5.1.1 Kondisi Lahan dan Pemanfaatannya Tabel 5 Kondisi lahan dan pemanfaatannya
No Kondisi lahan
Frekuensi Persentase 100
1 Kondisi lahan
Terpusat 16
53 Menyebar
14 47
Total 30
100 2 Pemanfaatan
lahan Berkebun
13 43
Membuka sawah
6 20
Bangunan rumah
6 20
Bangunan usahaKios
3 10
Berternak 2
7 Total
30 100
Sumber : Data primer hasil wawancara 2010
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa kondisi lahan oleh responden 53 terpusat pada suatu areal, namun 47 responden memiliki lahan yang
menyebar di beberapa tempat, luas lahan yang dimiliki responden berkisar 0.5-2 ha. Sebagian besar responden, yaitu 43 memanfaatkan lahan untuk perkebunan
kakaocoklat yang sedang menjadi tanaman utama masyarakat karena harga kakao yang tinggi, 20 untuk membuka sawah dan 20 untuk mendirikan bangunan
seperti rumah dan pertokoan, sebagian kecil responden memanfaatkan lahan untuk peternakan.
5.2 Permasalahan dan Isu isu Startegis
5.2.1 Kemantapan Kawasan TNGL
Konsekuensi dari ditunjuknya TNGL sebagai taman nasional model adalah pada tahun 2009 sudah dilakukannya pembatasan wilayah secara keseluruhan atau
temu-gelang BBTNGL 2010. Penetapan kawasan ini harus dikawal sehingga proses negoisasiklarifikasi hak-hak masyarakat di tingkat lapangan dapat dijamin
terlaksana
1
.Terkhusus wilayah Aceh Tenggara mengingat lahan masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dominan masyarakat awam tidak
mengetahui batasan yang dibuat
2
, masyarakat yang tinggal berbatasandi dalam
1
Wawancara dengan Bapak Buana Kepala SPTN VI Badar, tanggal 9 Juni 2010 di Kantor BTNGL Kutacane.
2
Wawancara dengan Bapak Ahmad warga Desa Jambur Lak-lak, tanggal 17 Juni 2010 di Desa Jambur Lak-lak
kawasan taman nasional adalah masyarakat yang marjinal, yang penuh kesederhanaan yang mereka tahu adalah bagaimana cara untuk hidup di tengah
keterbatasan dan kemiskinan
3
. Jadi masyarakat tidak tahu tidak mau tahu tentang batasan wilayah yang menurut mereka juga membatasi pendapatan mereka
3
5.2.2 Perambahan kawasan
Perambahan di kawasan Aceh Tenggara lebih mengarah pada penanaman tanaman subsisten dan tanaman pangan serta tanaman perkebunan cash crop dan
telah sampai pada upaya penguasaan lahan dan telah terjadi jual beli lahan BBTNGL 2010. Perambahan kawasan terjadi mengingat TNGL merupakan
kawasan yang luas namun dengan pegawasan yang belum optimal. Jumlah kasus perambahan yang berhasil dipantau selama Maret 2009 adalah sebanyak 18 kasus
untuk wilayah Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Dengan jumlah kasus tersebut, luas hutan yang dibuka diperkirakan mencapai 45,5 hektar Nababan 2009.
Tabel 6 Jumlah kasus perambahan hutan dan luas hutan yang dirambah terpantau selama bulan Maret 2009 di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser KEL
Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues. No
KabupatenKota Jumlah Kasus
Luas Hutan dibuka ha 1 Aceh
Tenggara 5
14 2 Gayo
Lues 13
31,5 Total
18 45,5
Sumber : Laporan Kegiatan staf Mobile Conservasion Unit MUC Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues Maret 2009
Gambar 3 Kebun coklatkakao di kawasan TNGL.
3
Wawancara dengan Bapak Azanuddin Bagian Reboisasi Dinas Kehutanan Aceh Tenggara. Tanggal 7 Juni 2010. Di Kantor Dinas Kehutanan
Saat ini masyarakat petani Aceh Tenggara sedang mengalami “demam” menanam coklatkakao. Harga kakao yang tinggi tentunya menarik hati para
petani, akibatnya semua lahan, baik itu kepemilikan mereka sendiri atau pun lahan hasil rambahan dimanfaatkan untuk mengembangkan jenis tanaman ini, bahkan
masyarakat berani mengubah sawah menjadi kebun kakao, komoditi seperti kopi dan kemiri ada juga yang diubah menjadi tanaman kakao
4
. Ini merupakan relita yang juga didapati dalam areal Taman Nasional Gunung Leuser seperti yang
terlihat pada Gambar 3. Masyarakat berani melakukan perambahan di kawasan taman nasional yang merupakan kawasan yang di peruntukkan sebagai kawasan
konservasi
1
. Proses perambahan dilakukan meski memiliki sanksi hukum yang tegas dan medan tempat dilakukannya perambahan juga berbahaya kerena berada
di kawasan yang terjal dan harus melewati sungai yang tidak dilengkapi dengan jembatan sebagai sarana penyeberangan yang aman, para perambah dan okmum
yang sengaja dibayar
5
. Sebagai penanam kakao hanya melewati jembatan yang disebut lumpe Gambar 4
.
Gambar 4 Jembatan lumpe.
Perambahan dilakukan dengan cara membakar dengan luasan mencapai 3 ha per-Oknum
4
seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Setelah kawasan tersebut dibakar kemudian areal itu dijadikan lahan perkebun kakao yang dikelola
4
Wawancara dengan Bapak Sabar Penanggung Jawab Sektor Gurah Ketambe, tanggal 10 Juni, di Ketambe
5
Wawancara dengan Bapak Abdurrani, Kepala Desa Jambur Lak-lak, tanggal 15 Juni 2010, di Desa Jambur Lak-lak
bukan oleh pemilik tetapi mempekerjakan orang lain
6
. Pembayaran selama mengelola lahan, mulai dari penanaman, pemeliharaan tanaman sampai
pemanenan dilakukan dengan sistem pembagian hasil saat musim panen
7
.
Gambar 5 Pembakaran Kawasan TNGL. Pembakaran kawasan taman nasional secara umum bukanlah kesalahan
masyarakat saja, karena fakta di lapangan menyatakan bahwa sampai saat ini umumnya masyarakat desa mengangap bahwa Leuser merupakan anugerah Tuhan
yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja
8
. Perkembangan dunia yang lebih mengutamakan aspek ekonomi menjadi alasan terselubung oknum masyarakat
dalam membuka lahan hingga sampai ke dalam kawasan taman nasional.
5.2.3 Koordinasi Antar Lembaga
Kurangnya koordinasi dan sinergitas program antara pihak kehutanan khususnya balai besar TNGL dan aparat penegak hukum juga merupakan sumber
masalah. Selain itu kurangnya sinergitas dan integrasi program kegiatan antara instansi perencanaan daerah dan pusat dalam pembangunan infrasuktur tanpa
pelibatan pemangku kawasan konservasi seringkali menimbulkan konflik lapangan antara Unit Pelaksanaan Teknis UPT Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam DIRJEN PHKA dan instansi lain.
6
Wawancara dengan Bapak Awalludin Kepala Desa Lawe Mamas. tanggal 20 Juni 2010, di Desa Lawe Mamas
7
Wawancara dengan Bapak Ardin Sekertaris Desa Jambur Lak-lak, tanggal 20 Juni 2010 di Desa Jambur lak-lak
8
Wawancara dengan Bapak Banta Imam Desa Jambur Lak-lak, tanggal 15 Juni 2010 di Desa Jambur Lak-lak
Penegakan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pementapan kawasan taman nasional. Efektifitas penegakan hukum sangat
ditentukan oleh efektifitas kerja staff penegak hukum di internal Balai Besar Taman Nasional dan juga dipengaruhi oleh kinerja jajaran penegak hukum di luar
Balai Besar Taman Nasional, yaitu pihak Polres, Kejaksaan, dan Pengadilan
9
. Rendahnya upaya penegakan hukum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain,
belum efektifnya koordinasi antara penegak hukum, masih rendahnya pemahaman terhadap aspek dan proses hukum, pentingnya pembentukan wadah atau forum
penegak hukum di tingkat kabupaten dan belum optimalnya pendampingan bantuan hukum lawyer BBTNGL 2010.
Gunung Leuser memiliki daya tarik yang tinggi sehingga memanggil para stakeholder untuk turut ambil bagian di dalamnya. Bila BBTNGL memiliki tugas
yang langsung berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Kementrian Kehutanan. Sejak akhir Tahun 2006, ada perkembangan menarik dalam dunia
konservasi di Nangroe Aceh Darussalam NAD, yaitu terbentuknya Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BP-KEL Wilayah Aceh. Kehadiran BP-
KEL untuk mengelola dan meningkatkan manfaat kawasan ekosistem leuser KEL Aceh, bagi kesejahteraan rakyat tentu harus ditanggapi secara positif
10
. Tujuan mulia itu tentu juga harus dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, khusususnya di bidang kehutanan dan konservasi
9
. Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, atau komisi dengan persetujuan DPRD NAD,
kecuali yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tata cara pembentukan lembagabadankomisi tersebut harus diatur di dalam Qanun Aceh setara
Peraturan Daerah. LSM juga berperan penting dalam perkembangan TNGL bahkan Yayasan Leuser Internasional YLI merupakan LSM yang menjadi Unit
Pelaksana Teknis UPT di wilayah ini. Untuk saat ini stakeholder yang berperan di TNGL dapat dilihat dari gambar berikut
9
Wawancara dengan Bapak Idham Penanggung Jawab Yayasan Leuser Internasional YLI, tanggal 8 Juni 2010 di Sekretariat YLI Badar.
10
Wawancara dengan Bapak Anil Ketua LSM STIAPILA, tanggal 17 Juni 2010 di Sekretariat STIAPILA.
Gambar 6 Stakeholder yang berperan di TNGL.
Faktor penghambat yang menyebabkan lemahnya koordinasi antara pihak terjadi karena belum ada wadah dan mekanisme koordinasi yang disepakati
antara pihak
9
. Masing masing lembaga masih terpaku pada tugas pokok dan fungsi masing-masing. Akibat dari lemahnya koordinasi para pihak, penyelesaian
isu-isu penting yang berkembang di dalam kawasan TNGL seperti perambahan kawasan, illegal loging, pemukiman, pertumbuhan penduduk, degradasi
sumberdaya alam serta rendahnya pendapataan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitra TNGL tidak tertangani dengan baik, padahal isu-isu tersebut hanya bisa
diselesaikan dengan kolaborasi para pihak terkait
3
.
5.2.4 Kesadaran dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan
Kondisi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TNGL masih berada di bawah garis kemiskinan 35 BBTNGL 2010. Kehadiran TNGL secara
nyata di lapangan belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan dan peningkatan
pendapat asli daerah PAD Seiring dengan paradigma otonomi daerah, permasalahan terbatasnya penguasaan lahan oleh masyarakat, tingkat pendidikan
yang rendah, lahan yang tidak subur, teknologi yang minim, modal terbatas, pandangan usaha jangka pendek yang dalam waktu cepat dapat menghasilkan
uang, dan pendampingan dari pihak pemerintah serta LSM yang lemah merupakan situasi nyata saat ini di lapangan. Di sisi lain, kearifan lokal tentang penggunaan
sumberdaya, semangat kebersamaan dan gotong royong, serta kebiasaan
BBTNGL
Masyarakat desa
hutan BP
‐KEL
LSM TNGL
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan merupakan aspek positif dalam berkehidupan di tengah masyarakat yang marjinal yang dapat diambil
sebagai faktor kekuatan dalam pengelolaan kawasan BBTNGL 2010.
5.2.5 Koflik Sosial yang berkepenjangan
Kondisi Politik yang bergulir di Wilayah Nangroe Aceh Darusalam yang terjadi selama beberapa dekade juga mempengaruhi kondisi Leuser yang sebagian
besar berada pada wilayah Aceh Tenggara. Puncak dari segala konflik berlangsung pada tahun 1998 pada saat itu wilayah Leuser tidak terkelola dengan
baik karena berada pada keadaan yang mencekam karena dijadikan sebagai tempat pertempuran pihak yang bertikai
11
. Ketika konflik reda baik pengelola ataupun LSM belum mengetahui keadaan yang berubah dan saat itu ternyata
dimanfaatkan oleh oknum masyarakat dan mengklaim luasan tanah sebagai kepemilikan pribadi
6
yang kemudian ditanami tanaman perkebunan dan atau
dijual kepada pihak lain. 5.3 Wujud konflik lahan
Menurut Wijardjo 1998 dalam Fuad dan Maskanah 2000, konflik dapat berwujud konflik tertutup latent, konflik mencuat emerging, dan konflik
terbuka manifest. Tabel 7 Wujud konflik di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak
Sumber: Data primer hasil wawancara 2010
Konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencuat sebesar 60. Masyarakat yang tinggal di kawasan yang berbatasan langsung
dengan kawasan taman nasional mengetahui konflik yang terjadi hanya 17
11
Wawancara dengan Bapak Kamat, Kepala Urusan Desa Jambur Lak-lak 25 Juni 2010 Desa Jambur Lak-lak
Wujud Konflik Frekuensi
Persentase100 Tertutup
7 23
Mencuat 18
60
Terbuka 5
17
Jumlah 30
100
konflik tersebut terbuka dan sampai keranah hukum. Jumlah 23 bukanlah persentase yang kecil untuk diabaikan penyelesaiankesepakatan adalah jawaban
agar hal-hal seperti ini tidak terulang. Menurut wujudnya konflik yang terjadi di Kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser tertutup dalam waktu yang sangat lama, hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal tokoh masyarakat untuk meredam jenis konflik hingga
tidak terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah TNGL. Hal senada dikatakan Fuad dan Maskanah 2000 bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-
tekanan yag tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutup kutup konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum
menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun. Situasi politik yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk membuka lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pada saat itu kawasan taman nasional menjadi basis pertempuran
antara pihak bersenjata
12
. Sejak itu areal kawasan taman nasional tidak dihuni dan tidak dikelola dengan baik. Pasca konflik berlangsung, ada rencana perdamaian
yang dilakukan oleh kedua pihak, pada masa perdamaian inilah terjadi pengambilan keuntungan oleh orang tertentu, kawasan taman nasional yang tanpa
pengelolaan dijadikan lahan pribadi untuk tujuan perkebunan. Situasi konflik dikatakan mencuat jika masing-masing pihak yang
berselisih mulai mengetahui adanya perselisihan dan kebanyakan permasalahnnya jelas namun proses penyelesaian masalahnya belum dilakukan. Konflik di TNGL
mulai mencuat ketika hadirnya LSM. Kehadiran LSM memberikan wacana baru kepada masyarakat, dari segi wawasan, mereka memiliki cara pandang baru
terhadap kasus yang terjadi dalam artian proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya
alam. Meski potensi konflik terbuka hanya 17 ini dikarenakan masing masing
pihak mencoba menghindari benturan fisik satu sama lain, meski telah ada tindakan nyata berupa penangkapan para pembakar lahan oleh petugas kepolisian.
Dalam mengkonversi hutan masyarakat membuka hutan dengan cara dibakar, ini
12
Wawancara dengan Bapak ST Mangarahon Manerjer Ketambe, tanggal 16 Juni 2010, di Ketambe
merupakan cara yang “murah meriah“ yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola luasan tanah yang diklaim atas kepemilikan mereka untuk dijadikan
areal perkebunan
1
. Pembakaran areal taman nasional Gambar 7 bukan perkara yang ringan karena sumberdaya baik itu flora dan fauna dalam mengalami
gangguan karena habitat mereka dirusak.
Gambar 7 Areal taman nasional yang dibakar Peristiwa yang sangat menarik akhir–akhir ini adalah jual beli lahan di areal
kawasan Taman Nasioanal Gunung Leuser, tidak ada ijin atau surat pernyataan resmi dari pihak tertentu yang berwenang pada kawasan
4
namun ada hal yang sangat menarik ketika ada okmun yang menganggap sebagai pemilik lahan di
kawasan Gunung Leuser menjual kawasan taman nasional yang diklaim sebagai miliknya
4
Tentu saja ini hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan pembahasan Balai Besar Taman Nasional Gunung leuser.
5.4 Penyebab Konflik Lahan Yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional