Pemilihan kepala daerah yang demokratis pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945

menjadi sikap, perilaku dan tindakannya kepada rakyat dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan. Begitu juga dalam menjalankan pemilihan kepalad aerah. Pemerintah harus bertanggungjawab dalam melaksanakan pemeilihan yang demokratis. 125 Demokrasi dan nomokrasi telah berkembang saling berkonvergensi. Keduanya memunculkan konsep negara hukum yang demokrastis dan negara demokrasi berdasarkan hukum, atau disebut dengan demokrasi konstitusional. Didalam negara demokrasi konstitusional, antara demokrasi dan nomorasi saling melengkapi dan saling menutupi kelemahan masing-masing. 126 Demokrasi berlandaskan pada martabat dan kesederajatan manusia. Nilai- nilai kemanusiaan ini juga menjadi aspek penting tujuan hukum, yaitu keadilan,kepastian, dan kemanfaatan. Namun, sistem demokrasi yang bersandar pada kebebasan dan suara mayoritas dapat tergelincirpada tirani ataupun anarki yang justru merugikan prinsip kemanusiaan yang hendak ditegakkan. Disini peran hukum, yang memberikan kerangka atas jalan demokrasi, agar tidak mengorbankan tujuannya sendiri. 127

B. Pemilihan kepala daerah yang demokratis pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945

Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sesungguhnya lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B, yaitu pada perubahan kedua UUD 1945 dan dimasukkan dalam Bab 125 Mirza Nasution, Op.Cit., hal. 291. 126 Ibid., hal. 11. 127 Ibid., hal. 12. Universitas Sumatera Utara tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Pasal 22E lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat 4 melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat 3 yang mengatur mengenai DPRD. Hal ini, menurut Leo Agustina mengartikan bahwa Konstitusi tidak hendak memasukkan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat 1 yang menyebutkan “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasi a, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. 128 Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih melalui sistem perwakilan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini berarti pemilihan kepala daerah secara langsung memberi peluang bagi rakyat untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung itu menggunakan rujukan atau konsideran Pasal 1, Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Frase “ kedaulatan di tangan rakyat” dan dipilih secara demokratis” menjadi sandaran pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merumuskan diterapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung untuk menggantikan pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan melalui DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Akan tetapi, kata “dipilih secara demokratis” ini menurut Susilo 128 Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 79. Universitas Sumatera Utara dapat ditafsirkan pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan melalui perwakilan oleh DPRD. 129 Untuk mewujudkan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis diperlukan media untuk membentuk dan menciptakan konsep yang tepat, yang kemudian dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan media untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai dengan amanat UUD 1945. Persoalan mendasar mengenai pemilihan kepala daerah pada umumnya tersangkut pada pemahaman dan pemaknaan atas kata “demokratis” yang kemudian diperdebatkan menjadi pemilihan langsunglah yang disebut demokratis dan pendapat lain yang menyatakan pemilihan tak langsung pun sesungguhnya juga dapat demokratis. Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapa parameter. Robert Dahl, Samuel Huntington 1993 dan Bingham Powel 1978 sebagaimana dikutip Saukani, HR dan kawankawan mengatakan bahwa parameter untuk mengamati terwujudnyademokrasi antara lain: pemilihan umum, rotasi kekuasaan, rekrutmen secara terbuka, serta akuntabilitas publik. 130 Meskipun pemilihan secara langsung dipandang memiliki makna positif dari aspek legitimasi dan kompetensi, prase “dipilih secara demokratis” sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secara langsung. Pemilihan secara tidak 129 Susilo, Menyongsong Pilkada yang Demokratis , Artikel, Jurnal Legislasi Indonesia , Vol.2 No. 2 – Juni 2005 130 Saukani HR, Affan Gaffar, dan Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 12-13 Universitas Sumatera Utara langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai pemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis. 131 Pemahaman ini didasarkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945. 1. Pemilihan kepala daerah secara langsung Electora l reform atau pembaharuan tata pemilihan telah mulai berlangsung sejak tahun 1999, yaitu dengan dilakukannya Pemilu yang paling demokratis dan adil sejak lima puluh tahun terakhir. Pemilu itu memang telah menghasilkan dilahirkannya kepemimpinan yang ideal yang baru, meskipun secara umum masih jauh dari ideal. Pemilu yang mengharuskan rakyat memilih Partai Politik merupakan salah satu hambatan terbesar dalam mengupayakan perbaikan akuntabilitas kepempinan nasional. Secara umum-teoritis dapat dikatakan bahwa sistem pemilihan adalah sama saja, sejauh kepentingan dan aspirasi rakyat dipentingkan dan diperhatikan oleh para pejabat politik. 132 Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu kebutuhan untuk mengoreksi terjadinya penyimpangan penerapan otonomi daerah yang ditunjukan para elit ditingkat lokal. Asumsi bahwa otonomi daerah akan lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik, dalam banyak kasus ternyata hanya janji kosong yang tidak terbukti kebenaranya. Yang terlihat justru maraknya perilaku 131 Leo Agustino, Op. Cit., hal. 80. 132 Agung Djokosoekarto, Membangun Kepempinan Lokal Yang Demokratis, Makalah pada seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah sebagai Wujud Demokrasi Lokal, Adeksi 2003 Universitas Sumatera Utara elit lokal baik dari kalangan pemerintah maupun DPRD yang mempertontonkan semangat mengeruk keuntungan pribadi dengan mengabaikan pandangan dan kritik masyarakat luas. Situasi ini salah satunya disebabkan oleh pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD. 133 Penyimpangan-penyimpangan seperti yang digambarkan diatas bukanlah sesuatu yang aneh bila merujuk pendapat Mouzelis, yang menggunakan argumen dasar teori perilaku organisasi organization behavior untuk diaplikasikan pada konteks birokrasi. Mouzelis menyebutkan bahwa : ”Organisasi terdiri dari sejumlah individu yang memiliki tata nilai pribadi, ekspektasi dan pola perilaku tersendiri. Adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari bila individu- individu yang tergbung di dalam organisasi tersebut juga memiliki tujuan pribadi dan berusaha memperjuangkan pencapaiannya”. Dengan melihat pandangan Mouzelis tersebut, maka dibutuhkan sebuah mekanisme tertentu untuk menghindari setidak-tidaknya mengurangi peluang terjadinya penyimpangan dari kalangan elit lokal. Dalam konteks inilah Pilkada Langsung menemukan momentumnya untuk dikembangkan. 134 Pemilihan kepala daerah secara langsung harus dimasukan dalam kerangka besar untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis. Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa pemilihan kepala daerah secara langsung harus dikaitkan dengan pemerintahan lokal yang demokratis. Pertama, pemerintahan lokal yang demokratis membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi 133 Lili Hasanudin , Pemilihan langsung Kepala daerah menuju terwujudnya pemerintahan lokal yang demokratis di Indonesia , Makalah pada seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah sebagai Wujud Demokrasi Lokal, Adeksi 2003 134 Ibid Universitas Sumatera Utara dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal political equality. Kedua, pemerintahan lokal yang demokratis mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik local accountability. Ketiga, pemerintahan lokal yang demokratis meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat local responsiveness. Ketiga hal tersebut menjadi acuan pokok dalam upaya menggulirkan wacana pemilhan langsung agar arah pengembangannnya memiliki sandaran yang kokoh. 135 Menurut Bambang Widjojanto, setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi dasar serta alasan utama desakan masyarakat agar pemilihan kepala daerah secara langsung segera dilakukan : 136 - Pertama, masyarakat menginginkan agar kepala daerah lebih akuntabel kepada rakyat pemilihnya dan bukan pada fraksi dari partai politik yang memilhnya atau pejabat pemerintahan lain yang ikut menentukan hasil pemilihan itu; - Kedua, rakyat menghendaki agar kepala daerah lebih berorientasi pada kepentingan rakyat pemilihnya. Rakyat pemilih kelak akan dapat menentukan sendiri, apakah kepala daerah tertentu dapat dipilih kembali untuk masa jabatan kedua; - Ketiga, pemilihan langsung akan membuat basis tanggung jawab kepala daerah untuk berpucuk kepada para pemilih sejatinya bukan hanya kepada interest politik dari kekuatan partai politik saja. 135 Ibid 136 Bambang Widjojanto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah : Upaya Mendorong Proses Demokratisasi , Makalah pada seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah sebagai Wujud Demokrasi Lokal, Adeksi 2003 Universitas Sumatera Utara Ada trend yang menarik bila melihat sistem demokarsi yang kini berkembang di berbagai negara yang tengah mengalami proses transisi politik seperti layaknya Indonesia. Kebanyakan negara itu tak percaya lagi pada ”representative democracy” karena justru membuat dan memperkuat sistem kekuasaan otoriter. Semula democracy representative diadopsi sebagai ciri dari sebuah negara modern. Pada tahapan ini sebagian kekuasaan diserahkan kepada kelompok tertentu atau politisi yang membuat keputusan untuk dan atas nama kepentingan demos. Karena, jumlah penduduk yang kian besar tak mungkin harus melibatkan rakyat untuk turut memutuskan berbagai masalah yang berkembang. Apalagi juga ada problem waktu serta terbatasnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat awam atas problematik yang kian berkembang. 137 Namun pada tahun 1960-an berkembang suatu gagasan mengenai partisipasi publik atau public participation. Gagasan ini kian marak dan meluas khususnya partisipasi publik di dalam proses pembangunan dan sistem kekuasaan. Perkembangan gagasan ini makin relevan dan menguat setelah sistem kekuasaan otoriter yang didukung oleh psedudo democratic representative kian menyengsarakan rakyat. Pada titik ini, politisi dan sistem kekuasaan tidak lagi responsif mengakomodasi kepentingan rakyat dan merosotnya respek pada profesionalitas mereka. Pada konteks inilah, konsepsi klasikal demokrasi yang merujuk pada term di periode ancient greece yang berasal dari kata ”demos” dan ”kratos” yang dimaknai sebagai ”powerrule by demos” memperoleh interpretasi pemaknaan dan perluasan pemahaman sesuai dengan perkembangan dan situasi 137 Ibid Universitas Sumatera Utara zaman. Pada akhirnya, pada isu tetentu keterlibatan rakyat secara langsung untuk memutus suatu soal dilakukan. Itu sebabnya berkembanglah gagasan pemilihan langsung kepala pemerintahan dan kepala daerah serta berbagai pejabat publik tertentu. 138 Sejak dilakukannya perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan. Salah satu dampak dari perubahan tersebut adalah perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Perubahan ini penting untuk meletakan kembali kedaulatan berada ditangan rakyat, sehingga rakyat daerah khususnya memiliki peran dan kesempatan terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan di bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah. 139 Perubahan ini tidak terlepas dari perubahan kehidupan masyarakat yang mulai demokratis. Pemilihan umum merupakan wujud kebebasan masyarakat dan rasionalitas individu untuk memilih pemimpinnya. Hal ini memiliki korelasi dengan pembentukan pemerintahan daerah sebagai bentuk rasionalitas masyarakat daerah yang diwujudkan melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Tujuan diadakannya pilkada langsung adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat berdasarkan pilihan dan legitimasi dari rakyat. Pilkada langsung adalah wujud nyata dari pembentukan demokratisasi di daerah. 140 Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilh dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, 138 Ibid 139 Hani Adhani, Proses penyelesaian sengketa pilkada pasca perubahan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daera, Tesis FH UI, 2009, hal. 24. 140 Ibid Universitas Sumatera Utara bebas, rahasia, jujur dan adil. Pengajuan pasangan calon Kepala Daerah bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dengan persyaratan tertentu danatau dari calon perseorangan dengan persyaratan tertentu pula. Dibutuhkan suatu pilihan yang tepat oleh rakyat terhadap pasangan Kepala Daerah sehingga dapat dihasilkan pasangan Kepala Daerah yang memiliki visi meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah. Pilkada langsung merupakan suatu rangkaian rel demokrasi yang hendak diwujudkan dalam rangka meningkatkan nilai demokrasi pada tingkat daerah. Sebagaimana dikatakan Robert Dahl, 141 bahwa demokrasi lokal pada tingkat pemerintahan kota dan kabupaten mendorong masyarakat di sekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan politik. Menurut Ahmad Nadir, dengan dipilihnya kepala daerah secara langsung, aspirasi dan keinginan politik masyarakat di tingkat paling bawah akan dapat tersalurkan. Sebab, pada hakekatnya dengan pilihan langsung ini, yang akan dipilih bukanah seorang figur semata-mata, melainkan sebuah konsep akan pembangunan di daerah ke depan. 142 Badan Pembinaan Hukum Nasional yang meneliti mengenai pemilihan kepala daerah mengemukakan, bahwa dari berbagai pandangan dapat ditarik hipotesa bahwa pemilihan kepala daerah lansung mempunyai sisi positif dan negatif. 143 Segi Positif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 141 Afan Gaffar, Syaukani, Ryaas Rashid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003 142 Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi , Averroes Press, 2005, hal 125. 143 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemilihan Kepala Daerah, BPHN, Jakarta, 2011, hal. 45. Universitas Sumatera Utara 1. Melalui pilkada langsung diharapkan masyarakat pemilih dapat menentukan sendiri kepala daerahnya masing-masing, tanpa campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. 2. Melalui pilkada langsung diharapkan bisa memotong kecenderungan menguatnya oligarkhi partai-partai dalam penentuan kepala daerah. 3. Melalui pilkada langsung diharapkan mengurangi fenomena politik uang money politics yang begitu marak dalam pilkada tidak langsung oleh para wakil rakyat di parlemen lokal. 4. Melalui pilkada langsung diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintah di tingkat lokal. 5. Melalui pilkada langsung diharapkan akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional, karena dengan pilkada langsung makin terbuka peluang munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah danatau daerah. Selain sisi positif pemilukada juga memiliki sisi negatif. Menurut Ahmad Soleh, sisi negatif pilkada langsung antara lain adalah: 144 1. Biaya yang dikeluarkan sangat besar. Biaya yang dikeluarkan mulai dari biaya penyelenggaraan, kampanye, lobbi-lobbi partai pendukung sangat besar. Ini memungkinkan calon kepala daerah yang memiliki modal besar lah yang akan menang atau mereka yang mendapat dukungan dana dari pemodal besar. 2. Kedaulatan milik Pemodal dan Asing. Sudah barang tentu kepala daerah yang menang pilkada yang telah diberi modal yang banyak terikat kepada pemilik modal. 3. Korupsi. Untuk mengembalikan modal besar pribadi, sponsor maupun partai yang telah mengeluarkan milyaran bahkan triliunan rupiah sudah barang tentu menjadikan korupsi sebagai jalan yang nyaman. Korupsi menjadi lumrah bagi para kepala daerah, hanya masalah bagaimana mereka bermain saja, bisa bermain bersih dan aman ataukah tidak. 4. Rawan penyalah-gunaan birokrasi dan minim pengawasan. Selama ini kita lemah dalam pengawasan dan punishment. Banyak penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam proses pilkada. 2. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD Dalam penyelenggaraan Pilkada terdapat daerah yang memiliki hak istimewa seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Yogyakarta. Di Nanggroe Aceh Darussalam pilkada diselanggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan KIP dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Panwaslih Aceh. Sedangkan 144 Plus Minus Pilkada Langsung dan Tak Langsung . http:www . politik.kompasiana. com...plusminus-pilkada-langsung-dan-melalui-dprd. Dikakses tanggal 5 juli 2015 Universitas Sumatera Utara di Yogyakarta tidak ada pemilihan kepala daerah khususnya gubernur, karena masyarakat Yogyakarta menghendaki Sri Sultan Hamengkubuono menjadi kepala daerah Yogyakarta seumur hidup. Pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui sistem perwakilan. Alasan ini bisa diterima jika saja sejarah menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah di DPRD, baik di era orde baru maupun di era penerapan Undang Undang No. 22 tahun 1999 meninggalkan catatan sejarah pelaksanaan demokrasi secara baik. Di era orde baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan persetujuan pemerintah pusat. Catatan sejarah munjukkan bahwa kepentingan DPRD acapkali tidak memiliki hubungan apapun dengan kepentingan rakyat. 145 Keterlibatan DPRD dalam pemilihan kepala daerah bisa digunakan sebagai tolak ukur dalam mengetahui tingkat kepekaan anggota DPRD terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh rakyat. Sehingga dalam pemilihan anggota DPRD itu sendiri harus dilakukan dengan seobjektif mungkin. Jika kualitas DPRD terjamin maka pemilihan kepala daerah juga akan dilakukan secara objektif tanpa menonjolkan kepentingan pribadi. Pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh anggota DPRD mengakibatkan partisipasi rakyat dalam berpolitik seakan akan dibatasi. Bila pemilihan dilakukan berkali-kali dihawatirkan akan banyak rakyat yang memilih tidak memberikan suaranya dan tidak efektif karena bosan datang ke tempat pemungutan suara. 145 Dianto. Jurnal Ilmiah Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Dan Melalui DPRD, portalgaruda.org. 2013. Di akses tanggal 20 juni 2015 Universitas Sumatera Utara Pemilihan secara tidak langsung juga menghemat anggaran belanja negara. Juga tidak merepotkan rakyat yang hendak memilih kepala daerahnya. Namun Pemerintah Daerah bisa saja terhambat dalam menjalankan program serta kebijakan karena adanya mosi tidak percaya dari DPRD terhadap kepala Daerah. Dalam menyampaikan laporan pertanggungjawabannya, Kepala Daerah dihadapkan dengan berbagai persoalan atas kinerja kepala daerah selama tahun berjalan bahkan sering terjadi penolakan laporan pertanggungjawaban oleh DPRD. Sehingga kepala daerah tidak melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya karena DPRD yang mempunyai kewenangan besar tersebut tidak lagi menjadi pengawas akan tetapi sudah menjelma menjadi penghambat kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 146 Menurut Kepala Riset Garuda Center Faizal Abdulgani, tim Garuda Center mengkaji sisi positif dari pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD banyak manfaatnya jika kita telaah secara detil kata Faizal. Ada 19 sembilan belas alasan mengapa Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Lebih Baik daripada Pemilihan Langsung. Berikut ini sisi postif pemilihan kepala daerah melalui DPRD: 147 1. Meningkatkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik tidak sekedar memiliki popularitas akibat pencitraan semu. 2. Meningkatkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah yang memiliki program serta rencana pembangunan yang jelas untuk daerahnya karena setiap calon kepala daerah harus melakukan presentasi visi, misi dan program di DPRD, dan menerima pertanyaan dari anggota DPRD dalam sidang terbuka. 146 Ibid 147 Inilah 19 Alasan Mengapa Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD Lebih Baik . http:www.pemilu.com. Diakses tanggal 5 Juli 2015 Universitas Sumatera Utara 3. Meningkatkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah berkompeten yang tidak memiliki modal besar karena biaya kampanye seperti membentuk relawan, mencetak spanduk dan alat peraga lainnya menjadi tidak diperlukan. 4. Mengurangi risiko terpilihnya kepala daerah hasil manipulasi hasil pemungutan suara seperti penggunaan daftar pemilih palsu, perubahan hasil rekapitulasi suara dan kecurangan penghitungan suara lainnya. 5. Mengurangi jumlah kasus korupsi anggaran daerah oleh kepala daerah untuk mengembalikan biaya kampanye saat pilkada yang berasal dari modal pribadi. 6. Meningkatkan independensi kepala daerah dalam membuat keputusan strategis seperti mengeluarkan izin pertambangan, izin usaha dan lain sebagainya karena kepala daerah tidak perlu lagi meminjam uang dari pengusaha hitam untuk membiayai kampanye Pemilukada yang mahal. 7. Meningkatkan kinerja kepala daerah terutama dalam hal perencanaan anggaran serta pelaksanaan program kerja daerah karena kepala daerah terpilih sudah pasti mendapatkan dukungan mayoritas dari DPRD. 8. Mengurangi risiko terjadinya konflik sosial di masyarakat akibat perbedaan pilihan antar keluarga, kampung dan golongan yang dapat timbul saat Pemilukada. 9. Menghapus kemungkinan terjadinya politik uangmoney politics untuk meningkatkan elektabilitas di masyarakat termasuk pembuatan kebijakan- kebijakan populis serta penyalahgunaan aparatur sipil negara menjelang pelaksanaan Pemilukada. 10. Menghapus terjadinya polusi visual rutin akibat Pemilukada Gubernur dan Pemilukada BupatiWalikota karena calon kepala daerah hanya perlu perlu menyampaikan visi dan misi di hadapan anggota DPRD 11. Menghemat uang rakyat yang sebelumnya digunakan untuk penyelenggaraan Pemilukada sebesar Rp. 20 sd Rp. 30 miliar untuk Pemilukada tingkat KabupatenKota dan Rp. 100 miliar untuk Pemilukada tingkat Provinsi uang ini dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. 12. Meningkatkan peran anggota DPRD dalam mewakili aspirasi rakyat sehingga semakin banyak anggota masyarakat yang mengetahui, mengenal dan menjalin komunikasi dengan anggota DPRD mereka. 13. Meningkatkan kualitas kepengurusan partai politik di tingkat daerah karena semakin besar insentif bagi orang-orang baik dan berintegritas untuk bergabung dalam partai politik. 14. Meningkatkan kualitas kepengurusan partai politik di tingkat pusat karena sebelumnya banyak sumber daya kepengurusan pusat partai politik di tingkat pusat tergerus untuk mengurus Pemilukada seperti untuk kampanye ke daerah. 15. Memberikan insentif kepada orang-orang yang baik dan berintegritas untuk bergabung dengan partai politik dan mengajukan diri sebagai anggota DPRD karena peran anggota DPRD menjadi lebih signifikan. Universitas Sumatera Utara 16. Meningkatkan partisipasi serta kualitas Pemilihan Umum Legislatif yang dilaksanakan lima tahun sekali karena pilihan partai politik menjadi sangat menentukan bukan hanya kebijakan Pemerintah Pusat tetapi juga Pemerintah Daerah. 17. Meningkatkan kualitas kerja Mahkamah Konstitusi dalam mengkaji dan memutuskan perkara Undang-Undang yang berdampak ke seluruh rakyat Indonesia karena saat ini para hakim MK harus memutuskan sengketa Pemilukada setiap dua hari sekali. 18. Sesuai dengan konsep demokrasi Pancasila yang digariskan para pendiri bangsa Indonesia Sila nomor empat berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. 19. Sesuai dengan KonstitusiUndang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 18: Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota dipilih dengan cara demokratis. Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan