51
supernatan berwarna kekuningan terang atau kuning bening dan pada hari ke-7 hingga ke-28 hari, supernatan menjadi cokelat dan kemudian hitam.
Batubara cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat
molekul relatif tinggi. Ultrafiltrasi dan kromatogafi gel menunjukkan berat molekul dengan kisaran 30.000 sampai dengan 300.000. Struktur kimia yang
terbentuk adalah senyawa aromatik, dengan sejumlah besar gugus hidroksil Selvi dan Banerje, 2009.
4.4. Analisis Asam Humat dan Asam Fulvat pada Produk Solubilisasi
Batubara
Analisis berikutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengukuran asam humat dan asam fulvat pada produk solubilisasi batubara
melalui penentuan absorbansinya. Secara kualitatif maka supernatan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm asam humat untuk
mengukur adanya ikatan terkonjugasi pada senyawa aromatik yaitu naftasena. Pada panjang gelombang 280 nm asam fulvat untuk mengukur adanya senyawa
naftalena Fessenden dan fessenden, 1986.
Menurut Stevenson 1982 batubara terutama jenis lignit, merupakan senyawa organik yang berpotensi kaya akan substansi humat. Arianto et al.,2005
mengatakan bahwa substansi humat memiliki kontribusi besar sebagai mantel coat suatu partikel. Berdasarkan hal itu, kemungkinan besar proses pencairan
batubara ditandai dengan melarutnya lapisan substansi humat tersebut ke dalam medium. Oleh karena itu dilakukan pengukuran terhadap keberadaan substansi
humat berupa asam humat dan asam fulvat dalam medium dapat dinyatakan dengan nilai absorbansinya.
Terdapat perbedaan komponen dan karakteristik asam organik lignit yaitu asam fulvat berwarna lebih terang kekuningan sementara asam humat lebih
gelap kecoklatan. Selain itu berat molekul dan kandungan karbon asam humat lebih besar dibandingkan dengan asam fulvat. Kedua jenis asam organik ini
termasuk ke dalam golongan bahan humat yang terdapat di dalam batubara, sehingga dapat dijadikan faktor uji biosolubilisasi batubara Stevenson, 1982.
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7
7 14
21 28
Waktu Hari A
b so
rb a
n si
As. Humat As. Fulvat
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
0.45
7 14
21 28
Waktu Hari A
b so
rb an
si
As. Humat As. Fulvat
a b
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
7 14
21 28
Waktu Hari A
b so
rb an
s i
As. Humat As. Fulvat
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
0.9
7 14
21 28
Waktu Hari A
b so
rb an
si
As. Humat As. Fulvat
c d
Gambar 25. Perbandingan Asam Humat dan Asam Fulvat pada Produk
Solubilisasi Batubara dengan Jenis Kapang yang Berbeda a 14AD b 18HJ c 20B d 25A
52
Pada gambar 25 terlihat kurva perbandingan asam humat dengan asam fulvat pada kapang 14AD, 18 HJ, 20B dan 25A menunjukkan kecendrungan pola
perubahan asam humat dan asam fulvat yang berbanding terbalik. Ketika nilai absorbansi asam humat mulai mengalami penurunan, maka absorbansi asam
fulvat mengalami kenaikan. Hal ini menunjukan keterkaitan antara asam humat dan asam fulvat dalam batubara.
Tingginya nilai absorbansi asam humat pada awal inkubasi disebabkan karena batubara masih hanya senyawa aromatik yang memiliki ikatan
terkonjugasi pada senyawa aromatik yang merupakan komponen utama penyusun asam humat dalam batubara yang belum disolubilisasi ke dalam medium.
Sedangkan penurunan nilai absorbansi asam humat yang berimplikasi pada peningkatan nilai asam fulvat disebabkan oleh penguraian ikatan konjugasi pada
senyawa aromatik dimana naftasena yang merupakan penyusun utama asam humat terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti naftalena yang
merupakan penyusun utama asam fulvat. Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi asam fulvat yang terlarut dalam medium mulai mengalami
peningkatan Arianto et al., 2005. Sebagaimana reaksi berikut:
Gambar 26. Reaksi Degradasi Naftasena Zylstra dan Kim, 1997
53
4.5. Analisa Spektrum Produk Biosolubilisasi Batubara dengan FTIR