Daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan: kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh:

Zaki Tsani 105045101505

Konsentrasi Kepidanaan Islam Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(2)

iii

Ummi.... Aba....

Hanya tulisan seperti ini yang bisa aku persembahkan untuk Ummi dan Aba Walaupun tidak sesempurna yang lain, tapi... Inilah hasil buatan ku sendiri yang maksimal dari pendidikan ku selama ini Semoga kepuasan dan kebanggaan tercipta di hati Ummi dan Aba...

Do’a ku..semoga Ummi dan Aba selalu panjang umur

Sehat wal afial Dan dimurahkan rizkinya oleh

Ya... yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang... Berilah perlindungan dan ampunan serta kemurahan rizki Untuk Ummi dan Aba ku Kakak-kakak ku Adik ku Dan seluruh keluarga ku...


(3)

i

PERKOSAAN (KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 21 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….………)

: NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….………)

: : NIP: 197210262003121001

3. Pembimbing I : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum (..…....……….…………)

: : NIP. 196509081995031001

4. Pembimbing II : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…...…….…………) : NIP. 150326893

5. Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag (..…...…….…………)

: : : NIP. 197210101997031008

6. Penguji II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum (..…....……….…………)


(4)

ii

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuh Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Zaki Tsani 105045101505

Disetujui dan untuk dipertahankan di hadapan dewan penguji

Di bawah bimbingan: Pembimbing-I

Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. NIP. 196509081995031001

Pembimbing-II

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag NIP. 150326893

Konsentrasi Kepidanaan Islam Jurusan Syariah Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

iv

, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata-I di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat beserta salam tetap tercurah penulis sampaikan kepada Baginda Besar Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat, yang telah menyelamatkan umat manusia dari alam yang sesat ke alam yang penuh petunjuk, dari zaman jahiliyah ke zaman berbudi pekerti. Beliau telah menegakan hukum di tengah-tengah kaum yang zhalim, dan menyelamatkan dari azab dan siksa yang pedih.

Sehubungan telah selesainya penyusunan skripsi ini yang membahas tentang

“Daya Efek Jera Dari Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Asmawi, M.Ag., dan Afwan Faizin, MA., Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, yang banyak membantu penulis dalam penyelesaian kuliah, tidak lupa juga kepada Sri Hidayati, M.Ag., Mantan SekJur Jiyanah Siyasah.


(6)

v

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik penulis sejak awal kuliah hingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Kedua Orang tua ku (Ummi & Aba) yang terus menerus tiada bosan mendidik & membesarkan ku hingga sekarang ini.

6. Kakak dan Adik ku, Kak Wardah Balady, SE., Kak Nisyyah Balady, S.Ikom., dan Adiku Millaty ‘Ayny Balady, yang telah membantu penulis baik berupa material maupun dorongan moral, demi selesainya pendidikan ku dan selesainya penyusunan skripsi ini.

7. Zulhia Muslihah Ama, yang banyak memberikan support dalam semua hal demi selesainya pendidikan ku :-*...

8. Teman-teman Poppy Rocky, Faisal, Fadjar, Rudi, Luhur, Kahfi, yang banyak memberikan inspirasi dan pengalaman hidup yang banyak.

9. Teman-teman seperjuangan Pidana Islam 2005, Asharyanto, Yazid, Trezal, Sayidi, Nashori, Asep, Adi, Siti Widya, Dewi, Layla, Layli, Nafisah, Pipit, Rina, Yayah, Indah, Ifada, sukses buat kalian semua. Khususnya buat Syeh Jabil, bang Uci, Bang Fais al-Muchtar, Raizak, Lukman, Malik, Deni, Jaelani, kalian pasti bisa...!!!!


(7)

vi

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa, penulis sadar akan kekurangan, karya ilmiah ini tentulah tidak sempurna karena keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari pembaca, sehingga dapat menjadi masukan dan dorongan untuk penulis di kemudian hari.

Jakarta, 21 Februari 2011M

18 Rabi’ul Awal 1432H


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH……….. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Metode Penelitian... 11

E. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN... 17

A. Pengertian Tindak Pidana ... 17

B. Pengertian Perkosaan... 20

C. Sejarah Singkat Perkosaan... 24

D. Jenis-jenis Perkosaan... 26

E. Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan... 27

F. Korban Perkosaan... 29

G. Dampak Bagi Korban Perkosaan... 29


(9)

viii

POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM... 34

A. Pandangan Hukum Pidana Positif ... 34

B. Pandangan Hukum Pidana Islam... 38

BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN... 45

A. Pengertian Efek Jera dan Sanksi... 45

1.Efek Jera... 45

2.Sanksi... 46

B. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Positif... 48

C. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Islam... 55

D. Jumlah atau Besaran Mahar Sebagai Ganti Kerugian Kepada Korban Perkosaan Menurut Hukum Islam... 64

E. Manfaat Efek Jera... 67

F. Tingkat Kriminalitas Perkosaan Tahun 2003-2007……… 68

BAB V PENUTUP... 70

A. Kesimpulan... 70

B. Saran... 71


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesadaran hukum merupakan faktor yang penting dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, karena tanpa adanya kesadaran hukum sangatlah mustahil dapat ditegakkannya hukum dan keadilan.

Kejahatan merupakan masalah sosial dan pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasinya. Salah satu cara yang dapat mencegah dan mengendalikannya adalah dengan menggunakan hukum pidana yang sanksinya berupa pidana. Hukum pidana sering disebut sebagai hukum dengan sanksi istimewa karena hukum pidana mengatur tentang perbuatan apa yang diancam pidana serta di mana aturan pidana itu menjelma.1

Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau di televisi diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat

1

Amdi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, Cet.II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.11.


(11)

walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.2

Dewasa ini kasus perkosaan kerap kali terjadi, baik itu perkosaan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Mirisnya lagi, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang atau ayah terhadap anaknya. Masalah seperti ini sudah sepatutnya ditinjau kembali. Perlu adanya pembaharuan hukum yang maksimal hingga seseorang merasa takut atau setidaknya berfikir kembali untuk melakukan perbuatan pidana.

Bagaimana tidak, dalam KUHP Indonesia tindak pidana perkosaan hanya diancam dengan hukuman paling lama 12 tahun. Itupun paling lama, belum lagi adanya pengurangan-pengurangan hukuman dan lain sebagainya. Padahal kalau ditinjau dari segi sosiologis dan psikis, perkosaan sangatlah berdampak buruk

2

Ira Dwiyati, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Tesis S2 Sistem Peradilan Pidana, Megister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2007), h.16.


(12)

dan fatal bagi si korban ataupun keluarganya. Korban akan mengalami gangguan jiwa dan mental yang besar dan berkepanjangan, sedangkan keluarga turut menanggung malu akan keadaan si korban.

Dengan menjatuhkan hukuman, pelaku kejahatan sekurang-kurangnya dihambat untuk melakukan kejahatan. Pengalaman penderitaan akibat hukuman dapat membuatnya jera untuk mengulangi kejahatannya (special deterrence). Hukuman bahkan dapat menciptakan efek jera bagi pihak lain (publik) sehingga kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara umum dapat ditekan atau dikendalikan.3

Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.4

Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tetapi kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan

3

Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, artikel diakses pada 02 Oktober 2010 dari http://www.books.google.com, h.108.

4

Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.81.


(13)

Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan

perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Di dalam hukum Islam memang tidak ada ketentuan khusus yang membahas tentang masalah tindak pidana perkosaan. Namun, jika kita lihat definisi dari perkosaan itu, sepintas hampir menyerupai definisi zina. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.5 perbedaannya terletak pada kekerasan dan ancaman kekerasan. Dari definisi tersebut perkosaan tergolong kepada jarimah takzir karena tidak memenuhi unsur-unsur jarimah zina.

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam kasus perkosaan seperti ini yang dalam hukum Islam tergolong kepada jarimah takzir dan hukum Islam memberikan hukuman yang berat bagi pelaku perkosaan, karena secara tidak langsung pelaku telah berzina dengan menyebabkan korban yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Oleh sebab itu, hukuman yang ditetapkan sangat berat, bahkan bisa mencapai hukuman mati.

5

Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: hlm. 109


(14)

Firman Allah SWT dalam surat an-Nuur ayat 2:

                                       

/

:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nuur ayat 24:2)

Hadits Rasulullah SAW ke-1232 dalam Tarjamah Bulughul Maram:6

”Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: “Rasulullah bersabda : Terimalah (hukum) dariku, terimalah (hukum) dariku, sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada kamu jejaka dan gadis yang berbuat zina (hukuman) seratus kali dera dan pengasingan satu tahun dan laki-laki yang telah kawin dengan wanita yang telah kawin (hukumannya) dera dan rajam.” (HR. Muslim)

Ayat dan Hadits di atas merupakan ketentuan hukum pidana Islam untuk jarimah zina. Karena perkosaan hampir serupa dengan zina maka penulis merujuk kepada ayat dan hadits di atas sebagai tolak ukur takzir untuk tindak pidana perkosaan. Zina di lakukan tanpa adanya paksaan, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan hukuman yang berat, bagaimana mungkin perkosaan yang di dalam unsurnya terdapat kekerasan dapat dihukum lebih ringan. Dalam

6

Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002), h.550.


(15)

pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum (dan kriminologi), sanksi itu dapat dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain (bersifat fisik dan personal).7

Sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak atas manusia. Karena hukum pidana Islam hanya dipelajari secara parsial, belum menyeluruh sehingga menimbulkan persepsi bahwa dera, rajam, dan lain sebagainya adalah hukum yang tidak berperikemanusiaan. Hukum pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam sendiri. Masyarakat umum hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi hukum pidana Islam, bila dilaksanakan kejam dan mengerikan.

Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan seperlunya sampai diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang


(16)

akan dapat memberikan sumbangan positif bagi perkembangan hukum di Indonesia.

Sering kita dengar pelaku tindak pidana yang telah tertangkap lalu diberi pidana, baik itu berupa penjara, kurungan, denda, bahkan sampai pidana mati. Namun, bisa kita perhatikan hukuman-hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku tindak pidana malah bukan membuat jera para pelaku, tetapi membuat pelaku menjadi semakin membabi buta dan menjadi pelajaran buruk bagi yang belum pernah berbuat pidana untuk melakukan pidana. Dari kejadian seperti itu timbulah pertanyaan, apakah sistem hukum kita yang kurang baik karena banyaknya makelar-makelar kasus di peradilan? Atau karena kesadaran mayarakat yang masih minim? Atau mungkin hukuman yang kurang setimpal dengan perbuatan dan tidak menciptakan efek jera, sehingga membuat para pelaku meremehkan hukuman yang diberikan hakim.

Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan hingga seorang pelaku tindak pidana tidak juga merasa jera untuk melakukan kejahatan yang berikutnya. Namun, Salah satu tujuan dari pemidanaan kepada pelaku tindak pidana adalah diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie,),8 sehingga tidak menjadi pelajaran

8

Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.4.


(17)

buruk bagi yang belum pernah melakukan tindak pidana sampai melakukan tindak pidana karena melihat hukuman yang begitu ringan dengan kejahatan yang akan dilakukan.9

Hal inilah yang menjadi dorongan pada penulis untuk menulis skripsi tentang daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil judul Skripsi: Daya Efek Jera Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif).

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Karena semakin banyaknya kasus tindak pidana perkosaan, yang dilakukan oleh terpidana lama maupun terpidana baru yang dewasa ini kian muncul di Negara Indonesia, seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, padahal pemerintah sudah sedemikian rupa membangun dan membentuk hukum demi kenyamanan dan ketenteraman masyarakat, namun sepertinya ada beberapa masalah yang harus dibenahi atau ditinjau kembali jalan keluarnya. Tindak pidana perkosaan bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat umumnya, tindak pidana seperti ini sudah ada sejak dahulu. Berbagai macam modus operandi yang

9

Hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan, sehingga pelaku menganggap hukuman tersebut biasa saja, tanpa ada rasa takut untuk di hukum kembali dan mengulangi perbuatannya lagi. Dan orang lain yang tidak melakukan perbuatan pidana melihat hal tersebut malah merasa ingin melakukan pidana, karena kenyataan yang mereka lihat pelaku-pelaku pidana yang telah divonis dan diberi hukuman yang di putuskan majelis hakim sepertinya tidak membuat para pelaku kejahatan jera atau hingga tidak mengulanginya lagi.


(18)

dilakukan pelaku berbagai macam. Masalah yang dialami sistem hukum pun berbagai macam, dari proses penyidikannya, proses pembuktiannya, sampai dengan proses pengadilan dan putusannya. Oleh karena banyaknya permasalahan dan dikhawatirkannya pembahasan melebar atau terjadi kesimpang siuran pembahasan, maka masalah akan dibatasi dan dirumuskan sebagai berikut: 1. Penulisan skripsi ini akan membahas seputar tindak pidana perkosaan

perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

2. Membahas kekuatan efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

Dari pembahasan di atas munculah beberapa permasalahan dan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang tindak pidana kejahatan perkosaan?

2. Apa sanksi yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam dan hukum pidana positif kepada pemerkosa?

3. Apa efek jera yang ada pada sanksi-sanksi yang ditetapkan? 4. Apa manfaat dari efek jera bagi pelaku, korban, dan masyarakat?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari tujuan penulis, beberapa tujuannya adalah sebagai berikut:


(19)

1. Untuk mengetahui kuatnya efek jera dari sanksi pidana perkosaan yang diatur di dalam KUHP Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

2. Untuk mengetahui perbandingan kekuatan efek jera dari sanksi pidana perkosaan antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

3. Mengetahui dampak kekuatan efek jera dari sanksi tindak pidana perkosaan khususnya bagi terpidana dan umumnya masyarakat luas.

4. Memperdalam Ilmu Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif terutama pada tujuan pemidanaan.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaharuan hukum di Indonesia, yang ketentuannya berdasarkan KUHP peninggalan Belanda tidak harus mendasarkan pada konsepsi-konsepsi hukum Barat, melainkan kita juga dapat merujuk dari hukum pidana Islam yang saat ini sudah banyak dipelajari dan dipahami oleh masyarakat Indonesia.

2. Secara praktis, Hasil penelitian yang berfokus pada kekuatan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya menciptakan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. Selebihnya, semoga menjadi bahan pertimbangan hukum di Indonesia dalam memutuskan perkara dan memberikan hukuman dengan seadil-adilnya hingga menciptakan efek jera


(20)

bagi pelaku kejahatan perkosaan terlebih yang banyak meresahkan dan merugikan masyarakat luas.

D. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan digunakan adalah: 1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif untuk menemukan kaidah-kaidah dan norma-norma hukum yang merupakan kebijakan hukum pidana dalam menetapkan sanksi kejahatan perkosaan, melakukan penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dipergunakan terdiri dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa dokumen atau risalah perundangan, konsep (rancangan) undang-undang, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah para ahli serta ensiklopedi. 3. Metode Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, oleh karena itu dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Pengumpulan data


(21)

dalam penelitian ini dengan menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka, terhadap data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier:

a) Bahan hukum primer yang dipergunakan adalah:

Bahan-bahan yang mengikat terdiri dari, al-Qur’an dan al-Hadits, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b) Bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah:

Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum seperti, karya tulis, tesis, disertasi, ensiklopedi, dan wacana dari para ahli yang berhubungan dengan ilmu hukum Islam dan hukum positif pada pembahasan mengenai pemidanaan.

c) Bahan hukum tersier yang dipergunakan adalah:

Bahan-bahan bacaan yang membantu dan memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa Indonesia, internet, buku-buku tentang tata cara dalam melakukan penelitian hukum dan penulisan karya ilmiah serta hand-out yang dibuat atau dijelaskan oleh pemberi kuliah.


(22)

4. Tehnik Pengolahan Data

Pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi. Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian normatif, pada skripsi ini meliputi:

a. Menarik asas-asas hukum: dilakukan terhadap hukum positif tertulis dan tidak tertulis serta hukum Islam. Permasalahan yang muncul berkisar pada dari manakah asas-asas hukum tersebut berasal, atau hal-hal apa yang mempengaruhi adanya asas-asas hukum tersebut.

b. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan: mengumpulkan peraturan di bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan yang menjadi pusat perhatian penelitian. Selanjutnya diadakan analisa dengan mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup: subyek hukum; hak dan kewajiban; sejarah hukum; hubungan hukum; dan, obyek hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkhronisasi dari peraturan perundang-undangan: dilakukan dengan dua titik tolak taraf sinkhronisasi vertikal (berdasarkan hierarki) dan horisontal (peraturan setara yang mempunyai hubungan fungsional), adalah konsisten.

d. Perbandingan hukum: menelaah dan membandingkan antara hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam, sehingga dapat diketahui


(23)

perbedaan pandangan, kekuatan hukum, serta sanksi yang diberikan kepada terpidana.

e. Sejarah hukum: menelaah hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya, dari sudut sejarah. Peneliti dapat menjelaskan perkembangan dari bidang hukum yang diteliti. Kegunaan dari penggunaan metode ini adalah mengungkapkan fakta hukum masa lampau dan hubungannya fakta hukum pada masa kini.

5. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan cara deskriptif analisis. Penelitian ini bermaksud menggambarkan data yang diperoleh dan memberi penjelasan terhadap data yang ada, sehingga dapat memberikan argumentasi tentang daya efek jera dari sanksi kejahatan perkosaan.

Sesuai dengan data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang kemudian dianalisa, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan khususnya mengenai daya efek jera pada sanksi pidana yang ditinjau dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.


(24)

E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Bab ini menjelaskan pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan, sejarah singkat perkosaan, jenis-jenis perkosaan, unsur-unsur tindak pidana perkosaan, korban perkosaan dan dampak bagi korban perkosaan, dijelaskan juga dampak medis, sosial, dan psikis.

BAB III PERKOSAAN DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Bab ini menjelaskan seputar pandangan mengenai perkosaaan yang ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA PERKOSAAN

Pada bab ini secara singkat dijelaskan pengertian dari efek jera, dan sanksi. Selain itu penulis menjelaskan sanksi yang diberikan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terhadap pelaku perkosaan, dan


(25)

bagaimana kekuatannya. Dijelaskan juga ganti rugi untuk korban perkosaan menurut hukum pidana Islam, dan sedikit manfaat dari efek jera.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang berisi kesimpulan dari uraian yang telah dibahas berikut saran-saran yang diberikan oleh penulis.


(26)

BAB II

TINDAK PIDANA PERKOSAAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam

Wetboek van Strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit.1

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Sedangkan Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno

berpendapat “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan” 2

Hazewinkel-Suringa seperti dikutip oleh Lamintang mengartikan

Strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu

telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”. Dalam buku yang sama Profesor Pompe menyebutkan bahwa Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan

1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 67.

2


(27)

terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.3

Menurut hukum Islam, pidana adalah terjemahan dari kata Jinayat. Jinayat adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-Qur’an dan Hadits.4

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jinayat adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jiwa dan anggota badannya, yaitu pembunuhan, pelukaan, pemukulan, penjerumusan. Sebagian fuqaha lain mengatakan bahwa jinayat adalah perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh syara’ mengenai jarimah hudud dan qishas diyat.5

Kejahatan (jarimah/jiyat/dam) didefinisikan oleh Abd al-Qadir Audah sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya berakibat pada hukuman yang ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak

3

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 181-182

4

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86.

5


(28)

melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.

Definisi kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat. Singkatnya, jika komisi atau omisi dari suatu perbuatan tidak membawa kepada hukuman yang ditentukan, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan dalam syariat tidak memiliki perbedaan yang jauh.

Para ahli hukum menggunakannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau qishash.

Bilamana syariat menyatakan suatu perbuatan sebagai kejahatan dan mengancamnya dengan hukuman? Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima. Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan sehingga orang akan menahan diri dari hal itu, karena dengan


(29)

semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan

hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti yang legal untuk kepentingan publik. Syariat menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.

B. Pengertian Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi.6 Pada zaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang isteri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.7

Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.

6

Haryanto, Dampak sosio-psikologis korban tindak perkosaan terhadap wanita,

(Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997) dalam Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.3.

7

Wignjosoebroto, Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu- Ilmu Sosial, Kejahatan dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, ed., Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997) ibid., h.4.


(30)

Menurut Warshaw (1994), definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan.

Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.8

8

Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), ibid., h.5.


(31)

Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:

1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.

2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur-unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.

3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan isterinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.

Perkosaan adalah suatu bentuk pernyataan akan adanya dominasi, kekuatan dan penghinaan.

Rape is also a crime of extreme violence. It is an expression of dominance, power and contempt, a rejection of the woman’s right to self determination ,


(32)

a denial of heir being. Rape is not passion or lust gone wrong. It is first and foremost an act of aggresion with a sexual manifestation.9

(perkosaan juga merupakan tindak pidana kekerasan ekstrem. Itu adalah ekspresi dari dominasi, kekuasaan dan penghinaan, penolakkan terhadap wanita untuk menentukan nasib sendiri, penyangkalan terhadap dirinya. Perkosaan adalah gairah atau nafsu yang tidak beres. Pertama-tama dan terutama dan bertindak agresif dengan manifestasi sexual).

Di dalam Hukum Pidana Islam jangankan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bersetubuh di luar pernikahan saja sudah tergolong hadd

zina, apalagi disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.10 Di dalam hadits Rasulullah SAW yang

diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bisa dikatakan zina jika seseorang telah

terjadi penetrasi kelamin laki-laki ke dalam vagina perempuan.

Hadits Rasulullah SAW dalam Tarjamah Bulughul Maram Hadits ke 1234:

“Dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata: Tatkala datang Ma’iz bin Malik kepada Rasulullah (dan mengaku berzina) ia bersabda kepadanya: “Barang kali

engkau cium atau engkau remas atau engkau lihat?” ia jawab: “tidak ya

Rasulullah” (HR. Bukhari).11

9

Chaterine N. Niarchos, “Women, War, and Rape : Challenges Facing The

International Tribunal for the Former Yugoslavia”, dalam Skripsi, Tindak Pidana Perkosaan di waktu Perang, (Universitas Sumatra Utara, 2002), h.20.

10

Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: hlm. 109.

11

Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002), h.552.


(33)

Menurut Riwayat yang lengkap bahwa Ma’iz itu datang kepada Rasulullah

SAW dan mengaku beberapa kali bahwa ia berzina. Di antara itu Rasulullah

ada bersabda: “Barang kali engkau cium saja? Barang kali engkau pegang saja? Barang kali engkau lihat saja?” sesudah ia menolak semua “barangkali”

itu baru Rasulullah SAW bertanya: “Apakah betul-betul engkau telah

setubuhi dia?” Ia jawab: Betul-betul. Sabdanya: “Apakah seperti masuknya

batang celak di lobang cepunya dan seperti masuknya tali timba di perigi?” Ia

jawab: Betul. Sabdanya:”Apakah engkau mengetahui apa zina itu?”

Jawabnya: tahu, saya telah kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara haram apa yang seseorang kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara

halal. Sabdanya:”Engkau mau apa?” Jawabnya: Saya mau paduka tuan

bersihkan saya. Maka rasulullah SAW perintah supaya rajam dia.12

Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukuman. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.13 Namun sejauh pengetahuan penulis jarang sekali ditemukan yang pelakunya adalah wanita, bahkan tidak mungkin terjadi penetrasi, bila ia (laki-laki) benar-benar dipaksa oleh pihak wanita.

C. Sejarah Singkat Perkosaan

Di zaman kuno hingga akhir abad pertengahan, pemerkosaan pada umumnya tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang gadis atau perempuan, melainkan lebih kepada pribadi sang laki-laki yang "memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali berupa denda, yang harus dibayarkan kepada sang ayah atau suami yang mengalami "kerugian" karena "harta miliknya" "dirusak". Posisi ini kemudian diubah di

12 Ibid 13

Safwat, Op.Cit., h.65. dalam Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam


(34)

banyak lingkungan budaya karena pandangan bahwa, seperti halnya sang "pemilik", si perempuan itu sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti ruginya.14

Pemerkosaan dalam peperangan juga pernah terjadi di zaman kuno sehingga disebutkan pula di dalam Alkitab, misalnya di dalam kisah tentang kaum perempuan yang diculik sebagai hadiah kemenangan.

Tentara Yunani, kekaisaran Persia dan kekaisaran Romawi, secara rutin memperkosa kaum perempuan maupun anak-anak lelaki di kota-kota yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih terjadi bahkan hingga tahun 1990-an, ketika pasukan-pasukan Serbia yang menyerang Bosnia dan Kosovo, melakukan kampanye yang penuh perhitungan dengan memperkosa kaum perempuan dan anak-anak lelaki di daerah-daerah yang mereka kuasai.15

Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Kabarnya di Timor Timur, ketika masih menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali diperkosa sebagai bagian dari perang psikologis untuk menekan semangat untuk berontak. Demikian pula dalam kerusuhan Mei 1998, dilaporkan banyak kaum perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh sebagai bagian dari strategi untuk mengancam mereka.16

Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militer yang disusun oleh Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan

14

http://www.wikipedia.com-definisi-perkosaan.html, artikel diakses pada sabtu, 08 Januari 2011, pukul 22.03

15 Ibid. 16


(35)

1419). Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para pemerkosa pada masa Perang Seratus Tahun (1337-1453).17

D. Jenis-Jenis Perkosaan

Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan:18

1. Sadistic Rape

Dalam jenis ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram dan kekejaman, serta tindakan-tindakan merusak.

2. Anger Rape

Adalah penyerangan seksual di mana seksualitas menjadi sara untuk mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik.

3. Domination Rape

Motif dari pemerkosa adalah untuk mendemontrasikan kekuatannya dan kekuasaannya atas si korban.

4. Seduction-turned Intor-rape

Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima”

tetapi di mana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus”.

17 Ibid. 18

Steven Box, Power, Crime and Mystification (New York : Tavistock Publications, 1983), p. 127-129. Dalam, Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta: IND-HLL CO, 1997), h.22-23.


(36)

5. Exploitation Rape

Merujuk pada suatu tipe di mana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan hukum bagi si perempuan.

Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut diatas, tiga dari kelima tipe tersebut menggambarkan bahwa perkosaan dilakukan sebagai pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman dan penunjukkan kekuatan dari pelakunya.

E. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan

Jika kita lihat dari KUHP Indonesia, unsur-unsur tindak pidana perkosaan terdiri sebagai berikut:

1. Perbuatannya: Memaksa

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tersebut menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. 2. Caranya:

a) Kekerasan

kekerasan dalam pengertian Pasal 285 (kekerasan yang disebut pertama) dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat


(37)

(sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Karena dalam keadaan yang tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

b) Ancaman Kekerasan

Ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan kepada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukannya perbuatan fisik yang besar atau lebih besar, berupa kekerasan yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan, kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.

3. Objek: Seorang perempuan bukan isterinya

Perempuan yang tidak terikat pernikahan olehnya, siapapun perempuan tersebut, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.

4. Bersetubuh


(38)

F. Korban Perkosaan

Pada kasus perkosaan sering kali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut.19 Apabila mengacu pada KUHP, maka laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya. Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal.

Alasan lainnya yang menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap tindak kekerasan perkosaan dalam perang adalah karena adanya pandangan bahwa perempuan adalah milik kaum laki-laki20

G. Dampak Bagi Korban Perkosaan

a. Dampak Medis

Perkosaan bisa menimbulkan lecet pada vagina perempuan atau luka fisik lain yang menyakiti. Ini terjadi bila perbuatan tersebut dilakukan dengan jangka waktu yang lama dan bila seseorang sedang terpengaruh

19

Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.6.

20

Sulistyowati Irianto, “Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan” (makalah disampaikan dalam Sesi tentang Kesukubangsaan dan

negara” dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia “Memasuki Abad

ke-21 : Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa”, di Pusat Studi


(39)

oleh minuman keras atau obat.21 Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan bisa saja mengalami memar wajah, luka kepala, pecah bibir, patahnya gigi depan, dan perihnya pendarahan vagina. Ini biasanya diakibatkan perlakuan kasar dalam sebuah hubungan seks. Akibat lain dari hubungan seks yang dipaksakan adalah sulitnya proses persalinan, bayi lahir premature, dan bahkan keguguran.22

b. Dampak Sosial

Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.

21

Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, h. 71, dalam Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 24.

22

Khairuddin NM, Pelecehan seksual terhadap isteri, (Yogyakarta: PPK UGM, 1998), h. 72-74.


(40)

Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut. Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah.

Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat

memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda”

dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat,

berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga


(41)

membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan. c. Dampak Psikis

Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.

Secara Psikis Perkosaan bisa menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan dan trauma berhubungan seks. Akibat lain perempuan tidak lagi percaya diri. Pada tingkat yang luar biasa, perempuan akan mengalami ketakutan yang luar biasa (semacam paranoia), sampai-sampai ia merasa terus terancam oleh lingkungannya.23

Selanjutnya, perkosaan juga bisa membuat perempuan mengalami dampak psikis jangka pendek (short term effect) dan jangka panjang (long term effect). Dampak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, merasa malu, dan terhina. Gangguan emosional ini pada beberapa kasus ditandai

23

Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, h. 70-71, dalam Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 25.


(42)

dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost apetite).24

Adapun dampak psikis jangka panjang adalah timbulnya sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki dan seks terhadap trauma yang ia

tanggung. Trauma adalah “luka jiwa” yang diderita seseorang usai

mengalami hal-hal yang dirasanya di luar batas wajar atau abnormal.25 Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya.

24

Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping, h. 45-46. 25


(43)

BAB III

PERKOSAAN DALAM PANDANGAN

HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pandangan Hukum Pidana Positif

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian perkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal 2851, 2862, dan 2873, dan 2884 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata

susila yang berarti beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. Kesusilaan karenanya berarti sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan santun.5 Sedangkan delik kesusilaan adalah segala perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan undang-undang.

1 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”. Lihat R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1996), h. 210.

2 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, se dang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara

selama-lamanya 9 tahun”. Ibid., h. 211.

3 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun”. Ibid.

4

(1) Barang siapa bersetubuh dengan isterinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 8 tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Ibid., h. 212.

5

Muyassarotussolichah, Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Sosio-Religia, Vol. 2:3 (Mei 2003), h. 471.


(44)

Perkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh di luar perkawinan. Kedua, Kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana dalam Pasal 285 KUHP. Oleh karena itu, sebuah perbuatan disebut perkosaan jika di dalamnya terdapat unsur: (1) kekerasan atau ancaman kekerasan yang membuat si perempuan tidak mampu menolak, (2) keterpaksaan perempuan dalam melakukan hubungan biologis, dan (3) hubungan biologis terjadi secara nyata.6

Unsur-unsur perkosaan yang melekat pada Pasal 285 KUHP itu dikembangkan lagi oleh Pasal 389 Rancangan KUHP Nasional. Dalam rancangan KUHP Nasional, perbuatan disebut perkosaan bila: (1) bertentangan dengan kehendak korban, (2) tanpa persetujuan korban, (3) dengan persetujuan korban, tapi persetujuan itu dicapai lewat ancaman, (4) dengan persetujuan korban, sebab korban percaya bahwa pelaku adalah suaminya yang sah atau pelakunya orang yang seharusnya disetujui, dan (5) dengan persetujuan korban, namun korban berumur di bawah 14 tahun.7

Kini, penerapan pasal-pasal delik kesusilaan, khususnya Pasal 285 KUHP dirasa belum sepenuhnya memperdulikan rasa keadilan. Vonis yang dijatuhkan untuk para pelaku perkosaan ternyata sering tidak mencapai setengah dari besarnya sanksi yang terdapat pada pasal-pasal tersebut, padahal penderitaan yang ditanggung korban sedemikian besar dan nyaris tak

6

Muyassarotussolichah, Ibid, h. 344. 7


(45)

terbayangkan. Korban mengalami stress, depresi, trauma, dan bahkan kegilaan pada akhirnya.

Reformasi hukum di Indonesia antara lain terjadi dengan dikeluarkan dan dibahasnya RUU KUHP. Akan tetapi, pasal-pasal perkosaannya belum juga menunjukan pembelaan pada kesederajatan laki-laki dan perempuan.

Kian maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya perkosaan, terkait erat dengan lemahnya penegakan hukum (law enforcement)

dan lunaknya ancaman hukuman. Pasal 423 RUU KUHP, sebagaimana dikutip oleh Aroma Almina Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan perkosaan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana perkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana perkosaan yang dimaksud adalah:

a. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan.

b. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan tanpa persetujuan.

c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan sedang persetubuhan itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau pelukaan. d. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan karena

perempuan percaya bahwa ia suaminya yang sah.

e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14 tahun, meski dengan persetujuannya.


(46)

f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahuinya si perempuan tidak berdaya dan pingsan.

2. Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, bila dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1):

a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan. b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian

tubuh ke vagina atau anus si perempuan.

Selanjutnya bandingkan dengan pasal 285 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun”8

Rumusan Pasal 285 KUHP ini dinilai masih sangat sederhana dan tidak memadai. Pasal 423 RUU KUHP karenanya merasa perlu melakukan perubahan mendasar terhadapnya. Pasal 423 RUU KUHP menyebutkan tentang ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Perkosaan terjadi sebab tipu daya atau penyesatan, sehingga si perempuan menduga pelaku adalah suaminya.

2. Perkosaan terjadi sebab mudanya usia korban (dibawah 14 tahun) karena pada usia ini, perempuan dianggap belum bisa menentukan kehendaknya dengan nalar.

3. Perkosaan tidak hanya terkait dengan persetubuhan (sexsual intercourse), tetapi juga dengan bentuk-bentuk kekerasan atau serangan seksual lain. 4. Hukuman minimal bagi tindak pidana perkosaan adalah 3 tahun penjara.9

8

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1996), h. 210.


(47)

Ketentuan tentang perkosaan dalam Rancangan KUHP di atas sesungguhnya melindungi posisi perempuan sebagai korban. Unsur-unsur pasalnya jauh lebih luas, variatif, dan ampuh dalam menjerat pelaku. Carol Smart, seperti dikutip Nursyahbani Katjasungkana, berpendapat, lemahnya kedudukan perempuan sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan seksualitas manusia.10

B. Pandangan Hukum Pidana Islam

Di dalam hukum pidana Islam perkosaan tergolong ke dalam jarimah

takzir, karena tidak memenuhi unsur jarimah zina, hukuman diterapkan kepada pemerkosa dan tidak ada hukuman yang diterapkan kepada orang yang diperkosa. Jika pemerkosa itu budak, maka menjadi tanggung jawab tuannya, kecuali ia mau menyerahkannya.11

Islam adalah agama yang rahmatan lil „alamin, yang mengajarkan kesamaan hak. Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam mengakui dan mengajarkan kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan

(sexual equality).12 Sejumlah ayat al-Qur’an menegaskan:

9

Aroma Elmina Martha, Perempuan, h. 56-57. Dalam, Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 39.

10

Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, Aspek hukum kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Potret Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 96.

11

Imam Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, (Kumpulan Hadis dan Hukum Islam Pertama), diterjemahkan oleh Dwi Surya Atmaja dari Al-Muwatta of Imam Malik Ibn Anas The First, transleted by Aisha Abdurrahman Bewley, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 416.

12

Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 42.


(48)

















“Hai Manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah adalah yang paling taqwa.” (Q.S. al-Hujurat 49:13).









“Siapapun, laki-laki dan perempuan yang beramal shaleh dan beriman,

niscaya Kami berikan kehidupan yang baik.13 Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S al-Nahl 16:97).







































Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,14 laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. al-Ahzab 33:35).

13

Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

14

yang dimaksud dengan muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah


(49)

Rasulullah SAW juga bersabda tentang kesetaraan ini, yang mana sabdanya:

“Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki.” (HR. Abu

Dawud dan Turmudzi).15

Beberapa ayat dan hadits nabi di atas bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sangat revolusioner. Ia tidak hendak melestarikan tatanan kesadaran dan sosial masyarakat Arab, tetapi justru mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi diskriminatif-misoginis yang sekian lama dipraktikkan. Pada masa pra-Islam, posisi dan derajat perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat dipertukarkan dan diperlakukan seenak-enaknya, bahkan melahirkan seorang anak perempuan pun dianggap memalukan. Kala itu, mengubur hidup-hidup perempuan menjadi kebiasaan masyarakat Arab.16

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Islam memandang tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana yang tergolong sangat merugikan bagi korban, keluarga dan masyarakat. Sebab, tindak pidana ini bisa menimbulkan kebobrokan moral yang ada pada lingkungan sekitar. Selain sudah merampas hak milik orang lain (kesucian seorang perempuan) tindak pidana ini juga diikuti oleh beberapa perbuatan, seperti kekerasan, ancaman, dan tipu daya.

15

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, tt), I: 61. Lihat Juga at-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi (Beirut: Dar Ihya at-Turas al-‘Arabi, tt), I: 190. Lihat juga Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 163.

16


(1)

4. Manfaat efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan dari hukum pidana Islam yaitu, pelaku merasa malu karena disaksikan masyarakat, korban akan merasa aman karena pelaku sudah dihukum maksimal, dan masyarakat akan merasa enggan bertindak kriminal ketika melihat eksekusi.

B. Saran

Beberapa saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Perkosaaan yang tergolong tindak pidana yang sangat merugikan bagi

korban dan berbagai pihak sudah seharusnya dibenahi dan dikaji lagi mengenai ketegasan hukumannya.

2. Hukum pidana positif adalah buatan manusia, sedangkan hukum pidana Islam buatan Allah SWT. Sudah sepantasnya kita selaku makhluknya jika menetapkan hukum berpedoman kepada hukum Sang Pencipta.

3. Bagi korban perkosaan, seharusnya diberikan pelayanan medis gratis dari pemerintah hingga penyembuhan fisik dan mental si korban.

4. Perlunya penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, dan penerapan sanksi hukum yang berat serta peningkatan rutinitas dan intensitas razia terhadap media cetak dan elektronik yang memuat unsur-unsur pornografi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Al-Qur’an ku, Arab-Latin-Terjemah, India-Indonesia: Islamic Book Service & Lautan Lestari, 2004.

Atmaja, Dwi Surya, Imam Malik ibn Anas al-MuwattaKumpulan Hadits dan Hukum Islam Pertama (al-Muwatta of Imam Malik ibn Annas The

First), Jakarta: Raja Grafindo, 1999.

Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri al-Jina al-Islami, Beirut: Mu’assasah ar -Risalah, 1992.

Bahnasi, Ahmad Fathi, al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Daar Zaid al-Arubah, 1961.

Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana I Hukum Pidana Bagian Umum, Bandung: Bina Cipta, 1987.

Box, Steven, Power, Crime and Mystification, Newyork: Tavistock Publications, 1983

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.

Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut: Daar al-Fikr, tt.

Djoko Prokoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai

Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta : Ghalia

Indonesia, 1984.

Djubaedah, Neng, Perzinaan (Dalam Peraturan Perundang-undangan

Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam), Jakarta: Kencana Prenada


(3)

Hamzah, Amdi, & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu,

Kini, dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet ke-2.

Hanapi, Mohd. Shukri dan Mohd. Tajul Sabki, Undang-undang Jenayah Syari’ah (Hudud, Qisas, dan Ta’zir), Kuala Lumpur: Zebra Editions, 2003.

Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap

Wanita, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada,

1997.

Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002.

Hayati, Elli Nur, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan, Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000.

Ibrahim ibn Muhammad ibn Farhun, Tabsirat al-Hukkam, Kairo: Dar Ihya’ al -Kutub al-‘Arabiyyah, 1980.

Katjasungkana, Nursyahbani, Aspek Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan

Dalam Potret Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1997.

Ma’lup, Luis, al-Munjid, Beirut: Daar al-Masayrik, tt.

Marlia, Milda, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007.

Marpaung, Laden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

---, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.


(4)

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab (Fiqh Mazahib

al-Khamsah) terj. Masykur A.B. dan Idris al-Kaff, Jakarta: Lentera

Basritama, 1996.

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan (Refleksia Kiai Atas Wacana Agama

dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001.

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.

N.M., Khairuddin, Pelecehan Seksual Terhadap Isteri, Yogyakarta: PPK UGM, 1998.

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992.

Sahaleh, K. H. Q., dkk, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya

Ayat-ayat al-Qur’an), Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam (Penegakan Syari’an

Dalam Wacana dan Agenda), Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

---, Seksualitas Dalam Hukum Pidana, Jakarta: IND-HLL CO, 1997. Soedibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, 1996.

Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Beirut: Daar Ihya at-Turas al-‘Arabi, tt

Umam, Cholil, Himpunan Fatwa-fatwa Pilihan, Bandung: Citra Umbara, 1997.


(5)

Wasito, Wojo dan Tito Wasito, Kamus Lengkap (Inggris-indonesia Indonesia-

Inggris), Bandung: Hasta 1991.

Wijayanto, Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: sebab, akibat,

dan prospek, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Zahrah Abu, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

TULISAN ILMIAH:

Asmawi, Menelusuri Kebijakan Hukum Pidana Pada Masa Rezim Khulafa

al-Rasyidin, Tulisan Ilmiah: Makalah di Persentasikan dalam Seminar

Hukum Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pada 25 Juli 2008.

Dwiyanti, Ira, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana

Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, Tesis S2, Peradilan Pidana,

Megister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2007

Irianto, Sulistyowati, Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan (Makalah Disampaikan Dalam Sesi Tentang

KeSukuBangsaan dan negara, dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia, di Pusar Studi Jepang, universitas Indonesia, Depok 6-8 Mei 1999.

JM. Muslimin, Ilmu Syari’ah dan Aplikasi Umum, Tulisan Ilmiah: Jakarta: 2008.

Kartanegara, Satochid, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Dissusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, tahun 1954-1955.

Muyassarotussolichah, Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan

Dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Sosio-Religia, Mei

2003.

Niarchos, Chaterine N., Women, War, and Rape: Challenges Facing The

International Tribunal for the Former Yugoslavia, dalam Skripsi,

Tindak Pidana Perkosaan di Waktu Perang, Universitas Sumatra


(6)

Sulistyaningsih, ekandari dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis

Perkosaan, Buletin Psikologi Tahun X, No. 1, Juni 2002.

Wignjosoebroto, S. 1997, Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut

Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki,

ed. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta:

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997.

MEDIA INTERNET:

- http://asmawi.net/?p=294

- http://anjarmoe.multiply.com/journal.php

- http://bimoadiwicaksono.blogspot.com/2010/08/perbandingan-pidana-mati-dalam.html

- http://www.docstoc.com

- Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun hukum, Membela Keadilan, kanisius, http://books.google.com/books

- http://www.uub.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%Pemerkosaan%20Pant as%20Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452

- http://www.wikipedia.com-definisi-perkosaan.html

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA