Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL ORI

C. Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai dari berbagai sumber penerimaan, baik penerimaan yang bersumber dari dalam negeri maupun penerimaan yang bersumber dari luar negeri. Pajak merupakan komponen terbesar dari sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi di maksud. 119 Dalam praktik sering terjadi bahwa penerimaan pemerintah pada saat-saat tertentu tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran yang harus dilaksanakan pada periode dimaksud. Demikian pula hanya pemerintah sering harus melakukan pengeluaran tambahan yang tidak dapat ditangguhkan dan sebelumnya tidak dianggarkan, seperti halnya pengeluaran pemerintah untuk mengatasi banjir, bencana alam, serta pengeluaran-pengeluaran mendesak lainnya. Untuk menutupi hal-hal seperti ini pemerintah terpaksa harus meminjam dari sumber-sumber yang tersedia. Sejak diberlakukannya UU No.3 Tahun 2004 juncto UU No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan pinjaman ataupun kredit talangan kepada pemerintah sehingga satu-satunya alternatif 119 Departemen Keuangan RI, RAPBN Tahun 2007, www.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 yang tersedia untuk tempat meminjam uang bagi pemerintah adalah dari masyarakat luas. 120 Dalam melakukan perbuatan hukum berupa meminjam uang dari masyarakat, kedudukan pemerintah adalah sejajar dengan orang perseorangan atau badan hukum perdata lainnya. Meskipun pemerintah merupakan badan hukum publik, pemerintah tidak mempunyai hak-hak istimewa dalam hal meminjam uang tersebut. Oleh karena itu, pemerintah tunduk kepada aturan-aturan perdata dalam perbuatan hukum pinjam meminjam uang. Pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan perjanjian pinjam-meminjam tersebut seperti membayar kewajiban bunga dan pokok pada waktunya, dan apabila pemerintah tidak melaksanakan janji-janjinya dengan baik akan digolongkan sebagai perbuatan wan prestasiingkar janji. Sebagaimana halnya dengan badan hukum perdata lainnya, pemerintah dapat dituntut di depan pengadilan dalam hal melakukan perbuatan wan prestasiingkar janji. 121 Pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat dengan cara mengeluarkan surat utang. Karena penerbitan surat utang dirasakan sudah merupakan hal yang rutin dan berkesinambungan sehingga perlu pengaturannya melalui ketentuan perundang- undangan yang jelas, pemerintah bersama-sama dengan DPR telah mengeluarkan UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Nagara. Pasal 1ayat 1 UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa: 120 Fachry Ali , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam Mempertahankan Independensi, Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usahbba Indonesia, 2003, hlm.76. 121 Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.232. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 ”Surat utang Negara adalah Surat berharga yang berupa Surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya”. Pasal 4 UU NO.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut menyebutkan bahwa surat utang Negara ditebitkan untuk maksud: 1. Membiayai defisit APBN 2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran, dan 3. Mengelola portofolio utang negara Keseluruhan dari realisasi penerbitan surat utang Negara yang disebutkan pada Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut di atas akan tercatat dan tercemin pada APBN setiap tahunnya. Karena sebagian besar dari APBN diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan ekonomi, penerbitan Obligasi Negara Ritel merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran belanja pemerintah pusat pada APBN-P Tahun 2007 yang tercatat sebesar Rp.493.880 miliar empat ratus sembilan puluh tiga triliun dan delapan ratus delapan puluh miliar rupiah, dan sebesar Rp.393.968 miliar tiga ratus sembilan puluh tiga triliun dan sembilan ratus enam puluh delapan miliar rupiah atau 79,80 dari padanya dialokasikan untuk pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi seperti pembayaran berbagai jenis subsidi, bantuan sosial, bantuan lainnya, pengeluaran untuk belanja barang dan modal, serta Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 pembayaran bunga utang pemerintah. 122 Dari rangkaian data-data yang digambarkan tersebut dapat terlihat bahwa penerbitan ORI pada dasarnya dimaksudkan sebagai alternatif untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Pemanfaatan obligasi pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi merupakan hal yang biasa ditempuh oleh berbagai negara di dunia, termasuk oleh pemerintah Amerika Serikat sendiri. Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan instrumen treasury bill dan treasury notebond untuk membiayai kekurangan dalam anggaran belanja. 123 Penerbitan surat utang Negara sebagai alternatif untuk membiayai pembangunan ekonomi tidak dapat disebutkan sebagai gambaran dari ketidakmampuan pemerintah memobilisasi sumber-sumber utama pembiayaan pembangunan, karena fungsi dari Obligasi Negara Ritel dalam hal ini semata-mata hanya menjembatani kekurangan dalam pembiayaan pembangunan. Asas kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional tidak menafikan bahwa sebahagian dari pembiayaan pembangunan nasional diperoleh dari pinjaman. Sepanjang jumlah pinjaman tersebut terukur dan berada pada batas rambu-rambu yang telah ditetapkan serta persyaratannya tidak membuat pemerintah menjadi kehilangan kebebasan dalam menentukan arah dan prioritas-prioritas pembangunan, fungsi pinjaman tersebut hanya sebagai pelengkap. Yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah pemanfaatannya harus sesuai dengan peruntukannya dan harus dilihat kemampuan keuangan pemerintah karena obligasi tersebut harus dibayar 122 Data sekunder dari APBN-P RI Tahun 2007-2008, www.anggaran.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20 April 2009. 123 www.whitehouse.govombbudgetfy2006tables.html. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 kembali pada waktunya. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhitungkan dengan cermat tentang kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut di kemudian hari agar tidak terjadi wan prestasicedera janji, dan penerbitannya harus melalui persetujuan dari otoritas yang berwenang. Untuk menjaga agar keseluruhan utang pemerintah dapat dikelola dengan baik dan tidak mengakibatkan ketidakmampuan pembayarannya di kemudian hari, pemerintah melalui PP No. 23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah membatasi jumlah kumulatif sebesar 60 enam puluh per seratus dari Produk Domestik Bruto PDB pada tahun yang bersangkutan. 124 Ke dalam jumlah pinjaman pemerintah pusat termasuk pinjaman yang bersumber dari dalam negeri dan yang bersumber dari luar negeri dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. 125 Dengan demikian, penerbitan surat utang negara yang dimaksudkan untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional telah diberikan rambu-rambunya secara umum pada PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut. Agar obligasi negara lebih diminati masyarakat luas sehingga makin dapat difungsikan peranannya sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan ekonomi, pemerintah telah menjadikan obligasi negara sebagai instrumen yang 124 Pasal 4 ayat 2 PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 125 Pasal 1 ayat 5 PP No. 23 Tahun 2003 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 diperdagangkan di pasar modal Indonesia. 126 Meskipun terdapat beberapa pengecualian dalam penerbitan obligasi negara seperti tidak diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran filling registration statement ke Bapepam- LK, tetapi pengecualian seperti ini merupakan hal yang umum berlaku di hampir semua negara. Sebagaimana halnya dengan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah yang selalu menjadi rujukan untuk berinvestasi di instrumen berpendapatan tetap, 127 obligasi negara menjadi acuan berinvestasi pada instrumen surat utang di pasar modal Indonesia. Dengan tercatat dan diperdagangkan di pasar modal, seluruh masyarakat akan dapat memiliki obligasi negara dengan cara membelinya di pasar perdana maupun di pasar sekunder sesuai dengan yang diinginkan. Pasar modal dalam hal ini menjembatani kebutuhan masyarakat sebagai unit pemilik dana dengan pemerintah sebagai unit yang membutuhkan dana untuk membiayai kegiatan pembangunan ekonomi nasional. Melalui pembelian obligasi negara, seluruh anggota masyarakat secara tidak langsung telah ikut serta membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Pada setiap penerbitan obligasi negara terkandung di dalamnya 2 dua aspek kebijakan, yakni kebijakan fiskal fiscal policy dan kebijakan moneter monetery policy. Aspek kebijakan fiskal berkaitan dengan tujuan penerbitan obligasi negara yang dimaksudkan untuk membiayai defisit APBN. Oleh karena itu, aspek ini sangat besar peranannya dalam membiayai pembangunan ekonomi nasional yang digariskan 126 Melalui Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S- 20KMK.0172001 Tanggal 19 Januari 2001, pemerintah telah memintakan agar surat utang Negara tersebut dicatatkan listing di Bursa Efek Surabaya 127 Jorge Castellanos, dalam Jonker Sihombing, Op.cit., hlm. 236. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 oleh pemerintah. Aspek kebijakan fiskal tersebut lebih menekankan pada peranan obligasi negara yang harus mampu menjembatani kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi dengan maksud agar pembangunan ekonomi dapat terlaksana sesuai dengan yang direncanakan. Di pihak lain, aspek kebijakan moneter melihat sejauh mana implikasi penerbitan obligasi negara terhadap volume uang yang beredar. 128 Dengan penerbitan obligasi negara, akan terjadi pengurangan volume uang yang beredar di masyarakat karena untuk membeli obligasi negara dan akan masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia. Sebaliknya, apabila terjadi pelunasan surat utang negara akan menambah uang yang beredar di masyarakat, karena pemerintah akan menyuntikkan uang ke masyarakat melalui Bank Indonesia untuk pembayaran kembali kewajiban-kewajibannya yang berkaitan dengan obligasi negara tersebut. Aspek kebijakan moneter berkaitan erat dengan aspek kebijakan fiskal karena terciptanya stabilitas moneter akan mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi, dan pada gilirannya akan menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam pengelolaan keuangan negara. Sebagaimana diketahui, adanya ketertiban dan keteraturan di masyarakat merupakan tujuan pokok dari hukum. 129 Di antara kedua aspek kebijakan yang melekat pada penerbitan obligasi negara sebagaimana yang disebutkan di atas, aspek kebijakan fiskal merupakan pertimbangan utama karena tujuan penerbitan obligasi negara adalah untuk 128 Uang yang beredar terdiri dari M1, M2, dan M3. M1 mencakup uang kartal uang kertas dan simpanan yang dapat ditarik setiap saat. M2 adalah M1 ditambah deposito dan tabungan quasy money. M3 adalah M2 ditambah obligasi dan lain-lain. Dalam Jonker Sihombing, Ibid., hlm. 237. 129 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 3. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 membiayai pembangunan ekonomi yang tercermin pada APBN. 130 Penerbitan obligasi negara utamanya tidaklah dimaksudkan untuk meramaikan pasar modal Indonesia dengan menambah instrumen yang dapat diperdagangkan di bursa, ataupun tidak dimaksudkan agar pasar modal Indonesia menjadi lebih dipercaya oleh investor. Bahwa pasar modal Indonesia memetik manfaat dari kehadiran instrumen obligasi negara memang merupakan kenyataan, dan oleh karena itu kehadiran obligasi negara akan meningkatkan likuiditas pasar modal. Selain meningkatkan likuiditas pasar modal secara keseluruhan, obligasi negara juga menjadi acuan brenchmark berinvestasi di pasar modal. 131 Namun, apabila terdapat faktor-faktor negatif pada obligasi negara akan dapat meruntuhkan kredibilitas pasar modal Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan obligasi negara yang diterbitkannya, dan menghidarkan diri dari perbuatan cedera janjiwan prestasi. Apabila pemerintah wan prestasi, investor akan menjauhi instrumen obligasi negara, dan hal seperti ini akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan ekonomi nasional karena alternatif sumber dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi di masa-masa mendatang menjadi semakin langka. Sebagaimana telah disebutkan di atas, fungsi utama dari penerbitan obligasi negara dimaksudkan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan aspek kebijakan fiskal menjadi pertimbangan yang utama. Namun, agar penerbitannya dapat memberikan manfaat yang maksimal terhadap pembangunan ekonomi, harus 130 Lihat Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. 131 Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.118. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 dilakukan secara terkoordinasi dengan Bank Indonesia yang mengelola kebijakan moneter. Perlunya koordinasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter adalah untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. 132 Adanya kewajiban untuk berkoordinasi pada setiap penerbitan obligasi negara telah pula diamanatkan oleh UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang di dalam Pasal 6 menyebutkan: ”Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat utang negara untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia” UU No. 3 Tahun 2004 juncto UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia pada Pasal 55 juga telah mengamanatkan perlunya koordinasi dimaksud, yang di dalam pasal 55 menyebutkan: Ayat 1 : Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Ayat 2 : Bank Indonesia dapat menbantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Karena menyadari pentingnya keberhasilan obligasi negara untuk membiayai pembangunan ekonomi dan di pihak lain masyarakat masih merasa dikecewakan oleh obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950-an, 133 sehingga pemerintah berusaha untuk membangun kepercayaan masyarakat pada instrumen 132 Dono Iskandar, Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, dalam Heru Subiyantoro dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Kompas, 2004, hlm.94. 133 Heru Supraptomo, Op.cit., hlm.49. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 obligasi negara tersebut. Upaya yang ditempuh pemerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan menciptakan klausula jaminan dari pihak pemerintah pada surat utang negara. Pasal 1 ayat 1 UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa: ”Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya” Adanya klausula jaminan dari pihak pemerintah telah mampu meningkatkan penjualan obligasi negara, sebagaimana tercermin dari peningkatan jumlah obligasi negara yang beredar dari tahun ke tahun. Pada khir tahun 2002 jumlah surat utang negara yang beredar tercatat sebesar Rp.394,06 triliun tiga ratus sembilan puluh empat triliun dan enam puluh milyar rupiah, yang keseluruhannya merupakan sisa ex obligasi rekapitulasi perbankan yang diterbitkan pemerintah secara private placement pada tahun 19981999. 134 Pada akhir tahun 2006 jumlah surat utang negara yang beredar tersebut meningkat menjadi Rp.418,75 triliun empat ratus delapan belas triliun dan tujuh ratus lima puluh milyar rupiah, dan pada akhir bulan oktober 2007 telah mencapai Rp.472,41 triliun empat ratus tujuh puluh dua triliun dan empat ratus sepuluh milyar rupiah. Meskipun minat masyarakat terhadap obligasi negara cenderung meningkat, pemerintah tidak menerbitkan obligasi dimaksud berdasarkan tendensi minat 134 Data sekunder dari Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan RI, UU No.24 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002, dan pengaruhnya terhadap surat utang negara yang beredar baru mulai efektif pada tahun 2003. www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 masyarakat, tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan anggaran pembangunan yang tercermin dari proyeksi defisit APBN. Volume obligasi negara yang diterbitkan dari waktu ke waktu akan ditentukan oleh besarnya tambahan kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional yang diperlukan oleh pemerintah. Apabila di satu pihak minat masyarakat pada obligasi negara cukup besar sedang di pihak lain pasokan obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah relatif terbatas, hal tersebut akan berpengaruh positif karena akan mengakibatkan harga obligasi negara di pasar sekunder menjadi lebih baik dan pada gilirannya akan menciptakan kepercayaan masyarakat pada instrumen obligasi negara. Setiap penerbitan obligasi negara yang dilakukan pemerintah pada dasarnya telah memenuhi unsur-unsur: 135 a. Authorized, karena penerbitannya telah mendapatkan persetujuan dari parlemen lebih dahulu, sebagaimana yang berlaku umum di sebagian besar negara-negara maju. Setiap penerbitan obligasi negara harus mendapat persetujuan DPR, dan Bagian Penjelasan dari Pasal 7 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa persetujuan dimaksud mencakup untuk semua pembayaran kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagaimana akibat penerbitan obligasi negara. b. Responsible, karena penatausahaan dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang mempunyai pengalaman yang luas, fasilitas jaringan dan infrastruktur, dan personalia yang baik serta trampil untuk melaksanakan kegiatan 135 Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.243. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 penatausahaan dan lelang obliges negara. Penatausahaan obligasi negara yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dewasa ini telah sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh BIS-CPSS yang menjadi acuan bagi setelmen surat-surat utang pemerintah di kebanyakan negara. c. Accountable, karena penggunaan hasil penerbitan obligasi negara setiap tahunnya dipertanggung jawabkan oleh pemerintah ke DPR. Pasal 16 ayat 1 dan 2 UU No. 24 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pemerintah membuat pertanggung jawaban atas pengelolaan surat utang negara, yang disampaikan sebagai bagian dari pertanggung jawaban pelaksanaan APBN tahun berjalan. d. Fairness, karena metode penerbitannya dilakukan secara lelang, dan penyimpanannya dilakukan secara ganda dual ownership, dan penitipan utama central registry yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia mengikuti ketentuan yang berlaku umum dikebanyakan negara. Dengan demikian, meskipun penerbitan obligasi negara dikecualikan dari asas keterbukaan transparansi dalam arti tidak menyampaikan pernyataan pendaftaran filling registration statement ke Bapepam-LK, tetapi untuk setiap penerbitan obligasi negara pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip good corporate governance. Asas keterbukaan yang tidak dipenuhi dalam penerbitan obligasi negara semata-mata hanya karena tidak diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran ke Bapepam-LK, dan hal ini berlaku umum untuk emisi surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah di kebanyakan negara. Meskipun demikian, mengenai rencana penerbitan obligasi negara telah memenuhi asas keterbukaan, Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI, 2009 USU Repository © 2008 karena penerbitannya harus mendapatkan persetujuan dimaksud, pemerintah harus menyampaikan data-data pendukung yang dapat meyakinkan DPR. Data-data yang dipersiapkan oleh pemerintah pada waktu pengajuan penerbitan obligasi negara maupun data-data pertanggung jawaban penggunaan obligasi negara kepada DPR memang dimaksudkan untuk konsumsi DPR sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

D. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel