Pengetahuan Pengobat Tradisional Tentang Penyakit Dan Cara Pembuatan Obat Tradisional

(1)

PENGETAHUAN PENGOBAT TRADISIONAL TENTANG

PENYAKIT DAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL

TESIS

Oleh

REGINA MARINTAN SINAGA

077033026/IKM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGETAHUAN PENGOBAT TRADISIONAL TENTANG

PENYAKIT DAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

REGINA MARINTAN SINAGA

077033026/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PENGETAHUAN PENGOBAT TRADISIONAL TENTANG PENYAKIT DAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL

Nama Mahasiswa : Regina Marintan Sinaga Nomor Pokok : 077033026

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska) Ketua

(Drs. Panal Sitorus, M. Si) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

Tanggal lulus: 11 Juni 2009


(4)

Telah diuji pada Tanggal: 11 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska

Anggota : 1. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM 2. Drs. Panal Sitorus, M.Si


(5)

PERNYATAAN

PENGETAHUAN PENGOBAT TRADISIONAL TENTANG PENYAKIT DAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2009


(6)

ABSTRAK

Aktivitas pengobatan dan penyediaan obat tradisional sudah berlangsung sejak lama dan hingga masa sekarang ini, praktik-praktik tersebut masih berlangsung. Perkembangannya cukup cepat berjalan dan meluas di berbagai lapisan masyarakat, tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi sehingga keberadaannya terus meluas.

Masyarakat Indonesia, khususnya Kota Medan masih menggunakan jasa pengobat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan. Fenomena mengatasi masalah kesehatan dalam masyarakat dengan mencari jasa pengobat tradisional adalah sebuah realitas dalam pola kesehatan masayarakat. Meskipun sebenarnya dalam praktik-praktik pengobatan tradisional, pengobat tradisional masih belum memenuhi standar pelayanan kesehatan.

Untuk itu penelitian ini mengkaji pengetahuan pengobat tradisional tentang teknik penyembuhan penyakit dan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang meliputi seluruh aspek pembuatan obat tradisional, dimulai dari pemilihan bahan baku, yaitu dari bagian tanaman atau seluruh tanaman yang masih segar, dan kegiatan lain sebelum digunakan, seperti pencucian. Peralatan dicuci bersih dan dalam meramu jamu/ramuan obat, tangan harus dicuci dahulu. Bobot dan takaran dinyatakan dalam berat atau pengukuran, cara merebus ramuan, penggunaan, aturan minum dan jangka waktu pemakaian juga merupakan bagian dari Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOTB). Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2008 sampai dengan Maret 2009.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan, pengetahuan pengobat tradisional tentang teknik penyembuhan penyakit merupakan perpaduan sistem medis personalistik dan sistem medis naturalistik. Pengetahuan tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang hanya berdasarkan pada pengetahuan tradisional (indegenous knowledge) masih jauh dari standar mutu dalam pelayanan kesehatan maksimal.

Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan kepada pengobat tradisional, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan mereka tentang teknik penyembuhan penyakit dan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Hal ini perlu dilakukan, sehingga pelayanan kesehatan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan, melalui pengobat tradisional dapat dipertanggungjawabkan/ diberikan secara maksimal.

Kata Kunci: Pengobat Tradisional, CPOTB, Sistem Medis Personalistik, Sistem Medis Naturalistik, Praktik-Praktik Pengobatan Tradisional.


(7)

ABSTRACT

The activities of traditional medicines treatment and supply have been applying since long time ago and until now days, their practices are still continuing. Its developing is quite fast and used in all level of society, which is not limited by administration borders as its existence is keeping broaden.

Indonesian society, especially Medan citizen is still using traditional medicines services to cure sickness. Phenomenon in curing sickness in society by seeking for traditional medicines services is a reality in community health style. However in traditional medicines practices, traditional medicines man (whose expert in traditional medicines) has not been fulfill health procedure standard yet.

This research examine traditional medicine’s knowledge about curing disease technique and ways of formulating good traditional medicines which include all aspect of making traditional medicines, starting from choosing raw materials and other activities such as cleansing. All equipments should be first clean and in formulating herbal medicines, hand should be washed. Weight and measurement of medicines are make in accuracy, ways of boiling herbal (jamu), direction and dosage as well as time of using is part of ways of formulating good traditional medicines (Good Manufacturing Traditional Medicines). This research is conducted on January 2008 until March 2009.

The result from field showed that traditional medicine man’s knowledge about technique of curing disease is a combination of personal and natural medical system. Knowledge of ways formulating good traditional medicines (Good Manufacturing Traditional Medicines) that is only based upon indegenous knowledge has not yet adequate quality standard of maximize health services/procedures.

For that reason, it is needed to have training and education for traditional medicines man to increase their knowledge in treating disease technique and ways of formulating good traditional medicines (Good Manufacturing traditional medicines). These should be done, that community health services in overcoming health problems through traditional medicine techniques are able to be accountable (provide in maximize ways).

Key Words: Medicine Man, Good Manufacturing Traditional Medicine, Personal Medical System, Natural Medical System, Activities Traditional Medicine.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis dengan judul “Pengetahuan Pengobat Tradisional tentang Penyakit dan Cara Pembuatan Obat Tradisional”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM., selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembanding yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi tesis ini.

3. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Bapak Drs. Panal Sitorus MSi, Apt, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK., selaku Dosen Pembanding yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan perbaikan bagi tesis ini.

6. Rasa terima kasih yang mendalam untuk Nenek Iting, Ibu Ati dan Ibu Imah yang mau memberikan informasi atas praktik-praktik pengobatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(9)

7. Ucapan terima kasih yang tulus dan rasa hormat penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Drs. J.M Sinaga dan L. Sihombing, BA serta adik-adik yang aku sayangi Irene, Morin, Benpa, Josualam, Bernadeth, Anastakiel, Toga, Adriani, dan Putri Togu yang dengan bangga dan penuh kasih telah memberikan dukungan doa, semangat, moril dan materil selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU.

8. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman

seperjuangan, mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku angkatan 2007 atas segala kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang telah terjalin selama ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.

Medan, Juni 2009 Penulis,

REGINA MARINTAN SINAGA 077033026


(10)

RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

1. Nama : Regina Marintan Sinaga

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Agama : Kristen Protestan

4. Tempat/Tgl lahir : Pematang Siantar/02 Nopember 1968

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD RK No. 3 Pematang Siantar tahun 1975 - 1981

2. SMP Negeri 2 Pematang Siantar tahun 1981 - 1984

3. SMA Negeri 2 Pematang Siantar tahun 1984 – 1987

4. FMIPA FARMASI USU MEDAN tahun 1988 – 1996

5. PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FMIPA USU MEDAN tahun 1996-1997

C. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Pengelola Apotik Swasta di Kota Medan tahun 1998 – sekarang 2. Dosen pada Yayasan AKBID Dewi Maya tahun 2001 – sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI... v vi DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Obat Tradisional... 8

2.2. Pengobatan Tradisional... 17

2.3. Konsep Sehat dan Sakit dalam Pengobatan Tradisional... 22

2.4. Kerangka Pikir... 26

BAB 3 METODE PENELITIAN... 28

3.1. Jenis Penelitian... 28

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 28

3.3. Pemilihan Informan... 30


(12)

BAB 4 PENGOBAT TRADISIONAL DAN PRAKTIK

PENYEMBUHAN BERBAGAI PENYAKIT…... 40

4.1. Gambaran Pengobat Tradisional... 40

4.2. Konsep Sehat dan Sakit Pengobat Tradisional dalam Pengobatan... 63 4.3. Jenis-jenis Penyakit dan Cara Pengobatannya... 65

BAB 5 PENGETAHUAN PENGOBAT TRADISIONAL MENGENAI OBAT TRADISIONAL DAN TEKNIK PENYEMBUHAN…... 73

5.1 . Pengetahuan Pengobat Tradisional tentang Obat-obatan Tradisional... 73

5.2 . Pengetahuan Pengobat Tradisional tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional (Ramuan Obat)…………... 80 5.3. Pengetahuan Pengobat Tradisional tentang Teknik Penyembuhan Penyakit... 85

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 97

6.1. Kesimpulan... 97

6.2. Saran... 100


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Pikir ... 27 6.1 Kegiatan-kegiatan yang Dilakukan oleh Pengobat Tradisional


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana ... 105 2. Izin Penelitian Dosen Pembimbing kepada Pengobatan

Tradisional ... 106 3. Izin Penelitian kepada Kepala Sub. Din DKK Medan ... 107 4. Izin Penelitian dari DKK kepada Pengobatan Tradisional.... 108 5. Jadwal Penelitian ... 109


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tesis ini mengkaji pandangan-pandangan pengobat tradisional tentang praktik-praktik yang dilakukan pada pengobatan secara tradisional yang menggunakan tanaman obat berupa herbal dan juga dengan menggunakan hewan yang diyakini oleh pengobat dapat menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit. Pengetahuan dan keterampilan akan praktik-praktik pengobatan tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang diterima dari keluarga atau kerabat, yang melakukan kegiatan pengobatan tradisional tersebut dan berlangsung hingga masa sekarang ini.

Masyarakat Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Penggunaan tanaman berkhasiat obat itu, sebagian berdasar pada pengalaman dan keterampilan secara turun temurun, diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (Sari, 2006: 1). Sebagian lainnya diperoleh dengan cara belajar kepada mereka yang tahu.

Penggunaan bahan tanaman baik sebagai obat maupun sebagai pemeliharaan serta peningkatan kesehatan, akhir-akhir ini cenderung meningkat, terlebih dengan


(17)

adanya isu kembali ke alam1 (back to nature). Selain itu mahalnya harga obat modern juga mendorong sebagian masyarakat untuk lebih memilih menggunakan tanaman obat tradisional (Katno dkk, 2008: 2).

Walaupun pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional masih tetap tinggi. Menurut Susenas (2001), sebanyak 31,7% masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional dan 9,8% mencari pengobatan dengan cara tradisional untuk mengatasi masalah kesehatannya (Depkes, 2004: 1). World Health

Organization (WHO, 2003: 2) merekomendasikan penggunaan obat tradisional

termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, degeneratif dan kanker.

Penggunaan obat tradisional dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif sedikit dibandingkan obat modern. Walaupun demikian bukan berarti obat tradisional tidak memiliki efek samping, bila penggunaannya tidak tepat (Katno dkk, 2008: 1-3). Demikian juga dengan anggapan bahwa obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang. Anggapan ini adalah keliru, sampai batas-batas tertentu, mungkin benar, akan tetapi bila sudah melampaui batas dapat membahayakan (Sari, 2006: 3). Contohnya di Belgia, ada 70 orang harus menjalani

1 Kembali ke alam menunjukkan minimnya efek negatif yang ditimbulkan dari penggunaan herbal dan juga ekonomis, menarik minat masyarakat untuk kembali menggunakan obat-obatan dari bahan alami. Litbang DepKes. hal: 1.


(18)

dialisis atau transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003: 1).

Contoh lainnya efek samping penggunaan tanaman obat melalui penggunaan dringo (Acorus calamus L), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Zat berkhasiat tanaman dringo ini mirip golongan amfetamin2 dan ekstasi3. Dosis rendah

dringo memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat. Bila digunakan dalam dosis tinggi dringo memberikan efek sebaliknya yakni, meningkatkan aktifitas mental (psikoaktif). Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal Drugs of Administration (FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan dringo secara internal, karena lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat (Sari, 2006: 3).

Data profil Pengobatan Tradisional di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan sebanyak 2629 jumlah pengobat tradisional menggunakan obat/ramuan tradisional, berasal dari tanaman obat yang diramu sendiri maupun obat jadi tradisional Indonesia. Termasuk di dalamnya Kota Medan sebanyak 739 orang (Dinkes Provinsi Sumut, 2005: 13 & 38). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Kota Medan yang memakai tanaman obat tradisional melalui pengobat tradisional

2 Amfetamin termasuk dalam psikotropika golongan II berkhasiat sebagai pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Focus Media). hal: 4-5. 3 Ekstasi termasuk dalam psikotropika golongan I yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan

ilmupengetahaun dan tidak digunakan dalam terapi, karena mempunyai potensi yang sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Ibid. hal: 4-5.


(19)

untuk peningkatan (promotif), pemeliharaan (rehabilitatif) kesehatan, pencegahan penyakit (preventif) dan mengobati penyakit (kuratif).

Demikian juga dengan penelitian yang saya lakukan atas kajian praktik-praktik pengobat tradisional ini, diinspirasi antara lain oleh fakta bahwa masyarakat di sekitar Kota Medan dan dari daerah luar masih saja ada yang menggunakan pengobatan tradisional untuk mengatasi masalah kesehatannya. Padahal pengetahuan pengobat tradisional tentang tanaman yang menjadi bagian dalam pengobatan, meliputi pemilihan (bagian) tanaman, cara pencucian tanaman beserta alat yang dipakai, air yang digunakan untuk mencuci tanaman obat, pengeringan, cara meramu, menurut saya bahwa praktik-praktik tersebut belum memenuhi syarat seperti yang tertera dalam Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik4 (CPOTB) (BPOM, 2005: 8-13).

Hal tersebut dapat menimbulkan penyakit seperti diare akibat pencemaran bakteri yang berasal dari air (yang berkualitas kurang baik) untuk pencucian tanaman obat dan atau alat yang digunakan kurang bersih (tidak memenuhi persyaratan). Kemudian jangka waktu pemakaian tanaman obat tradisional yang sudah diolah (jamu) juga tidak ditentukan. Hal ini dapat memungkinkan terdapatnya racun

aflatoksin pada sediaan jamu. Racun ini berpotensi menjadi penyebab terjadinya

sirosis dan kanker hati (Sirait, 1994: 2). Selain itu takaran yang digunakan untuk

4. Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) merupakan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, ditujukan untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat merugikan kesehatan, sehingga perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan bagi pemakainya. (BPOM RI, 2005). hal: 11.


(20)

pemakaian dengan menggunakan ukuran yang tidak akurat seperti segenggam, seruas dan lain-lain, dapat mengurangi jaminan keamanan dari obat tradisional (Sari, 2008: 3). Selanjutnya teknik penyembuhan dalam menangani orang yang sakit merupakan bagian yang perlu untuk diketahui sesuai dengan konsep-konsep pengobatan tradisional yang dilakukan oleh pengobat tradisional.

Usaha/aktivitas pengobatan dan penyediaan obat tradisional seperti tersebut di atas, sudah berlangsung sejak lama. Perkembangannya cukup cepat berjalan dan meluas di berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah. Persebaran5 pengobatan tradisional tersebut tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi sehingga keberadaannya terus meluas melampaui batas-batas administrasi dan lapisan masyarakat.

Dari adanya fakta-fakta tersebut di atas itulah kajian ini dilakukan. Kajian ini meneliti pengetahuan pengobat tradisional dalam praktik-praktik pengobatan tradisional, yang meliputi pengetahuan tentang teknik penyembuhan penyakit dan cara pembuatan obat tradisional.

1.2. Permasalahan

Fenomena mengatasi masalah kesehatan masyarakat dengan mencari pengobat tradisional, merupakan realitas dalam kesehatan. Sementara dalam

5. Begitu juga ketika saya melakukan pengamatan di Kabupaten Dairi, praktek-praktek pengobatan tradisional masih berlangsung dan menurut pengamatan saya bahwa dalam pembuatan ramuan tradisional tersebut, yang meliputi pemilihan (bagian) tanaman, cara pencucian tanaman beserta alat yang dipakai, air yang digunakan untuk mencuci tanaman obat, pengeringan, cara meramu, saya berpendapat bahwa praktek-praktek tersebut belum memenuhi syarat seperti yang tertera dalam Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).


(21)

praktik pengobatan tradisional, pengobat tradisional menggunakan cara-cara tradisional berupa teknik pengobatan secara tradisional, dan pengetahuan tentang obat-obat yang digunakan juga tradisional.

Untuk itu penelitian ini mengkaji pengetahuan pengobat tradisional tentang teknik penyembuhan penyakit dan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang meliputi seluruh aspek pembuatan obat tradisional, dimulai dari pemilihan bahan baku, yaitu dari bagian tanaman atau seluruh tanaman yang masih segar, dan kegiatan lain sebelum digunakan, seperti pencucian misalnya. Air untuk mencuci bahan yang akan digunakan serta untuk membuat ramuan harus bersih. Peralatan dicuci bersih dan dalam meramu jamu, tangan harus dicuci dahulu, bahan disiapkan dan diletakkan dalam wadah yang bersih. Bobot dan takaran dinyatakan dalam berat atau pengukuran, cara merebus ramuan, penggunaan, aturan minum dan jangka waktu pemakaian juga merupakan bagian dari Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOTB). Sehingga rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengetahuan pengobat tradisional tentang teknik penyembuhan penyakit dan cara pembuatan obat tradisional dalam sistem pengobatan di Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengetahuan pengobat tradisional tentang teknik penyembuhan penyakit dan cara pembuatan obat tradisional dalam sistem pengobatan tradisional.


(22)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Pengetahuan bagi orang yang berminat dalam memanfaatkan pengobatan tradisional untuk menanggulangi masalah kesehatan.

2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat untuk memanfaatkan tanaman obat keluarga sebagai warisan budaya dan memanfatkannya dengan keamanan yang lebih baik.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian berkaitan dengan pemanfaatan dan keamanan tanaman obat tradisional.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat Tradisional

Obat tradisional sudah sejak lama digunakan secara luas di Indonesia. Dalam perkembangan kedokteran modern sekarang ini masih terasa kuat peranan obat tradisional sebagai pendamping obat modern.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 mendefinisikan obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional baik berupa jamu maupun tanaman obat keluarga masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah kebawah. Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) (Katno, 2006: 1).

Obat tradisional sebaiknya digunakan pada penyakit dengan kriteria prevalensi tinggi, insidens tinggi, tersebar pada area luas, pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang rendah serta mudah dikenal masyarakat. Beberapa jenis penyakit yang memenuhi kriteria tersebut di antaranya: demam, sakit gigi, sakit kepala, batuk, diare6, obstipasi7, mual, penyakit kulit, cacingan dan anemia8. Kriteria

6

Defekasi yang kerap dengan tinja yang lembek atau cair, (Ramali, A dan Pamoentjak 1987: 75). 7


(24)

obat tradisional yang digunakan sebaiknya mudah didapat, jika memungkinkan dari kebun sekitar rumah, dikenal oleh orang banyak, proses penyimpanannya sederhana, mudah digunakan dan tidak berbahaya dalam penggunaannya (Agoes A dan Jakob T, 1999: 2).

Penyakit-penyakit dan keluhan yang dapat diatasi dengan menggunakan tanaman obat tradisional antara lain:

a. Penyakit yang diobati secara kausal seperti cacingan, malaria dan gigitan serangga.

b. Gejala penyakit yang diobati secara simptomatik seperti batuk, sakit kepala, demam, pegal linu, mual, diare, sembelit, mulas, sariawan, wasir, gatal, luka baru, bisul, perut gembung, luka bakar ringan, mimisan dan sakit gigi.

c. Keadaan yang diobati secara suportif seperti jerawat, ketombe, melancarkan air susu, menghilangkan bau badan, menghitamkan rambut, kurang nafsu makan, pemulih tenaga sehabis bersalin, kehamilan dan anemia.

d. Penyakit yang sudah didiagnosis dokter seperti darah tinggi, kencing manis, batu ginjal, penyakit mata, batu empedu, keputihan dan sulit kencing (Agoes A dan Jakob T, 1999: 2-3).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005: 4-6), menyebut obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan

8


(25)

dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan, mengandung dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah: aman, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu.

2. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses pembuatan obat herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standarisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang higienis serta uji toksisitas maupun kronis.

3. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka telah terstandarisasi yang didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.


(26)

Menurut Suharmiati dan Handayani (2006: 2-3), obat tradisional yang ada di masyarakat dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu:

1. Obat Tradisional Buatan Sendiri

Obat tradisional yang dibuat sendiri menjadi akar obat tradisional di Indonesia saat ini, selanjutnya oleh pemerintah dikembangkan dalam Program Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Sumber tanaman bisa disediakan oleh masyarakat sendiri baik secara individu, keluarga, maupun kolektif dalam suatu lingkungan masyarakat. Program TOGA juga mengajarkan tentang cara penyajian secara sederhana, tetapi tetap aman dikonsumsi, dan dalam pelaksanaannya diharapkan peran aktif seluruh anggota masyarakat dengan bimbingan dan binaan Puskesmas setempat.

2. Obat Tradisional dari Pembuat Jamu (Herbalis)

a. Jamu Gendong, jamu yang disediakan dalam bentuk minuman dan sangat digemari masyarakat, secara umum dijual dengan nama kunyit asam, mengkudu, pahitan, beras kencur, juga tersedia jamu yang disediakan khusus sesuai pesanan, misalnya jamu bersalin dan jamu untuk mengobati keputihan.

b. Peracik jamu, bentuk jamu menyerupai jamu gendong, tetapi kegunaannya lebih khusus untuk keluhan kesehatan tertentu, misalnya untuk kesegaran, menghilangkan pegal dan linu, serta batuk. Peracik jamu tradisional saat ini sudah semakin berkurang, diperkirakan karena kalah bersaing dengan industri obat tradisional skala besar yang mampu menyediakan jamu bentuk yang lebih praktis.


(27)

3. Obat Tradisional dari Tabib

Saat ini jumlahnya tidak banyak tetapi tabib masih bisa dijumpai, pada praktek pengobatannya, tabib menyediakan ramuan yang berasal dari bahan alam lokal. Selain memberi ramuan, para tabib juga mengkombinasikan dengan teknik lain seperti metode spiritual atau supranatural.

4. Obat Tradisional dari Shinse

Pengobat sinshe berasal dari negara Cina yang mengobati pasien dengan menggunakan obat tradisional. Bahan-bahan obat tradisional yang digunakan berasal dari Cina, dan ada juga yang dicampur dengan bahan lokal sejenis dengan yang ditemukan di Cina. Penyediaan obat tradisional Cina mudah diperoleh di toko-toko obat Cina dalam bentuk sediaan jadi, pengobatan sinshe biasanya mengkombinasikan ramuan dengan teknik pijatan, akupresur, atau akupuntur.

5. Obat Tradisional Buatan Industri

Departemen Kesehatan membagi industri obat tradisional dalam dua kelompok, yaitu Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan Industri Obat Tradisional (IOT). Obat tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa herbal terstandar atau fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan lebih sederhana seperti serbuk, pil, kapsul dan sirup.

Bentuk sediaan obat tradisional seperti serbuk, pil, kapsul dan sirup harus menjamin mutu yang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Tata cara pembuatan ramuan obat tradisional yang sesuai dengan pedoman tersebut dapat dibuat sendiri dengan cara sederhana.


(28)

‘Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani’(BPOM RI, 2005: 15).

Menurut Sembiring, B (2007: 2-5) dan Agro Media (2008: 26-27) pembuatan ramuan obat tradisional9 dapat dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman obat yang dapat dibudidayakan, meliputi:

1. Bahan baku

Bahan baku yang digunakan adalah bagian tanaman yaitu: biji, buah, daun, rimpang, bunga, kayu, dan herba. Pada waktu penen/pengambilan bahan, peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Penempatan dalam wadah seperti keranjang dan karung tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak rusak.

2. Penyortiran

Penyortiran segar dilakukan setelah selesai panen, dimaksudkan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dan muda atau ukurannya lebih besar atau kecil.

3. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mikroba yang melekat pada bahan. Air yang digunakan untuk mencuci bahan dan peralatan yang

10. Lihat Suharmiati dan Handayani, L., Cara Benar Meracik Obat Tradisional (2006: 28-40) dan Handayani, L, Pemanfaatan Obat Tradisional untuk Kesehatan Usila (2007: 2-4).


(29)

digunakan adalah air bersih. Pada saat pencucian bahan, perlu diperhatikan air cucian dan air bilasan, jika masih terlihat kotor pencucian dan pembilasan harus di ulang. Pencucian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan tanaman obat.

4. Pengeringan

Setelah bahan obat di cuci, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Khusus untuk bahan rimpang penjemuran dilakukan selama 4-6 hari. Setelah proses pengeringan selesai, dilakukan kembali penyortiran.

5. Peralatan

Peralatan yang digunakan dapat berupa peralatan memasak yang ada di dapur seperti pisau, talenan, panci, parut dan lain-lain. Semua peralatan yang digunakan untuk pembuatan ramuan obat tradisional sebelum dan sesudah digunakan harus dicuci bersih, sehingga tidak tercampur dengan bahan masakan, khususnya yang berasal dari hewan. Panci yang dilapisi email atau kuali/periuk dari tanah liat dapat digunakan, sedang peralatan panci yang terbuat dari kuningan atau besi harus dihindari untuk mencegah timbulnya endapan, timbulnya racun, atau efek samping lain akibat terjadinya reaksi kimia dengan bahan obat.

6. Meramu

Sebelum meramu, tangan dicuci sampai bersih, bahan disiapkan dan diletakkan pada wadah yang bersih.


(30)

7. Penggunaan

Cara penggunaan ramuan obat tradisional harus diketahui sebelum digunakan, baik dengan cara diminum atau digunakan sebagai obat luar.

8. Aturan minum dan jangka waktu pemakaian

Aturan minum obat tradisional disesuaikan dengan peraturan yang sudah ada sesuai petunjuk formularium obat tradisional. Obat tradisional biasanya diminum sebelum makan kecuali bila dalam ramuan tersebut terdapat bahan yang dapat merangsang lambung. Jangka waktu pemakaian untuk ramuan yang tidak dimasak hingga mendidih harus digunakan segera dalam waktu 12 jam, sedangkan ramuan yang direbus dapat digunakan dalam jangka waktu 24 jam.

Menurut Handayani L, (2006: 2-3) tata cara merebus ramuan obat tradisional yang baik dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Bahan yang terlalu tebal seperti rimpang, batang dipotong-potong tipis terlebih dahulu.

b. Bahan ramuan obat tradisional dimasukkan ke dalam wadah dan air yang bersih dimasukkan sesuai dengan takaran dan api yang digunakan untuk memasak dapat kecil atau besar sesuai kebutuhan. Obat yang bersifat tonik direbus dengan api kecil sehingga bahan aktif dapat secara lengkap dikeluarkan ke dalam air rebusan. Obat yang bersifat mengeluarkan keringat, misalnya ramuan untuk influensa, digunakan api besar sehingga dapat mendidih dengan cepat, agar penguapan dari bahan aktif yang mudah menguap dapat dicegah.


(31)

c. Bila tidak ada ketentuan lain maka perebusan dianggap selesai bila air rebusan tersisa setengah dari jumlah air semula.

d. Ramuan yang terdiri dari bahan yang keras seperti batang, biji, perebusan dianggap selesai bila air tersisa sepertiganya.

Dalam perkembangan sebagai obat tradisional sering dijumpai ketidaktepatan penggunaan obat tradisional karena kesalahan informasi maupun anggapan keliru terhadap obat tradisional dan cara penggunaannya. Dari segi efek samping diakui bahwa obat tradisional/obat alam memiliki efek samping relatif kecil dibandingkan obat modern, tetapi perlu diperhatikan bila ditinjau dari kepastian bahan aktif dan konsistensinya yang belum dijamin terutama untuk penggunaan secara rutin (Katno, 2006: 3).

Obat tradisional jamu yang banyak digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit mempunyai kelebihan dan kelemahan, sehingga harus digunakan secara cermat (Katno, 2006: 3-9), di mana kelebihannya adalah memiliki efek samping relatif lebih kecil apabila digunakan secara benar dan tepat. Penggunaan secara benar dan tepat tersebut meliputi takaran, waktu, dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuaian dengan indikasi penyakit tertentu, dan ketepatan takaran/dosis.

Obat tradisional jamu selain memiliki kelebihan, juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional, termasuk dalam upaya bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal. Beberapa kelemahan obat tradisional jamu antara lain: efek farmakologinya yang lemah, bahan


(32)

baku belum terstandar, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme.

Hal lain yang menjadi kelemahan obat tradisional jamu yaitu asal-usul bahan, juga kelengkapan data yang mendukung atas bahan yang digunakan, seperti umur tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, dan lain-lain) belum memenuhi standarisasi obat tradisional. Penanganan pasca panen yang tidak benar dan kurang tepat meliputi cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan bentuk, pengepakan serta penyimpanan juga merupakan kelemahan obat tradisional (Katno, 2008: 7-8).

Pengetahuan akan cara pembuatan obat tradisional yang baik seperti yang telah dijelaskan di atas, bagi pengobat tradisional sangat dibutuhkan untuk pemanfaatan dan keamanan obat tradisional sehingga menjamin produk jamu yang digunakan dan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

2.2. Pengobatan Tradisional

Sistem pelayanan kesehatan yang ada belum merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga pemerintah mengambil kebijakan dengan memanfaatkan semua potensi upaya kesehatan yang ada di masyarakat. Salah satu potensi besar dalam bentuk peran serta masyarakat adalah upaya pengobatan tradisional yang hingga sekarang ini masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat (Soenardi, 1989: 84).


(33)

Menurut WHO (Agoes A dan Jakob T, 1999: 60), pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prevensi, dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial. Definisi pengobatan tradisional menurut WHO tersebut mengacu kepada adanya pengalaman praktek yaitu, hasil-hasil yang diamati secara terus-menerus dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan.

Pengetahuan dan keterampilan pengobatan tradisional tersebut diperoleh melalui pewarisan secara turun temurun dari orang tua/leluhur, berguru pada ahli pengobatan/dukun pengobatan, secara penglihatan gaib, melalui mimpi-mimpi, berguru melalui buku-buku yang ditinggalkan, dengan melihat langsung praktek ahli pengobatan, belajar dan mendapatkan melalui penderitaan (sakit) diri sendiri. Berbagai macam bentuk dan cara diperlihatkan oleh para ahli pengobatan tradisional di dalam mengobati berbagai macam penyakit dalam praktek pengobatan sehari-hari (Manuputty, dkk, 1990: 28).

Di Indonesia, Praktek-praktek pengobatan tradisional yang ada sekarang ini masih dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik itu di desa maupun di kota. Dalam praktek-praktek pengobatan tradisional tersebut dilakukan menurut cara yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Menurut Manuputty, dkk (1990: 3-4) cara-cara pengobatan tradisional yang berlaku pada masyarakat Maluku antara lain:


(34)

2. Dengan tindakan jasmani yaitu: pijat/urut, disembur/ditiup, dijilat/disedot/ diisap, dimandikan dengan ramuan obat.

3. Dengan tindakan rohani keagamaan (doa) dan ramuan obat.

4. Dengan tindakan rohani kepercayaan (mantera) dan ramuan obat

(sembur/tiup).

5. Dengan tindakan rohani keagamaan (doa), tindakan jasmani dan ramuan obat yaitu: dijilat/disedot/diisap.

6. Dengan tindakan jasmani, tindakan rohani kepercayaan dan ramuan obat (termasuk diberi penangkal).

7. Ramuan obat dan pantangan-pantangannya.

8. Ramuan obat dan dimandikan dengan ramuan obat tersebut.

Demikian juga pada masyarakat Desa Sibinail yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, jenis pengobatan tradisional dikelompokkan atas 2 yaitu:

“dotu” dan “pojusi”. “Dotu” adalah sebutan pengobat tradisional laki-laki yang

memiliki keahlian dalam menanggulangi berbagai penyakit, dengan menggunakan ramuan atau “pulungan” , maupun dengan tindakan jasmani (pengurutan). “Dotu” ahli dalam aneka keterampilan dan pengetahuan dalam mengatasi berbagai jenis penyakit, seperti: patah tulang, kena guna-guna, kena setan atau dalam bahasa lokal disebut “tersopo”. Sedangkan “pojusi” merupakan sebutan untuk pengobat tradisional wanita yang mempunyai keahlian dalam menangani persalinan (bidan beranak). Pengetahuan akan pengobatan tradisional pada masyarakat Sibinail diwarisi


(35)

secara turun temurun dari orang tua dan ahli pengobat tradisional juga dari berguru atau belajar (Lubis S, dkk, 1996: 122-123).

Pengobatan tradisional untuk masyarakat Desa Sibinail menjadi alternatif utama dalam mengatasi masalah kesehatan dengan berbagai jenis penyakit yang ada. Beberapa alasan pemakaian pengobat tradisional tersebut diantaranya adalah ketiadaan pengobatan modern seperti puskesmas, juga keadaan lokasi yang kaya dengan berbagai jenis tanaman. Para pengobat tradisional setempat memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitarnya sebagai bahan ramuan obat yang digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit. Alasan lain adalah tingkat ekonomi penduduk yang relatif rendah menyebabkan masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif.

Penyebaran informasi tentang ramuan tradisional secara oral dari seseorang kepada orang lain, dari orang tua terhadap anak atau dari mulut ke mulut menjadi salah satu faktor perkembangan dan pelestarian pengobatan tradisional, juga didukung oleh kemanjuran obat yang digunakan oleh masyarakat setempat. Sehingga sistem pengobatan tradisional yang dimiliki, dianggap masih mampu mengatasi berbagai jenis penyakit (Lubis S, dkk, 1996: 136-137).

Perkembangan pengobatan tradisional di Indonesia tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang kaya akan bahan-bahan obat tradisional. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari tanaman yang tumbuh liar dan berasal dari tanaman yang telah dibudidayakan oleh masyarakat/petani sebagai pemasok.

Upaya pengembangan pengobatan tradisional juga terdapat dalam GBHN yang menyatakan, pengobatan tradisional yang secara medis dapat


(36)

dipertanggungjawabkan terus dibina untuk perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan-pengembangan terhadap pengobatan tradisional, termasuk sebagai antisipasi dalam menghadapi era globalisasi.

Arah pembangunan pengobatan tradisional harus mengacu kepada: pengembangan metode (cara) pengobatan tradisional, pengembangan keterampilan tenaga pengobatan tradisional dan pembangunan sarana pengobatan tradisional. Kemajuan dan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sangat mendukung pengobatan tradisional, seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara luar yang kemudian mampu dijual di pasaran (Wijayakusuma, H, 2000: 25). Dengan pengembangan pengobatan tradisional yang disertai dengan dukungan ilmiah terhadap tanaman obat herbal atau jamu, akan dapat meningkatkan daya saing pengobatan tradisional dengan sistem pengobatan modern.

Dukungan pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), terhadap pengembangan pengobatan tradisional melalui Rencana Induk Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia akan menjadi pencerah perkembangan jamu di Indonesia. Dalam pengembangan tersebut beberapa diantara pilar program tersebut yaitu: pemeliharaan mutu, keamanan dan kebenaran khasiat, keseimbangan antara suplai dan permintaan, penggunaan pada pelayanan kesehatan serta penelitian (Kardono, 2003: 1&7) akan menjaga kesinambungan pengobatan tradisional yang dalam praktek pengobatan menggunakan obat tradisional.


(37)

2.3. Konsep Sehat dan Sakit dalam Pengobatan Tradisional

Salah satu pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia dan masyarakat adalah pengetahuan yang menyangkut dengan usaha menghindari dan cara penyembuhan suatu jenis penyakit secara tradisional, yang berbeda jauh dengan sistem pengobatan dan penyembuhan secara modern. Pengobatan tradisional akan obat tradisional dan jenis penyakit menggunakan pengetahuan tradisional (indegenous knowledge) yang diperoleh dari pengalaman dan warisan generasi sebelumnya.

Pengobatan tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan bersifat universal, dan dapat dikatakan setiap kebudayaan manapun, akan mempunyai unsur-unsur dan konsep mengenai sehat dan sakit serta penyebab dan cara-cara pengobatannya. Secara umum definisi sakit adalah suatu keadaan yang tidak seimbang, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan.

Konsep sehat dan sakit berbeda dari suatu masyarakat dan suku bangsa ke masyarakat dan suku bangsa lain. Subandi (1988: 107-111) menjelaskan seorang dukun atau balian di Bali melakukan pengobatan berdasarkan konsep sehat sakit. Konsep sehat menurut para dukun adalah suatu keadaan di mana badan tidak sakit (seger, bahasa Bali), cukup makan dan rukun dalam rumah tangga, dengan tetangga dan masyarakat. Sedangkan konsep sakit atau gelem menurut para dukun adalah kekuatan yang menurun ditandai dengan kekuatan yang merosot, lemah dan lain-lain yang memerlukan uluran tangan yang mampu mengembalikan kekuatan tersebut. Konsep sakit erat sekali hubungannya dengan cara-cara pengobatan yang dilakukan,


(38)

misalnya dalam mengobati/mengatasi gangguan penyakit panes maka harus dicari bahan ramuan obat-obatan nyem (dingin), demikian pula sebaliknya.

Di daerah Kalimantan Timur konsep sehat dan sakit pada masyarakat (Katin, 1988: 153-171) dapat dijelaskan bahwa seseorang dikatakan sakit sebagai akibat adanya gangguan roh halus, pengaruh magis orang lain dan karena faktor lain yang irrasional. Sedangkan sehat dijelaskan sebagai suatu keadaan dalam kondisi keseimbangan secara dunia gaibnya, di mana peristiwa gaib memainkan peranan besar terutama bila mereka berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diterangkannya. Diyakini bahwa dunia gaib tersebut adalah roh yang mengganggu atau roh yang menghukum. Apabila seseorang jatuh sakit, ia mencari sebabnya apakah ada hal-hal yang tidak seimbang dengan dunia gaibnya.

Bentuk dan cara pengobatan tradisional dalam mengobati penyakit pada masyarakat Kalimantan dapat dilakukan oleh penderita sendiri atau dengan bantuan keluarganya sendiri, tanpa bantuan tenaga ahli dengan menggunakan ramuan tradisional, jamu tradisional atau tanaman obat keluarga, dan juga berpantang makan terhadap jenis tanaman tertentu. Di samping itu juga dapat dikerjakan oleh tenaga ahli yang disebut dukun atau pawang untuk penyakit tertentu dan ada unsur ilmu gaib yang tidak rasional, cara pengobatannya adalah pijat, urut, disembur (ditawar) ditoreh, ditangkal.

Ada dua konsep yang lazim dipakai dalam masyarakat Jawa untuk menemukan sebab-sebab suatu penyakit dan penentuan pengobatannya secara tradisional, yaitu konsep personalistik dan konsep naturalistik. Dalam konsep


(39)

personalistik, penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen (perantara) aktif dapat berupa makhluk supernatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, roh jahat) dan manusia (tukang sihir, tukang tenung). Masyarakat Jawa menyebut penyakit “ora lumrah” atau “ora sabaene” (tidak wajar atau tidak biasa), penyembuhannya berdasarkan pengetahuan secara gaib atau supernatural, seperti melakukan upacara dan sesaji. Upacara tersebut dimaksudkan untuk membuat keseimbangan agar sebab sakit dapat dikembalikan pada asalnya, sehingga orang tersebut sehat kembali.

Sedangkan konsep naturalistik, penyebab penyakit bersifat natural dan mempengaruhi kesehatan tubuh, misalnya karena cuaca, iklim, makanan, racun, kuman atau kecelakaan. Di samping itu ada unsur lain yang mengkibatkan ketidakseimbangan dalam tubuh, seperti dingin, panas, angin atau udara lembab. Jenis penyakit ini disebut penyakit “lumrah” atau biasa, penyembuhannya adalah dengan model keseimbangan dan keselarasan, artinya dikembalikan pada keadaan semula sehingga orang sehat kembali. Misalnya penyakit badan dingin atau

“drodhok” (menggigil kedinginan), penyembuhannya dengan minum jahe hangat

atau melumuri tubuhnya dengan air garam. Dapat juga dilakukan pengobatan dengan pemberian raman atau djamoni yang terdiri berbagai macam tumbuhan atau daun yang ditumbuk lalu diminumkan atau dioleskan pada bagian yang sakit. Pemberian jamu biasanya dilakukan sebagai pertolongan pertama oleh si sakit, apabila usaha tersebut tidak berhasil biasanya si sakit dibawa ke dukun. Misalnya untuk penyakit yang hubungannya dengan tulang seperti reumatik, sakit pinggang, dan keseleo, oleh


(40)

sang dukun diobati dengan bobo beras kencur dan jeruk nipis yang sudah diberi mantra (Sastromidjojo S dalam Suketjogja, 2008: 1-3).

Dari penjelasan di atas diketahui adanya unsur-unsur penyebab penyakit yang terjadi secara alamiah dan juga disebabkan oleh adanya makhluk supernatural. Foster dan Anderson (1986: 46) menyebutnya sebagai suatu “sistem teori penyakit” yang merupakan suatu sistem ide konseptual, suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota masyarakat. Sistem penyebab penyakit sebagian besar bersifat rasional dan logis, dalam arti bahwa teknik-teknik penyembuhan merupakan fungsi dari, atau berasal dari, suatu ide konseptual yang khusus tentang sebab-sebab penyakit.

Sedangkan “sistem perawatan kesehatan” adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh. Sistem perawatan kesehatan mewujudkan fungsi untuk memberdayakan sumber-sumber daya si pasien, yaitu keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.

Jadi teori, definisi, ataupun konsepsi mengenai konsep sehat dan sakit tidak berlaku secara universal. Dengan kata lain berbeda-beda tergantung dari keaneka ragaman kebudayaan (Dumatubun, 2002: 4). Konsep-konsep kausalitas yang mengacu kerangka kognitif pada masyarakat penting untuk menjelaskan tentang adanya penyakit (disease), dibagi dalam 2 kategori yaitu: personalistik dan


(41)

Sistem medis personalistik menjelaskan di mana penyakit (ilness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, ataupun roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Sedangkan sistem naturalistik memberi penjelasan, penyakit (ilness) terjadi karena keseimbangan terganggu. Sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang, berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya (Foster dan Anderson, 1986: 46, 63-64).

2.4. Kerangka Pikir

Di bawah ini merupakan kerangka pikir sebelum saya melakukan penelitian di lapangan. Pada awalnya kajian dalam melakukan penelitian ini adalah tentang pengobatan tradisional yang menggunakan tanaman obat tradisional (herbal dan jamu), yang ditinjau dari Cara pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).


(42)

Cara Pembuatan Obat Tradisional Baik (CPOTB):

- Pemilihan tanaman - Perlatan/wadah - Bobot dan

takaran

- Mencuci bahan dan alat

- Aturan pakai - Jangka waktu

pemakaian Konsep sehat dan sakit

Pengobatan tradisional:

- Menggunakan tanaman obat tradisional (herbal dan Jamu)

Gambar 2.1. Kerangka Pikir


(43)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Kajian tentang pengobatan tradisional ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode pengamatan (observasi) di lapangan terhadap kegiatan-kegiatan yang terjadi di lokasi penelitian, juga wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan pelaku-pelaku pengobat tradisional.

Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu penjelas (eksplanan) dari objek penelitian (eksplanandum) yaitu pengetahuan pembuatan obat tradisional dan teknik penyembuhan penyakit. Untuk itu kepekaan saya sebagai peneliti dalam merancang konsep penelitian harus semakin tajam dan mengkristal pada persoalan operasionalisasi yang lebih konkret dalam menguraikan makna dibalik fenomena yang tampak (Bungin, 2007: 74-75).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Medan dengan alasan, bahwa di Kota Medan masih banyak pengobat tradisional yang melaksanakan praktik-praktik pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman obat tradisional/jamu. Persebaran pengobat tradisional di Kota Medan tersebut dapat dilihat di berbagai tempat yang hampir menyebar secara luas. Bila ditinjau dari klasifikasi dan jenis dari pengobat tradisional yang ada di Kota Medan, dapat dilihat diantaranya pengobat tradisional ramuan


(44)

meliputi gurah10, tabib11, shinshe12, aromatherapist13 dan oukup14. Selain itu juga terdapat pengobat tradisional keterampilan, meliputi pengobat tradisional pijat urut, pengobat tradisional patah tulang, dan pengobat tradisional sunat.

Pengamatan dan wawancara saya lakukan di wilayah Kota Medan Tuntungan dan Kota Medan Baru, atas pengobat-pengobat yang kebetulan sudah melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional selama lebih kurang 40 tahun. Ada 2 macam wawancara yang saya lakukan dalam kajian penelitian ini, yaitu: (1) Wawancara untuk mendapatkan keterangan dari pengobat tradisional, yang disebut informan, merupakan orang yang mempunyai keahlian tentang pokok wawancara, dalam kajian ini adalah tentang pengobatan tradisional. Dan (2) Wawancara dengan orang yang tinggal di sekitar lingkungan pengobat tradisional untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap tentang pengobat tradisional dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional (Koentjaraningrat, 1989: 130). Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009.

10

Seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan cara memberikan ramuan tetesan hidung, berasal dari larutan kulit pohon sengguguh dengan tujuan mengobati gangguan saluran pernafasan atas seperti pilek dan sinusitis (Profil Pengobatan Tradisional di Provinsi Sumatera Utara, 2005). hal: 6.

11

Seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan ramuan obat tradisional yang berasal dari bahan alamiah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang India atau Pakistan, Ibid. hal. 4.

12

Seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat-obatan tradisional cina, Ibid. hal. 6.

13

Seseorang yang memberikan perawatan dengan menggunakan rangsangan aroma yang dihasilkan oleh sari minyak murni (esensial oil) yang didapat dari sari tumbuh-tumbuhan (ekstraksi dari bunga, buah, daun, biji, kulit, batang/ranting akar dan getah) untuk menyeimbangkan fisik, pikiran dan perasaan, Ibid. hal. 7.

14

Seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan uap ramuan tumbuh-tumbuhan dalam ruangan tertututup dan cara pengobatan ini berasal dari Tanah Karo, Ibid. hal. 4.


(45)

3.3. Pemilihan Informan

Informan pada penelitian ini adalah pengobat tradisional yang melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional di Medan Tuntungan dan Medan Baru. Dalam pemilihan informan dan objek pengamatan dengan penjajagan awal terhadap kegiatan/praktik-praktik yang berlangsung di beberapa tempat di Kota Medan. Akhirnya saya memilih melakukan fieldwork di Medan Tuntungan dan Medan Baru karena alasan pengobat tradisional tersebut sudah melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional dalam waktu yang cukup lama, dan hingga saat ini masih tetap

“survive”, bahkan dapat menopang perekonomian mereka secara baik. Untuk

penjelasan ini, saya peroleh ketika melakukan wawancara dan pengamatan atas tempat melakukan praktik pengobatan tradisional dengan kondisi yang cukup terlihat baik, bila dibandingkan dengan pelayanan kesehatan modern.

Di bawah ini dapat dilihat dari narasi dalam percakapan dengan pengobat tradisional, atas bangunan15 yang digunakan dalam pelayanan pengobatan tradisional, yang secara kebetulan saya mengetahui perkembangannya dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional.

“Saya dan orang tua saya, membangun rumah ini dari hasil kerja melalui obat tradisional ini, dan kami peroleh selama bertahun-tahun dengan menyisihkan dari hasil yang kami dapat. Saya memperbaiki rumah ini, selain karena saya sudah punya simpanan uang, juga saya memikirkan bagaimana usaha saya ini dapat berkembang secara

15

Rumah tempat tinggal saya, letaknya berdekatan dengan bangunan yang digunakan oleh pengobat tradisional, sehingga saya mengetahui perkembangan bentuk kondisi bangunan tersebut dan bila dibandingkan dengan bentuk bangunan dahulu dengan kondisi sekarang mengalami kemajuan yang sangat baik.


(46)

menerus dengan baik, jadi penampilan pengobatan yang saya lakukan juga harus menarik”.

Selain itu juga yang menjadi alasan lain adalah, ketika dalam melakukan penjajakan awal, saya melihat banyaknya masyarakat yang datang, selain dari Kota Medan juga dari berbagai tempat daerah lain menggunakan pelayanan pengobatan tersebut.

Informan kunci dalam penelitian ini ada sebanyak 3 orang. Dari mereka saya mendapatkan pemahaman makna emik, yaitu apa yang dipahami, dimaknai, dan dirasakan oleh informan dan hal ini dapat saya peroleh melalui “depth interview” pengobat tradisional (Bunguin, 2007: 75). Informan yang terlibat dalam penelitian ini antara lain adalah seorang pengobat tradisional yang sudah melakukan praktik-praktik pengobatan selama 40 tahun dan secara kebetulan dekat dengan tempat tinggal saya sebagai peneliti. Hal ini memudahkan saya untuk melakukan pengamatan dan wawancara untuk waktu yang lebih lama tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pengobat tradisional setiap saat.

Wawancara selanjutnya adalah keluarga dari pengobat tradisional itu seperti anak, kakak, adik, dan juga pasien dari pengobat tradisional. Hal ini saya lakukan, untuk melengkapi data yang saya butuhkan ketika data yang saya peroleh dari informan tersebut kurang lengkap, hal ini akan memperkuat informasi yang saya peroleh dari pengobat tradisional, sehingga kedalaman informasi dapat tercapai sesuai dengan apa yang dibutuhkan.


(47)

3.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cermat atas kegiatan-kegiatan yang berlangsung di beberapa tempat pengobatan tradisional, data-data untuk kajian penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara dengan 3 orang pengobat tradisional sebagai informan kunci, yang memahami secara mendalam tentang berbagai jenis penyakit dan cara pembuatan obat tradisonal. Wawancara juga dilakukan dengan orang-orang yang tinggal di rumah pengobat tradisional tersebut. Wawancara dapat berlangsung di ruangan pengobat tradisional, tetapi juga dapat berlangsung di halaman rumah atau di luar rumah dan bahkan di dapur tempat masak dari pengobat tradisional.

Secara umum hasil wawancara atau percakapan serta hasil pengamatan, saya tulis langsung di tempat, tetapi ada juga percakapan itu saya tulis setelah berlalu beberapa saat atau sekian lama, hal ini terjadi misalnya ketika dari pembicaraan tersebut menyangkut hal yang sangat pribadi mengenai pengobat tradisional tersebut. Hal ini sangat rentan terhadap kemungkinan untuk terlupakannya beberapa data yang saya peroleh, oleh sebab itu kemampuan saya mengingat atas apa yang baru saja saya lihat dan dengar dari para informan sangat dibutuhkan.

Dalam pengambilan data, saya tidak menggunakan alat bantu seperti tape

recorder dengan alasan ketika melakukan wawancara dengan pengobat tradisional

tersebut, tidak memperkenankan saya untuk merekam pembicaraan tersebut. Dan juga, ada dari pengobat tradisional tersebut ketika melakukan pembicaraan sambil merekam, perhatian dari pengobat tradisional itu sering tertuju kepada tersebut,


(48)

sehingga saya putuskan untuk tidak menggunakan alat perekam tersebut, yang menurut saya hal itu dapat mengurangi kenyamanan dalam melakukan percakapan. Alasan lain juga adalah karena saya merasa lebih leluasa menggunakan catatan secara in-situ ketimbang menggunakan alat perekaman.

Beberapa hambatan pada penelitian ini adalah juga merupakan suatu bagian dalam proses pengumpulan data. Ada pengobat tradisional ketika menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saya, langsung menanyakan surat penelitian dari Sekolah Pascasarjana dan bahkan surat dari Dosen Pembimbing. Setelah saya memberikan surat penelitian yang dimaksud maka pembicaraan pun dapat mulai berjalan dengan baik, meskipun karena kedatangan saya yang berulang-ulang juga sering sekali menimbulkan pertanyaan dari pengobat tradisional. “Ada apa lagi ’dek, belum cukupkah informasi yang saya berikan?”, sebuah isyarat bahwa ia kurang berkenan diketahui lebih banyak mengenai “profesi” nya.

Hambatan lain yang saya temukan di lapangan, adalah keterbatasan saya dalam menggunakan bahasa daerah yang dipakai oleh pengobat tradisional yang menggunakan bahasa Karo. Untuk keterbatasan yang saya alami, maka saya dibantu oleh teman yang faham akan bahasa Karo, walaupun saya menyadari dengan keterbatasan ini akan berpotensi untuk lolosnya beberapa data yang dibutuhkan.

Pengumpulan data di lapangan saya lakukan dengan pengamatan atas aktivitas-aktivitas dalam praktik-praktik selama proses pengobatan yang melibatkan interaksi antara penderita dan keluarganya dengan pengobat tradisional. Aktivitas yang dilakukan oleh pengobat tradisional berupa teknik penyembuhan penyakit,


(49)

cara-cara pembuatan obat/ramuan yang digunakan adalah objek yang menjadi catatan lapangan (field note) saya.

Dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pengobat tersebut, meliputi tata cara pembuatan obat, bahan-bahan obat yang digunakan serta teknik penyembuhan, umumnya dicatat secara langsung ketika melakukan pembicaraan dengan pengobat tradisional. Hal ini saya lakukan untuk meminimalkan terjadinya kelolosan atas data yang diambil. Selanjutnya dari data dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara, dilakukan penarikan kesimpulan-kesimpulan kecil (inferensi) yang masih perlu dikoreksi, dan menjadikannya sebagai catatan dalam penulisan kajian pada penelitian ini (Zuska, 2008: 53).

Pengumpulan data dimulai dari jenis penyakit yang dapat diobati oleh pengobat tradisional, dan perbincangan dari 3 informan tersebut, Iting dan Ibu Ati menyatakan bahwa mereka dapat menyembuhkan segala macam jenis penyakit, seperti stroke, diabetes, kanker, kista dan berbagai jenis penyakit lainnya. Sedangkan untuk seorang pengobat yang bernama Ibu Imah, menyatakan bahwa untuk jenis penyakit tertentu seperti kanker, kista, mioma dan stroke yang sudah diderita lama oleh pasien, tidak dapat ia obati.

Selanjutnya dari perbincangan secara berkelanjutan, saya berpendapat bahwa Iting dan Ibu Ati sangat meyakini akan bahan ramuan yang diperoleh dari hutan, dimana letaknya sangat jauh dari pemukiman, memungkinkan ramuan tersebut mempunyai khasiat yang sangat kuat untuk mengobati penyakit yang tergolong sangat berat.


(50)

Informasi lain yang saya kumpulkan sebagai data melalui wawancara adalah mengenai bahan-bahan tanaman untuk ramuan obat yang digunakan dalam pengobatan, beserta cara pembuatan ramuan obat tradisional. Dalam hal ini Ibu Imah bercerita kepada saya bahwa semua bahan obat yang digunakan dibeli dari pasar tradisional Pancur Batu dan sebagian lagi ditanam oleh keluarganya di daerah Pancur Batu. Sedangkan Iting dan Ibu Ati menjelaskan, bahwa bahan-bahan yang digunakan selain dibeli dari Pusat Pasar (Pajak Central)16 dan Pasar Pancur Batu17 juga diperoleh dari hutan yang menurut mereka letaknya sangat jauh. Di ‘dalam fikiran’ saya, berkembang kesimpulan-kesimpulan kecil (inferensi), dan di kertas lain, inferensi itu saya tulis:

“Pada penyediaan bahan-bahan ramuan yang dipakai oleh Ibu Imah, diperoleh cukup dari pasar tradisional dan dengan menanam tanaman yang digunakan, sementara Ibu Ati dan Iting bahan ramuan yang dipakai mengapa ada tanaman yang digunakan berasal dari hutan dan tempatnya juga menurut mereka sangat jauh”. Alasan apakah yang dapat memberikan penjelasan terhadap pertanyaan tersebut”

Demikianlah, diantaranya cara yang saya lakukan untuk mengumpulkan data, serta menuliskannya, dan mengembangkan menjadi inferensi. Data yang dikumpulkan yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan mereka akan cara pembuatan ramuan obat, menurut penyelidikan saya ketika di lapangan dan

16

Pusat Pasar (juga dikenal dengan nama Pajak Central) adalah sebuah pasar besar yang terletak di Medan Kota, Kota Medan, Indonesia. Gedung Pusat Pasar pada masa kini terhubung dengan gedung Medan Mall, sebuah pusat perbelanjaan modern. Http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pasar, diakses 23 April 2009.

17

Pasar Pancur Batu adalah merupakan pasar pada sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Ibid., diakses 23 April 2009.


(51)

selanjutnya bila dibenturkan dengan cara pembuatan obat tradisional yang baik belum memenuhi syarat tersebut.

Untuk data yang dibutuhkan secara lebih mendalam, Ibu Ati dan Iting merupakan sasaran utama data, yang juga menerima saya dengan sangat baik. Hal ini memungkinkan penyelidikan yang saya lakukan lebih dalam, sehingga memungkinkan saya untuk mendapatkan data yang tidak dapat saya peroleh dari Ibu Imah. Contohnya adalah data yang ingin saya peroleh mengenai teknik-teknik yang digunakan dalam mengobati jenis penyakit. Ibu Imah mengatakan pada saya dalam mengobati pasien tidak ada yang istimewa, “Saya lakukan pengurutan dan selanjutnya mengalir begitu saja”.

Untuk mendapatkan data yang lebih dalam lagi atas informasi-informasi dalam pengobatan tersebut, selanjutnya saya mendapatkannya dari Ibu Ati dan Iting, yang dengan senang hati menjelaskannya kepada saya atas tata cara pengobatan yang mereka lakukan. Demikianlah, cara yang saya gunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam sesuai dengan data dibutuhkan, dan sekaligus menganalisis dan mengkonstruksikan hubungan-hubungan antara satu tindakan dengan yang lain.

Andrew P. Vayda (1983) adalah seorang ahli antropologi yang telah mencoba memberikan kontribusi bagi perkembangan antropologi, dinamakan “progressive

contextualization” suatu metode penelitian dalam ekologi manusia (Vayda, 1983:

265).

“...these prosedures involve focusing on significant human activities or people-environtment interactions and then explaining these interactions by placing them within progressively wider or denser


(52)

contexis”. (prosedur ini melibatkan fokus pada aktivitas-aktivitas

manusia atau interaksi antara manusia dan lingungannya dan menjelaskan interaksi ini dengan menempatkan mereka dalam konteks yang lebih luas dan lebih padat secara progressif)”.

Metode ini dapat digunakan dalam kajian atas aktivitas-aktivitas pengobat tradisional dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional, yang meliputi interaksi antara pengobat dan lingkungannya, sehingga pengobatan tersebut dapat berkelanjutan (sustainable) hingga masa sekarang ini dan yang akan datang.

Selanjutnya Vayda (1983: 266) menjelaskan bagaimana melakukan

“progressive contextualization”:

“More will be said later about how to do progressive contextualization, but it may be noted here that one guide is rationality principle whereby we assume that those who are engaging in the activities or interactions of concern to us are rationally using their knowledge and available resources to achieve whatever their aims are in the situations in wich they find themselves. With this assumption, we can perform the ”thought experiment” of putting ourselves in the place of the actors and then asking and looking for what there might be in their situations to make them do what they do” (masih lebih

banyak lagi bisa disebutkan kemudian bagaimana melakukan kontekstualisasi kemajuan, tetapi harus dicatat bahwa salah satu petunjuk atau prinsip rasionalitas di mana kita mengasumsikan bahwa mereka yang terlibat dalam aktivitas atau interaksi-interaksi kepentingan terhadap kita adalah secara rasional menggunakan pengetahuan dan sumber-sumber yang ada untuk mencapai apapun tujuan mereka atau berada dalam situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Dengan asumsi ini, kita dapat menunjukkan “gagasan penyelidikan” menempatkan diri kita sendiri di tempat pelaku dan selanjutnya menanyakan dan mencari kemungkinan yang ada dalam situasi mereka, yang membuat mereka berbuat apa yang mereka akan lakukan)”.

Hal ini dapat dikembangkan atas aktivitas-aktivitas interaksi manusia dan lingkungannya untuk mengetahui pengetahuan pengobat tradisional tentang penyakit


(53)

dan cara pembuatan obat tradisional, pada aktivitas yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan secara berkesinambungan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada dalam menanggulangi masalah kesehatan.

Dalam Metodological rule yang diajarkan oleh Vayda, yang mencari tahu sebab-musabab munculnya sesuatu tindakan, dengan tidak langsung menghubungkan tindakan itu dengan ‘sebab-jauh’nya, tetapi lebih dulu mencari ‘sebab-dekat’nya hingga terakhir mencapai ‘sebab-jauh’nya (Vayda 1996: 18 dalam Zuska 2008: 56). Metode ini membantu saya dalam menganalisis atas satu tindakan dengan tindakan lainnya, contohnya ketika dalam benak saya muncul pertanyaan, “alasan apa yang membuat “profesi” sebagai pengobat tradisional diminati tanpa memandang usia dan latar belakang pendidikan?”, sementara saya tidak memiliki data untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jawaban yang dapat saya berikan adalah dengan mencari ‘sebab-jauh’nya, yaitu atas dasar pengalaman dari orang tua dan atau kerabat yang melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional dengan baik. Hingga mengetahui ‘sebab-dekat’nya bahwa praktik-praktik pengobatan tradisional dapat menopang perekonomian mereka bila dilakukan dengan pengelolaan yang baik dan secara “profesional”.

Demikianlah cara yang saya lakukan untuk menganalisis data yang saya kumpulkan di lapangan. Analisis juga saya lakukan secara on going analysis, suatu teknik analisis yang dilakukan ketika data dikumpulkan melalui wawancara baik itu dari informan dan orang-orang yang tinggal di lingkungan pengobat tradisional, serta melalui hasil pengamatan dari waktu ke waktu selama berada di lapangan.


(54)

Sesuai dengan sifat “progressive” nya, dalam mengumpulkan data yang berangkat dari aktivitas-aktivitas konkret dalam pengobatan tradisional, batas-batas sistem sosial akan menjadi relatif. Banyak sedikitnya informan atas data yang diselidiki tergantung penyelidikan di lapangan. Kalau saya sebagai peneliti mau memperturutkan rasa keingintahuan secara terus-menerus, maka boleh jadi penelitian itu tidak akan pernah berakhir. Sehingga, akhir dari sebuah penelitian tergantung pada batasan-batasan yang lebih bersifat subjektif, contohnya kemampuan saya sebagai peneliti dalam berimprovisasi, ketersediaan waktu, dana dan lain-lain.


(55)

BAB 4

PENGOBAT TRADISIONAL DAN PRAKTIK PENYEMBUHAN BERBAGAI PENYAKIT

4.1. Gambaran Pengobat Tradisional

Pengetahuan dan keterampilan pengobat tradisional tentang pengobatan tradisional yang meliputi pengetahuan tentang obat-obat tradisional, pembuatan ramuan obat tradisional beserta teknik penyembuhan atas berbagai macam penyakit secara umum diperoleh sejak usia belia dan diwariskan dari orang tua, kerabat dan juga berdasarkan pengalaman pengobat melakukan pengobatan secara langsung atas penyakit sendiri.

Awalnya para pengobat melakukan secara langsung praktek-praktek pengobatan tersebut dimulai ketika membantu orang tua dan kerabat (nenek) membuat ramuan obat-obatan tradisional, kemudian terlibat secara langsung dalam pengobatan bersama orang tua. Berikut adalah penjelasan beberapa pengobat tradisional yang saya wawancarai dan melakukan praktek-praktek pengobatan tradisional dalam menanggulangi berbagai macam penyakit selama lebih kurang 40 tahun.

Ada 3 sosok pengobat tradisional yang saya pelajari, disebut informan, dan secara kebetulan ketiga informan tersebut adalah perempuan dengan etnis suku Karo. Ke-3 sosok pengobat tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dengan usia yang cukup bervariasi dimulai dari usia yang cukup muda, setengah baya dan


(56)

usia lanjut. Sehingga kajian tentang pengobat tradisional ini cukup menarik untuk diselidiki atas adanya perbedaan usia dan latar belakang pendidikan tersebut. Adapun ke-3 sosok pengobat tradisional yang saya pelajari tersebut adalah:

4.1.1. Iting

Iting berusia 87 tahun, awalnya belajar dalam usia yang masih sangat belia, dan terlibat dalam pengobatan tradisional hingga akhirnya berprofesi sebagai pengobat tradisional. Pengetahuan dan keterampilannya atas pengobatan tradisional diperoleh dari nenek nya sejak usia 5 tahun. Anak ataupun cucu dari neneknya ini tidak ada yang mau meneruskan pekerjaannya sebagai pembuat obat ramuan Karo, sehingga Itinglah yang diajak untuk membantunya. Dan sekaligus mengajari ramuan-ramuan tersebut, karena neneknya melihat Iting ini memiliki kemampuan atau kelebihan khusus yang dibawanya sejak lahir.

Iting memiliki ciri-ciri atau tanda khusus, memiliki tangan dan kaki kirinya lebih panjang sedikit dibandingkan tangan kanan dan kaki kanannya. Tetapi walaupun begitu, ketika Iting berjalan tidak terlihat sama sekali kalo Iting berjalan jingklak akibat adanya perbedaan kaki yang panjang sebelah tersebut. Menurut neneknya, ciri khusus tersebut menunjukkan bahwa Iting mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ciri khusus itu diyakini oleh Neneknya dan Iting sendiri adalah merupakan tanda bahwa ia mempunyai kelebihan, dan ciri itu diyakini sebagai suatu isyarat membawa berkah yang baik bagi Iting khususnya dalam melakukan praktik sebagai dukun pengobat tradisional.


(57)

Awalnya Iting bersama neneknya melakukan praktik pengobatan di daerah Kabanjahe18, kemudian ia pergi melarikan diri dari rumah karena neneknya berusaha untuk menjodohkannya dengan seorang lelaki, yang menurutnya tidak ia sukai. Akibat perjodohan yang tidak ia kehendaki itu, Iting melarikan diri dari rumah neneknya ke daerah Aceh. Di daerah tersebut ia bertemu dengan seorang laki-laki marga Sembiring dan mereka menikah. Di daerah itu, Iting dan suaminya yang juga berprofesi sebagai pengobat tradisional, melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional. Beberapa tahun kemudian Iting dan suaminya hijrah dan meneruskan pengobatan tersebut ke daerah Medan Tuntungan.

Iting mengaku tidak pernah bersekolah, sehingga ia tidak bisa menulis dan membaca, tetapi menurutnya ia mengenal uang dari warna dan gambar yang tertulis pada uang tersebut. Begitu juga bila ia menghitung jumlah uang, contohnya bila ia pergi berbelanja ke pasar, maka ia mampu melakukan hitungan-hitungan uang dengan baik, dan menurutnya hal itu ia ketahui berdasarkan pengalamannya sehari-hari selama bertahun-tahun.

Dari pernikahannya, ia mempunyai 7 orang anak, 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Bersama suaminya, Iting secara bersamaan melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional selama lebih kurang 30 tahun. Dan menurut Iting, ketika bersama suaminya dalam mengelola pengobatan tradisional dengan ramuan

18

Kabanjahe adalah ibukota Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terletak sekitar 76 km dari pusat Kota Medan.


(58)

Karo, berjalan sangat lancar, karena suaminya sangat ahli dalam pengobatan ramuan Karo tradisional, khususnya dalam menangani pasien “jongkang” (patah tulang).

Ia mengaku, ketika bersama suaminya dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional di daerah Medan Tuntungan, merupakan pengobat tradisional yang sangat terkenal, sehingga jumlah pasien yang berkunjung untuk berobat sangat banyak, baik itu untuk pasien rawat inap dan rawat jalan. Kemudian pada tahun 2000, suaminya meninggal dunia dalam usia 85 tahun karena menderita penyakit darah tinggi yang mengakibatkan stroke. Menurutnya, dalam sehari jumlah kunjungan orang yang berobat untuk pasien rawat jalan dapat mencapai 20-30 orang dalam sehari (termasuk diantaranya orang yang hanya melakukan perawatan tubuh dan kesehatan dengan mandi oukup). Demikian juga untuk pasien rawat inap, jumlah pasien yang dirawat mencapai 20-25 orang, dan menurut pengakuannya pernah rumah tempat perawatannya tidak mencukupi untuk pasien rawat inap, sehingga pasien tersebut dirawat ditempat kerabatnya yang letaknya masih dekat dengan rumah tempat Iting melakukan praktik.

Adapun gambaran rumah yang digunakan, dalam pembuatan serta pencampuran bahan-bahan obat untuk ramuan tradisional Iting, dapat saya gambarkan sebagai berikut, luas ruangan pencampuran ramuan obat 5 x 7 m, atap terbuat dari asbes, lantai semen, dinding terbuat dari beton. Kondisi kebersihan dari ruangan pencampuran dari bahan-bahan ramuan obat ada kesan tidak bersih, terlihat pakaian-pakaian bekas pakai yang ditaruh di kursi, lantai juga terlihat kurang bersih, kemudian sebahagian wadah obat tradisional juga tidak bersih secara baik karena


(59)

terlihat kotoran-kotoran yang berwarna kehitam-hitaman menempel pada sebahagian wadah yang digunakan untuk ramuan obat yang sudah jadi.

Selain itu Iting menyediakan tempat rawat inap penderita sakit, dengan luas 10 x 30 meter. Pasien rawat inap kebanyakan adalah penderita ‘jongkang’ (patah tulang), juga penderita penyakit seperti penyakit gula (diabetes mellitus), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan lain-lain.

Iting menjelaskan, dalam membuat ramuan obat bila ada bahan yang kurang atau belum dimasukkan ke dalam ramuan yang dibuat olehnya, karena Ia lupa memasukkan suatu bahan maka Iting dapat mengetahui dari bau ramuan tersebut. Menurutnya, ia tidak menuliskan resep ramuan obat tersebut karena ia tidak dapat menulis dan membaca. Pengalamannya yang cukup lama dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional, membuatnya sangat ahli dalam membuat ramuan obat.

Pembuatan ramuan obat dilakukan dengan cara, semua bahan ramuan obat digiling dengan alat penggiling khusus, diaduk dengan menggunakan tangan. Menurutnya, ia dapat merasakan apakah ramuan obat tersebut sudah tercampur dengan baik. Sebagai bahan pengawet agar ramuan bahan-bahan yang sudah dicampur dapat bertahan lama digunakan rimo bunga.

Untuk memeras air rimo bunga yang berguna sebagai pengawet sehingga

tawar yang sudah jadi tidak mudah basi, digunakan kayu jambu yang kecil, pada

salah satu ujung kayu diruncingkan, setelah itu asam yang sudah dipotong tengahnya diperas dengan menggunakan kayu tersebut. Cara untuk mengetahui bahwa rimo


(60)

bunga sudah cukup sebagai pengawet dalam tawar tersebut, adalah dengan

menambahkan perasan air rimo bunga ke dalam campuran bahan yang sudah digiling, kemudian perlahan-lahan air rimo bunga akan meresap sampai kebawah, demikian diulang secara terus menerus sampai diperoleh batas akhir, yaitu sediaan obat yang sudah digiling tidak kering atau pada permukaan atas obat tersebut mengandung banyak air asam.

Semua bahan-bahan sisa (sampah) dari pembuatan ramuan obat tidak dibuang, seperti biji asam dicampur dengan bahan-bahan lain, digunakan sebagai obat untuk penyakit darah tinggi (tensi), stroke, masuk angin. Sisa bahan lain seperti kulit rimo

bunga, digunakan untuk campuran bahan oukup yang juga terdiri dari

bermacam-macam tanaman. Oukup dimaksudkan untuk bahan mandi uap yang berfungsi untuk membuang racun-racun yang ada dalam tubuh, dan memperlancar peredaran aliran darah.

Bahan-bahan yang dipakai untuk ramuan obat diambil dari hutan di daerah Kabanjahe oleh seseorang yang sudah ditugaskan dan mereka sudah lama melakukan kerja sama seperti itu. “Orang yang mengambil tanaman itu punya “indera keenam”, kalau tidak mana berani tinggal di hutan dan ngambil sampai jauh sekali, tempatnya di tempat pesawat jatuh”19. Iting menjelaskan kepada saya. “Orang itu tinggal

19

Lokasi pesawat jatuh dimaksudkan adalah, tempat di mana Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 dengan pesawat Airbus A300-B4 yang jatuh di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia (sekitar 32 km dari bandara dan 45 km dari Kota Medan) saat hendak mendarat di Bandara Polonia Medan pada 26 September 1997. Kecelakaan ini menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah 222 orang dan 12 awak dan hingga kini merupakan kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah Indonesia. Pesawat tersebut


(1)

Cara Mengobati

Penyakit

Cara Membuat

Ramuan Obat Tradisional

Pengetahuan Mengobati Penyakit: - Diagnosa

- Urut/Pendadapan - Oukup

T l

Fasilitas dan Sarana: - Ruang perawatan - Ruang Urut

Pengetahuan Pembuatan ramuan obat tradisional Pengetahuan

tentang Penyakit

Praktek Pengobatan Tradisional Pengetahuan

Pengobat Tradisional

Gambar 6.1. Kegiatan-kegiatan yang Dilakukan Oleh Pengobat Tradisional dalam Pengobatan Tradisional


(2)

6.2. Saran

Pengobatan tradisional masih berperan penting dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat. Pengobatan tradisional adalah merupakan warisan budaya sehingga perlu dipelihara dan dilestarikan. Untuk mempertahankan usaha pengobatan tradisional yang dilakukan oleh pengobat tradisional dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, maka hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan pengobat tradisional secara maksimal adalah:

1. Pembinaan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan pengobat tradisional, melalui pelatihan dan penyuluhan oleh Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terhadap praktik-praktik dalam pengobatan tradisional, meliputi penggunaan dan komposisi bahan yang tepat, takaran/dosis ramuan obat yang jelas, juga masa pakai atas ramuan obat yang digunakan harus benar atau sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) sehingga akan mengurangi terjadinya bahaya keracunan ramuan obat.

2. Pemerintah perlu mengadakan pengembangan atas pembakuan metoda (cara) pengobatan beberapa jenis pengobatan tradisional.

3. Pemerintah perlu mengadakan pengawasan dan pengaturan terhadap cara-cara pengobatan tradisional.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., dan Jacob, T. 1999. Antropologi Kesehatan Indonesia. Pengobatan Tradisional. Jilid I. EGC. Jakarta.

Anspaugh, D.J., Dignan, M.B., and Anspaugh, S.L. 2000. Developing Health Promotion Programs, McGraw- Hill Companies. Boston. p 53-55.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Jakarta. Hal: 15.

Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Cetakan I. Kencana Prenada Media Group. Surabaya. Hal: 256.

Departemen Kesehatan dan Sosial RI. 2000. Buku Panduan Strategi Promosi Kesehatan di Indonesia. Jakarta.

_________. 2000. Promosi Kesehatan dalam Era Desentralisasi. Jakarta.

_________. 2005. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Pengobatan Tradisional Daerah

Kalimantan Selatan. Jakarta. Hal: 121-123.

_________. 1990. Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Pedesaan Daerah Jambi. Jakarta. Hal: 2-3.

Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi, 2005. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2004.

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. 2005. Profil Pengobatan Tradisional di Propinsi Sumatera Utara. Hal: 13 & 45.

Dumatubun, A. E. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif Antropologi Kesehatan. 2002. Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099). Volume I. No. 1.

Foster G. & Andersen B. 2008. Antroppologi Kesehatan. Terjemahan Priyanti Pakan Suryadarma & Meutia F. Swasono. UI Press. Jakarta. Hal: 45-48.


(4)

Gintings, E.P. 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru. Abdi Karya. Kabanjahe. Hal: 52.

Handayani, L. 2007. Pemanfaatan Obat Tradisional untuk Kesehatan Usila. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan. Jakarta. Http://racik.wordpress.com/2007/04/07/pemanfaatan-obat-tradisional-untuk-kesehatan-usila/. Diakses 6 Nopember 2008. Hal: 2-4.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan. 2007. Undang-Undang Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya. Fokusmedia. Bandung. Hal: 4-6.

Indriasari., L. 2008. Alami Belum Tentu Aman. Kompas. 27 April 2008. Hal: 30 Katin., J. 1989. Bentuk-Bentuk Pengobatan Tradisional di Daerah Kalimantan Timur

dalam Lokakarya tentang Penelitian Praktek Pengobatan Tradisional.

Katno., Pramono, S. 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Fakultas Farmasi. UGM. Yogyakarta. Http://Abaugm.wordpress.com/2008/08/10/. tingkat-manfaat-dan-keamanan-tanaman-obat-dan-obat-tradisional/. Diakses 1 Oktober 2008. Hal: 1-5.

Koentjaraningrat. 1989. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. Hal: 130.

Lubis, Syahruddin, dkk. 1996. Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal: 122-123.

Manuputty, dkk. 1990. Pengobatan Tradisional Daerah Maluku. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Kebudayaan. Jakarta. Hal: 28.

Pelly, U, dkk. 1989. Dukun Mantra, Kepercayaan Masyarakat. Diterbitkan untuk Masyarakat Ilmu-Ilmu Sosial. Pustakakarya Grafikatama. Jakarta. Hal: 30-48.

Ramali, A dan Pamoentjak. 1987. Kamus Kedokteran. Djambatan. Jakarta. Hal: 56, 75.

Sari, L,O,R,K, 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu kefarmasian. Universitas Jember. Http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2006/v03n01/lusia0301.pdf/. Diakses 1 Oktober 2008. Hal: 1-3.


(5)

Sembiring, B. 2007. Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman Obat.

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.

Http://balittro.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=vie w&id=75&item=38. Diakses 2 Desember 2008. Hal: 2-5.

Sembiring, S.A. 2005. ’Guru Si Baso’ Dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi Tradisional dari Arus Modernisasi. ETNOVISI. Jurnal Antropologi Sosial Budaya. Laboratorium Pengembangan Masyarakat (LPM-ANTROP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara. Hal: 125.

Sembiring, S, A, 2002. GURU (TABIB) DALAM MASYARAKAT KARO: Kajian Antropologi mengenai Konsep Orang Karo tentang Guru dan Kosmos (Alam Semesta). Http: //©2002 digitized by USU digital library. Diakses 28 Maret 2009. Hal: 6.

Sirait, M. 1995. Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Perlindungan dan Pengawasan terhadap Pemakaian Obat Tradisional. Jakarta.

Soenardi. 1989. Bentuk-Bentuk Pengobatan Tradisional di Daerah Jawa Tengah dalam Lokakarya Tentang Penelitian Praktek Pengobatan Tradisional. Hal: 84.

Subandi, I.G.M., 1989. Bentuk-Bentuk Pengobatan Tradisional di Daerah Bali dalam Lokakarya tentang Penelitian Praktek Pengobatan Tradisional. Hal: 107-111. Suharmiati, dan Handayani, L. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. 2006.

AgroMedia Pustaka. Jakarta. Hal: 3-9.

Tjokronegoro, A dan Baziad A. 1992. Etik Penelitian Obat Tradisional. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Vayda, A.P, 1983. Progressive Contextualization: Methods for Research In Human Ecology. Page: 265-266.

Widyawati, T. 2007. Aspek Farmakologi Sambiloto. The Journal of Medical School. University of North Sumatera.

Wijayakusuma, H. 2000. Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia Sebagai Produk Kesehatan dalam Risalah Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Hal: 25.


(6)

World Health Organisation (WHO), 2003, Traditional medicine, Http://www.who.int/mediacentre/factsheet/fs134/en/, diakses 1 Nopember 2008. Hal: 1-2.

Zuska, F. 2008. Relasi Kuasa Antar Pelaku dalam Kehidupan Sehari-hari: Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota. Fisip USU Press, Medan. Hal: 53.

Wakidi. 2000. Karya Ilmiah. Tumbuhan Obat Tradisional Daerah Karo. Bagian Farmasi-Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. Hal: 4-5.