunan tersebut membutuhkan kerelaan pelaku untuk membayar diat.

3) Akad damai atau perdamaian (shulh). Perdamaian yang dilakukan oleh

korban dengan pelaku dapat berlangsung, sehingga dengan demikian qisas menjadi gugur. Korban, atau walinya boleh meminta imbalan yang sama dengan diat atau lebih.

b. Diyat, yakni pidana berupa kewajiban membayar ganti rugi dengan besaran tertentu kepada pihak korban untuk kasus penganiayaan ataupun pembunuhan. Setatus diyat sendiri bisa merupakan hukuman pokok (main punishment) dan hukuman pengganti (substitutive punishment). Diat adalah pidana yang mempunyai satu batasan. Artinya hakim tidak berhak mengurangi atau menambahi jumlahnya. Diat itu merupakan hukuman untuk pembunuhan sengaja, pembunuhan serupa sengaja, pembunuhan

66

. Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At- Tastri Al-jinai Al-Islami Muqoronah Bilqonun Al-wad’i, Pengarang, Abdul Qodir Audah, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jilid 3, h. 64.


(60)

serupa sengaja dan pembunuhan salah, akan tetapi kadarnya berbeda. Pada umumnya diyat itu 100 ekor unta. Tetapi di dalam diyat dapat terjadi pemberatan dan peringanan, dan yang membedakan bukan jumlahnya tetapi macam dan umur unta tersebut. Pembedaan tersebut, disebut diyat mughalladzah (yang diperberat) bagi pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja dan diyat mukhaffafah (yang diperingan) diperuntukan pembunuhan tersalah.

c. Kaffarat, adalah pidana pokok berupa memerdekakan seorang hamba yang beriman. Apabila tidak ditentukan hamba dan tidak mempunyai sebanyak hamba tersebut, maka digantikan dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Pidana berpuasa tersebut sebagai pidana pengganti.

d. Pencabutan Hak mawaris, merupakan pidana tambahan bagi jarimah

pembunuhan, selain pidana pokoknya yaitu mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga. Dasar hukumnya adalah sabda Rasulullah SAW.:67

C & 3 " 4 E/ I1ﺝ " ﺏ* " M $

" "

A

!

!" 4 D! 4 C' / C &

H

#ﺕ ;

N O

>

D ; / 1

I /

B

Artinya: “dari ‘Amru ibni Su’aiba dari bapanya dari kakenya ra berkata: bersabda Rosulullah SAW, tidak ada bagian warisan sama

67


(1)

3. Agar polisi atau penyidik tidak bertindak semena-mena kepada terdakwa demi menjauhkan dari tindakan-tindakan kekerasan kepada tersangka agar tidak menimbulkan luka-luka.

4. Kepada penegak hukum agar memberi hak-hak tersangka kasus salah tangkap dengan seadil-adilnya demi mengangkat harkat martabat tersangka salah tangkap.


(2)

DAPTAR PUSTAKA

Dari Buku-Buku Al-qur’an Al-Karim

Abdul Quodir Audah. Al-tasyri’ al-Jinai’ al-Islami Muqaronah bi al-qonun al-Wad’i. Bairut. 1992

Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-Kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al-qorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005.

Abi Abdullah Muhammad bin Ismail A-bukhari, Kitab Sahih Bukhori, t.t.: Daran Nahra Al-naili, t.th, Juz- 4

Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

A. Jazuli. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Rajawali Pres. Jakarta 1997

Ahmad Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Bandung: Bulan Bintang 2005. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Ahmad Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung : Risalah, 1983. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Cet. Ke-2. Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986.

A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressido, 1983, Cet. Ke-1.

Barda Nawawi Arif. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003

Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Cet. Ke-1.

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju KepadaTiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap


(3)

Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Pranada Media, 2006.

Chazawi. Adami Drs. Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Jakarta, 2002, cet 1. Dikdik dan lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma

dan Reaita, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.

Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers, 1990), h. 140-141.

Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: tth. Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Ramadhani. Bandung 1975 I. N. Soebagio, Sejarah Pers Di Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977.

Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, tth, Judul Asli: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim Lin nisa.

Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, bandung: Penerbit Angkasa, 1993, Cet. Ke-2.

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1997 , Cet. Ke-1.

Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008. M. Husen, Harun. Surat Dakwaan Teknik penyusunan, fungsi, dan Permasalahannya,

Jakarta, Rieneka Cipta, 1994.

M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian A-Qur’an ,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet-8.

M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Terjemahan, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, Cet.5. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.

Alumni, 2005


(4)

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta 1999, Cet. Ke-20.

Nawawi. Taktik dan Strategi Membela Perkara Pidana. Jakarta, Fajar Agung, 1986. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), Bandung: CV. Pustaka Setia,

2000, Cet. Ke-1.

R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996, Cet. Ke-4.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Bogor: poleteia, 1990.

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, Balai Lektur Mahasiswa, Tth.

Siswanto Sunarso. Wawwasan Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung, PT Citra Aditia Bakti. 2005. Cet ke 1.

R. Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP, Di Lengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet, Ke-9.

Sudirman Teba, Hukum Media Massa Nasional, Banten: Pustaka Irvan, 2007.

Taqiyudin Abu Bakar Al-Husaini.Kiayatul Ahyar. penrjemah: A. Zaidun. A. Ma’ruf Asrori. PT. Bina Ilmu.Surabaya 1997.

Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, Jakarta: Rika Pres, 2005.

P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: CV. Amrico, 1994, Cet. Ke- 4.

Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: PT. Eresco, 1989, Cet. Ke-6.

Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP, Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005.

Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990), Jilid-6.


(5)

Adapun dari Wabsites Atau dari Internet www.Google.com.

www.Yahoo.com. www.okezone.com. www.wilkypedia.com.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.me nghukum Senin 25 mei 2009

http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin25mei 2009

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/PncemaranNama.pdf

http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_Peng alihan_ Isu

http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/04/uqubah.html http://rubiatul.blogspot.com/2008/12/qadzaf.html

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_sect ion=kj073&idjudul=1990

http://soaljawab.wordpress.com/2007/11/03/hadis-ifki1-ujian-sedih-kepada-ummul-mukminin-aisyah-ra/

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587 http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10783

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154323/komnas-ham-bebaskan-korban-salah-tangkap

http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah. menghukum

http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/58/Salah-Tangkap_Hukum_yang_Salah-KaprahSalah-Tangkap Juga Dapat Dipidana!


(6)

http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangka p_ dan_Asas Legalitas

http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=50761