Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

48 masyarakat kita, anak selalu ditempatkan bukan sebagai nomor satu, maksudnya, anak dapat diperlakukan apa saja oleh orang tuanya sendiri. Pandangan ini sesungguhnya adalah keliru. Sebab sesuai dengan pandangan theologis anak merupakan titipan dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, daIam ketentuan Konvensi Hak Anak KHA maupun ketentuan umum Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menetapkan bahwa anak adalah seseorang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan, oleh karenanya setiap orang tua, masyarakat, pemerintah dan Negara mempunyai kewajiban melindungi anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan dan penyiksaan, Namun ironisnya, meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA pada tahun 1990 dan secara yuridis dan politis terikat dalam konvensi internasional tersebut, pada hakekatnya Negara kita belum mampu mencegah dan melindungi anak dari segala bentuk kejahatan, penyiksaan, diskriminasi, penelantaran dan eksploitasi.

E. Dampak-Dampak Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak

Ketika hak anak tidak terpenuhi maka timbul dampak-dampak yang negative dikarenakan terjadinya kekerasan terhadap anak. Adapun usaha yang dilakukan para pakar dalam mempelajari dan meneliti faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan temyata sulit sekali menemukan faktor yang pasti mengenai penyebab seseorang melakukan kekerasan. 49 Adapun penyebabkekerasandalam rumah tangga biasanyadapat diidentifikasikarena adanya faktor gender dan patriaki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling perilaku hasil meniru. Sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual komersiI, secara psikologis dan sosial anak mengalami masalah yang sangat kompleks, serta membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus yang berkesinambungan, Untuk itu, pendamping perlu mengetahui apa-apa saja yang dialami oleh si anak, khususnya anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, karena secara fisik anak perempuan akan mengalami kehilangan virginitas dan dapat mengalami kehamilan dini. Secara umum anak yang mengalami kekerasan akan mengalami trauma dan stress, mengalami mimpi-mimpi buruk, merasa terasing dari lingkungannya, murung dan putus asa, tidak bisa konsentrasi, tidak bisa tidur, bahkan bunuh diri. Dampak kejahatan terhadap anak secara fisik, seksual, dan psikis dapat diklasifikasikan sebagai berikut; 1. Kejahatan seksual dapat menyebabkan kehilangan virginitas, kehamilan dini, pembengkakan dan pendarahan pada alat kelamin, memar pada payudara, infeksi pada alat kelamin, sakit perut dan kepala, hilangnya gairah seks, takut, rasa bersalah, kebingungan, mengalami stress berat, bahkan kematian. 2. Kekerasan secara fisik mengakibatkan rasa sakit, memar, lebam, luka berat, luka ringan juga kematian. 50 3. Kekerasan psikis mengakibatkan perasaan tertekan, shock, trauma, rasa takut, emosi, kuper, dan depresi mendalam. Dari penjelasan di atas, apapun betuk kekerasan terhadap anak terlihat adanya dampak saling berkaitan, yang mana anak yang mengalami kekerasan fisik sudah pasti mengalami kekerasan psikis. Kemudian anak yang mengalami kekerasan seksual berdampak pada fisik dan psikis anak tersebut. Begitupun dengan bentuk kejahatan penelantaran dan perlakuan buruk bagi anak serta bentuk kejahatan lainnya mempunyai dampak yang sama. 51

BAB III KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK A. Latar Belakang Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Sebagai perjanjian multilateral yang mengatur kepentingan umum masyarakat internasional dan bersifat terbuka, telah disahkan pada sidang Umum PBB tanggal 20 November 1989 Convention on the Rights of the Child guna mengatur secara khusus hak-hak anak yang bersifat asasi. Konvensi yang berisikan 54 pasal tentang hak-hak anak ,diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dan dinyatakan berlaku sejak 5 Oktober 1990. 1 Secara filosofis, Konvensi hak anak berakar dari perubahan yang terjadi di dunia pada abad 19 ketika anak masih dipandang sebagai hak milik, anak masih dianggap sebagai urusan keluarga, komunitas lokal dan jauh dari urusan negara. kesadaran terhadap kehidupan dan nasib dunia anak-anak muncul setelah seorang aktifis perempuan berkebangsaan inggris bernama Eglantyne Jebb berkampanye kepada semua pihak agar memperhatikan nasib anak-anak yang menderita akibat perang dunia pertama. Sebagai langkah awal, Jebb mendirikan 1 Masyithah Umar, Hak Asasi Manusia tentang penghapusan diskriminasi terhadap anak dan perempuan; dalam majalah Khazanah, Banjarmasin: IAIN Antasari, Vol. I, No. 06, 2002, h. 650