Pengaturan-pengaturan Asas Pemisahan Horizontal dan Kepemilikan Hak

melalui Menteri PU mengeluarkan produk hukum mengenai sertifikat bukti kepemilikan bangunanunit bangunan gedung seperti HMSRS sebagai amanah dari Pasal 8 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung yang mengandung asas publisitas seperti benda tanah yang dapat dihipotikkan bukan fidusia seperti di negara Jepang yang menganut jasa pemisahan horizontal juga. Setiap orang atau badan hukum, termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara wajib tunduk dan patuh kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini sebagai pengganti dari Kepmenkimpraswil No. 332KPTSM202 Tahun 2002 tentang pedoman teknis pembangunan bangunan gedung negara yang dinyatakan sudah dicabutdigantikan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45PRTM2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara.

B. Pengaturan-pengaturan Asas Pemisahan Horizontal dan Kepemilikan Hak

Atas Tanah Satuan Rumah Susun Menurut Djuhaendah Hasan 74 , salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah adalah hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan HMSRS sangat penting dalam kerangka hukum tanah. Berdasarkan hal 74 Djuhaendah Hasan, Op.cit, PT. Citra Aditya Banti, Bandung, 1996, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara tersebut, Djuhaendah Hasan membedakan status rumah berdasarkan asas pemisahan horizontal dengan status rumah berdasarkan asas pelekatan vertikal. Status rumah berdasarkan asas pelekatan vertikal adalah mengikuti status tanahnya. Rumah tertancap menyatu dengan tanah dan tidak dapat lepas dari tanah dimana rumah itu berdiri. Berbeda dengan status rumah berdasarkan pemisahan horizontal, bahwa tanah akan terpisah dari segala sesuatu yang melekat pada tanah tersebut atau pemilik atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik hak atas tanah dapat berbeda dengan pemilik benda tersebut. Berdasarkan asas pemisahan horizontal, kepemilikan rumah tidak selalu harus sama dengan kepemilikan tanah. Asas pemisahan horizontal merupakan asas atau dasar pemikiran yang melandasi atau merupakan latar belakang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini dianut oleh UUPA. Asas pelekatan vertikal merupakan asas pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata. Dewasa ini pengaruh asas pelekatan vertikal yang merupakan dasar hukum pertanahan barat masih besar dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Misalnya, SRS selalu menyatu dengan tanah tanah bersama merupakan pengaruh alam pikiran Barat dan bukan alam pikiran UUPA ataupun hukum adat. Di masyarakat pedesaan anggota masyarakat masih berpikir berdasarkan hukum adat, dimana pemilikan rumah terpisah dari pemilikan atas tanah. Universitas Sumatera Utara Menurut Yakob Mohsin, 75 penerapan asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia tidak dilakukan secara absolut dan konsisten, yaitu terlihat dalam Surat Menteri Pertanian dan Agraria No. 914 tanggal 8 Februari 1964 yang menginstruksikan kepada PPAT agar tidak membuat akta pemindahan hak atas tanah tanpa sekaligus mengalihkan hak bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Dengan adanya surat tersebut, tampak dalam praktik asas pelekatan vertikal juga diterapkan terutama untuk tanah-tanah yang bersertifikat, termasuk untuk sertifikat HMSRS sehingga aspek kepemilikan hak tanah pada SRS baik secara empiris dan normatif menjadi tidak konsisten dengan semangat Pasal 5. Sementara itu, menurut Saleh Adiwinata, 76 dengan berlakunya UUPA yang berlandaskan asas pemisahan horizontalhukum adat, baik yang masih sederhana sebelum berlakunya UUPA maupun yang sekarang yang sudah “dimodernisasikan”, sama sekali tidak mengenal asas asesipelekatan vertikal dan hak eigendom atas tanah yang kini sudah dikonversikan menjadi salah satu hak dalam hukum tanah adat, yaitu Hak Kini Milik. Persoalan accessie hanya penting bagi tanah yang tunduk kepada hukum Eropa hak eigendom dan tidak mungkin terjadi di atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, sebab hukum adat dulu maupun sekarang tidak mengenal asas accessie, bahkan justru mengenal lembaga hukum kebalikannya yaitu numpang, megersari atau lindung. 75 Yakob Mohsin, Pranata-pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan Terhadap Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan Tahun ke XVI, FHUI, Rawamangun, Agustus 1986, hlm. 361. 76 Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, 1982, Bandung, hlm. 88-91. Universitas Sumatera Utara Gow Giok Siong 77 menyatakan bahwa apabila pemilikan tanah tidak dengan sendirinya harus membawa pula pemilikan apa yang dibangun atau ditanam di atas tanah itu. Sebagai analogi, misalnya peraturan pemerintah Hindia Belanda di luar KUHPerdata yaitu “Bataviase Grandhuur” yakni suatu peraturan yang memperkenankan seseorang mempunyai hak eigendom dari bangunan di atas tanah eigendom negara atau orang lain tanpa adanya hak opstal. Dalam konsiderannya menyatakan peraturan ini dikeluarkan guna melindungi pemilik bangunan di atas tanah eigendom orang lain terhadap tindakan sewenang-wenang dari pada pemilik tanahnya. Muchtar Kusumaatmadja 78 berpendapat bahwa dalam hukum tanah, khususnya yang berkaitan dengan gedung, konsep hukum tanah adat yang memisahkan pemilikan atas tanah dari bangunan di atasnya dapat kiranya memberikan jalan keluar pada pembangunan gedung atas tanah milik orang lain khususnya dalam pembangunan rumah susun. Konsep pemisahan horizontal ini akan banyak memecahkan atau mencegah timbulnya masalah “pembebasan tanah” yang dipaksakan, agar pemilikan tanah dan bangunan ada di satu tangan. Permasalahan selanjutnya, dengan adanya hak bersama atas tanah dalam kepemilikan SRS maka dapat menimbulkan permasalahan kepemilikan SRS bagi orang asingWNA, karena pada umumnya pengembang membangun HMSRS di atas tanah HGB. Implikasi hukumnya, sering terjadi penyelundupan hukum atas 77 Bactiar Efendi, Ibid, hlm. 88-91. 78 Muchtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang akan Datang, Majalah Hukum Nasional, BPHN-Depkeh, 1995, hlm. 104. Universitas Sumatera Utara kepemilikan SRS oleh WNA di Indonesia. Sebaliknya, dengan tidak harus memiliki tanah dalam hal kepemilikan rumah, WNA dapat memiliki rumahbenda di atas tanah hak pakai atau dapat memiliki bangunan di atas tanah hak milikHMSRS. Namun, di dalam praktik pembangunan rumah susun menengah ke atas, WNA kurang suka memilih rumah di atas tanah hak pakai, kecuali hak milik freehold title. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum yang dilakukan WNA atas kepemilikan SRS strata unit right di dalam kerangka hukum bendabenda tanah, sehingga dapat mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, menurut penulis seyogianya UUPA dan UURS di-reformdiubahdiamandemen dalam rangka merespon kepentingan semua pemangku kepentingan stakeholders yang terkait dengan praktik pelaksanaan pembangunan rumah susunapartemenkondominium di Indonesia. Sebaliknya, menurut Boedi Harsono 79 ketentuan Pasal 8 UURS tersebut di atas tidak berarti tidak konsisten atas asas pemisahan horizontal dan menggantikannya dengan asas accessiepelekatan vertikal yang digunakan dalam Hukum Barat. Justru sebaliknya merupakan penerapan asas hukum adat pada fenomena modern. Dalam hukum Barat. Justru sebaliknya merupakan penerapan asas hukum adat pada fenomena modern. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa dibangunnya sebuah rumah oleh warga masyarakat hukum adat di atas tanah Hak 79 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2003, hlm. 352-353. Universitas Sumatera Utara Ulayat yang merupakan tanah bersama, membuat hak pribadi pemilik rumah yang bersangkutan. Demikian juga apabila seseorang anggota masyarakat hukum adat memberikan suatu tanda pemilikan pada pohon tertentu di hutan, yang sebelumnya belum ada pemiliknya, maka bukan hanya pohon itu menjadi miliknya, melainkan juga bagian tanah di bawah naungan dedaunan pohon tersebut menjadi hak pribadinya. Sebagai warga masyarakat, menurut hukumnya ia memang berhak dengan meminta izin Kepala Adatnya untuk membangun rumah di atas tanah bersama tersebut. Demikian juga untuk memberi tanda kepemilikan pada pohon yang berada dalam wilayah tanah ulayatnya. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat yang berhubungan dengan tanah terletak dalam lingkungan wilayahnya merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Wewenang dan kewajiban tersebut ada yang meliputi bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah bersama; ada juga yang meliputi bidang hukum publik berupa tugas dan kewenangan mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dengan demikian, di dalam hak ulayat terkandung dua unsur, yaitu : unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan yang termasuk bidang hukum publik. Mengenai hak ulayat ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Namun, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat adat tertentu, sepanjang menurut Universitas Sumatera Utara kenyataannya masih ada. Sebaliknya, hak ulayat yang pada kenyataannya sudah tidak lagi tidak perlu dihidupkan lagi oleh orang yang menduduki tanah tanpa hak atau izin dari yang berhak, kecuali melalui perjanjian sewa atau leasing dengan pemilik tanah. Budi Harsono 80 berpendapat bahwa asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan lagi secara mutlak. Sebab, dikota-kota, bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan. Untuk kelancaran lalu lintas hukum, pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Sebaliknya, di daerah pedesaan masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunantanaman di atasnya. Pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunantanaman di atasnya. Di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal. Di kota-kota besar yang dinamis dan modern azas pemisahan horizontal tidak dapat dipertahankan lagi secara mutlak.

C. Sistem Kondominium Sebagai Dasar Pembangunan Rumah Susun