Biosolublisasi batubara lignit hasil interaksi kapang trichoderma sp. dengan mikroba indigenus

(1)

BIOSOLUBILISASI BATUBARA LIGNIT

HASIL INTERAKSI KAPANG Trichoderma sp.

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

RESTU YUSLIDA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

BIOSOLUBILISASI BATUBARA LIGNIT

HASIL INTERAKSI KAPANG Trichoderma sp.

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802

Menyetujui.

Pembimbing I Pembimbing II

Irawan Sugoro, M. Si. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si.

NIP. 19761018 200012 1 001 NIP.19720322 200212 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 19690404 200501 2 005


(4)

Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” yang ditulis oleh Restu Yuslida, NIM 107095002802 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui

Penguji 1, Penguji 2,

Priyanti, M.Si Dini Fardila, M.Si

NIP. 19750526 200012 2001 NIP. 19800330 200901 2009

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Irawan Sugoro, M.Si Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP. 19761018 200012 1001 NIP. 19720322 200212 2002

Mengetahui: Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Prodi Biologi

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. DR.Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 19680117 200112 1001 NIP. 19690404 200501 2005


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Agustus 2011

Restu Yuslida 107095002802


(6)

(7)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat tak terbatas, atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat Penulis selesaikan. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang memperjuangkan kesempurnaan agama ini sampai akhir hayat.

Skripsi dengan judul

Biosolubilisasi Batubara Lignit Hasil Interaksi Kapang Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi S1 pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi yaitu :

1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis., selaku Dekan fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. DR. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dini Fardila, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

ii (Umar, Sibly dan Hafidz) yang selalu membuat tersenyum.

5. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing I, Penulis mengucapkan rasa terimakasih sekali atas kesempatan yang telah diberikan, atas pengertian yang senantiasa tercurah, atas nasehat kehidupan yang tak pernah terpikirkan oleh penulis dan yang utama atas ilmu bermanfaat semoga semuanya menjadi bekal Penulis di masa depan kelak dan semoga Allah membalas kebaikan dan keberkahan senantiasa menyertai kehidupannya kelak . Amien.

6. Megga R. Pikoli, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan masukan saran dan nasehat yang bermanfaat, semoga Allah senantiasa menyertai keberkahan dikehidupannya kelak . Amien.

7. La ode Sumarlin, M.Si dan Rina H.P, M.Si selaku penguji seminar hasil serta Priyanti, M.Si dan Dini Fardila, M.Si selaku penguji sidang munaqasah terimakasih atas saran dan masukan yang sangat berarti untuk Penulis.

8. Dosen-dosen biologi tercinta terimakasih atas ilmu bermanfaat yang senantiasa tercurah, atas perjalanan masa kuliah yang penuh suka duka terutama dengan sekelumit tugas-tugas demi kemajuan mahasiswa pastinya.

9. Encing Iyus, encing Mulia, encing Diding dan encing Toni terimakasih atas motivasi dan kebaikannya sehingga teratasi semuanya dengan baik.


(9)

iii 10.Sahabat tersayang Khuzaifah, Amaliah, Nasti, Fauziah, Ulan, Ririn, Putasa, Kiki, Eri, Rose dan khusus keluarga biologi 2007 Saintek atas semangat perjuangan yang senantiasa menghiasi hari-hari kita semua. 11.Kakak-kakak kelas Penulis senantiasa menyiratkan semangat perjuangan

untuk menyelesaikan studi dengan baik, semoga silaturahmi kita takkan pernah terputus.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karena itu usul serta saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, Agustus 2011


(10)

iv

Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Biosolubilisasi batubara merupakan proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur menjadi produk yang setara dengan minyak bumi. Penelitian sebelumnya, telah diperoleh isolat kapang yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara, yaitu Trichoderma sp. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara hasil interaksi kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus batubara. Metode yang dilakukan adalah kultur submerged dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) diinkubasi pada suhu ruang dengan agitasi 120 rpm. Hasil penelitian menunjukkan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang

Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) dalam mengsolubilisasi batubara lignit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma

sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) berdasarkan analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi, serta asam humat dan fulvat menunjukkan nilai yang tertinggi pada umumnya hari kedua inkubasi. Hasil scaning pada panjang gelombang 200-600 nm produk biosolubilisasi memperlihatkan terjadinya perbedaan pola pada semua perlakuan. Hasil analisis FTIR mendeteksi terjadinya peningkatan intensitas gugus fungsi yaitu gugus hidroksil, karbonil, gugus karboksilat, eter dan aromatik pada perlakuan B (MSS + batubara steril 5% +

Trichoderma sp.) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) dibandingkan dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan C (MSS + batubara mentah 5%). Hasil analisis GCMS pada produk biosolubilisasi menunjukkan senyawa yang terdeteksi didominasi senyawa alifatik rantai panjang dan umumnya berpotensi sebagai solar.

Kata kunci : Biosolubilisasi batubara, interaksi, mikroba indigenus,

Trichoderma sp.


(11)

v

ABSTRACT

Restu Yuslida. Biosolubilization of Lignite Coal by Interaction of Trichoderma

sp. Moulds with Indigenous Microbes. Undergraduate Thesis. Biology Department. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2011.

Biosolubilization of coal is a process of converting solid coal into liquid phase by using microbes, such as bacteria and fungi into a product which is equivalent to petroleum. Previous research has succesfully isolated mold as coal biosolubilization agent, namely Trichoderma sp. The purpose of this research was to characterize the product of coal biosolubilization resulted form mold

Trichoderma sp. interaction with coal indigenous microbes. The method used was submerged culture and the treatments were A (MSS + coal sterile 5%), B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + raw coal 5%) and D (MSS + raw coal + Trichoderma sp.). The treatments were incubated at room temperature and 120 rpm agitation. The result showed biosolubilization resulted form interaction between Trichoderma sp. with the indigenous microbes (D treatment) gave the highest performance. The highest biosolubilization occured after second day of incubation based on the analysis of phenolic and aromatic conjugated compounds and the humic and fulvic acid concentration. The scanning of biosolubilization product showed different patterns for all treatments. The FTIR analysis of biosolubilization product has detected an increase in the intensity of hidroxyl, carbonyl, carboxylat, ether and functional group of aromatic for B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.) and D treatment (MSS + raw coal + Trichoderma sp.) than A (MSS + coal sterile 5%) and C (MSS + raw coal 5%) treatment. The GCMS analysis showed the detected compound was dominated by long chains aliphatic for all treatment and have the same potensial as diesel.

Keywords : Biosolubilization of coal, interactions, indigenous microbe,


(12)

vi

Halaman

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... iv

ABSTRACT... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Hipotesis... 5

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batubara... 7

2.2. Hubungan Antar Mikroba... 13

2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba... 16

2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp... 19

2.5. Kerangka Berpikir... 22

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 23

3.2. Alat dan Bahan... 23


(13)

vii

3.3.1 Persiapan dan Sterilisasi Alat... 24

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara... 24

3.3.3. Pembuatan Media Minimal Salt Solution (MSS)... 25

3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar (PDMA)... 25

3.3.5. Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)... 26

3.3.6. Pembuatan kultur Inokulum Spora Trichoderma sp... 26

3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara... 26

3.3.8. Pengukuran pH Media ... 28

3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 28

3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm.. 29

3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat... 29

3.3.12. Analisis Gugus Fungsi Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan FTIR... 29

3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS... 30

3.3.14. Analisis Data... 31

3.4. Skema Penelitian... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan pH Media... 33

4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 36

4.3. Analisis Produk Biosolubilisasi... 47


(14)

viii

Batubara... 57

4.3.5 Identifikasi Senyawa Hasil Biosolubilisasi dengan GCMS... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 68

5.2. Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA... 70


(15)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Media... 24 Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara... 27 Tabel 3. Kondisi Optimum GCMS... 31 Tabel 4. Populasi kapang pada media perlakuan A (MSS +

batubara steril 5%), (B (MSS + batubara steril 5%+

Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 44 Tabel 5. Hasil scanning 200-600 nm pada media perlakuan A

(MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 53 Tabel 6. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Lignit dengan


(16)

x

Gambar 1. Proses pembentukan Batubara... 8

Gambar 2. Model Struktur Batubara dari Tingkatan berbeda... 9

Gambar 3. Penampilan Fisik Batubara Lignit... 10

Gambar 4. Penampilan Fisik Batubara Subbituminus... 11

Gambar 5. Penampilan Fisik Batubara Bituminus... 12

Gambar 6. Penampilan Fisik Batubara Antrasit... 12

Gambar 7. Trichoderma sp... 20

Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 34

Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 37

Gambar 10. Perubahan populasi bakteri pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.)... 40

Gambar 11. Pertumbuhan khamir pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 46

Gambar 12. Nilai absorbansi (A) senyawa fenolik dan (B) senyawa aromatik terkonjugasi pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 48


(17)

xi Gambar 13. Nilai absorbansi (A) Asam Humat (B) Asam fulvat 561

nm pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 55 Gambar 14. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media

perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (2) media perlakuan A hari ke-2 (3) media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + kapang Trichoderma sp.)hari ke-2.. 58

Gambar 15. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (2) media perlakuan C hari ke-2 (3) media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) hari ke-2... 59

Gambar 16. Persentase Area senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin dan solar pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% +

Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm hari ke-2... 65


(18)

xii

Lampiran 1. Jenis Bakteri yang Terdapat pada Kultur Perlakuan... 76

Lampiran 2. Hasil Pewarnaan Gram... 77

Lampiran 3. Jenis Kapang... 78

Lampiran 4. Khamir pada Perlakuan Medium dengan Batubara Mentah Hari Inkubasi ke-14... 79

Lampiran 5. Kolonisasi Kapang pada Batubara Perbesarn 400x... 80

Lampiran 6. Nilai pH... 82

Lampiran 7. Analisis Statistik Produk Biosolubilisasi... 83

Lampiran 8. Kromatogram Hasil GCMS Biosolubilisasi... 87


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting di dunia selain gas alam dan minyak bumi. Menurut IEA (2009), jumlah cadangan gas alam 163,3 triliun ton, minyak bumi 164,5 triliun ton dan batubara 462,6 triliun ton. Perkiraan ketersediaan sumber energi tersebut pada minyak bumi selama 50 tahun, gas bumi untuk 63 tahun dan batubara untuk 146 tahun. Menipisnya cadangan sumber energi di dunia tanpa adanya energi alternatif dapat menghambat produktivitas perekonomian sehingga pencarian energi alternatif dengan kualitas yang baik perlu dilakukan. Pemanfaatan batubara tampaknya dapat dijadikan solusi atas permasalahan ini.

Di Indonesia ketersediaan cadangan batubara berdasarkan data akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 20,98 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti di dunia. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, dan bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM, 2010). Ketersediaan sumber energi terutama batubara membuka peluang untuk mengembangkannya menjadi suatu energi alternatif yang ramah lingkungan.


(20)

Pada tahun 2010 diperkirakan batubara akan memegang peranan sebesar 25% dari total kebutuhan energi domestik. Hal tersebut didukung oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden. No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN), dimana penggunaan batubara akan ditingkatkan menjadi 33% dan batubara yang dicairkan sebesar 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi (ESDM, 2010).

Pemanfaatan batubara terutama di Indonesia berasal dari jenis batubara kalori rendah dan sedang, sedangkan batubara kalori tinggi kebanyakan diekspor. Batubara dari jenis kalori rendah seperti lignit merupakan batubara yang kurang ekonomis karena memiliki kadar air yang sangat tinggi (di atas 30%) dan nilai kalor di bawah 5.000 kcal/kg serta mengandung abu tinggi. Hal tersebut menyebabkan batubara dari jenis ini tidak dimanfaatkan dan diperlukan peningkatan kualitasnya untuk dapat digunakan, antara lain dengan teknologi gasifikasi atau liquifikasi. Batubara lignit banyak digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan panas sebesar 96,4%. Namun, pembakaran lignit mengakibatkan polusi yang cukup berbahaya karena menghasilkan sulfur oksida (SOx), nitrogen

oksida (NOx), karbon dioksida (CO2) dan logam berat (Xuchang dkk., 2000).

Dampak yang tidak baik untuk lingkungan menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan dalam pemakaian jenis batubara ini. Pembakaran batubara perlu dihindari dan menerapkan alternatif pemanfaatannya merupakan solusi aman penggunaan batubara sebagai sumber energi.

Pencairan batubara pada awalnya dianggap menjadi alternatif pemanfaatan batubara yang baik dimana menggunakan metode kimia dan fisika


(21)

3

yaitu proses sintesis Fischer-Tropsch, Bergius dan Brown Coal Liquefication Technology (BCL). Namun, penerapan metode ini membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi karena dilakukan dalam temperatur dan tekanan yang tinggi serta memerlukan instalasi yang cukup rumit (Yoshida, 2007). Alternatif lainnya adalah pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroba atau yang dikenal dengan biosolubilisasi.

Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur (Faison dkk., 1989). Biosolubilisasi memiliki beberapa kelebihan di antaranya produk yang dihasilkan tidak menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran (Fakoussa & Frost,

1999). Biosolubilisasi batubara sangat ditentukan oleh agen biologi, jenis batubara dan kondisi lingkungan. Struktur dan kompleksitas batubara yang berbeda di setiap daerah mempengaruhi pertumbuhan mikroba pengsolubilisasi, sedangkan mikroba berperan sebagai katalis atau penghasil enzim pengsolubilisasi (Wise, 1990).

Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui mampu berinteraksi dengan batubara kualitas rendah dengan proses ekstraselular (Faison dkk., 1989). Hasil isolasi dan seleksi pada penelitian sebelumnya telah diperoleh isolat kapang Trichoderma sp. yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara lignit (Sugoro dkk., 2011). Produk yang dihasilkan berupa senyawa yang setara dengan minyak bumi, tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui interaksi kapang terseleksi dengan mikroba indigenus batubara seperti bakteri, khamir atau kapang lainnya.


(22)

Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau mikroba pribumi pada suatu substrat (Waluyo, 2009). Diharapkan akan terbentuk konsorsium yang menguntungkan antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus. Hal tersebut penting karena kompleksitas dan heterogenitas senyawa penyusun batubara. Satu jenis mikroba mempunyai kemampuan metabolisme terbatas, sehingga proses biosolubilisasi batubara kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh satu jenis (Brenner dkk., 2008). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan penelitian yang membandingkan penggunaan batubara mentah dan batubara steril dalam proses biosolubilisasi. Hasil penelitian Pokorný dkk. (2005) menyatakan batubara lignit mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota (fungi).

Aplikasi pencairan batubara lignit yang dilakukan dengan kondisi mentah akan menghemat biaya operasional. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan dilakukan biosolubilisasi dengan menggunakan batubara mentah dan steril. Diharapkan proses biosolubilisasi dengan batubara mentah mampu menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan batubara steril. Hal tersebut akan menjadi suatu gagasan baru dalam penerapan teknologi biosolubilisasi yang lebih ekonomis.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus dalam mengsolubilisasi batubara lignit?


(23)

5

2. Bagaimana karakteristik produk hasil biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus?

1.3. Hipotesis

1. Interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus dapat meningkatkan biosolubilisasi batubara lignit.

2. Senyawa hasil biosolubilisasi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki karakteristik bensin dan solar.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kemampuan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus dalam mengsolubilisasi batubara lignit.

2. Mengetahui karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung aplikasi pencairan batubara mentah tanpa didahului sterilisasi dengan memberikan informasi mengenai potensi dari interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba


(24)

indigenus dalam mengsolubilisasi batubara lignit serta karakterisasi dari produk biosolubilisasi batubara yang dihasilkan untuk bahan bakar alternatif.


(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara adalah bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar, terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batu bara (World Coal Institute, 2005). Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994). Pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroba juga memegang peranan yang sangat penting.

Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan karbon (Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik (Speight, 1994). Proses pembentukan batubara dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

)

Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Susilawati, 2008)

Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan tumbuhan pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut kemudian mati dan terbenam di rawa. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan air dan terawetkan melalui proses biokimia. Adanya proses tektonik mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence), sehingga hutan berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhan pun berakhir. Selanjutnya material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan di atas sisa-sisa tumbuhan yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batu pasir, batu lempung atau batu lanau yang kemudian menjadi tebal jika pengendapan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan tersebut dikenal sebagai lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa mencapai ratusan meter. Jika penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah, daratan dapat muncul kembali di atas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup kembali. Daur pun berulang kembali. Dengan cara seperti ini akan terbentuk


(27)

9

beberapa lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan kehadiran batu pasir, batu lanau atau batu lempung berselingan mengendap (Susilawati, 2008).

Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batu lempung, batu lanau dan batu pasir. Seiring perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan dan temperatur, sehingga berubah menjadi batubara. Pada proses pembatubaraan, gambut berubah menjadi batubara lignit, subbituminus, bituminous dan batubara antrasit (Susilawati, 2008). Berikut struktur kimia dari beberapa jenis batubara (Gambar 2).

Gambar 2. Model Struktur Batubara dari Tingkatan Berbeda (Schulten dan Schnitzer, 1993)


(28)

Berdasarkan kandungan karbon, oksigen, dan hidrogennya, batubara diklasifikasikan menjadi beberapa golongan utama. Semakin banyak kandungan energi dalam batubara, maka kandungan energi dalam batubara semakin banyak pula. Batubara dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu lignit, subbituminus, bituminus dan antrasit.

Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis batubara yang paling muda dan di dalamnya termasuk brown coal atau Low Rank Coal (LRC). Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam kecoklatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang terkena tekanan tinggi. Kandungan karbon pada lignit paling rendah di antara jenis lain, yakni berkisar antara 20-35% berat sementara itu kandungan airnya lebih tinggi. Nilai kalori lignit berdasarkan American Testing Society for Testing and Material

kurang dari 19,3 MJ/Kg. Berdasarkan nilai kalori, lignit dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lignit A dan B dengan nilai kalori 14,7 – 19,3 MJ/Kg dan ≤ 14,7 MJ/Kg (ATS, 2009).


(29)

11

Subbituminus merupakan hasil perubahan lignit dalam tekanan yang lebih tinggi. Batubara jenis subbituminus memiliki warna hitam dengan nilai kalor yang tinggi daripada batubara lignit. Kandungan karbon di dalam batubara ini berkisar 35-45% dan batubara subbituminus memiliki kandungan sulfur yang lebih rendah daripada batubara bituminus serta hasil pembakaran yang lebih bersih (Tekmira, 2006). Nilai kalori jenis subbituminus, berdasarkan American Testing Society for Testing and Material dari 19,3 – 26,7 MJ/Kg. Berdasarkan nilai kalori, jenis batubara ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu subbituminus A, B dan C dengan nilai kalori 19,3 – 22,1 MJ/Kg, 22,1 – 24,4 MJ/Kg dan 24,4 – 26,7 MJ/Kg (ATS, 2009).

Gambar 4.Penampilan Fisik Batubara Subbituminus (www. ptba.co.id)

Batubara bituminus memiliki warna hitam dengan komposisi terdiri dari air dengan jumlah yang sangat kecil, bahan mudah menguap sekitar 15–20% berat. Sementara itu jumlah karbonnya sebanyak 45-80% berat. Hasil pembakaran batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang berasap, berabu, dan mengandung komponen sulfur yang mudah menguap. Sebagian besar penggunaan


(30)

batubara bituminus ditujukan untuk pembangkit listrik serta dikonversi menjadi arang (coke) yang digunakan dalam industri baja (Tekmira, 2006).

Gambar 5.Penampilan Fisik Bituminus (www. ptba.co.id)

Batubara antrasit merupakan batubara dengan tingkat metamorfik paling tinggi. Batubara ini dikenal sebagai batubara keras dan memiliki kilau berlian. Batubara antrasit merupakan jenis batubara dengan kandungan karbon dan jumlah energi yang paling tinggi. Kandungan karbon dalam batubara antrasit dapat mencapai 80-96% berat. Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara antrasit tergolong pembakaran yang sangat bersih dan bebas asap (Tekmira, 2006).


(31)

13

2.2. Hubungan Antar Mikroba

Hubungan antar mikroba ditemukan di alam yang berkumpul bebas di dalam suatu media yang sama. Hubungan antara mikroba dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu netralisme, kompetisi, antagonis, komensalisme, mutualisme, sinergisme, parasitisme, dan predatorisme. Hubungan mikroba secara netralisme merupakan hubungan yang saling menguntungkan maupun tidak saling menguntungkan hal ini disebabkan masing-masing mikroba memerlukan zat-zat tertentu bagi diri mereka masing-masing meskipun hidup di dalam medium yang sama (Dwidjoseputro, 2005).

Suatu hubungan antar mikroba yang saling merugikan ditunjukkan dengan adanya persaingan antar mikroba dalam memperebutkan kebutuhan hidup. Hanya mikroba yang kuat mampu bertahan dibandingkan dengan mikroba lainnya dalam persaingan tersebut sehingga hubungan yang terjadi merupakan bentuk kompetisi. Hubungan antagonisme menyatakan suatu hubungan yang asosial ditunjukkan adanya suatu spesies menghasilkan zat yang meracuni spesies lain sehingga pertumbuhan spesies lain terganggu. Suatu hubungan yang menunjukkan suatu spesies mendapatkan keuntungan, sedangkan spesies yang lain tidak dirugikan olehnya disebut komensalisme. Mutualisme merupakan suatu bentuk simbiosis antara dua spesies, ditunjukkan dengan masing-masing yang bersekutu mendapatkan keuntungan dan jika berpisah satu sama lain masing-masing spesies tidak atau kurang dapat bertahan. Sinergisme merupakan suatu hubungan antara dua spesies yang hidup bersama dan mengadakan kegiatan yang tidak saling mengganggu, akan tetapi kegiatan masing-masing itu justru berupa suatu urutan


(32)

yang saling menguntungkan. Suatu hubungan yang hanya mengakibatkan keuntungan disatu pihak saja dan pihak lain dirugikan disebut parasitisme. Suatu hubungan antara pemangsa dan mangsa ditunjukkan dengan adanya suatu spesies memakan spesies lain disebut hubungan predatorisme (Dwidjoseputro, 2005).

Di alam terdapat banyak mikroba dengan kekhasan metabolisme dan kometabolisme yang dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi suatu materi terutama senyawa organik. Suatu senyawa dengan susunan yang kompleks dan heterogen menyebabkan suatu spesies tunggal mikroba tidak dapat mendegradasi keseluruhan komponen penyusunnya sehingga diperlukan suatu interaksi yang saling menguntungkan dalam bentuk konsorsium (Nugroho, 2007).

Konsorsium merupakan suatu pola interaksi antar mikroba berbeda yang bertujuan untuk mempertahankan hidup. Di alam, mikroba tidak hidup terisolasi secara ruang dan waktu. Terjadi hubungan yang setimbang antar mikroba dan setiap mikroba memiliki peran masing-masing di ekosistem tergantung dari potensi genetik. Pola konsorsium dapat diketahui dengan cara mengisolasi dan menyeleksi mikroba dan kemudian memvariasikan dalam bentuk kultur campur. Populasi satu jenis mikroba akan berbeda dengan ketidakhadiran atau kehadiran jenis mikroba lainnya. Interaksi antara dua populasi berbeda, secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tidak adanya saling pengaruh keduanya, satu atau keduanya saling menguntungkan atau merugikan (Brenner dkk., 2008). Konsorsium diperlukan terutama untuk kultur dengan substrat berupa senyawa komplek dan heterogen, seperti batubara dan minyak bumi. Menurut


(33)

15

Bushil dan Slater (1981), terdapat 7 kelompok komunitas berdasarkan interaksi antara mikroba, yaitu :

1. Struktur yang terbentuk oleh pertukaran (saling berbagi) nutrien-nutrien spesifik di antara anggota-anggota komunitas.

2. Struktur yang terbentuk oleh pembuangan produk metabolisme yang mungkin menghambat anggota komunitas yang memproduksinya, termasuk komunitas yang memindahkan hidrogen.

3. Struktur yang terbentuk oleh interaksi yang menyebabkan terjadinya modifikasi pada parameter-parameter pertumbuhan populasi yang

menghasilkan komunitas yang lebih kompetitif atau efisien (dibandingkan dengan komponen-komponen populasinya).

4. Struktur yang terbentuk oleh terjadinya metabolisme bersama yang selaras, yang tidak diekspresikan oleh populasi-populasi secara sendirian.

5. Struktur yang terbentuk oleh adanya kometabolisme.

6. Struktur yang terbentuk oleh adanya transfer ion-ion hidrogen.

7. Struktur yang terbentuk oleh lebih dari satu pengguna substrat primer, dengan interaksi yang sering tidak dipahami.

Konsorsium mikroba dalam biokonversi batubara, banyak digunakan untuk memproduksi gas metana (biogasifikasi). Jenis batubara yang digunakan adalah kualitas rendah (Polman dkk., 1991) dan kualitas tinggi (Johnson dkk., 1994). Selain untuk biogasifikasi, konsorsium juga dimanfaatkan untuk produksi alkohol (Faison dkk., 1989) dan biosolubilisasi (Faison dkk., 1989; Wadhwa & Sharma, 1998). Biokonversi batubara, tidak selalu memerlukan konsorsium.


(34)

Penelitian biosolubilisasi umumnya hanya menggunakan kultur tunggal, bahkan penelitian yang dilakukan oleh Gramms dkk. (1999) melaporkan bahwa interaksi antara kapang Pleurotus dengan bakteri indigenus batubara menyebabkan terjadinya penghambatan proses solubilisasi. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Sugoro dkk. (2010) yang menunjukkan terjadinya interaksi positif antara kapang Trichoderma sp. dan Penicillium sp., dengan mikroba indigenus batubara yang ditandai dengan tingginya tingkat biosolubilisasi dan produknya dibandingkan dengan kontrol batubara steril.

2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba

Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur. Produknya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan industri kimia. Proses biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara (Faison dkk., 1989).

Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison dkk., 1989). Contoh bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini adalah Thiobacillus ferroxidans, Leptospirillum ferrooxidans, dan Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini diantaranya Polyporus versicolor,


(35)

17

Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Phaerochaete chrysosporium, Candida sp., dan Cunninghamella sp. (Scott dkk., 1991).

Pemanfaatan fungi untuk biosolubilisasi, pertama kali dilaporkan oleh Cohen dan Gabriele (1982). Lignit dari Amerika dapat dibiosolubilisasi oleh fungi

Polyporus versicolor dan Poria montico. Kemudian Catcheside dan Mallett (1991) melaporkan bahwa lignit Australia dapat disolubilisasi oleh Coriolus versicolor, Phanerochaete chrysosporium, dan 4 spesies lainnya. Biosolubilisasi dengan lignit Jerman menggunakan tujuh basidiomycetes telah diteliti dan dikonfirmasi oleh Reiss (1992). Selanjutnya Machnikowska dkk. (2002) menemukan bahwa Polish lignit dapat disolubilisasi oleh strain P. putida dan Basaran dkk. (2003) telah sukses mengsolubilisasi lignit Turki ke bentuk cairan hitam dengan menggunakan fungi Corilous versicolor. Saat ini, Shi dkk. (2009) telah mengsolubilisasi lignit dengan fungi.

Fungi lainnya yang telah dilaporkan memiliki kemampuan mengsolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Cunninghamella sp., Mucor sp., Aspergillus sp., Pleurotus djamor dan

P.citrinopilatus, Trichoderma atroviride (Holker dkk., 2002), Lentinula edodes,

Trametes versicolar (Gotz & Fakoussa., 1999), Pleurotus chrysosporium,

Pleurotus sajor-caju, Pleurotus sapidus, Pleurotus florida(Basaran dkk., 2003), Pleurotus ostreatus, Nematoloma frowardii, Clitocybula dusenii, Auricularia sp., dan Stropharia rugosoannulata. Di Indonesia, penelitian biosolubilisasi batubara telah dilakukan oleh Sugoro dkk. (2009) dengan menggunakan fungi indigenus dan jenis batubara subbituminus dengan produk yang dihasilkan berupa


(36)

senyawa-senyawa yang setara dengan bahan bakar minyak dengan menggunakan kapang

Trichoderma sp. dan Penicillium sp.

Produk biosolubilisasi biasanya berupa campuran senyawa teroksidasi yang larut dalam air dengan kisaran berat molekul 30 – 300 kDa dan banyak memiliki gugus fungsi karboksil dan karbonil (Fakoussa dkk., 1994). Produk biosolubilisasi batubara dengan menggunakan kapang Neurospora crassa berupa hidrokarbon, yaitu C6H10 dan C25H26, C24H38 dan C26H14. Produk hasil solubilisasi

umumnya berupa senyawa asam karboksilat aromatik atau ester aromatik (Shi dkk., 2009).

Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap unjuk kerja mikroba yang digunakan. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, nutrisi, lamanya waktu proses, perlakuan awal terhadap batubara, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memiliki efek yang bervariasi, tergantung pada jenis mikroba yang digunakan. Pengetahuan mengenai faktor-faktor ini diperlukan untuk memperoleh unjuk kerja yang paling optimal sehingga jumlah sulfur yang berhasil dihilangkan dapat semaksimal mungkin. Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses biodegradasi di antaranya jenis batubara, suhu, agitasi, aerasi, pH, ukuran partikel, pra-perlakuan, jenis medium, surfaktan, konsentrasi batubara, ion logam, sumber karbon, sumber nitrogen, dan konsentrasi inokulum (Selvi dkk., 2009).


(37)

19

2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp.

Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau mikroba pribumi pada suatu substrat. Kehidupan mikroba indigenus tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, temperatur, maupun kelembapan (Waluyo, 2009). Hasil penelitian Pokornýdkk. (2005) menyatakan batubara lignit mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota (fungi). Kompleksitas dan heterogen komponen penyusun batubara mengakibatkan proses biosolubilisasi kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh satu jenis mikroba. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji konsorsium antara mikroba indigenus dengan kapang yang berpotensi dalam proses biosolubilisasi.

Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas. Kapang terdiri atas suatu tallus yang tersusun dari filamen bercabang yang disebut hifa. Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ, dimana tuba ini akan tumbuh terus membentuk filamen yang panjang dan bercabang, kemudian akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium (Fardiaz, 1989).

Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis kapang dengan klasifikasinya adalah filum: Ascomycota, kelas: Euascomycetes, ordo: Hypocreales, famili: Hypocreaceae, genus: Trichoderma, spesies: Trichoderma

sp. (Persoon ex Gray in 1801). Ciri-ciri spesifik kapang tersebut adalah miselium memiliki septat, konidia bercabang banyak, septat, dan ujung percabangannya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang,


(38)

berbentuk bola-bola berlendir (Fardiaz, 1989). Jamur dari genus Trichoderma

dikenal sebagai penghasil enzim hidrolitik, selulase, pektinase dan xilonase yang mampu mendegradasi polisakarida kompleks seperti selulosa, pektin, hemiselulosa dan xilan. Sudah banyak jamur dari genus ini digunakan untuk kepentingan industri dan pertanian, diantaranya Trichoderma harzianum dan

Trichoderma reesei yang mampu mensekresikan selulase dan hemiselulase yang cukup besar, sedangkan sintesis selulase akan meningkat pada serat selulosa yang dapat larut seperti selubiosa (Martina dkk., 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sugoro dkk. (2011) kapang Trichoderma sp. memiliki kemampuan tertinggi dalam mengsolubilisasi batubara dari 7 kapang isolat yang berhasil diisolasi pada tanah dan batubara. Oleh sebab itu, melihat potensi yang dimiliki kapang Trichoderma sp. dilakukan penelitian lebih lanjut terutama mengamati produk akhir yang dihasilkan dalam proses biosolubilisasi.

Gambar 7. Trichoderma sp. (www2.Ac-lycon.com)

Fungi mendegradasi batubara terutama jenis lignit meliputi mekanisme, diantaranya sekresi senyawa alkalin yang dapat berupa ammonia (Quigley dkk.,

Konidia

Sterigma Konidiofora


(39)

21

1988; Quigley dkk., 1989), sekresi chelator yang merupakan senyawa organik yang berperan dalam melepaskan ikatan kompleks logam yang terikat pada molekul batubara, seperti asam oksalat, asam malat, asam etilendiamina tetraasetat (EDTA), asam salisilat, trietanolamina (TEA) dan 1, 10-fenantrolin (Fakoussa, 1994), dan sekresi enzim berupa enzim pendegradasi lignin secara umum dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lakase (Lac) dan peroksidase (lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP)) (Perez dkk., 2002).


(40)

2.5. Kerangka Berpikir

Batubara Salah Satu Sumber Energi di

Indonesia

Batubara Kualitas Rendah Melimpah di Indonesia

Terutama Lignit

Gasifikasi

Peningkatan kualitas batubara lignit Kurang diminati

masyarakat dalam pemanfaatannya

Fisika Kimia Biologi

Liquifikasi

Hasil pembakaran menghasilkan asap, mengakibatkan

pencemaran udara

Biosolubilisasi

Mikroba indigenus

Kapang

Trichoderma

sp.

Interaksi Mikroba indigenus&

Kapang

Trichoderma sp.

Produk sumber energi alternatif yang lebih

ekonomis & ramah lingkungan


(41)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung mulai dari bulan Maret sampai dengan Mei 2011. Tempat penelitian dilakukan yaitu, di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Pasar Jum’at, Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat utama yang digunakan adalah kromatografi gas - spektrometer massa (GCMS) Shimadzu QP 2010, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), spektrofotometer UV-Vis Spectronic Genesys 2, spektrometer Fourier Transform Infra Red (FTIR), mikroskop berkamera Nikon, timbangan analitik, autoklaf, refrigerator, shaking inkubator, pH meter dan saringan berukuran 100 mesh. Bahan–bahan yang digunakan adalah batubara jenis lignit dengan ukuran 100 mesh yang berasal dari Sumatera Selatan, Minimal Salt Solution (MSS/ 1 g (NH4)2SO4, 0,52 g Mg(SO4).7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 g FeSO4, 0,003 g

ZnSO4.7H2O dan 0,003 g MnCl2 lalu ditambah akuades hingga volumenya

mencapai 1000 ml ), Potato Dextrose Agar (PDA), Trypticase Soy Broth (TSB) agar bakto, sukrosa, ekstrak ragi, aseton, KH2PO4, alumunium foil, akuades,

alkohol 70%, larutan fisiologis (NaCl 0,85%), alkohol 96%, lugol, crystal violet, safranin, benzen, heksana, dietil eter, glukosa 0-250 ppm, H2SO4, K2Cr2O7,


(42)

digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Media.

* Konsentrasi dipekatkan 2 kali

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat–alat gelas yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan, lalu disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC pada tekanan 1 atm selama 15 menit. Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70% (Waluyo, 2008).

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara

Batubara asal Sumatera Selatan digerus dengan mortar secara aseptik di dalam LAFC kemudian disaring menggunakan penyaring dengan ukuran 100 mesh dan diayak. Sampel batubara yang berhasil tersaring ditimbang masing-masing 25 g sebanyak empat kali. Batubara ditempatkan ke dalam petri yang sebelumnya dilapisi alumunium foil. Dua petri berisi batubara yang disterilisasi

Nama Media Agar (g) MSS (ml) PDA (ml) * TSB (ml) * Ekstra k Ragi (g) Sukrosa (g) Serbuk batubar a (g) Keterangan

MSS+ - 500 - - 0,05 0,5 25 Biosolubilisas

i

PDMA - 500 500 - - - 1 Peremajaan

kultur, enumerasi

fungi, Kolonisasi

TSMA 15 500 - 500 - - 1 Enumerasi


(43)

25

dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dan dua petri berikutnya berisi batubara yang dibiarkan tanpa proses sterilisasi.

3.3.3. Pembuatan Media Minimal Salt Solution (MSS)

Pembuatan media MSS dilakukan dengan cara menimbang bahan seperti 0,52 g MgSO4.7H2O; 0,003 g ZnSO4.7H2O; 5 g KH2PO4; 0,005 g FeSO4; 1

g NH4(SO4) (Silva dkk., 2007), ditambahkan 0,003 g MnCl2 (Sugoro dkk., 2011)

sebagai modifikasi komposisi media dengan asumsi keberadaan enzim mangan peroksidase setelah itu ditera dengan air akuades hingga 1 liter, kemudian dilarutkan sampai homogen. Media MSS dibuat dalam 2 liter untuk media perlakuan. Media MSS kemudian ditempatkan masing-masing 500 ml ke dalam empat Erlenmeyer berbeda, ditambahkan dengan sukrosa 0,1% (0,5 g) dan ekstrak ragi 0,01% (0,05 g). Campuran dihomogenkan kemudian disterilisasi selama 15 menit dalam suhu 1210C.

3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar (PDMA)

Media PDMA dibuat dengan menimbang PDA sebanyak 39 g dilarutkan dengan akuades 500 ml, media ini dipekatkan dua kali. Dipersiapkan Erlenmeyer yang berbeda untuk dibuat media MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi sebanyak 500 ml kemudian ditambahkan 0,1 % batubara dan dihomogenkan. Media PDA dan MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi + batubara, disteril di dalam autoklaf selama 15 menit dalam suhu 1210C. Setelah selesai disterilisasi, kedua


(44)

media itu dicampur dalam satu Erlenmeyer dihomogenkan kemudian dengan segera dituang ke dalam cawan petri steril.

3.3.5. Media Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)

Media TSMA dibuat dengan menimbang sebanyak 30 g Trypticase Soy Broth (TSB) dan 1,5 % dari volume total yaitu 15 g agar dalam 500 ml dengan konsentrasi dipekatkan dua kali. Pada Erlenmeyer berbeda dipersiapkan media MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi 500 ml ditambah dengan 0,1 % batubara dari volume total yaitu 1 g. Kedua media disterilisasi selama 15 menit pada suhu 1210C. Setelah sterilisasi selesai dilakukan pencampuran kedua media menjadi satu, dihomogenkan dan segera dituang ke dalam cawan petri steril.

3.3.6. Pembuatan Kultur Inokulum Spora Trichoderma sp.

Isolat kapang Trichoderma sp. (Lampiran 9) diremajakan menggunakan media PDMA dan diinkubasi selama 4-7 hari pada suhu ruang hingga menghasilkan spora. Sebanyak 10 ml NaCl 0,85% steril dimasukkan ke dalam cawan petri berisi isolat kapang, kemudian spora kapang dilepaskan menggunakan ose hingga tampak larut di dalam larutan.

3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara

Media MSS yang telah disterilisasi sebelumnya, ditambahkan 5% batubara disesuaikan dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Setiap perlakuan terdiri atas dua kali pengulangan (duplo). Sebanyak 500 ml


(45)

masing-27

masing media ditempatkan ke dalam empat Erlenmeyer berbeda sebagai media perlakuan. Pada perlakuan B dan D ditambahkan kultur inokulum sebanyak 10% (106 sel/ml v/v) sedangkan perlakuan A dan C tidak diberi inokulum sebagai kontrol. Kontrol dibedakan pada perlakuan A digunakan batubara steril (diautoklaf) sedangkan perlakuan C digunakan batubara yang masih mentah. Kemudian semua kultur perlakuan diinkubasi di atas shaking inkubator dengan agitasi 120 rpm, pada suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke-0, 2, 7, 14, 21, dan 28.

Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara.

Perlakuan Batubara

steril

Batubara mentah

Inokulum kapang

Trichoderma sp

A + - -

B + - +

C - + -

D - + +

Keterangan

+ : Ditambahkan ke dalam komposisi media - : Tidak ditambahkan ke dalam komposisi media

Setiap kali dilakukan pencuplikan, sampel kultur dimasukkan ke dalam

tube kemudian disaring sebanyak 2/3 volume menggunakan kertas saring hingga diperoleh supernatan yang sudah terpisah dari endapan batubara. Sisa kultur yang ada di dalam tube digunakan untuk pengukuran pH, pengamatan kolonisasi secara mikroskopis dan enumerasi kapang serta mikroba indigenos. Supernatan yang didapat dimasukan ke dalam yellow tube untuk ditentukan kadar asam humat dan fulvat, solubilisasi batubara menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan GCMS.


(46)

Endapan produk dari supernatan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 550C untuk analisa gugus fungsi menggunakan FTIR.

3.3.8. Pengukuran pH Media

Supernatan dari masing-masing perlakuan diukur nilai pH-nya menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan setiap pencuplikan pada hari ke-0, 2, 7, 14, 21 dan 28.

3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi

Media PDMA dan TSMA masing-masing dituang ke dalam petri sebanyak 15 ml dibiarkan mengeras. Dilakukan pengenceran pada sampel pada tiap pencuplikan. Pengenceran disesuaikan dengan lama inkubasi. Semakin lama masa inkubasi kultur maka semakin banyak seri pengenceran yang dilakukan. Setelah itu, larutan dari tiga pengenceran terakhir diinokulasikan pada media PDMA dan TSMA dengan metode sebar. Pada media TSMA enumerasi dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi sedangkan pada media PDMA enumerasi dilakukan setelah 4-7 hari masa inkubasi. Total jenis dan total individu yang muncul semua dicatat untuk dilakukan perhitungan jumlah sel. Jenis bakteri dan fungi yang muncul diamati secara makroskopis dengan mencatat ciri-ciri yang tampak sedangkan untuk pengamatan mikroskopis dilakukan dibawah mikroskop. Khusus untuk bakteri dilakukan pewarnaan Gram untuk mengetahui kemurnian dan bentuk sel.


(47)

29

Kolonisasi miselia kapang terhadap batubara diamati untuk mengetahui aktifitas biosolubilisasi terutama oleh kapang. Sampel kultur diambil menggunakan pipet bersih diteteskan di atas kaca preparat bersih diberi tanda nama isolat sesuai perlakuan. Diamati di bawah mikroskop kolonisasi yang terjadi dengan perbesaran 400 kali.

3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm

Pengukuran biosolubilisasi dilakukan dengan melakukan analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi. Produk biosolubilisasi (supernatan) yang diperoleh selama waktu sampling dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 dan 450 nm. Perubahan pola panjang gelombang diamati pada kisaran panjang gelombang 200– 600 nm untuk mengetahui perubahan gugus kromofor produk biosolubilisasi batubara. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula (Selvi dkk., 2007).

3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat

Supernatan dari kultur diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan K2Cr2O7 5 ml diaduk dan ditambahkan

7,5 ml H2SO4 dihomogenkan kembali. Campuran larutan itu dibiarkan beberapa

saat hingga dingin, setelah itu ditambahkan air suling kurang lebih 50 ml lalu diaduk dan kembali dibiarkan hingga dingin. Setelah dingin larutan tersebut ditera


(48)

hingga tanda batasnya, dikocok sampai homogen. Kadar asam humat dan fulvat dalam larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm, dengan menggunakan deret standar glukosa 0-250 ppm (Graham, 1948 dan Shnitzer, 1984 dalam Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk Balai Penelitian Tanah 2009).

Analisis Spektrometer FTIR ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara. Produk biosolubilisasi batubara dianalisis dengan FTIR pada range frekuensi 4000-450 cm-1. Produk biosolubilisasi (supernatan) yang akan diuji ditentukan dari nilai biosolubilisasi tertinggi. Produk (supernatan) yang diperoleh dilakukan dehidrasi (penghilangan air) menggunakan alkohol 70% dengan perbandingan 3:1 kemudian di masukkan ke dalam oven dengan suhu 550C hingga cairan menguap dan tersisa residu produk. Residu produk yang akan diuji dicampurkan dengan serbuk KBr kering hingga menyatu menggunakan lumpang dan serbuk campuran produk dimasukkan ke dalam disk holder kemudian direkam dengan alat spektrometer FTIR. Kontrol yang digunakan ekstrak produk batubara mentah dan batubara steril pada hari ke-0.

3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS

Supernatan dan pelarut dicampur dengan perbandingan 1:1, pelarut yang digunakan adalah benzene: heksana: dietil eter dengan perbandingan 3:1:1. campuran tersebut dimasukan kedalam tabung reaksi lalu divortex sampai

3.3.12. Analisis Gugus Fungsi Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer FTIR


(49)

31

bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi jenis senyawa dan menentukan kadar hasil solubilisasi batubara dengan menggunakan GCMS selanjutnya dimasukan ke dalam vial untuk dianalisis dengan alat GCMS. Kondisi optimum GCMS yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3.Kondisi Optimum GCMS (Silva dkk., 2007)

Spesifikasi Keterangan

Nama kolom Dimethyl polysiloxane

Panjang kolom 30 m

Diameter kolom 0,25 mm

Ketebalan kolom 0,25µm df

Jenis kolom Non polar

Suhu kolom oven 50 oC

Suhu injeksi 280 oC

Cara injeksi Split

Cara kontrol aliran Kecepatan linear

Tekanan 90,7 kPa

Total aliran 19,9 mL/menit

Aliran kolom 1,54 mL/menit

Kecepatan linear 45 cm/detik

Jumlah sampel 5 µl

Fase diam Sampel batubara cair

Fase gerak Gas helium

3.3.14. Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis menggunakan Analysis of Variance

(ANOVA) satu arah dan uji lanjutan Duncan (p=0,05), dibantu dengan program SPSS 16 serta secara visual data meliputi parameter yang diamati disajikan dalam bentuk kurva menggunakan program Excel 2007.


(50)

3.4. Skema Penelitian

Analisis sampel

- Pengukuran pH media kultur

- Perubahan populasi bakteri dan fungi

- Analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi

- Perubahan pola panjang gelombang 200-600 nm

- Produksi asam humat dan fulvat

- Karakteristik gugus fungsi hasil biosolubilisasi batubara

- Identifikasi senyawa hasil biosolubilisasi dengan GCMS

Analisis data

Pencuplikan sampel biosolubilisasi pada hari ke -

B (MSS+ batubara steril 5% +

Trichoderma sp.) A (MSS +

batubara steril 5%)

C (MSS + batubara mentah

5%)

D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.)

0 2 7 14 21 28

Inkubasi pada suhu ruang di atas

shaking inkubator dengan agitasi 120 rpm

Peremajaan

Inokulum spora Isolat kapang

Trichoderma sp.

Media MSS Batubara Lignit

Batubara mentah (nonsteril)

Batubara diautoklaf (steril)


(51)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perubahan pH Media

Media kultur perlakuan yang diuji dalam proses biosolubilisasi menunjukkan terjadinya perubahan pH selama inkubasi hingga hari ke-28 (Gambar 8). Secara statistik uji anova satu arah menunjukkan bahwa media perlakuan mempengaruhi nilai pH media (p≤0,05) (Lampiran 6). Pengaruh perlakuan terhadap nilai pH disebabkan adanya kombinasi agen pengsolubilisasi pada masing-masing perlakuan (Tabel 2). Hasil uji statistik lanjutan yaitu uji Duncan (p=0,05) menunjukkan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) memiliki nilai pH tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Perubahan pH pada perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) terjadi akibat adanya proses agitasi. Proses agitasi mengakibatkan terlepasnya sulfur anorganik selama masa inkubasi (Wise, 1990). Batubara mengandung sulfur dalam bentuk anorganik dalam bentuk sulfit dan sulfat (Speight, 1994). Selain itu, tingginya nilai pH media A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8) disebabkan tidak diinduksikan kapang Trichoderma sp. Penambahan spora kapang Trichoderma sp. menciptakan kondisi yang lebih asam dibuktikan dengan nilai pH media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan nilai pH yang paling rendah (Gambar 8).


(52)

Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Pada pencuplikan hari ke-2, 7, 14, dan 21 terjadi penurunan pH dalam semua media kultur perlakuan termasuk pada media kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%). Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadinya aktivitas metabolisme di dalam media yang dilakukan baik oleh mikroba indigenus maupun oleh kapang Trichoderma sp. bahkan kolaborasi di antara keduanya kecuali pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%). Penurunan pH dapat disebabkan oleh pembentukan asam-asam organik berupa asam karboksilat, asam fulvat yang merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara. Produksi asam humat dan fulvat sebagai produk biosolubilisasi dibuktikan dengan pengukuran kadarnya pada parameter terjadinya biosolubilisasi (Gambar 13). Hal tersebut serupa

3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5

0 7 14 21 28

pH

Waktu (hari)

A B C D


(53)

35

dengan penelitian yang dilakukan Arianto dkk. (2005) yang menyatakan penurunan pH disebabkan terurainya komponen batubara berupa asam humat dan fulvat. Batubara yang mengandung senyawa sulfur (Speight, 1994) diduga mengalami desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat (Hammel, 1996) sehingga

menciptakan kondisi media asam. Keasaman media juga disebabkan dalam proses biosolubilisasi batubara terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton (Shi dkk., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzena dan hidroksi, bersifat asam dan mudah dioksidasi lebih lanjut menjadi asam karboksilat. Keton juga bersifat asam karena terbentuk dari oksidasi alkohol sekunder. Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas degradasi kapang yang melibatkan enzim di antaranya lignin peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase (Sugoro dkk.,2011).

Pada akhir masa inkubasi (hari ke-28) terjadi sedikit kenaikan nilai pH kecuali pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8). Peningkatan nilai pH tersebut diduga disebabkan terbentuknya senyawa amonia hasil penguraian senyawa piridin dalam batubara yang larut dalam media dan bereaksi dengan air membentuk ammonium hidroksida (NH4OH) yang bersifat

basa lemah (Yin dkk., 2009). Nilai pH yang meningkat juga diduga disebabkan lisisnya sel di dalam media kultur akibat mulai terbentuknya zat sisa metabolit yang bersifat racun untuk sel. Sel yang lisis di dalam media, kemudian terdeaminasi kembali sebagai sumber nitrogen untuk metabolisme mikroba yang masih bertahan sehingga terjadi efek buffering (Kirk dkk., 1986). Keberadaan


(54)

senyawa alkali seperti ammonium dapat meningkatkan hidrosifilitas sehingga batubara dapat bercampur dengan air dan media (Fakoussa & Hofrichter, 1999).

4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi

Proses biosolubilisasi batubara melibatkan berbagai macam mikroba seperti bakteri dan fungi karena struktur penyusun batubara yang kompleks dan heterogen. Bakteri sebagai salah satu yang ikut serta dalam proses tersebut diamati pertumbuhan dan keanekaragaman jenisnya. Kurva enumerasi log bakteri (Gambar 9) menandakan bahwa kehidupan bakteri berlangsung. Kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih teratur dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) yang terlihat fluktuatif. Kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) tidak terlihat pertumbuhan bakteri disebabkan penggunaan batubara yang telah disterilisasi.

Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan bahwa bakteri langsung terdaptasi (Gambar 9) dalam media kultur ditunjukkan dengan fase pertumbuhan yang langsung mengalami peningkatan didukung pula kondisi pH yang menurun menandakan adanya proses metabolisme (Gambar 8). Bakteri indigenus yang terdapat di dalam batubara memiliki kemampuan memanfaatkan secara langsung penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon primer. Setelah sumber karbon primer habis ditandai dengan menurunnya kurva enumerasi yang cukup signifikan, diduga bakteri mulai memanfaatkan sumber


(55)

37 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 7 14 21 28

J u m la h l o g C F U /m l Waktu (Hari) A B C D 2

karbon baru pada hari ke-7 sampai hari ke-14. Bakteri pada keadaan ini melakukan sintesis enzim baru yang sesuai dengan media terutama batubara untuk memperoleh sumber karbon sekunder. Proses adaptasi bakteri dengan kondisi lingkungan yang baru menyebabkan terjadinya pertambahan volume sel, akan tetapi tidak terjadi pertambahan jumlah sel (Purwoko, 2007).

Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Produksi enzim pendegradasi batubara oleh bakteri untuk memperoleh sumber karbon dari batubara mengakibatkan kurva kembali meningkat (Gambar 9) yang menandakan terjadinya peningkatan pertumbuhan bakteri hingga mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke-21. Selanjutnya, pada hari ke-28 kurva kembali mengalami penurunan diduga media sudah banyak mengandung senyawa-senyawa hasil degradasi yang bersifat toksik bagi bakteri sehingga


(56)

banyak sel yang lisis. Hal ini didukung pula dengan peningkatan nilai pH (Gambar 8). Fluktuasi kurva pertumbuhan bakteri pada kultur C (MSS + batubara mentah 5%) diduga disebabkan oleh adanya bakteri yang saling bersaing untuk mendominasi di dalam substrat. Hal tersebut didukung dengan keanekaragaman bakteri yang muncul (Gambar 10).

Penambahan inokulum spora Trichoderma sp. pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menyajikan kurva enumerasi yang berbeda dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (Gambar 9). Kurva yang tercipta tampak teratur dan tidak terlalu terlihat fluktuatif. Sama halnya pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%), pada awal inkubasi kurva menunjukkan peningkatan. Hal tersebut terkait pada penggunaan sumber karbon primer berupa sukrosa dan ekstrak ragi yang menunjukkan bahwa bakteri indigenus sudah teradaptasi sebelumnya. Kurva meningkat sejak awal inkubasi hingga hari ke-7 (Gambar 9). Peningkatan pada kurva enumerasi diduga disebabkan oleh sel yang memanfaatkan penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon dalam media kultur selain itu, aktivitas dari kapang Trichoderma sp. yang diinduksikan mulai mendegradasi batubara ikut andil dalam mempertahankan peningkatan kurva sejak awal inkubasi. Setelah itu, kurva tampak stasioner hingga hari ke-14 diduga hal tersebut terjadi akibat habisnya sumber karbon awal dan kemudian kurva mengalami sedikit peningkatan kembali namun tidak meningkat setinggi seperti pada awal inkubasi. Hari terakhir inkubasi yaitu hari ke-28 kurva mengalami penurunan yang menunjukkan bahwa jumlah sel berkurang. Berkurangnya jumlah


(57)

39

sel disebabkan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik bagi sel sehingga sel mengalami lisis.

Jenis bakteri yang ditemukan secara keseluruhan dari semua perlakuan berjumlah 8, yaitu BM04, BM21, BM01, BMT01, BM02, BMT24, BM23, dan BMT71 (Gambar 10 dan Lampiran 1). Bakteri yang ditemukan umumnya berbentuk batang (basil) yang saling lepas (Lampiran 2). Pokorny’ dkk. (2005) menyatakan bakteri yang ditemukan pada batubara lignit berupa batang (Bacillus). Sebagian besar isolat bakteri yang diperoleh memiliki karakteristik Gram negatif (Lampiran 2).

Pola pertumbuhan bakteri yang terbentuk, merupakan pola pertumbuhan yang melibatkan beberapa jenis bakteri. Kumpulan bakteri ini diduga membentuk suatu konsorsium dalam memanfaatkan kandungan nutrien di dalam media kultur perlakuan. Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) pada saat kurva mengalami kenaikan didominasi oleh bakteri jenis BM01 ( 2,9. 102 CFU/ml) (Gambar 10). Jenis bakteri tersebut tidak ditemukan lagi pada hari pengamatan ke-2 dan 7 namun pada hari ke 14-28 bakteri jenis tersebut kembali mendominasi. Diperkirakan bakteri jenis tersebut merupakan bakteri pengguna fraksi sederhana. Kandungan sukrosa dan ekstrak ragi yang terkandung dalam media kultur dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri jenis tersebut. Setelah habis, bakteri tersebut tidak mampu merombak struktur batubara yang kompleks dan heterogen sehingga tercipta kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan terbatasnya nutrien diduga mengakibatkan bakteri jenis BM01 mengalami masa dorman hingga tercipta


(58)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 2 7 14 21 28

L o g C F U /m l Waktu (Hari) BM04 BM21 BM01 BMT01 BM02 BMT24 BM23 BMT71 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 2 7 14 21 28

L o g C F U /m l Waktu (Hari) BM04 BM21 BM01 BMT01 BM02 BMT24 BM23 BMT71

kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupannya yaitu pada masa akhir masa inkubasi hari ke-14 hingga 28. Usaha mengamankan diri dari kondisi buruk lingkungan menyebabkan bakteri membentuk spora terutama pada bakteri berbentuk batang (Dwidjoseputro, 2005).

Kehadiran bakteri jenis BM04 dengan jumlah 9.104 CFU/ml (Gambar 10) mendominasi pada saat kurva menurun yang terjadi hari 2 hingga hari ke-7 (Gambar 9) dan mengindikasikan kemampuannya untuk menghasilkan enzim yang mampu merombak struktur batubara. Setelah struktur batubara terurai menjadi fraksi yang lebih sederhana hingga hari ke-14, bakteri jenis BM01 kembali mendominasi pada hari selanjutnya hingga kurva kembali meningkat. Masa akhir inkubasi kurva kembali menurun yang diduga memasuki fase kematian (Gambar 9).

Gambar 10. Perubahan populasi bakteri pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.)

Sama halnya pada kultur pelakuan C (MSS + batubara mentah 5%), pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) bakteri


(59)

41

jenis BM01 (4,8.102 CFU/ml) pun mendominasi (Gambar 10). Peningkatan kurva yang cukup lama hingga hari ke-7 (Gambar 9) terdapat beragam bakteri yang mendominasi (Gambar 10). Hari ke-2 bakteri BM04 (103 CFU/ml) yang mendominasi sedangkan pada hari ke-7 bakteri jenis BM02 (1,7.104 CFU/ml) yang mendominasi. Keterlibatan kapang Trichoderma sp. cukup mempengaruhi pola dominasi bakteri. Bakteri BM01 (2,3.107 CFU/ml) kembali mendominasi pada hari ke-14, terurainya senyawa penyusun batubara menjadi fraksi sederhana mengakibatkan memuncaknya pertumbuhan bakteri jenis tersebut. Diduga pada hari ke-21 tercipta kondisi yang tidak mendukung kehidupan bakteri jenis BM01 yang mengakibatkan bakteri jenis ini mengalami kondisi dorman dan mengakibatkan mendominasinya bakteri jenis lain, yaitu BM23 (3,6.107 CFU/ml).

Kehadiran bakteri jenis BM23 menunjukkan kemampuannya dalam

memanfaatkan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan bagi bakteri jenis BM01. Aktivitas bakteri jenis BM23 tersebut mengakibatkan terciptanya kondisi lingkungan yang mendukung bagi bakteri jenis BM01 sehingga bakteri jenis tersebut kembali mendominasi pada akhir masa inkubasi (hari ke-28).

Berbagai macam bakteri yang mendominasi pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) (Gambar 10) menunjukkan terjadinya suksesi. Perubahan dominansi inilah yang menyebabkan naik turunnya kurva sehingga membentuk pola pertumbuhan konsorsium bakteri. Populasi yang dominan adalah populasi yang dapat memanfaatkan sebagian besar sumber karbon yang terkandung di dalam kultur perlakuan. Sumber karbon pada kultur perlakuan yang telah habis mengakibatkan


(60)

populasi yang mendominasi akan berkurang bahkan tidak hadir dan segera digantikan lagi oleh populasi yang lain yang lebih cocok terhadap substrat hasil degradasi sebelumnya, demikian seterusnya.

Proses biosolubilisasi batubara yang tersusun oleh senyawa kompleks dan heterogen secara sempurna tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri tetapi dilakukan oleh suatu kumpulan mikroorganisme secara sinergistik (Atlas & Bartha, 1995). Pertumbuhan yang berfluktuatif merupakan ciri utama terjadinya proses perombakan senyawa kompleks oleh berbagai jenis bakteri dalam bentuk konsorsium. Batubara tersusun oleh senyawa heterogen dan kompleks, sedangkan tiap bakteri memiliki enzim yang spesifik bekerja pada substrat tertentu sehingga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mendegradasinya. Oleh karena itu, setiap jenis bakteri secara bergantian akan mendominasi konsorsium sesuai dengan sumber karbon yang terkandung dan mampu dimanfaatkannya (Nugroho, 2007).

Penggunaan kultur campuran mengakibatkan keterlibatan beragamnya mikroba baik bakteri dan fungi (kapang dan khamir). Proses biosolubilisasi dengan melibatkan berbagai komponen biologis mengakibatkan terbentuknya suatu hubungan antar mikroba baik itu hubungan yang saling menguntungkan maupun sebaliknya. Oleh sebab itu, semua komponen populasi diamati agar terlihat hubungan yang terbentuk.

Pada media kultur terutama C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) terdapat beberapa jenis kapang yang diduga terlibat dalam proses biosolubilisasi selain kapang Trichoderma sp.


(61)

43

yang ditambahkan ke dalam media kultur. Jenis kapang yang ditemukan disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 3. Penggunaan batubara yang telah disteril di dalam autoklaf (kultur perlakuan A) tidak ditemui jenis kapang apapun yang tumbuh di dalam media kecuali adanya penambahan spora kapang Trichoderma sp. pada kultur perlakuan B (MSS++ batubara steril+ kapang Trichoderma sp.). Kapang

Trichoderma sp. yang disebar dengan metode spread plate di atas media Potato Dektrose Mineral Agar (PDMA) tumbuh membentuk koloni yang penuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapang Trichoderma sp. dalam kultur perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) sebagai agen pengsolubilisasi tunggal. Berbeda dengan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) yang melibatkan beragamnya agen biologis yang terlibat dalam proses biosolubilisasi selain bakteri, fungi pun ikut terlibat di dalamnya. Fungi berupa kapang yang disebar di atas media PDMA terdapat empat jenis yang berbeda yaitu KPC21, KPC04, KPC724 dan KPC22 (Lampiran 3). Pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.), induksi kapang Trichoderma sp. mendominasi, yang ditandai dengan tidak ditemukannya kapang jenis lain (Tabel 4).

Penambahan inokulum Trichoderma sp. pada media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.), mengindikasikan bahwa kapang jenis ini mendominasi. Kapang jenis Trichoderma sp. merupakan jamur antagonis bagi beberapa jenis kapang lainnya di habitatnya (Purwantisari & Hastuti, 2009) sehingga pada media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma


(62)

Tabel 4. Populasi kapang pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), (B (MSS + batubara steril 5%+ Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Kapang yang ditemukan

Waktu Inkubasi (hari)

0 2 7 14 21 28

A

Trichoderma sp. - - - -

KPC22 - - - -

KPC724 - - - -

KPC04 - - - -

KPC21 - - - -

B

Trichoderma sp. ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ ++++

KPC22 - - - -

KPC724 - - - -

KPC04 - - - -

KPC21 - - - -

C

Trichoderma sp. - - - -

KPC22 - +++ - - - -

KPC724 - + - - - -

KPC04 ++ - - - - -

KPC21 ++++ +++ ++ - - -

D

Trichoderma sp. +++ +++ +++ +++ +++ +++

KPC22 - - - -

KPC724 - - - -

KPC04 - - - -

KPC21 - - - -

Keterangan:

+ : Koloni tumbuh <1/3 diameter petri (9 cm) ++ : Koloni tumbuh 1/3 diameter petri (9 cm) +++ : Koloni tumbuh 1/2 diameter petri (9 cm) ++++ : Koloni tumbuh penuh diameter petri (9 cm)

Aktivitas kapang dalam proses biosolubilisasi ditandai adanya interaksi antara miselium dengan batubara dalam bentuk kolonisasi (Lampiran 5).

Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa kapang indigenus maupun induksi kapang Trichoderma sp. menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dengan bantuan enzim yang mengakibatkan terjadinya


(63)

45

biosolubilisasi. Pada umumnya enzim yang terlibat dalam degradasi lignin yang merupakan salah satu komponen penyusun batubara terdiri dari dua kelompok utama berupa lakase dan peroksidase (MnP dan LiP) (Chahal & Chahal, 1998).

Kolonisasi tampak jelas teramati pada media perlakuan yang telah ditambahkan inokulum kapang Trichoderma sp. yaitu pada kultur perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) dan D (MSS + batubara mentah 5% + kapang Trichoderma sp.) (Lampiran 5). Awal inkubasi inokulum kapang masih berupa spora dan mulai bergerminasi yang pada akhirnya berkolonisasi bahkan menghasilkan spora baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugoro dkk. (2011), menyatakan bahwa kapang Trichoderma sp. berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara lignit. Dipta (2010), membuktikan bahwa kapang Trichoderma sp. dapat menggunakan substrat batubara namun jenis subbituminus untuk proses metabolismenya dan dapat mengsolubilisasi batubara dengan bantuan enzim ekstraselularnya.

Selain bakteri dan kapang, khamir juga ikut andil dalam proses biosolubilisasi terutama kehadirannya cukup signifikan pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (Lampiran 4). Pertumbuhan khamir dapat dilihat pada Gambar 11 yang terlihat cukup fluktuatif dan menurun drastis pada hari ke-2 dan puncak pertumbuhan terjadi pada hari ke-14 (7,9.106 CFU/ml) dan hari ke-28 (2,1.107 CFU/ml), kehadirannya mempengaruhi keberadaan kapang. Khamir tumbuh dan bereproduksi lebih cepat dibandingkan dengan kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibandingkan dengan kapang karena mempunyai perbandingan luas


(64)

permukaan dengan volume yang lebih besar (Fardiaz, 1989). Pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) tidak ditemukan khamir yang tumbuh, diduga karena adanya induksi kapang Trichoderma sp. yang mendominasi pertumbuhan di dalam medium (Gambar 10 dan 11).

Gambar 11. Pertumbuhan khamir pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Perubahan populasi dapat disebabkan oleh adanya perubahan pH pada media (Gambar 8). Nilai pH yang menunjukkan keadaan yang semakin menurun (Gambar 8) menunjukkan meningkatnya jumlah bakteri (Gambar 10). Setiap bakteri memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu sekitar 4 dan 9 (Pelczar & Chan, 2005) dan metabolisme bakteri sendiri dipengaruhi oleh enzim spesifik dan pada umumnya berupa enzim yang mampu memecah lignin, kinerja enzim dipengaruhi oleh pH. Pada fungi terutama kapang dapat tumbuh pada kisaran pH 2-8,5

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 7 14 21 28

L

o

g

C

F

U

/m

l

Waktu (Hari)

C D


(65)

47

sedangkan khamir dapat tumbuh pada kisaran pH yang lebih asam yaitu 4-4,5 (Fardiaz, 1989).

4.3. Analisis Produk Biosolubilisasi

4.3.1. Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi

Batubara tersusun dari senyawa lignin yang mengandung senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi (Hammel, 1996). Aktivitas biosolubilisasi oleh mikroba indigenus maupun kapang Trichoderma sp. mengakibatkan terlarutnya batubara bercampur dengan medium dan menyebabkan terlepasnya senyawa yang mengandung gugus fenolik maupun aromatik. Batubara yang terlarut mengakibatkan perubahan warna pada medium sehingga pengukuran tingkat biosolubilisasi dilakukan berdasarkan gugus kromofor yang terbentuk. Tingkat biosolubilisasi ditentukan dengan mengukur gugus kromofor dengan absorbansi pada 250 dan 450 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran pada panjang gelombang 250 nm digunakan untuk mengukur adanya senyawa fenolik sedangkan panjang gelombang 450 nm untuk mengukur adanya senyawa aromatik terkonjugasi (Selvi dkk., 2009).

Secara statistik uji anova satu arah bahwa perlakuan mempengaruhi keberadaan senyawa fenolik tetapi hasil yang sebaliknya ditunjukkan oleh keberadaan senyawa aromatik terkonjugasi (p≤0,05) (Lampiran 7). Keberadaan senyawa fenolik pada perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan tidak berbeda nyata sama halnya pada perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara


(1)

Nilai Analisis Senyawa Aromatik Terkonjugasi

Uji Statistik Anova Senyawa Aromatik Terkonjugasi

Uji Statistik Duncan Senyawa Aromatik Terkonjugasi Hari

ke-

A B C D

1 2 1 2 1 2 1 2

0 0,02 0,04 0,046 0,044 0,050 0,052 0,038 0,032 2 0,01 0,03 0,116 0,106 0,125 0,119 0,170 0,171 7 0,02 0,02 0,054 0,044 0,114 0,053 0,067 0,065 14 0,03 0,03 0,033 0,027 0,049 0,046 0,057 0,055 21 0,04 0,02 0,057 0,053 0,063 0,061 0,019 0,021 28 0,02 0,04 0,047 0,043 0,041 0,045 0,009 0,011

Jumlah Kuadrat df

Kuadrat

Tengah F Sig.

Senyawa Aromatik Terkonjugasi

Antar

Kelompok 0,012 3 0,004 2,836 0,052

Dalam

Kelompok 0,051 36 0,001

Total 0,064 39

Perlakuan N

alpha = 0.05

1 2

A 10 0,0260

B 10 0,0580 0,0580

D 10 0,0645

C 10 0,0716


(2)

Nilai Asam Humat

Uji Statistik Anova Asam Humat

Jumlah Kuadrat df

Kuadrat

Tengah F Sig.

As.Humat Antar

Kelompok 0,054 3 0,018 10,121 0,000

Dalam

Kelompok 0,064 36 0,002

Total 0,118 39

Uji Statistik Duncan Asam Humat

Perlakuan N

alpha = 0,05

1 2

A 10 0,0126

B 10 0,0788

C 10 0,0816

D 10 0,1139

Sig. 1,000 0,087

Hari ke-

A B C D

1 2 1 2 1 2 1 2

0 0,0068 0,0066 0,068 0,066 0,0069 0,0075 0,0070 0,0074 2 0,005 0,009 0,094 0,090 0,0320 0,0324 0,0428 0,0426 7 0,012 0,010 0,053 0,055 0,0407 0,0409 0,0835 0,0833 14 0,012 0,014 0,099 0,095 0,153 0,155 0,161 0,167 21 0,014 0,018 0,0527 0,0529 0,0487 0,0489 0,0802 0,0802 28 0,015 0,017 0,097 0,099 0,129 0,135 0,201 0,197


(3)

Nilai Asam Fulvat

Uji Statistik Anova Asam Fulvat Jumlah

Kuadrat df

Kuadrat

Tengah F Sig.

As.Fulvat Antar

Kelompok 0,078 3 0,026 14,960 0,000

Dalam

Kelompok 0,063 36 0,002

Total 0,141 39

Uji Statistik Duncan Asam Fulvat

Perlakuan N

alpha = 0,05

1 2

B 10 0,0536

A 10 0,0816

C 10 0,1385

D 10 0,1647

Sig. 0,141 0,169

Hari ke-

A B C D

1 2 1 2 1 2 1 2

0 0,0662 0,0664 0,008 0,004 0,0769 0,0767 0,0769 0,0767 2 0,075 0,077 0,048 0,046 0,0667 0,0669 0,1241 0,1245 7 0,074 0,078 0,074 0,074 0,1531 0,1533 0,1175 0,1177 14 0,086 0,084 0,037 0,039 0,107 0,103 0,150 0,130 21 0,084 0,086 0,01481 0,01483 0,1720 0,1724 0,2738 0,2734 28 0,087 0,085 0,093 0,095 0,1999 0,191 0,170 0,166


(4)

Lampiran 8. Kromatogram Hasil GCMS Biosolubilisasi

Kromatogram GCMS perlakuan A


(5)

Kromatogram GCMS Perlakuan C


(6)

Lampiran 9. Inokulum Kapang Trichoderma sp.

A B